Anda di halaman 1dari 40

RESPON FISIOLOGIS DENGAN PENGABUTAN AIR

MENGGUNAKAN SPRINKLER WATER


PADA SAPI PEDAGING

ALDO FEBRIANO TARIGAN

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2022
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Respon Fisiologis
dengan Pengabutan Air Menggunakan Sprinkler Water pada Sapi Pedaging adalah
karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2022

Aldo Febriano Tarigan


D14180052
ABSTRAK

ALDO FEBRIANO TARIGAN. Respon Fisiologis dengan Pengabutan


Air Menggunakan Sprinkler Water pada Sapi Pedaging. Dibimbing oleh
KOMARIAH dan KOEKOEH SANTOSO.

Sapi pedaging merupakan jenis sapi yang dimanfaatkan dagingnya untuk


pemenuhan protein hewani di Indonesia. Permasalahan yang dihadapi Indonesia
adalah rendahnya produktivitas sapi. Peningkatan produktivitas sapi pedaging
dapat dilakukan dengan cara membuat sapi berada pada zona nyaman dengan
melihat respon fisiologis dari sapi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh pengabutan air terhadap respon fisiologis sapi pedaging dan mikroklimat
kandang. Rancangan yang digunakan adalah uji-T berpasangan untuk variabel respon
fisiologis dan mikroklimat kandang dengan melakukan sebanyak 5 kali ulangan dan
Rancangan Acak Lengkap untuk mengetahui perbedaan antara suhu permukaan tubuh.
Perlakuan terdiri dari sebelum pengabutan air dan sesudah pengabutan air. Hasil
penelitian menunjukan bahwa perlakuan pengabutan air pada siang hari berbeda nyata
(P<0,05) terhadap peubah suhu kandang, kelembaban kandang, temperature humidity
index, suhu rektal, frekuensi pernapasan, dan frekuensi denyut jantung.
Pengabutan air pada siang hari menurunkan variabel mikroklimat kandang dan
sapi yang diukur hingga mendekati zona nyaman dan nilai faal sapi.

Kata Kunci: Mikroklimat kandang, respon fisiologis, sapi pedaging, sprinkler


water

ABSTRACT

ALDO FEBRIANO TARIGAN. Physiological Responses with Water


Misting using Water Sprinkler on Beef Cattle. Supervised by KOMARIAH and
KOEKOEH SANTOSO.

Beef cattle is the type of cow that is commonly utilized for its meat to fulfill
animal protein in indonesia. The problem facing Indonesia is the low productivity
of cattle. The increase of productivity of cattle producer can actually be done by
relocating the cattle towards the comfort zone by seeing the physiological
response. The purpose of this research is to find out the misting of water towards
its effect on the physiological response and the microclimate of the cattleshed.
The design used was a paired T-test for physiological and microclimate response
variables with 5 replications and a completely randomized design to determine the
difference between body surface temperatures. The treatment consisted of before
water misting and after water misting. The results showed that treatment of
misting water in the afternoon was significantly different (P<0.05) on the
variables of cage temperature, humidity, temperature humidity index, rectal
temperature, respiratory frequency, and heart rate. Water misting in the afternoon
in cattle produced a good effect on all physiological response variables.
Keywords: Beef cattle, pen microclimate, physiological responses, water sprinkler
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2022
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
RESPON FISIOLOGIS DENGAN PENGABUTAN AIR
MENGGUNAKAN SPRINKLER WATER
PADA SAPI PEDAGING

ALDO FEBRIANO TARIGAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana pada
Program StudiTeknologi Produksi Ternak

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2022
Tim Penguji pada Ujian Skripsi:
1 Bramada Winiar Putra, S.Pt. M.Si
2 Iyep Komala, S.Pt. M.Si
Judul Skripsi : Respon Fisiologis dengan Pengabutan Air Menggunakan
Sprinkler Water pada Sapi Pedaging
Nama : Aldo Febriano Tarigan
NIM : D14180052

Disetujui oleh

Pembimbing 1:
__________________
Dr. Ir. Komariah, M.Si

Pembimbing 2:
__________________
Dr. drh. Koekoeh Santoso, AIF.

Diketahui oleh

Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi


Peternakan:
__________________
Dr. Ir. Tuti Suryati, S.Pt. M.Si.
NIP 19720516 1997202 2 001

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


(29 Juli 2022) (tanggal penandatanganan oleh Dekan
Fakultas/Sekolah …)
PRAKATA

Bismillahirrohmaanirrohim. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ke


Hadirat Allah subhanaahu wa ta’ala atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga
penulis memperoleh kemudahan dan dalam penyusunan skripsi ini. Tema yang
dipilih dalam penelitian skripsi ini adalah mengenai respon fisiologis sapi dengan
judul Respon Fisiologis dengan Pengabutan Air menggunakan sprinkler water
pada Sapi Pedaging.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Komariah, M.Si. selaku
dosen pembimbing utama dan Bapak Dr. drh. Koekoeh Santoso, AIF selaku
dosen pembimbing anggota yang telah membimbing penulis sehingga
terselesaikannya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu
Dr.Yuni Cahya Endrawati, S.Pt. M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang
senantiasa membimbing hingga penulis dapat melaksanakan tugas akhir. Ucapan
terimakasih disampaikan kepada bapak Bramada Winiar Putra, S.Pt. M.Si dan
bapak Iyep Komala, S.Pt. M.Si selaku dosen penguji sidang yang telah
memberikan saran dan masukan pada tugas akhir penulis. Terimakasih kepada
Bapak Verika Armansyah Mendrofa, S.Pt. M.Si selaku dosen moderator yang
telah memandu dan memimpin jalannya sidang tugas akhir.
Selain itu, ucapan terimakasih kepada Bapak Januarius Tarigan dan Ibu
Lestari Prihatiningsih sebagai orang tua penulis serta Jalest Tarigan dan Delaya
Tarigan sebagai keluarga yang telah memberikan motivasi, doa, dan dorongan.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya tidak lupa penulis berikan kepada
Bapak Dr. drh. Koekoeh Santoso, AIF yang telah memberikan kesempatan luar
biasa untuk penulis dapat melaksanakan penelitian ini hingga selesai. Penulis
ucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. Parji dan Bapak H. Sabbad yang telah
membantu dan membimbing penulis di lapangan.Terimakasih juga kepada Andini
Rahman, Herwido Margatama, Rani Audona, Muhammad Yusuf, teman teman
Domesticus angkatan 55 dan teman-teman yang lainnya yang memberi bantuan
dan dukungan selama penelitian sehingga terselesaikannya skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan
bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2022

Aldo Febriano Tarigan


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN x
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
1.4 Manfaat 2
II METODE 3
2.1 Waktu dan Tempat 3
2.2 Alat dan Bahan 3
2.3 Prosedur Kerja 3
2.4 Peubah yang Diamati 4
2.5 Analisis Data 6
III HASIL DAN PEMBAHASAN 8
3.1 Gambaran Umum 8
3.2 Mikroklimat Kandang 8
3.3 Respon Fisiologis 10
IV SIMPULAN DAN SARAN 17
4.1 Simpulan 17
4.2 Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18
LAMPIRAN 21
DAFTAR TABEL

1 Kategori Temperature Humidity Index (THI) 6


2 Suhu dan kelembaban kandang sebelum dan sesudah pengabutan air 8
3 Suhu komponen kandang sebelum dan sesudah pengabutan air siang 9
4 Nilai THI sebelum dan sesudah pengabutan air 9
5 Suhu rektal sebelum dan sesudah pengabutan air siang 10
6 Suhu bagian wajah sebelum dan sesudah pengabutan air siang 11
7 Suhu bagian punggung sapi sebelum dan sesudah pengabutan air siang 12
8 Suhu bagian rump sapi sebelum dan sesudah pengabutan siang 12
9 Perbandingan suhu permukaan tubuh dengan suhu rektal sesudah pengabutan
air siang 13
10 Suhu tubuh sapi sebelum dan sesudah pengabutan air siang 14
11 Frekuensi pernapasan sebelum dan sesudah pengabutan air siang 14
12 Frekuensi denyut jantung sebelum dan sesudah pengabutan air siang 15

DAFTAR GAMBAR

1 Skema sprinkler water berbasis arduino


13 Titik pengukuran suhu permukaan tubuh sapi 5

DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi penelitian
2 Hasil uji-T menggunakan Minitab
13

I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Sapi pedaging merupakan sapi yang dimanfaatkan dagingnya untuk
pemenuhan protein hewani di Indonesia. Pemenuhan daging sapi di Indonesia
sebagian masih bergantung terhadap impor sapi atau daging. Populasi sapi
pedaging Indonesia pada tahun 2021 adalah sebanyak 18 Juta ekor tapi belum bisa
memenuhi kebutuhan daging sapi nasional (BPS 2021a). Berdasarkan BPS
(2021b) Indonesia hanya mampu memproduksi 437.783 ton daging sapi pada
2021, sedangkan kebutuhannya mencapai 700.000 ton, sehingga untuk
pemenuhan daging sapi tersebut pemerintah melakukan impor dari berbagai
negara. Selain melakukan impor, pemerintah perlu mencari metode yang optimal
untuk menghasilkan sapi dengan bobot potong yang besar. Penggemukan sapi di
negara beriklim tropis seperti Indonesia memiliki berbagai masalah yaitu
tingginya suhu pada siang hari yang menyebabkan produktivitas sapi menurun
ditandai dengan peningkatan respon fisiologis. Peningkatan produktivitas sapi
pedaging dapat dilakukan dengan cara membuat sapi berada pada zona nyaman
dengan melihat respon fisiologis dari sapi tersebut. Respon fisiologis yang dapat
diukur antara lain frekuensi pernapasan, frekuensi denyut jantung, suhu tubuh,
dan profil darah (Brandl 2018). Menurut Farooq et al. (2010) apabila sapi berada
diluar batas nyaman suhu akan mengakibatkan penurunan produktivitas seperti
penurunan konsumsi pakan, penurunan performa reproduksi, dan pertambahan
bobot badan terganggu.
Perhatian peternak terhadap kenyamanan sapi pedaging sangat penting
dilakukan, karena menyangkut produktivitas ternak tersebut. Menurut BMKG
(2022) suhu rata-rata pagi hingga malam di Bojonegoro berkisar antara 26-33° C
dan kelembaban berkisar antara 65-95%. Berdasarkan kisaran suhu dan
kelembaban tersebut didapat nilai THI berkisar antara 74,80-90,53. Menurut Das
et al. (2016) suhu ideal sapi di daerah tropis tidak boleh lebih dari 27° C. Apabila
sapi berada pada suhu diatas 27° C maka sapi akan merasakan tidak nyaman yang
ditandai dengan meningkatnya pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan suhu
tubuh. Menurut Aritonang et al. (2017) frekuensi pernapasan sapi normal berada
pada kisaran 18-34 kali menit-1. Frekuensi denyut jantung pada kondisi normal
berkisar antara 40-65 kali menit-1 (Aditia et al. 2017). Suhu permukaan tubuh sapi
di daerah tropis berkisar antara 33,5-37,1° C (Novianti et al. 2013). Berdasarkan
hal tersebut sapi akan mempertahankan frekuensi pernapasan, frekuensi denyut
jantung, dan suhu tubuh dengan sistem termoregulasi. Sistem termoregulasi pada
tubuh sapi dilakukan dengan dua cara yaitu pembuangan panas sensibel dan
pembuangan panas laten. Pembuangan panas sensibel merupakan pembuangan
panas melalui konduksi, konveksi dan radiasi, sedangkan pembuangan panas laten
merupakan pembuangan panas melalui evaporasi yang berasal dari permukaan
kulit dan saluran pernapasan (Brandl 2018). Sistem termoregulasi pada sapi diatur
oleh dua jenis sensor, yaitu sensor panas dan sensor dingin. Kedua sensor ini akan
mengirim sinyal ke saraf pusat, kemudian sinyal ini diolah oleh saraf pusat dan
hasilnya dikirim ke saraf motorik untuk dilanjutkan keseluruh tubuh, terutama
jantung dan paru-paru. Apabila suhu panas maka sensor panas akan mengirim
sinyal ke saraf pusat untuk mengatur pengeluaran panas dengan meningkatkan
14

frekuensi pernapasan dan frekuensi denyut jantung. Kenaikan denyut jantung


akan meningkatkan keluaran jantungnya sehingga mengakibatkan peningkatan
sirkulasi di dalam pembuluh perifer sehingga kelebihan panas tubuh akan
dialirkan oleh pembuluh darah diedarkan ke permukaan kulit sehingga suhu tubuh
sapi akan meningkat (Saleh dan Irwan 2016). Suhu tinggi akan menyebabkan
ternak stres, ternak tidak nyaman dalam kandang, frekuensi keringat bertambah,
dan yang paling parah dapat menyebabkan kematian pada ternak (Madet et al.
2006). Pengukuran respon fisiologis terutama suhu penting dilakukan untuk
mengetahui lokasi tubuh yang cedera, inflamasi, terinfeksi penyakit, diagnosis
penyakit, dan deteksi kehamilan (Cilulko et al. 2013). Perlu ada teknologi untuk
membuat ternak lebih nyaman agar produktivitas sapi maksimal.
Teknologi rekayasa mikroklimat sudah marak digunakan pada luar negeri
contohnya seperti penggunaan kipas angin dan penyemprotan air pada sapi perah
untuk meningkatkan produksi susu. Penerapan teknologi rekayasa mikroklimat
diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sapi potong. Untuk mengurangi
cekaman dari suhu panas maka digunakan sprinkler water cooling system yang
mana merupakan alat pengabutan kandang yang akan menurunkan suhu saat suhu
kandang diatas batas normal. Alat tersebut tidak akan membuat lantai lembab
dikarenakan ukuran nozzle yang sangat kecil dan hanya mengabutkan air. Selain
itu, digunakan alat sabuk respirasi untuk mengukur frekuensi pernapasan yang
memudahkan peternak untuk memantau sapi apabila terlihat stres. Kelebihan dari
alat ini adalah dapat dengan mudah melihat respon fisiologis sapi tersebut
sehingga produktivitas dapat terus terpantau dengan mudah.

I.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran umum kondisi kenyamanan sapi pedaging yang
digemukkan di daerah tropis?
2. Bagaimana pengaruh pengabutan air terhadap respon fisiologis sapi
pedaging dan mikroklimat?

I.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengabutan air terhadap
respon fisiologis sapi pedaging dan mikroklimat kandang.

I.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memudahkan masyarakat untuk mengetahui
batas respon fisiologis pada sapi pedaging dan mengetahui pengaruh pengabutan
terhadap respon fisiologis dan mikroklimat kandang.
15

II METODE

II.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November-Desember 2021. Lokasi
penelitian dilaksanakan di Sekolah Peternakan Rakyat Maju Bersama, Kecamatan
Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro.

II.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sabuk pengukur respon
fisiologis sapi (sensor denyut jantung EKG dan sensor pengukur respirasi), thermal
camera, termometer digital, stetoskop, thermohygrometer digital ,dan rangkaian
sprinkler IoT dengan thermohygro meter STC 3028. Pengolahan data dilakukan
menggunakan software Microsoft Excel 2016 dan Minitab 2020.
Bahan yang digunakan adalah 5 ekor sapi pedaging berumur 2 tahun yang
diketahui berdasarkan wawancara dengan peternak dan melihat pada gigi seri
tengah yang berganti dengan gigi seri tetap. Bahan yang lainnya adalah pakan
hijauan dan air (untuk minum dan perlakuan pengabutan air).

II.3 Prosedur Kerja


Prosedur kerja dilakukan agar dapat memudahkan dalam penelitian.
Prosedur kerja yang dilakukan dibagi dalam beberapa tahapan. Tahapan dalam
prosedur kerja yang dilakukan antara lain persiapan alat, pengambilan data, dan
respon fisiologis.

II.3.1 Persiapan Alat


Persiapan alat dilakukan untuk memasang alat sebelum pengambilan data
dilakukan. Sprinkler water dipasang pada besi penyangga atap pada kandang
sebanyak 2 nozzle dalam 1 titik. Jarak antar titik adalah 1-1,5 m. Hal tersebut
dimaksudkan untuk memaksimalkan jarak pengabutan dari nozzle sehingga
hasilnya maksimal. Disamping itu, sprinkler water harus di setting suhu
maksimal dan minimalnya. Suhu maksimal yang dipakai untuk menghidupkan
alat adalah 30° C, sedangkan suhu minimal yang dipakai agar alat tersebut mati
adalah 28° C.

Gambar 1 Skema sprinkler water berbasis arduino.


16

II.3.2 Pengambilan Data


Sejumlah 5 ekor sapi diukur respon fisiologisnya pada siang pukul 13.00-
14.00 WIB. Sapi tersebut diukur selama 10 hari yang mana 5 hari diukur
sebelum pengabutan air dan 5 hari diukur sesudah pengabutan air. Pengukuran
respon fisiologis dilakukan 5 pengulangan pengukuran untuk menghasilkan
hasil yang akurat. Rangkaian sprinkler water akan diaktifkan sepanjang hari
sehingga apabila melebihi batas suhu yang diatur maka alat tersebut akan
menyala. Air yang digunakan untuk pengabutan merupakan air yang telah di
filter sehingga tidak mengandung kaporit yang dapat menyebabkan pneumonia
pada sapi.

II.3.3 Respon Fisiologis


Pengukuran respon fisiologis dilakukan dengan mengukur denyut
jantung, suhu tubuh, suhu rektal dan frekuensi pernapasan. Frekuensi denyut
jantung diukur menggunakan stetoskop dan alat pengukur frekuensi denyut
jantung EKG, frekuensi pernapasan diukur dengan sabuk pengukur respirasi
berbasis arduino, suhu tubuh diukur menggunakan thermal camera, dan suhu
rektal diukur menggunakan termometer digital
Pengukuran frekuensi denyut jantung dilakukan dengan memasang alat
pengukuran frekuensi denyut jantung EKG pada dada sapi bagian depan kaki
kiri depan lalu dilihat hasilnya pada aplikasi (Suherman dan Purwanto 2020).
Selain itu, digunakan stetoskop pada bagian didepan kaki kiri depan untuk
membandingkan hasil yang lebih akurat. Pengukuran frekuensi pernapasan
dilakukan dengan memasang alat sabuk respirasi pada bagian dada sapi lalu
melihat hasilnya pada aplikasi. Selanjutnya, suhu permukaan tubuh diukur
menggunakan thermal camera pada 3 titik yaitu pada bagian mata, punggung,
dan rump mendekati vulva dengan jarak 2 m dari sapi. Suhu rektal diukur
menggunakan termometer digital yang dimasukan ke rektum lalu ditunggu
hasilnya sampai suhu stabil. Pengukuran diulang sebanyak lima kali dalam
setiap pengambilan data respon fisiologis. Data respon fisiologis adalah rata-
rata dari kelima pengukuran tersebut.

II.4 Peubah yang Diamati


Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi kondisi mikroklimat
kandang dan respon fisiologis. Kondisi mikroklimat yang diamati adalah suhu
kandang, kelembaban udara kandang, dan temperature humidity Index (THI).
Respon fisiologis yang diamati meliputi suhu rektal, suhu tubuh, frekuensi
pernapasan dan frekuensi denyut jantung.

II.4.1 Suhu Permukaan Tubuh (°C)


Pengukuran suhu permukaan tubuh dilakukan menggunakan Thermal
Camera untuk permukaan tubuh sapi dan termometer rektal. Suhu tubuh yang
diukur menggunakan thermal camera adalah bagian mata, punggung dan juga
rump dekat dengan vulva (Gambar 2) sebanyak lima kali setiap bagian.
17

Gambar 2 Titik pengukuran suhu permukaan tubuh sapi

II.4.2 Frekuensi pernapasan


Pengukuran frekuensi pernapasan dilakukan menggunakan sabuk
respirasi berbasis arduino. Alat tersebut dinyalakan lalu dipasangkan pada dada
sapi, lalu dilihat frekuensi pernapasan sapi tersebut pada aplikasi selama satu
menit. Pengukuran tersebut diulang sebanyak lima kali ulangan.

II.4.3 Frekuensi Denyut Jantung


Pengukuran frekuensi denyut jantung dilakukan menggunakan sabuk
pengukur denyut jantung dan stetoskop. Pertama lakukan pengukuran
menggunakan sabuk frekuensi denyut jantung dengan menyalakan alat lalu
dipasang ke dada sapi bagian didepan kaki kiri depan, lalu dilihat frekuensi
denyut jantung sapi tersebut pada aplikasi selama satu menit. Pengukuran
tersebut diulang selama lima kali ulangan.

II.4.4 Suhu Rektal (°C)


Pengukuran dilakukan menggunakan termometer digital yang bersih dan
kering dan telah di standarisasi. Pengukuran suhu rektal dilakukan dengan
mengangkat ekor sapi keatas secara hati-hati kemudian masukan termometer
digital kedalam rektum selama 30 detik hingga suhu stabil dengan lima kali
ulangan. Selang pengukuran suhu rektal adalah satu menit agar menormalkan
termometer terlebih dahulu.

II.4.5 Suhu Tubuh (°C)


Suhu tubuh didapatkan dengan menggunakan perhitungan suhu rektal
dan suhu permukaan tubuh. Menurut McLean et al. (1983) suhu tubuh dapat
dihitung dengan: suhu tubuh: 0,86 suhu rektal + 0,14 suhu permukaan tubuh.

II.4.6 Suhu Mikroklimat


Suhu kandang diukur pada siang hari pukul 13.00-14.00 WIB di kandang
sapi sekolah peternakan rakyat maju bersama, Kedungadem, Kabupaten
Bojonegoro sebanyak lima kali ulangan. Pengukuran suhu kandang diukur
18

menggunakan thermohygrometer digital. Thermohygrometer tersebut diletakan


pada bagian tengah kandang agar mendapatkan hasil yang akurat.

II.4.7 Kelembaban Udara


Kelembaban udara diukur pada siang hari pukul 13.00-14.00 WIB di
kandang sapi sekolah peternakan rakyat maju bersama, Kedungadem,
Kabupaten Bojonegoro sebanyak lima kali ulangan. Pengukuran kelembaban
udara diukur menggunakan thermohygrometer digital. Thermohygrometer
tersebut diletakan pada bagian tengah kandang agar mendapatkan hasil yang
akurat.

II.4.8 Suhu Komponen Kandang


Komponen kandang yang diamati diantaranya atap kanan, atap kiri, lantai
dalam kanan, lantai dalam kiri, lantai dalam tengah, lantai luar, tempat pakan
kanan, tempat pakan kiri, dan tempat pakan tengah. Pengukuran komponen
kandang dilakukan menggunakan thermal camera flir C2 dengan cara
memotret langsung komponen-komponen kandang yang diamati. Pengukuran
dilakukan sebanyak lima kali ulangan pada setiap komponen kandang.

II.4.9 Temperature Humidity Index


Temperature Humidity Index (THI) merupakan kombinasi dari suhu dan
kelembaban udara yang biasanya digunakan untuk mengetahui tingkat nyaman
dan mendeskripsikan beban panas pada hewan. Berikut merupakan rumus
matematika untuk menghitung THI berdasarkan Habeeb et al. (2018):

THI = (1.8 × T + 32) –((0.55- 0.0055 × RH) × (1.8 × T- 26))

Keterangan:
T= Suhu kandang
RH= kelembaban udara kandang

Tabel 1 Kategori Temperature Humidity Index (THI)


Nilai THI Kategori
<68 Nyaman
68-72 Sedikit nyaman
72-75 Tidak nyaman
75-79 Stres ringan
79-84 Stress sedang
>84 Stres berat
Habeeb et al. (2018).

II.5 Analisis Data


Penelitian ini menggunakan uji-T untuk membandingkan antara penggunaan
sprinkler dengan tidak pada respon fisiologis. Setiap perlakuan diulang sebanyak
lima kali ulangan. Berikut uji-T yang digunakan (Steel dan Torrie 1993):
19

( x̄ 1 – x̄ 2 ) – (μ1 – μ2 )


t =Sp 1
n1
+
1
n2

dimana,

Sp =
√ ( n 1 –1 ) s21 + ( n2 –1 ) s22
n1 + n2 – 2

Keterangan:
x̄ = nilai rataan sampel; μ = rataan populasi;
n = jumlah sampel; 1 = Tanpa penggunaan sprinkler dan
Sp = simpangan baku sampel; 2 = Dengan penggunaan sprinkler;
s = Simpangan baku sampel;

Selain itu, digunakan Rancangan Acak Lengkap untuk membandingkan


suhu permukaan tubuh dan suhu rektal dengan rumus menurut Steel dan Torrie
(1993) sebagai berikut:

Yij = µ + Pi + €ij

Keterangan:
Yij : Peubah yang diamati pada percobaan ke-j
µ : Nilai tengah umum
Pi : Pengaruh perlakuan ke-i
€ij : Pengaruh galat percobaan

Apabila hasil yang diperoleh berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji
duncan (Steel dan Torrie 1993).
20

III HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1 Gambaran Umum


Penelitian ini dilakukan di Sekolah Peternakan Rakyat Maju Bersama
(SPR Maju Bersama), Kecamatan Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa
Timur. SPR Maju Bersama memiliki pengurus yang tersebar di daerah Kecamatan
Kedungadem dan masing-masing memiliki kandang sendiri. Kecamatan
Kedungadem memiliki luas 145 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 90.258
jiwa. Kandang SPR yang digunakan berada pada kandang salah satu pengurus
yaitu pada Jl. Raya Kesongo Kedungadem, Kedungdowo, Krajan, Kecamatan
Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Kandang tersebut berukuran
panjang 18 m dan lebar 15 m dengan tinggi 7 m. Kapasitas maksimal kandang
tersebut bisa mencapai 50 ekor sapi dan biasa digunakan untuk penggemukan lalu
dikirimkan ke RPH. Sapi tersebut diberi pakan dua kali dalam satu hari yang
mana pemberian pakan full hijauan dengan banyak pemberian pakan sebanyak 30-
40 kg per ekor per hari. Kondisi kandang cenderung panas yaitu kisaran 28-32 °C
dengan kelembaban 75-87%.

III.2 Mikroklimat Kandang


Mikroklimat kandang merupakan salah satu faktor penting yang dapat
memengaruhi kenyamanan sapi selama penggemukan sapi. Mikroklimat kandang
sendiri terdiri dari suhu kandang, kelembaban kandang, kecepatan angin, dan
radiasi matahari (Suherman et al. 2017). Thermoneutral zone merupakan kisaran
suhu udara yang merupakan zona nyaman bagi ternak (Kingma et al. 2012). Zona
nyaman berarti ternak dapat menjaga metabolisme agar tetap rendah dan
memaksimalkan produktivitas. Penelitian ini hanya mengukur dua unsur
mikroklimat kandang yaitu suhu dan kelembaban kandang. Suhu dan kelembaban
kandang disajikan pada tabel 2.

Tabel 2 Suhu dan kelembaban kandang sebelum dan sesudah pengabutan air
Suhu (° C) Kelembaban (%)
Waktu
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
Rata-rata Siang 32,1±0,58 31,38±0,87 75,16±2,06 78,00±4,23b
a b a

33,10±0,5
Maksimum Siang 32,50±0,87 78±2,06 87±4,23
8
31,10±0,5
Minimum Siang 29,60±0,87 70±2,06 73±4,23
8
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05)

Rata-rata suhu dan kelembaban kandang sesudah pengamatan sebelum dan


sesudah pengabutan air mendapatkan hasil berbeda nyata. Berdasarkan penelitian
Hutasuhut (2015) suhu lingkungan untuk wilayah tropis adalah 17-40° C,
Sedangkan kelembapan udara berada pada kisaran 53-91% (Suherman et al.
2013). Berdasarkan hal tersebut nilai suhu dan kelembaban sesuai dengan keadaan
di iklim tropis. Menurut Das et al. (2016) nilai suhu kandang melebihi batas
thermoneutral zone yaitu sekitar 27° C, sehingga dapat mengganggu kenyamanan
dan dapat menyebabkan stres panas pada sapi. Disamping itu, kelembaban yang
21

melebihi batas ideal sapi juga akan menyebabkan sapi tidak nyaman yang akan
menyebabkan stres. Suhu dan kelembapan yang tinggi juga akan menyebabkan
terganggunya sistem reproduksi dari sapi yaitu dengan menurunnya konsentrasi
estradiol, LH, dan sekresi progesteron sehingga akan menyebabkan turunnya
angka conception rate dan kesuburan pada sapi (Jaenudin et al. 2018).
Berdasarkan hasil pengukuran suhu semua komponen kandang sebelum dan
sesudah pengabutan pada siang hari menunjukan hasil berbeda nyata. Terjadi
penurunan suhu komponen kandang sesudah pengabutan air. Penurunan tersebut
disebabkan oleh menguapnya pada pengabutan sehingga suhu kandang menjadi
turun.Perbedaan suhu komponen kandang disebabkan oleh pada tiap bahan
kandang mengeluarkan radiasi panas yang berbeda sehingga panas yang
dipancarkan akan berbeda.

Tabel 3 Suhu komponen kandang sebelum dan sesudah pengabutan air siang
Komponen Kadang Sebelum Sesudah
......C......
Atap Kiri 42,36a 41,41b
Tempat Pakan Kiri 32,85a 31,71b
Lantai Dalam Kiri 28,28 a
28,28b
Tempat Pakan Tengah 31,84a 31,64b
Lantai Dalam Tengah 31,09 a
29,17b
Atap Kanan 45,48a 42,22b
Tempat Pakan Kanan 32,32 a
31,04b
Lantai Dalam Kanan 30,77a 29,21b
Lantai Luar 33,86 a
32,66b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05)

Rataan nilai THI sebelum dan sesudah pengabutan air pada waktu siang
adalah 85,44 dan 84,8. Berdasarkan nilai THI tersebut, untuk nilai THI pada siang
hari sebelum pengabutan air dikategorikan sebagai stress panas berat sedangkan
sesudah pengabutan air dikategorikan sebagai stres panas sedang (Habeeb et al.
2018a). Kategori THI berkisar antara stres sedang hingga berat yang berarti sapi
yang dipelihara mengalami stres panas akibat suhu dan kelembaban yang tinggi.
Ternak yang mengalami stres panas akibat tingginya suhu dan kelembapan akan
menyebabkan produktivitas menurun akibat konsumsi pakan menurun dan pakan
yang dikonsumsi akan digunakan untuk mengatur suhu dalam tubuh ternak
(Habeeb et al. 2018b).

Tabel 4 Nilai THI sebelum dan sesudah pengabutan air


Sebelum Sesudah
Waktu
Nilai THI Nilai THI
Rata rata Siang 85,44±0,59 84,8±0,78
Maksimum Siang 87,52±0,59 88,18±0,78
Minimum Siang 83,03±0,59 81,23±0,78
22

III.3 Respon Fisiologis


Respon fisiologis merupakan tanda yang akan muncul apabila suhu
lingkungan pada daerah ternak melebihi thermoneutral zone sehingga
menyebabkan terjadinya cekaman panas (Suherman et al. 2013). Cekaman panas
tersebut membuat ternak melakukan adaptasi yang diekspresikan melalui respon
fisiologis yang diantaranya meliputi perubahan frekuensi denyut jantung,
perubahan frekuensi pernapasan, perubahan suhu permukaan tubuh, dan
perubahan suhu rektal. Ternak apabila terkena cekaman panas maka akan
memodifikasi tingkah lakunya seperti konsumsi pakan, fungsi fisiologis,
metabolisme, serta kuantitas dan kualitas produksinya (Sutedjo 2016). Respon
fisiologis yang diamati pada penelitian ini adalah suhu permukaan tubuh, suhu
rektal, frekuensi denyut jantung, dan frekuensi pernapasan. Respon fisiologis yang
tinggi dapat mengakibatkan penurunan produktivitas. Faktor-faktor yang
menyebabkan tingginya respon fisiologis adalah curah hujan, kecepatan angin,
kelembaban, kenaikan suhu, dan intensitas matahari (Saiya 2014). Penelitian ini
melakukan pengamatan respon fisiologis sebelum dan sesudah dilakukan
pengabutan air.

III.3.1 Suhu Rektal


Pengukuran suhu rektal bertujuan untuk mengetahui suhu tubuh yang
direfleksikan dari panas yang diproduksi dan panas yang dilepaskan (Aditia et
al. 2017). Suhu rektal merupakan salah satu metode dasar untuk mengetahui
apakah ternak mengalami stres panas atau tidak. Nilai suhu rektal siang
sebelum dan sesudah pengabutan air disajikan dalam tabel 5.

Tabel 5 Suhu rektal sebelum dan sesudah pengabutan air siang


Hewan Sebelum pengabutan Sesudah pengabutan
.......... ° C ............
Sapi 1 39,33±0,20 a
39,01±0,24b
Sapi 2 39,33±0,21a 39,00±0,24b
Sapi 3 39,23±0,26a 39,02±0,27b
Sapi 4 39,26±0,29a 38,96±0,31b
Sapi 5 39,40±0,26a 39,18±0,28b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata
(P<0,05)

Suhu rektal sebelum dan sesudah pengabutan air siang menunjukan hasil
berbeda nyata pada semua sapi. Nilai suhu rektal pada siang hari berkisar
antara 38,96-39,40° C. Berdasarkan nilai tersebut pada siang hari sapi
mengalami stress panas karena suhu rektal pada kondisi normal pada daerah
tropis berada pada kisaran 38,5-39,2° C (Hansen 2004). Peningkatan suhu
rektal tersebut diakibatkan oleh peningkatan suhu kandang pada siang hari.
Nilai sesudah pengabutan air mengalami penurunan yang signifikan yang mana
membuat sapi tidak mengalami stres panas. Hal tersebut sama dengan
penelitian Adhianto et al. (2015) yaitu penyiraman air sebanyak dua kali
menghasilkan suhu rektal yang lebih rendah daripada sapi yang tidak diberi
perlakuan. Suhu rektal menurun akibat adanya perubahan suhu dan
23

kelembaban mikroklimat mendekati thermoneutral zone dari sapi yang


menyebabkan penurunan respon fisiologis.

III.3.2 Suhu Permukaan Tubuh


Suhu permukaan tubuh sapi diukur menggunakan FLIR thermal camera.
FLIR thermal camera diarahkan ke bagian tubuh sapi selama 5-10 detik
dengan jarak 1-2 m. Pengukuran suhu permukaan tubuh merupakan salah satu
indikator terkena cekaman panas dari individu sapi yang mana nilainya akan
tinggi apabila sapi terkena cekaman panas. Suhu permukaan tubuh akan
semakin tinggi apabila suhu kandang tinggi (Novianti et al. 2013). Pengukuran
menggunakan thermal camera difungsikan untuk mengurangi stres dari sapi
akibat kontak fisik langsung (Nugrahanto 2019). Suhu permukaan tubuh bagian
wajah sapi sebelum dan sesudah pengabutan air pada siang hari disajikan pada
tabel 6.

Tabel 6 Suhu bagian wajah sebelum dan sesudah pengabutan air siang
Hewan Sebelum pengabutan Sesudah pengabutan
............... ° C ...........
Sapi 1 37,77±0,61a 37,08±0,38b
Sapi 2 37,70±0,41 a
37,30±0,29b
Sapi 3 37,33±0,36a 36,85±0,46b
Sapi 4 37,46±0,22 a
37,03±0,37b
Sapi 5 37,21±0,42a 36,91±0,38b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata
(P<0,05)

Perubahan suhu bagian wajah sapi sebelum dan sesudah pengabutan air
pada siang hari menunjukan hasil berbeda nyata. Nilai suhu bagian wajah
tersebut berkisar antara 37,21-37,7° C. Menurut Novianti et al. (2013) suhu
permukaan tubuh yang ideal adalah 33,5-37,1° C, sehingga pada penelitian ini
sapi mengalami cekaman panas pada sebelum pengabutan air. pada Tingginya
suhu kandang mengakibatkan suhu bagian wajah sapi mengalami cekaman
panas terutama pada waktu siang hari. Suhu lingkungan kandang yang tinggi
akan berbanding lurus dengan suhu permukaan tubuh. Penurunan suhu bagian
wajah sesudah pengabutan air menandakan bahwa suhu dan kelembaban
kandang mengalami penurunan mendekati thermoneutral zone dari sapi,
sehingga sapi merasa nyaman. Suhu permukaan tubuh yang tinggi menunjukan
sapi terkena cekaman panas yang mana ditunjukan oleh lidah yang terjulur
yang menyebabkan ternak tidak mau makan sehingga produktivitas sapi akan
menurun dan apabila terjadi dalam waktu lama maka akan mengakibatkan
ternak mati (Sihombing 1999). Berikut suhu bagian punggung sapi sebelum
dan sesudah pengabutan pada siang hari disajikan dalam tabel 7.
24

Tabel 7 Suhu bagian punggung sapi sebelum dan sesudah pengabutan air siang
Hewan Sebelum pengabutan Sesudah pengabutan
............ ° C ............
Sapi 1 36,66±0,76a 36,12±0,24b
Sapi 2 37,34±0,58a 36,12±1,43b
Sapi 3 37,07±0,75 a
36,98±0,41a
Sapi 4 36,57±0,42a 35,96±0,36b
Sapi 5 36,54±0,36 a
36,48±0,50a
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata
(P<0,05)

Suhu bagian punggung pada siang berpengaruh nyata pada sapi satu, dua
dan empat, sedangkan pada sapi tiga dan lima tidak berbeda nyata.
Berdasarkan Novianti et al. (2013) suhu permukaan tubuh yang ideal pada sapi
adalah 33,5-37,1° C. Sapi yang mengalami cekaman panas akibat suhu bagian
punggung melebihi batas normal pada sebelum pengabutan air adalah sapi dua.
Perbedaan hasil dari suhu bagian punggung dapat disebabkan oleh kemampuan
termoregulasi sapi yang berbeda (Brandl dan Jones 2011). Suhu kandang
berbanding lurus dengan suhu permukaan tubuh sapi, apabila suhu lingkungan
tinggi maka sistem termoregulasi sapi akan mengatur suhu didalam tubuh yang
membuat suhu permukaan tubuh meningkat akibat pelepasan panas. Berikut
suhu bagian rump sapi sebelum dan sesudah pengabutan pada siang hari
disajikan dalam tabel 8.

Tabel 8 Suhu bagian rump sapi sebelum dan sesudah pengabutan siang
Hewan Sebelum pengabutan Sesudah pengabutan
…............ ° C ............
Sapi 1 37,12±0,81a 36,51±0,31b
Sapi 2 37,42±1,04a 36,32±1,26b
Sapi 3 37,12±0,93 a
36,87±0,32a
Sapi 4 36,71±0,47a 35,28±0,88b
Sapi 5 36,57±0,43 a
36,40±0,66a
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata
(P<0,05)

Suhu bagian rump pada siang hari berpengaruh nyata pada sapi satu, dua
dan empat, sedangkan pada sapi tiga dan lima tidak berbeda nyata. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban kandang yang
tinggi. Suhu permukaan tubuh sesudah pengabutan air mengalami penurunan
karena suhu dan kelembaban kandang mendekati thermoneutral zone sapi.
Suhu permukaan tubuh yang tinggi dapat diartikan sebagai cara mekanisme
termoregulasi dalam tubuh sapi. Mekanisme termoregulasi dapat meningkatkan
suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan frekuensi pernapasan. Hal tersebut
dapat dinilai dapat menyebabkan perubahan tingkah laku makan dan minum
pada ternak. Menurut Curtis (1983) ternak yang mengalami cekaman panas
akan mengalami perubahan fisiologi, anatomi dan tingkah laku dalam upaya
mempertahankan keseimbangan panas. Menurut Sutedjo (2016) ternak yang
25

terpapar suhu tinggi akan meningkatkan upaya untuk melepaskan panas tubuh
dengan cara memperbanyak konsumsi air dan mengurangi konsumsi pakan.

Tabel 9 Perbandingan suhu permukaan tubuh dengan suhu rektal sesudah


pengabutan air siang
Hewa
n Suhu Rektal Suhu Punggung Suhu rump Suhu Wajah
............. ° C ............
Sapi 1 39,01±0,24a 36,12±0,24b 36,51±0,31c 37,08±0,38d
Sapi 2 39,00±0,24a 36,12±1,43b 36,32±1,26c 37,30±0,29c
Sapi 3 39,02±0,27 a
36,98±0,41 b
36,87±0,32 b
36,85±0,46b
Sapi 4 38,96±0,31a 36,57±0,36b 35,28±0,88c 37,03±0,37d
Sapi 5 39,18±0,28 a
36,48±0,50 b
36,40±0,66 c
36,91±0,38c
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata
(P<0,05)

Suhu tubuh pada tabel 9 menunjukan hasil berbeda nyata namun ada
bagian yang tidak berbeda nyata. Peningkatan suhu tubuh disebabkan oleh
vasodilatasi atau vasokontraksi pembuluh darah (Knizkova dan Kune 2007).
Menurut Kolibu dan South (2019) peningkatan suhu permukaan tubuh dapat
terjadi akibat ternak berada pada suhu kandang yang tinggi dalam 10 menit.
Suhu bagian wajah memiliki hasil berbeda nyata dengan suhu rektal yang mana
hal tersebut sesuai dengan penelitian Aditia et al. (2017). Suhu wajah memiliki
nilai yang hampir mirip dengan suhu rektal hal ini dapat digunakan sebagai
indikator stres pada ternak. Daerah mata memiliki jumlah kapiler yang banyak
sehingga memungkinkan menjadi indikator stres (Martello et al. 2015).
Menurut Santoso et al. (2019) bagian suhu permukaan tubuh yang berbeda
disebabkan karena adanya perbedaan radiasi energi yang dipancarkan oleh
tubuh sapi.

III.3.3 Suhu Tubuh


Suhu tubuh merupakan representasi dari suhu dari organ-organ didalam
tubuh serta organ diluar tubuh (Suherman et al. 2013). Suhu didalam tubuh
didapat dari suhu rektal sedangkan suhu diluar tubuh didapatkan dari suhu
permukaan tubuh. Cekaman panas dapat mengakibatkan peningkatan suhu
tubuh dan berakibat pada penurunan konsumsi pakan. Suhu tubuh sebelum dan
sesudah pengabutan air disajikan dalam tabel 10.
26

Tabel 10 Suhu tubuh sapi sebelum dan sesudah pengabutan air siang
Hewan Sebelum Sesudah
..................° C.....................
Sapi 1 39,05a 38,68b
Sapi 2 39,08 a
38,68b
Sapi 3 38,95a 38,72b
Sapi 4 38,92 a
38,63b
Sapi 5 39,05a 38,83b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata
(P<0,05)

Suhu tubuh pada tabel 10 menunjukan hasil berbeda nyata pada semua
sapi. Hasil perhitungan suhu tubuh sapi sebelum dan sesudah pengabutan air
mengalami penurunan. Nilai suhu tubuh sapi sebelum pengabutan berkisar
antara 38,92-39,08° C, sedangkan nilai suhu tubuh sesudah pengabutan
berkisar antara 38,63-38,72° C. Menurut Schutz et al. (2008) suhu tubuh sapi
yang dipelihara di kondisi mikroklimat yang nyaman adalah 38,3-38,6° C.
Kelima sapi mengalami stres panas sebelum dilakukan pengabutan, namun sapi
tidak mengalami stres sesudah adanya pengabutan. Stres panas dapat
menyebabkan penurunan konsumsi pakan yang jika dibiarkan maka
pertambahan bobot badan hariannya akan menurun sehingga produktivitas
tidak maksimal (Suherman et al. 2013).

III.3.4 Frekuensi pernapasan


Pernapasan merupakan salah satu mekanisme respon fisiologis dari sapi
yang menunjukan kenyamanan dari seekor ternak. Faktor yang memengaruhi
frekuensi pernapasan adalah suhu lingkungan kandang, kelembaban kandang,
ukuran tubuh, umur, kesehatan ternak, dan aktivitas fisik (Kelly 1984).
Menurut Adhianto et al.(2015) suhu dan kelembaban udara tinggi akan
mengakibatkan kenaikan frekuensi pernapasan untuk menyesuaikan dengan
lingkungan. Frekuensi pernapasan siang sebelum dan sesudah pengabutan air
disajikan dalam Tabel 11

Tabel 11 Frekuensi pernapasan sebelum dan sesudah pengabutan air siang


Frekuensi Sebelum pengabutan Sesudah pengabutan
pernapasan Siang Siang
Sapi 1 26±2a 24±2b
Sapi 2 25±2a 24±1b
Sapi 3 25±3 a
22±1b
Sapi 4 24±2a 22±2b
Sapi 5 25±2 a
23±2b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata
(P<0,05)
27

Perubahan frekuensi pernapasan siang sebelum dan sesudah pengabutan


air menunjukan hasil berbeda nyata pada sapi satu hingga sapi lima. Frekuensi
siang sebelum pengabutan memiliki nilai rata-rata berkisar 22-28 kali menit-1,
sedangkan sesudah pengabutan memiliki nilai rata-rata 20-26 kali menit-1.
Frekuensi pernapasan siang hasil pengamatan menunjukan penurunan dari
sebelum pengabutan ke sesudah pengabutan air. Sapi satu hingga sapi lima
menunjukan adanya penurunan rata-rata 4-7 kali menit-1. Pengabutan air
memiliki tujuan mencegah terjadinya cekaman panas pada sapi yang dapat
mengganggu kenyamanan dan produktivitas (Mitlohner et al. 2001). Frekuensi
pernapasan sapi siang hari pada kandang tersebut masih dalam batas normal
yaitu sekitar 24-26 kali menit-1 yang mana batasnya berada pada 34 kali menit -1
(Aritonang et al. 2017). Berdasarkan nilai frekuensi respirasi, sapi pada
kandang belum terkena cekaman panas yang mengakibatkan tingginya respon
fisiologis termasuk frekuensi respirasi akibat sistem termoregulasi pada tubuh
sapi. Hal tersebut disebabkan oleh adaptasi terhadap cekaman panas kronis
yang ditunjukan dari penurunan aktivitas hormon kortisol plasma (Sutedjo
2016). Adaptasi tersebut menyebabkan perubahan thermoneutral zone dari sapi
yang berada pada kandang tersebut. Berdasarkan hal tersebut, sapi pada
kandang sudah beradaptasi terhadap cuaca panas pada lingkungan kandang.
Faktor yang memengaruhi respirasi antara lain suhu dan kelembaban kandang
(Alzahra 2010). Menurut Scharf et al. (2010) salah satu tanda stres panas pada
sapi adalah adanya peningkatan frekuensi pernapasan.

III.3.5 Frekuensi Denyut Jantung


Ternak yang mengalami cekaman panas akan menyebabkan
meningkatnya frekuensi denyut jantung. Peningkatan frekuensi denyut jantung
dimaksudkan untuk mekanisme termoregulasi yang berfungsi untuk mengatur
suhu di dalam tubuh ternak (Saleh dan Irwan 2016). Menurut Aditia et al.
(2017) Denyut jantung akan meningkat akibat beban panas dari dalam dan luar
tubuh sapi. Hal tersebut terjadi karena penurunan tekanan darah dari
vasodilatasi periferal. Frekuensi denyut jantung sapi pedaging sebelum dan
sesudah pengabutan air pada siag hari disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Frekuensi denyut jantung sebelum dan sesudah pengabutan air siang
Denyut Sebelum pengabutan Sesudah pengabutan
jantung Siang Siang
Sapi 1 67±3 a
55±2b
Sapi 2 67±2 a
54±2b
Sapi 3 65±3a 52±2b
Sapi 4 66±3a 53±3b
Sapi 5 65±3 a
53±2b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata
(P<0,05)

Frekuensi denyut jantung sebelum dan sesudah pengabutan air pada siang
hari berbeda nyata pada semua sapi. Penggunaan pengabutan air pada sapi
pedaging menunjukan hasil berbeda nyata. Frekuensi denyut jantung sebelum
dan sesudah pengabutan air pada siang hari menunjukan penurunan. Frekuensi
28

denyut jantung sapi berada pada puncaknya yaitu pada siang hari dengan suhu
udara didalam kandang rata-rata berkisar 32 °C, yang diiringi dengan frekuensi
denyut jantung sekitar 62-69 kali menit-1. Hasil tersebut menunjukan rata-rata
sapi mengalami stres akibat cekaman panas. Faktor yang menyebabkan
terjadinya cekaman panas antara lain produksi panas akibat pakan, suhu dan
kelembaban kandang yang melebihi batas thermoneutral zone dan karakteristik
ternak (Sulistyowati et al. 2019). Suhu thermoneutral zone sapi di daerah
tropis tidak boleh melebihi 27 °C jika melebihi suhu tersebut sapi akan tidak
nyaman dan berpengaruh terhadap produktivitasnya (Das et al. 2016). Menurut
Aditia et al. (2017) frekuensi denyut jantung sapi normal yang berada pada
iklim tropis berkisar antara 40-65 kali menit-1 yang mana pada siang hari semua
sapi terkena cekaman panas yang menyebabkan sapi tidak nyaman dan
terganggu produktivitasnya. Frekuensi denyut jantung memiliki nilai yang
berbanding lurus dengan frekuensi pernapasan yang mana apabila denyut
jantung meningkat maka pernapasan juga akan meningkat (Beatty et al. 2006).
Menurut Anton et al. (2016) frekuensi denyut jantung yang meningkat juga
akan meningkatkan suhu tubuh sapi karena jantung mendistribusi panas ke
permukaan kulit agar stabilitas tubuh tetap terjaga.
29

IV SIMPULAN DAN SARAN

IV.1 Simpulan
Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan pengabutan pada siang hari
berbeda nyata (P<0,05) terhadap variabel mikroklimat kandang,. Pengabutan air pada
siang hari menurunkan secara nyata (P<0,05) variabel mikroklimat kandang dan
respon fisiologis sapi yang diukur berdasarkan suhu tubuh, frekuensi pernapasan,
dan frekuensi denyut jantung. Berdasarkan nilai THI sapi masih mengalami stres
ringan hingga berat tetapi pengabutan air menurunkan tingkat stres pada sapi

IV.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengabutan air terhadap
produktivitas dan respon fisiologis. Produktivitas yang perlu diukur adalah
pertambahan bobot badan harian dan konsumsi pakan. Respon fisiologis yang
perlu diukur adalah sweating rate dan profil darah.
30

DAFTAR PUSTAKA

Adhianto K, Siswanto, Kesuma CN. 2015. Pengaruh frekuensi penyiraman


air menggunakan sprinkler terhadap respon fisiologis dan pertumbuhan sapi
peranakan simmental. Buletin Peternakan. 39(2):109-115.
Aditia EL, Yani A, Fatonah AF. 2017. Respons fisiologis sapi bali pada sistem
integrasi kelapa sawit berdasarkan kondisi lingkungan mikroklimat. Jurnal
Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. 5(1):23-28.
Alzahra W. 2010. Pengaruh lingkungan mikroklimat terhadap respon
fisiologis sapi bali pada bahan atap kandang yang berbeda [skripsi]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Anton A, Kasip LM, Wirapribadi L, Depamede SN, Asih RS. 2016.
Perubahan status fisiologis dan bobot badan sapi bali bibit yang
diantarpulaukan dari Pulau Lombok ke Kalimantan Barat. Journal Ilmu dan
Teknologi Peternakan Indonesia. 2(1):86-95.
Aritonang SB, Yuniarti R, Abinawanto, Imron I, Bowolaksono A. 2017.
Physiology response of indigenous cattle breeds to the environment in West
Sumbawa Indonesia. Amerika Inst of Physics. 1862(1):1-4.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2022. Prakiraan Cuaca
Kabupaten Bogor Kecamatan Dramaga. [diakses 2022 Apr 20].
https://www.bmkg.go.id/cuaca/prakiraancuaca.bmkg?
Kota=Bojonegoro&AreaID=501277&Prov=12.
Badan Pusat Statistika. 2021. Produksi Daging Sapi Menurut Provinsi.
[diakses 2022 Jul 6]. https://www.bps.go.id/indicator/24/480/1/produksi-
daging-sapi-menurut-provinsi.html.
Badan Pusat Statistika. 2021. Populasi Sapi Potong Menurut Provinsi.
[diakses 2022 Jul 6]. https://www.bps.go.id/indicator/24/469/1/populasi-
sapi-potong-menurut-provinsi.html.
Beatty DT. Barnes A, Taylor E, Pethick D, McCarthy M, Maloney SK.
2006. Physiological responses of Bos taurus and Bos indicus cattle to
prolonged, continuous heat and humidity. Journal Animal Sciences.
84(1):972-985.
Brandl BTM, Jones DD. 2011. Feedlot cattle susceptibility to heat stress:
An animal-specific model. ASABE. 54:583-598.
Brandl BTM. 2018. Understanding heat stress in beef cattle. Revista
Brasileira de Zootecnia. 47(1):1-9.
Cilulko J, Janizewksi P, Bogdaszewski M, Szezygielska E. 2013. Infrared
thermal imaging in studies of wild animals. Europe Journal Wild Res.
59:17-23.
Curtis SE. 1983. Environmental Management in Animal Agriculture. Iowa:
The Iowa State University Press.
Das R, Sailo L, Verma N, Bharti P, Saikia J, Imtiwati, Kumar R. 2016. Impact
of heat stress on health and performance of dairy animals. Veterinary World.
9(7):260-268.
Farooq U, Samad HA, Shehzad F, Qayyum A. 2010. Physiological responses
of cattle to heat stress. World Applied Sciences Journal. 8(1):38-43.
31

Habeeb AA, EL-Tabarany, Atta MAA. 2018. Negative effects of heat stress
on growth and milk production of farm animals. Journal of Animal
Husbandry and Dairy Science. 2(1):1-12.
Habeeb AA, Gad AE,Atta AM. 2018. Temperature-humidity indices as
indicators to heat stress of climatic conditions with relation to production
and reproduction of farm animals. International Journal of Biotechnology
and Recent Advances. 1(1):35-51.
Hansen PJ. 2004. Physiological and cellular adaptions of zebu cattle to
thermal stress. Animal Reproduction Science. 82(83):349-360.
Hutasuhut U. 2015. Pengaruh ketinggian tempat berbeda terhadap respon
fisiologis, produktivitas dan reproduksi sapi potong [tesis]. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Jaenudin D, Amin AA, Setiadi MA, Sumarno H, Rahayu S. 2018.
Hubungan temperatur, kelemaban, dan manajemen pemeliharaan terhadap
efisiensi reproduksi sapi perah di Kabupaten Bogor. Acta Veterinaria
Indonesiana. 6(1):16-23.
Kingma B, Frijns A, Lchtenbelt WVM. 2012. The thermoneutral zone:
implications for metabolic studies. Frontiers in Bioscience E4. 1(1):1975-
1985.
Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. London: Bailiere Tindall.
Kolibu HS, South VA. 2019. Kajian eksperimen pengaruh lingkungan panas
terhadap suhu kulit manusia menggunakan Fast Response Temperature
Probe PS-2135 dan Temperature Array PS-2157. Jurnal Mipa Unsrat
Online. 8(2):67-70.
Knizkova I, Kune P. 2007. Applications of infrared thermography in animal
production. Journal of Faculty of Agriculture. 22(3):329-336.
Madet TL, Davis S, Brand TB. 2006. Environmental factors influencing heat
stress in feedlot cattle. Journal Animal Science. 84(1):712-719.
Martello LS, Silva SL, Gomes RC, Corte RRPS, Leme PR. 2015. Infrared
thermography as a tool to evaluate body surface temperature and its
relationship with feed efficiency in Bos indicus in tropical conditions.
Journal Biometeorol. 13(6):1-6.
McLean JA, Downie AJ, Jones CDR, Strombough DP, Glasbey CA. 1983.
Thermal adjusment of stress (Bos Taurus) to abrupt changes in
environments temperature. Camb J Agric Sci. 48:81-84.
Mitlohner FM, Morrow-tesch JL, Wilson SC, Dailey JW, McGlone JJ.
2001. Behavioral sampling techniques for feedlot cattle. Journal Animal
Sciences. 79(1):1189-1193.
Novianti J, Purwanto BP, Atabany A. 2013. Respon fisiologis dan produksi
susu sapi perah FH pada pemberian rumput gajah (Pennisetum purpureum)
dengan ukuran pemotongan yang berbeda. Jurnal Ilmu Produksi dan
Teknologi Hasil Peternakan. 1(3):138-146.
Nugrahanto A. 2019. Respon fisiologis peranakan friesian holstein (PFH)
selama transportasi dengan kepadatan yang berbeda [skripsi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Saiya HV. 2014. Respons fisiologis sapi bali terhadap perubahan cuaca di
Kabupaten Merauke Papua. Agricola. 4(1):22-32.
32

Saleh E, Irwan E. 2016. Termoregulasi Ternak dan Ilmu Lingkungan


Ternak. Riau: ASA RIAU.
Santoso K, Ulum MF, Arif R, Seminar KB, Suprayogi A. 2019. Mapping
body surface temperature of limousin cattle by infrared thermal camera.
Didalam Darmawi, Parlindungan F, Reynaldi F, Sriwahyuni S, Putri ES,
Safrizal, Muhsin SW, editor. The 1st International Conference on Public
Health. 2019 Nov 18; Aceh, Indonesia. Aceh: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Teuku Umar. hlm 95-100.
Sihombing A. 1999. Lingkungan Ternak. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Suherman D, Muryanto S, Sulistyowati E. 2017. Evaluasi mikroklimat
dalam kandang menggunakan tinggi atap kandang berbeda yang berkaitan
dengan respon fisiologis sapi bali dewasa di Kecamatan XIV Koto
Kabupaten Mukomuko. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 12(4):397-410.
Suherman D, Purwanto BP. 2020. Model estimasi suhu kritis atas pada sapi
perah berdasarkan manajemen pakan. Jurnal Sain Peternakan Indonesia.
15(2):200-212.
Suherman D, Purwanto BP, Manalu W, Permana IG. 2013. Simulasi
artificial neural network untuk menentukan suhu kritis pada sapi perah fries
holland berdasarkan respon fisiologis. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner.
18(1):70-80.
Sulistyowati E, Suherman D, Badarina I, Mujiharjo S, Fanhar S. 2019.
Respon fisiologis sapi fries holland laktasi yang diberi ransum dengan
konsentrat mengandung kulit durian (Duria zibethinus) difermentasi
Pleorotus ostreatus. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 14(1):101-112.
Sutedjo H. 2016. Dampak fisiologis dari cekaman panas pada ternak. Jurnal
Nukleus Peternakan. 3(1):93-105.
Scharf B, Carroll JA, Riley DG, Chase CC, Coleman SW, Keisler DH,
Weaber RL, Spiers DE. 2010. Evaluation of physiological and blood serum
differences in heat-tolerant (Romosinuano) and heat-susceptible (Angus)
Bos taurus cattle during controlled heat challenge. Journal Animal Science.
88(1):2321-2336.
Schutz KE, Cox N, Matthews LR. 2008. How important is shade to dairy
cattle? choice between share or lying following different levels of lying
deprivation. Application Animal Science Behaviour Science. 116(1):28-34.
Steel RGD. Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta:
Gramedia Pustaka.
33

LAMPIRAN

1 Dokumentasi penelitian

Penyusunan rangkaian sprinkler water Kandang Sekolah Peternakan rakyat

Suhu kandang Pengambilan suhu permukaan tubuh

Frekuensi pernapasan pada aplikasi Suhu permukaan menggunakan FLIR


34

2 Hasil uji-T menggunakan Minitab

Frekuensi denyut jantung


Sample N Mean StDev SE Mean
Sebelum 25 56,64 2,66 0,532
Sesudah 25 48,52 2,124 0,425
Estimation for Paired Difference

Mean StDev SE Mean 95% CI for


μ_difference
8,12 3,219 0,644 (6,791; 9,449)
µ_difference: mean of (Sebelum - Sesudah)
Test

H₀: μ_difference =
Null hypothesis 0
H₁: μ_difference ≠
Alternative hypothesis 0
T-Value P-Value
12,61 4E-12

Frekuensi pernapasan
Sample N Mean StDev SE Mean
Sebelum 25 18,64 1,381 0,276
Sesudah 25 16,96 1,399 0,28
Estimation for Paired Difference

Mean StDev SE Mean 95% CI for


μ_difference
1,68 2,268 0,454 (0,744; 2,616)
µ_difference: mean of (Sebelum - Sesudah)
Test

Null hypothesis H₀: μ_difference = 0


Alternative hypothesis H₁: μ_difference ≠ 0
T-Value P-Value
3,7 0,001

Suhu bagian wajah


Sample N Mean StDev SE Mean
Sebelum 25 35,732 0,4432 0,0886
35

sesudah 25 34,996 0,3668 0,0734


Estimation for Paired Difference

Mean StDev SE Mean 95% CI for


μ_difference
0,736 0,502 0,1 (0,529; 0,943)
µ_difference: mean of (Sebelum - sesudah)
Test

Null hypothesis H₀: μ_difference = 0


Alternative
hypothesis H₁: μ_difference ≠ 0
T-Value P-Value
7,32 1E-07

Suhu bagian punggung


Sample N Mean StDev SE Mean
sebelum 25 35,296 0,2441 0,0488
sesudah 25 34,488 0,4978 0,0996
Estimation for Paired Difference

Mean StDev SE Mean 95% CI for


μ_difference
0,808 0,624 0,125 (0,551; 1,065)
µ_difference: mean of (sebelum - sesudah)
Test

Null hypothesis H₀: μ_difference = 0


Alternative hypothesis H₁: μ_difference ≠ 0
T-Value P-Value
0,00000
6,48 1

Suhu bagian rump


Sample N Mean StDev SE Mean
sebelum 25 35,224 0,2833 0,0567
sesudah 25 34,112 0,4576 0,0915
Estimation for Paired Difference

Mean StDev SE Mean 95% CI for


μ_difference
1,112 0,565 0,113 (0,879; 1,345)
µ_difference: mean of (sebelum - sesudah)
Test
36

Null hypothesis H₀: μ_difference = 0


Alternative
hypothesis H₁: μ_difference ≠ 0
T-Value P-Value
9,84 7E-10

Suhu kandang
Two-Sample T-Test and CI: tanpa; dengan  
Method        
μ₁: population mean of tanpa    
µ₂: population mean of dengan    
Difference: μ₁ - µ₂      
Equal variances are not assumed for this analysis.
Descriptive Statistics      
Sample N Mean StDev SE Mean
tanpa 25 28,3 0,518 0,1
dengan 25 27,32 0,663 0,13
Estimation for Difference    
Difference 95% CI for    
Difference        
0,98 (0,641; 1,319)    
Test        
Null hypothesis H₀: μ₁ - µ₂ = 0    
Alternative hypothesis H₁: μ₁ - µ₂ ≠ 0    
T-Value DF P-Value    
5,82 45 0,000001    

Kelembaban kandang
Two-Sample T-Test and CI: tanpa; dengan  
Method        
μ₁: population mean of tanpa    
µ₂: population mean of dengan    
Difference: μ₁ - µ₂      
Equal variances are not assumed for this analysis.
Descriptive Statistics      
StDe SE
Sample N Mean v Mean
tanpa 25 83,96 1,67 0,33
dengan 25 84,76 0,97 0,19
Estimation for Difference    
Difference 95% CI for    
Difference        
(-1,582; -
-0,8 0,018)    
Test        
H₀: μ₁ - µ₂ =
Null hypothesis 0    
Alternative H₁: μ₁ - µ₂ ≠    
37

hypothesis 0
D
T-Value F P-Value    
-2,07 38 0,045    

Suhu rektal
Sample N Mean StDev SE Mean
Sebelum 25 39,016 0,1908 0,0382
Sesudah 25 38,808 0,2216 0,0443
Estimation for Paired Difference

Mean StDev SE Mean 95% CI for


μ_difference
0,208 0,1152 0,023 (0,1605; 0,2555)
µ_difference: mean of (Sebelum - Sesudah)
Test

Null hypothesis H₀: μ_difference = 0


Alternative
hypothesis H₁: μ_difference ≠ 0
T-Value P-Value
9,03 3E-09

SAPI 1 SIANG ANOVA


One-way ANOVA: Respons versus perlakuan
Method

All means are


Null hypothesis equal
Alternative
hypothesis Not all means are equal
Significance level α = 0,05
Equal variances were assumed for the analysis.
Factor Information

Factor Levels Values


1; 2; 3;
perlakuan 4 4
Analysis of
Variance
38

F- P-
Source DF Adj SS Adj MS Value Value
perlakuan 3 123,15 41,0499 461,97 0
Error 96 8,53 0,0889
Total 99 131,68
Model Summary

S R-sq R- R-sq(pred)
sq(adj)
0,298091 93,52% 93,32% 92,97%
Means

perlakuan N Mean StDev 95%


CI
1 25 37,084 0,3815 (36,9657;
37,2023)
2 25 36,12 0,2398 (36,0017;
36,2383)
3 25 36,508 0,3081 (36,3897;
36,6263)
4 25 39,008 0,2397 (38,8897;
39,1263)
Pooled StDev = 0,298091
Tukey Pairwise Comparisons

Grouping Information Using the Tukey Method and 95%


Confidence

perlakuan N Mean Grouping


4 25 39,008 A
1 25 37,084 B
3 25 36,508 C
2 25 36,12 D
Means that do not share a letter are significantly
different.
Tukey Simultaneous Tests for Differences of Means

Difference
of Levels Differen
ce
of Means SE of
Difference 95% CI T- Adjusted
Value
P-Value
2 dengan 1 -0,964 0,0843 (-1,1846; - -11,43 0,000
0,7434)
3 dengan 1 -0,576 0,0843 (-0,7966; - -6,83 0,000
0,3554)
4 dengan 1 1,924 0,0843 (1,7034; 22,82 0,000
2,1446)
39

(0,1674;
3 dengan 2 0,388 0,0843 0,6086) 4,6 0,000
4 dengan 2 2,888 0,0843 (2,6674; 34,25 0,000
3,1086)
4 dengan 3 2,5 0,0843 (2,2794; 29,65 0,000
2,7206)
Individual confidence level = 98,97%
Tukey Simultaneous 95%
CIs
Interval Plot of Respons vs perlakuan
40

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Bekasi pada tanggal 23 Februari 2000 sebagai


anak ke 2 dari pasangan bapak Drs Januarius Tarigan dan ibu Lestari
Prihatiningsih Pendidikan sekolah menengah atas (SMA) ditempuh di sekolah
SMAN 8 Bogor , dan lulus pada tahun 2018 Pada tahun 2018, penulis diterima
sebagai mahasiswa program sarjana (S-1) melalui jalur SBMPTN di Program
Studi Teknologi Produksi Ternak Fakultas Peternakan IPB.
Selama mengikuti program S-1, penulis aktif sebagai pengurus himpunan
mahasiswa HIMAPROTER(Himpunan mahasiswa ilmu produksi dan teknologi
peternakan) sebagai pengurus maupun ketua umum organisasi. Pada tahun ke 2
penulis aktif sebagai pengurus divisi Non Ruminansia dan Satwa Harapan dengan
fokus pemeliharaan kelinci dan pada tahun ke 3 penulis aktif menjadi ketua
himpunan mahasiswa Himaproter pada periode 2020-2021. Sebagai syarat
memperoleh gelar sarjana pada program studi Teknologi Produksi Ternak,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul Respon
Fisiologis Dengan Pengabutan Air Menggunakan Sprinkler Water Pada Sapi
Pedaging.

Anda mungkin juga menyukai