Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH BIOKIMIA

“STUDY CASE METABOLISME ENERGI”

Mata Kuliah : Biokimia

Dosen : Panca Nugrahini F, S.T., M.T.

Disusun Oleh :

Aris Setiawan (1415041007)

M. Wafi Eriza (1415041028)

Nuke Agustin (1415041042)

Usi Nur Pamiliani (1415041064)

JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan study
case tentang ‘metabolisme energi’ dengan lancar.

Terimakasih kepada teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah
‘Metabolisme energi’. Makalah study case ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan diharapkan dapat
membantu para pembaca mengetahui dengan lebih jelas tetang Metabolisme energi.

Namun tidak lepas dari itu semua kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam segi penulisan
maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan hati terbuka kami membuka selebar-lebarnya kritik dan
saran dari para pembaca kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi kepada para
pembaca.

Bandar Lampung, 5 oktober 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................................................... 1

BAB II ISI ........................................................................................................................................................................... 2


Kajian Nilai Energi Metabolis Biji Sorghum Melalui Teknologi Sangrai Pada Ayam Petelur Periode Afkir
(Evaluation of metabolic energy value of roasted sorghum in culled laying chickens) Hanny Indrat ...................... ....2

Hubungan Kecukupan Asupan Energi dan Makronutrien dengan Status Gizi Anak Usia 5-7 Tahun di Kelurahan
Kampung Melayu, Jakarta Timur Tahun 2012 .......................................................................................................... …7

Pengaruh Pemberian Jus Jeruk Manis (Citrus Sinensis) Terhadap Indeks Kelelahan Otot Anaerob Pada Atlet Sepak
Bola Di Gendut Dony Training Camp (Gdtc) .............................................................................................................. 12

Laju Metabolisme Pada Ikan Nila Berdasarkan Pengukuran Tingkat Konsumsi Oksigen ........................................ ..17

Proses Pembentukan Atp Melalui Proses Aerobik Hasyim ...................................................................................... ..21

BAB III PENUTUP .......................................................................................................................................................... 27

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Makhluk hidup di muka bumi ini selalu memerlukan energi dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam proses
penyediaan energi baik pada tumbuhan maupun manusia, selalu melalui berbagai rentetan reaksi kimia. Seluruh proses
kimia atau reaksi kimia yang terjadi di dalam sel yang berupa reaksi penyusunan energi dan reaksi penggunaan energi
biasa kita disebut dengan Metabolisme. Energi yang ada dalam tubuh manusia haruslah seimbang sesuai yang
dibutuhkan oleh tubuhnya jika seseorang kekurangan energi maka ia akan mengalami ketidakseimbangan dalam
tubuhnya. Oleh karena itu kita harus mengetahui bagaimana cara mengontrol keseimbangan energi dalam tubuh kita.
Agar aktifitas yang kita lakukan sehari- hari ini dapat berjalan dengan baik.

Keseimbangan energi di perlukan dalam tubuh manusia. Energi yang ada di dalam tubuh kita di katakan seimbang
apabila energi yang masuk melalui makanan yang di makan sama besar dengan energi yang dikeluarkan oleh tubuh
untuk kelangsungan hidup. Keadaan energi yang seimbang didalam tubuh ini akan menghasilkan berat badan ideal
atau normal.

Di dalam berbagai jenis olahraga baik olahraga dengan gerakan-gerakan yang bersifat konstan seperti jogging,
marathon dan bersepeda atau juga pada olahraga yang melibatkan gerakangerakan yang explosif seperti menendang
bola atau gerakan smash dalam olahraga tenis atau bulutangkis, jaringan otot hanya akan memperoleh energi dari
pemecahan molekul adenosine triphospate atau yang biasa disingkat sebagai ATP.

Melalui simpanan energi yang terdapat di dalam tubuh yaitu simpanan phosphocreatine (PCr), karbohidrat, lemak dan
protein, molekul ATP ini akan dihasilkan melalui metabolisme energi yang akan melibatkan beberapa reaksi kimia
yang kompleks. Pengunaan simpanan-simpanan energi tersebut beserta jalur metabolisme energi yang akan digunakan
untuk menghasilkan molekul ATP ini juga akan bergantung terhadap jenis aktivitas serta intensitas yang dilakukan
saat berolahraga.

1
BAB II

ISI

Kajian Nilai Energi Metabolis Biji Sorghum Melalui Teknologi Sangrai Pada Ayam Petelur Periode Afkir
(Evaluation of metabolic energy value of roasted sorghum in culled laying chickens) Hanny Indrat

Wahyuni1, Retno Iswarin Pujaningsih2, Padwi Anwar Sayekti3

1 Laboratorium Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan UNDIP 2 Laboratorium Teknologi Makanan Ternak,
Fakultas Peternakan UNDIP 3 Fakultas Peternakan UNDIP

ABSTRACT

Tannin contained in sorghum can be reduced by using technology processing such as roasting. By using this way,
husk of sorghum can be removed leading to decrease of tannin content which is reflected by the value of metabolism
energy. The purpose of this experiment is to investigate the effect of roasted sorghum on metabolism energy of culled
laying chickens. Measurement of metabolic energy as mathematic is used as comparison. The material used in his
experiment was red sorghum, water, and 39 culled laying chickens. Equipment used in this experiment was balance,
roasting tool, plastic, force feeding equipment, metabolism cages and bomb calori-meter. This experiment used
complately randomized design consisting of 4 treatments and 4 replications (each replication 3 chickens). Treatment
consisted of T0 = no roasted sorghum, T1 = roasted for 5 minutes and T2 = roasted for 10 minutes. Data collected
were metabolism energy of roasted sorghum both biologically (force feeding) and mathematically (proximate
analysis) at culled laying chickens. All data were statistically calculated, further statistically was conducted by using
Duncan and compression of metabolism energy was calculated by using t-Test. The results show that, no statistically
effect (p>0, 05) on duration of roasting on metabolism energy of sorghum. Based on t-Test analysis, there was a
significantly difference (p<0, 05) between biological metabolism and mathematical meta-bolism. From this
experiment, it can be concluded that 10 minutes of roasting cannot increase of sorghum metabolic energy. The average
of biological metabolic was lower (3105, 94 kcal/kg) compared to the average of mathematical metabolic energy
(3766, 82 kcal/kg).

Key words: sorghum, roasting, metabolic energy, and chicken

PENDAHULUAN

Sorghum sebagai bahan pakan mem-punyai kandungan nutrisi yang hampir sama dengan jagung. Kandungan energi
dan protein kasar jagung adalah 3394 kkal/kg dan 8.9% (Rasyaf, 1990).1Sedangkan pada sorghum adalah 3250
kkal/kg dan 10% (Sudaro dan Siriwa, 2001). Sehingga sorghum dapat digu-nakan dalam penyusunan ransum untuk
meng-gantikan jagung. Namun tanin yang terkandung di dalam sorghum merupakan faktor pembatas untuk digunakan
dalam ransum unggas petelur (max.15%) dan broiler (max.25%) (Murtidjo, 1997). Warna lapisan kulit biji sorghum
berhubungan dengan kadar tanin yang terkan-dung dalam biji tersebut. Biji sorghum yang berwarna tua mengandung
lebih banyak tanin dibanding yang berwarna muda (Departemen Pertanian, 1998). Perlakuan pemanasan biji sorghum
diharapkan dapat menurunkan zat anti nutrisi tanin, sehingga dapat memaksimalkan manfaat biji sorghum sebagai
bahan pakan dalam penyusunan ransum. Tanin mempengaruhi metabolisme zat gizi dalam tubuh karena dapat
menghambat kerja enzim amilase, lipase dan protease (Mudjisihono dan Suprapto, 1987). Hal ini menyebabkan
penurunan penyerapan gizi yang dapat digunakan sebagai sumber energi, sehi-ngga dapat mempengaruhi nilai energi
metabo-lisnya. Tanin dalam sorghum dapat diatasi dengan penerapan teknologi pengo-lahan. Pen-golahan sorghum
dapat dilakukan secara fisik, kimia dan biologi.

Perlakuan secara fisik dapat dilakukan melalui pengeringan dengan sinar matahari, penyosohan, perendaman,
perebusan, sangrai atau pengukusan (Mudjisihono dan Suprapto, 1987; Gardjito dan Hastuti, 1988). Pengolahan biji

2
sorghum dengan pemanasan sangrai diharapkan dapat mengikis lapisan kulit biji sorghum yang banyak mengandung
tanin, terutama pada bagian testa, sehingga dapat menurunkan kadar taninnya (Suliantari dan Rahayu, 1990).
Pemanasan sangrai adalah proses pengolahan dengan cara mengeringkan bahan pada suhu tinggi dengan
menggunakan alat yang tahan panas, sehingga air bahan menguap dengan cepat. Semakin tinggi suhu dan lama waktu
pengeringan maka semakin banyak perubahan yang terjadi dalam bahan. Pemanasan merupakan perlakuan fisik yang
dapat mempengaruhi komposisi kimia bahan atau perubahan struktur karbohidrat dinding selnya (Buckle et al., 1987).
Pemanasan dapat meningkatkan daya cerna karbohidrat (Tillman et al., 1998).

Perlakuan pemanasan sangrai diharap-kan selain dapat menurunkan kadar taninnya juga dapat memaksimalkan zat
gizi yang ada (karbohidrat, lemak dan protein) dalam biji sorghum. Zat gizi tersebut berperan bagi tubuh unggas
sebagai sumber energi. Proses pema-nasan sangrai akan meningkatkan pemanfaatan zat gizi sorghum, sehingga dapat
meningkatkan nilai energi metabolismenya. Pengukuran energi metabolis (EM) bahan pakan diperlukan terutama
dalam formulasi ransum. Nilai EM berperan dalam penyusunan ransum karena unggas mengkon-sumsi ransum
berdasarkan kecukupun ener-ginya. Energi dalam hal ini adalah energi metabolis. Nilai energi metabolis merupakan
tolok ukur paling sederhana untuk mengetahui penggunaan nutrisi bahan pakan oleh unggas. Pengukuran energi
metabolis dapat dilakukan secara tidak langsung dengan menggunakan komponen proksimat bahan meliputi protein
kasar, lemak kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (Wahju, 1997). dan dihitung dengan rumus Balton
(Siswohardjono, 1982). Metode ini mudah dilakukan dan tidak membutuhkan waktu yang lama tetapi karena metode
ini belum dicobakan ke ternak maka respon ternak terhadap pakan belum dapat diketahui.

Pengukuran energi metabolis secara langsung diperoleh dari percobaan kecernaan dengan menggunakan ternak,
sehingga dike-tahui respon ternak terhadap bahan pakan yang dicobakan. Percobaan kecernaan digunakan untuk
menentukan proporsi nutrisi yang ada dalam bahan pakan atau ransum yang dapat diserap dari saluran pencernaan
ternak. Ternak diberi pakan yang diketahui komposisi nutrisinya dalam waktu tertentu dan dilakukan koleksi ekskreta
yang selanjutnya dianalisis komponen yang terkandung di dalamnya (Pond et al., 1995). Percobaan kecernaan dapat
dilakukan dengan metode total koleksi dan metode indikator (Banerjee, 1978) serta “force feeding” (Schneider dan
Flatt, 1975).

Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh perlakuan pemanasan sangrai ter-hadap nilai energi metabolis biji sorghum
yang diukur pada ayam petelur periode afkir. Ayam pada periode ini digunakan karena telah memiliki sistem
metabolisme yang sempurna. Manfaat penelitian ini yaitu memberikan informasi tentang salah satu teknologi pengo-
lahan biji sorghum, yaitu dengan perlakuan fisik melalui pemanasan sangrai. Pemanasan sangrai diharapkan dapat
menurunkan kadar tanin dan meningkatkan utilitas biji sorghum yang dicerminkan pada peningkatan nilai energi
metabolisnya. Hipotesis penelitian ini yaitu ada pengaruh perlakuan terhadap nilai energi metabolis biji sorghum yang
diukur pada ayam petelur periode afkir.

MATERI DAN METODE

Metode yang digunakan untuk pengu-kuran EM biologis adalah dengan percobaan kecernaan secara in vivo dan secara
matematis menggunakan data analisis proksimat. Peneli-tian ini dilaksanakan di peternakan milik bapak Suwarno di
desa Bulusan, Tembalang, Semarang, Laboratorium Teknologi Makanan Ternak dan Laboratorium Ilmu Makanan
Ternak Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang.

Materi Penelitian

Materi yang digunakan dalam peneli-tian ini adalah 12 kg sorghum merah, air dan ternak percobaan sebanyak 39 ekor
ayam petelur afkir dengan bobot badan 2 ± 0,05 kg. Alat yang digunakan adalah timbangan, alat untuk sangrai, plastik
untuk menampung ekskreta, alat “force feeding”, kandang dan bomb kalorimeter.

Metode Penelitian

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan dan tiap
ulangan terdiri dari 3 ekor ayam. Perlakuan yang diberikan meliputi T0 = sorghum tanpa diolah, T1 = sorghum
disangrai 5 menit dan T2 = sorghum disangrai 10 menit. Penelitian dilakukan dalam 3 tahap meliputi; 1) pengolahan
biji sorghum dengan cara disangrai; 2) analisis proksimat dan “gross energy” biji sorghum dan hasil olahannya dan 3)
pengukuran energi metabolis biji sorghum. Tahap pertama dilakukan dengan cara mema-naskan biji sorghum pada
wajan hingga mencapai suhu ± 80° C, selanjutnya disangrai dan diaduk-aduk agar sorghum mendapatkan panas yang
merata selama 5 menit (T1) dan 10 menit (T2). Selanjutnya sorghum diangin-anginkan dan digiling dengan grinder,

3
serta diambil sampel untuk analisis proksimat dan “gross energy” (Tahap kedua). Pengukuran energi metabolis biji
sorghum pada ayam petelur afkir di tahap ketiga dilakukan dengan metode “force feeding”. Kelompok ayam yang
diberi bahan pakan perlakuan sebanyak 36 ekor dan kelompok kontrol sebanyak 3 ekor untuk koleksi ekskreta
endogenous. Semua ternak dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam untuk mengeluarkan sisa pakan dalam saluran
pencernaan. Kelompok ayam sebagai kontrol tetap dipuasakan selama 44 jam dan disediakan air minum. Air minum
juga disediakan untuk kelompok “force feeding” selama penam-pungan ekskreta. Ekskreta disemprot dengan HCl 1N
untuk menangkap Nitrogen, kemudian dikeringkan dan ditimbang. Biji sorghum dan ekskreta dianalisis kandungan
“gross energy” untuk mengukur EM Murninya, dengan rumus Sibbald (1995) dan Yamazaki (1986) yang disitasi oleh
Sulistiyanto (2001);

Keterangan:
TME = True Metabolizable Energy (kkal/kg)
E intake = konsumsi x gross energy bahan pakan (kkal/kg)
E excreta = ekskreta x gross energy ekskreta (kkal/kg)
E excreta unfeed = ekskreta ternak dipuasakan x gross energy ekskreta endogenous (kkal/kg)
Intake = konsumsi (kg)
Pengukuran energi metabolis secara matematis dengan menggunakan data analisis proksimat dan dihitung menurut
rumus Balton (Siswohardjono, 1982).

Keterangan:
EM = Energi Metabolis (kkal/kg)
PK = Protein Kasar (%)
LK = Lemak Kasar (%)
BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (%)
k = faktor koreksi untuk unggas dewasa (4,9)

Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis ragam sesuai rancangan yang digunakan, jika terdapat pengaruh perlakuan dilanjutkan
dengan uji wilayah ganda Duncan (Steel dan Torrie, 1995). Pembandingan antara nilai energi metabolis secara
biologis dan matematis dianalisis dengan uji t-Test (Nurgiyantoro et al., 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Energi Metabolis Biji Sorghum Secara Biologis

Hasil penelitian tentang nilai energi metabolis (EM) biji sorghum dengan perla-kuan pemanasan sangrai pada ayam
petelur afkir disajikan pada Tabel 1. Analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh (p>0,05) perlakuan
lama sangrai terhadap nilai EM biji sorghum.

Biji sorghum yang diolah memiliki daya cerna yang lebih baik daripada biji sorghum tanpa diolah karena daya cerna
patinya meningkat. Pada penelitian ini pema-nasan sangrai dengan suhu ± 80°C selama 10 menit belum dapat
mempengaruhi utilitas zat gizi biji sorghum, sehingga tidak mempe-ngaruhi nilai energi metabolisnya. Diduga lama
waktu pemanasan belum dapat mempengaruhi perubahan zat gizi (karbohidrat, lemak dan protein) yang terdapat
dalam biji sorghum sebagai sumber energi, sehingga zat gizi tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal dalam

4
tubuh unggas. Tidak adanya perubahan zat gizi dengan sendirinya tidak meningkatkan penyerapan zat gizi, dalam hal
ini nilai energi metabolis menjadi tidak meningkat juga (Tabel 1).

Perlakuan pemanasan sangrai sampai 10 menit juga belum dapat menurunkan kadar taninnya. Hal ini karena selama
pemanasan sangrai belum terjadi pengikisan lapisan kulit biji sorghum yang diketahui banyak mengan-dung tanin.
Berdasarkan penelitian, kandungan tanin biji sorghum setelah disangrai berkisar pada 1,54-1,78%. Menurut Price et
al. (1978) pemanasan kering (sangrai) kurang berpe-ngaruh terhadap penurunan kadar tanin biji sorghum
dibandingkan dengan pemanasan secara basah (pengukusan). Bekti et al. (1996) menambahkan bahwa pengukusan
hingga 20 menit dapat menurunkan kadar taninnya. Kisaran kandungan tanin yang terdapat dalam biji sorghum olahan
menyebabkan tanin yang masuk ke dalam tubuh unggas yang mendapat perlakuan “force feeding” juga tinggi (rata-
rata 2%). Menurut Wahju (1997). kadar tanin yang dikonsumsi lebih dari 0,5% dapat menekan retensi nitrogen dan
menurunkan daya cerna asam-asam amino. Namun dalam penelitian ini konsumsi tanin yang tinggi tidak berlanjut
pada proses detoksikasi karena ransum berada dalam tubuh unggas hanya selama 44 jam, sehingga tidak
mempengaruhi nilai energi metabolisnya.

Nilai rata-rata EM biologis lebih rendah daripada EM matematis karena nilai EM biologis diperoleh dari percobaan
kecer-naan pada ternak sehingga hasilnya dipenga-ruhi oleh respon ternak terhadap bahan pakan yang dicobakan.
Menurut Ranjhan (1986) faktor yang mempengaruhi daya cerna bahan pakan antara lain adalah bentuk pakan, proses
pemasakan, komposisi pakan dan kecernaan bahan pakan. Nilai kecernaan bahan pakan antara lain dipengaruhi oleh
kualitas pakan, ukuran pakan, jumlah pakan yang dikonsumsi dan aktivitas enzim pencernaan. Pada peneli-tian ini
perlakuan lama pemanasan sangrai belum dapat mempengaruhi perubahan zat gizi biji sorghum yang merupakan
sumber energi (karbohidrat, lemak dan protein) sehingga kecernaan biji sorghum tersebut rendah.

Disamping itu masih tingginya kandungan tanin yang dikonsumsi turut berperan dalam mengurangi optimalisasi
kecernaan zat gizi bahan pakan. Nilai rata-rata EM matematis lebih tinggi daripada EM biologis. Hal ini karena nilai

5
EM matematis dihitung berdasarkan analisis proksimat dan masih belum dicobakan langsung kepada ternak sehingga
belum dapat diketahui respon ternak terhadap bahan pakan yang dicobakan. Dalam hal ini zat gizi dalam bahan pakan
belum mengalami proses metabo-lisme di dalam tubuh ternak sehingga belum pula dapat diketahui nilai zat gizi yang
dapat dicerna dan dimanfaatkan oleh tubuh ternak.

KESIMPULAN

Pemanasan sangrai selama 10 menit tidak meningkatkan nilai energi metabolis biji sorghum. Nilai rata-rata energi
metabolis se-cara biologis lebih rendah (3105,9410 kkal/kg) dibanding nilai rata-rata energi meta-bolis secara
matematis (3766,8230 kkal/kg). Disa-rankan untuk memperpanjang lama pema-nasan dengan teknologi sangrai untuk
mening-katkan kualitas biji sorghum sehingga nilai energi metabolisnya dapat dioptimalkan.

6
Hubungan Kecukupan Asupan Energi dan Makronutrien dengan Status Gizi Anak Usia 5-7 Tahun di
Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur Tahun 2012

Evan Regar1, Rini Sekartini2


1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak

Status gizi merupakan parameter yang dapat mengetahui masalah kesehatan di suatu daerah atau negara. Hingga
saat ini prevalensi masalah gizi di Indonesia masih cukup tinggi dan masalah gizi kronis akan menimbulkan
komplikasi jangka panjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecukupan asupan energi dan
makronutrien dengan status gizi pada anak usia 5-7 tahun. Desain penelitian ini adalah observasional-analitik potong
lintang menggunakan data sekunder. Status gizi ditentukan dengan indeks berat badan menurut usia (BB/U) dan
tinggi badan menurut usia (TB/U). Data yang dianalisis adalah data yang memenuhi kelengkapan tanggal lahir,
pengukuran antropometri, serta analisis food recall 24 jam. Besar sampel penelitian ini adalah 122 anak. Analisis
statistik yang digunakan adalah metode Fisher. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara
kecukupan asupan protein dengan status gizi (indeks BB/U: p=0,024; indeks TB/U: p=0,037). Tidak terdapat
perbedaan bermakna antara kecukupan asupan energi dengan status gizi (indeks BB/U: p=0,358; indeks TB/U:
p=0,733), kecukupan asupan lemak dengan status gizi (indeks BB/U: p=1,000; indeks TB/U: p=1,000), dan
kecukupan asupan karbohidrat status gizi (indeks BB/U: p=0,462; indeks TB/U: p=1,000). Disimpulkan asupan
energi dan makronutrien berhubungan dengan status gizi anak.

Kata Kunci: asupan energi, makronutrien, status gizi

Pendahuluan

Masalah gizi merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia. Program millenium development goals yang
dicanangkan PBB salah satunya adalah program pengurangan mortalitas anak pada poin keempat. 1 Mortalitas anak
terkait dengan masalah gizi, seperti yang dipublikasi oleh WHO bahwa satu pertiga dari kematian anak berhubungan
langsung dengan malnutrisi.2 Penelitian Pelletier et al3 menunjukkan bahwa di 53 negara berkembang, 56% kematian
pada anak terkait dengan efek malnutrisi yang berpotensi terhadap penyakit infeksi.

Untuk menentukan status gizi seseorang salah satunya dengan pengukuran antropometri 4 yang dapat menggolongkan
status gizi individu berdasarkan jenis indeks antropometri yang digunakan. Indeks berat badan menurut umur (BB/U)
berperan dalam klasifikasi gizi sangat buruk, gizi buruk, gizi baik, dan gizi lebih. Sementara itu indeks tinggi badan
menurut umur (TB/U) berperan dalam klasifikasi pendek, normal, dan tinggi. Parameter lain seperti indeks massa
tubuh menurut umur (IMT/U) digunakan untuk menggolongkan individu menjadi sangat kurus, kurus, normal,
kelebihan berat badan, dan obes.5

Prevalensi balita gizi buruk dan kurang, sangat pendek dan pendek, serta sangat kurus dan kurus merupakan salah satu
indikator yang digunakan dalam indeks pembangunan kesehatan masyarakat (IPKM) yang diperoleh melalui riset
kesehatan dasar (Riskesdas) oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010.6 Di Indonesia prevalensi
anak usia 6-12 tahun yang tergolong pendek dan/atau sangat pendek (indeks TB/U pendek atau sangat pendek) adalah
20,5% dan 15,1% secara berurutan. Prevalensi kurus dan sangat kurus menggunakan indikator IMT/U adalah sebesar
7,6% dan 4,6%.7 Masalah gizi dapat disebabkan salah satunya oleh rendahnya asupan zat gizi baik pada masa lampau
maupun pada masa sekarang.8

Status gizi berkaitan dengan asupan makronutrien dan energi. Energi didapatkan terutama melalui konsumsi
makronutrien berupa karbohidrat, protein dan lemak. Selama usia pertumbuhan dan perkembangan asupan nutrisi
menjadi sangat penting, bukan hanya untuk mempertahankan kehidupan melainkan untuk proses tumbuh dan

7
kembang. Di Indonesia, prevalensi konsumsi energi di bawah kebutuhan minimal secara nasional mencakup 33,9%
untuk kelompok usia 4-6 tahun dan 41,8% untuk usia 7-9 tahun.7 Prevalensi konsumsi protein di bawah 25,1% untuk
kelompok usia 4-6 tahun dan 30,8% untuk usia 7-12 tahun. Selain sebagai indikator kesehatan masyarakat, status gizi
secara individual juga berhubungan dengan penentuan prestasi akademik. Status gizi yang baik sejalan dengan prestasi
akademik yang baik pula,9 meskipun beberapa penelitian gagal menunjukkan hubungan tersebut. 10,11 Kekurangan zat
gizi secara berkepanjangan menunjukkan efek jangka panjang terhadap pertumbuhan. 12

Kelurahan Kampung Melayu merupakan wilayah yang sebagian besar penduduknya secara sosial ekonomi tergolong
rendah.13 Wilayah tersebut terletak di tepi sungai Ciliwung, yang setiap tahun mengalami banjir sehingga diperkirakan
higiene penduduk kurang baik dan keadaan itu meningkatkan kejadian infeksi yang juga mempengaruhi status gizi.
Oleh karena itu diperkirakan angka kekurangan asupan energi dan makronutrien di Kampung Melayu tergolong tinggi
dan status gizi yang kurang dari batas normal.

Hingga saat ini telah banyak penelitian yang mempelajari hubungan kecukupan asupan energi dan makronutrien
dengan status gizi. Meskipun demikian penelitian tersebut memberikan hasil yang bervariasi, bahkan saling
bertentangan, sehingga belum jelas faktor apa yang paling memengaruhi status gizi. Berdasarkan hal tersebut
dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kecukupan asupan energi dan makronutrien
dengan status gizi pada anak usia 5-7 tahun di Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur.

Metode

Desain penelitian adalah studi observasional-analitik potong lintang untuk mengetahui hubungan kecukupan asupan
energi dan makronutrien dengan status gizi pada anak usia 5-7 tahun. Data yang diperoleh adalah data sekunder dari
penelitan utama yang berjudul The effect of growing up milk with a specific night composition on sleep efficiency,
onset, and quality (REM and NREM), as well as on memory consolidation and alertness.

Populasi penelitian ini adalah semua anak usia 5-7 tahun yang datang ke Posyandu Kelurahan Kampung Melayu pada
tanggal 12 Mei hingga 13 Juni 2012. Sampel yang digunakan merupakan data yang memenuhi kelengkapan data
berupa tanggal lahir, berat badan, tinggi badan dan analisis food recall 24 jam yang terdiri atas energi, protein, lemak
serta karbohidrat. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 122 data anak.

Data dianalisis dengan perangkat lunak WHO Anthro Plus untuk menghasilkan nilai Z-score untuk masing-masing
indeks antropometri, yakni BB/U dan TB/U. Untuk masing-masing parameter digunakan batas Z-score < 2. Dari data
analisis food recall 24 jam ditentukan kecukupan asupan energi dan makronutrien menggunakan nilai batas (cut-off)
sesuai dengan Angka Kecukupan Energi (AKE), Protein (AKP), Lemak (AKL) dan Karbohidrat (AKK) tahun 2012. 14
Hubungan kecukupan asupan energi dan makronutrien dengan status gizi dilakukan dengan analisis bivariat dua
variabel kategori dikotom menggunakan uji Fisher. Nilai p<0,05 (interval kepercayaan 95%) dipilih sebagai batas
kemaknaan secara statistik.

Hasil dan Pembahasan

Rata-rata status ekonomi masyarakat Kelurahan Kampung Melayu adalah rendah dan tidak mencukupi untuk
kebutuhan primer seperti sandang, pangan dan papan. Dengan demikian status ekonomi yang berkaitan dengan daya
beli terhadap pangan akan memengaruhi asupan makanan, baik secara kuantitas (jumlah yang tidak adekuat untuk
mencukupi kebutuhan harian) maupun kualitas makanan yang kurang baik (Tabel 1). Penelitian Linda15 yang
mengklasifikasikan kondisi ekonomi keluarga menjadi miskin dan tidak miskin serta mengaitkannya dengan tingkat
kecukupan energi dan protein anak berusia 3–5 tahun menghasilkan perbedaan bermakna. Pada penelitian ini asupan
energi di bawah rata-rata nasional dan asupan lemak (86,9%) serta karbohidrat (88,5%) tidak mencukupi AKG
(gambar 1). Rata-rata asupan protein yang tinggi pada subyek penelitian diduga disebabkan oleh penelitian utama
yang memberi intervensi susu pertumbuhan yang kaya akan protein dan konsumsi tersebut turut menjadi data bagi
analisis food recall 24 jam.

8
Dari 122 subyek, 83,6% tergolong kategori normal sedangkan 16,4% tergolong kategori underweight (gambar 2).
Mengacu indeks TB/U, 87,7% tergolong kategori normal dan terdapat 12,3% kategori stunted. Data Riskesdas 2010
untuk anak usia 6-12 tahun menyatakan prevalensi stunted secara nasional adalah 20,5%, sedangkan di DKI Jakarta
adalah 14,5%.7 Data Riskesdas tersebut sejalan dengan prevalensi stunted pada penelitian ini. Indeks TB/U
merupakan parameter yang baik untuk mengetahui kekurangan zat gizi kronis, sehingga pada kedua provinsi di atas
kemungkinan akses terhadap zat makanan relatif sulit, ditambah dengan faktor sosial dan ekonomi yang memengaruhi
daya beli terhadap makanan. Diperkirakan faktor daya beli terhadap makanan, pengetahuan pengasuh terhadap gizi,
keadaan penyakit infeksi penyerta di Kelurahan Kampung Melayu sebanding dengan wilayah lain di DKI Jakarta.

9
Uji Fisher menghasilkan nilai p=0,358 antara asupan energi dengan status gizi menurut parameter BB/U, yang berarti
tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua variabel tersebut. Pada kecukupan asupan energi dan status gizi
menurut parameter TB/U didapatkan nilai p=0,733 yang juga tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Hasil tersebut
sesuai dengan penelitian Ar16 yang mengungkapkan tidak terdapat hubungan (p=0,299) antara status gizi dengan
asupan energi. Penelitian Ar16 dilakukan pada anak SD kelas 5 yang usianya sekitar 11-12 tahun di Kabupaten
Yahukimo, Provinsi Papua. Penelitian lain mengungkapkan bahwa pada anak usia 6–18 tahun yang tinggal di panti
sosial asuhan anak (PSAA), konsumsi energi merupakan variabel paling dominan dalam menentukan status gizi atau
kejadian KEP yang digambarkan dengan indeks TB/U dan BB/U.17

Pada penelitian ini pada Tabel 3, tidak ditemukan hubungan antara kecukupan asupan energi dengan status gizi
menurut indeks TB/U dan BB/U. Hal tersebut mungkin disebabkan perhitungan asupan energi yang tidak tepat, salah
satunya diduga akibat penggunaan metode food recall 24 jam yang dilakukan satu kali. Pengukuran satu kali tidak
menggambarkan asupan energi rata-rata karena terdapat variabilitas pengukuran di setiap hari yang berbeda. Diduga
terdapat pula pengaruh faktor perancu seperti keberadaan penyakit yang turut memengaruhi status gizi namun tidak
dapat ditentukan pada penelitian ini. Penyebab lainnya adalah perbedaan metode pengukuran asupan nutrisi,
perbedaan kelompok usia subyek penelitian, serta faktor lain yang berbeda antara satu penelitian dengan lainnya.

Uji Fisher terhadap variabel kecukupan asupan protein dengan status gizi menurut indeks BB/U menghasilkan nilai
p=0,024 dan terhadap indeks TB/U memberikan nilai p=0,037. Dengan demikian terdapat perbedaan bermakna antara
kecukupan asupan protein dengan status gizi.

Hasil yang bertentangan ditemukan pada penelitian Pratiwi et al 18 yang melaporkan bahwa dengan uji Pearson tidak
terdapat korelasi (r=0,220, p>0,05) antara status gizi (dengan indeks BB/TB) dengan asupan protein pada anak remaja

10
di Lapas Anak Kutoarjo. Malnutrisi energi-protein (PEM) juga berhubungan erat dengan indeks BB/TB sehingga
merupakan parameter yang baik untuk menentukan status nutrisi pada anak. 19

Uji hipotesis terhadap asupan gizi terhadap lemak keduanya tidak memberikan perbedaan tidak bermakna (p=1,000
untuk kedua variabel). Pada umumnya asupan lemak akan berhubungan dengan status gizi yang lebih, bukan kurang.
Goi20 membuktikan korelasi yang secara statistik bermakna pada analisis Pearson (r=0,532, p<0,05) antara asupan
lemak dengan IMT pada kelompok mahasiswa. Studi di China pada anak laki-laki usia di bawah 6 tahun membuktikan
bahwa terdapat kaitan antara stunted dengan asupan lemak dan protein yang rendah.21 Studi tersebut juga melaporkan
stunted pada laki-laki usia 2-5 tahun berhubungan dengan makronutrien lain seperti protein serta mikronutrien seperti
kalsium dan riboflavin. Jika terdapat hubungan positif antara asupan lemak dengan status gizi, diduga terdapat
hubungan sebaliknya, yakni asupan lemak yang kurang berhubungan secara negatif dengan status gizi. Perlu
ditentukan pula apakah terdapat infeksi yang dapat memengaruhi proses metabolisme makronutrien dan hubungan
antara asupan dan status gizinya. Perlu dipikirkan juga tentang kesalahan pengukuran asupan lemak menggunakan
food recall 24 jam yang belum tentu representatif terhadap kondisi rata-rata.

Uji Fisher untuk kecukupan asupan karbohidrat dengan indeks BB/U (p=0,462) dan TB/U (p=1,000) tidak
menunjukkan perbedaan bermakna. Karbohidrat pada komposisi diet normal merupakan penyumbang energi terbesar,
sekitar setengah dari total kebutuhan energi harian. Dalam sistem metabolisme sebagai sumber bahan bakar tubuh
karbohidrat secara langsung berhubungan dengan energi. Dengan demikian konsumsi karbohidrat dalam jumlah cukup
biasanya berhubungan dengan kecukupan asupan energi pula.
Kemungkinan yang menyebabkan tidak terdapat perbedaan bermakna adalah perhitungan asupan energi yang tidak
sepenuhnya tepat. Penentuan asupan nutrien menggunakan metode food recall 24 jam sebanyak satu kali juga dapat
merupakan sumber kesalahan sebab belum tentu menggambarkan asupan karbohidrat rata-rata atau asupan
karbohidrat dalam jangka waktu panjang yang menentukan status gizi seperti TB/U. Dengan adanya kerancuan dalam
penentuan TB/U akan memengaruhi pula pengukuran BB/U karena parameter tersebut juga dipengaruhi oleh TB/U.
Terdapat pula pengaruh faktor perancu seperti keberadaan infeksi yang turut memengaruhi status gizi dan belum dapat
ditentukan pada penelitian ini. Keberadaan infeksi akan memengaruhi keseimbangan energi dalam tubuh dan
meningkatkan pengeluaran energi akibat aktivitas infeksi.

Kesimpulan

Dari 122 subyek penelitian, 15,6% tergolong gizi buruk dan kurang, 12,3% tergolong pendek, 80,3% tidak memiliki
asupan energi yang cukup, 18,9% tidak memiliki asupan protein yang cukup, 86,9% tidak memiliki asupan lemak
yang cukup, 88,5% tidak memiliki asupan karbohidrat yang cukup. Terdapat hubungan antara kecukupan asupan
protein dengan indeks BB/U dan TB/U, namun tidak terdapat hubungan antara kecukupan asupan energi, lemak dan
karbohidrat dengan indeks BB/U dan TB/U.

11
PENGARUH PEMBERIAN JUS JERUK MANIS (Citrus sinensis) TERHADAP INDEKS KELELAHAN
OTOT ANAEROB PADA ATLET SEPAK BOLA DI GENDUT DONY TRAINING CAMP (GDTC)

Evi Kusumastuti, Nurmasari Widyastuti*)


Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Jln. Prof. H. Soedarto, SH., Semarang, Telp (024) 8453708, Email : gizifk@undip.ac.id

ABSTRACT

Background : Anaerobic muscle fatigue occurs due to high intensity activity that need a quick energy in a short time.
It resulted lactic acid which when accumulated can inhibit muscle contraction. Consumption of 30-60 grams/h
carbohydrates is able to maintain glucose levels and can keep burning rate of carbohydrates in the body so that the
occurrence of fatigue inhibited up to 30-60 minutes. Citrus fruits contain carbohydrates as an energy source and
potassium for fluid balance and electrolytes. The combination of nutrients in citrus fruit has the potential to reduce
muscle fatigue.
Objective : To analyze the effect of orange juice to decrease anaerobic muscle fatigue in football athletes.
Method : Experimental study with post test only with controlled group design. Subject for these study were twenty one
male football athlete’s between the ages 15-18 in Gendut Dony Training Camp (GDTC) devided randomly into two
groups; treatment group and control group. The subject has given 300 ml orange juice and 300 ml placebo 30 minutes
before test. Anaerobic muscle fatigue in football athletes was measured by Running-based Anaerobic Sprint Test
(RAST) to calculate Anaerobic Fatigue (AF) value. All datas were analyzed by Independent Sampel T-test.
Result : Between the two groups were not showing significant difference between ages, weight, height, body mass
index (BMI) and total food intake. Significant difference was showed in average of AF value between group. The
anaerobic fatigue average of treatment group was 6,72±3,02, and control group was 11,17±1,92.
Conclusion : Consumption of orange juice 30 minutes before exercise shows significant impact to prevent muscle
fatigue in anaerobic phase.
Keywords : orange juice, anaerobic muscle fatigue, RAST

PENDAHULUAN

Kelelahan otot didefinisikan sebagai kegagalan otot untuk mempertahankan atau menghasilkan kekuatan atau
hilangnya kemampuan otot untuk berkontraksi menghasilkan kekuatan serta sangat lambatnya relaksasi otot. 1
Kelelahan otot pada aktivitas anaerobik terjadi karena aktivitas atau intensitas tinggi yang membutuhkan energi cepat
dalam waktu yang singkat.2

Proses metabolisme secara anaerob akan menghasilkan produk sampingan berupa asam laktat yang apabila
terakumulasi dapat menghambat kontraksi otot dan menyebabkan rasa nyeri.2 Running-based Anaerobic Sprint Test
(RAST) adalah salah satu tes untuk mengukur kelelahan otot anaerobik. RAST lebih spesifik untuk tes kelelahan otot
anaerobik dalam olahraga berbasis lari.3 Sepak bola merupakan olahraga endurance berintensitas tinggi yang
membutuhkan kekuatan dan ketahanan tubuh selama 2 x 45 menit. Karena intensitas yang tinggi, atlet sepak bola
sering mengalami kelelahan dan penurunan performa sebelum pertandingan selesai. 4

Salah satu kontributor utama terjadinya kelelahan otot adalah penurunan glukosa selama latihan yang berat dan
diperpanjang.5 Saat melakukan olahraga, hati akan memecah glikogen menjadi glukosa dan melepaskannya ke aliran
darah menjadi energi.6 Glikogen otot menurun 40% sampai 90% selama pertandingan dimana glikogen otot
merupakan substrat yang paling penting untuk produksi energi, sehingga dapat dihubungkan dengan terjadinya
kelelahan otot di akhir pertandingan karena menipisnya glikogen di dalam beberapa serabut otot. 7 Berdasarkan
penelitian, dosis karbohidrat sebesar 30-60 gram/jam mampu untuk mempertahankan level glukosa dan dapat menjaga
tingkat pembakaran karbohidrat di dalam tubuh sehingga terjadinya kelelahan dihambat hingga 30-60 menit.4

Kelelahan otot juga dipengaruhi oleh zat gizi mikro yaitu kalium. Kalium merupakan elektrolit yang berfungsi untuk
keseimbangan cairan dalam tubuh dan bertanggung jawab untuk menghantarkan impuls saraf dan kontraksi otot.
Defisiensi kalium dapat mengakibatkan kelemahan otot sehingga akan menimbulkan kelelahan otot. 8 Pemberian
suplemen yang mengandung kalium untuk atlet biasanya diberikan dalam bentuk suplemen alami seperti jus buah. 9
Berdasarkan uji laboratorium, kandungan gizi pada 300 ml jus jeruk adalah 54,9 gram KH, 1,92 gram protein, 4,47
gram serat, 1,17 gram lemak, dan 237,4 mg kalium. Terdapat dua jenis karbohidrat dalam buah jeruk yaitu karbohidrat
sederhana dan karbohidrat kompleks. Karbohidrat sederhana jeruk yaitu fruktosa, glukosa dan sukrosa yang dapat
menyediakan energi secara cepat. Karbohidrat kompleksnya berupa polisakarida nonpati (secara umum dikenal

12
sebagai serat pangan) yang dapat digunakan untuk menyimpan cadangan glikogen otot.10 Kandungan karbohidrat pada
buah jeruk (18 gram/100 gr) lebih tinggi dibandingkan buah lain seperti melon (3 gram/100 gr), pepaya (7 gram/100
gr), tomat (4 gram/100 gr), anggur (7 gram/100 gr), serta alpukat (1 gram/100 gr). 11 Buah jeruk juga mengandung
kalium yang tinggi. Kalium pada jus jeruk (237,4 mg/300 ml) lebih tinggi daripada jus buah lain seperti anggur (64,8
mg/300 ml), apel (187.2 mg/300 ml), pear (208,8 mg/300 ml) dan blueberry (134,4 mg/300 ml). 12 Kalium pada buah
jeruk berfungsi untuk keseimbangan cairan dalam tubuh dan bertanggung jawab untuk menghantarkan impuls saraf
dan kontraksi otot.8 Vitamin B kompleks pada buah jeruk terlibat dalam jalur produksi energi dan dibutuhkan dalam
jumlah yang lebih tinggi untuk ketahanan atlet.13

METODE

Penelitan ini merupakan penelitian experimental dengan rancangan post test only with control group design. Variabel
terikat (dependent) dalam penelitian ini adalah nilai indeks Anaerobic Fatigue (AF). Variabel bebas (independent)
dalam penelitian ini adalah pemberian jus jeruk manis (Citrus sinensis) dengan dosis 300 ml. Perhitungan subyek
penelitian menggunakan rumus Slovin sehingga dibutuhkan 21 subyek yang dibagi menjadi 2 kelompok secara
random yaitu 11 atlet kelompok perlakuan (jus jeruk manis 300 ml) dan 10 atlet kelompok kontrol (300 ml placebo
berupa air yang ditambahkan pewarna makanan).

Subyek penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik simple random sampling dengan kriteria inklusi sebagai
berikut: subyek merupakan atlet sepak bola laki-laki usia 15-18 tahun yang berada di Gendut Dony Training Camp;
tidak mengonsumsi suplemen, vitamin, dan mineral dosis tinggi, herbal dan obat yang berkaitan dengan reaksi
inflamasi dan fungsi imun selama penelitian berlangsung; tidak dalam perawatan dokter atau pascaoperasi 6 bulan
sebelum penelitian dan bersedia mengikuti penelitian melalui persetujuan Informed Consent. Subyek dinyatakan
keluar dari penelitian apabila sakit atau mengalami cidera selama penelitian berlangsung, merokok, mengonsumsi
suplemen, vitamin, dan mineral dosis tinggi, herbal dan obat yang berkaitan dengan reaksi inflamasi dan fungsi imun
selama penelitian berlangsung.

Pemberian jus jeruk dilakukan 30 menit sebelum dilakukan uji RAST. Atlet diberikan waktu sebanyak 3 menit untuk
menghabiskan jus jeruk maupun placebo yang diberikan. Enam puluh menit sebelum tes dilakukan, subyek hanya
diperbolehkan minum air putih. Kelompok perlakuan mendapatkan jus jeruk sebanyak 300 ml, sedangkan kelompok
kontrol mendapatkan placebo berupa air yang ditambahkan pewarna makanan sebanyak 300 ml. Uji RAST
dilaksanakan pada sore hari pukul 15.30 WIB. Prosedur pelaksanaan uji RAST adalah subyek diminta melakukam
pemanasan selama 10 menit. Subyek diminta berlari sebanyak 6 kali sejauh 35 meter dengan kecepatan maksimum
dengan fase istirahat selama 10 detik setiap satu kali repetisi. Setelah didapatkan waktu lari sprint dari enam repetisi,
didapatkan data power minimum yang berupa nilai terendah diantara 6 kali repetisi, power maksimum berupa nilai
tertinggi di antara 6 kali repetisi. Data tersebut dihitung dengan rumus baku AF (Anaerobic Fatigue) dan subyek
diistirahatkan.

Pencatatan asupan makan 24 jam sebelum uji RAST dilakukan dengan metode food recall 24 jam, kemudian data
asupan makan subyek dianalisis menggunakan program nutrisurvey. Nilai indeks Anaerobic Fatigue (AF) pada atlet
didapatkan dari hasil uji RAST dengan rumus AF adalah = (Power maksimum – Power minimum) / total waktu 6 kali
sprint. Subyek dikatakan mengalami kelelahan apabila nilai AF > 10. Data nilai Anaerobic Fatigue (AF) antara
kelompok kontrol dan perlakuan diuji normalitas datanya dengan uji Saphiro Wilk karena sampel kurang dari 50.
Perbedaan rerata nilai Anaerobic Fatigue (AF) antara kelompok kontrol dan perlakuan diuji menggunakan
Independent Sampel T-test. Perbedaan dianggap bermakna apabila p<0,05.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Subyek
Karekteristik subyek penelitian dari ketiga kelompok disajikan dalam Tabel 1.

13
Hasil uji beda Mann-Whitney dari dua kelompok menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara umur, berat badan,
tinggi badan, IMT, serta total energi, karbohidrat, dan kalium (p>0,05).

Pengaruh Pemberian Jus Jeruk Manis Terhadap Indeks Kelelahan Otot Anaerob
Hasil uji RAST subyek pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 2.

Berdasarkan tabel 3 didapatkan kelompok perlakuan dengan indeks kelelahan >10 (tergolong lelah) sebanyak 2 orang
(18,18%) dan kelompok perlakuan dengan indeks kelelahan <10 (tergolong tidak lelah) sebanyak 9 orang (81,82%).
Pada kelompok kontrol didapatkan 8 orang (80%) dengan indeks kelelahan >10 (tergolong lelah) dan 2 orang (20%)
dengan indeks kelelahan <10 (tergolong tidak lelah).

Tabel 3 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) nilai indeks Anaerobic Fatigue antara kelompok
kontrol dan perlakuan. Rerata nilai indeks kelelahan otot anaerob kelompok kontrol lebih tinggi daripada kelompok
perlakuan.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok yang diberikan jus jeruk 300 ml memiliki indeks kelelahan otot
anaerob (AF) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil uji analisis Independent Sampel T-test
menunjukkan bahwa ada perbedaan nilai indeks kelelahan otot anaerob (AF) yang bermakna pada kedua kelompok.
Rerata nilai AF pada kelompok perlakuan yaitu 6,72±3,02 sedangkan kelompok kontrol yaitu 11,17±1,92 .Hal ini
dapat diartikan bahwa pemberian jus jeruk manis dapat mengurangi kelelahan otot anaerob dan penelitian ini
membuktikan hipotesis yang ada. Semakin rendah nilai AF (<10) maka dapat dikatakan bahwa atlet tidak mengalami
kelelahan sedangkan apabila nilai AF >10 maka atlet dikatakan mengalami kelelahan. 14 Running-based Anaerobic
Sprint Test (RAST) adalah salah satu tes untuk mengukur kelelahan otot anaerobik yang telah banyak digunakan
karena validitas dan realibilitasnya. RAST lebih spesifik untuk tes kelelahan otot anaerobik dalam olahraga berbasis
lari seperti sepak bola dengan melihat nilai indeks kelelahan. 3

Pada aktivitas olahraga yang dilakukan dengan intensitas tinggi dan membutuhkan power secara cepat maka
metabolisme energi tubuh akan berjalan secara anaerobik. Metabolisme energi secara anaerobik terdiri dari dua sistem
yaitu sistem phosphocreatin (PCr) dan sistem glikolisis anaerob atau dikenal dengan sistem pembentuk laktat.
Creatine (Cr) merupakan jenis asam amino yang tersimpan di dalam otot sebagai sumber energi. Di dalam otot, bentuk
creatine yang sudah terfosforilasi yaitu phosphocreatine (PCr) akan Dengan bantuan enzim creatine phospho kinase,
phosphocreatine (PCr) yang tersimpan di dalam otot akan dipecah menjadi Pi (inorganik fosfat) dan creatine.
Inorganik fosfat (Pi) yang dihasilkan melalui proses pemecahan PCr ini melalui proses fosforilasi dapat mengikat
kepada molekul ADP (adenosine diphospate) untuk kemudian kembali membentuk molekul ATP (adenosine
triphospate). Melalui proses hidrolisis PCr, energi dalam jumlah besar (2.3 mmol ATP/kg berat basah otot per
detiknya) dapat dihasilkan secara instant untuk memenuhi kebutuhan energi pada saat berolahraga dengan intensitas
tinggi yang bertenaga.15 Ketika melakukan aktivitas fisik maksimal, sistem energi ini hanya mampu bertahan sekitar
7-10 detik. Hal ini dikarenakan simpanan ATP dan PC dalam otot sangat sedikit. Pada sistem ini ATP yang tersimpan

14
di otot di gunakan pertama kali sekitar 2-3 detik dan kemudian disusul dengan PC (creatin phosphate) untuk resintesa
ATP sampai PC di dalam otot habis yang bertahan sekitar 7-10 detik.16

Sistem yang kedua adalah glikolisis anaerobik atau disebut juga sistem anaerob pembentuk laktat. Proses metabolisme
energi ini menggunakan simpanan glukosa yang sebagian besar akan diperoleh dari glikogen otot dan dari glukosa
yang terdapat di aliran darah untuk menghasilkan ATP. Prinsipnya adalah mengubah molekul glukosa menjadi asam
piruvat dimana proses ini juga akan disertai dengan pembentukan ATP. Jika ketersediaan oksigen terbatas di dalam
tubuh atau saat pembentukan asam piruvat terjadi secara cepat seperti saat melakukan sprint, maka asam piruvat
tersebut akan terkonversi menjadi asam laktat. Laktat melalui aliran darah masuk ke hati. Di dalam hati, laktat akan
diubah kembali menjadi glukosa. Glukosa kembali masuk ke dalam darah yang selanjutnya akan digunakan di dalam
otot. Di dalam otot, glukosa diubah kembali menjadi glikogen. Hal tersebut dikenal dengan siklus asam laktat atau
siklus Cori.15 Energi yang dihasilkan hanya dapat berlangsung 2-3 menit, selanjutnya akan mengalami kelelahan
akibat timbunan asam laktat dalam darah dan otot.4,17
Zat gizi yang berperan langsung dalam penelitian ini adalah karbohidrat dan kalium. Buah jeruk mengandung
karbohidrat sederhana dan karbohidrat kompleks, karbohidrat sederhana jeruk yaitu fruktosa, glukosa dan sukrosa
yang dapat menyediakan energi secara cepat. Karbohidrat kompleksnya berupa polisakarida nonpati (secara umum
dikenal sebagai serat pangan) yang dapat digunakan untuk menyimpan cadangan glikogen otot. 10 Semua jenis
karbohidrat yang dikonsumsi akan dikonversi menjadi glukosa di dalam tubuh. Pemberian karbohidrat sebesar 30-60
gram/jam mampu untuk mempertahankan level glukosa dan dapat menjaga tingkat pembakaran karbohidrat di dalam
tubuh sehingga terjadinya kelelahan dihambat hingga 30-60 menit.4 Glukosa yang terbentuk akan tersimpan dalam
aliran darah sebagai glukosa darah serta sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen di dalam hati dan otot. 10
Semakin besar cadangan glikogen dalam otot, diperlukan waktu yang lebih lama untuk menghabiskan cadangan
glikogen tersebut dan besarnya cadangan glikogen ini menentukan daya tahan otot. Bila cadangan glikogen habis,
maka otot akan mengalami kelelahan.18

Penelitian yang dilakukan di India menyebutkan konsumsi minuman berkarbohidrat (dekstrosa dan gula) 6% sebelum
latihan lari menggunakan treadmill dapat meningkatkan energi yang tersedia untuk kerja otot.19 Pada beberapa
penelitian lain menunjukkan perubahan metabolik yang berhubungan dengan pemberian cairan karbohidrat 15-60
menit sebelum latihan memiliki potensi untuk meningkatkan performa dengan menunda kelelahan atlet. 19,20,21
Penelitian menggunakan pisang raja sebagai sumber karbohidrat dan kalium untuk mencegah kelelahan otot anaerob
pada atlet sepak takraw menunjukkan adanya perbedaan rerata nilai Anaerobic Fatigue (AF) yang signifikan antara
kelompok kontrol dan perlakuan. Pemberian pisang raja sebanyak 300 gram sebelum latihan efektif untuk mencegah
kelelahan otot anaerob.22
Kandungan kalium pada buah jeruk berfungsi dalam metabolisme karbohidrat, aktif dalam metabolisme glikogen dan
glukosa, mengubah glukosa menjadi glikogen yang disimpan dalam hati untuk energi. 23 Kalium merupakan elektrolit
yang berfungsi untuk keseimbangan cairan dalam tubuh dan bertanggung jawab untuk menghantarkan impuls saraf
dan kontraksi otot.8 Mineral kalium bersama dengan natrium berperan penting dalam mekanisme kelelahan otot yaitu
berperan untuk menjaga depolarisasi sarkolemal dan membran t tubular. Gangguan pada depolarisasi sarkolemal dan
membran t tubular akan menyebabkan gangguan regulasi ion Ca+ di intrasel. Ion Ca+ berperan pada kontraksi otot
yaitu untuk membuka jembatan silang miosin sehingga mampu mengikat aktin. Gerakan pada jembatan silang akan
menyebabkan kontraksi otot.24 Perubahan elektrolit dan gangguan keseimbangan cairan didalam tubuh akan
mempengaruhi depolarisasi sarkolemal dan membran t tubular yang menyebabkan aktivasi ion Ca+ dan suplai energi
terganggu sehingga kontraksi otot melemah dan menimbulkan kelelahan otot. 25

Kalium yang terkandung dalam buah jeruk membantu menjaga keseimbangan cairan dan asam. Selain itu, juga sebagai
elektrolit yang penting bagi tubuh karena berfungsi untuk mengubah impuls saraf ke otot pada kontraksi otot dan
menjaga tekanan darah tetap normal.23 Selama berolahraga, kalium dapat diperoleh dari makanan olahraga, seperti
mengonsumsi pisang dan jeruk. Mengonsumsi makanan sumber kalium setelah olahraga durasi lama dapat mengisi
kekurangan elektrolit pada tubuh, sehingga dapat mengatasi kelelahan.26 Pemberian minuman yang mengandung
elektrolit juga diperlukan selama latihan ataupun bertanding supaya atlet tidak mengalami dehidrasi karena selama
olahraga tubuh mengeluarkan cairan yang terdiri dari berbagai elektrolit. Penggantian elektrolit yang keluar bersama
keringat bisa dengan pemberian garam pada makanan, buah dan makanan atau minuman yang mengandung kalium,
natrium dan kalsium seperti pisang, jeruk, susu dan olahan produk susu. 27

Selain itu buah jeruk sumber vitamin C yang berfungsi sebagai antioksidan, membantu untuk memerangi kerusakan
oksidatif yang dapat terjadi selama latihan endurance. Buah jeruk juga mengndung vitamin B kompleks antara lain
thiamin, niacin, vitamin B6, riboflavin, dan asam pantotenat yang terlibat dalam jalur produksi energi dan dibutuhkan
dalam jumlah yang lebih tinggi untuk ketahanan atlet.13

KETERBATASAN PENELITIAN

1. Tidak dilakukan uji asam laktat darah sebagai indikator kelelahan terutama pada fase anaerob dikarenakan biaya
yang mahal untuk pengecekan setiap sampelnya.
2. Tidak melakukan tes kebugaran dengan mengukur VO2max sebelum uji RAST.

15
3. Aktivitas fisik subyek tidak dapat dikontrol.

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rerata indeks kelelahan
otot anaerob (AF) yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pemberian jus jeruk manis 300
ml sebelum berolahraga dapat mengurangi kelelahan otot anaerob.

16
LAJU METABOLISME PADA IKAN NILA BERDASARKAN PENGUKURAN TINGKAT KONSUMSI
OKSIGEN

(The Metabolism Rate of Tilapia with Measured Oxygen Consumption)


Achmad Noerkhaerin Putra1)
1) Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,
Jl. Raya Jakarta Km. 4 Pakupatan, Serang Banten
Email: putra.achmadnp@untirta.ac.id

ABSTRACT

Metabolism is a physiological process reflecting the energy expenditure of living organisms and hence their food
requirements. This research aimed to determine the metabolic rate of tilapia with measured oxygen consumption. The
results showed that protein and fat experienced the largest decline compared with carbohydrates. Value decreased
levels of 0.47% protein, carbohydrate and fat of 0.05% and 0.42%. Respiration of Question value are the smallest in
the 36th hour. The increase in the level of oxygen consumption will be followed by increasing the metabolic rate.
Value respiration question does not necessarily indicate the rate of metabolism in tilapia.
Keywords: metabolism, oxygen consumption, tilapia

PENDAHULUAN

Metabolisme adalah semua reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup, terdiri atas anabolisme dan
katabolisme. Anabolisme adalah proses sintesis senyawa kimia kecil menjadi besar menjadi molekul yang lebih besar,
misalnya asam amino menjadi protein, sedangkan katabolisme adalah proses penguraian molekul besar menjadi
molekul kecil, misalnya glikogen menjadi glukosa. Selain itu, proses anabolisme adalah suatu proses yang
membutuhkan energi, sedangkan katabolisme melepaskan energi. Meskipun anabolisme dan katabolisme saling
bertentangan, namun keduanya tidak dapat dipisahkan karena seringkali hasil dari anabolisme merupakan senyawa
pemula untuk proses katabolisme.

Menurut Webster dan Lim (2002), metabolisme adalah perubahan atau semua transformasi kimiawi dan energi yang
terjadi di dalam tubuh. Lebih lanjut Lehninger (1982), metabolisme adalah aktivitas sel yang amat terkordinasi,
mempunyai tujuan dan mencakup berbagai kerjasama banyak sistem multi enzim. Metabolisme memiliki empat fungsi
spesifik: (1) untuk memperoleh energi kimiawi dari degradasi sari makanan yang kaya energi dari lingkungan atau
dari energi solar, (2) untuk menggabungkan unit-unit pembangun ini menjadi protein, asam nukleat, lipida,
polisakarida dan komponen sel lain dan (4) untuk membentuk dan mendegradasi biomolekul yang diperlukan di dalam
fungsi khusus sel.

Laju metabolisme adalah jumlah total energi yang diproduksi dan dipakai oleh tubuh per satuan waktu (Seeley 2002).
Laju metabolisme berkaitan erat dengan respirasi karena respirasi merupakan proses ekstraksi energi dari molekul
makanan yang bergantung pada adanya oksigen (Tobin 2005). Laju metabolism biasanya diperkirakan dengan
mengukur banyaknya oksigen yang dikonsumsi makhluk hidup per satuan waktu. Hal ini memungkinkan karena
oksidasi dari bahan makanan memerlukan oksigen (dalam jumlah yang diketahui) untuk menghasilkan energi yang
dapat diketahui jumlahnya juga. Akan tetapi, laju metabolisme biasanya cukup diekspresikan dalam bentuk laju
konsumsi oksigen. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju konsumsi oksigen antara lain temperatur, spesies hewan,
ukuran badan, dan aktivitas (Tobin 2005).

Laju metabolisme berkaitan erat dengan respirasi karena respirasi merupakan proses ekstraksi energi dari molekul
makanan yang bergantung pada adanya oksigen (Tobin 2005). Secara sederhana, reaksi kimia yang terjadi dalam
respirasi dapat dituliskan sebagai berikut:

C6H12O6 + 6O2 → 6 CO2 + 6H2O + ATP

Laju metabolisme biasanya diperkirakan dengan mengukur banyaknya oksigen yang dikonsumsi makhluk hidup per
satuan waktu. Hal ini memungkinkan karena oksidasi dari bahan makanan memerlukan oksigen (dalam jumlah yang
diketahui untuk menghasilkan energi yang dapat diketahui jumlahnya juga. Akan tetapi, laju metabolisme biasanya
cukup diekspresikan dalam bentuk laju konsumsi oksigen. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju konsumsi
oksigen antara lain temperatur, spesies hewan, ukuran badan, dan aktivitas (Tobin 2005). Penelitian ini bertujuan
untuk mengevaluasi laju metabolisme pada ikan nila dengan pengukuran tingkat konsumsi oksigen.

17
METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 6-7 Januari 2010 bertempat di Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kimia dilakukan di
Laboratorium Nutrisi Ikan dan Laboratorium Lingkungan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.

Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian adalah ikan nila monosek jantan sebanyak 20 ekor. Sebelum digunakan
dalam percobaan, ikan uji diadaptasikan terlebih dahulu, selanjutnya ikan dipuasakan selama 24 jam untuk
menghilangkan pengaruh pakan yang mungkin masih tersisa dalam ususnya. Sebelum memulai percobaan, ikan–ikan
uji diambil dari akuarium adaptasi secara acak kemudian ditimbang bobotnya.

Pemeliharaan Ikan dan Pengumpulan Data

Ikan dipelihara pada akuarium berukuran 50 x 40 x 35 cm. Akuarium ditutup dengan menggunakan plastik hitam hal
ini dilakukan dengan tujuan menghidari difusi udara dari lingkungan. Pemeliharaan ikan dilakukan selama 24 jam,
Inlet air dialirkan ke dalam akuarium dengan menggunkan pompa kemudian dari akuarium tersebut air dikeluarkan
ke lingkungan. Nilai oksigen dan karbondioksida diukur perjam pada inlet dan outlet akuarium

Analisis Kimia dan Data

Analisis proksimat dilakukan terhadap sampel ikan sebelum dan sesudah percobaan. Analisis meliputi kadar protein,
karbohidrat dan lemak. Sedangkan data yang diperoleh dibandingkan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proksimat Hewan Uji

Nilai Proksimat ikan awal pemeliharaan dan akhir pemeliharaan pada penelitian ini tersaji pada Tabel 1. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa protein, karbohidrat dan lemak nilai menurun, masing-masing untuk protein sebesar
0,47%, karbohidrat 0,05 % dan lemak 0,42%. Tingginya kebutuhan protein yang dimanfaatkan ikan disebabkan karena
ikan cenderung menggunakan protein sebagai sumber energi dibandingkan karbohidrat dan lemak untuk proses
metabolismenya.

Protein merupakan unsur yang sangat dibutuhkan oleh tubuh ikan, terutama untuk menghasilkan energi maupun untuk
pertumbuhan (Watanabe 1988). Menurut Fujaya (1999), kebutuhan protein untuk ikan berbeda-beda menurut
spesiesnya dan pada umumnya berkisar antara 20%-60%. Variasi dan kebutuhan akan protein dipengaruhi oleh jenis
ikan, umur ikan, daya cerna ikan, kondisi. lingkungan, kualitas protein, temperatur air, dan sumber protein tersebut.
Ikan membutuhkan energy secara terus menerus untuk maintenance tanpa melihat apakah ikan mengkonsumsi makan
atau tidak. Pada ikan yang dipuasakan energi untuk maintenance ini diperoleh dari hasil katabolisme cadangan tubuh
(glikogen, lemak dan protein).

Tinggi nilai penurunan protein dan lemak diduga disebabkan protein dan lemak merupakan sumber nutrien yang
paling cepat untuk dirubah menjadi energi bagi ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan NRC (1981), bahwa ikan akan
lebih mudah memperoleh energi yang berasal dari protein dan lemak daripada karbohidrat. Tingkat metabolisme pada
ikan dapat diukur melalui pengukuran tingkat konsumsi oksigennya. Panas yang diproduksi didekati melalui
pengkonversian jumlah konsumsi oksigen dengan equivalen energinya. Hasil proksimat awal dan akhir menunjukan
bahwa metabolisme pada ikan tetap. Hal ini ditunjukan dengan adanya penurunan nilai nutrien dari hasil proksimat
akhir ikan dibandingkan hasil proksimat awal. Adanya penurunan ini menunjukan bahwa tingkat metabolisme tetap
berlangsung pada ikan dan diduga metabolisme yang terjadi berupa proses katabolisme.

18
Nilai Respirasi Ouestion pada Ikan Nila

Hasil pengukuran tingkat konsumsi oksigen dan karbondioksida pada ikan nila tersaji pada Tabel 2. Hasil penelitian
menunjukkan nilai konsumsi oksigen nilainya semakin tinggi seiring dengan bertambahnya waktu. Bertambahnya
tingkat konsumsi oksigen menunjukan tingkat metabolisme pada ikan yang meningkat pula. Tingkat konsumsi
oksigen tertinggi terdapat pada pada jam ke-36 yaitu sebesar 5.5 mg/l. Hal ini diduga karena ikan mengalami stress
sehingga dibutuhkan banyak energi untuk menyesuaikan diri dengan kondisi akuarium. Meningkat tingkat konsumsi
oksigen dan pengeluaran karbondioksida menunjukan proses respirasi yang meningkat. Proses respirasi yang
meningkat ini akan menaikan laju metabolisme dari ikan terutama metabolisme basal. Menuru Halver (2002),
metabolisme basal meliputi proses respirasi, sirkukasi darah, peristaltik usus. Nilai kadar oksigen dan karbondioksida
pada inlet air nilainya tidak mengalami perubahan.

Tujuan akhir dari pernapasan adalah untuk mempertahankan konsentrasi yang tepat dari oksigen, karbondioksida dan
ion hidrogen yang tepat di dalam tubuh. Karbondioksida dan ion hidrogen mengendalikan pernapasan secara langsung
pada pusat pernapasan di dalam otak. Sedangkan penurunan oksigen merangsang aktivitas pernapasan dengan bekerja
pada kemoreseptor. Kemoreseptor tersebut kemudian mengirimkan sinyal-sinyal ke otak untuk merangsang kegiatan
pernapasan.

Peningkatan konsentrasi karbondioksida atau ion hidrogen menyebabkan penurunan pH darah. Karena itu, bila terjadi
hal demikian, ventilasi atau kegiatan pernapasan akan ditingkatkan, demikian pula penurunan konsentrasi oksigen
akan meningkatkan ventilasi. Pendugaan jumlah oksigen yang diambil dan dikeluarkan dari dan ke air dapat diketahui
melalui tingkat oksigen sebagai salah satu cara untuk menghitung pengaturan ventilasi. Jika ikan menghirup air yang
jenuh udara pada suhu 15oC dan memindahkan 30% O2, rata-rata yang dihirup dari air yang berisi ± 7 ml O2/ l dan
yang dilepaskan 5 ml O2. Jika ikan mengkonsumsi 70 ml O2/jam maka ikan harus memompa 35 liter air melalui
insang per jam.

Laju metabolisme ikan secara umum ditentukan dengan konsumsi oksigen. Laju metabolisme pada ikan yang kenyang
lebih tinggi dibanding ikan lapar, dan laju konsumsi oksigen meningkat setelah kondisi feeding ikan diperbaiki. Ketika
level oksigen terlarut (DO) dalam air rendah, food intake menjadi tertekan, dan hal ini berkaitan dengan fakta bahwa
penurunan ketersediaan oksigen sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan energi pada ikan. Penurunan food intake
pada level oksigen rendah memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan.

19
Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi respirasi. Meningkatnya suhu akan meningkatkan laju
metabolisme serta menyebabkan permintaan oksigen pada jaringan lebih tinggi. Kecepatan metabolisme ikan bawal
air tawar (Colossoma macropomum) berukuran 100 gram meningkat dari 103,7 mgO2/kg/jam pada suhu 20oC
menjadi 289,7 mgO2/kg/jam pada suhu 30oC (Rostim 2001). Oksigen yang secara terus menerus dimasukkan dalam
lingkungan budidaya dapat mengakibatkankan tingginya DO dalam perairan budidaya tersebut (Hiperoksia).
Hiperoksia dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada ikan. Paparan jangka panjang terhadap hiperoksia (145%
O2) pada juvenil Atlantic cod menyebabkan munculnya gejala bubble gas disease. Gejala yang ditemukan adalah
munculnya gas bubble pada sirip. Selain itu juga ditemukan exophthalmia, dan gas bubble pada kulit kepala. Akan
tetapi pada paparan 118% O2 dapat memperbaiki pertumbuhan juvenil Atlantic Cod. Respiratory quuotient (RQ atau
respiratory coefficiet) adalah unit angka yang digunakan dalam penghitungan basal metabolic rate (BMR) yang
diduga dari karbondioksida yang diproduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Semakin tinggi nilai konsumsi
oksigen maka nilai RQ akan semakin kecil.

KESIMPULAN

Kenaikan tingkat konsumsi oksigen akan diikuti dengan meningkatnya laju metabolisme. Semakin tinggi nilai
konsumsi oksigen akan diikuti dengan penurunan nilai RQ.

20
PROSES PEMBENTUKAN ATP MELALUI PROSES AEROBIK

Hasyim

Jurusan Pendidikan Olahraga FIK Universitas Negeri Makassar Jln. Wijaya Kusuma Raya No.14, Kampus Banta-
bantaeng Kode Pos 90222, Tlp. (0411) 872602

Abstract

Secara umum, pembentukan ATP didalam mitokondria merupakan hasil dari pemecahan glukosa atau asam lemak
(glyserol) secara aerobic menjadi asam piruvat hingga proses akhir berupa transport electron (gambar 6). Sebelum
melangkah lebih jauh dalam pembahasan perlu diketahu tentangbeberapa istilah kimia berikut: Acetyl, Acetyl-CoA,
NAD+, NADH, FAD+, dan FADH2. Acetyl merupakan kumpulan dari dua molekul karbon. Contoh dalam pemecahan
karbohidrat, asam piruvat kehilangan CO2 menjadi Asetyl yang berkombinasi dengan ko enzim A membentu acetyl-
CoA sebelum memasuki siklus krebs. Begitu juga, dalam metabolisme asam lemak, dua kelompok asetyl dibutuhkan
dalam proses beta-oksidasi dan kemudian memasuki siklus krebs. Setiap aktivitas fisik selalu memerlukan energi,
baik yang diperoleh secara anaerobic maupun secara aerobic. Secara anaerobic yang prosesnya terjadi pada sitosol,
system energi yang berkerja adalah system energi ATP-PC, dan Alactid Glycolytic. Sedangkan secara aerobic yang
terjadi intra-mitochondria diperoleh melalui tiga proses kimia yaitu (1) Aerobic glycolysis, (2) The Krebs Cycle, dan
(3) Electron Transport System (ETS). Sedangkan jumlah ATP terbanyak yang dihasilkan berasal dari system energi
aerobic yang terjadi dalam mikondria yaitu 36 ATP.

Kata Kunci: ATP, energi, aerobic

Pada proses pembentukan ATP melalui proses aerobic terjadi pada organel sel yang disebut Mitokondria. Untuk
menambah kedalaman pembahasan, selain proses pembentukan ATP intra-mitokondria, dalam subbab ini akan
dibahas juga tentang “struktur motokondria”. Pada proses dalam mitokondria dihasilkan 36 ATP (Foss, 1998; Fox dan
Bowers, 1993; Armstrong, 1995; Harper, 1996; Guyton, 1999; Ganong, 1999). Begitu besarnya ATP yang dihasilkan
dibandingan dengan kedua system energi sebelumnya, maka mitokondria dikenal juga sebagai “pabrik energi”.
Berikut ini akan dijelaskan tentang struktur mitokondria dan pembentukan ATP didalam mitokondria.

Mitokondria terbentuk dari membrana luar dan membrane dalam yang terlipat berbentuk Krista (Gambar 5). Ruang
diantara 2 membran tersebut disebut ruang intrakrista dan ruang disisi dalam membrana dalam disebut ruang matriks.
Secara umum mitochondria mengambil tempat dilokasi yang membutuhkan banyak energi. Mitokondria (gambar 4)
adalah satuan unit sel yang paling banyak ditemukan didalam sel (gambar 3) dan mempunyai peranan sebagai
penghasil tenaga, serta memiliki bentuk yang paling sempurna pada bagian-bagian sel yang memerlukan proses
penyediaan energi (Ganong, 1999).

Hasil kutipan penulis dari beberapa sumber ada empat penjelasan tentang pengertian mitochondria, yaitu: Menurut
Fox and Bower (1993 : 127) Mitochondria merupakan satuan unit sel yang berada didalam sel otot yang mempunyai
peranan sebagai tempat pemorosesan terjadinya energi. Dalam jurnal penelitian Suyanto Hadi (Guru besar fakultas
kedokteran Universitas Diponegoro, spesialis rematologi bagian dalam menjelaskan Mitokondrion (jamak
mitokondria: berasal dari bahasa Inggris yaitu mitochondrion, mitochondria) yang artinya adalah bagian sel
(kompartemen) atau organel tempat proses perubahan sistem (konversi) energi dalam bentuk molekul ATP (adenosine
triphosphate) yang dibutuhkan berbagai aktivitas fungsi sel tubuh. (http. www.kalbefarma.com/cdk). Mitokondria
berasal dari kata Yunani mito yang berarti benang, dan chondrion yang berarti seperti granul (butiranbutiran), dapat
diartikan sebagai organela yang memiliki DNA dengan rangkaian butir-butir yang tersusun seperti benang.
(Penjelasan Prof Xavier Leverve pada Pertemuan Ilmiah Tahunan II Spesialis Kedokteran Okupasi (PERDOKI) 19
Februari 2005 di FKUI (http://www.kalbefarma.com).

Pada dasarnya mitokondria itu merupakan struktur yang dapat memperbanyak dirinya sendiri, yang berarti bahwa satu
mitokondria dapat membentuk mitokondria kedua, ketiga dan seterusnya, hal ini diperlukan oleh sel untuk
meningkatkan jumlah ATP-nya (Guyton, 1996). Ukuran dan bentuk mitokondria ternyata berbeda-beda, beberapa
diantaranya hanya berdiameter sebesar beberapa ratus milimikron, dan bentuknya globular, sedangkan yang lain
diameternya dapat mencapai 1 mikron hingga 7 mikron dan berbentuk filamen (Guyton, 1996). Meskipun morfologi
mitokondria dari sel ke sel bervariasi, namun tiap mitokondria pada dasarnya mempunyai struktur yang menyerupai
sosis, yang mempunyai membran luar (outer membrane) dan membran dalam (inner membrane) dan yang terliapt-
lipat membentuk rak disebut cristae. Ruang yang terdapat diantara dua membran dinamakan ruang intra cista atau
inter membrane dan ruang yang terdapat disisi dalam pada inner membrane disebut ruang matriks. Membran luar
mitokondria terdapat enzim yang berkaitan dengan oksidasi biologi, menyediakan bahan mentah untuk terjadinya
reaksi didalam mitokondria. Sedangkan enzim yang mengkonversi hasil-hasil karbohidrat terdapat pada siklus Krebs
(Tricarboxylat acyd Cycle, atau TCA cycle) serta gula dan air (Sheeler & Bianchi, 1996).

21
Ukuran Mitokondria kira-kira sama dengan bakteri. Pada hepar agak memanjang 0,5-1,0 um x 3 um. Mitokondria
seperti juga sel-sel yang lain (benda bebas di sitosol) seperti pada ginjal, pancreas. Bila mitochondria terdapat pada
tempat yang terbatas, bentuknya lebih bervariasi. Mitokondria memiliki dua dinding yaitu outer dan inner membran.
Dalam memasukkan protein kedalam matrik mitokondria terjadi mekanisme khusus. Pada mitokondria menurut Jutta,
B. Mathias, F. Bauer Hans, G.S. Cristian, C.D. Walter, N and Bruner, M (1995) membran bagian luar mitokondria
mengandung sebuah protein komplek (MOM Complex) dan membrane dalam (Mim Complex) memiliki fungsi
sebagai bagian mesin pengimport protein. Secara lebih jelas lagi, oleh Guyton, (1999), Sherwood, (2001) struktur
mitokondria dijelaskan sebagai berikut: Membran luar, Membran luar mengandung protein transport yang disebut
porin. Porin membentuk saluran yang berukuran relatif lebih besar di lapisan ganda lipid membran luar; sehingga
membran luar dapat dianggap sebagai saringan yang memungkinkan lolosnya ion maupun molekul kecil berukuran 5
kDa atau kurang, termasuk protein berukuran kecil. Molekul-molekul tersebut bebas memasuki ruang antar membran,
namun sebagian besar tidak melewati membran dalam yang bersifat impermeabel. Ini berarti bahwa dalam hal
kandungan molekul kecil, di ruang antar membran bersifat ekuivalen dengan sitosol sedangkan di ruang matriks
berbeda. Protein yang terletak pada membran luar meliputi berbagai enzim yang terlibat dalam biosintesis lipid
mitokondria dan enzim-enzim yang mengubah substrat lipid menjadi bentuk lain untuk selanjutnya dimetabolisme di
matriks mitokondria. Membran dalam dan Krista, Membran dalam dan matriks mitokondria terkait erat dengan
aktivitas utama mitokondria yaitu terlibat dalam siklus asam trikarboksilat, oksidasi asam lemak dan pembentukan
energi. Rantai respirasi terdapat dalam membran dalam ini. Ruang antar membrane, Ruang antar membran adalah
ruang yang berada di antara membran luar dan membran dalam mitokondria. Ruang ini mengandung sekitar 6% dari
total protein mitokondria dan beberapa enzim yang bekerja menggunakan ATP (adenosine triphosphate) yang tengah
melewati ruang tersebut untuk memfosforilasi nukleotida lain. Matriks, Sebagian besar (sekitar 67%) protein
mitokondria dijumpai pada bagian matriks. Enzim-enzim yang dibutuhkan untuk proses oksidasi piruvat, asam lemak
dan untuk menjalankan siklus asam trikarboksilat terdapat pada matriks ini. Rantai respirasi, Rantai respirasi dan
inhibitornya dapat dilihat pada Tabel 3 yang juga merupakan ringkasan jalur metabolik mitokondria. Semua kompleks
ini berada di membran dalam dan mereka dapat dicapai oleh substrat baik yang berada pada membran maupun pada
matriks. Telah diketahui pula berbagai inhibitor rantai respirasi dan efek kliniknya yang dapat dianggap sebagai
pengetahuan awal dari mitochondrial medicine.

Tabel 3. Kompleks enzim respirasi mitokondria, sub unit yang disintesa oleh mitokondria dan inhibitor rantai respirasi.

22
Pembentukan Atp Intra-Mitochondria

Secara umum, pembentukan ATP didalam mitokondria merupakan hasil dari pemecahan glukosa atau asam lemak
(glyserol) secara aerobic menjadi asam piruvat hingga proses akhir berupa transport electron (gambar 6). Sebelum
melangkah lebih jauh dalam pembahasan perlu diketahu tentangbeberapa istilah kimia berikut: Acetyl, Acetyl-CoA,
NAD+, NADH, FAD+, dan FADH2. Acetyl merupakan kumpulan dari dua molekulkarbon. Contoh dalam pemecahan
karbohidrat, asam piruvat kehilangan CO2 menjadi Asetyl yang berkombinasi dengan ko enzim A membentu acetyl-
CoA sebelum memasuki siklus krebs. Begitu juga, dalam metabolisme asam lemak, dua kelompok asetyl dibutuhkan
dalam proses beta-oksidasi dan kemudian memasuki siklus krebs. Sedangkan, metabolisme asam amino lebih
kompleks lagi karena hanya beberapa dari asam pemecahan asam amino yang dapat memasuki siklus krebs. NAD+
,(nicotinamide adenine dinucleotide) dan FAD+ (flavin adenine dinucleotide) merupakan reseptor hydrogen dan
mengangkutnya. Sedangkan NADH dan FADH diturunkan dari NAD+ dan FAD+ yang berfungsi membawa electron
ke system transport electron (Fox dan Bowers, 1993).

Pada dasarnya terdapat beberapa reaksi sistem aerobik yang terjadi di dalam mitokondria, yaitu: (1) Aerobic
glycolysis, (2) The Krebs Cycle, dan (3) Electron Transport System (ETS) (Foss, 1998; Fox dan Bowers, 1993;
Armstrong, 1995; Harper, 1996; Guyton, 1999; Ganong, 1999). Glikolisis Aerobik, Reaksi pertama adalah pemecahan
glikogen menjadi CO2 dan H2O disebut glikolisis. Pada dasarnya, hanya terdapat satu perbedaan antara proses
glikolisis anaerobic dengan aerobic, yaitu pada glikolisis aerobic tidak terjadi akumulasi asam laktat (Coyle, 1984).
Dengan kata lain, terdapatnya aksigen menghambat terbentuknya asam laktat, tetapi tidak terjadi proses pembentukan
kembali ATP. Dalam glikolisis, hasil akhinya berupa dua molekul asam piruvat, dua ATP dan 4H. Secara singkat
dapat dituliskan dalam rumus kimia berikut:

Glukosa + 2 ADP + 2PO4 2 Asam piruvat + 2 ATP + 2ATP dan 4H

Asam piruvat yang terbentuk kemudian dikonversi menjadi molekul asetikoenzim A (asetil KoA). Dalam proses
konversi ini, tidak terbentuk ATP, tetapi 4 atom hydrogen yang dilepaskan akan membentuk 6 molekul ATP jika
keempat atom hydrogen tersebut di oksidasi, seperti yang akan dibahas dalam siklus asam sitrat atau siklus Krebs.
Siklus Asam Sitrat atau Siklus Krebs. Tahap selanjutnya dalam degradasi molekul glukosa dalam mitokondria disebut
siklus asam sitrat (juga disebut sebagai siklus asam trikarbosilat atau siklus krebs) (Foss, 1998; Fox dan Bowers, 1993;
Armstrong, 1995; Harper, 1996; Guyton, 1999; Ganong, 1999). Siklus ini merupakan suatu urutan reaksi kimia
dimana gugus asetil dari asetil-KoA dipecah menjadi karbon dioksida dan atom hydrogen. Reaksi ini terjadi di dalam
matrik mitokondria. Gambar 7 memperlihatkan urutan reaksi asam sitrat ini. Penjelasan dari rangkaian proses kimia

23
di atas adalah sebagai berikut: Pemecahan asam piruvat menjadi CO2 dan H2O di dalam mitochondria dengan
mempergunakan O2.Setiap molekul asam piruvat kehilangan atom karbon dan 2 atom oksigen sebagai CO2. Pada
bersamaan setiap molekul asam piruvat dioksidasi dengan adanya NAD+, dan kehilangan 2 elektron dan 2 ion H.
Elektron sangat penting untuk produksi ATP. Dua molekul karbon yang tersisa setelah setiap molekul asam piruvat
kehilangan CO2, elektron dan ion hidrogen dinamakan kelompok asetil dan kemudian bergabung dengan kelompok
lain dinamakan “Ko enzim A (Co A) untuk membentuk asetil Ko A. (reaksi “A”).

Setiap molekul asetil Ko A kemudian masuk ke reaksi rangkaian daur yang dinamakan “daur kreb”. Pada gambar
dapat dilihat bahwa Asetil Ko A bergabung dengan asam oksaloasetat dan kehilangan molekul koenzim A. Hasil
reaksinya molekul Asam sitrat. Asam sitrat kemudian dikonversi menjadi asam sis-asonitat dan selanjutnya diubah
menjadi asam isositrat. Reaksi “B” Asam isositrat (dengan bantuan pengangkut elektron, NAD+) menjadi asam
oksalosuksinat. Pada reaksi “C” Asam oksalosuksinat melepaskan molekul CO2 dan menjadi asam Alfa-ketoglutarat.
Pada reaksi “D” dilepaskan kembali karbon yaitu pada waktu asam alfa-ketoglutarat mengalami oksidasi dengan
NAD+ dan kehilangan CO2 ketika menghasilkan 1 ATP. Didalam reaksi “E” pengangkut elektron adalah FAD (Flavin
Adenin Denukleotida).

Pada reaksi “F” Asam oksaloasetat mengalami regenerasi dan dapat dimulai dengan yang baru lagi. Untuk
menghasilkan sejumlah ATP yang lebih besar melalui pemecahan asam piruvat secara aerobik, elektron dan ion
hidrogen dikeluarkan ke perangkat elektron NAD dan FAD dan harus diangkut ke oksigen melalui sistem transport
electron (Armstrong, 1995; Guyton, 1999; Ganong, 1999). Sistem Tranpor Elektron (ETS. Setelah siklus asam sitrat
selesai maka proses selanjutnya adalah system transpor electron (ETS). Menurut Armstrong, 1995; Guyton, 1999; dan
Ganong, 1999, penjelasan rangkaian reaksi di atas sebagai berikut: Pada sistem transport elektron ion hidrogen dan
elektron ditransfer dari persenyawaan yang satu ke persenyawaan berikutnya. Energi kimia dibebaskan pada 3 langkah
(A, D, G) untuk menyediakan energi dalam pembentukan ATP dari ADP dan kelompok fosfat. Hilangnya elektron
(oksidasi) pada waktu mengalami berbagai persenyawaan adalah bertanggung jawab untuk mengikat fosfat
(fosforilasi) terhadap ADP untuk membentuk ATP di dalam mitokondria berhubungan dengan oksidasi molekul yang
berurutan dua dalam sistem transport elektron yang diketahui sebagai “fosforilasi oksidasi” (oxidative
phosphorylation). Proses ini menyediakan jumlah ATP yang terbesar untuk kontraksi otot. Reaksi “A” terjadi oksidasi
NADH dan pada reaksi “B” adalah Flavoprotein H2 yang mengalami reaksi pada A, sekarang mengalami oksidasi.
Dari sini sampai langkah H hanya elektron yang ditransfer diantara persenyawaan, sedangkan 2 ion hidrogen (H+)
yang telah terikat ke flavoprotein H2 sekarang masuk ke dalam larutan dan dapat dipergunakan lagi pada H, pada
reaksi oksidasi-reduksi.

Oksigen dari darah menerima 2 elektron dari persenyawaan “G” (cytochrome oxidase) dan bergabung dengan larutan
ion Hidrogen (H+) untuk membentuk air (H2O). Berdasarkan dari keterangan proses pembentukan ATP secara aerobic
intra-mitochondria di atas, maka dapat disederhanakan tentang jumlah ATP yang dihasilkan oleh tiap Reasksi, yaitu
sebagai berikut:

Sedangkan rangkaian keseluruhan dalam proses pembentukan ATP dari pemecahan glukosa di dalam mitokondria
adalah sebagai berikut: ATP dari pemecahan Glukosa secara Aerobik. Adaptasi Mitokondria Terhadap Latihan
Aerobik. Penelitian pertama kali yang dilakukan pada tikus muda yang latih dengan berlari di treadmill selama 5
hari/minggu telah berhasil menunjukkan bahwa latihan aerobic berpengaruh dalam peningkatan jumlah mitokondria
dalam otot skelet (Holozzy, 1967). Untuk memberikan peningkatan yang berarti, kecepatan dan durasi latihan
ditingkatkan secara bertahap, Setelah tiga minggu, tikus berlari dengan kecepatan 31m/menit, dengan suduk
kemiringan treadmill 80, dan total waktu berlari 120 menit per hari. Latihan dilakukan secara interval dengan 12 kali
interval, 10 persesi, istirahat 30 detik diantara sesi interval dan kecepatan interval lari 42 m/menit. Hasil dari penilitian
ini adalah terjadi peningkatan kemampuan dayatahan aerobic yang sangat besar.

24
Penemuan hasil tersebut didukung dengan ditemukan bukti bahwa jumlah mitokondria dalam sel otot skelet menjadi
lebih banyak dari pada sebelum latihan (Coyle, dkk. 1984). Selain itu, Succinate dehidrogenase, NADH
dehidrogenase, NADH-cytocrom c reductase, dan aktivitas cytocrom oksidase per gram otot meningkat duakali lipat
sebagai respon atas latihan yang telah dilakukan (Holozzy, 1967). Konsentrasi cytocrom c juga meningkat duakali
lipat, ini merupakan bukti bahwa protein enzim dalam mitokondria juga meningkat. Jumlah total protein dalam
mitokondria meningkat 60%. Secara umum peningkatan kapasitas respirasi sel meningkat, karena meningkatnya
tingkat respon enzyme terhadap aktivasi, transport, dan β oksidasi asam lemak. Enzim yang digunakan dalan oksidasi
keton, sklus asam sitrat juga meningkat.

Gambar. A. ilustrasi pembentukan energi di dalam mitokondria, dan B.ilustrasi pembentukan

Sedangkan perubahan komposisi mitokondria, selain peningkatan enzim yang mencapai tiga kali lipat, adalah
peningkatan protein motokondria seperti creatine kinase, adenylate kinase, dan alfa-glyserophosphate dehydrogenase
yang berperan dalam peningkatan kapasitas respirasi otot (Coyle, dkk. 1984). Peningkatan komposisi ini, membuat
mitokondria tampak lebih besar.

Latihan Berdasarkan Sistem Energi. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa dalam tubuh manusia berkeja
dua system energi utama yaitu system energi anaerobic dan aerobic. Aktivitas dalam suatu cabang olahraga, sangat
bervariasi.

Hal ini menyebabkan jenis system energi predominan dalam tiap cabang olahraga juga berbeda. Dengan mengetahui
system energy yang bekerja dalam cabang olahraga tertentu, maka latihan tidak akan menjadi sia-sia (Bompa, 1999).
Bagaimana mungkin, seorang sprinter yang sebagian besar energy diperloleh dari system energy anaerobic dilatih
dengan lari jarah jauh, tentunya ini sangat tidak sesuai dengan prinsip kekhususan dalam latihan (Hare, 1982; Quinn,
2006). Untuk membedakan system energy yang bekerja pada suatu aktivitas fisik, dapat digunakan acuan waktu dalam
melakukan aktivitas sebagai panduaanya, sebagaimana di jelaskan di bawah ini:

Tabel 3. Perkiraan durasi waktu dan klasifikasi system energi yang bekerja menurut fox dan bower, 1993.

Tabel 4. Perkiraan system energi yang bekerja pada tubuh pada durasi waktu tertentu

25
Latihan untuk system anaerobik (ATP-PC). Untuk membentuk kemampuan ini, sesi latihan dilakukan selama 4 sampai
7 detik dengan intensitas kerja tinggi mendekati puncak kecepatan. 3 × 10 × 30 meter dengan rekavery 30 detik/repetisi
dan 5 menit per set, 15 × 60 meter dengan 60 detik rekavery, 20 × 20 meter shuttle runs dengan 45 detik rekavery.
Latihan untuk system laktat anaerobic. Ketika PC yang ada dalam otot telah habis, maka akan dilakukan pemecahan
glukosa secara anaerobic agar kebutuhan ATP tetap terpenuhi. Pemecahan dalam keadaan ini, menyebabkan
akumulasi asam laktat dan hydrogen dalam otot yang menyebabkan capek. Salah satu contoh latihan untuk membentuk
system ini adalah: 5 - 8 × 300 m fast - 45 detik rekavery – sampai pace terlihat sangat lambat, 150 m intervals pada
400 m pace - 20 s rekavery - sampai pace terlihat sangat lambat, 8 × 300 m - 3 menit rekavery (lactate recovery
training). Terdapat tiga jenis didalam kerja system energi ini, yaitu: Speed Endurance, Special Endurance 1 and
Special Endurance 2. Setiap unit dapat dibentuk melalui cara sebagai berikut:

Tabel 4. Perkiraan system energi yang bekerja pada tubuh pada durasi waktu tertentu Latihan Aerobik.

Sistem energi aerobic menggunakan protein, lemak, dan karbohidrat (glikogen) dalam membentuk kembali ATP.
System Energy ini dapat dibentuk dengan berbagai intensitas (tempo). Jenis tempo berlarinya adalah sebagai berikut:
Continuous Tempo – berlari lama tapi pelan pada 50 sampai 70% dari detak jantung maksimal. Disini membutuhkan
glikogen otot dan glikogen dalam hati. Respon normal dari system ini adalah meningkatkan simpanan glikogen dalam
otot dan hati serta aktivitas glikolisis yang juga meningkat. Extensive Tempo – berlari terus menerus pada 60 to 80%
detak jantung maksimal. Latihan ini sudah menyebabkan akumulasi laktat. Respon normal dari system ini adalah
meningkatkan kemampuan tubuh dalam menoleransi laktat serta melatih kerja system dalam mengolah kembali asam
laktat yang terbentuk. Intensive Tempo - berlari terus menerus pada 80 to 90% detak jantung maksimal.. Pada latihan
ini akan terjadi akumulasi laktat yang sangat tinggi, latihan ini juga membentuk speed endurance dan special
endurance serta daya tahan anaerobic.

Bentul latihan untuk membentuk system ini: Lari 4 -6 × 2 to 5 menit - 2 - 5 menit rekavery, 20 × 200m - 30 s rekavery,
10 × 400m - 60 - 90 s rekavery, lari 5 - 10 km

KESIMPULAN

Setiap aktivitas fisik selalu memerlukan energi, baik yang diperoleh secara anaerobic maupun secara aerobic. Secara
anaerobic yang prosesnya terjadi pada sitosol, system energi yang berkerja adalah system energi ATP-PC, dan Alactid
Glycolytic. Sedangkan secara aerobic yang terjadi intra-mitochondria diperoleh melalui tiga proses kimia yaitu (1)
Aerobic glycolysis, (2) The Krebs Cycle, dan (3) Electron Transport System (ETS). Sedangkan jumlah ATP terbanyak
yang dihasilkan berasal dari system energi aerobic yang terjadi dalam mikondria yaitu 36 ATP.

26
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Setiap aktivitas fisik selalu memerlukan energi, Kenaikan tingkat konsumsi oksigen akan diikuti dengan
meningkatnya laju metabolisme yang menghasilkan energi baik yang diperoleh secara anaerobic maupun
secara aerobic. Secara anaerobic yang prosesnya terjadi pada sitosol, system energi yang berkerja adalah
system energi ATP-PC, dan Alactid Glycolytic. Sedangkan secara aerobic yang terjadi intra-mitochondria
diperoleh melalui tiga proses kimia yaitu (1) Aerobic glycolysis, (2) The Krebs Cycle, dan (3) Electron
Transport System (ETS). Sedangkan jumlah ATP terbanyak yang dihasilkan berasal dari system energi
aerobic yang terjadi dalam mikondria yaitu 36 ATP.

27
DAFTAR PUSTAKA

Wahyuni, dkk. 2008. Kajian Nilai Energi Metabolis Biji Sorghum Melalui Teknologi Sangrai Pada Ayam Petelur
Periode Afkir (Evaluation of metabolic energy value of roasted sorghum in culled laying chickens) Hanny
Indrat. Agripet vol. 8 No. 1 April 2008

Evan, dkk. 2013. Hubungan Kecukupan Asupan Energi dan Makronutrien dengan Status Gizi Anak Usia 5-7 Tahun
di Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur Tahun 2012. eJKI Vol. 1 No. 3 Desember 2013.

Kusumastuti, Evi dan Widyastuti, Nurmalasari. 2016. Pengaruh Pemberian Jus Jeruk Manis (Citrus Sinensis)
Terhadap Indeks Kelelahan Otot Anaerob Pada Atlet Sepak Bola Di Gendut Dony Training Camp (GDTC).
Journal of nutrition college Vol. 5 No. 4 tahun 2016.

Putra, Achmad Noerkhaerin. 2015. Laju Metabolisme Pada Ikan Nila Berdasarkan Pengukuran Tingkat Konsumsi
Oksigen. Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 5 No. 1 : 13-18. Juni 2015

Hasyim. 2010. Proses Pembentukan ATP Melalui Proses Aerobik. Jurnal ILARA, Volume I, Nomor 2, Desember
2010, hlm. 17 -26

28

Anda mungkin juga menyukai