Anda di halaman 1dari 20

VCT, TB dan TBMDR

a. VCT (Voluntary Conseling and Testing)


Permenkes RI No. 87 tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan
Antiretroviral menyatakan VCT (Voluntary Conseling and Testing) =
konseling dan Tes Sukarela (KTS), merupakan kegiatan konseling yang
bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah
untuk HIV. Tujuan utama VCT yaitu untuk mempromosikan perubahan
perilaku sehingga resiko infeksi dan penyebaran infeksi HIV dapat di
turunkan. Kegiatan apoteker yang berada di klinik VCT meliputi konseling,
telaah resep dan menyiapkan obat antiretroviral (ARV).
Menurut PMK No. 87 tahun 2014 diagnosis HIV pada anak ≥ 18
bulan, remaja dan dewasa dilakukan dengan tes antibodi menggunakan
strategi III (pemeriksaan dengan menggunakan 3 jenis tes antibodi yang
berbeda sensitivitas dan spesivisitasnya). Alur diagnosis HIV pada anak
≥ 18 bulan, remaja, dan dewasa tergambar dalam bagan berikut.
Gambar 11. Alur diagnosis HIV pada anak ≥ 18 bulan, remaja, dan
dewasa
(Kemenkes RI, 2014)
Berdasarkan alur diagnosis HIV, bila hasil A1 reaktif, A2 reaktif dan
hasil tes positif, maka pasien dapat dirujuk ke pengobatan HIV.
Berikut ini adalah alur pelayanan resep di klinik VCT berdasarkan
Permenkes RI No. 87 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan
Antiretroviral :
Gambar 12. Alur pelayanan resep di klinik VCT berdasarkan
Permenkes RI No. 87 Tahun 2014
Alur pelayanan di klinik VCT yaitu pasien datang, diukur BB, TB dan
vital sign (tensi, nadi, respirasi, suhu), menanyakan keluhan atau skrining
apakah ada gejala TB (dicatat), menanyakan sisa obat ARV yang
digunakan, bila pasien merupakan WUS (wanita usia subur) maka tanyakan
sedang hamil atau tidak, apakah meminum cotrimoxazole atau tidak,
kemudian catat kunjungan di iktisar perawatan lembar 2, sampaikan ke
pasien tanggal kunjungan berikutnya, berikan kondom ke pasien sebanyak 3
biji. Setelah itu pasien masuk ke kamar pemeriksaan atau konseling untuk
diperiksa dan diberikan konseling oleh dokter, pasien akan mendapatkan
resep dan selanjutnya diserahkan ke apoteker. Apoteker melakukan telaah
resep, penyiapan obat, pemberian obat dan konseling tentang cara minum
obat jika pasien belum paham cara meminumnya. Dicatat nama dan jumlah
obat yang diberikan.
Pasien melakukan pemeriksaan CD4 pada saat kunjungan pertama,
kemudian dilanjutkan setelah 6 bulan, 12 bulan, 24 bulan, 36
bulan, 48 bulan, 60 bulan, 72 bulan, 84 bulan, 96 bulan setelah penggunaan
ARV apabila diperlukan. Pengeluaraan obat setiap harinya dicatat dalam
buku catatan penggunaan obat. Pencatatan penggunaan obat-obat ARV
harus terpisah antara satu obat dengan obat yang lain. Pencatatan tersebut
harus mencantumkan tanggal, nama pasien, nomor RM, dan jumlah obat
yang akan digunakan. Pelaporan dituliskan dalam Laporan Bulanan
Perawatan HIV (LBPH) yang berisi data register pasien dan regimen yang
digunakan. Pelaporan ditutup pada tanggal 25 setiap bulannya, dilaporkan
ke SIHA (Sistem Informasi HIV/AIDS) Menkes.

b. TB
Menurut Kemenkes RI (2014), Tuberkulosis adalah suatu
penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari kelompok
Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada
saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than
Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan
pengobatan TB.

1. Terapi Farmakologi
a) Paduan Pengobatan Standar TBC
 Terapi awal atau intensif adalah 2HRZE: Lama pengobatan 2
bulan, masing-masing OAT (HRZE) diberikan setiap hari.
 Terapi lanjutan adalah 4H3R3: Lama pengobatan 4 bulan,
masing-masing OAT (HR) diberikan 3 kali seminggu. Paduan
pengobatan standar yang direkomendasikan oleh
WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease)
Kategori Pengobatan TBC:
 Kategori 1: 2HRZE/4H3R3
a) Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
b) Pasien TB paru terdiagnosis klinis Penderita baru TB Paru
BTA Positif
c) Penderita baru TB Paru BTA negatif Rontgen Positif yang
“sakit berat” Penderita TB Ekstra Paru berat
 Kategori 2: 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
a) Pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang)
b) Pasien kambuh
c) Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori
1 sebelumnya
d) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat
 Kategori 3: 2HRZ/4H3R3
a) Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan
b) Penderita TB ekstra paru ringan

 Pengobatan Kategori 1
Panduan OAT Kategori 1 dalam paket kombipak untuk
penderita dengan berat badan antara 33-50 kg
(Kemenkes RI, 2014)
Catatan: *) 1 bulan = 28 blister (dosis) harian
Satu paket kombipak kategori 1 berisi 104 blister harian
yang terdiri dari 56 blister HRZE untuk tahap intensif, dan 48
blister HR untuk tahap lanjutan, masing- masing dikemas dalam
dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.
 Pengobatan Kategori 2
Panduan OAT Kategori 2 dalam paket kombipak untuk
penderita dengan berat badan antara 33-50 kg

(Kemenkes RI, 2014)

Catatan:
Satu paket kombipak kategori 2 berisi 144 blister harian
yang terdiri dari 84 blister HRZE untuk tahap intensif, dan 60
blister HRE untuk tahap lanjutan, masing- masing dikemas
dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar. Disamping
itu, disediakan 26 vial Streptomicin @1,5 gr dan pelengkap
pengobatan (60 spuit dan aquabidest) untuk tahap intensif.
 Pengobatan Kategori 3
Panduan OAT Kategori 3 dalam paket kombipak untuk
penderita dengan berat badan antara 33-55 kg.

(Kemenkes RI, 2014)


Catatan: 1 bulan = 28 blister (dosis) harian
Satu paket kombipak kategori 3 berisi 104 blister harian
yang terdiri dari 56 blister HRZ untuk tahap intensif, dan 50
blister HR untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam
dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.

b) Terapi Tuberkulosis pada Anak Berikut


adalah dosis OAT pada anak
(Kemenkes RI, 2014)
Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit
(pausibasiler) sehingga rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase
intensif hanya diberikan kepada anak dengan BTA positif, TB berat dan
TB tipe dewasa. Terapi TB pada anak dengan BTA negative
menggunakan paduan INH, Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase
inisial 2 bulan pertama kemudian diikuti oleh Rifampisin dan INH pada
4 bulan fase lanjutan. Berikut merupakan Paduan OAT pada anak:
(Kemenkes RI, 2014)
Kortikosteroid diberikan pada kondisi :
 TB Meningitis,
 Sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar (endobronkhial TB)
 Perikarditis TB
 TB milier dengan gangguan napas yang berat,
 Efusi pleura
 TB abdomen dengan asites.
Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis
2mg/kg/hari, sampai 4 mg/kg/hari pada kasus sakit berat, dengan dosis
maksimal 60mg/hari selama 4 minggu.
Tappering-off dilakukan secara bertahap setelah 2 minggu
pemberian kecuali pada TB meningitis pemberian selama 4 minggu
sebelum tappering-off. Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga
meningkatkan keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam
bentuk paket Kombinasi Dosis Tetap (KDT)/ FDC (Fixed Dose
Combination). Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa
pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase
intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid
(Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam
satu paket.

 Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam


bentuk kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS

 Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang


diberikan menyesuaikan berat badan saat itu

 Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal


(sesuai umur).

 OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan
tidak boleh digerus)

 Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum


(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersible).

 Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam
setelah makan

 Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh


melebihi 10 mg/kgBB/hari

 Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua


obat tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
(Kemenkes RI, 2014)
Tata laksana Pasien TB Anak yang Berobat Tidak Teratur
a) Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab
kegagalan pengobatan.
b) Jika anak tidak minum obat >2 minggu di tahap intensif atau > 2
bulan di tahap lanjutan dan menunjukkan gejala TB, beri
pengobatan kembali mulai dari awal. Jika anak tidak minum

obat < 2 minggu di tahap intensif atau < 2 bulan di tahap lanjutan
dan menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai
selesai.
c) Pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan
meningkatkan risiko terjadinya TB-Resisten Obat (TB-RO).

c) Terapi TB pada Wanita Hamil


Pada prinsipnya paduan pengobatan TB pada wanita hamil
tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Pasien TB
pada wanita hamil harus segera memulai pengobatannya setelah
diagnosa ditegakkan. Namun, ada kemungkinan munculnya efek
teratogenik pada trimester pertama, pengobatan dapat ditunda
hingga trimester kedua ketika pasien sudah lebih stabil. Semua jenis
OAT aman untuk wanita hamil, kecuali streptomisin yang termasuk
dalam golongan aminoglikosida karena dapat menembus barier
placenta dan dapat menyebabkan permanent ototoksik terhadap
janin dengan akibat terjadinya gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada janin tersebut (Kemenkes RI,
2014). Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan
pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat
berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkannya terhindar dari
kemungkinan penularan TB (WHO, 2014).

d) Terapi TB pada pengguna Kontrasepsi


Tidak ada kontraindikasi untuk penggunaan kontrasepsi oral
dengan rejimen yang mengandung non rifampisin. Rifampisin
berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,
susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas sehingga
kontrasepsi oral kombinasi dosis rendah dapat meningkatkan risiko
kehamilan yang tidak direncanakan.

Seorang wanita yang menggunakan kontrasepsi oral saat menerima


pengobatan rifampisin dapat memilih penggunaan pil kontrasepsi oral
yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 µg) atau penggunaan
bentuk kontrasepsi lain (Kemenkes RI, 2014).
Kondom adalah solusi yang masuk akal bagi pasien yang tidak
ingin minum pil tambahan dan / atau ketika perlindungan terhadap
penyakit menular seksual juga diperlukan. Pasien harus menyadari
bahwa penggunaan kondom kurang efektif dibandingkan dengan pil
kontrasepsi, terutama ketika tidak digunakan dengan benar. Suntikan
intramuskular medroksiprogesteron dan metode kontrasepsi lain
juga dapat dipertimbangkan. Tidak perlu menyesuaikan dosis
kontrasepsi suntik (medroksiprogesteron asetat dan norethisterone
enanthate) pada pasien yang menggunakan rifampisin (Kemenkes
RI, 2014).

e) Terapi TB pada Ibu Menyusui


Pada prinsipnya paduan pengobatan TB pada ibu menyusui
tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT
aman untuk ibu menyusui (Kemenkes RI, 2014). Seorang ibu
menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara
adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk
mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak
perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus menyusui.
Pengobatan pencegahan dengan INH dapat diberikan kepada bayi
tersebut sesuai dengan berat badannya selama 6 bulan. BCG
diberikan setelah pengobatan pencegahan (Binfar, 2005). Untuk
pencegahan, INH yang diberikan 10 mg per berat badan satu kali
sehari. Vaksinasi BCG juga dapat dilakukan sesuai alur tata laksana
bayi yang lahir dari ibu terduga TB atau ibu sakit TB

(Permenkes, 2016).

f) Terapi TB pada Penderita HIV/AIDS


Pilihan paduan pengobatan pada ODHA dengan TB adalah
sebagai berikut:

(Kemenkes RI, 2014)


Keterangan:
 AZT : Zidovudine
 3TC : Lamivudine
 FTC : Emtricitabin
 TDF : Tenovofir
 EFV : Efavirenz
 NVP : Nevirapine
 LPV/r : Lopinavir/ritonavir
Efavirenz dapat digunakan pada anak ≥3 tahun atau BB ≥10 KG,
jangan diberikan pada anak dengan gangguan psikiatrik berat.
Efavirenz adalah pilihan pada anak dengan TB. Jangan memulai
dengan AZT jika Hb <10 g/Dl sebelum terapi
Pengobatan Pencegahan.
a. Pemberian Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP
INH) pada anak
Berdasarkan Permenkes No. 67 tahun 2016 tentang
Penanggulangan Tuberkulosis PP INH diberikan kepada anak
umur dibawah lima tahun (balita) yang mempunyai kontak
dengan pasien TB tetapi tidak terbukti sakit TB.

Dosis INH adalah 10 mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/hari).


1) Obat dikonsumsi satu kali sehari, sebaiknya pada waktu
yang sama (pagi, siang, sore atau malam) saat perut
kosong (1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan).
2) Lama pemberian PP INH adalah 6 bulan (1 bulan =
28 hari pengobatan), dengan catatan bila keadaan klinis
anak baik. Bila dalam follow up timbul gejala TB,
lakukan pemeriksaan untuk penegakan diagnosis TB. Jika
anak terbukti sakit TB, PP INH dihentikan dan berikan
OAT
3) Obat tetap diberikan sampai 6 bulan, walaupun kasus
indeks meninggal, pindah atau BTA kasus indeks sudah
menjadi negatif.
4) Dosis obat disesuaikan dengan kenaikan BB setiap bulan.
5) Pengambilan obat dilakukan pada saat kontrol setiap 1
bulan, dan dapat disesuaikan dengan jadwal kontrol dari
kasus indeks.
6) Pada pasien dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan
Vitamin B6 10 mg untuk dosis INH ≤200 mg/hari, dan
2x10 mg untuk dosis INH >200 mg/hari
7) Yang berperan sebagai pengawas minum obat adalah
orang tua atau anggota keluarga pasien.
b. Pengobatan pencegahan dengan Rifapentin dan Isoniazid
Berdasarkan Permenkes No. 67 tahun 2016 pilihan
pengobatan pencegahan dengan Rifapentin dan Isoniazid.
Sebagai catatan, obat ini tidak direkomendasikan
penggunaannya pada anak berusia < 2 tahun dan anak dengan
HIV AIDS dalam pengobatan ARV.

1) Pemberian Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP


INH) pada ODHA Pengobatan Pencegahan dengan
bertujuan untuk mencegah TB aktif pada ODHA,
sehingga dapat menurunkan beban TB pada ODHA. Jika
pada ODHA tidak terbukti TB dan tidak ada
kontraindikasi, maka PPINH diberikan yaitu INH
diberikan dengan dosis 300 mg/hari dan B6 dengan dosis
25mg/hari sebanyak 180 dosis atau 6 bulan.
2) Pemberian Pengobatan Pencegahan dengan
Kotrimoksasol (PPK) pada ODHA Pengobatan
pencegahan dengan kotrimoksasol bertujuan untuk
mengurangi angka kesakitan dan kematian pada ODHA
dengan atau tanpa TB akibat IO. Pengobatan pencegahan
dengan kotrimoksasol relatif aman dan harus diberikan
sesuai dengan Pedoman Nasional PDP serta dapat
diberikan di unit DOTS atau di unit PDP.

g) Terapi TB pada Penderita Diabetes Melitus


Terapi dilakukan dengan gula darah terkontrol. Adanya diabetes
mellitus potensi munculnya efek samping dari OAT, khususnya
disfungsi ginjal dan neuropati perifer. Perlu diperhatikan bahwa
penggunaan Rifampisin akan mengurangi efektifitas obat oral anti
diabetes (sulfonil urea) golongan obat sulfonilurea dimetabolisme di
hati oleh enzim sitokrom P450, dan enzim ini diinduksi oleh
rifampisin. Kadar obat antidiabetik tersebut kadarnya akan
mengalami penurunan jika diberikan bersama rifampisin, sehingga
dosisnya perlu ditingkatkan. Hati- hati dengan penggunaan
etambutol pada mata, sedangkan pasien DM sering mengalami
komplikasi kelainan pada mata. Penggunaan INH pada pasien TB
dengan DM harus lebih ketat

dipantau terkait adanya efek neuropati perifer sehingga disarankan


adanya pemberian pyridoxine atau vitamin B6 (Kemenkes RI,
2014).

h) Terapi TB pada Penderita Hepatitis Akut


Pemberian OAT pada penderita TB dengan hepatitis akut atau
klinis ikterik ditunda sampa hepatitis akutnya mengalami
penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB sangat
diperlukandapat diberikan streptomisin (S) dan etambutol (E)
selama 3 bulan sampai hepatitisnya menyebuh dan dilanjutkan
dengan rifampisin (R) dan isiniazid (H) selama 6 bulan, bila
hepatitisnya tidak menyembuh seharusnya dilanjutkan sampai 12
bulan (Depkes RI, 2005; Health, 2014). Dengan kata lain terapi
yang diberiakan pada pasien TB dengan hepatitis aakut adalah
3SE/6RH atau 12SE (Health, 2014).

i) Terapi pada Penderita Chronic Liver Diseases


Pasien penderita liver cirrhosis cenderung menunjukan respon
berupa defisiensi sistem imun dikarenakan terjadi perburukan
homeostasis. Oleh karena itu kemampuan pasien sirosis maupun
pasien yang berada pada end-stage liver disease untuk mentoleransi
sifat hepatotoksik OAT menjadi perhatian utama. OAT seperti
isoniazid (INH), rifampisin (RIF), dan pyrazinamide (PZA) bersifat
hepatotoksik sehingga dapat memperburuk kerusakan liver yang
terjadi pada pasien. Namun dengan mempertimbangkan efikasi dari
obat-obatan tersebut (khususnya INH dan PZA) masih dapat
digunakan sebagai pilihan terapi pada pasien penderita chronic liver
disease (Sharma and Misra et al., 2015). First-line yang dapat
digunakan pada pasien chronic liver disease adapun sebagai berikut:

a. Isoniazid (INH)
INH bersifat bakterisidal dan bekerja dengan menghambat
sintesis asam mikolat pada dinding sel bakteri. INH itu sendiri
tidak bersifat hepatotoksik, toksisitas bersumber dari metabolit
yang dihasilkan yaitu hydrazine. Peningkatan kadar
aminotransferase yang terjadi pada sebagian besar pasien yang
menerima terapi INH tidak mengalami perburukan kondisi.
Terapi INH disarankan untuk segera dihentikan ketika timbul
gejala hepatitis dan jaundice serta terjadi peningkatan kadar
ALT sebanyak tiga kali lipat upper limit normal (ULN) atau
nilai ALT lima kali ULN tanpa disertai gejala (Dhimand et al.,
2012).
b. Rifampisin (RIF)
RIF merupakan agen bakterisidal yang menghambat
mycobacterial DNA-dependent RNA polymerase. Asymptomatic
conjugated hyperbilirubinemia dan jaundice dilaporkan terjadi.
Hiperbilirubinemia terjadi karena RIF menghambat kanal garam
sehingga menghambat sekresi bilirubin melalui kanal (Dhimand
et al., 2012).

c. Pyrazinamide (PZA)
PZA merupakan turunan asan nikotinat yang terdeaminasi
membentuk asam pyrazinoic yang merupakan bentuk aktif dari
PZA yang menghambat fungsi membran trabspor pada dinding
sel bakteri. Peningkatan ALT dan AST merupakan efek samping
abnormal utama yang disebabkan penggunaan PZA (Dhimand
et al., 2012).
d. Ethambutol (EMB)
EMB merupakan antibiotik bakteriostatik pada infeksi
yang disebabkan Mycobacterium. EMB berkerja menghambat
sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat sintesis
arabinoglactant yang menyebabkan

peningkatan permeabilitas dinding sel bakteri. Obat ini relatif


aman dan kurang menyebabkan hepatotoksisitas (Dhimand et
al., 2012).Second-line yang dapat digunakan pada pasien
chronic liver disease:
e. Streptomisin
Streptomycin merupakan antibiotik aminoglikosida yang
bersifat bakterisidal. Obat iniaman untuk digunakan pada pasien
penderita chroic liver disease. Streptomisin tidak dimetabolisme
di hati dan tereliminasi dalam bentuk sama melalui ginjal.
f. Quinolone
Antibiotik golongan ini seperti levoflxacin, moxifloxacin,
ofloxacin cukup aman untuk digunakan pads pasien chronic
liver disease dan sifat farmakokinetiknya tidak terganggu
sehubungan dengan gangguan fungsi hati.
(Dhiman and Saraswat et al., 2012)

c. TB MDR (Multi Drug Resistant)


Poliklinik TB MDR (Multi drug resistant) RSUD Dr. Moewardi
adalah poliklinik yang melayani pasien rujukan yang telah kebal atau
resisten terhadap obat tuberculosis Rifampisin dan Isoniazid. Kriteria pasien
yang di suspek TB MDR yaitu:
1) Kasus kronik / gagal kategori 2
2) Tidak konversi kategori 2
3) Terapi non DOTS (directly observed therapy) atau pernah terapi
OAT lini ke-2
4) Gagal kategori 1
5) Tetap positif setelah sisipan kategori 1
6) Kasus kambuh (kategori 1 maupun 2)
7) Setelah default (kategori 1 maupun kategori 2)
8) Kontak erat pasien confirm TB MDR

9) Kasus TB HIV (Kemenkes RI, 2016).


Penggunaan obat pasien dicatat atau dipantau dalam Kartu
Pengobatan Pasien Penggunaan obat pada pasien dicatat dalam Kartu
Pengobatan Pasien TB-MDR. Pencatatan tersebut berisi nama pasien,
tanggal lahir, no RM, klasifikasi pasien, pemeriksaan kontak serumah, obat
dan dosisnya, riwayat penggunaan obat TB sebelumnya, tahap penggunaan
obat dan lain-lain. Kemudian untuk pasien yang di rawat inap, pelayanan
distribusi obat ke pasien dilakukan secara ODD (One Daily Doses) atau
obat dikemas dalam dosis tunggal untuk pemakaian sehari. Kelebihan dari
sistim ini adalah pasien lebih mudah mendapatkan obat, menghindari
pemberian obat double, mengurangi medication error, serta pengendalian
persediaan obat dapat ditingkatkan.
1) Terapi TB MDR
Pengobatan pada TB MDR dilakukan berdasarkan hasil uji
resistensi dengan menggunakan 2-3 OAT yang masih sensitif dan dapat
ditambahkan dengan golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan
siprofloksasin), aminoglikosida (amikasin, kanamisin, dan
kapreomisin), etionamid, sikloserin, klofamizin, amoksisilin + asam
klavulanat (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

Tabel 16. Tingkatan OAT untuk Pasien TB MDR


Peresepan OAT untuk TB MDR di RSUD Dr. Moewardi mengitu
panduan yang dianjurkan yaitu OAT yang masih sensitif

minimal 2-3 OAT dari obat lini 1 ditambahkan obat lain (lini 2)
golongan kuinolon yaitu ciprofloksasin dengan dosis 2 x 500 mg atau
ofloksasin 1 x 400 mg.

Anda mungkin juga menyukai