KALA YUDISTIRA
Kala Yudistira
NIM F14090124
ABSTRAK
KALA YUDISTIRA. Optimisasi Dehidrasi Osmotik Irisan Buah Pepaya
Menggunakan Response Surface Methodology (RSM). Dibimbing oleh
LEOPOLD O. NELWAN.
ABSTRACT
KALA YUDISTIRA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem
Pembimbing
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah dehidrasi
osmotik, dengan judul Optimisasi Dehidrasi Osmotik Irisan Buah Pepaya (Carica
papaya L) Menggunakan Response Surface Methodoogy (RSM).
Dengan diselesaikannya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis
ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Orang tua yang selalu memberikan doa, dorongan, dan semangat hingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Dr. Leopold O. Nelwan, S.TP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi, yang
selalu memberikan bimbingan, masukan, dan saran-sarannya dalam
penyelesaian skripsi ini.
3. Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si dan Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr selaku
dosen penguji, atas masukan dan saran-sarannya.
4. Bapak Harto selaku teknisi laboratorium energi dan elektrifikasi pertanian,
Bapak Sulyaden dan Mba Sugih selaku teknisi laboratorium teknik
pengolahan pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
atas bantuannya selama penelitian.
5. Departemen Teknik Mesin dan Biosistem dan Fakultas Teknologi Pertanian
yang telah membantu dan memberikan ijin pelaksanaan penelitian.
6. Angela, Fansuri, dan Dziyad selaku teman satu bimbingan yang telah
membantu dalam penyelesaian penelitian ini.
7. Amajida, Endah, Gumilar, Desi, Elsamila, Rizky, Erlanda, Adit, Nopri, Ivan,
Adyt, Gina, Awan, Aynal, Hadi, Ina, Tika atas bantuannya selama penelitian
dan teman-teman seperjuangan Teknik Mesin dan Biosistem IPB angkatan 46
(2009) atas kebersamaannya selama di bangku kuliah.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih belum
sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
sebagai upaya perbaikan selanjutnya, serta penulis berharap semoga laporan ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Kala Yudistira
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 4
METODE 4
Bahan 4
Alat 5
Prosedur Percobaan 5
Rancangan Penelitan 6
Parameter Penelitian 7
Parameter yang Diamati 9
Prosedur Analisis Data 10
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Kadar Air Sampel 14
Water Loss 15
Solid Gain 21
Shrinkage 26
Optimisasi 31
SIMPULAN DAN SARAN 33
Simpulan 33
Saran 33
DAFTAR PUSTAKA 34
LAMPIRAN 36
RIWAYAT HIDUP 44
DAFTAR TABEL
1 Komposisi Kimia Buah Pepaya dalam Setiap 100 g Bagian yang Dapat
Dimakan (Arriola et al. 1980) 1
2 Kombinasi Perlakuan Menggunakan Reponse Surface Methodology 7
3 Hasil Dehidrasi Osmotik Buah Pepaya dengan Berbagai Kombinasi
Perlakuan 14
4 Koefisien Regresi dari Water Loss 18
5 Analysis of Variance (ANOVA) dari Water Loss 18
6 Perbandingan Nilai Water Loss Hasil Pengamatan dan Perhitungan
menggunakan Model Hasil Regresi 19
7 Koefisien Regresi dari Solid Gain 23
8 Analysis of Variance (ANOVA) dari Solid Gain 23
9 Perbandingan Nilai Solid Gain Hasil Pengamatan dan Perhitungan
menggunakan Model Hasil Regresi 24
10 Koefisien regresi dari shrinkage 28
11 Analysis of Variance (ANOVA) dari Shrinkage 29
12 Perbandingan Nilai shrinkage Hasil Pengamatan dan Perhitungan
menggunakan Model Hasil Regresi 30
DAFTAR GAMBAR
1 Pepaya dengan tingkat kematangan (8.9 - 10 obrix) dan tingkat kekerasan
(0.0029 - 0.0044 N/m2) 5
2 Diagram Alir Prosedur Penelitian 8
3 Grafik kadar air awal dan Akhir Sampel pada Berbagai Perlakuan 15
4 Perubahan Water Loss pada Perlakuan T0C0 (suhu 40oC, konsentrasi
45 obrix), T2C0 (suhu 60 oC, konsentrasi 45 obrix), T0C2 (suhu 40 oC,
konsentrasi 65 obrix), dan T2C2 (suhu 60 oC, konsentrasi 65 obrix) per
Satuan Waktu 16
5 Perubahan Water Loss pada Perlakuan T-αC1(suhu 32.7 oC, konsentrasi
55 obrix), TαC1 (suhu 67.3 oC, konsentrasi 55 obrix), T1C-α (suhu 50
o
C, konsentrasi 37.7 obrix), T1Cα (suhu 50 oC, konsentrasi 72.3 obrix),
dan T1C1 (suhu 50 oC, konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu 17
6 Perubahan Water Loss pada Perlakuan T1HαC1 (suhu 50 oC,
konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu 17
7 Grafik Nilai Water Loss Hasil Pengamatan dan Perhitungan 20
8 Permukaan Respon dari Water Loss dengan (a) Variasi waktu dan
Suhu, (b) Konsentrasi dan Suhu, (c) Konsentrasi dan Waktu 20
9 Perubahan Solid Gain pada Perlakuan T0C0 (suhu 40 oC, konsentrasi
45 obrix), T2C0 (suhu 60 oC, konsentrasi 45 obrix), T0C2 (suhu 40 oC,
konsentrasi 65 obrix), dan T2C2 (suhu60 oC, konsentrasi 65 obrix) per
Satuan Waktu 21
10 Perubahan Solid Gain pada Perlakuan T-αC1 (suhu 32.7 oC, konsentrasi
55 obrix), TαC1 (suhu 67.3 oC, konsentrasi 55 obrix), T1C-α (suhu 50
o
C, konsentrasi 37.7 obrix), T1Cα (suhu 50 oC, konsentrasi 72.3 obrix),
dan T1C1 (suhu 50 oC, konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu 22
11 Perubahan solid gain pada perlakuan T1HαC1 (suhu 50 oC, konsentrasi
55 obrix) per Satuan Waktu 22
12 Grafik Nilai Solid Gain Hasil Pengamatan dan Perhitungan 25
13 Permukaan Respon dan Kontur dari Solid Gain dengan (a) Variasi
Waktu dan Suhu, (b) Konsentrasi dan Suhu, (c) Konsentrasi dan Waktu 25
14 Perubahan Shrinkage pada Perlakuan T0C0 (suhu 40 oC, konsentrasi 45
o
brix), T2C0 (suhu 60 oC, konsentrasi 45 obrix), T0C2 (suhu 40 oC,
konsentrasi 65 obrix), dan T2C2 (suhu60 oC, konsentrasi 65 obrix) per
Satuan Waktu 27
15 Perubahan Shrinkage pada Perlakuan T-αC1 (suhu 32.7 oC, konsentrasi
55 obrix), TαC1 (suhu 67.3 oC, konsentrasi 55 obrix), T1C-α (suhu 50
o
C, konsentrasi 37.7 obrix), T1Cα (suhu 50 oC, konsentrasi 72.3 obrix),
dan T1C1 (suhu 50 oC, konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu 27
16 Perubahan Shrinkage pada Perlakuan T1HαC1 (suhu 50 oC, konsentrasi
55 obrix) per Satuan Waktu 28
17 Grafik Nilai Shrinkage Hasil Pengamatan dan Perhitungan 30
18 Permukaan Respon dan Kontur dari Shrinkage dengan (a) Variasi
Waktu dan Suhu, (b) Konsentrasi dan Suhu, (c) Konsentrasi dan Waktu 31
19 Kondisi Optimum Dehidrasi Osmotik Irisan Buah Pepaya menggunakan
Software Minitab 32
DAFTAR LAMPIRAN
1 Response Surface Methodology (RSM) 36
2 Foto – foto Hasil Percobaan 39
3 Foto Osmotic Dehydrator 43
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pepaya (Carica papaya L) merupakan salah satu jenis buah yang banyak
dihasilkan di daerah tropis, termasuk Indonesia. Buah ini merupakan salah satu
jenis buah yang banyak digemari masyarakat karena banyak mengandung vitamin
C, vitamin A, gula, dan mineral mineral seperti kalsium, fosfor, dan besi yang
dibutuhkan oleh tubuh manusia. Selain itu, buah pepaya juga memiliki berbagai
keunggulan diantaranya adalah mampu berbuah sepanjang tahun, cepat
berproduksi, dan tidak memerlukan lahan penanaman yang luas sehingga dapat
ditanam di pekarangan rumah (Ariesty, 2010).
Komponen buah pepaya sama dengan buah-buahan pada umumnya, yaitu
adanya kandungan air dan karbohidrat. Kedua komponen ini terkandung masing-
masing sekitar 87% dan 13%. Selain kedua komponen tersebut, kandungan
vitamin C buah pepaya cukup tinggi yaitu sebesar 76 mg dalam 100 g daging
buah (Chan dan Tang, 1979). Buah pepaya merupakan buah yang memiliki asam
rendah, dan pH buah pepaya berkisar antara 4.5 – 6.0. total keasaman buah pepaya
dihitung sebagai asam sitrat adalah 0.15 g dalam 100 g buah pepaya segar.
Walalupun demikian, rasa yang dominan adalah rasa manis, karena kadar gula
pepaya lebih tinggi daripada keasamannya (Arriola et al. 1980). Karbohidrat
utama yang terdapat pada buah pepaya adalah gula (Ariesty, 2010). Sementara itu,
Chan dan Tang (1979) menyatakan bahwa pada pepaya matang terdapat gula yang
dominan yaitu sukrosa sekitar 48.3%, glukosa 29%, dan fruktosa 21%. Tabel 1
memperlihatkan komposisi kimia buah pepaya setiap 100 g bagian yang dapat
dimakan.
Tabel 1 Komposisi Kimia Buah Pepaya dalam Setiap 100 g bagian yang dapat
dimakan (Arriola et al. 1980)
No. Kandungan Bobot (g)
1 Air 86.6
2 Protein 0.5
3 Lemak 0.3
4 Karbohidrat 12.1
5 Abu 0.1
6 Kalsium 0.034
7 Fosfor 0.011
8 Serat 0.7
9 Besi 0.001
10 Vitamin A 0.45
11 Tiamina 0.0003
12 Niasina 0.0005
13 Kalium 0.003
14 Vitamin C 0.074
15 Riboflavin 0.00004
2
pepaya ini sudah dilakukan sejak tahun 1998 dengan kapasitas 4 ton/minggu
(Lies, 2005).
Laju kehilangan air dari produk saat dehidrasi osmotik dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya suhu, komposisi dan konsentrasi larutan osmotik, fase
kontak, karakteristik produk, perlakuan awal terhadap produk, ukuran dan bentuk
geometri produk, tingkat pengadukan dan lamanya proses pengeringan (Khan et
al, 2008). Tingkat penggunaan energi pada proses dehidrasi osmotik dipengaruhi
dari waktu yang diperlukan selama proses termasuk didalamnya pengaturan suhu
proses.
Peristiwa dehidrasi osmotik pada irisan buah pepaya akan menyebabkan
hilangnya air dari dalam irisan buah pepaya (water loss), padatan terlarut dari
larutan osmotik akan masuk ke dalam irisan buah pepaya (solid gain), dan terjadi
penyusutan volume (shrinkage) dari irisan buah pepaya tersebut karena hilangnya
air dari dalam buah. Hasil dari dehidrasi osmotik irisan buah pepaya adalah
diperolehnya buah pepaya semi basah yang dapat menurun kadar airnya hingga
50% dari kadar air awal. Dehidrasi osmotik sering digunakan sebagai pre-
treatment untuk pengeringan, pembekuan, serta penanganan pascapanen lainnya
pada bahan pangan karena dapat menghasilkan produk bermutu tinggi dengan
kualitas yang baik. Hilangnya air dari produk hingga mencapai 50% akan
mengurangi energi yang dibutuhkan pada penanganan lanjut dari produk setelah
produk tersebut mengalami dehidrasi osmotik. Berkurangnya energi pada proses
lanjutan dari dehidrasi osmotik diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan energi dari proses pengolahan bahan pangan sehingga didapatkan
produk yang kualitas baik dengan penanganan pascapanen produk yang efisien.
Diperlukan kombinasi perlakuan yang sesuai agar produk yang dihasilkan
memiliki water loss maksimum agar didapatkan kadar air produk serendah
mungkin sehingga umur simpan produk dapat lebih lama, serta solid gain
minimum untuk mendapatkan rasa dari buah yang tetap terjaga, dan shrinkage
minimum agar secara visual produk terlihat baik sehingga kualitas buah tetap
terjaga.
Response Surface Methodology (RSM) merupakan metode yang
menggabungkan teknik statistika dan matematika yang digunakan untuk
membantu mencari solusi dari persoalan tertentu yang berhubungan dengan proses
alam atau teknologi proses (Myers, 1971). RSM digunakan untuk mencari kondisi
optimum dalam suatu proses pengolahan pangan termasuk di dalamnya proses
dehidrasi osmotik (Azoubel & Murr, 2003). RSM digunakan untuk mencari
kondisi paling optimum dehidrasi osmotik irisan buah pepaya dimana water loss
terjadi semaksimal mungkin sementara solid gain dan shrinkage terjadi seminimal
mungkin dengan kombinasi perlakuan yang paling efisien. Penelitian sebelumnya
dilakukan oleh Ozdemir (2010) yaitu penetuan kondisi optimum pada proses
dehidrasi osmotik paprika hijau dalam larutan garam dan sorbitol untuk
menghasilkan produk dengan water loss maksimum dan solid gain minimum dan
didapatkan kondisi optimum dehidrasi osmotik paprika hijau berada pada kondisi
5.5 g garam/100 g dan 6 g sorbitol/100 g pada suhu 30o C dan waktu 240 menit
menghasilkan water loss sebesar 23.3%, solid gain 4.1%. Eren (2006)
menemukan kondisi optimum dehidrasi osmotik kentang menggunakan response
surface methodology pada temperatur 22oC, konsentrasi sukrosa sebesar 54.5%,
konsentrasi garam sebesar 14%, dan waktu proses selama 329 menit dan
4
didapatkan nilai water loss sebesar 59.1 (g/100 g sampel awal, solid gain 6.0
(g/100 g sampel awal), pengurangan berat 52.9 (g/100 g sampel awal), dan
aktifitas air sebesar 0.785. Sementara itu, Abbas (2005) menemukan bahwa
dehidrasi osmotik pepaya yang dilakukan pada larutan gula akan memiliki nilai
weight reduction, water loss dan solid gain yang lebih besar dibandingkan dengan
dehidrasi osmotik yang dilakukan pada sirup jagung.
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
METODE
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah irisan buah pepaya
(Cacarica papaya L) jenis calina dengan tingkat kematangan yang seragam
dilihat dari kadar gula yang terkandung dalam pepaya dan berkisar antara 8.9 obrix
– 10 obrix, serta tingkat kekerasan yang seragam (0.0029 – 0.0044 N/m2) seperti
terlihat pada Gambar 1. Buah pepaya diiris dengan ukuran 6 cm x 2 cm x 1 cm.
Bahan lain yang digunakan adalah larutan osmotik berupa campuran antara gula
dan aquades.
5
(a) (b)
o
Gambar 1 Pepaya dengan kadar gula 8.9 - 10 brix dan tingkat kekerasan 0.0029 -
0.0044 N/m2
Alat
Prosedur Percobaan
Rancangan Penelitian
Parameter Penelitian
Mulai
Penentuan sampel :
1. Buah Pepaya
2. Memiliki tingkat kematangan seragam
selesai
Volume = (1)
2. Massa Bahan
Massa bahan diukur menggunakan timbangan digital, untuk mengetahui
jumlah air yang keluar dari bahan itu sendiri setelah proses berlangsung.
Sementara kadar air berat kering (b.k) adalah perbandingan antara berat air
yang ada dalam bahan dengan berat padatan yang ada dalam bahan. Kadar air
berat kering dapat ditentukan dengan Persamaan 3:
M= x 100 % (3)
Analisis data yang dilakukan adalah analisis data dari respon yang
dihasilkan yaitu water loss, solid gain, dan shrinkage yang dipengaruhi oleh
10
variabel suhu, waktu proses, dan konsentrasi larutan dan analisis statistik.
Prosedur analisis data pada penelitian ini terdiri atas:
(4)
( ) ( )
(5)
Shrinkage
Shrinkage merupakan penyusutan yang terjadi pada volume maupun massa
bahan akibat kehilangan kandungan air dalam bahan. Penyusutan dinyatakan
dalam persen dan dihitung menggunakan Persamaan 6:
Pembentukan Model
Jika ternyata bentuk hubungan antara respon dengan perlakuan adalah linier maka
pendekatan fungsinya disebut first-order model (model orde pertama), seperti
yang ditunjukkan dalam Persamaan 7:
Y = βo +∑ (7)
Y = βo +∑ +∑ +∑ +ε (8)
Nilai p (p-value)
P-value merupakan tingkat terkecil dari nilai signifikan dimana H0 akan
ditolak ketika uji spesifik digunakan pada kumpulan data yang dihasilkan. Ketika
p-value didapatkan, nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai α. Apabila
p-value lebih kecil maka H0 akan ditolak, namun apabila p-value lebih besar maka
H0 akan diterima (Defore & Berk, 2007). Persamaan 9 dapat digunakan untuk
mencari nilai p yaitu:
( )
P=∫ ( )- dt (9)
( )√
Dimana : p = nilai p
t = t hitung
db = derajat kebebasan
Lack of Fit
Lack of fit merupakan penyimpangan atau ketidaktepatan. Pengujian
tersebut digunakan untuk menguji ketepatan model yang dibuat. Analisis
dilakukan dengan cara membandingkan apabila F < 1, maka lack of fit tidak ada
atau dapat dikatakan model tersebut diterima. Namun apabila F > 1, maka lack of
fit ada atau dapat dikatakan model tersebut tidak dapat diterima dan dilakukan
dengan perhitungan ulang (Defore & Berk, 2007). Nilai F dapat dicari dengan
menggunakan Persamaan 10:
12
⁄
( - )
F= = (10)
⁄
( - )
Dimana: F = Uji F
MSLOF = Mean Square Lack of Fit
MSPE = Mean Square Pure Error
SSLOF = Sum Square Lack of Fit
SSPE = Sum Square Pure Error
n = Banyaknya data
m = Jumlah variabel bebas
Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi (R2) merupakan besarnya keragaman di dalam
variabel Y yang dapat diberikan oleh model regresi yang didapatkan. Nilai R2
berkisar antara 0 sampai dengan 1. Apabila nilai R2 dikalikan 100%, maka hal ini
menunjukkan persentase keragaman di dalam variabel Y yang dapat diberikan
oleh model regresi yang didapatkan. Semakin besar nilai R2, semakin baik model
regresi yang diperoleh dan makin besar kontribusi atau peranan prediktor terhadap
variasi respon (Hidayat, 2007). Persamaan 11 dapat digunakan untuk menghitung
R2 dengan p variabel bebas X (X1, X2, X3, . . ., Xp) yaitu :
∑ ∑ ∑
R2 = ∑
(11)
Optimisasi
Optimisasi dilakukan setelah model terbentuk. Proses optimisasi dilakukan
menggunakan software minitab. Setiap respon akan memberikan nilai yang
berbeda, peningkatan satu respon akan memiliki efek yang berlawanan dengan
respon lain. Beberapa pendekatan dilakukan untuk menyelesaikan problem
tersebut diantaranya: pertama menggunakan pembatasan prosedur optimisasi,
kedua penggambaran kontur dari respon variabel yang berbeda, ketiga
penyelesaian problem menggunakan fungsi desirability yang menggabungkan
keseluruhan respon dalam satu perhitungan (Eren, 2006). Proses optimisasi yang
dilakukan adalah mencari kondisi dimana water loss terjadi semaksimal mungkin
dan solid gain serta shrinkage terjadi seminimal mungkin. Apabila respon
dilakukan maksimisasi, fungsi yang dapat digunakan tertulis pada Persamaan 12.
Sementara untuk minisasi respon, persamaan yang dapat digunakan tertulis pada
Persamaan 13:
( )
( )
( ) {( ) ( ) (12)
( )
13
( )
( )
( ) {( ) ( ) (13)
( )
Dimana: = respon
= nilai terendah
= nilai target
= nilai tertinggi
⁄∑
D=( )
⁄∑
= (∏ ) (14)
Tabel 3 Hasil Dehidrasi Osmotik Buah Pepaya dengan Berbagai Kombinasi Perlakuan
Notasi Suhu Waktu Konsentrasi Water Solid Gain Shrinkage
No Kode
Perlakuan (oC) (menit) (obrix) Loss (%) (%) (%)
1 -1 -1 -1 T0H0C0 40 120 45 21.25 0.83 18.45
2 +1, -1, -1 T2H0C0 60 120 45 43.13 7.65 40.36
3 -1, 1, -1 T0H2C0 40 360 45 34.65 1.41 29.37
4 +1, +1, -1 T2H2C0 60 360 45 62.07 8.92 59.12
5 -1, -1, 1 T0H0C2 40 120 65 30.19 3.39 28.79
6 +1, -1, 1 T2H0C2 60 120 65 62.20 6.91 59.17
7 -1, +1, +1 T0H2C2 40 360 65 45.54 4.01 43.09
8 +1, +1, +1 T2H2C2 60 360 65 80.84 6.65 78.06
9 -1.73, 0, 0 T-αH1C1 32.7 240 55 28.09 2.71 27.37
10 +1.73, 0, 0 TαH1C1 67.3 240 55 67.57 13.66 60.65
11 0, -1.73, 0 T1H-αC1 50 32.4 55 26.97 3.94 25.41
12 0, +1.73, 0 T1HαC1 50 447.6 55 67.07 5.40 64.92
13 0, 0, -1.73 T1H1C-α 50 240 37.7 44.15 4.99 42.23
14 0, 0, +1.73 T1H1Cα 50 240 72.3 67.83 2.17 66.80
15 0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55 52.89 5.34 50.38
16 0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55 58.21 2.84 58.01
17 0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55 54.01 6.45 51.07
18 0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55 51.54 4.87 49.40
19 0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55 48.74 5.19 46.19
20 0, 0, 0 T1H1C1 50 240 55 49.47 0.88 50.65
100.00
90.00
80.00
Kadar Air (%b.b) 70.00
60.00
50.00
40.00
Kadar Air
30.00
Awal
20.00
10.00 Kadar Air
0.00 Akhir
T0H0C0
T2H0C0
T0H2C0
T2H2C0
T0H0C2
T2H0C2
T0H2C2
T2H2C2
T1H1C1
T1H1C1
T1H1C1
T1H1C1
T1H1C1
T1H1C1
T-αH1C1
T1H-αC1
T1H1C-α
T1HαC1
TαH1C1
T1H1Cα
Notasi Perlakuan
Gambar 3 Grafik Kadar Air Awal dan Akhir Sampel pada Berbagai Perlakuan
Water Loss
Water loss menunjukkan kehilangan air pada sampel. Semakin besar nilai
water loss, semakin besar pula kehilangan air yang terjadi pada sampel, begitu
juga sebaliknya. Water loss pada produk diharapkan terjadi semaksimal mungkin
16
agar air yang ada di dalam produk dapat berkurang maksimal sehingga aktivitas
air akan menurun yang akan menyebabkan umur simpan produk dapat meningkat.
Nilai water loss paling tinggi terjadi pada perlakuan T2H2C2 (suhu 60 oC, waktu
360 menit, dan konsentrasi 65 obrix) sebesar 80.84%. Sedangkan nilai water loss
yang paling rendah terjadi pada perlakuan T0H0C0 (suhu 40 oC, waktu 120 menit,
dan konsentrasi 45 obrix) yaitu sebesar 21.25% sesuai dengan Tabel 3. Gambar 4,
5, dan 6 memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan water loss seiring dengan
meningkatnya waktu. Semakin lamanya waktu dehidrasi osmotik, menyebabkan
semakin meningkatya water loss yang terjadi.
Gambar 4, 5, dan 6 juga memperlihatkan bahwa peningkatan suhu, waktu
proses, dan konsentrasi larutan osmotik menyebabkan meningkatnya nilai dari
water loss. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa semakin tingginya suhu,
waktu proses, dan konsentrasi larutan menyebabkan semakin meningkatnya
kehilangan air dari dalam produk.
90
80
70
Water Loss (%)
60
T0C0
50
40 T2C0
30
T0C2
20
10 T2C2
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360
Waktu (menit)
Gambar 4 Perubahan Water Loss pada Perlakuan T0C0 (suhu 40 oC, konsentrasi
45 obrix), T2C0 (suhu 60 oC, konsentrasi 45 obrix), T0C2 (suhu 40 oC,
konsentrasi 65 obrix), dan T2C2 (suhu 60 oC, konsentrasi 65 obrix) per
Satuan Waktu
17
80
70 T-αC1
TαC1
60
T1C-α
Water Loss (%)
50 T1Cα
40 T1C1(1)
30 T1C1(2)
T1C1(3)
20
T1C1(4)
10
T1C1(5)
0 T1C1(6)
0 30 60 90 120 150 180 210 240
Waktu (menit)
Gambar 5 Perubahan Water Loss pada Perlakuan T-αC1(suhu 32.7 oC, konsentrasi
55 obrix), TαC1 (suhu 67.3 oC, konsentrasi 55 obrix), T1C-α (suhu 50
o
C, konsentrasi 37.7 obrix), T1Cα (suhu 50 oC, konsentrasi 72.3 obrix),
dan T1C1 (suhu 50 oC, konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu
80
70
60
Water Loss (%)
50
40
30 T1C1
20
10
00
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 420 450
Waktu (menit)
o
Gambar 6 Perubahan Water Loss pada Perlakuan T1HαC1 (suhu 50 C,
konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu
nilai p lebih besar dari 0.05, hanya faktor waktu memberikan pengaruh signifikan
secara kuadratik.
Water Loss = 52.48 + 13.22 X1 + 9.70 X2 + 7.05 X3 – 2.09 X12 – 2.36 X22 + 0.64
X32 + 1.10 X1 X2 + 2.25 X1 X3 + 0.21 X2 X3 (15)
Dimana : X1 = Suhu
X2 = Waktu proses
19
X3 = Konsentrasi larutan
90
80
70
60
Water Loss (%)
50 R² = 0.9671
40 water loss
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Water Loss (%)
(a) (b)
(c)
Gambar 8 Permukaan Respon dari Water Loss dengan Variasi (a) waktu dan
(a) (b) Konsentrasi dan Suhu, (c) Konsentrasi dan
Suhu, (b) Waktu
larutan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Eren (2006) bahwa peningkatan
suhu dan waktu akan meningkatkan water loss dengan cepat. Suhu proses yang
tinggi akan menyebabkan hilangnya air dari dalam produk dengan cepat sehingga
mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan konsentrasi.
Chenlo (2003) juga menyatakan bahwa meningkatnya suhu memberikan
karakteristik perpindahan air yang lebih baik pada permukaan produk. Abbas
(2005) juga menyatakan bahwa konsentrasi larutan osmotik merupakan faktor
terpenting yang menyebabkan terjadinya water loss pada dehidrasi osmotik irisan
buah pepaya.
Solid Gain
12
10
8
Solid Gain (%)
T0C0
6
T2C0
4 T0C2
2 T2C2
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360
Waktu (menit)
Gambar 9 Perubahan Solid Gain pada Perlakuan T0C0 (suhu 40 oC, konsentrasi
45 obrix), T2C0 (suhu 60 oC, konsentrasi 45 obrix), T0C2 (suhu 40oC,
konsentrasi 65 obrix), dan T2C2 (suhu60 oC, konsentrasi 65 obrix) per
Satuan Waktu
22
16
T-αC1
14
TαC1
12
T1C-α
Solid Gain (%)
10
T1Cα
8
T1C1(1)
6
T1C1(2)
4
T1C1(3)
2
T1C1(4)
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 T1C1(5)
Waktu (menit) T1C1(6)
Gambar 10 Perubahan Solid Gain pada Perlakuan T-αC1 (suhu 32.7 oC,
konsentrasi 55 obrix), TαC1 (suhu 67.3 oC, konsentrasi 55 obrix),
T1C-α (suhu 50 oC, konsentrasi 37.7 obrix), T1Cα (suhu 50 oC,
konsentrasi 72.3 obrix), dan T1C1 (suhu 50 oC, konsentrasi 55
o
brix) per Satuan Waktu
5
S0olid Gain (%)
3 T1C1
2
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 420 450
Waktu (menit)
Solid Gain = 4.26 + 2.82 X1 + 0.34 X2 – 0.20 X3 + 1.21 X12 + 0.04 X22 – 0.33
X32– 0.02 X1X2– 1.02 X1X3 – 0.19 X2 X3 (16)
24
14
10
8
R² = 0.8454
6
y = 0.8454x + 0.7592
4
0
0 5 10 15
Solid Gain (%) Hasil Pengamatan
(a) (b)
(c)
Gambar 13 Permukaan Respon dari Solid Gain dengan Variasi (a) Waktu dan Suhu, (b)
Konsentrasi dan Suhu, (c) Konsentrasi dan Waktu
pernyataan Jannah (2010) bahwa semakin tinggi suhu akan meningkatkan nilai
solid gain. Hal tersebut disebabkan pori dalam membran semipermeabel terlalu
kecil untuk dapat dilewati oleh molekul gula, tetapi cukup besar untuk dilewati
molekul air. Adanya peningkatan suhu larutan dapat memperbesar pori dalam
membran semipermeabel, sehingga memungkinkan molekul gula dapat lebih
banyak masuk ke dalam jaringan sampel. Abbas (2005) juga menyatakan bahwa
suhu memiliki pengaruh paling penting pada solid gain dalam larutan gula diikuti
dengan waktu proses. Konsentrasi larutan memiliki pengaruh negatif pada solid
gain seperti yang digambarkan pada gambar 13c. Sesuai dengan pernyataan
Bongirwar (1977), Hawkes (1978), Islam (1982) bahwa nilai dari solid gain yang
rendah (<10%) dapat diperoleh menggunakan kombinasi perlakuan suhu larutan
osmotik dan waktu rendah, dengan konsentrasi tinggi.
Shrinkage
90
80
Shrinkage (%) 70
60
50 T0C0
40 T2C0
30 T0C2
20 T2C2
10
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360
Waktu (menit)
80
T-αC1
70
TαC1
60
T1C-α
Shrinkage (%)
50
T1Cα
40
T1C1(1)
30
T1C1(2)
20
T1C1(3)
10
T1C1(4)
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 T1C1(5)
Waktu (menit) T1C1(6)
Gambar 15 Perubahan Shrinkage pada Perlakuan T-αC1 (suhu 32.7 oC, konsentrasi
55 obrix), TαC1 (suhu 67.3 oC, konsentrasi 55 obrix), T1C-α (suhu 50
o
C, konsentrasi 37.7 obrix), T1Cα (suhu 50 oC, konsentrasi 72.3 obrix),
dan T1C1 (suhu 50 oC, konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu
28
70
60
50
Shrinkage (%)
40
30
T1C1
20
10
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 420 450
Waktu (menit)
o
Gambar 16 Perubahan Shrinkage pada Perlakuan T1HαC1 (suhu 50 C,
konsentrasi 55 obrix) per Satuan Waktu
Shrinkage = 50.95 + 12.48 X1 + 9.38 X2 – 7.46 X3 – 2.96 X12 – 2.57 X22 + 0.55
X32 + 1.55 X1 X2 + 1.71 X1 X3 + 0.44 X2 X3 (17)
90
Shrinkage Hasil Perhitungan (%)
75
60
45 R² = 0.948
y = 0.948x + 2.4708
30
15
0
0 20 40 60 80 100
Shrinkage Hasil Pengamatan (%)
Gambar 17 Grafik Nilai Shrinkage Hasil Pengamatan dan Perhitungan
31
(a) (b)
(c)
Gambar 18 Permukaan Respon dari Shrinkage dengan Variasi (a) Waktu dan Suhu,
(b) Konsentrasi dan Suhu, (c) Konsentrasi dan Waktu
Optimisasi
a b c
Water Loss
Maksimum
58.01%
d = 0.62
d e f
Solid Gain
Minimum
2.77%
d = 0.79
g h i
Shrinkage
Minimum
57.26%
d = 0.35
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AE, Moreira PA, Lucena JB, Elizabeth FX. 2006. Influence of The
Osmotic Agent on The Osmotic Dehydration of Papaya (Carica papaya L.).
Journal of Food Engineering 75, 267 – 274.
Ariesty, H. 2010. Umur Simpan dan Mutu Buah Pepaya California (Carica
papaya L.) Terolah Minimal dan Berlapis Edibel dalam Kemasan Atmosfer
Termodifikasi. [SKRIPSI]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Arriola, MC, Calzada JF, Menchu, Rolz J, Garcia R. 1980. Papaya. The AVI
Publishing Co., Inc. Ewstport, CT, USA.
Azoubel PM, Francinaide OS. 2008. Optimization of Osmotic Dehydration of
‘Tommy Atkins’ Mango Fruit. International Journal of Food Sciene and
Technology 2008, 43, 1276-1280.
Azoubel PM, Murr FEC. 2003. Optimization of Osmotic Dehydration of Cashew
Apple (Anacardium occidentale L.) in sugar solutions. Food Sciene and
Technology International, 9, 427-433.
Bongirwar DR, Sreenivasan A. 1977. Studies on Osmotic Dehydration of
Cantaloupe using Desired Function Methodology. Journal of Food Science and
Technology, 14,104-112.
Chan HT, dan Cavaletto CG. 1978. Dehydration and Storage Stability of Papaya
Leather. Didalam : Chan HT (ed). Handbook of Tropical Foods. Marcel
Dekker, Inc., New York.
Chan HT, Tang CS 1979. The Chemistry and Biochemistry and Nutrition, Vol I.
Academic Press. New York.
Chenlo F, Moreira R, Pereira G, Ampuida A. 2002. Viscosities of Aqueous
Solutions of Sucroseand Sodium Chloride of Interest in Osmotic Dehydration
Processes. Journal of Food Engineering, 54, 347-352.
Devore JL, Berk KN. 2007. Modern Mathematical Statistics with Applications.
Thomson Brookss/Cole: Belmont.
Eren I, Figen K. 2006. Optimization of Osmotic Dehydration of Potato using
Response Surface Methodology. Journal of Food Engineering 79(2006), 344-
352.
Harinaldi. 2005. Prinsip-Prinsip Statistik untuk Teknik dan Sains. Erlangga:
Jakarta.
Haryoto. 1998. Membuat Saus Pepaya. Penerbit Kanisius: Jakarta.
Hawkes J, Flink JM. 1978. Osmotic Concentration of Fruits Slices Prior to Freeze
Dehydration. Journal of Food Processing Preservation, 2, 265-284.
Hidayat J. 2012. Optimasi Pelilinan dan Suhu Penyimpanan Buah Manggis
menggunakan Response Surface Methodology. [SKRIPSI]. Bogor: Program
Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Islam MN, Flink JM. 1982. Dehydration of Potato II, Osmotic Concentration adn
its Effects on Air Drying Behaviour. Journal of Food Technology, 17, 387-403.
Jannah M. 2010. Dehidrasi Osmotik pada Potongan Mangga Arumanis dengan
Pelapisan Kitosan. [SKRIPSI]. Bogor: Program Sarjana Institut Pertanian
Bogor.
Kalie BM. 1988. Bertanam Pepaya. Penebar Swadaya: Jakarta.
35
Khan MAM., Ahrne L, Oliveira JC, Oliveira FAR. 2008. Prediction of water and
soluble solids concentration during osmotic dehydration of mango. Food and
Bioproducts Processing 86(2008): 7-13.
Lies, SM. 2005. Teknologi Pengolahan Pangan Aneka Olahan Pepaya Mentah.
Kanisius: Jakarta.
Misljenovic NM, Gordana BK, Lato LP, Ljubinko BL. 2012. Optimization of The
Osmotic Dehydration of Carrot Cubes in Sugar Beet Molasses. Thermal
Science. 16, 43-52.
Montgomery DC. 2001. Design and Analysisis of Experiments. Fifth Edition. John
Wililey and Sons, Inc. New York. Hlm 427-448.
Myers HR. 1971. Response Surface Methodology. Allyn Bacon, Inc: Boston.
Nuh AP. 2012. Kajian Tingkat Kematangan Pepaya Callina Menggunakan Image
Processing. [SKRIPSI]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ozdemir, Banu FO, Lisa L. Dock, John DF. 2008. Optimization of Osmotic
Dehydration of Diced Green Pepers by Response Surface Methodology. Food
Sciene and Technology, 41, 2044-2050.
Shopia M. 2011. Karakteristik Pengeringan dan Evaluasi Mutu pada Potongan
Mangga (Mangifera indica, L) Varietas Arumanis dengan Praperlakuan
Dehidrasi Osmotik. [SKRIPSI]. Bogor : Program Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Usman H, Setiady PA. 2008. Pengantar Statistika Edisi Kedua. PT Bumi Aksara:
Jakarta.
Vieira GS, Leila M, Miriam D. 2012. Optimization of Osmotic Dehydration
Process of Guavas by Response Surface Methodology and Desirability
Function. International Journal of Food Sciene and Technology. 47, 132-140.
Wilfrid JD, Frank JM. 1957. Introduction to Statistical Analysis. McGraw-Hill
Book Company, Inc: New York.
Yuliana. 2012. Karakteristik Dehidrasi Osmotik Irisan Mangga Cengkir
(Mangifera indica L) pada Berbagai Ketebalan dan Konsentrasi Gula.
[SKRIPSI]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Yudisaputro, F. 2012. Perubahan Konsentrasi Larutan Gula pada Dehidrasi
Osmotik Irisan Mangga (Mangifera indica L) dan Pengaruhnya Terhadap
Kebutuhan Daya Pengadukan. [SKRIPSI]. Bogor: Program Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
36
LAMPIRAN
Y = f(X1,X2,...,Xk) + ε
Dimana :
Y = variabel respon
X1,X2,...,Xk = variabel bebas/faktor
ε = error
Umumnya response surface ditampilkan secara grafik dan untuk membantu
visualisasi dari bentuk permukaan plot sering digunakan countur dari permukaan
respon. Garis kontur yang terbentuk mempresentasi ketinggian permukaan yang
terbentuk. Permasalahan umum pada metode response surface adalah bentuk
hubungan yang terjadi antara perlakuan dengan respon tidak diketahui. Jadi,
langkah pertama yang dilakukan adalah mencari bentuk hubungan antara respon
dengan perlakuannya. Bentuk hubungan linier merupakan bentuk hubungan yang
pertama kali dicobakan untuk menggambarkan hubungan tersebut. Jika ternyata
bentuk hubungan antara respon dengan perlakuan adalah linier maka pendekatan
fungsinya disebut first-order model (model orde pertama), seperti yang
ditunjukkan dalam persamaan:
Y = βo +∑
Y = βo +∑ +∑ +∑ +ε
Keterangan :
Y = Respon Pengamatan
Βo = Intersep
βi = Koefisien linier
βii = Koefisien kuadratik
βij = Koefisien interaksi perlakuan
Xi = Kode perlakuan untuk faktor ke-i
37
sama dari pusat rancangan (center runs). Response surface dapat dinyatakan
secara grafik dalam gambar tiga dimensi dan untuk memvisualisasikan bentuk
dari response surface digambarkan konturnya.
Hidayat (2012) menyatakan bahwa Apabila hanya terdapat dua atau tiga
variabel proses, interpretasi dan konstruksi dari peta kontur akan lebih mudah.
Tetapi, apabila terdapat lebih banyak variabel, analisis yang digunakan adalah
Analisis Kanonik. Metode analisis kanonik yaitu dengan mentransformasikan
fungsi respon dari titik asal x (0,0,...,0) ke titik stasioner xs dan sekaligus
merotasikan sumbu koordinatnya, sehingga menghasilkan fungsi respon sebagai
berikut seperti ditulis dalam persamaan:
ŷ = ŷs + ∑
Karakteristik dari permukaan respon ditentukan dari harga 𝛌i. Jika nilainya
semua positif maka xs adalah titik minimum dan jika semua negatif maka xs
adalah titik maksimum, tetapi jika harganya berada tanda diantara harga 𝛌i, maka
xs merupakan titik pelana (Montgomery, 2001). Ketiga kondisi tersebut dapat
dilihat pada Gambar dibawah ini:
Gambar Permukaan Respon untuk (a) Titik Maksimum, (b) Titik Minimum, (c)
Titik Pelana (Montgomery, 2011)
39
T0H0C0
(suhu 40oC,
waktu proses
120 menit,
konsentrasi
45obrix)
T0H2C0
(suhu 40oC,
waktu proses
360 menit,
konsentrasi
45obrix)
T2H0C0
(suhu 60oC,
waktu proses
120 menit,
konsentrasi
45obrix)
T2H2C0
(suhu 60oC,
waktu proses
360 menit,
konsentrasi
45obrix)
T0H0C2
(suhu 40oC,
waktu proses
120 menit,
konsentrasi
65obrix)
40
T0H2C2
(suhu 40oC,
waktu proses
360 menit,
konsentrasi
65obrix)
T2H0C2
(suhu 60oC,
waktu proses
120 menit,
konsentrasi
65obrix)
T2H2C2
(suhu 60oC,
waktu proses
360 menit,
konsentrasi
65obrix)
T-αH1C1
(suhu
32.7oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix)
TαH1C1
(suhu
67.3oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix)
41
T1H-αC1
(suhu 50oC,
waktu proses
32.4 menit,
konsentrasi
55obrix)
T1HαC1
(suhu 50oC,
waktu proses
447.6 menit,
konsentrasi
55obrix)
T1HC-α
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
37.7obrix)
T1HCα
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
72.3obrix)
T1HC1
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix)
42
T1HC1
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix)
T1HC1
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix)
T1HC1
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix)
T1HC1
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix)
T1HC1
(suhu 50oC,
waktu proses
240 menit,
konsentrasi
55obrix
43
RIWAYAT HIDUP