Anda di halaman 1dari 57

OPTIMISASI DEHIDRASI OSMOTIK IRISAN BUAH

PEPAYA (Carica papaya L) MENGGUNAKAN RESPONSE


SURFACE METHODOLOGY (RSM)

KALA YUDISTIRA

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Optimisasi Dehidriasi


Osmotik Irisan Buah Pepaya (Carica papaya L) Menggunakan Response Surface
Methodology (RSM) adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013

Kala Yudistira
NIM F14090124
ABSTRAK
KALA YUDISTIRA. Optimisasi Dehidrasi Osmotik Irisan Buah Pepaya
Menggunakan Response Surface Methodology (RSM). Dibimbing oleh
LEOPOLD O. NELWAN.

Response Surface Methodology digunakan untuk menentukan kondisi


optimum proses dehidrasi osmotik yang menghasilkan water loss maksimum serta
solid gain dan shrinkage minimum dari irisan buah pepaya yang memiliki bentuk
dan ukuran seragam (6 x 2 x 1 cm). Suhu (32.7o – 67.3oC), waktu proses (32.4 –
447.6 menit), konsentrasi larutan gula (37.7o – 72.3obrix) merupakan faktor –
faktor yang diteliti serta mempengaruhi water loss, solid gain, dan shrinkage.
Penelitian ini dirancang mengacu pada Central Composite Rotatable Design.
Suhu, waktu proses, dan konsentrasi larutan secara signifikan mempengaruhi
respon water loss dan shrinkage. Suhu secara signifikan mempengaruhi solid gain.
Pada respon tersebut, dikembangkan model analisis ordo dua menggunakan
analisis regresi linier kuadrat. Analisis keberagaman (ANOVA) digunakan untuk
memeriksa kecukupan dan keakuratan dari model yang dihasilkan. Metode fungsi
desirability diterapkan untuk menentukan kondisi optimum proses dan didapatkan
pada suhu 47.57 oC, waktu proses 191.83 menit, dan konsentrasi larutan 72.30
o
brix. Pada konsisi optimum tersebut, didapatkan water loss, solid gain dan
shrinkage sebesar 58.01%, 2.77%, and 57.26%.

Kata kunci: Dehidrasi Osmotik; Pepaya; Response Surface Methodology

ABSTRACT

KALA YUDISTIRA. Optimization of Osmotic Dehydration Papaya Slices


(Carica papaya L) using Response Surface Methodology (RSM) . Supervised by
LEOPOLD O. NELWAN.

Response surface methodology was used to determine the optimum


processing conditions that yield maximum water loss with minimum solid gain
and shrinkage during osmotic dehydration papaya slices with uniform shape and
size (6 x 2 x 1 cm). Temperature (32.7o – 67.3oC), processing time (32.4 – 447.6
minute), sucrose (37.7o – 72.3obrix) concentrations were the factors investigated
with respect to water loss, solid gain, and shrinkage. Experiments were designed
according to Central Composite Rotatable Design. Temperature, processing time,
and sucrose concentration were found to be significant for water loss and
shrinkage. Temperature was significant affecting solid gain. For each response,
second order polynomial models were developed using multiple linear regression
analysis. Analysis of variance was performed to check the adequacy and accuracy
of the fitted models. Applying desirability function method, optimum operating
conditions were found to be temperature of 47.57 oC, treatment time of 191.83
minute, and sucrose concentration of 72.30 obrix. At this optimum point, water
loss, solid gain and shrinkage were found to be 58.01%, 2.77%, and 57.26%.

Keywords: Osmotic Dehydration; Papaya; Response surface methodology


OPTIMISASI DEHIDRASI OSMOTIK IRISAN BUAH
PEPAYA (Carica papaya L) MENGGUNAKAN RESPONSE
SURFACE METHODOLOGY (RSM)

KALA YUDISTIRA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi: Optimisasi Deh idrasi Osmotik Irisan Buah Pepaya (Carica papaya
L) Menggunakan Response Surface Methodology (RSM)
Nama : Kala Yudistira
NIM : F14090 124

Dr. Leopold O. N elwan, S.TP, M.Si

Pembimbing

Tanggal Lulus: :0 2 AUG 2013


Judul Skripsi : Optimisasi Dehidrasi Osmotik Irisan Buah Pepaya (Carica papaya
L) Menggunakan Response Surface Methodology (RSM)
Nama : Kala Yudistira
NIM : F14090124

Disetujui oleh

Dr. Leopold O. Nelwan, S.TP, M.Si


Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Desrial, M.Eng


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah dehidrasi
osmotik, dengan judul Optimisasi Dehidrasi Osmotik Irisan Buah Pepaya (Carica
papaya L) Menggunakan Response Surface Methodoogy (RSM).
Dengan diselesaikannya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis
ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Orang tua yang selalu memberikan doa, dorongan, dan semangat hingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Dr. Leopold O. Nelwan, S.TP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi, yang
selalu memberikan bimbingan, masukan, dan saran-sarannya dalam
penyelesaian skripsi ini.
3. Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si dan Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr selaku
dosen penguji, atas masukan dan saran-sarannya.
4. Bapak Harto selaku teknisi laboratorium energi dan elektrifikasi pertanian,
Bapak Sulyaden dan Mba Sugih selaku teknisi laboratorium teknik
pengolahan pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
atas bantuannya selama penelitian.
5. Departemen Teknik Mesin dan Biosistem dan Fakultas Teknologi Pertanian
yang telah membantu dan memberikan ijin pelaksanaan penelitian.
6. Angela, Fansuri, dan Dziyad selaku teman satu bimbingan yang telah
membantu dalam penyelesaian penelitian ini.
7. Amajida, Endah, Gumilar, Desi, Elsamila, Rizky, Erlanda, Adit, Nopri, Ivan,
Adyt, Gina, Awan, Aynal, Hadi, Ina, Tika atas bantuannya selama penelitian
dan teman-teman seperjuangan Teknik Mesin dan Biosistem IPB angkatan 46
(2009) atas kebersamaannya selama di bangku kuliah.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih belum
sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
sebagai upaya perbaikan selanjutnya, serta penulis berharap semoga laporan ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

Kala Yudistira
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 4
METODE 4
Bahan 4
Alat 5
Prosedur Percobaan 5
Rancangan Penelitan 6
Parameter Penelitian 7
Parameter yang Diamati 9
Prosedur Analisis Data 10
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Kadar Air Sampel 14
Water Loss 15
Solid Gain 21
Shrinkage 26
Optimisasi 31
SIMPULAN DAN SARAN 33
Simpulan 33
Saran 33
DAFTAR PUSTAKA 34
LAMPIRAN 36
RIWAYAT HIDUP 44
DAFTAR TABEL
1 Komposisi Kimia Buah Pepaya dalam Setiap 100 g Bagian yang Dapat
Dimakan (Arriola et al. 1980) 1
2 Kombinasi Perlakuan Menggunakan Reponse Surface Methodology 7
3 Hasil Dehidrasi Osmotik Buah Pepaya dengan Berbagai Kombinasi
Perlakuan 14
4 Koefisien Regresi dari Water Loss 18
5 Analysis of Variance (ANOVA) dari Water Loss 18
6 Perbandingan Nilai Water Loss Hasil Pengamatan dan Perhitungan
menggunakan Model Hasil Regresi 19
7 Koefisien Regresi dari Solid Gain 23
8 Analysis of Variance (ANOVA) dari Solid Gain 23
9 Perbandingan Nilai Solid Gain Hasil Pengamatan dan Perhitungan
menggunakan Model Hasil Regresi 24
10 Koefisien regresi dari shrinkage 28
11 Analysis of Variance (ANOVA) dari Shrinkage 29
12 Perbandingan Nilai shrinkage Hasil Pengamatan dan Perhitungan
menggunakan Model Hasil Regresi 30

DAFTAR GAMBAR
1 Pepaya dengan tingkat kematangan (8.9 - 10 obrix) dan tingkat kekerasan
(0.0029 - 0.0044 N/m2) 5
2 Diagram Alir Prosedur Penelitian 8
3 Grafik kadar air awal dan Akhir Sampel pada Berbagai Perlakuan 15
4 Perubahan Water Loss pada Perlakuan T0C0 (suhu 40oC, konsentrasi
45 obrix), T2C0 (suhu 60 oC, konsentrasi 45 obrix), T0C2 (suhu 40 oC,
konsentrasi 65 obrix), dan T2C2 (suhu 60 oC, konsentrasi 65 obrix) per
Satuan Waktu 16
5 Perubahan Water Loss pada Perlakuan T-αC1(suhu 32.7 oC, konsentrasi
55 obrix), TαC1 (suhu 67.3 oC, konsentrasi 55 obrix), T1C-α (suhu 50
o
C, konsentrasi 37.7 obrix), T1Cα (suhu 50 oC, konsentrasi 72.3 obrix),
dan T1C1 (suhu 50 oC, konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu 17
6 Perubahan Water Loss pada Perlakuan T1HαC1 (suhu 50 oC,
konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu 17
7 Grafik Nilai Water Loss Hasil Pengamatan dan Perhitungan 20
8 Permukaan Respon dari Water Loss dengan (a) Variasi waktu dan
Suhu, (b) Konsentrasi dan Suhu, (c) Konsentrasi dan Waktu 20
9 Perubahan Solid Gain pada Perlakuan T0C0 (suhu 40 oC, konsentrasi
45 obrix), T2C0 (suhu 60 oC, konsentrasi 45 obrix), T0C2 (suhu 40 oC,
konsentrasi 65 obrix), dan T2C2 (suhu60 oC, konsentrasi 65 obrix) per
Satuan Waktu 21
10 Perubahan Solid Gain pada Perlakuan T-αC1 (suhu 32.7 oC, konsentrasi
55 obrix), TαC1 (suhu 67.3 oC, konsentrasi 55 obrix), T1C-α (suhu 50
o
C, konsentrasi 37.7 obrix), T1Cα (suhu 50 oC, konsentrasi 72.3 obrix),
dan T1C1 (suhu 50 oC, konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu 22
11 Perubahan solid gain pada perlakuan T1HαC1 (suhu 50 oC, konsentrasi
55 obrix) per Satuan Waktu 22
12 Grafik Nilai Solid Gain Hasil Pengamatan dan Perhitungan 25
13 Permukaan Respon dan Kontur dari Solid Gain dengan (a) Variasi
Waktu dan Suhu, (b) Konsentrasi dan Suhu, (c) Konsentrasi dan Waktu 25
14 Perubahan Shrinkage pada Perlakuan T0C0 (suhu 40 oC, konsentrasi 45
o
brix), T2C0 (suhu 60 oC, konsentrasi 45 obrix), T0C2 (suhu 40 oC,
konsentrasi 65 obrix), dan T2C2 (suhu60 oC, konsentrasi 65 obrix) per
Satuan Waktu 27
15 Perubahan Shrinkage pada Perlakuan T-αC1 (suhu 32.7 oC, konsentrasi
55 obrix), TαC1 (suhu 67.3 oC, konsentrasi 55 obrix), T1C-α (suhu 50
o
C, konsentrasi 37.7 obrix), T1Cα (suhu 50 oC, konsentrasi 72.3 obrix),
dan T1C1 (suhu 50 oC, konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu 27
16 Perubahan Shrinkage pada Perlakuan T1HαC1 (suhu 50 oC, konsentrasi
55 obrix) per Satuan Waktu 28
17 Grafik Nilai Shrinkage Hasil Pengamatan dan Perhitungan 30
18 Permukaan Respon dan Kontur dari Shrinkage dengan (a) Variasi
Waktu dan Suhu, (b) Konsentrasi dan Suhu, (c) Konsentrasi dan Waktu 31
19 Kondisi Optimum Dehidrasi Osmotik Irisan Buah Pepaya menggunakan
Software Minitab 32

DAFTAR LAMPIRAN
1 Response Surface Methodology (RSM) 36
2 Foto – foto Hasil Percobaan 39
3 Foto Osmotic Dehydrator 43
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pepaya (Carica papaya L) merupakan salah satu jenis buah yang banyak
dihasilkan di daerah tropis, termasuk Indonesia. Buah ini merupakan salah satu
jenis buah yang banyak digemari masyarakat karena banyak mengandung vitamin
C, vitamin A, gula, dan mineral mineral seperti kalsium, fosfor, dan besi yang
dibutuhkan oleh tubuh manusia. Selain itu, buah pepaya juga memiliki berbagai
keunggulan diantaranya adalah mampu berbuah sepanjang tahun, cepat
berproduksi, dan tidak memerlukan lahan penanaman yang luas sehingga dapat
ditanam di pekarangan rumah (Ariesty, 2010).
Komponen buah pepaya sama dengan buah-buahan pada umumnya, yaitu
adanya kandungan air dan karbohidrat. Kedua komponen ini terkandung masing-
masing sekitar 87% dan 13%. Selain kedua komponen tersebut, kandungan
vitamin C buah pepaya cukup tinggi yaitu sebesar 76 mg dalam 100 g daging
buah (Chan dan Tang, 1979). Buah pepaya merupakan buah yang memiliki asam
rendah, dan pH buah pepaya berkisar antara 4.5 – 6.0. total keasaman buah pepaya
dihitung sebagai asam sitrat adalah 0.15 g dalam 100 g buah pepaya segar.
Walalupun demikian, rasa yang dominan adalah rasa manis, karena kadar gula
pepaya lebih tinggi daripada keasamannya (Arriola et al. 1980). Karbohidrat
utama yang terdapat pada buah pepaya adalah gula (Ariesty, 2010). Sementara itu,
Chan dan Tang (1979) menyatakan bahwa pada pepaya matang terdapat gula yang
dominan yaitu sukrosa sekitar 48.3%, glukosa 29%, dan fruktosa 21%. Tabel 1
memperlihatkan komposisi kimia buah pepaya setiap 100 g bagian yang dapat
dimakan.

Tabel 1 Komposisi Kimia Buah Pepaya dalam Setiap 100 g bagian yang dapat
dimakan (Arriola et al. 1980)
No. Kandungan Bobot (g)
1 Air 86.6
2 Protein 0.5
3 Lemak 0.3
4 Karbohidrat 12.1
5 Abu 0.1
6 Kalsium 0.034
7 Fosfor 0.011
8 Serat 0.7
9 Besi 0.001
10 Vitamin A 0.45
11 Tiamina 0.0003
12 Niasina 0.0005
13 Kalium 0.003
14 Vitamin C 0.074
15 Riboflavin 0.00004
2

Pepaya merupakan jenis buah klimaterik sehingga proses pematangannya


terjadi setelah laju respirasi mencapai puncaknya, sehingga proses pemanenan
dilakukan ketika buah tua, lalu proses pematangan akan terjadi dengan sendirinya.
Berbeda dengan buah non klimaterik dimana laju respirasi terus menurun dan
tidak mempunyai puncak sehingga buah tersebut dipanen setelah terjadi proses
pematangan pada pohon. Oleh karena itu diperlukan cara untuk mengawetkan
buah pepaya secara alamiah untuk meningkatkan umur simpan dari buah pepaya
tersebut agar kualitas buah pepaya tetap terjaga.
Salah satu cara untuk mengawetkan bahan pangan yang paling mudah dan
aman adalah melalui pengeringan. Pengeringan merupakan pengawetan yang
dilakukan terhadap bahan pangan untuk menurunkan aktivitas air melalui
pengurangan kadar air pada bahan pangan tersebut sampai pada kadar air tertentu
dimana tidak terjadi aktivitas mikroorganisme perusak pangan untuk
mempertahankan umur simpan dan kualitas dari bahan pangan tersebut. Bahan
pangan yang dikeringkan akan memiliki umur simpan yang lebih lama
dibandingkan dengan bahan pangan yang tidak dikeringkan akibat menurunnya
jumlah air dalam bahan pangan yang dikeringkan tersebut sehingga menurunkan
aktifitas mikroorganisme dan enzimatik di dalamnya. Pengeringan merupakan
cara pengawetan bahan pangan yang paling mudah dan aman, oleh karena itu
banyak digunakan oleh manusia untuk mengawetkan bahan pangan.
Pengeringan bahan pangan yang ada saat ini sebagian besar masih dilakukan
secara konvensional menggunakan cahaya matahari secara langsung maupun
menggunakan mesin – mesin pengering bahan pangan. Pengeringan secara
konvensional lebih mudah dan murah untuk digunakan, namun sangat bergantung
pada cuaca sehingga kurang cocok untuk pengeringan bahan pangan karena akan
menurunkan mutu dari bahan pangan tersebut. Pengeringan dengan menggunakan
mesin pengering memberikan hasil yang baik namun energi yang dibutuhkan
untuk pengeringan tersebut cukup besar karena mengubah fase air dari dalam
bahan pangan menjadi fase uap, sehingga cukup mahal untuk dilakukan. Salah
satu alternatif proses untuk mengawetkan bahan pangan dengan konsumsi energi
yang kecil dan kualitas produk yang dihaslkan tetap baik adalah melalui dehidrasi
osmotik.
Dehidrasi osmotik merupakan salah satu teknologi alternatif dalam
penanganan pascapanen produk pangan. Proses dehidrasi osmotik merupakan
proses pelepasan air dari produk dalam hal ini buah pepaya dengan menggunakan
larutan yang memiliki konsentrasi lebih tinggi dan berguna untuk memperpanjang
umur simpan buah pepaya tersebut. Proses dehidrasi osmotik dilakukan tanpa
mengubah fase air ke fase uap sehingga energi yang digunakan untuk
mengeringkan bahan pangan tersebut lebih kecil. Air dalam bahan pangan
mengalir menuju larutan yang konsentrasinya lebih tinggi secara alamiah untuk
menyeimbangkan tekanan osmotik diantara keduanya. Penerapan dehidrasi
osmotik pada irisan buah pepaya adalah agar dapat menghasilkan produk pepaya
semi basah dengan aroma, warna, tekstur, dan rasa yang tidak mengalami
perubahan akibat pengeringan. Produk pepaya hasil dehidrasi osmotik pada
umumnya digemari oleh masyarakat eropa. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
kebutuhan ekspor produk pepaya kering cukup tinggi, tercatat ekspor produk
3

pepaya ini sudah dilakukan sejak tahun 1998 dengan kapasitas 4 ton/minggu
(Lies, 2005).
Laju kehilangan air dari produk saat dehidrasi osmotik dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya suhu, komposisi dan konsentrasi larutan osmotik, fase
kontak, karakteristik produk, perlakuan awal terhadap produk, ukuran dan bentuk
geometri produk, tingkat pengadukan dan lamanya proses pengeringan (Khan et
al, 2008). Tingkat penggunaan energi pada proses dehidrasi osmotik dipengaruhi
dari waktu yang diperlukan selama proses termasuk didalamnya pengaturan suhu
proses.
Peristiwa dehidrasi osmotik pada irisan buah pepaya akan menyebabkan
hilangnya air dari dalam irisan buah pepaya (water loss), padatan terlarut dari
larutan osmotik akan masuk ke dalam irisan buah pepaya (solid gain), dan terjadi
penyusutan volume (shrinkage) dari irisan buah pepaya tersebut karena hilangnya
air dari dalam buah. Hasil dari dehidrasi osmotik irisan buah pepaya adalah
diperolehnya buah pepaya semi basah yang dapat menurun kadar airnya hingga
50% dari kadar air awal. Dehidrasi osmotik sering digunakan sebagai pre-
treatment untuk pengeringan, pembekuan, serta penanganan pascapanen lainnya
pada bahan pangan karena dapat menghasilkan produk bermutu tinggi dengan
kualitas yang baik. Hilangnya air dari produk hingga mencapai 50% akan
mengurangi energi yang dibutuhkan pada penanganan lanjut dari produk setelah
produk tersebut mengalami dehidrasi osmotik. Berkurangnya energi pada proses
lanjutan dari dehidrasi osmotik diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan energi dari proses pengolahan bahan pangan sehingga didapatkan
produk yang kualitas baik dengan penanganan pascapanen produk yang efisien.
Diperlukan kombinasi perlakuan yang sesuai agar produk yang dihasilkan
memiliki water loss maksimum agar didapatkan kadar air produk serendah
mungkin sehingga umur simpan produk dapat lebih lama, serta solid gain
minimum untuk mendapatkan rasa dari buah yang tetap terjaga, dan shrinkage
minimum agar secara visual produk terlihat baik sehingga kualitas buah tetap
terjaga.
Response Surface Methodology (RSM) merupakan metode yang
menggabungkan teknik statistika dan matematika yang digunakan untuk
membantu mencari solusi dari persoalan tertentu yang berhubungan dengan proses
alam atau teknologi proses (Myers, 1971). RSM digunakan untuk mencari kondisi
optimum dalam suatu proses pengolahan pangan termasuk di dalamnya proses
dehidrasi osmotik (Azoubel & Murr, 2003). RSM digunakan untuk mencari
kondisi paling optimum dehidrasi osmotik irisan buah pepaya dimana water loss
terjadi semaksimal mungkin sementara solid gain dan shrinkage terjadi seminimal
mungkin dengan kombinasi perlakuan yang paling efisien. Penelitian sebelumnya
dilakukan oleh Ozdemir (2010) yaitu penetuan kondisi optimum pada proses
dehidrasi osmotik paprika hijau dalam larutan garam dan sorbitol untuk
menghasilkan produk dengan water loss maksimum dan solid gain minimum dan
didapatkan kondisi optimum dehidrasi osmotik paprika hijau berada pada kondisi
5.5 g garam/100 g dan 6 g sorbitol/100 g pada suhu 30o C dan waktu 240 menit
menghasilkan water loss sebesar 23.3%, solid gain 4.1%. Eren (2006)
menemukan kondisi optimum dehidrasi osmotik kentang menggunakan response
surface methodology pada temperatur 22oC, konsentrasi sukrosa sebesar 54.5%,
konsentrasi garam sebesar 14%, dan waktu proses selama 329 menit dan
4

didapatkan nilai water loss sebesar 59.1 (g/100 g sampel awal, solid gain 6.0
(g/100 g sampel awal), pengurangan berat 52.9 (g/100 g sampel awal), dan
aktifitas air sebesar 0.785. Sementara itu, Abbas (2005) menemukan bahwa
dehidrasi osmotik pepaya yang dilakukan pada larutan gula akan memiliki nilai
weight reduction, water loss dan solid gain yang lebih besar dibandingkan dengan
dehidrasi osmotik yang dilakukan pada sirup jagung.

Perumusan Masalah

Dehidrasi osmotik merupakan salah satu teknologi alternatif pada


pengolahan bahan pangan untuk mengurangi air yang terkandung dari bahan
pangan sehingga bahan pangan tersebut memiliki umur simpan yang lebih lama
dengan kualitas buah yang terjaga. Dehidrasi osmotik dipengaruhi oleh suhu
larutan, konsentrasi larutan osmotik, dan lamanya proses dehidrasi osmotik. Oleh
karena itu diperlukan kombinasi perlakuan yang sesuai yaitu suhu, konsentrasi
larutan, dan waktu dehidrasi osmotik yang paling optimum untuk menghasilkan
buah pepaya semi basah dengan water loss pada buah semaksimal mungkin serta
solid gain dan shrinkage seminimal mungkin menggunakan response surface
methodology.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:


1. Mengetahui efek dari pengaturan suhu, waktu proses, dan konsentrasi
larutan terhadap produk yang dkeringkan.
2. Memodelkan water loss, solid gain, dan shrinkage yang merupakan respon
pada proses dehidrasi osmotik terhadap faktor yang digunakan yaitu suhu,
waktu proses, dan konsentrasi larutan osmotik.
3. Mengetahui kombinasi perlakuan yang menghasilkan kondisi paling
optimum dimana water loss terjadi semaksimal mungkin serta solid gain
dan shrinkage terjadi seminimal mungkin.

METODE
Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah irisan buah pepaya
(Cacarica papaya L) jenis calina dengan tingkat kematangan yang seragam
dilihat dari kadar gula yang terkandung dalam pepaya dan berkisar antara 8.9 obrix
– 10 obrix, serta tingkat kekerasan yang seragam (0.0029 – 0.0044 N/m2) seperti
terlihat pada Gambar 1. Buah pepaya diiris dengan ukuran 6 cm x 2 cm x 1 cm.
Bahan lain yang digunakan adalah larutan osmotik berupa campuran antara gula
dan aquades.
5

(a) (b)
o
Gambar 1 Pepaya dengan kadar gula 8.9 - 10 brix dan tingkat kekerasan 0.0029 -
0.0044 N/m2

Alat

Alat yang digunakan untuk pengambilan data adalah sebagai berikut:


- Osmotic dehydrator yaitu berupa panci terbuat dari baja tahan karat
(stainless steel) yang dirangkai dengan elemen pemanas (heater), termostat,
pengaduk (stirer), dan saringan sampel. Pemanas air ini dilengkapi dengan
pengaduk/stirer yan digerakkan oleh motor DC. Pengaduk tersebut
digunakan untuk menggerakkan/mengaduk larutan osmotik agar panas yang
diterima dapat merata ke semua sisi. Termostat digunakan untuk mengontrol
suhu larutan osmotik agar konstan selama pengukuran. Saringan ini terbuat
dari stainless steel. Saringan digunakan sebagai wadah irisan buah pepaya
agar mudah dalam pengambilan irisan buah pepaya yang akan ditimbang.
(foto alat terlihat pada Lampiran 3)
- Drying oven digunakan untuk mengukur kadar air awal dan kadar air akhir
sampel.
- Rheometer digunakan untuk mengukur tingkat kekerasan buah pepaya.
- Cawan, tray, penjepit cawat, mortar
- Refraktometer digunakan untuk mengukur kadar gula (obrix) dari larutan
osmotik dan buah pepaya serta mengukur kematangan pepaya.
- Gelas ukur, pipet tetes, pinset.
- Pisau
- Timbangan digital
- Stopwatch
- Mistar, dan jangka sorong
- Kertas saring/tissue

Prosedur Percobaan

Prosedur percobaan yang dilakukan adalah sebagai berikut, diagram alir


prosedur percobaan dapat dilihat pada Gambar 2.
1. Pepaya diambil untuk diuji kematangan berdasarkan kadar gula yang
terkandung pada pepaya menggunakan refraktometer dan berkisar antara
8.9 obrix – 10 obrix.
6

2. Pepaya juga diuji kematangannya dengan uji kekerasan menggunakan alat


rheometer dengan nilai kekerasan berkisar antara 0.0029 – 0.0044 N/m2
sehingga didapatkan pepaya yang memiliki tingkat kematangan dan
kekerasan yang seragam.
3. Pepaya dengan tingkat kematangandan kekerasan yang seragam digunakan
sebagai sampel. Pepaya dicuci, dibersihkan, dikupas kulitnya, dan dipotong
dengan ukuran 6 cm x 2 cm x 1 cm.
4. Potongan pepaya sebagai sampel ditimbang untuk mengetahui berat awal
dan pengukuran dimensi awal sampel, serta pengukuran kadar air awal
sampel sebelum proses dehidrasi osmotik.
5. Pembuatan larutan osmotik pada heater. Larutan osmotik yang digunakan
adalah campuran dari larutan gula. Konsentrasi larutan osmotik yang akan
digunakan pada penelitian terdiri dari larutan gula 45 obrix, 55 obrix, dan 65
o
brix. Misalnya dalam pembuatan larutan gula 45 obrix, gula putih
dilarutkan dalam sejumlah air. Kemudian larutan gula tersebut diukur kadar
gulanya dengan menggunakan refraktometer. Jika angka menunjukkan <45
o
brix maka ditambahkan gula ke dalam larutan, dan sebaliknya ditambahkan
air jika angka menunjukkan >45 obrix. Begitu pula dalam pembuatan larutan
gula 55 obrix, dan 65 obrix.
6. Larutan osmotik yang dimasukkan ke dalam heater memiliki perbandingan
berat 1 : 15 (sampel : larutan).
7. Suhu perlakuan diatur sesuai jenis perlakuan yaitu 30 oC, 40 oC, dan 50 oC.
8. Waktu perlakuan dilakukan sesuai dengan jenis perlakuan yaitu 120 menit,
240 menit, dan 360 menit serta waktu pada kondisi –α dan α yaitu 32.4 dan
447.6 menit. Selang waktu yang digunakan adalah menit ke 0, 30, 32.4, 60,
90, 120, 180, 240, 300, 360, dan 447.6. Setiap waktu pengukuran diambil
tiga sampel percobaan untuk dilakukan pengukuran kadar air, massa, dan
volume bahan.
9. Sampel yang sudah dikeringkan diukur berat akhirnya menggunakan
timbangan lalu diukur dimensi serta volume akhirnya.
10. Pengukuran kadar air akhir sampel menggunakan metode oven.
11. Analisis data, menentukan water loss, solid gain, dan shrinkage yang terjadi
pada pepaya.
12. Pembuatan model matematika berdasarkan variabel dan respon yang
dihasilkan.
13. Penentuan kondisi optimum proses menggunakan software minitab 14.

Rancangan Penelitian

Perlakuan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari :


Perlakuan 1 : T0 = suhu larutan osmotik 40 oC
T1 = suhu larutan osmotik 50 oC
T2 = suhu larutan osmotik 60 oC
Perlakuan 2 : H0 = waktu proses 120 menit
H1 = waktu proses 240 menit
H2 = waktu proses 360 menit
Perlakuan 3 : C0 = konsentrasi larutan osmotik 45 ºbrix
7

C1 = konsentrasi larutan osmotik 55 ºbrix


C2 = konsentrasi larutan osmotik 65 ºbrix
Kombinasi perlakuan berdasarkan konsentrasi dari ketiga jenis variabel bebas
dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai α yang digunakan adalah 1.73 karena variabel
yang digunakan adalah 3 buah.

Tabel 2 Kombinasi Perlakuan menggunakan Response Surface Methodology


Keterangan
Notasi
Kode Suhu Waktu Konsentrasi
Perlakuan o
( C) (menit) (oBrix)
-1, -1, -1 T0H0C0 40 120 45
+1, -1, -1 T2H0C0 60 120 45
-1, +1, -1 T0H2C0 40 360 45
+1, +1, -1 T2H2C0 60 360 45
-1, -1, +1 T0H0C2 40 120 65
+1, -1, +1 T2H0C2 60 120 65
-1, +1, +1 T0H2C2 40 360 65
+1, +1, +1 T2H2C2 60 360 65
-1.73, 0, 0 TαH1C1 32.7 240 55
+1.73, 0, 0 TαH1C1 67.3 240 55
0, -1.73, 0 T1HαC1 50 32.4 55
0, +1.73, 0 T1HαC1 50 447.6 55
0, 0, -1.73 T1H1Cα 50 240 37.7
0, 0, +1.73 T1H1Cα 50 240 72.3
0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55
0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55
0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55
0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55
0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55
0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55

Parameter Penelitian

Parameter-parameter yang diukur untuk penelitian ini adalah adalah :


- Kadar air buah pepaya
- Konsentrasi gula pada larutan osmotik
- Massa dan volume sampel
- Waktu proses
- Water loss
- solid gain
- shrinkage
8

Mulai

Penentuan sampel :
1. Buah Pepaya
2. Memiliki tingkat kematangan seragam

Persiapan alat dan bahan


penelitian

Penentuan potongan pepaya Pengukuran berat, Pembuatan larutan gula


dengan ukuran 6 cm x 2 cm x 1 cm volume dan kadar dengan perbandingan 1 :
air awal sampel 15 dengan berat sampel

Pencelupan sampel ke larutan gula sesuai dengan


kombinasi perlakuan suhu, waktu, dan konsentrasi larutan

Suhu larutan 32.7oC, 40oC,


50oC, 60oC, dan 67.3oC

Konsentrasi larutan 37.7obrix,


45 brix, 55obrix, 65obrix, 72.3obrix
o

Waktu 32.4 menit, 120 menit, 240


menit, 360 menit 447.6 menit

Pengukuran berat, volume dan kadar air akhir sampel

Analisis data penelitian

selesai

Gambar 2 Diagram Alir Prosedur Penelitian


9

Parameter yang Diamati

Pengamatan yang dilakukan terdiri atas:


1. Volume
Volume merupakan salah satu sifat fisik bahan pangan yang digunakan
dalam perhitungan awal dan akhir untuk menduga sifat fisik seperti berat jenis,
dan sifat fisik yang lainnya. Volume sampel diukur menggunakan prinsip
Archimedes. Volume ditentukan menggunakan Persamaan 1:

Volume = (1)

Dimana: ms = massa sampel (gram)


m’ = massa sampel di air (gram)
ρair = berat jenis air (0.9957 gf/ml)

2. Massa Bahan
Massa bahan diukur menggunakan timbangan digital, untuk mengetahui
jumlah air yang keluar dari bahan itu sendiri setelah proses berlangsung.

3. Kadar Air dengan Metode Oven


Kadar air suatu bahan menunjukkan banyaknya kandungan air per satuan
bobot bahan yang dapat dinyatakan dalam persen berat basah (wet basis) atau
dalam persen berat kering (dry basis). Kadar air berat basah (b.b) adalah
perbandingan antara berat air yang ada dalam bahan dengan berat total bahan.
Kadar air berat basah dapat ditentukan dengan Persamaan 2:

x 100% = x 100 % (2)

Sementara kadar air berat kering (b.k) adalah perbandingan antara berat air
yang ada dalam bahan dengan berat padatan yang ada dalam bahan. Kadar air
berat kering dapat ditentukan dengan Persamaan 3:

M= x 100 % (3)

Dimana : m = kadar air berat basah (% b.b)


M = kadar air berat kering (% b.k)
= berat air dalam bahan (g)
= berat padatan dalam bahan (g) atau berat bahan kering
mutlak
= berat total (g)

Prosedur Analisis Data

Analisis data yang dilakukan adalah analisis data dari respon yang
dihasilkan yaitu water loss, solid gain, dan shrinkage yang dipengaruhi oleh
10

variabel suhu, waktu proses, dan konsentrasi larutan dan analisis statistik.
Prosedur analisis data pada penelitian ini terdiri atas:

Water Loss dan Solid Gain


Water loss menunjukkan banyaknya air yang keluar dari sampel selama
proses pengeringan osmotik. Sedangkan Solid Gain menunjukkan banyaknya
padatan terlarut yang masuk ke dalam sampel. WL dan SG dinyatakan dalam
gram sampel per gram sampel awal. Besarnya WL dan SG dapat dihitung
menggunakan Persamaan 4 dan 5:

(4)

( ) ( )
(5)

Dimana: m0 = Kadar air sampel pada waktu ke-0 menit (%b.b.)


mt = Kadar air sampel pada waktu t (%b.b.)
w0 = Berat sampel pada waktu ke-0 menit (gram)
wt = Berat sampel pada waktu ke t (gram)

Shrinkage
Shrinkage merupakan penyusutan yang terjadi pada volume maupun massa
bahan akibat kehilangan kandungan air dalam bahan. Penyusutan dinyatakan
dalam persen dan dihitung menggunakan Persamaan 6:

Shrinkage = x 100 (6)

Data yang telah didapat kemudian diolah menggunakan software Minitab.


Hasil yang diperoleh diterjemahkan ke dalam model persamaan fungsi respon
terhadap variabel bebas yang dinyatakan dengan pendekatan fungsi second-order
model (model orde kedua). Informasi yang digunakan pada rancangan penelitian
adalah untuk mencari kondisi optimum dehidrasi osmotik irisan pepaya dengan
faktor – faktor yang terdiri atas suhu (X1), waktu proses (X2), dan konsentrasi
larutan gula (X3). Respon yang diamati terdiri dari 3 respon yaitu water loss (Y1),
solid gain (Y2), dan shrinkage (Y3). Model matematika tersebut dievaluasi untuk
setiap respon dengan menggunakan analisis regresi linier. Pemodelan tersebut
diawali dengan model kuadratik diantaranya linier, kuadrat dan interaksi dari
variabel. Bagian signifikan dari model tersebut didapatkan menggunakan analisis
keragaman (ANOVA) untuk setiap respon. Analisi keragaman atau Analysis of
Variance (ANOVA) merupakan kumpulan dari berbagai prosedur statistik untuk
menganalisa respon kuantitatif. ANOVA dilakukan untuk menguji keakuratan
model yang dihasilkan. Pengujian yang dilakukan yaitu uji nilai p (p-value), lack
of fit, error dan koefisien determinasi menggunakan software minitab 14.
11

Pembentukan Model
Jika ternyata bentuk hubungan antara respon dengan perlakuan adalah linier maka
pendekatan fungsinya disebut first-order model (model orde pertama), seperti
yang ditunjukkan dalam Persamaan 7:

Y = βo +∑ (7)

Jika bentuk hubungannya merupakan kuadrat maka pendekatan fungsinya


disebut second-order model (model orde kedua). Persamaan 8 menunjukkan
bentuk umum second-order model:

Y = βo +∑ +∑ +∑ +ε (8)

Dimana : Y = Respon Pengamatan


Βo = Intersep
βi = Koefisien linier
βii = Koefisien kuadratik
βij = Koefisien interaksi perlakuan
Xi = Kode perlakuan untuk faktor ke-i
Xj = Kode perlakuan untuk faktor ke-j
K = Jumlah faktor yang dicobakan

Nilai p (p-value)
P-value merupakan tingkat terkecil dari nilai signifikan dimana H0 akan
ditolak ketika uji spesifik digunakan pada kumpulan data yang dihasilkan. Ketika
p-value didapatkan, nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai α. Apabila
p-value lebih kecil maka H0 akan ditolak, namun apabila p-value lebih besar maka
H0 akan diterima (Defore & Berk, 2007). Persamaan 9 dapat digunakan untuk
mencari nilai p yaitu:
( )
P=∫ ( )- dt (9)
( )√

Dimana : p = nilai p
t = t hitung
db = derajat kebebasan

Lack of Fit
Lack of fit merupakan penyimpangan atau ketidaktepatan. Pengujian
tersebut digunakan untuk menguji ketepatan model yang dibuat. Analisis
dilakukan dengan cara membandingkan apabila F < 1, maka lack of fit tidak ada
atau dapat dikatakan model tersebut diterima. Namun apabila F > 1, maka lack of
fit ada atau dapat dikatakan model tersebut tidak dapat diterima dan dilakukan
dengan perhitungan ulang (Defore & Berk, 2007). Nilai F dapat dicari dengan
menggunakan Persamaan 10:
12


( - )
F= = (10)

( - )

Dimana: F = Uji F
MSLOF = Mean Square Lack of Fit
MSPE = Mean Square Pure Error
SSLOF = Sum Square Lack of Fit
SSPE = Sum Square Pure Error
n = Banyaknya data
m = Jumlah variabel bebas

Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi (R2) merupakan besarnya keragaman di dalam
variabel Y yang dapat diberikan oleh model regresi yang didapatkan. Nilai R2
berkisar antara 0 sampai dengan 1. Apabila nilai R2 dikalikan 100%, maka hal ini
menunjukkan persentase keragaman di dalam variabel Y yang dapat diberikan
oleh model regresi yang didapatkan. Semakin besar nilai R2, semakin baik model
regresi yang diperoleh dan makin besar kontribusi atau peranan prediktor terhadap
variasi respon (Hidayat, 2007). Persamaan 11 dapat digunakan untuk menghitung
R2 dengan p variabel bebas X (X1, X2, X3, . . ., Xp) yaitu :

∑ ∑ ∑
R2 = ∑
(11)

Dimana: R = Koefisien deterninasi


bk = Koefisien persamaan, k = 1,2,...,k
xpi = Variabel bebas p = 1,2,...,p
yi = Nilai respon pengamatan

Optimisasi
Optimisasi dilakukan setelah model terbentuk. Proses optimisasi dilakukan
menggunakan software minitab. Setiap respon akan memberikan nilai yang
berbeda, peningkatan satu respon akan memiliki efek yang berlawanan dengan
respon lain. Beberapa pendekatan dilakukan untuk menyelesaikan problem
tersebut diantaranya: pertama menggunakan pembatasan prosedur optimisasi,
kedua penggambaran kontur dari respon variabel yang berbeda, ketiga
penyelesaian problem menggunakan fungsi desirability yang menggabungkan
keseluruhan respon dalam satu perhitungan (Eren, 2006). Proses optimisasi yang
dilakukan adalah mencari kondisi dimana water loss terjadi semaksimal mungkin
dan solid gain serta shrinkage terjadi seminimal mungkin. Apabila respon
dilakukan maksimisasi, fungsi yang dapat digunakan tertulis pada Persamaan 12.
Sementara untuk minisasi respon, persamaan yang dapat digunakan tertulis pada
Persamaan 13:

( )
( )
( ) {( ) ( ) (12)
( )
13

( )
( )
( ) {( ) ( ) (13)
( )

Dimana: = respon
= nilai terendah
= nilai target
= nilai tertinggi

Setelah nilai desirability terbentuk untuk setiap variabel respon, nilai


tersebut dikombinasikan ke dalam indeks desirability tunggal (D), dengan
menggunakan Persamaan 14. Sebelumnya ditentukan terlebih dulu nilai
kepentingan dari tiap respon, nilai kepentingan terbesar menunjukan seberapa
penting respon tersebut. Nilai kepentingan yang digunakan yaitu 3 untuk water
loss karena merupakan respon yang paling penting pada proses dehidrasi osmotik,
diikuti 2 untuk solid gain, dan 1 untuk shrinkage.

⁄∑
D=( )
⁄∑
= (∏ ) (14)

Dimana: = nilai kepentingan dari respon, semakin besar nilai


dari , semakin penting respon tersebut
d = Nilai desirability setiap respon

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peristiwa dehidrasi osmotik buah pepaya dipengaruhi oleh suhu dan


konsentrasi larutan osmotik, serta waktu dehidrasi osmotik. Berbagai perlakuan
tersebut mempengaruhi water loss yaitu hilangnya air dari dalam produk, solid
gain yaitu padatan terlarut yang masuk ke dalam produk, dan shrinkage yaitu
penyusutan volume produk akibat berkurangnya air pada produk. Water loss
diharapkan terjadi semaksimal mungkin sementara solid gain dan shrinkage
terjadi seminimal mungkin. Tabel 3 menampilkan hasil dari dehidrasi osmotik
buah pepaya dengan berbagai kombinasi perlakuan. Water loss terbesar terjadi
pada perlakuan T2H2C2 dengan suhu 60 oC, waktu 360 menit, dan konsentrasi
larutan 65 obrix yaitu sebesar 80.84%. Sementara itu, solid gain dan shrinkage
terkecil terjadi pada perlakuan T0H0C0 yaitu suhu 40 oC, waktu 120 menit dan
konsentrasi larutan 45 obrix sebesar 0.83% dan 18.45%. Suhu larutan diatas 60 oC
membuat buah mengalami efek pemasakan, hal tersebut ditandai dengan
perubahan warna buah kearah lebih pucat, dan permukaan buah menjadi lebih
kasar. Foto – foto hasil percobaan terlampir pada Lampiran 2.
14

Tabel 3 Hasil Dehidrasi Osmotik Buah Pepaya dengan Berbagai Kombinasi Perlakuan
Notasi Suhu Waktu Konsentrasi Water Solid Gain Shrinkage
No Kode
Perlakuan (oC) (menit) (obrix) Loss (%) (%) (%)
1 -1 -1 -1 T0H0C0 40 120 45 21.25 0.83 18.45
2 +1, -1, -1 T2H0C0 60 120 45 43.13 7.65 40.36
3 -1, 1, -1 T0H2C0 40 360 45 34.65 1.41 29.37
4 +1, +1, -1 T2H2C0 60 360 45 62.07 8.92 59.12
5 -1, -1, 1 T0H0C2 40 120 65 30.19 3.39 28.79
6 +1, -1, 1 T2H0C2 60 120 65 62.20 6.91 59.17
7 -1, +1, +1 T0H2C2 40 360 65 45.54 4.01 43.09
8 +1, +1, +1 T2H2C2 60 360 65 80.84 6.65 78.06
9 -1.73, 0, 0 T-αH1C1 32.7 240 55 28.09 2.71 27.37
10 +1.73, 0, 0 TαH1C1 67.3 240 55 67.57 13.66 60.65
11 0, -1.73, 0 T1H-αC1 50 32.4 55 26.97 3.94 25.41
12 0, +1.73, 0 T1HαC1 50 447.6 55 67.07 5.40 64.92
13 0, 0, -1.73 T1H1C-α 50 240 37.7 44.15 4.99 42.23
14 0, 0, +1.73 T1H1Cα 50 240 72.3 67.83 2.17 66.80
15 0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55 52.89 5.34 50.38
16 0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55 58.21 2.84 58.01
17 0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55 54.01 6.45 51.07
18 0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55 51.54 4.87 49.40
19 0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55 48.74 5.19 46.19
20 0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55 49.47 0.88 50.65

Kadar Air Sampel

Kadar air merupakan parameter penting dalam dehidrasi osmotik. Produk


yang mengalami dehidrasi osmotik akan mengalami penurunan kadar air yang
besarnya berbeda sesuai dengan jenis perlakuannya masing-masing. Produk yang
mengalami dehidrasi osmotik diharapkan memiliki penurunan kadar air yang
cukup besar. Penurunan kadar air yang besar menyebabkan berkurangnya air yang
terkandung di dalam produk sehingga memungkinkan produk memiliki umur
simpan yang lebih panjang karena aktivitas air terhambat. Secara umum,
penurunan kadar air disebabkan oleh adanya perbedaan konsentrasi zat terlarut
antara sampel dan larutan osmotik sehingga menyebabkan adanya perbedaan
tekanan osmotik antara air dalam jaringan sampel dengan larutan gula. Perbedaan
tekanan osmotik tersebut menyebabkan keluarnya sejumlah air dari jaringan
sampel ke larutan gula, sehingga terjadi penurunan kadar air sampel selama
dehidrasi osmotik berlangsung.
15

100.00
90.00
80.00
Kadar Air (%b.b) 70.00
60.00
50.00
40.00
Kadar Air
30.00
Awal
20.00
10.00 Kadar Air
0.00 Akhir
T0H0C0
T2H0C0
T0H2C0
T2H2C0
T0H0C2
T2H0C2
T0H2C2
T2H2C2

T1H1C1
T1H1C1
T1H1C1
T1H1C1
T1H1C1
T1H1C1
T-αH1C1

T1H-αC1

T1H1C-α
T1HαC1
TαH1C1

T1H1Cα
Notasi Perlakuan
Gambar 3 Grafik Kadar Air Awal dan Akhir Sampel pada Berbagai Perlakuan

Gambar 3 memperlihatkan bahwa penurunan kadar air terbesar terjadi pada


perlakuan T2H2C2 (suhu 60 oC, waktu 360 menit, konsentrasi 65 obrix) yaitu dari
kadar air awal sebesar 90.63% menjadi 37.68% diikuti perlakuan TαH1C1 (suhu
67.3 oC, waktu 240 menit, dan konsentrasi 55 obrix) dari kadar air awal sebesar
90.59% menjadi 49.96%. Penurunan kadar air terkecil terjadi pada perlakuan
T0H0C2 (suhu 45 oC, waktu 120 menit, dan konsentrasi 65 obrix) yaitu dari kadar
air awal sebesar 89.49% menjadi 81.00%. Dari grafik tersebut terlihat bahwa suhu
larutan yang tinggi dapat meningkatkan penurunan kadar air sampel. Suhu larutan
yang tinggi dapat meningkatkan pindah panas dari larutan ke permukaan pusat
sampel. Perpindahan panas ini meningkatkan pergerakan molekul air pada sampel
sehinga mempercepat perpindahan massa air dari pusat sampel ke permukaan
sampel dan dari permukaan sampel ke larutan gula. Akan tetapi suhu yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan terjadinya browning pada sampel (Jannah, 2010).
Waktu proses dan konsentrasi larutan juga mempengaruhi penurunan kadar
air sampel. Semakin lama waktu dehidrasi osmotik akan menyebabkan semakin
besarnya penurunan kadar air sampel. Semakin tinggi konsentrasi larutan maka
semakin tinggi pula penurunan kadar air dari sampel. Pada proses dehidrasi
osmotik, air akan bergerak dari larutan hipotonik ke larutan hipertonik. Kedua
larutan ini dibedakan atas konsentrasi zat terlarut dan pelarutnya, dalam percobaan
ini gula sebagai zat terlarut dan air sebagai zat pelarut. Jika perbedaan konsentrasi
gula semakin besar, maka perbedaan tekanan osmotik antara sampel dengan
larutan osmotik akan semakin besar. Perbedaan tekanan osmotik yang
menyebabkan perpindahan air dari jaringan sampel ke larutan osmotik akan
terjadi semakin cepat.

Water Loss

Water loss menunjukkan kehilangan air pada sampel. Semakin besar nilai
water loss, semakin besar pula kehilangan air yang terjadi pada sampel, begitu
juga sebaliknya. Water loss pada produk diharapkan terjadi semaksimal mungkin
16

agar air yang ada di dalam produk dapat berkurang maksimal sehingga aktivitas
air akan menurun yang akan menyebabkan umur simpan produk dapat meningkat.
Nilai water loss paling tinggi terjadi pada perlakuan T2H2C2 (suhu 60 oC, waktu
360 menit, dan konsentrasi 65 obrix) sebesar 80.84%. Sedangkan nilai water loss
yang paling rendah terjadi pada perlakuan T0H0C0 (suhu 40 oC, waktu 120 menit,
dan konsentrasi 45 obrix) yaitu sebesar 21.25% sesuai dengan Tabel 3. Gambar 4,
5, dan 6 memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan water loss seiring dengan
meningkatnya waktu. Semakin lamanya waktu dehidrasi osmotik, menyebabkan
semakin meningkatya water loss yang terjadi.
Gambar 4, 5, dan 6 juga memperlihatkan bahwa peningkatan suhu, waktu
proses, dan konsentrasi larutan osmotik menyebabkan meningkatnya nilai dari
water loss. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa semakin tingginya suhu,
waktu proses, dan konsentrasi larutan menyebabkan semakin meningkatnya
kehilangan air dari dalam produk.

90
80
70
Water Loss (%)

60
T0C0
50
40 T2C0
30
T0C2
20
10 T2C2
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360
Waktu (menit)
Gambar 4 Perubahan Water Loss pada Perlakuan T0C0 (suhu 40 oC, konsentrasi
45 obrix), T2C0 (suhu 60 oC, konsentrasi 45 obrix), T0C2 (suhu 40 oC,
konsentrasi 65 obrix), dan T2C2 (suhu 60 oC, konsentrasi 65 obrix) per
Satuan Waktu
17

80

70 T-αC1
TαC1
60
T1C-α
Water Loss (%)

50 T1Cα
40 T1C1(1)

30 T1C1(2)
T1C1(3)
20
T1C1(4)
10
T1C1(5)
0 T1C1(6)
0 30 60 90 120 150 180 210 240
Waktu (menit)

Gambar 5 Perubahan Water Loss pada Perlakuan T-αC1(suhu 32.7 oC, konsentrasi
55 obrix), TαC1 (suhu 67.3 oC, konsentrasi 55 obrix), T1C-α (suhu 50
o
C, konsentrasi 37.7 obrix), T1Cα (suhu 50 oC, konsentrasi 72.3 obrix),
dan T1C1 (suhu 50 oC, konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu

80
70
60
Water Loss (%)

50
40
30 T1C1

20
10
00
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 420 450
Waktu (menit)

o
Gambar 6 Perubahan Water Loss pada Perlakuan T1HαC1 (suhu 50 C,
konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu

Tabel 4 dan 5 memperlihatkan koefisien regresi dan hasil ANOVA dari


berbagai faktor terhadap water loss yang terjadi. Tabel 5 memperlihatkan bahwa
ketiga faktor yaitu suhu, waktu proses, dan konsentrasi memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap water loss karena nilai p pada ketiga faktor lebih kecil
dari 0.05 yaitu 2.12E-07 untuk suhu, 3,7E-06 untuk waktu proses, dan 5.9E-05 untuk
konsentrasi. Tabel 4 juga memperlihatkan bahwa kombinasi ketiga faktor secara
kuadratik dan interaksi diantaranya tidak memberikan pengaruh signifikan karena
18

nilai p lebih besar dari 0.05, hanya faktor waktu memberikan pengaruh signifikan
secara kuadratik.

Tabel 4 Koefisien Regresi dari Water Loss


Parameter Koefisien β P
Konstan 52.48 1.92E-11
Suhu 13.22 2.12E-07
Waktu 9.70 3.7E-06
Konsentrasi 7.05 5.9E-05
Suhu*suhu -2.09 0.07
Waktu*waktu -2.36 0.04
Konsentrasi*konsentrasi 0.64 0.54
Suhu*waktu 1.10 0.45
Suhu*konsentrasi 2.25 0.14
Waktu*konsentrasi 0.21 0.89
R2 0.97

Tabel 5 Analysis of Variance (ANOVA) dari Water Loss


Parameter DF SS MS F P
Regression 9 4666.86 518.54 32.70 3E-06
Linier 3 4457.11 31.00 1.95
Square 3 159.11 53.04 3.34
Interaction 3 50.63 16.88 1.06
Residual 9 15.86
158.56
Error
Lack of Fit 5 99.29 19.86 1.68 0.29
Pure Error 4 59.27 11.85
Total 19 4825.42

Sementara itu, nilai koefisien determinasi (R2) dari percobaan tersebut


cukup besar yaitu sebesar 96.7%. Nilai tersebut menjelaskan bahwa sekitar 97%
data dari hasil penelitian merupakan pengaruh dari faktor-faktor perlakuan
sedangkan 3% berasal dari faktor-faktor diluar perlakuan yang diamati. Hal
tersebut juga menggambarkan bahwa model yang dihasilkan cukup baik. Hasil uji
lack of fit dari model tersebut menjelaskan bahwa model tersebut memiliki nilai p
sebesar 0.29. Nilai tersebut lebih besar dari α (0.05) yang berarti tidak ada lack of
fit atau dapat dikatakan model cukup menggambarkan sebaran data yang
dihasilkan dari penelitian ini, sehingga model tersebut dapat digunakan.
Tabel 4 memperlihatkan nilai koefisien β dari water loss yang digunakan
untuk pembentukan model matematika dari water loss, sehingga model dari water
loss dapat dilihat pada Persamaan 15:

Water Loss = 52.48 + 13.22 X1 + 9.70 X2 + 7.05 X3 – 2.09 X12 – 2.36 X22 + 0.64
X32 + 1.10 X1 X2 + 2.25 X1 X3 + 0.21 X2 X3 (15)

Dimana : X1 = Suhu
X2 = Waktu proses
19

X3 = Konsentrasi larutan

Model yang terbentuk dari Persamaan 15 digunakan untuk menentukan nilai


dari respon water loss. Nilai dari water loss hasil perhitungan menggunakan
persamaan tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai dari hasil pengamatan
seperti diperlihatkan pada Tabel 6. Tabel 6 memperlihatkan perbandingan nilai
dari water loss hasil pengamatan dengan nilai perhitungan menggunakan model
dari regresi yang ditunjukkan pada Persamaan 15. Tabel tersebut memperlihatkan
bahwa nilai hasil pengamatan dan perhitungan model tidak berbeda terlalu jauh,
sehingga model yang dihasilkan cukup baik. Gambar 7 memperlihatkan sebaran
data nilai water loss hasil pengamatan dan perhitungan. Nilai koefisien
determinasi sebesar 0.97 menunjukkan bahwa data yang dihasilkan hampir
seragam dan menggambarkan bahwa model yang dihasilkan cukup baik.

Tabel 6 Perbandingan Nilai Water Loss Hasil Pengamatan dan Perhitungan


menggunakan Model Hasil Regresi
Notasi Water Loss
No Residuals
Perlakuan Pengamatan Perhitungan
1 T0H0C0 21.25 22.26 -1.01
2 T2H0C0 43.13 41.99 -1.14
3 T0H2C0 34.65 39.05 -4.4
4 T2H2C0 62.07 63.19 -1.12
5 T0H0C2 30.19 31.45 -1.26
6 T2H0C2 62.2 60.19 2.01
7 T0H2C2 45.54 49.06 -3.52
8 T2H2C2 80.84 82.21 -1.37
9 T-αH1C1 28.09 23.36 4.73
10 TαH1C1 67.57 69.11 -1.54
11 T1H-αC1 26.97 28.64 -1.67
12 T1HαC1 67.07 62.21 4.89
13 T1H1C-α 44.15 42.19 1.96
14 T1H1Cα 67.83 66.6 1.23
15 T1H1C1 52.89 52.48 0.41
16 T1H1C1 58.21 52.48 5.73
17 T1H1C1 54.01 52.48 1.53
18 T1H1C1 51.54 52.48 -0.94
19 T1H1C1 48.74 52.48 -3.74
20 T1H1C1 49.47 52.48 -3.01
20

90
80
70
60
Water Loss (%)

50 R² = 0.9671
40 water loss
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Water Loss (%)

Gambar 7 Grafik Nilai Water Loss Hasil Pengamatan dan Perhitungan

(a) (b)

(c)
Gambar 8 Permukaan Respon dari Water Loss dengan Variasi (a) waktu dan
(a) (b) Konsentrasi dan Suhu, (c) Konsentrasi dan
Suhu, (b) Waktu

Berdasarkan Gambar 8, suhu dan waktu proses memberikan pengaruh


paling besar terhadap kehilangan air yang terjadi pada produk diikuti dengan
konsentrasi larutan. Ketiganya secara positif memberikan pengaruh terhadap
water loss. Kontur yang dihasilkan juga memperlihatkan bahwa water loss
meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu, waktu proses, dan konsentrasi
21

larutan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Eren (2006) bahwa peningkatan
suhu dan waktu akan meningkatkan water loss dengan cepat. Suhu proses yang
tinggi akan menyebabkan hilangnya air dari dalam produk dengan cepat sehingga
mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan konsentrasi.
Chenlo (2003) juga menyatakan bahwa meningkatnya suhu memberikan
karakteristik perpindahan air yang lebih baik pada permukaan produk. Abbas
(2005) juga menyatakan bahwa konsentrasi larutan osmotik merupakan faktor
terpenting yang menyebabkan terjadinya water loss pada dehidrasi osmotik irisan
buah pepaya.

Solid Gain

Pengeringan osmotik melibatkan dua aliran material yang berlawanan arah


dan terjadi secara simultan, yaitu keluarnya air dari jaringan sampel ke larutan
osmotik dan aliran padatan terlarut dari larutan osmotik ke dalam jaringan sampel
(Jannah, 2010). Solid gain merupakan parameter yang menggambarkan bahwa
terdapat padatan terlarut dari larutan osmotik yang masuk ke dalam sampel.
Semakin besar nilai solid gain, menjelaskan bahwa semakin banyak padatan
terlarut yang masuk ke dalam sampel, begitu juga sebaliknya. Solid gain yang
terjadi pada dehidrasi osmotik diharapkan terjadi seminimal mungkin, karena
padatan terlarut yang masuk ke dalam sampel dapat mempengaruhi rasa dari
sampel.

12

10

8
Solid Gain (%)

T0C0
6
T2C0
4 T0C2

2 T2C2

0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360
Waktu (menit)

Gambar 9 Perubahan Solid Gain pada Perlakuan T0C0 (suhu 40 oC, konsentrasi
45 obrix), T2C0 (suhu 60 oC, konsentrasi 45 obrix), T0C2 (suhu 40oC,
konsentrasi 65 obrix), dan T2C2 (suhu60 oC, konsentrasi 65 obrix) per
Satuan Waktu
22

16
T-αC1
14
TαC1
12
T1C-α
Solid Gain (%)

10
T1Cα
8
T1C1(1)
6
T1C1(2)
4
T1C1(3)
2
T1C1(4)
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 T1C1(5)
Waktu (menit) T1C1(6)

Gambar 10 Perubahan Solid Gain pada Perlakuan T-αC1 (suhu 32.7 oC,
konsentrasi 55 obrix), TαC1 (suhu 67.3 oC, konsentrasi 55 obrix),
T1C-α (suhu 50 oC, konsentrasi 37.7 obrix), T1Cα (suhu 50 oC,
konsentrasi 72.3 obrix), dan T1C1 (suhu 50 oC, konsentrasi 55
o
brix) per Satuan Waktu

5
S0olid Gain (%)

3 T1C1
2

0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 420 450
Waktu (menit)

Gambar 11 Perubahan Solid Gain pada Perlakuan T1HαC1 (suhu 50 oC,


konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu

Berdasarkan Tabel 3 dan Gambar 9, solid gain terkecil terjadi pada


perlakuan T0H0C0 (suhu 40 oC, waktu 120 menit, dan konsentrasi 45 obrix) yaitu
sebesar 0.83%. Sementara solid gain terbesar terjadi pada perlakuan TαH0C0
(suhu 67.3oC, waktu 240 menit, dan konsentrasi 55obrix) yaitu sebesar 13.66%.
Gambar 9, 10, dan 11 memperlihatkan bahwa suhu memiliki pengaruh paling
besar untuk menghasilkan solid gain terbesar. Gambar 10 memperlihatkan bahwa
pada selang waktu yang sama, nilai solid gain terbesar berada pada suhu 67.3oC.
23

Tabel 7 dan 8 memperlihatkan koefisien regresi dan hasil ANOVA dari


berbagai faktor terhadap solid gain yang terjadi. Tabel tersebut memperlihatkan
bahwa dari ketiga faktor yaitu, suhu, waktu, dan konsentrasi, hanya faktor suhu
yang mempengaruhu solid gain secara signifikan karena nilai p dibawah 0.05
yaitu sebesar 7.89E-05. Waktu dan konsentrasi tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap solid gain karena nilai p berada diatas 0.05 yaitu sebesar 0.46
untuk waktu dan 0.67 untuk suhu.

Tabel 7 Koefisien Regresi dari Solid Gain


Parameter Koefisien β P
Konstan 4.26 8.57E-05
Suhu 2.82 7.89E-05
Waktu 0.34 0.46
Konsentrasi -0.20 0.67
Suhu*suhu 1.21 0.02
Waktu*waktu 0.04 0.93
Konsentrasi*konsentrasi -0.33 0.45
Suhu*waktu -0.02 0.97
Suhu*konsentrasi -1.02 0.11
Waktu*konsentrasi -0.19 0.76
R2 0.85

Tabel 8 Analysis of Variance (ANOVA) dari Solid Gain


Parameter DF SS MS F P
Regression 9 14871 16.52 6.08 0.01
Linier 3 113.32 3.27 1.20
Square 3 26767 8.92 3.28
Interaction 3 8,626 2.88 1.06
Residual Error 10 27.18 2.72
Lack of Fit 5 6.51 1.31 0.32 0.88
Pure Error 5 20.64 4.13
Total 19 175.89

Sementara itu, nilai koefisien determinasi (R2) dari percobaan tersebut


cukup besar yaitu sebesar 85%. Nilai tersebut menjelaskan bahwa sekitar 85%
data dari hasil penelitian merupakan pengaruh dari faktor-faktor perlakuan
sedangkan 15% berasal dari faktor-faktor diluar perlakuan yang diamati. Hal
tersebut juga menggambarkan bahwa model yang dihasilkan cukup baik. Hasil uji
lack of fit dari model tersebut menjelaskan bahwa model tersebut memiliki nilai p
sebesar 0,88. Nilai tersebut lebih besar dari α (0.05) yang berarti tidak ada lack of
fit atau dapat dikatakan model cukup menggambarkan sebaran data yang
dihasilkan dari penelitian ini, sehingga model tersebut dapat digunakan.
Tabel 7 memperlihatkan nilai koefisien β dari solid gain yang digunakan
untuk pembentukan model matematika dari solid gain, sehingga model dari solid
gain dapat dilihat pada Persamaan 16:

Solid Gain = 4.26 + 2.82 X1 + 0.34 X2 – 0.20 X3 + 1.21 X12 + 0.04 X22 – 0.33
X32– 0.02 X1X2– 1.02 X1X3 – 0.19 X2 X3 (16)
24

Model yang terbentuk dari persamaan 16 digunakan untuk menentukan nilai


dari respon solid gain. Nilai dari solid gain hasil perhitungan menggunakan
persamaan tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai dari hasil pengamatan
seperti diperlihatkan pada Tabel 9. Tabel 9 memperlihatkan perbandingan nilai
dari solid gain hasil pengamatan dengan nilai perhitungan menggunakan model
dari regresi yang ditunjukkan pada Persamaan 16. Tabel tersebut memperlihatkan
bahwa nilai hasil pengamatan dan perhitungan model tidak berbeda terlalu jauh,
sehingga model yang dihasilkan cukup baik. Gambar 12 memperlihatkan sebaran
data nilai solid gain hasil pengamatan dan perhitungan. Nilai R2 sebesar 0.85
menunjukkan bahwa data yang dihasilkan hampir seragam dan menggambarkan
bahwa model yang dihasilkan cukup baik.

Tabel 9 Perbandingan Nilai Solid Gain Hasil Pengamatan dan Perhitungan


menggunakan Model Hasil Regresi
Notasi Solid Gain
No Residuals
Perlakuan Pengamatan Perhitungan
1 T0H0C0 0.83 0.99 -0.16
2 T2H0C0 7.65 8.72 -1.07
3 T0H2C0 1.41 2.09 -0.68
4 T2H2C0 892 9.73 -0.81
5 T0H0C2 3.39 3.02 0.37
6 T2H0C2 6.91 6.66 0.25
7 T0H2C2 4.01 3.37 0.64
8 T2H2C2 6.65 6.92 -0.27
9 T-αH1C1 2.71 3.01 -0.31
10 TαH1C1 13.66 12.77 0.89
11 T1H-αC1 394 3.79 0.15
12 T1HαC1 5.40 4.96 0.44
13 T1H1C-α 4.99 3.63 1.36
14 T1H1Cα 2.17 2.95 -0.78
15 T1H1C1 5.34 4.26 1.08
16 T1H1C1 2.84 4.26 -1.42
17 T1H1C1 6.45 4.26 2.19
18 T1H1C1 4.87 4.26 0.61
19 T1H1C1 5.19 4.26 0.93
20 T1H1C1 0.88 4.26 -3.38
25

14

Solid Gain (%) Hasil Perhitungan


12

10

8
R² = 0.8454
6
y = 0.8454x + 0.7592
4

0
0 5 10 15
Solid Gain (%) Hasil Pengamatan

Gambar 12 Grafik Nilai Solid Gain Hasil Pengamatan dan Perhitungan

(a) (b)

(c)
Gambar 13 Permukaan Respon dari Solid Gain dengan Variasi (a) Waktu dan Suhu, (b)
Konsentrasi dan Suhu, (c) Konsentrasi dan Waktu

Berdasarkan Gambar 13 seluruh permukaan respon dan kontur solid gain


memperlihatkan bentuk sadel. Hal ini mengindikasikan bahwa kombinasi
pengaruh suhu, waktu proses, dan konsentrasi larutan osmotik menghasilkan
respon yang tidak teridentifikasi optimum pada satu titik, tetapi menyebar di
wilayah sadel point (Hidayat, 2012). Gambar 13 a dan b menjelaskan bahwa suhu
memiliki pengaruh paling besar terhadap solid gain. Hal ini sesuai dengan
26

pernyataan Jannah (2010) bahwa semakin tinggi suhu akan meningkatkan nilai
solid gain. Hal tersebut disebabkan pori dalam membran semipermeabel terlalu
kecil untuk dapat dilewati oleh molekul gula, tetapi cukup besar untuk dilewati
molekul air. Adanya peningkatan suhu larutan dapat memperbesar pori dalam
membran semipermeabel, sehingga memungkinkan molekul gula dapat lebih
banyak masuk ke dalam jaringan sampel. Abbas (2005) juga menyatakan bahwa
suhu memiliki pengaruh paling penting pada solid gain dalam larutan gula diikuti
dengan waktu proses. Konsentrasi larutan memiliki pengaruh negatif pada solid
gain seperti yang digambarkan pada gambar 13c. Sesuai dengan pernyataan
Bongirwar (1977), Hawkes (1978), Islam (1982) bahwa nilai dari solid gain yang
rendah (<10%) dapat diperoleh menggunakan kombinasi perlakuan suhu larutan
osmotik dan waktu rendah, dengan konsentrasi tinggi.

Shrinkage

Shrinkage atau penyusutan volume merupakan efek dari dehidrasi osmotik


karena terjadinya kehilangan air dari dalam sampel. Terdapatnya air yang kerluar
dari sampel menyebabkan adanya penurunan volume sampel. Penyusutan yang
terjadi pada produk setelah proses dehidrasi osmotik diharapkan terjadi seminimal
mungkin kualitas buah tetap baik secara visual. Penyustan yang terjadi pada buah
menyebabkan kerutan pada buah tersebut, oleh karena itu diharapkan terjadi
seminimal mungkin untuk menghindari kerutan yang banyak pada buah.
Berdasarkan Tabel 2, shrinkage terkecil terjadi pada perlakuan T0H0C0
(suhu 40 oC, waktu 120 menit, dan konsentrasi 45 obrix) yaitu sebesar 21.25%.
Sementara shrinkage terbesar terjadi pada perlakuan T2H2C2 (suhu 60 oC, waktu
360 menit, konsentrasi 65 obrix) yaitu sebesar 78.06%. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa peningkatan suhu, waktu proses, dan konsentrasi larutan
akan meningkatkan shrinkage yang terjadi.
Gambar 14, 15, dan 16 memperlihatkan bahwa bahwa terjadi peningkatan
shrinkage seiring dengan meningkatnya waktu. Semakin lamanya waktu dehidrasi
osmotik, menyebabkan semakin meningkatya shrinkage yang terjadi. Gambar 14,
15, dan 16 juga memperlihatkan bahwa peningkatan suhu, waktu proses, dan
konsentrasi larutan osmotik menyebabkan meningkatnya nilai dari shrinkage.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa semakin tingginya suhu, waktu proses,
dan konsentrasi larutan menyebabkan semakin meningkatnya penyusutan volume
yang terjadi pada produk.
27

90
80
Shrinkage (%) 70
60
50 T0C0

40 T2C0

30 T0C2
20 T2C2
10
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360
Waktu (menit)

Gambar 14 Perubahan Shrinkage pada Perlakuan T0C0 (suhu 40 oC,


konsentrasi 45 obrix), T2C0 (suhu 60 oC, konsentrasi 45 obrix),
T0C2 (suhu 40 oC, konsentrasi 65 obrix), dan T2C2 (suhu60 oC,
konsentrasi 65 obrix) per Satuan Waktu

80
T-αC1
70
TαC1
60
T1C-α
Shrinkage (%)

50
T1Cα
40
T1C1(1)
30
T1C1(2)
20
T1C1(3)
10
T1C1(4)
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 T1C1(5)
Waktu (menit) T1C1(6)

Gambar 15 Perubahan Shrinkage pada Perlakuan T-αC1 (suhu 32.7 oC, konsentrasi
55 obrix), TαC1 (suhu 67.3 oC, konsentrasi 55 obrix), T1C-α (suhu 50
o
C, konsentrasi 37.7 obrix), T1Cα (suhu 50 oC, konsentrasi 72.3 obrix),
dan T1C1 (suhu 50 oC, konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu
28

70

60

50
Shrinkage (%)

40

30
T1C1
20

10

0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 420 450
Waktu (menit)
o
Gambar 16 Perubahan Shrinkage pada Perlakuan T1HαC1 (suhu 50 C,
konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu

Tabel 10 dan 11 memperlihatkan koefisien regresi dan hasil ANOVA dari


berbagai faktor terhadap shrinkage yang terjadi. Tabel tersebut memperlihatkan
bahwa ketiga faktor yaitu suhu, waktu proses, dan konsentrasi memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap shrinkage karena nilai p pada ketiga faktor
lebih kecil dari 0.05 yaitu 2.73E-06 untuk suhu, 3.36E-05 untuk waktu proses, dan
2.18E-04 untuk konsentrasi. Tabel 11 juga memperlihatkan bahwa kombinasi
ketiga faktor secara kuadratik dan interaksi diantaranya tidak memberikan
pengaruh signifikan karena nilai p lebih besar dari 0.05, hanya faktor suhu
memberikan pengaruh signifikan secara kuadratik.

Tabel 10 Koefisien Regresi dari Shrinkage


Parameter Koefisien β P
Konstan 50.95 2.22E-10
Suhu 12.48 2.73E-06
Waktu 9.38 3.36E-05
Konsentrasi 7.46 2.18E-04
Suhu*suhu -2.96 0.04
Waktu*waktu -2.57 0.07
Konsentrasi*konsentrasi 0.55 0.67
Suhu*waktu 1.55 0.40
Suhu*konsentrasi 1.71 0.35
Waktu*konsentrasi 0.44 0.81
2
R 0.95
29

Tabel 11 Analysis of Variance (ANOVA) dari Shrinkage


Parameter DF SS MS F P
Regression 9 4469.42 496.60 20.24 2.80E-05
Linier 3 4188.60 37.25 1.52
Square 3 236.55 78.85 3.21
Interaction 3 44.28 14.76 0.60
Residual 10 245.36 24.54
Error
Lack of Fit 5 170.03 34.01 2.26 0.20
Pure Error 5 75.33 15.07
Total 119 4714.78

Sementara itu, nilai koefisien determinasi (R2) dari percobaan tersebut


cukup besar yaitu sebesar 95%. Nilai tersebut menjelaskan bahwa sekitar 95%
data dari hasil penelitian merupakan pengaruh dari faktor-faktor perlakuan
sedangkan 5% berasal dari faktor-faktor diluar perlakuan yang diamati. Hal
tersebut juga menggambarkan bahwa model yang dihasilkan cukup baik. Hasil uji
lack of fit dari model tersebut menjelaskan bahwa model tersebut memiliki nilai p
sebesar 0.20. Nilai tersebut lebih besar dari α (0,05) yang berarti tidak ada lack of
fit atau dapat dikatakan model cukup menggambarkan sebaran data yang
dihasilkan dari penelitian ini, sehingga model tersebut dapat digunakan.
Tabel 10 memperlihatkan nilai koefisien β dari shrinkage yang digunakan
untuk pembentukan model matematika dari shrinkage, sehingga model dari
shrinkage dapat dilihat pada Persamaan 17:

Shrinkage = 50.95 + 12.48 X1 + 9.38 X2 – 7.46 X3 – 2.96 X12 – 2.57 X22 + 0.55
X32 + 1.55 X1 X2 + 1.71 X1 X3 + 0.44 X2 X3 (17)

Model yang terbentuk dari Persamaan 17 digunakan untuk menentukan nilai


dari respon shrinkage. Nilai dari shrinkage hasil perhitungan menggunakan
persamaan tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai dari hasil pengamatan
seperti diperlihatkan pada Tabel 12. Tabel 12 memperlihatkan perbandingan nilai
dari shrinkage hasil pengamatan dengan nilai perhitungan menggunakan model
dari regresi yang ditunjukkan pada Persamaan 17. Tabel tersebut memperlihatkan
bahwa nilai hasil pengamatan dan perhitungan model tidak berbeda terlalu jauh,
sehingga model yang dihasilkan cukup baik. Gambar 17 memperlihatkan sebaran
data nilai shrinkage hasil pengamatan dan perhitungan. Nilai R2 sebesar 0.95
menunjukkan bahwa data yang dihasilkan hampir seragam dan menggambarkan
bahwa model yang dihasilkan cukup baik.
30

Tabel 12 Perbandingan Nilai shrinkage Hasil Pengamatan dan Perhitungan


menggunakan Model Hasil Regresi
Notasi Shrinkage
No Residuals
Perlakuan Pengamatan Perhitungan
1 T0H0C0 18.45 20.36 -1.91
2 T2H0C0 40.36 38.79 1.57
3 T0H2C0 29.37 35.14 -5.77
4 T2H2C0 59.12 59.79 -0.67
5 T0H0C2 2879 30.98 -2.19
6 T2H0C2 59.17 56.26 2.91
7 T0H2C2 43.09 47.51 -4.42
8 T2H2C2 78.06 79.01 -0.95
9 T-αH1C1 27.37 20.51 6.86
10 TαH1C1 60.65 63.70 -3.05
11 T1H-αC1 25.41 27.03 -1.62
12 T1HαC1 64.92 59.49 5.43
13 T1H1C-α 42.23 39.70 2.53
14 T1H1Cα 66.80 65.51 1.29
15 T1H1C1 50.38 50.95 -0.57
16 T1H1C1 58.01 50.95 7.06
17 T1H1C1 51.07 50.95 0.12
18 T1H1C1 49.40 50.95 -1.55
19 T1H1C1 46.19 50.95 -4.76
20 T1H1C1 50.65 50.95 -0.31

90
Shrinkage Hasil Perhitungan (%)

75

60

45 R² = 0.948
y = 0.948x + 2.4708
30

15

0
0 20 40 60 80 100
Shrinkage Hasil Pengamatan (%)
Gambar 17 Grafik Nilai Shrinkage Hasil Pengamatan dan Perhitungan
31

(a) (b)

(c)
Gambar 18 Permukaan Respon dari Shrinkage dengan Variasi (a) Waktu dan Suhu,
(b) Konsentrasi dan Suhu, (c) Konsentrasi dan Waktu

Berdasarkan Gambar 18, suhu dan waktu proses memberikan pengaruh


paling besar terhadap penyusutan volume yang terjadi pada produk diikuti dengan
konsentrasi larutan. Ketiganya secara positif memberikan pengaruh terhadap
shrinkage. Kontur yang dihasilkan juga memperlihatkan bahwa shrinkage
meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu, waktu proses, dan konsentrasi
larutan.

Optimisasi

Kondisi optimum untuk dehidrasi osmotik irisan buah pepaya ditentukan


dengan mencari kondisi dimana water loss terjadi paling maksimal dan solid gain
serta shrinkage terjadi paling minimal. Model persamaan ordo dua yang diperoleh
digunakan pada setiap respon untuk menentukan kondisi optimum paling spesifik.
Model regresi tersebut hanya berlaku pada kisaran perlakuan yang dipilih,
sehingga kondisi optimum terdapat pada wilayah sekitar perlakuan. Pada
penelitian ini, suhu, waktu proses, dan konsentrasi larutan osmotik ditentukan
pada kisaran 32.7 oC – 67.3 oC, 32.4 – 447.6 menit, dan 37.7 obrix – 72.3 obrix.
32

a b c
Water Loss
Maksimum
58.01%
d = 0.62

d e f
Solid Gain
Minimum
2.77%
d = 0.79

g h i
Shrinkage
Minimum
57.26%
d = 0.35

Suhu Waktu Konsentrasi


[47.57 oC] [191.83 menit] [72.30 obrix]

Gambar 19 Kondisi Optimum Dehidrasi Osmotik Irisan Buah Pepaya


menggunakan Software Minitab

Gambar 19 memperlihatkan kondisi optimum proses dari software minitab.


Gambar 19a memperlihatkan bahwa peningkatan suhu menyebabkan peningkatan
water loss. Hal yang sama juga terjadi pada faktor waktu dan konsentrasi.
Peningkatan waktu dan konsentrasi larutan osmotik menyebabkan meningkatnya
water loss seperti diperlihatkan pada gambar 19b dan 19c. Hal yang sama terjadi
pada solid gain, peningkatan suhu dan waktu menyebabkan meningkatnya solid
gain secara keseluruhan seperti terlihat pada gambar 19d dan 19e. Peningkatan
suhu, waktu, dan konsentrasi menyebabkan meningkatnya shrinkage seperti
terlihat pada gambar 19g, 19h, dan 19i.
Kondisi optimum dehidrasi osmotik irisan buah pepaya ditentukan
menggunakan fungsi desirability dengan kondisi yang diinginkan pada water loss
terjadi secara maksimal sehingga target dari water loss yang ingin dicapai sebesar
80.84% dan nilai water loss terendah sebesar 21.25%. Solid gain yang diharapkan
terjadi seminimal mungkin sehingga target nilai solid gain yang ingin dicapai
sebesar 0.83%, sementara nilai tertinggi yang mungkin dicapai sebesar 10% agar
kualitas pepaya tetap terjaga. Sementara itu shrinkage yang diharapkan terjadi
seminimal mungkin dengan target nilai shrinkage sebesar 21.25% dengan nilai
terebesar adalah 78.06%. Hasil dari fungsi desirability menggunakan software
minitab seperti terlihat pada gambar 19 memperlihatkan bahwa kondisi optimum
dari dehidrasi osmotik irisan pepaya berada pada kondisi suhu 47.57 oC, waktu
191.83 menit, dan konsentrasi 72.30 obrix. Kondisi tersebut akan menghasilkan
water loss sebesar 58.01%, solid gain sebesar 2.77%, dan shrinkage sebesar
57.26% dengan indeks desirability sebesar 0.59.
33

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:


1. Faktor suhu, waktu, dan konsentrasi mempengaruhi respon water loss dan
shrinkage secara signifikan. Hal tersebut menggambarkan bahwa
peningkatan suhu, waktu proses, dan konsentrasi larutan osmotik akan
meningkatkan nilai water loss dan solid gain yang dihasilkan. Namun, pada
respon solid gain, faktor yang mempengaruhi respon secara signifikan
hanyalah suhu. Peningkatan suhu akan menyebabkan meningkatnya solid
gain yang terjadi. Faktor waktu secara kuadratik mempengaruhi respon
water loss. Sementara faktor suhu secara kuadratik mempengaruhi respon
solid gain dan shrinkage. Berdasarkan uji nilai p, interaksi dari ketiga faktor
tidak mempengaruhi ketiga respon secara signifikan.
2. Model – model yang dihasilkan dari tiap respon yaitu Water Loss, Solid
Gain, dan Shrinkage terhadap faktor suhu (X1), waktu proses (X2), dan
konsentrasi larutan osmotik (X3):
Model dari water loss:
Water Loss = 52.48 + 13.22 X1 + 9.70 X2 + 7.05 X3 – 2.09 X12 – 2.36
X22 + 0.64 X32 + 1.10 X1 X2 + 2.25 X1 X3 + 0.21 X2 X3
Model dari solid gain:
Solid Gain = 4.26 + 2.82 X1 + 0.34 X2 – 0.20 X3 + 1.21 X12 + 0.04 X22 –
0.33 X32– 0.02 X1X2– 1.02 X1X3 – 0.19 X2 X3
Model dari Shrinkage:
Shrinkage = 50.95 + 12.48 X1 + 9.38 X2 – 7.46 X3 – 2.96 X12 – 2.57 X22
+ 0.55 X32 + 1.55 X1 X2 + 1.71 X1 X3 + 0.44 X2 X3
3. Kondisi optimum dari dehidrasi osmotik irisan buah pepaya dengan ukuran
6 cm x 2 cm x 1 cm berada pada suhu 47.57 oC, waktu 191.83 menit, dan
konsentrasi 72.3 obrix. Kondisi tersebut akan menghasilkan water
losssebesar 58.01%, solid gain sebesar 2.77%, dan shrinkage sebesar
57.26%.

Saran

Berdasarkan hasil menggunakan RSM, diperlukan diperlukan kombinasi


faktor yaitu suhu, waktu proses, dan konsentrasi dengan range yang lebih kecil
atau diperlukan penambahan faktor agar jumlah percobaan yang dihasilkan lebih
banyak sehingga model yang dihasilkan lebih baik.
34

DAFTAR PUSTAKA
Abbas AE, Moreira PA, Lucena JB, Elizabeth FX. 2006. Influence of The
Osmotic Agent on The Osmotic Dehydration of Papaya (Carica papaya L.).
Journal of Food Engineering 75, 267 – 274.
Ariesty, H. 2010. Umur Simpan dan Mutu Buah Pepaya California (Carica
papaya L.) Terolah Minimal dan Berlapis Edibel dalam Kemasan Atmosfer
Termodifikasi. [SKRIPSI]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Arriola, MC, Calzada JF, Menchu, Rolz J, Garcia R. 1980. Papaya. The AVI
Publishing Co., Inc. Ewstport, CT, USA.
Azoubel PM, Francinaide OS. 2008. Optimization of Osmotic Dehydration of
‘Tommy Atkins’ Mango Fruit. International Journal of Food Sciene and
Technology 2008, 43, 1276-1280.
Azoubel PM, Murr FEC. 2003. Optimization of Osmotic Dehydration of Cashew
Apple (Anacardium occidentale L.) in sugar solutions. Food Sciene and
Technology International, 9, 427-433.
Bongirwar DR, Sreenivasan A. 1977. Studies on Osmotic Dehydration of
Cantaloupe using Desired Function Methodology. Journal of Food Science and
Technology, 14,104-112.
Chan HT, dan Cavaletto CG. 1978. Dehydration and Storage Stability of Papaya
Leather. Didalam : Chan HT (ed). Handbook of Tropical Foods. Marcel
Dekker, Inc., New York.
Chan HT, Tang CS 1979. The Chemistry and Biochemistry and Nutrition, Vol I.
Academic Press. New York.
Chenlo F, Moreira R, Pereira G, Ampuida A. 2002. Viscosities of Aqueous
Solutions of Sucroseand Sodium Chloride of Interest in Osmotic Dehydration
Processes. Journal of Food Engineering, 54, 347-352.
Devore JL, Berk KN. 2007. Modern Mathematical Statistics with Applications.
Thomson Brookss/Cole: Belmont.
Eren I, Figen K. 2006. Optimization of Osmotic Dehydration of Potato using
Response Surface Methodology. Journal of Food Engineering 79(2006), 344-
352.
Harinaldi. 2005. Prinsip-Prinsip Statistik untuk Teknik dan Sains. Erlangga:
Jakarta.
Haryoto. 1998. Membuat Saus Pepaya. Penerbit Kanisius: Jakarta.
Hawkes J, Flink JM. 1978. Osmotic Concentration of Fruits Slices Prior to Freeze
Dehydration. Journal of Food Processing Preservation, 2, 265-284.
Hidayat J. 2012. Optimasi Pelilinan dan Suhu Penyimpanan Buah Manggis
menggunakan Response Surface Methodology. [SKRIPSI]. Bogor: Program
Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Islam MN, Flink JM. 1982. Dehydration of Potato II, Osmotic Concentration adn
its Effects on Air Drying Behaviour. Journal of Food Technology, 17, 387-403.
Jannah M. 2010. Dehidrasi Osmotik pada Potongan Mangga Arumanis dengan
Pelapisan Kitosan. [SKRIPSI]. Bogor: Program Sarjana Institut Pertanian
Bogor.
Kalie BM. 1988. Bertanam Pepaya. Penebar Swadaya: Jakarta.
35

Khan MAM., Ahrne L, Oliveira JC, Oliveira FAR. 2008. Prediction of water and
soluble solids concentration during osmotic dehydration of mango. Food and
Bioproducts Processing 86(2008): 7-13.
Lies, SM. 2005. Teknologi Pengolahan Pangan Aneka Olahan Pepaya Mentah.
Kanisius: Jakarta.
Misljenovic NM, Gordana BK, Lato LP, Ljubinko BL. 2012. Optimization of The
Osmotic Dehydration of Carrot Cubes in Sugar Beet Molasses. Thermal
Science. 16, 43-52.
Montgomery DC. 2001. Design and Analysisis of Experiments. Fifth Edition. John
Wililey and Sons, Inc. New York. Hlm 427-448.
Myers HR. 1971. Response Surface Methodology. Allyn Bacon, Inc: Boston.
Nuh AP. 2012. Kajian Tingkat Kematangan Pepaya Callina Menggunakan Image
Processing. [SKRIPSI]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ozdemir, Banu FO, Lisa L. Dock, John DF. 2008. Optimization of Osmotic
Dehydration of Diced Green Pepers by Response Surface Methodology. Food
Sciene and Technology, 41, 2044-2050.
Shopia M. 2011. Karakteristik Pengeringan dan Evaluasi Mutu pada Potongan
Mangga (Mangifera indica, L) Varietas Arumanis dengan Praperlakuan
Dehidrasi Osmotik. [SKRIPSI]. Bogor : Program Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Usman H, Setiady PA. 2008. Pengantar Statistika Edisi Kedua. PT Bumi Aksara:
Jakarta.
Vieira GS, Leila M, Miriam D. 2012. Optimization of Osmotic Dehydration
Process of Guavas by Response Surface Methodology and Desirability
Function. International Journal of Food Sciene and Technology. 47, 132-140.
Wilfrid JD, Frank JM. 1957. Introduction to Statistical Analysis. McGraw-Hill
Book Company, Inc: New York.
Yuliana. 2012. Karakteristik Dehidrasi Osmotik Irisan Mangga Cengkir
(Mangifera indica L) pada Berbagai Ketebalan dan Konsentrasi Gula.
[SKRIPSI]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Yudisaputro, F. 2012. Perubahan Konsentrasi Larutan Gula pada Dehidrasi
Osmotik Irisan Mangga (Mangifera indica L) dan Pengaruhnya Terhadap
Kebutuhan Daya Pengadukan. [SKRIPSI]. Bogor: Program Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
36

LAMPIRAN

Lampiran 1 Response Surface Methodology (RSM)

Response Surface Methodology (RSM)

Menurut Montgomery (2001) Response Surface Methodology (RSM)


merupakan suatu metode gabungan antara teknik matematika dan teknik statistika,
digunakan untuk membuat model dan menganalisa suatu respon y yang
dipengaruhi oleh bebrapa variabel bebas (faktor x) guna mengoptimalkan respon
tersebut. Hubungan antara respon y dan variabel bebas x dituliskan dalam
persamaan:

Y = f(X1,X2,...,Xk) + ε

Dimana :
Y = variabel respon
X1,X2,...,Xk = variabel bebas/faktor
ε = error
Umumnya response surface ditampilkan secara grafik dan untuk membantu
visualisasi dari bentuk permukaan plot sering digunakan countur dari permukaan
respon. Garis kontur yang terbentuk mempresentasi ketinggian permukaan yang
terbentuk. Permasalahan umum pada metode response surface adalah bentuk
hubungan yang terjadi antara perlakuan dengan respon tidak diketahui. Jadi,
langkah pertama yang dilakukan adalah mencari bentuk hubungan antara respon
dengan perlakuannya. Bentuk hubungan linier merupakan bentuk hubungan yang
pertama kali dicobakan untuk menggambarkan hubungan tersebut. Jika ternyata
bentuk hubungan antara respon dengan perlakuan adalah linier maka pendekatan
fungsinya disebut first-order model (model orde pertama), seperti yang
ditunjukkan dalam persamaan:
Y = βo +∑

Jika bentuk hubungannya merupakan kuadrat maka pendekatan fungsinya


disebut second-order model (model orde kedua). Persamaan dibawah ini
menunjukkan bentuk umum second-order model:

Y = βo +∑ +∑ +∑ +ε

Keterangan :
Y = Respon Pengamatan
Βo = Intersep
βi = Koefisien linier
βii = Koefisien kuadratik
βij = Koefisien interaksi perlakuan
Xi = Kode perlakuan untuk faktor ke-i
37

Xj = Kode perlakuan untuk faktor ke-j


K = Jumlah faktor yang dicobakan

Setelah bentuk hubungan yang paling fit diperoleh, langkah selanjutnya


adalah mengoptimalisasi hubungan tersebut. Secara garis besar langkah-langkah
dalam menganalisa response surface yaitu: merancang percobaan, membuat model
dan melakukan optimalisasi.

Central Composite Design (CCD)

Central Composite Design (CCD) adalah sebuah rancangan percobaan yang


terdiri dari rancangan 2k faktorial dengan ditambahkan beberapa center runs dan
axial run. CCD untuk k=2 dan k=3 secara visual ditunjukkan oleh Gambar
dibawah ini:

Gambar Central Composite Design (CCD)

Elemen dari CCD adalah:


1. Rancangan 2k faktorial (Runs/Cube point) = nf, dimana k adalah banyaknya
faktor percobaan.
2. Center Runs (nc), yaitu percobaan pada titik pusat (0,0,...,0)
3. Star runs/Axial runs, yaitu percobaan pada titik-titik (α,0,...,0), (-α,0,...,0),
(0,α,...,0), (0,-α,...,0) ... (0,0,...,α) dan (0,0,...,-α) dengan menggunakan axial
atau star point α yang nilainya ditentukan oleh jumlah variabel faktor dan
jenis CCD yang digunakan, dimana nilai α = (nf)1/4.
Ordo kedua yang baik untuk mengasilkan nilai respon dapat dihasilkan
apabila variansi yang dimiliki model stabil dan konsisten pada titik x. Titik-titik
pada rancangan 2k faktorial digunakan untuk membentuk model orde satu.
Sedang penambahan center runs dan axial runs digunakan untuk membentuk
model orde kedua. Pada central composite design (CCD), agar kualitas dari
prediksi menjadi lebih baik, maka rancangannya selain memiliki sifat ortogonal
juga harus rotatable. Suatu rancangan dikatakan rotatable jika ragam dari variabel
respon yang diestimasi, ragam dari ý, merupakan fungsi dari x1, x2,..., xk yang
hanya bergantung pada jarak dari pusat rancangan dan tidak bergantung dari
arahnya (letak titik percobaan). Dengan kata lain ragam dari variabel respon yang
diduga sama untuk semua titik-titik asalkan titik-titik tersebut memiliki jarak yang
38

sama dari pusat rancangan (center runs). Response surface dapat dinyatakan
secara grafik dalam gambar tiga dimensi dan untuk memvisualisasikan bentuk
dari response surface digambarkan konturnya.
Hidayat (2012) menyatakan bahwa Apabila hanya terdapat dua atau tiga
variabel proses, interpretasi dan konstruksi dari peta kontur akan lebih mudah.
Tetapi, apabila terdapat lebih banyak variabel, analisis yang digunakan adalah
Analisis Kanonik. Metode analisis kanonik yaitu dengan mentransformasikan
fungsi respon dari titik asal x (0,0,...,0) ke titik stasioner xs dan sekaligus
merotasikan sumbu koordinatnya, sehingga menghasilkan fungsi respon sebagai
berikut seperti ditulis dalam persamaan:

ŷ = ŷs + ∑

Dimana : Wi = variabel input baru hasil transformasi


Ŷs = harga estimasi y pada titik stasioner xs
𝛌i = nilai eigen yang berupa konstanta dari matriks B,
i = 1,2, ....,k.

Karakteristik dari permukaan respon ditentukan dari harga 𝛌i. Jika nilainya
semua positif maka xs adalah titik minimum dan jika semua negatif maka xs
adalah titik maksimum, tetapi jika harganya berada tanda diantara harga 𝛌i, maka
xs merupakan titik pelana (Montgomery, 2001). Ketiga kondisi tersebut dapat
dilihat pada Gambar dibawah ini:

Gambar Permukaan Respon untuk (a) Titik Maksimum, (b) Titik Minimum, (c)
Titik Pelana (Montgomery, 2011)
39

Lampiran 2 Foto – foto Hasil Percobaan

Tabel Gambar Foto – foto Hasil Percobaan dengan Berbagai Perlakuan


Perlakuan Sebelum Sesudah

T0H0C0
(suhu 40oC,
waktu proses
120 menit,
konsentrasi
45obrix)

T0H2C0
(suhu 40oC,
waktu proses
360 menit,
konsentrasi
45obrix)

T2H0C0
(suhu 60oC,
waktu proses
120 menit,
konsentrasi
45obrix)

T2H2C0
(suhu 60oC,
waktu proses
360 menit,
konsentrasi
45obrix)

T0H0C2
(suhu 40oC,
waktu proses
120 menit,
konsentrasi
65obrix)
40

T0H2C2
(suhu 40oC,
waktu proses
360 menit,
konsentrasi
65obrix)

T2H0C2
(suhu 60oC,
waktu proses
120 menit,
konsentrasi
65obrix)

T2H2C2
(suhu 60oC,
waktu proses
360 menit,
konsentrasi
65obrix)

T-αH1C1
(suhu
32.7oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix)

TαH1C1
(suhu
67.3oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix)
41

T1H-αC1
(suhu 50oC,
waktu proses
32.4 menit,
konsentrasi
55obrix)

T1HαC1
(suhu 50oC,
waktu proses
447.6 menit,
konsentrasi
55obrix)

T1HC-α
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
37.7obrix)

T1HCα
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
72.3obrix)

T1HC1
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix)
42

T1HC1
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix)

T1HC1
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix)

T1HC1
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix)

T1HC1
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix)

T1HC1
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix
43

Lampiran 3 Foto Osmotic Dehydrator

Foto Osmotic Dehydrator (tampak depan)

Foto Osmotic Dehydrator (tampak atas)


44

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 Februari 1992. Penulis adalah


putra semata wayang dari ayah Wasna dan ibu Humiyati. Tahun 2003 penulis
lulus dari SD Negeri Depok 2, tahun 2006 lulus dari SMP Negeri 3 Depok, dan
pada tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Depok, pada tahun yang sama
penulis lulus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan
diterima di Institiut Pertanian Bogor Fakultas Teknologi Pertanian Departemen
Teknik Pertanian, yang saat ini berganti nama menjadi Teknik Mesin dan
Biosistem.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai kegiatan
kemahasiswaan seperti Unit Kegiatan Mahasiswa Music Agriculture Expression
(MAX). Penulis juga sempat menjadi anggota divisi Public Relation Himpunan
Mahasiswa Teknik Pertania (HIMATETA) IPB tahun 2011 dan menjadi ketua
divisi Public Relation HIMATETA pada tahun 2012.

Anda mungkin juga menyukai