Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA

TAHUN 2014

TEMPERATURE HUMIDITY INDEX DAN RESPON BIOLOGI


KELINCI JANTAN (Lepus nigricollis) YANG DIPELIHARA DENGAN
LUAS LANTAI KANDANG DAN DIBERI RANSUM DENGAN IMBANGAN
ENERGI DAN PROTEIN BERBEDA

TIM PENELITI

1. ENY PUSPANI, S.Pt.,MSi (Ketua)


NIDN: 0004057911
2. Ir. NI GUSTI KETUT RONI, M.Si
NIDN: 0025077003

Dibiayai dari Dana PNBP Universitas Udayana Tahun Anggaran 2014


dengan Surat Penugasan Penelitian Nomer:
237-58/UN14.2/PNL.01.03.00/2014
Tanggal 14 Mei 2014

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014

1
i

2
TEMPERATURE HUMIDITY INDEX DAN RESPON BIOLOGI
KELINCI JANTAN (Lepus nigricollis) YANG DIPELIHARA DENGAN
LUAS LANTAI KANDANG DAN DIBERI RANSUM DENGAN IMBANGAN
ENERGI DAN PROTEIN BERBEDA

Eny Puspani, N.G.K. Roni, dan I.M. Nuriyasa


Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar
Jln. PB. Soedirman, Denpasar-Bali
eny_fapet@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian yang bertujuan mempelajari temperature humidity index dan


performans kelinci jantan lokal pada kepadatan ternak berbeda dan diberi ransum
dengan imbangan energi protein berbeda telah dilakukan dengan menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola Faktorial 2 x 3 dengan empat kali ulangan
(blok). Sebagai perlakuan pertama adalah imbangan energi dan protein pada ransum
(R) yang terdiri dari ransum dengan kandungan energi termetabolis 2500 kkal/kg
dan protein kasar 17% dengan imbangan energi dan protein 147 (R1), ransum
dengan kandungan energi termetabolis 2800 kkal/kg dengan kandungan protein
kasar 18,5% dengan imbangan energy dan protein 151 (R2). Sebagai perlakuan
kedua adalah luas lantai kandang (L) yang terdiri dari 3500 cm2 (L1), 1750 cm2 (L2)
dan 1166 cm2 (L3).
Hasil penelitian mendapatkan bahwa iklim mikro pada perlakuan tingkat
kepadatan ternak dan ransum dengan imbangan energi dan protein yang berbeda
memberikan pengaruh tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap kelembapan udara,
temperatur udara, “temperature humidity index” dan radiasi matahari. Performans
pada perlakuan ransum dengan imbangan energy dan protein R1 menyebabkan
konsumsi air, ransum, berat badan akhir dan pertambahan berat badan lebih tinggi
(P<0,05) dibandingkan perlakuan R2 sedangkan FCR yang memberikan pengaruh
tidak berbeda nyata (P>0,05). Performans pada perlakuan tingkat kepadatan ternak
L2 dan L3 menyebabkan konsumsi air dan ransum lebih tinggi sehingga berat badan
akhir pada kandang L2 dan L3 juga lebih tinggi dibandingkan L1 kecuali
pertambahan berat badan dan FCR memberikan pengaruh tidak berbeda nyata
(P>0,05).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan tidak terjadi perbedaan iklim
mikro pada kandang dengan perlakuan ransum dengan imbangan energi dan protein
berbeda serta perlakuan dengan tingkat kepadatan ternak berbeda. Kelinci yang
diberi ransum dengan imbangan energi dan protein 147(R1) menghasilkan
performans lebih tinggi daripada imbangan energi dan protein 151 (R2). Kelinci
yang dipelihara pada tingkat kepadatan ternak 2 ekor/3500 cm2 menghasilkan
performans lebih tinggi daripada tingkat kepadatan ternak 1 ekor dan 3 ekor/3500
cm2.

Kata kunci : Kelinci, kepadatan ternak, imbangan energi protein ransum,


temperature humidity index, performans.

iii3
TEMPERATURE HUMIDITY INDEX AND BIOLOGICAL RESPONSES
WHICH TREATED IN RABBIT DENSITY AND GIVEN FEED WITH
DIFFERENT PROTEIN AND ENERGY BALANCE

ABSTRACT

An experiment was carried out to study temperature humidity index and


rabbits performance which treated in rabbit density and given feed with different
protein and energy balance has been conducted with Randomized Block Design
(RBD) 2 x 3 factorial with 4 replication. The first factor is diet with different energy
and protein balance (R) which is consist of a feed with balance of energy and protein
147 (R1), balance of energy and protein 151 (R2). The second factor is the rabbit
density (L) consisting of 3500 cm2 (L1), 1750 cm2 (L2) and 1166 cm2 (L3).
The result show that, the microclimate in the treatment on rabbit density and
balance rations with different energy and protein effect was not significantly
different (P>0,05) against relative humidity, air temperature, the temperature
humidity index, and solar radiation. The performance on different energy and
protein balance (treatment R1) causing water and feed consumption, final weight
and weight gain so higher compare to feed treatment R2 while FCR were not
significantly different effect (P>0,05). The performance on rabbit density treatment
L2 and L3 causing higher water consumption and feed so that the final weight on the
density L2 and L3 also higher than L1 except weight again and FCR were not
significantly different effect (P>0,05).
Thus, it is concluded that diet with energy and protein balance and rabbit
density did not effect on cage microclimate. Rabbit which treatment of energy and
protein balance 147 (R1) to performance result higher than treatment of energy and
protein balance 151 (R2). Rabbits that treated in rabbit density of 2 head/3500 cm 2 to
performance result higher than which rabbit density of 1 head and 3 head/3500 cm2.

Key words : Rabbit, rabbit density, energy protein balance, temperature humidity
index, performance.

iv4
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan Syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas Rachmat yang

diberikan kepada penulis, sehingga penelitian sampai penyusunan laporan ini dapat

terselesaikan tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini, kami tim peneliti dan

penyusun laporan ini tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada :

1. Rektor Universitas Udayana, melalui Ketua Lembaga Penelitian dan

Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unud, atas dana yang diberikan

sehingga penelitian sampai penyusunan laporan ini dapat terselesaikan tepat

pada waktunya.

2. Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana, atas ijin dan fasilitas yang

diberikan selama penelitian.

3. Kepala Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan

Unud., atas ijin dan fasilitas yang diberikan selama penelitian.

4. Teman-teman yang telah banyak membantu selama pengambilan data

penelitian.

Semoga laporan hasil penelitian ini ada manfaatnya bagi kita semua. Segala

saran dan kritik untuk kesempurnaan laporan ini, sangat kami harapkan. Sebelum

dan sesudahnya, penulis ucapkan banyak terimakasih.

Denpasar, Oktober 2014


Hormat Kami,

Penulis

v5
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ii
ABSTRAK iii
ABSTRACT iv
UCAPAN TERIMAKASIH v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL vii
I PENDAHULUAN 8
1.1.Latar Belakang……………………………………………. 8
1.2.Perumusan Masalah……………………………………….. 9
II TINJAUAN PUSTAKA 10
2.1.Sejarah Peternakan Kelinci……………………………….. 10
2.2.Potensi Ternak Kelinci …………………………………… 11
2.2.Iklim Mikro dan Produktivitas Ternak Kelinci…………… 12
2.3.Luas Lantai Kandang …………………………………….. 14
2.4.Imbangan Energi dan Protein Ransum …………………. 16
III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 19
3.1.Tujuan Penelitian………………………………………….. 19
3.2. Manfaat Penelitian……………………………………….. 19
IV METODE PENELITIAN 20
4.1.Rancangan Percobaan……………………………………... 20
4.2.Variabel Penelitian………………………………………... 21
4.2.1.Variabel Iklim Mikro…………………………………… 21
4.2.2 Variabel Fisiologi………………………………………. 22
4.2.3 Variabel Hematologi…….……………………………... 24
4.2.4 Variabel Performan Produksi…………………………… 24
4.3 Analisis Statistik………………………………………... 26
V HASIL DAN PEMBAHASAN 27
5.1.Hasil………………………………………………………. 27
5.2 Pembahasan ……………………………………………… 31
VI SIMPULAN DAN SARAN ………………………………….. 34
6.1 Simpulan …………………………………………………. 34
6.2 Saran …………………………………………………….. 34
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vi6
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Kandungan Protein, Lemak dan Energi Berbagai Jenis 12


Daging.........................

4.1 Komposisi Bahan Penyusun Ransum Penelitian......................... 20

4.2 Kandungan Nutrien Ransum Penelitian ………….. 21

5.1 Pengaruh Imbangan Energi dan Protein terhadap Iklim Mikro Kandang
Respon Fisiologi, Respon Hematologi, Performans dan kecernaan
Ransum Kelinci Jantan Lokal …………………………………………… 28

5.2 Pengaruh Kepadatan Ternak terhadap Iklim Mikro Kandang, Respon


Fisiologi, Respon Hematologi, Performans dan Kecernaan Ransum
kelinci Jantan Lokal ……………………………………………….. 30

7
vii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Swasembada protein hewani akan mengalami sedikit hambatan jika hanya


mengandalkan sumber protein hewani dari ternak ruminansia besar. Ternak
ruminansia besar seperti sapi misalnya memerlukan lahan yang lebih luas dari
daripada ternak kelinci. Pengembangan usaha peternakan kelinci merupakan
trobosan strategis dalam bidang peternakan untuk mempercepat tercapainya
swasembada pangan khususnya daging pada tahun 2014, karena tidak memerlukan
lahan yang luas dan efisiensi penggunaan ransumnya cukup tingggi. Zerrouki et al.
(2008) menyatakan nilai konversi ransum ternak kelinci berkisar 3 – 4. Ternak
kelinci mempunyai keunggulan dalam kualitas daging kerena kandungan protein
daging tinggi dan rendah lemak.

Dibalik karakteristik unggul yang dimiliki, ternak kelinci juga memiliki


faktor penghambat yaitu sensitif terhadap perubahan faktor lingkungan terutama
cekaman panas (hyperthermia) dan kualitas ransum. Temperatur ideal ternak kelinci
adalah 15 0C sampai 20 0C. Bali termasuk beriklim tropika basah, dengan
temperatur berkisar 21,87 oC sampai 31.13 oC dan kelembaban udara berada pada
rentang 79% - 86% (BMKG, 2013) yang sesungguhnya kurang ideal untuk
pengembangan ternak kelinci. Penggunaan luas lantai kandang dan pemberian
imbangan energi dan protein yang tidak sesuai dengan kebutuhan optimum akan
berdampak tidak baik terhadap temperature humidity index dan respon biologi
ternak kelinci. Menurut McNitt et al. (1996) kelinci fase pertumbuhan memerlukan
ransum dengan kandungan energi termetabolis 2350 kkal/kg dan protein kasar 15%
dengan imbangan energi dan protein 156,66. Xiangmei (2008) menyatakan bahwa
kelinci yang diberikan ransum dengan imbangan energi dan protein yang tidak
sesuai dengan kebutuhan optimum akan mengalami penurunan prodiuktivitas. Hasil
penelitian Obasilar dan Obasilar (2007) mendapatkan berat badan akhir dan
konsumsi ransum kelinci yang dipelihara 3 ekor dalam satu petak kandang ( 4200
cm2) lebih baik daripada 1 ekor (1400 cm2) dan 5 ekor (8400 cm2). Zucca et al.
(2012) mendapatkan bahwa kelinci yang dipelihara dengan jumlah 3 dan 4 ekor
dalam satu petak kandang menyebabkan behavior kelinci lebih baik daripada 2 ekor

8
dan 1 ekor dalam satu petak kandang. Hasil penelitian Buijs et al. (2012)
mendapatkan bahwa jumlah kelinci 20 ekor dalam luas kandang 1 m2 menghasilkan
diameter tibiofibula lebih tinggi namun walfare lebih jelek daripada 17,5; 15; 12,5;
10; 7,5 dan 5 ekor.

Berdasarkan latar masalah di atas maka perlu diketahui luas lantai kandang
optimum serta imbangan energi dan protein dalam ransum untuk ternak kelinci
jantan lokal di daerah dataran rendah tropis sehingga efisiensi produksi dapat
ditingkatkan.

1.2 Perumusan Masalah


1. Bagaimanakah temperature humidity index pada kandang kelinci dengan
kepadatan ternak yang diberikan ransum dengan imbangan energy
protein berbeda.
2. Bagaimanakah respon biologi kelinci yang dipelihara pada kandang
dengan kepadatan dan diberi ransum dengan imbangan energi dan protein
berbeda.

9
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Peternakan Kelinci

Kelinci Eropa yang berkembang di Indonesia konon pada awalnya dibawa


oleh orang-orang Belanda sebagai ternak hias mulai sekitar tahun 1835. Keberadaan
kelinci di Indonesia sempat tidak jelas sejak kedatangan Jepang tahun 1942.
Kemudian berlanjut dengan zaman revolusi kemerdekaan sampai tahun 1950.
Catatan yang ada hanya menjelaskan tentang keberadaan kelinci tidak punah pada
zaman itu karena ternyata banyak dikembangbiakkan oleh para peternak di daerah
pegunungan yang relatif aman dari pertempuran. Selanjutnya pada tahun 1980
pemeliharaan kelinci sebagai sumber daging mulai digalakkan pemerintah dengan
tujuan pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Namun pola pengembangan
tersebut tidak berjalan mulus. Hal tersebut terjadi karena hanya sebagian kecil
peternak kelinci yang bertujuan untuk berdagang dan sisanya hanya untuk hobi atau
kesenangan (Kartadisastra, 2009).

Asal mula dan teori evolusi ternak kelinci cukup sulit untuk ditelusuri karena
kelinci mempunyai tulang yang kecil, mudah pecah dan sering dimakan oleh
predator. Fosil kelinci tertua yang telah berusia 45 juta tahun ditemukan di Negara
Portugal dan Francis (Mc Nitt et al., 1996).

Menurut Kanisius (2008) kelinci merupakan hewan mamalia dari famili


Leporidae, yang dapat ditemukan di banyak bagian permukaan bumi. Dulunya,
hewan ini adalah hewan liar yang hidup di Afrika hingga ke daratan Eropa. Pada
perkembangannya, tahun 1912 kelinci diklasifikasikan dalam ordo Lagomorpha.
Ordo ini dibedakan menjadi dua famili, yakni Ochtonidae (jenis pika yang pandai
bersiul) dan Leporidae (termasuk di dalamnya jenis kelinci dan terwelu). Mc Nitt et
al. (1996) menyatakan kelinci berdasarkan tujuan produksinya dapat dibedakan
sebagai berikut : (1) kelinci sebagai penghasil bulu (woll) seperti angora dan rex, (2)
kelinci penghasil daging seperti new zealand white dan (3) kelinci yang dipakai
untuk meningkatkan mutu kelinci lokal melalaui kawin silang sepeti d’argent,
chinchilia, dutch, flemis giant, palamino dan satin. Di Indonesia banyak terdapat

10
kelinci lokal, yakni jenis Kelinci jawa (Lepus negricollis) dan kelici sumatera
(Nesolagus netseherischlgel).

2.2 Potensi Ternak Kelinci

Menurut Schiere (1999) menyatakan bahwa pengembangan peternakan


kelinci memberi peluang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat
karena ternak kelinci memiliki beberapa kelebihan di antaranya: (1) menghasilkan
daging berkualitas tinggi, (2) dapat memanfaatkan limbah pertanian dan limbah
dapur sebagai bahan pakan, (3) selain produk utama berupa daging, hasil
sampingannya (kulit beserta bulu, kepala, kaki, ekor, urin serta feses dapat
digunakan untuk berbagai keperluan. Bivin dan King (1995) menyatakan bahwa
usaha budidaya ternak kelinci sebagai penghasil daging lebih menguntungkan
dibandingkan ternak lain, terutama ruminansia. Kelinci merupakan ternak yang
efisien menggunakan ransum, prolifik, dapat bunting dan menyusui pada waktu
bersamaan, interval beranak cepat dan umur potong lebih pendek dibandingkan
dengan ternak ruminansia. Kartadisastra (2011) menyatakan kelinci mempunyai
siklus beranak 4 – 6 kali setahun dengan jumlah anak 4 -12 ekor setiap kelahiran.
Menurut Lick dan Hung (2008) kelinci mempunyai efisiensi penggunaan ransum
lebih tinggi dari ruminansia seperti sapi dan kelinci dapat memanfaatan pakan
hijauan yang tidak disukai sapi.

Kanisius (2008) menyatakan bahwa pemeliharaan ternak kelinci juga relatif


mudah dan murah, sehingga dapat dipelihara baik pada skala kecil di rumah tangga
maupun skala besar di peternakan. Potensi tersebut saat ini mulai dimanfaatkan di
beberapa negara berkembang karena pemeliharaan kelinci tidak memerlukan lahan
yang luas. Keuntungan potensial yang bisa didapat dari pemeliharaan kelinci
adalah: (1) dapat menyediakan sumber protein hewani yang murah dan mudah
didapat, (2) memperbanyak variasi makanan, (3) memberikan penghasilan tambahan
pada petani peternak dan (4) menambah lapangan kerja dan meningkatkan produksi
daging sehat berkualitas tinggi. Namun demikian, sampai saat ini minat untuk
beternak kelinci dinilai masih rendah, walaupun ada kecenderungan meningkat. Mc
Nitt et al. (1996) menyatakan bahwa keberhasilan pengembangan ternak kelinci
pada suatu daerah atau negara berkaitan dengan kebiasaan masyarakatnya

11
mengkonsumsi daging. Pada negara yang penduduknya biasa memotong ayam dan
sapi sebagai pangan sumber protein hewani maka pemotongan ternak kelinci sebagai
pangan protein hewani sulit diterima.

Di negara berkembang, masalah yang dihadapi peternak kelinci berkisar pada


kurangnya perhatian pada kenyamanan ternak (iklim mikro kandang), lemahnya
permodalan, kurangnya pengetahuan dan penguasaan teknologi penyusunan pakan,
kurangnya sumber makanan dan lemahnya mutu manajemen peternakan (Lukefahr,
1992).

Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat yang disertai dengan


kemajuan teknologi serta informatika menyebabkan masyarakat lebih selektif dalam
memilih daging untuk dikonsumsi. Daging dengan protein tinggi dan rendah
kolesterol biasanya menjadi prioritas pemilihan. USDA (2009) menyatakan bahwa
dari kandungan protein dan lemak dagingnya, kelinci masih lebih baik dibandingkan
daging dari ternak lain seperti pada Table 1.

Tabel 1.1 Kandungan Protein, Lemak dan Energi Berbagai Jenis Daging

Jenis Daging Protein (%) Lemak (%) Energi


(Kalori/Kg)
Kelinci 20.8 10.2 795
Ayam 20.0 11.0 810
Sapi Muda 18.8 14.0 910
Kalkun 20.1 22.2 1190
Kerbau 15.7 27.7 1420
Sapi 16.3 28.0 1440
Babi 11.9 45.0 2050

Sumber : USDA (2009)

2.3 Iklim Mikro dan Produktivitas Ternak Kelinci


Ternak menyeimbangkan panas dalam tubuhnya melalui pengaturan
produksi panas dengan pelepasan panas tubuh ke lingkungan (Esmay, 1978).
Kegagalan ternak menyeimbangkan panas tubuhnya menyebabkan ternak
mengalami cekamnan yang dapat menurunkan produktivitas ternak (Yousef, 1987).
Suc et al. (1996) mendapatkan bahwa sistem pemeliharaan ternak kelinci pada
o
temperatur rata-rata 25,9 C dan kelembaban udara 80,4% menghasilkan

12
pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan ransum lebih tinggi pada kelinci
new zealand white dibandingkan dipelihara pada temperatur rata-rata 29,4 oC dan
kelembabab udara 75,9%.
Pergeseran kebutuhan lingkungan fisiko-termal (kondisi nyaman) bagi
ternak sudah dapat dipastikan ternak akan mengalami cekaman baik cekaman panas
(hipertermia) atau cekaman dingin (hipotermia). Ternak akan memberikan respon
awal dalam bentuk perubahan tingkah laku, peningkatan aktivitas sistem respiratoris
dan kardiovaskularis. Jika respon awal belum tercapai keadaan homeostatik, akan
timbul respon lanjutan berupa perubahan-perubahan pada sistem hormonal,
enzimatik dan metabolik. Kalau pada respon lanjutan ini belum juga tercapai
keadaan homeostatik maka ternak akan mengalami berbagai gejala penyakit yang
disertai rendahnya efisiensi produksi dan reproduksi (Esmay, 1978).
Cekaman panas adalah merupakan kendala utama pada pemeliharaan kelinci
di daerah tropis. Dampak negatif dari cekaman panas dapat diminimalisasi dengan
melakukan modifikasi lingkungan termasuk pemilihan bahan pakan yang
dipergunakan (McNitt et al., 1996). Temperatur ideal ternak kelinci adalah 15 0C
sampai 20 0C. Apabila temperatur kandang lebih tinggi dari 27 0C dan berlangsung
lama akan mengakibatkan penurunan produksi dan reproduksi ternak.
0
Pemeliharaan ternak kelinci pada temperatur kandang di atas 32 C juga dapat
mengganggu kesehatan kelinci dan menyebabkan meningkatnya angka mortalitas
(Sosroamidjoyo,1984). Menurut Cervera dan Carmona (1998) ternak kelinci
sampai berumur 80 hari memerlukan temperatur optimum berkisar antara 15 0C
sampai 25 0C . Kelinci mulai merasa stres panas pada temperatur kandang 30 oC
dan temperatur rektal 27 oC. Pada kondisi ini kelinci melepaskan panas dengan cara
gasping . Pada saat gasping kebutuhan energi pada ternak kelinci meningkat namun
tidak selinier pada saat mengalami cekaman dingin (hypothermia). Pada kondisi
cekaman panas kelinci menurunkan konsumsi ransum, kebutuhan energi untuk
hidup pokok meningkat sehingga energi yang dapat dipakai untuk tujuan produksi
menurun. Thwaites et al. (1990) mendapatkan kelinci yang dipelihara pada
temperatur 34 oC menyebabkan temperatur rektal 40,2 oC dan pada temperatur 36
o
C temperatur rektalnya 40,7 oC. Penelitian yang sama juga mendapatkan, laju

13
respirasi pada kelinci yang dipelihara pada temperatur 34 oC adalah 69 kali/menit
sedangkan pada temperatur 36 oC adalah 82.9 kali/menit.

Hasil Penelitian Yan dan Li (2008) mendapatkan bahwa peningkatan


temperatur lingkungan dari 20 oC menjadi 35 oC menyebabkan frekuensi pernafasan
meningkat dari 40 kali per menit menjadi 200 kali per menit. Walaupun kelinci
dapat bertahan hidup sampai temperatur lingkungan 43 oC , namun peningkatan
temperatur lingkungan dari kisaran nyaman akan sangat menggangu kesehatan
kelinci. Mortalitas mulai meningkat bila temperatur lingkungan mencapai 35 oC.
Pada temperatur lingkungan tinggi, konsumsi ransum ternak kelinci turun sampai
30-50%. Pada kondisi tersebut akan sangat membahayakan bagi kesehatan induk
dan anak-anaknya. Pada temperatur udara tinggi (hipertermia) sebagian energi
hilang melalui kerja atau aktivitas yang merupakan respon fisiologi ternak seperti
mempercepat frekuensi pernafasan (gasping) atau mempercepat laju aliran darah.
Pada kondisi cekaman panas ternak akan menekan produksi panas dan
memperbesar porsi pelepasan panas tubuh ke lingkungan. Proses pelepasan panas
tubuh ke lingkungan juga memerlukan energi sehingga akan mengurangi
pemanfaatan energi untuk pertumbuhan.
Suc et al. (1996) menyatakan pemeliharaan kelinci pada temperatur lebih
tinggi dari kebutuhan optimum (kondisi hipertermia) dapat menurunkan
pertambahan berat badan melalui penurunan jumlah ransum yang dikonsumsi.
Penurunan jumlah konsumsi ransum ini merupakan bentuk adaptasi ternak untuk
mengurangi cekaman panas pada ternak. Pertambahan berat badan kelinci pada
lama pemeliharaan 112 hari dan temperatur udara dalam kandang 18 - 20 oC dapat
mencapi 3 kg, sedangkan pada temperatur udara dalam kandang berkisar 30 - 31 oC
menghasilkan pertambahan berat badan hanya 2,5 kg.

2.4. Luas Lantai Kandang

Luas lantai kandang dapat dapat diartinya banyaknya ternak dalam satu
satuan luas misalnya 20 ekor/m2 atau luas lantai kandang yang diperlukan oleh satu
ekor kelinci misalnya 3500 cm2/ ekor (Kartadisastra, 2011). Menurut McNitt et al.
(1996) luas lantai kandang optimum perlu mendapat perhatian dari peternak kelinci

14
karena akan berpengaruh terhadap konsumsi ransum, konversi ransum, pertumbuhan
dan respon fisiologi dari ternak kelinci. Hasil penelitian Nuriyasa (2012)
mendapatkan bahwa ternak yang melakukan aktivitas fisik lebih banyak dan respon
fisiologi yang lebih jelek akan mengalami hambatan pertumbuhan. Aktivitas fisik
menyebabkan energi yang dipergunakan untuk hidup pokok meningkat sehingga
energi dan protein yang diretensi menjadi lebih randah yang berdampak pada tingkat
pertumbuhan lebih rendah.

Hasil penelitian Obasilar dan Obasilar (2007) mendapatkan berat badan akhir
dan konsumsi ransum kelinci yang dipelihara 3 ekor dalam satu petak kandang (
4200 cm2) lebih baik daripada 1 ekor (1400 cm2) dan 5 ekor (8400 cm2). Zucca et
al. (2012) mendapatkan bahwa kelinci yang dipelihara dengan jumlah 3 dan 4 ekor
dalam satu petak kandang menyebabkan behavior kelinci lebih baik daripada 2 ekor
dan 1 ekor dalam satu petak kandang. Hasil penelitian Buijs et al. (2012)
mendapatkan bahwa jumlah kelinci 20 ekor dalam luas kandang 1 m2 menghasilkan
diameter tibiofibula lebih tinggi namun walfare lebih jelek daripada 17,5; 15; 12,5;
10; 7,5 dan 5 ekor.

Pemeliharaan kelinci dengan tujuan penggemukan seperti strain new


zealand white, satin dan flam memerlukan kandang dengan ukuran ideal yaitu
panjang 70 cm, lebar 50 cm dan tinggi 45 cm. Kelinci pejantan dipelihara pada
kandang battery individu dengan ukuran panjang 75 cm, lebar 75 cm dan tinggi 54
cm.( Pemeliharaan kelinci dengan tujuan penggemukan seperti strain new zealand
white, satin dan flam memerlukan kandang dengan ukuran ideal yaitu panjang 70
cm, lebar 50 cm dan tinggi 45 cm (Bivin dan King, 1995). Pemeliharaan kelinci
dengan tujuan kontes seperti kelinci flemis giant memelukan ukuran kandang
individu yaitu panjang 90 cm, lebar 50 cm dan tinggi 45 cm (Lick dan Hung, 2008).

Kelinci lepas sapih sebaiknya segera dipisahkan dari induk, sedangakan


untuk kelinci yang digemukkan dibuatkan kandang setiap ekornya untuk
memudahkan pembersihan, kandang sebaiknya dibuat sistem panggung, dengan
ketinggian 1 meter dari tanah (Kartadisastra, 2011).

15
Menurut Lick dan Hung (2008) kandang battery ternak kelinci jenis besar
(flemis giant) sebaiknya berukuran panjang 90 cm, lebar 60 cm, tinggi 45 cm dan
tinggi kandang dari tanah sebaiknya 50 cm. Kandang kelinci dengan tujuan
penggemukan seperti kelinci new zealand white, satin dan flam sebaiknya
berukuran: panjang 70 cm, lebar 50 cm dan tinggi 45 cm. Bivin dan King (1995)
memberikan rekomendasi ukuran kandang pejantan yaitu panjang 75 cm, lebar 75
cm dan tinggi 54 cm. Menurut Suc et al. (1996) pemeliharaan kelinci dengan tujuan
bibit atau penggemukan dapat pula dipelihara dengan sistem yang menyerupai
habitat aslinya yaitu dengan menggunakan kandang tanah yang dilengkapi dengan
tempat berlindung (underground shelter). Sistem pemeliharaan seperti ini
memungkinkan kelinci untuk keluar lubang pada saat kondisi lingkungan (iklim
mikro) di luar lubang nyaman dan memilih masuk lubang pada saat kondisi
lingkungan berada berada dalam keadaan cekaman panas atau cekaman dingin.
Lubang tempat berlindung pada pemeliharaan kelinci dengan sistem kelompok
dibuat dengan ukuran 0,5m x 2m dan tingginya 0,5m. Hansen dan Berthelsen (
2000) menyatakan bahwa pemeliharaan kelinci dengan cara diumbar lebih memberi
rasa sejahtera (animal welfare) dan lebih memberi rasa nyaman (comfort) pada
ternak yang diindikasikan dengan tingkah laku lebih tenang dibandingkan dengan
dipelihara dengan menggunakan kandang battery. Belakangan ini, sistem
pemeliharaan dengan cara tersebut tidak mendapat respon positif dari peternak
kelinci karena dapat menyebabkan kerusakan ekologi yang serius.

2.5 Imbangan Energi dan Protein Ransum

Imbangan energi dan protein pada ransum kelinci sangat penting


diperhatikan untuk dapat menghasilkan performan produksi maksimal. Nilai
imbangan yang terlalu tinggi atau rendah dari standar yang direkomendasikan akan
berdampak pada penurunan produktivitas dan peningkatan mortalitas (Xiangmei,
2008).

NRC (1977) menyatakan kelinci potong membutuhkan kandungan energi


dalam ransum sebesar 2500 kkal DE/kg dan kedungan protein (CP): 16%.
Ditambahkan pula bahwa kelinci memerlukan serat kasar (CF): berkisar 10–12% ,
kalsium (Ca): 0,4% dan Posfor (P): 0,22%. Menurut pendapat Sinaga (2009) kelinci

16
pejantan fase grower memerlukan protein kasar 16% sedangkan induk menyusui
memerlukan protein kasar 15-16%. Kandungan serat kasar pada ransum kelinci
jantan fase grower adalah 10–27% dan induk menyusui adalah 15–20%.

Pembatasan pemberian ransum (80% dari adlibitum) pada ternak kelinci


yang mengandung energi 11,7 MJ DE/kg, CP (18,5%), CF (18,7%) dan pemberian
ransum dengan energi rendah, serat kasar tinggi yaitu 9,8 MJ DE/kg, CP (18,5%),
CF (24,6%) pada saat kelinci pubertas sampai satu minggu menjelang melahirkan
dapat menurunkan performan reproduksi. Pembatasan ransum dan pemberian
energi rendah, serat kasar tinggi menghasilkan pertambahan berat badan per hari
yaitu masing-masing 11,83 g dan 13,06 g lebih rendah daripada kontrol (14,87 g).
Induk kelinci yang diberi ransum kontrol (adlibitum) menghasilkan berat badan
setelah penyapihan paling tinggi yaitu 4015 gram sedangkan pembatasan ransum
dan pemberian ransum energi rendah, serat kasar tinggi menghasilkan berat badan
setelah penyapihan masing-masing 3828 g dan 3913 g (Rizzi et al., 2008).

Owen dan Owen (1981) mendapatkan bahwa pemberian ransum pada


kelinci new zealand white dengan kandungan energi 8 MJ DE/kg dan CP 17,2 %
menghasilkan umur potong (berat 2 kg) paling lama yaitu 90 hari dibandingkan
dengan ransum yang mengandung energi 10 MJ DE/kg dengan CP 16% dan energi
12 MJ DE/kg dengan CP 15,7% yaitu masing-masing 74 dan 79 hari. Ransum
dengan kandungan energi 8 MJ DE/kg dengan CP 17,2%, energi 10 MJ DE/kg
dengan CP 16% dan 12 MJ DE/kg dengan CP 15,7% menyebabkan perbedaan
konsumsi ransum (selama penelitian) yaitu masing-masing 8,05 kgDM, 3,12 kgDM
dan 3,40 kgDM.

Hasil Penelitian de Blas dan Wiseman (1998) mendapatkan kelinci yang


diberi ransum dengan kandungan protein 21% menghasilkan pertambahan berat
badan per hari 5 gram lebih tinggi daripada kandungan protein 15,7%.

Butcher et al. (1981) mendapatkan bahwa kelinci new zealand white yang
diberikan ransum dengan kandungan energi termetabolism 8 MJ/kg DM dengan CP
172 g/kg DM menghasilkan pertambahan berat badan per hari 25,16 g nyata lebih

17
rendah daripada kandungan energi 10 MJ/kgDM dengan CP 160 g/kgDM dan 12
MJ/kgDM dengan CP 157 g/kgDM yaitu 32,40 g/ekor/hr dan 29,8 g/ekor/hr.

18
III. TUJUAN DAN MANFAAT

3.1 Tujuan Penelitian

1. Meningkatkan efisiensi produksi ternak kelinci dengan menentukan


kepadatan ternak dalam kandang yang optimum.
2. Mendapatkan imbangan energi dan protein yang lebih sesuai dengan kondisi
lingkungan.
3. Sebagai acuan pada penelitian selanjutnya.
3.2 Manfaat Penelitian
1. Dapat meningkatkan efisiensi penggunaan kandang sehingga pendapatan
peternak dapat meningkat.
2. Dapat mengetahui formulasi ransum yang lebih sesuai dengan lokasi
peternakan dan lebih sesuai dengan tingkat kepadatan ternak yang
dipergunakan.

19
IV. METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola


Faktorial 2 x 3 dengan empat kali ulangan (blok). Pembuatan blok didasarkan pada
kisaran berat badan awal yaitu dari terendah hingga tertinggi. Sebagai perlakuan
pertama adalah imbangan energi dan protein pada ransum (R) yang terdiri dari
ransum dengan kandungan energi termetabolis 2500 kkal/kg dan protein kasar 17%
dengan imbangan energi dan protein 147 (R1), ransum dengan kandungan energi
termetabolis 2800 kkal/kg dengan kandungan protein kasar 18,5% dengan imbangan
energy dan protein 151 (R2). Sebagai perlakuan kedua adalah luas lantai kandang
(L) yang terdiri dari 3500 cm2 (L1), 1750 cm2 (L2) dan 1166 cm2 (L3). Ransum
dibuat dalam bentuk pelet. Ransum dan air minum diberilan secara adlibitum.

Tabel 4.1 Komposisi Bahan Penyusun Ransum Penelitian

Perlakuan
Bahan (%)
R1 R2
Jagung kuning 31,0 33,4
Bungkil kelapa 12,4 6,3
Tepung ikan 15,0 17,7
Tepung tapioka 9,9 10,3
Tepung kedelai 11,0 17,5
Dedak padi 8,0 2,0
Rumput gajah 5,0 2,0
Serbuk gergaji 5,1 7,65
Minyak kelapa 1,2 2,0
Tepung tulang 0,65 0,4
NaCl 0,25 0,25
Mineral 0,5 0,5

20
Tabel 4.2 Kandungan Nutrien Ransum Penelitian

Perlakuan
Nutrien*) R1 R2 Standar McNitt
et.al (1996)
ME (Kkal/kg) 2500 2800 2350
Protein Kasar (%) 16 17,5 16
ME/CP rasio 147 151 146
Lemak kasar (%) 8,07 9,64 3,0
Serat kasar (%) 12,24 10,68 10,0
Ca (%) 2,0 2,15 0,5
P av (%) 0,97 1,07 0,3
*)Perhitungan berdasarkan table komposisi Scott et al. (1982)

4.2 Variabel Penelitian

4.2.1. Variabel iklim mikro

1 Temperatur udara, kelembaban udara dan THI

Data temperatur dan kelembaban udara dalam kandang diukur dengan


menggunakan thermohygrometer digital tipe CE 11/08 . Pada kandang battery
temperatur dan kelembaban udara di ukur pada lima titik yaitu pada masing-masing
sudut kandang dan titik tengah kandang. Hasil pengukuran pada lima titik ini di
rata-ratakan untuk mendapatkan satu data temperatur yang representatif pada satu
petak kandang. Pengukuran dilakukan pada setiap unit percobaan (petak kandang)
dan dilakukan tiga kali sehari yaitu pagi hari pada pukul 7.30 wita, siang hari pada
pukul 13.30 wita dan sore hari pada pukul 17.30 wita. Temperatur rata-rata harian
dihitung dengan formulasi Handoko (1995) sebagai berikut:
[( ) ]

21
Selanjutnya data rata-rata temperatur udara harian dijumlahkan dan dibagi dengan
jumlah hari pengamatan untuk mendapatkan temperatur udara rata-rata selama
penelitian. Kelembaban udara rata-rata didapatkan dengan menjumlahkan ketiga
data pengamatan (pagi, siang dan sore) kemudian dibagi tiga. Temperature
Humidity Index (THI) untuk ternak kelinci dihitung dengan formulasi empiris
menurut Marai (2002) sebagai berikut :

THI = T - [(0,31 – 0,31 × RH) (T – 14,4)]

Keterangan:
THI : Temperature Humidity Index
T : Temperatur rata-rata dalam petak kandang (oC)
RH : Kelembaban relatif/100

Selanjutnya dinyatakan pula bahwa nilai THI di bawah 27,8 mengindikasikan


ternak kelinci berada dalam keadaan nyaman (tidak mengalami cekaman panas).
Nilai THI pada kisaran 27,8 - 28,9 mengindikasikan ternak kelinci berada pada
kondisi cekaman panas tingkat sedang. THI pada kisaran 28,9 – 30
mengindikasikan cekaman tingkat tinggi pada ternak kelinci dan nilai THI di atas
30 cekaman pada tingkat sangat tinggi.

4.2.2. Variabel Fisiologi

Temperatur Kulit. Suhu kulit diukur dengan menggunakan Digital Basal Body
Temperature, model 185, akurasi pengukuran 0,05oC, rentang pengukuran 32oC s/d
42oC, kepekaan pengukuran 0,1oC. Pengukuran dilakukan pada empat titik yaitu
kepala, leher, punggung dan pandat (Kasa et al., 1993). Pengukuran pada empat
titik ini dijumlahkan dan dibagi empat untuk madapatkan rata-rata suhu pada satu
kali pengukuran. Dari pengukuran sebanyak tiga periode selama penelitian,
dihitung rata-rata temperatur kulit pada pagi hari (pukul 7.30 wita), tengah hari
(13.30 wita) dan sore hari (17.30 wita). Sesudah itu baru dihitung rata-rata
temperatur kulit hariannya selama penelitian.

Temperatur Rektal. Sebelum pengambilan data temperatur rektal dilakukan


pembiasaan pada ternak (pre treatment) selama satu minggu. Temperatur rektal
diukur dengan termometer temperatur tubuh digital yang sensornya berbentuk bulat

22
dan agak lancip dimasukkan ke dalam anus se dalam 6 Cm (Purnomoadi, 2003).
Dari pengukuran sebanyak tiga kali selama penelitian, dihitung rataan temperatur
rektal pada pagi hari (pukul 7.30 wita), tengah hari (13.30 wita) dan sore hari (17.30
wita). Sesudah itu baru dihitung rataan temperatur rektal hariannya selama
penelitian.

Laju Respirasi. Laju respirasi diperoleh dengan menghitung gerakan naik turunnya
permukaan rusuk-perut selama satu menit (Purnomoadi, 2003). Pengamatan
dilakukan tiga kali sehari yaitu pada pukul 7.30 wita, 13.30 wita dan 17.30 wita.
Tiap kali pengamatan dilakukan atau di ulang sebanyak 5 kali. Dari ke lima data
pengamatan kemudian dirata-ratakan sehingga mendapatkan data pengamatan laju
respirasi per menit. Dalam pengambilan data ini diperlukan stopwatch yang
digunakan sebagai penunjuk waktu dan hand tally counter sebagai penunjuk jumlah
gerakan permukaan rusuk-perut. Satu gerakan naik (rusuk-perut mengembang) dan
turun (rusuk perut mengempis) dihitung sebagai satu kali berespirasi. Berdasarkan
hasil pengukuran sebanyak tiga kali selama penelitian dihitunglah rataan laju
respirasi pada pagi hari, siang hari dan sore hari. Sesudah itu baru dihitung rataan
harian laju respirasi selama penelitian.

Denyut Jantung. Sebelum pengambilan data denyut jantung dilakukan


pembiasaan pada ternak (pre treatment) selama satu minggu. Langkah pertama yang
dilakukakan adalah mengamati atau meraba bagian ternak yang denyut nadinya
paling terasa. Setelah bagian tubuh yang denyut nadinya paling terasa ditentukan
kemudian dilakukan pengukuran denyut jantung dengan cara menempelkan
stetoskop selama satu menit (Purnomoadi, 2003) . Pengitungan mulai dilakukan
setelah lewat satu menit stetoskop ditempelkan pada bagian dada. Pengamatan
dilakukan tiga kali sehari yaitu pada pukul 7.30, 13.30 dan 17.30 wita. Berdasarkan
hasil pengukuran sebanyak tiga periode selama penelitian dihitung rataan denyut
jantung pada pagi hari, siang hari dan sore hari. Sesudah itu baru dihitung rataan
harian denyut jantung selama penelitian.

23
4.2.3. Variabel Hematologi

Pengamatan terhadap variabel hematologi yang terdiri dari rata-rata


kandungan hemoglobin (% ), jumlah sel darah merah (106/µl), jumlah sel darah
putih (103/ µl), kandungan hematokrit (%), kandungan glukosa darah (mg/100 ml),
dan kandungan trigliserida darah (mg/100 ml), sesuai dengan metode Nugraha
(2010). Pengamatan dilakukan hanya sekali pada akhir penelitian setelah kelinci
berumur 17 minggu. Pengambilan sampel darah dilakukan pada dua blok setiap
kombinasi perlakuan sehingga ada 16 sampel darah. Sampel darah diambil pagi hari
sebelum kelinci diberi makan dan air minum. Cara pengambilan contoh darah
dilakukan dengan menusukkan jarum pada vena telinga, kemudian disedot dengan
spyit plastik dan segera dipindahkan ke tabung reaksi yang telah terisi zat anti beku
darah. Zat anti beku darah yang digunakan adalah lithium heparin (Xiangmei,
2008). Jumlah sampel darah yang diambil adalah sebanyak 6 cc untuk satu ekor
kelinci (Nugraha, 2010). Segera setelah itu dimasukkan ke dalam termos es dan
pada hari itu dikirim ke Laboratorium Kesehatan Masyarakat, Bina Medika,
Denpasar untuk analisis hematologi.

4.2.4. Variabel Performan Produksi

Konsumsi Pakan dan Air Minum. Konsumsi pakan dan air minum dihitung setiap
hari dengan mengurangi jumlah yang diberikan dengan sisa.

Berat Badan. Penimbangan berat badan dilakukan setiap minggu untuk


mendapatkan pertambahan berat badan per minggu. Penimbangan berat badan awal
dilakukan pada awal penelitian untuk mendapatkan berat badan awal, sedangkan
penimbangan berat badan dilakukan pada akhir penelitian untuk mendapatkan berat
badan akhir. Untuk mengetahui pertambahan berat badan selama penelitian
dilakukan dengan mengurangi berat badan pada akhir penelitian dengan berat badan
pada awal penelitian. Sebelum ditimbang, kelinci dipuasakan selama 12 jam.

Konversi Ransum. Konversi ransum atau Feed Conversion Ratio (FCR) dihitung
dengan perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan
berat badan selama penelitian.

24
Lama Aliran Ransum. Pengukuran lama aliran ransum di dalam saluran
pencernaan dilakukan dengan memberikan ransum yang telah dicampur dengan
indikator Fushin Acide pada ternak kelinci. Lama aliran ransum dihitung dengan
jalan menghitung waktu mulai ransum yang mengandung indikator dimakan sampai
keluarnya indikator untuk pertama kali di dalam feses.

Koefisien Cerna Bahan Kering Ransum

Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dihitung berdasarkan metode


koleksi total (Tillman et al., 1989). Feses ditampung selama 7 hari, dijemur
dibawah sinar sampai kering udara kemudian dioven pada temperatur 60 oC selama
24 jam. KCBK dihitung dengan formulasi:

( )
KCBK = × 100%

Dimana:
KCBK : Koefisien cerna bahan kering (%)
A: Konsumsi bahan kering ransum (g)
B: Jumlah bahan kering ekskreta (g)

Kecernaan Energi

Kecernaan energi dapat dihitung berdasarkan metode koleksi total (Prasad


et al. 1996). Ekskreta ditampung selama 7 hari, dijemur dibawah sinar sampai
kering udara kemudian dioven pada suhu 60 oC selama 24 jam. Feses dianalisa
proksimat untuk menentukan kandungan energi pada feses. Konsumsi ransum
o
selama koleksi total (7 hari) di oven pada temperatur 60 selama 24 jam untuk
mendapatkan berat kering. Konsumsi energi didapat dengan cara mengalikan bahan
kering ransum dengan kandungan energi ransum. Energi pada feses didapat dengan
cara mengalikan berat kering feses dengan kandungan energi feses. Efisiensi GE
menjadi DE dihitung dengan menggunakan formulasi :

( )
(DE/GE) = × 100%

Dimana:
DE/GE : Efisiensi GE menjadi DE (%)
A: Konsumsi energi (Kkal/hari)
B: Kandungan energi pada fesese (Kkal/hari

25
Kecernaan protein

Kecernaan protein (KP) dihitung berdasarkan metode koleksi total (Prasad et


al. 1996). Feses ditampung selama 7 hari, dijemur dibawah sinar sampai kering
udara kemudian dioven pada suhu 60 oC selama 24 jam. Feses dianalisa proksimat
untuk menentukan kandungan protein pada feses. Konsumsi ransum selama koleksi
total (7 hari) di oven pada temperatur 60 o selama 24 jam untuk mendapatkan berat
kering. Konsumsi protein didapat dengan cara mengalikan bahan kering ransum
dengan kandungan protein ransum. Protein pada feses didapat dengan cara
mengalikan berat kering feses dengan kandungan protein feses. Kecernaan protein
(KP) dihitung dengan menggunakan formulasi :

( )
KP = × 100%

Dimana:
KP : Kecernaan protein (%)
A: Konsumsi protein (g/hari)
B: Kandungan protein pada feses (g/hari)

4.3. Analisis Statistika

Data yang diproleh dianalisis dengan analisis sidik ragam, apabila diantara
perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) maka analisis dilanjutkan dengan
uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1980). Data mortalitas ditransformasi
terlebih dahulu sebelum dianalisis dengan tekhnik transformasi logaritmik yaitu: log
(x+1).

26
BAB. V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

Perlakuan ransum dengan kandungan energi termetabolis 2500 kkal/kg dan


protein kasar 17% dengan imbangan energi dan protein 147 (R1) menghasilkan
kelembaban udara 70,20% tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan ransum
dengan kandungan energi termetabolis 2800 kkal/kg dengan kandungan protein
kasar 18,5% dengan imbangan energi dan protein 151 (R2). Temperatur udara
dalam kandang yang mendapat perlakuan R1dan R2 (28,80 oC vs 28,41 oC) tidak
berbeda nyata (P>0,05), seperti pada Tabel 5.1. Tidak terjadi perbedaan yang nyata
(P>0,05) pada variebel temperature humidity index dan radiasi matahari (Tabel 5.1).

Perlakuan ransum dengan imbangan energi dan protein berbeda tidak


berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap variable respon fisiologi yang meliputi: denyut
jantung, temperature rektal, temperature kulit dan laju respirasi (Tabel 5.1).

Variabel hematologi yang meliputi kandungan haemoglobin, eritrosit,


leukosit, hematokrit, glukosa dan trigliserida darah tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata (P>0,005) diantara perlakuan ransum dengan imbangan energi dan
protein berbeda (Tabel 5.1).

Kelinci yang diberi perlakuan ransum R1 mengkonsumsi air 121,00


ml/ekor/hr, sedangkan kelinci yang mendapat perlakuan R2 adalah 8,26% lebih
rendah (P<0,05) daripada R1 (Tabel 5.1). Konsumsi ransum kelinci yang mendapat
perlakuan R1 adalah 70,65 g/ekor/hr sedangkan perlakuan R2 adalah 13,05% lebih
rendah (P<0,05) daripada perlakuan R1. Berat badan akhir dan pertambahan berat
badan kelinci yang mendapat perlakuan R1 nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan
dengan perlakuan R2. Konversi ransum kelinci yang mendapat perlakuan R2 adalah
3,13 yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan R1 (3,27).
Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap variabel kecernaan bahan
kering, kecernaan energi dan kecernaan protein pada perlakuan ransum dengan
imbangan energi dan protein berbeda (Tabel 5.1).

27
Tabel 5.1Pengaruh Imbangan Energi dan Protein terhadap Iklim Mikro Kandang
Respon Fisiologi, Respon Hematologi, Performans dan kecernaan
Ransum Kelinci Jantan Lokal

Perlakuan
Variabel SEM
R1 R2
Iklim Mikro
Kelembaban Udara (%) 70,20a 69,35a 0,6
Temperatur Udara (oC) 28,80a 28,41a 0,27
Temperature Humidity Index (THI) 27,46a 27,06a 0,28
Radiasi Matahari (Fc) 9,29a 8,49a 0,57
Respon Fisiologi
Denyut Jantung (kali/menit) 108,12a 107,34a 4,21
Temperatur Rektal (oC) 39,16a 39,48a 0,09
Temperatur Kulit (oC) 37,94a 37,86 a 0,24
Laju Respirasi (kali/menit) 59,26a 58,40a 1,12
Respon Hematologi
Haemoglobin (g/100 ml) 14,78a 14,04a 1,45
Eritrosit (106/µl) 4,99a 4,00a 0,13
Leukosit (103/ µl) 6,78a 6,09a 0,98
Hematokrit (%) 41,50a 40,50a 0,76
Glukosa (mg/100 ml) 180,5a 179,75a 1,23
Trigliserida (mg/100 ml) 95,25a 94,00a 0,97
Performans
Konsumsi Air (ml/ekor/hr) 121,00a 111,93b 6,41
Konsumsi Ransum (gr/ekor/hr) 70,65a 61,43b 6,52
Berat Badan Akhir (gr) 1873,57a 1759,94b 80,35
Pertambahan Berat Badan 21,20a 19,60b 1,14
(gr/ekor/hr)
Konversi Ransum 3,27a 3,13a 0,09
Kecernaan Bahan Kering (%) 72,21a 68,66a 2,14
Kecernaan Energi (%) 77,78a 75,17a 3,79
Kecernaan Protein (%) 79,44a 76,00a 1,75
1) R1 : Ransum dengan imbangan energi dan protein 147
R2 :Ransum dengan imbangan energi dan protein 151
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata
(P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Data pada Tabel 5.2 menunjukkan bahwa perlakuan tingkat kepadatan ternak
1 ekor/3500 cm2 (L1), 2 ekor/3500 cm2 (L2) dan 3 ekor/3500 cm2 (L3) tidak

28
menyebabkan perbedaan yang nyata (P>0,05) pada variabel iklim mikro yang terdiri
dari kelembaban udara, temperatur udara, temperature humidity index dan radiasi
matahari (Tabel 5.2).

Respons fisiologi seperti denyut jantung, temperatur rektal, temperatur kulit


dan laju respirasi tidak dipengaruhi secara nyata (P>0,05) oleh perbedaan perlakuan
tingkat kepadatan ternak L1, L2 dan L3 (Tabel 5.2).

Hemoglobin darah pada kelinci yang mendapat perlakuan L2 adalah 15,03


g/100 ml, sedangkan perlakuan L3 adalah 1,59% lebih rendah (P>0,05) dan
perlakuan L1 adalah 7,98% lebih rendah (P<0,05) lebih rendah daripada L2 (Tabel
5.2). Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada perlakuan L1, L2 dan L3
terhadap variabel eritrosit darah kelinci. Kandungan leukosit darah kelinci yang
mendapat perlakuan L1 adalah 5,78 103/ µl, sedangkan perlakuan L2 dan L3
masing-masing 5,71% dan 18,17% lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan L1.
Kandungan hematokrit darah kelinci yang mendapat perlakuan L1 adalah 38,33%
sedangkan kandungan hematokrit darah kelinci yang mendapat perlakuan L2
(43,75%) dan L3 (42,25%) nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan L1
(Tabel 5.2). Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap variabel
kandungan glukosa dan trigliserida darah pada perlakuan L1, L2 dan L3.
Perlakuan L1 menyebabkan konsumsi air 109,97 ml/ekor/hr, sedangkan
perlakuan L2 dan L3 masing-masing 8,35% dan 9,38% lebih tinggi (P<0,05)
dibandingkan dengan L1 (Tabel 5.2). Konsumsi ransum kelinci yang mendapat
perlakuan L1 adalah 59,47 g/ekor/hr sedangkan perlakuan L2 dan L3 masing-masing
16,06% dan 17,10% lebih tinggi (P<0,05) daripada L1. Berat badan akhir kelinci
yang mendapat perlakuan L1 adalah 1728,0 gr sedangkan perlakuan L2 dan L3
masing-masing 8,15% dan 7,26% lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan L1.
Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada perlakuan pertambahan berat
badan dan konversi ransum diantara perlakuan L1, L2 dan L3. Perlakuan tingkat
kepadatan ternak tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap variabel kecernaan
bahan kering, kecernaan energi dan kecernaan protein ransum (Tabel 5.2).

29
Tabel.5.2 Pengaruh Kepadatan Ternak terhadap Iklim Mikro Kandang, Respon
Fisiologi, Respon Hematologi, Performans dan Kecernaan Ransum
Kelinci Jantan Lokal

Perlakuan
Variabel SEM
L1 L2 L3
Iklim Mikro
Kelembaban Udara (%) 69,22a 69,86a 70,25a 0,74
Temperatur Udara (oC) 28,03a 28,87a 28,91a 0,7
Temperature Humidity Index 26,72a 27,51a 27,56a 0,67
(THI)
Radiasi Matahari (Fc) 8,74a 8,75a 9,19a 0,36
Respon Fisiologi
Denyut Jantung (kali/menit) 107,53a 125,47a 108,56a 3,59
Temperatur Rektal (oC) 39,16a 39,18a 39,22a 2,21
Temperatur Kulit (oC) 37,89 a 38,46a 38,28a 1,08
Laju Respirasi (kali/menit) 64,63a 68,75a 66,46a 2,05
Respon Hematologi
Haemoglobin (g/100 ml) 13,83b 15,03a 14,79ab 0,15
Eritrosit (106/µl) 4,00a 4,42a 4,19a 0,12
Leukosit (103/ µl) 5,78b 6,11a 6,83a 0,09
Hematokrit (%) 38,33b 43,75a 42,25a 0,28
Glukosa (mg/100 ml) 155,25a 179,75a 180,5a 12,44
Trigliserida (mg/100 ml) 94,00a 95,28a 100,72a
Performans
Konsumsi Air (ml/ekor/hr) 109,97b 119,15a 120,29a 8,01
Konsumsi Ransum (gr/ekor/hr) 59,47b 69,02a 69,64a 8,06
Berat Badan Akhir (gr) 1728,0b 1868,83a 1853,45a 109,25
Pertambahan Berat Badan 19,32a 20,97a 20,91a 1,32
(gr/ekor/hr)
Konversi Ransum 3,08a 3,19a 3,34a 0,19
Kecernaan Bahan Kering (%) 68,68a 73,84a 72,24a 3,34
Kecernaan Energi (%) 75,17a 77,78a 72,97a 3,75
Kecernaan Protein (%) 75,67a 76,00a 78,44a 1,73
1)L1 : Kepadatan ternak 1 ekor/3500 cm2
L2 : Kepadatan ternak 2 ekor/3500 cm2
L3 : Kepadatan ternak 3 ekor/3500 cm2
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata
(P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

30
5.2 Pembahasan

Iklim mikro merupakan kondisi lingkungan sekitar ternak yang berhubungan


langsung dengan organisme hidup, dekat permukaan bumi maupun lingkungan yang
terbatas misalnya ruangan kandang ternak. Unsur-unsur iklim mikro yang
berpengaruh terhadap produktivitas ternak diantaranya: temperatur udara,
kelembaban relatif udara (Rh), intensitas radiasi matahari. Interaksi antara unsur
iklim yaitu temperatur dan kelembaban udara menghasilkan temperature humidity
index (THI), sesuai dengan pendapat Nuriyasa (2012).
Perlakuan ransum dengan imbangan energi dan protein berbeda serta
perlakuan tingkat kepadatan ternak berbeda tidak berpengaruh terhadap iklim mikro
di dalam kandang. Ternak melapaskan panas ke lingkungan dalam usaha melakukan
homeostatis dengan cara termoregulator (Mount, 1976). Pemeliharaan ternak
dengan kepadatan ternak yang lebih tinggi tentu berakibat pada makin banyak panas
yang dilepaskan ke lingkungan (Esmay, 1978). Sisi kandang battery dengan
menggunakan kawat merupakan ventilasi yang sangat epektif sehingga perbedaan
panas metabolism yang dilepaskan ternak tidak terakumulasi melainkan dengan
cepat bertukar dengan udara lingkungan. Kondisi ini menyebabkan perbedaan
pertumbuhan dan perbedaan jumlah ternak dalam satu kandang tidak berpengaruh
secara nyata terhadap iklim mikro di dalam kandang.

Response fisiologi kelinci jantan lokal tidak dipengaruhi oleh perlakuan


ransum dengan imbangan energi dan protein berbeda demikian pula responds
fisiologi tidak dipengaruhi oleh tingkat kepadatan ternak yang berbeda. Hal ini
disebabkan karena perlakuan ransum dan tingkat kepadatan ternak berbeda tidak
berpengaruh nyata terhadap iklim mikro kandang. Pendapat ini didukung oleh
Nuriyasa (2012) dan Budiari (2014) yang menyatakan bahwa respons fisiologi
ternak kelinci sangat dipengaruhi oleh perbedaan tingkat cekaman panas ternak
akibat iklim mikro kandang yang dihasilkan.

Perlakuan ransum berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap respons


hematologi darah kelinci. Tidak terjadi perbedaan nyata pada iklim mikro kandang
kelinci yang mendapat perlakuan ransum berbeda sehingga tidak ada perbedaan
tingkat cekaman panas pada ternak kelinci. Hal ini menyebabkan tidak ada

31
perbedaan nyata pada kandungan leukosit darah kelinci. Kandungan haemoglobin,
eritrosit dan hematokrit darah kelinci tidak berbeda nyata pada perlakuan ransum
berbeda, namun secara kuantitatif ada tendensi bahwa kelinci yang diberi ransum R1
memberi respons lebih baik daripada R2. Pertumbuhan yang lebih tinggi pada
kelinci yang diberi ransum R1 membutuhkan kandungan eritrosit lebih tinggi
sebagai sarana transportasi oksigen untuk kepentingan metabolism sel.
Pertumbuhan lebih tinggi pada kelinci yang mendapat perlakuan ransum R1 juga
akan menyebabkan pembentukan organ tubuh termasuk haemoglobin dan hematokrit
lebih tinggi pula. Kelinci yang dipelihara dengan kepadatan ternak L2 dan L3 lebih
tinggi daripada L1. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan kelinci yang mendapat
perlakuan L2 dan L3 lebih tinggi daripada L1. Tingkat cekaman pada kelinci yang
dipelihara dengan perlakuan L1 lebih tinggi daripada L2 dan L3. Hal ini disebabkan
karena di alam habitat aslinya kelinci adalah hewan yang hidup berkelompok
sehingga kelinci pada L1 mempunyai kandungan leukosit lebih tinggi sebagai
respons rasa takut karena sendirian (Obasilar dan Obasilar, 2007). Kandungan
glukosa dan gliserida darah kelinci yang mendapat perlakuan ransum dan tingkat
kepadatan ternak berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini
mengindikasikan bahwa tidak terjadi mobilisasi lemak sebagai sumber energi atau
penggunaan sumber energi dari protein pada tubuh ternak kelinci (Mahardika, 1996).

Konsumsi air kelinci yang dipelihara dengan perlakuan R1 lebih tinggi


daripada R2 demikian pula perlakuan L2 dan L3 menyebabkan konsumsi air pada
kelinci lebih tingi daripada perlakuan L1. Hal ini berkaitan dengan konsumsi
ransum, makin tinggi konsukmsi ransum maka konsumsi air juga lebih tinggi yang
bertujuan untuk melunakkan makanan sebelum dicerna, sesuai dengan pendapat
Tillman et al. (1986). Kelinci yang diberi ransum R1 menyebabkan berat badan
akhir dan pertambahan berat badan lebih tinggi daripada R2. Hal ini disebabkan
kareana ransum R1 dengan kandungan energi termetabolis 2500 kkal/kg dan protein
kasar 17% lebih mendekati standar kebutuhan nutrien yang di rekomendasikan oleh
MCNitt et al. (1996). Kelinci yang dipelihara dengan kepadatan ternak L2 dan L3
lebih tinggi daripada L1 disebabkan karena konsumsi ransumsi ransum kelinci pada
kepadatan ternak L2 dan L3 lebih tinggi daripada L1. Pendapat ini didukung oleh
hasil penelitian Obasilar dan Obasilar (2007). Tidak terjadi perbedaan yang nyata

32
terhadap konversi ransum karena perlakuan perbedaan ransum dan tingkat kepadatan
ternak. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan yang lebih tinggi pada kelinci yang
diberi perlakuan R1, L2 dn L3 disebabkan karena konsumsi ransum lebih tinggi,
bukan tingkat efisiensi penggunaan ransum yang lebih tinggi. Perlakuan ransum dan
tingkat kepadatan ternak berbeda tidak berpengaruh pada kecernaan bahan kering,
energi dan protein. Hal ini disebabkan karena kandungan serat kasar ransum tidak
jauh berbeda. Kecernaan ransum sangat berkaitan dengan kandungan serat kasar
ransum (Tillman, 1986).

33
BAB. VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan:

1. Iklim mikro kandang dan response fisiologi kelinci tidak dipengaruhi oleh
perlakuan ransum dengan imbangan energi dan protein berbeda serta
perlakuan dengan tingkat kepadatan ternak berbeda.
2. Tidak terjadi perbedaan response hematologi ternak kelinci yang diberi
perlakuan ransum berbeda, sdeangkan response hematologi kelinci yang
dipelihara pada tingkat kepadatan ternak 1 ekor/3500 cm2 lebih jelek
daripada 2 ekor/3500 cm2 dan 3 ekor/3500 cm2.
3. Kelinci yang diberi ransum dengan imbangan energi dan protein 147
menghasilkan performans lebih tinggi daripada imbangan energi dan protein
151.
4. Kelinci yang dipelihara pada tingkat kepadatan ternak 2 ekor/3500 cm2
menghasilkan performans lebih tinggi daripada tingkat kepadatan ternak 1
ekor dan 3 ekor/3500 cm2.

6.2 saran

Peternak kelinci kelinci disarankan memberikan ransum dengan kandungan


energi termetabolis 2500 kkal/kg dan protein kasar 17% dengan imbangan energi
dan protein 147. Pemeliharaan kelinci penggemukan disaran untuk menggunakan
tingkat kepadatan ternak 2 ekor/3500 cm2.

34
DAFTAR PUSTAKA

Buijs, S. E., Van Poucke,S., Van Dongen., L. Lens and F.A.M Tuytttens. 2012.
Cage size and enrichment effects on the bone quality and fluctuating
asymmetry of fattening rabbits. Journal Anim.Sci vol 19, no 10: 3568-3573.

Bivin, W.S. and W.W. King. 1995. Raising Healthy Rabbit. A. Publication of
Christian Veterinary Mission, Washington, USA.

BMKG. 2013. Informasi Cuaca, Iklim dan Gempa Bumi Provinsi Bali. Bulletin.
Tahun III No. 09 September 2011. Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika Wilayah III, Denpasar.
Butcher, C., M.J. Bryant, D.H. Machin, E. Owen and J.E. Owen. 1981. The Effect of
Metabolizable Energy Concentration on Performance and Digestibility in
Growing Rabbits. Departement of Agriculture and Horticultura University
of Reading. http://www.fao.org/Ag/aga/AGAP/FGR/TAP 62/62.93 pdf.
Disitir Tanggal 22 Nopember 2010.

Carvera, C and J.F. Carmona. 1998. Climatic Environment. . In. The Nutrition of
the Rabbit. Ed. C. de Blas and J.Wiseman. CABI Publishing, New York.
De Blass, C and J. Wiseman. 1998. The Nutrition of the Rabbit. CABI Publishinr.
University of Nottingham. Nottingham.

Esmay, M.L. 1978. Principles of Animal Environment. Avi Publishing Company,


Inc., Westport, Connecticut. p. 17-33.

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar, Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan


Unsur-Unsur Iklim. Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta.

Kanisius. 2008. Pemeliharaan Kelinci. Penerbit Kanisius, Jakarta.

Kartadisatra, H.R. 2009. Kelinci Unggul. Penerbit Kanisius, Jakarta.

Kasa, I.W. and C.J. Thwaites. 1993. The Effect of Imfra-Red Radiation on Rectal,
Skin and Hair-Tip Temperatures of Rabbits. World Rabbit Science (1993), 1
(4), 133-138.

Lick, N.Q. and D.V. Hung. 2008. Study and Design the Rabbit Coop Small-Scale
Farm in Central of Vietnam. Departemen of Agriculture Engineering, Hue
University of Agriculture and Forestry. Vietnam.

Lukefahr, S.D. 1992. The Rabbit Project Manual. A Heifer International


Publication.

35
Mahardika, I.G. 1996. Kinerja Kerbau Betina pada Berbagai Beban Kerja serta
Implikasinya terhadap Kebutuhan Energi dan Protein Pakan. (Disertasi)
Program Pascasarjana, IPB

Mc.Nitt, J.I., N.M. Nephi, S.D. Lukefahr and P.R. Cheeke. 1996. Rabbit
Production. Interstate Publishers, Inc.

Mount, L. E. 1979. Adaptation to Thermal Environment, Man and His Productive


Animal. Edward Arnold Publishing, London. P.1-12.

Nugraha, K.A. 2010. Laboratorium Klinik: Pemeriksaan Darah (Blood Analysis).


http://Komitekeperawatanrsdsoreang.blogspot.com/2010/02/laborat orium-
klinik-pemeriksaan-darah/html. Disitir Tanggal 12 Nopember 2010.

Nuriyasa, I.M. 2012. Respon Biologi dan Pendugaan Kebutuhan Enegi dan Protein
Kelinci Jantan Lokal (Lepus nigricollis) pada Lingkungan Berbeda. Disertasi
Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar.

Onbasilar, E. E and I. Onbasilar. 2007. Effect of cage density and sex food
utilization and some stress parameter of young rabbit. J. Lab. Anim. Sci.
2007. Vol 34 No 3.

Owen, E. And J.E. Owen. 1981. The Effect of Metabolizable Energy Concentration
on Performance and Digestibility in Growing Rabbits. Trop. Anim. Prod. 6
(2) : 93 – 100.

Prasad, R., S.A. Karim, B.C. Patnayak. 1996. Growth Performance of Broiler
Rabbits Maintained on Diets with Varying Levels of Energy and Protein.
World Rabbit Science 1996, 4(2), 75-78.

Purnomoadi, A. 2003. Petunjuk Praktikum Ilmu Ternak Potong dan Kerja. Fakultas
Peternakan, Universitas Diponogoro. http://
eprints.undip.ac.id./21200/1/1061-ki-fp-05 pdf. Disitir Tanggal 12 Nopember
2010.

Rizzi, C., G.M. Chiericato and A. Dalle Zotte. 2008. Reproductive and
Physiological Responses of Rabbit Does Under Different Nutritive Levels
Before the First Parturition. Departement of Animal Science, University
of.Padova,Italy.http://www.cuniculture.info/Docs/Magazine2008/FigureMag
2008/Conggres2008-Verone/Papers/N-Eiben2.pdf. Disitir Tanggal 19
Nopember 2010.

Schiere, J.B. 1999. Backyard Farming in the Tropics. CTA Pubblished.

Scott, M.L.,M.C. Nesheim and R.J. Young. 1982. Nutrition of the Chickens Second
Ed. M.L. Scott and Associates Ithaca, New York.

36
Sinaga, S. 2009. Pakan Kelinci dan Pemberiannya. http:// blogs.unpad ac.id/Suland
Sinaga. Disitir 17 April 2011

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu
Pendekatan Biometrik, Edisi kedua. Diterjemahkan Oleh Sumantri.
Gramedia. Jakarta.

Suc, Q. N. D.V. Binh,L.T.T. Ha and T.R. Preston. 1996. Effect of Houshing


System (Cage versus Underground Shelter) on Performance of Rabbits on
Farm. Finca Ecologica, University of Agriculture and Forestry
.http://www.Irrd.org/Irrd8/4/cont 84.htm. Disitir Tanggal 12 Nopember
2010.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S . Reksohardiprodja.,P.Soeharto dan L. Soekamto.


1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada, University Press,
Yogyakarta

USDA. 2009. Rabbit Protein. http://www.mybunnyfarm.com/rabbitprotein/. Disitir


Tanggal 24 Juli 2010.

Xiangmei, G. 2008. Rabbit Feed Nutrition Study for Intensive, Large-Scale Meat
Rabbit Breeding. Qingdao Kangda Food Company Limited, China.
http://www.mekarn.org/prorab/guan.htm. Disitir Tanggal 18 Nopember
2010.

Yan,L and Li,M. 2008. Feeding Management and Technology of Breeding Rabbit
in Hot Climate. Qingdao Kanada Food Company Limited Kanada Group,
Qingdao, 266400, China.Yanyk@vip.sina.com.

Zerrouki, N., F. Lebas, C. Davous, E. Corrent. 2008. Effect of Mineral Block


Addition on Fattening Rabbit Performance. Word Rabbit Conggress-June
10-13,Verano, Itali.

Zucca, D., S.P Marelli, Veronica Redalli, Eugenio Heinzi, Heidi Cardile, Cristian
Ricci, Marina Verga, Fabio Lazi. 2012. Effect of Environmental
enrichment and group size on behavior and live weight in growing rabbits.
Word Rabbit Science Journal vol. 20 No 2 (2012).

37
LAMPIRAN 1. PERSONALIA PENELITI

l. Kepala Proyek Penelitian :

a. Nama lengkap dan gelar : Eny Puspani, SPt., MSi


b. Pangkat/Gol./NIP :PenataMuda Tk.I/IIIc/197905042006042001
c. Jabatan Fungsionil : Lektor
d. Jabatan Struktural : Dosen
e. Fakultas/PS : Peternakan
f. Universitas : Udayana, Denpasar
g. Bidang Keahlian : Nutrisi
h. Waktu yang tersedia untuk penelitian : 15 jam/minggu
2. Peneliti II

a. Nama lengkap dan gelar : Ir. Ni Gusti Ketut Roni, MSi


b. Pangkat/Gol./NIP :Penata Muda Tk.I/IIId/197007251997022001
c. Jabatan Fungsionil : Lektor
d. Jabatan Struktural : Dosen
e. Fakultas/PS : Peternakan
f. Universitas : Udayana, Denpasar
g. Bidang Keahlian : Nutrisi
h. Waktu yang tersedia untuk penelitian : 15 jam/minggu

3. Pembimbing/Anggota Peneliti :

a. Nama lengkap dan gelar : Dr.Ir. I Made Nuriyasa, MS


b. Pangkat/Gol./NIP : Pembina Tk.I/IVb/196202201987021001
c. Jabatan Fungsionil : Lektor Kepala
d. Jabatan Struktural : Dosen
e. Fakultas/PS : Peternakan
f. Universitas : Udayana, Denpasar
g. Bidang Keahlian : Agroklimatologi
h. Waktu yang tersedia untuk penelitian : 10 jam/minggu

38
LAMPIRAN 2. RINCIAN BIAYA PENELITIAN

Pembiayaan
No Aktivitas Volume Biaya Jml
Jml Sat (Rp) (Rp)
1. Gaji Peneliti (6 bulan)
 Honor Peneliti Utama (1 orgx 6 -
bln) -
 Honor anggota peneliti (1 org x 6
bln)
Sub Total 0
2. Operasionil Penelitian/Material
Penelitian
50 Ekor kelinci jantan umur 5 minggu 50 ekor 20.000 1.000.000
@ Rp.20.000;............................. ..
8 sak ransum @ 350.000,-.................. 8 sak 350.000 2.800.000
Analisis proximat protein ransum dan 20 smpl 100.000 2.000.000
feces
Analisis proximat energi ransum dan 20 smpl 100.000 2.000.000
feces
ATK, kawat, kayu, tempat pakan dan 1 paket 1.750.000 1.750.000
air, lampu
Sub Total 9.550.000
3. Publikasi di jurnal Nasional terakreditasi 1 keg 250.000
4. Penggandaan 10 eks 20.000 200.000
laporan/Jilid.........................
Total 10.000.000

39
CATATAN KEGIATAN HARIAN PENELITIAN (LOG BOOK)
PENELITIAN DOSEN MUDA (PNBP) T.A 2014

Judul : Temperature Humidity Index dan Respon Biologi Kelinci Jantan (Lepus
nigricollis) Yang Dipelihara dengan Luas Lantai Kandang serta Diberi
Ransum dengan Imbangan Energi dan Protein Berbeda

Tim Peneliti : Eny Puspani, S.Pt., M.Si


Ir. Ni Gusti Ketut Roni, M.Si

No. Tanggal Kegiatan Tempat/Lokasi Keterangan


1. 15 Mei 2014 Persiapan penelitian : Tabanan Kertas dan tinta
pembelian kertas dan tinta printer sudah
printer tersedia
2. 23 Mei 2014 Membeli material pembuatan Tabanan Material
petak kandang : pembelian pembuatan petak
kawat lapis plastik, kayu 4x6 kandang sudah
cm dan kayu 3x5 cm tersedia
3. 29 Mei 2014 Memasang lampu penerangan Tabanan Penerangan
dalam kandang : pemasangan dalam kandang
lampu pijar, kabel dan piting penelitian sudah
terpasang
4. 1 Juni 2014 Membeli tempat pakan dan Tabanan Tempat pakan
tempat air minum dan air minum
siap
dipergunakan
5. 2 Juni 2014 Membeli bahan pakan penyusun Tabanan Bahan penyusun
ransum : jagung kuning, tepung ransum
ikan, dedak padi, bungkil penelitian telah
kelapa, tepung tapioka. tersedia
6. 3 Juni 2014 Membeli materi penelitian : Tabanan Kelinci
kelinci umur 5 minggu penelitian sudah
tersedia
7. 7 Juni 2014 Melakukan pengacakan petak Tabanan Kandang dan
kandang dan ternak ternak sudah siap
dan dimulai
penelitian
8. 8 Juni 2014 Penelitian dimulai: Kandang Penelitian sudah
 Penimbangan berat penelitian, desa dimulai
badan untuk keperluan Dajan Peken,
pemblokan berdasarkan Tabanan
berat badan
 Penempatan kelinci

40
pada petak kandang
penelitian

 Penimbangan jatah
pemberian pakan kelinci
 Pengukuran air minum
yang diberikan
9. 22 Juni 2014 Pengamatan data setelah dua Kandang Data iklim
minggu penelitian (kelinci umur penelitian, Desa mikro, respon
7 minggu) Dajan Peken biologi, kelinci
Tabanan umur 7 minggu
didapatkan
10. 6 Juli 2014 Pengamatan data setelah empat Kandang Data iklim
minggu penelitian (kelinci umur penelitian, Desa mikro, respon
9 minggu) Dajan Peken biologi, kelinci
Tabanan umur 9 minggu
didapatkan
11. 20 Juli 2014 Pengamatan data setelah enam Kandang Data iklim
minggu penelitian (kelinci umur penelitian, Desa mikro, respon
11 minggu) Dajan Peken biologi, kelinci
Tabanan umur 11 minggu
didapatkan
12. 3 Agustus 2014 Pengamatan data setelah Kandang Data iklim
delapan minggu penelitian penelitian, Desa mikro, respon
(kelinci umur 13 minggu) Dajan Peken biologi, kelinci
Tabanan umur 13 minggu
didapatkan
13. 17 Agustus 2014 Pengamatan data setelah Kandang Data iklim
sepuluh minggu penelitian penelitian, Desa mikro, respon
(kelinci umur 15 minggu) Dajan Peken biologi, kelinci
Tabanan umur 15 minggu
didapatkan
14. 18 Agustus 2014 Pemotongan kelinci pada akhir Kandang Sampel tubuh
penelitian Penelitian, Desa kelinci pada
Dajan Peken akhir penelitian
tersedia
15. 18 Agustus 2014 Pengambilan sampel darah Kandang Sampel darah
untuk pengamatan hematogi Penelitian, Desa kelinci tersedia
darah kelinci Dajan Peken yang tersimpan
dalam box es.
16. 1-22 September Melakukan tabulasi dan analisis Fakultas Data penelitian
2014 data penelitian Peternakan, sudah teranalisis
Unud, denpasar
17. 23 september-23 Membuat laporan Penelitian Fakultas Laporan
oktober 2014 Peternakan, penelitian sudah
Unud, denpasar selesai

41
Foto Penelitian

Gambar 1. Pencampuran Ransum

Gambar 2. Proses Pembuatan Pelet

Gambar 3. Penimbangan Berat Badan Awal

42
Gambar 4. Mahasiswa Sedang Melakukan Pengamatan pada Kandang Battery

Gambar 5. Kode Kandang

43
Gambar 5. Petak Kandang yang Berisi Dua Ekor Kelinci

Gambar 6. Proses Pemotongan Karkas

44

Anda mungkin juga menyukai