Anda di halaman 1dari 25

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Siti Aisyah
 Usia : 36 th
 Jenis Kelamin : perempuan
 Agama : Islam
 Alamat : cinta raja langsa timur
 Pekerjaan : petani
 Tanggal Masuk : 18 agustus 2019

II. ANAMNESA (AUTOANAMNESA)


A. Keluhan Utama
Muncul gelembung-gelembung pada area kemaluan
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Langsa dengan keluhan timbul gelembung-
gelembung berisi air (+) pada area kemaluan sejak 5 hari yang lalu, nyeri (+),
terasa panas(+), gatal(+), dan kemerahan(+). Os mengatakan gelembung-
gelembung berair tersebut pecah dan mengeluarkan pus, dan kemudian menjadi
seperti luka lecet pada area kemaluannya.
Sebelumnya pasien mengatakan demam (+) selama 2 hari, BAK terasa
nyeri (+) dan tidak mempunyai keluhan yang lain.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan yang serupa
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang mengalami keluhan serupa
E. Riwayat Penggunaan Obat Dan Alergi Obat
Disangkal
F. Riwayat Sosial
Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital :
- Nadi : 86x/m
- Respirasi : 22x/i
- Suhu : 37C
- Tekanan Darah : 110/80 mmhg
Kepala :
- Mata : DBN
- THT : DBN
- Leher : DBN
Thorax
- : Paru : DBN
- Jantung : DBN
- Abdomen : DBN
- Extemitas : DB

B. Status Dermatologis
Ruam primer : Eritema, Vesikel Berkelompok, Bula
Ruam Sekunder : Erosi, Krusta,
Ukuran : Miliar
Susunan : Berkelompok
Penyebaran : Herpetiformis
Lokasi : Regio Vaginalis
IV. RESUME
Pasien datang ke RSUD Langsa dengan keluhan timbul
gelembung-gelembung berisi air (+) pada area kemaluan sejak 5 hari yang lalu,
nyeri (+), terasa panas(+), gatal(+), dan kemerahan(+). Os mengatakan
gelembung-gelembung berair tersebut pecah dan mengeluarkan pus, dan
kemudian menjadi seperti luka lecet pada area kemaluannya.
Sebelumnya pasien mengatakan demam (+) selama 2 hari, BAK terasa
nyeri (+) dan tidak mempunyai keluhan yang lain.
Status dermatologis di dapatkan vesikel berkelompok, bula, eritem, erosi,
krusta, ukuran miliar, herpetiformis, regio vaginalis.

V. DIAGNOSIS BANDING
1. Herpes Simpleks Genitalis
2. Ulkus Drum
3. Ulkus Mole
VI. DIAGNOSIS KERJA
Herpes Simplek Genitalis
VII. USULAN PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Tzanc
VIII. PENGOBATAN
A. Umum
 Istirahat
 Tidak menggaruk-garuk bila gatal
 Kompres NaCl 0,9% 1 jam setiap 5 jam
B. Medikamentosa
IVFD RL 16 gtt/i
Inj ketorolac /8 jam
Inj ranitidine/12 jam
Acyclovir zalf kulit 5% 3x1/hari
Acyclovir 5x200 mg/hari
Cetirizin 2x1
IX. PROGNOSIS
- Qua ad Vitam : ad Bonam
- Qua ad Fungtionam : ad Bonam
- Qua ad Sanationam : ad Bonam
- Qua ad Cosmetikan : ad Bonam

XII. FOLLOW UP
NO HARI / TANGGAL KELUHAN
1. MINGGU/ 18 S/gelembung berkelompok pada kemaluan,
AGUSTUS 2019 demam (+), nyeri dan gatal (+)
O/vesikel berkelompok, bula, eritem krusta,
erosi, herpetiformis pada region vaginalis.
A/dd; Herpes simplex genetalia
Ulkus drum
Ulkus mole
P/ IVFD RL 16 gtt/i
Inj ketorolac /8 jam
Inj ranitidine/12 jam
Acyclovir zalf kulit 5% 3x1/hari
Acyclovir 5x200 mg/hari
Cetirizin 2x1

Tidak menggaruk-garuk bila gatal


Kompres NaCl 0,9% 1 jam setiap 5 jam/hari

2. SENIN / 19 S/keluhan membaik, nyeri (+),gatal berkurang,


AGUSTUS 2019 tidak tumbuh lesi baru
O/ eritem krusta, erosi, herpetiformis pada region
vaginalis.
A/dd; Herpes simplex genetalia
Ulkus drum
Ulkus mole
P/ IVFD RL 16 gtt/i
Inj ketorolac /8 jam
Inj ranitidine/12 jam
Acyclovir zalf kulit 5% 3x1/hari
Acyclovir 5x200 mg/hari
Cetirizin 2x1

Tidak menggaruk-garuk bila gatal


Kompres NaCl 0,9% 1 jam setiap 5 jam/hari
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Herpes genital adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang
disebabkan virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) atau tipe 2 (HSV-2). Tipe 1
biasa ditemukan di daerah mulut (herpes oral) dan tipe 2 disebut herpes genital. Di
Amerika sekitar 1 dari 6 orang berusia 14 – 49 tahun menderita infeksi oleh HSV-
2. Penularan infeksi lebih sering terjadi dari laki-laki ke pasangan wanitanya,
dibanding dari wanita ke pasangan laki-laki. Karenanya, infeksi HSV-2 lebih
sering ditemukan pada wanita (kira-kira satu dari 5 wanita berusia 14 – 49 tahun)
dibandingkan laki-laki (kira-kira satu dari sembilan pria usia 14 – 49 tahun).

B. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita
dengan frekuensi yang tidak berbeda, infeksi primer oleh virus herpes simpleks
(HSV) tipe I biasanya dimulai pada anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II
biasanya terjadi pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan
aktivitas seksual.(1)
Pada tahun 2005-2008, prevalensi infeksi HSV-2 pada populasi usia 14-49
tahun di Amerika Serikat sebesar 16%, angka tersebut stabil sejak tahun 2001-
2004 yaitu sebesar 17%; dengan prevalensi yang lebih tinggi pada wanita yaitu
21%, sedangkan pada pria 12%. Kira-kira 45 juta penduduk Amerika Serikat
terinfeksi HSV-2; jika digabung dengan yang terinfeksi HSV-1 mungkin
mencapai 60 juta orang.(3)Berdasarkan survei kesehatan nasional yang dilakukan
oleh CDC (Centers for Disease Control and Prevention) pada tahun 2010
menyatakan bahwa insidens infeksi HSV-2 pada warga Amerika Serikat masih
tinggi, dimana 1 dari 6 warga Amerika Serikat terinfeksi HSV-2 dan
prevalensinya tinggi pada perempuan dan ras Afrika- Amerika (16,2%) antara usia
14-49 tahun.(4)Di Eropa Barat, prevalensi HSV-2 secara umum lebih lebih rendah
daripada di Amerika Serikat, yaitu berkisar antara 10-15% pada hampir semua
negara.(3)Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo pada
tahun 2005-2007 ditemukan hasil yang kurang lebih sama, yaitu insidens herpes
genitalis lebih banyak ditemukan pada perempuan dibanding laki-laki dengan
rasio 1.96:1, usia terbanyak penderita bervariasi antara 25-34 tahun, terutama
sesudah menikah.

C. ETIOLOGI

HSV tipe I dan II merupakan virus herpes homonis yang merupakan virus
DNA. Virus herpes simpleks hanya menginfeksi manusia. Terdapat dua tipe virus
herpes simpleks, yaitu HSV-1, yang biasanya menyebabkan infeksi herpes
nongenital (orofacial); dan HSV-2, yang biasanya menyebabkan infeksi herpes
genital pada laki- laki dan perempuan(5), akan tetapi kedua tipe virus tersebut
dapat menginfeksi baik pada area orofacial maupun genital dan dapat
menyebabkan infeksi akut dan rekuren.(2)Pembagian tipe I dan II berdasarkan
karakteristik pertumbuhan pada media kultur, antigenic marker, dan lokasi klinis
(tempat predileksi).(1) Terdapat perbedaan antara kedua tipe HSV secara biologis,
contohnya tingkat rekurensi infeksi HSV-2 pada genital lebih sering daripada
HSV-1. Sebaliknya, infeksi nongenital yang disebabkan HSV-1 tingkat
rekurensinya lebih tinggi daripada HSV-2. Infeksi HSV genital terjadi enam kali
lebih sering daripada infeksi HSV pada orolabial.(5)
Penularan herpes genitalis diperlukan kontak langsung dengan jaringan
atau sekret dari penderita infeksi HSV. Kebanyakan infeksi pada alat genital
didapatkan dari partner dengan infeksi subklinis. Pasangan yang aktif secara
seksual dan sama-sama terinfeksi HSV tidak akan mengalami reinfeksi satu sama
lain. Autoinokulasi dapat menyebabkan herpetic whitlow atau
keratokonjungtivitis, terutama saat infeksi primer, namun jarang pada infeksi
herpes rekuren. Belum ada bukti penelitian bahwa HSV dapat menular melalui
fomites, penggunaan pakaian atau handuk secara bersama ataupun dari
lingkungan. Penularan perinatal kepada bayi baru lahir dapat terjadi, terutama jika
infeksi baru terjadi pada kehamilan trimester akhir.(3)
HSV memiliki kemampuan untuk menyerang dan melakukan replikasi di
dalam jaringan saraf, kemudian virus tersebut memasuki masa laten di dalam
jaringan saraf, terutama di ganglia trigeminal untuk HSV-1, dan pada ganglia
sacralis untuk HSV-2. Akhirnya, virus laten tersebut melakukan reaktivasi dan
bereplikasi sehingga menyebabkan penyakit pada kulit.(5)

D. KLASIFIKASI

Tempat predileksi HSV-1 di daerah pinggang ke atas terutama di daerah


mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi
secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau pada orang
yang sering menggigit jari (herpetic Whitlow). Virus ini juga sebagai penyebab
herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh HSV-2 mempunyai tempat predileksi di
daerah pinggang ke bawah, terutama di daerah genital, juga dapat menyebabkan
herpes meningitis dan infeksi neonatus. Daerah predileksi ini sering kacau karena
adanya cara hubungan seksual seperti oro-genital, sehingga herpes yang terdapat
di daerah genital kadang-kadang disebabkan oleh HSV-1 sedangkan di daerah
mulut dan rongga mulut dapat disebabkan oleh HSV-2.(1)
1. Primary Genital Herpes

Saat pasien pertama kali terinfeksi HSV. Infeksi primer berlangsung lebih
lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai gejala sistemik
misalnya demam, malese, dan anoreksia, dan dapat ditemukan pembengkakan
kelenjar getah bening regional, limfadenopati regional, neuropati regional dan
keterlibatan mukosa (cervicitis, uretritis). Kelainan klinis yang dijumpai berupa
vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan
jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang-
kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada
perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder
sehingga memberi gambaran yang tidak jelas. Umumnya didapati pada orang
yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks. Pada wanita ada laporan yang
mengatakan bahwa 80% infeksi HSV pada genitalia eksterna disertai infeksi pada
serviks.
2. Initial Nonprimary Genital Herpes

Infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya pernah terinfeksi oleh HSV
tipe lain, biasanya orang yang baru saja terinfeksi HSV-2 sebelumnya seropositif
terhadap HSV-1. Pada jenis ini, manifestasi penyakit secara sistemik jarang
terjadi.(3)
3. Recurrent Genital Herpes

Pada jenis ini, infeksi terjadi untuk kedua kalinya atau berikutnya oleh tipe
virus yang sama. Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang dalam
keadaan tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit
sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu tersebut dapat berupa
trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dsb), trauma psikis
(gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat jenis makanan
dan minuman yang merangsang. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempay
yang sama (loco) atau tempat lain/tempat di sekitarnya (non loco).(1)
Herpes genitalis akibat HSV-2 biasanya lebih sering mengalami reaktivasi
daripada herpes genitalis akibat HSV-1. Manifestasi klinis pada herpes genitalis
rekuren biasanya lebih ringan dan lebih singkat dari pada infeksi pertama,
biasanya berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala
prodormal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri.
Bersama dengan herpes genital rekuren dapat ditemukan cervicitis, uretritis,
limfadenopati, neuropati, gejala sistemik, namun sangat jarang.(3)
4. Subclinical Infection

Sebagian besar infeksi HSV bersifat subklinis, termasuk tipe primary, nonprimary
initial, atau recurrent herpes. Pada herpes genitalis fase ini berarti pada penderita
tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan tidak
aktif pada ganglion dorsalis.

E. PATOGENESIS

HSV-1 dan HSV-2 termasuk famili Herpesviridae dan subfamili


Alphaherpesviridae. Virus ini adalah virus DNA beruntai ganda ditandai dengan
sifat biologis sebagai berikut:
 Neurovirulensi (kemampuan untuk menyerang dan bereplikasi dalam
sistem saraf).
 Latensi (pembentukan dan pemeliharaan infeksi laten di ganglia sel saraf
proksimal dari lokal infeksi). Pada infeksi HSV orofacial, ganglia
trigeminal yang paling sering terlibat, sementara, pada infeksi HSV
genital, akar ganglia saraf sacral (S2-S5) yang terlibat.
 Reaktivasi: reaktivasi dan replikasi HSV laten, selalu di daerah yang
dipersarafi oleh ganglia dimana tempat virus latensi, dapat disebabkan
oleh berbagai rangsangan (misalnya demam, trauma, stress emosional,
sinar matahari, menstruasi), sehingga berakibat infeksi berulang yang jelas
atau samar-samar dan kemunculan kembali HSV. Pada orang
imunokompeten yang berada pada resiko yang sama tertular HSV-1 dan
HSV-2 baik secara oral maupun genital, HSV-1 reaktivasi lebih sering oral
daripada genital. Demikian pula HSV-2 mengaktifkan kembali 8-10 kali
lebih umum di daerah genital daripada di daerah orolabial. Reaktivasi
lebih umum dan parah pada individu imunocompromised.

Gambar 1. Proses infeksi virus herpes simpleks.

The American College of Obstetricians and Gynecologists, FAQ054

Penyebaran infeksi herpes simpleks dapat terjadi pada orang dengan


gangguan imunitas sel T, seperti di penerima transplantasi organ pada individu
dengan AIDS. HSV tersebar di seluruh dunia. Manusia adalah satu-satunya
reservoir alami, dan tidak ada vektor yang terlibat selama transmisi. Endemisitas
mudah bertahan dalam manusia karena adanya infeksi laten, reaktivasi periodik,
dan virus yang muncul tanpa gejala.
Selama infeksi primer, replikasi dimulai di dalam sel berinti pada dermis
dan epidermis. Setiap sel yang terinfeksi pasti dibunuh dan jumlah sel yang
terlibat dalam proses infeksi menentukan apakah secara klinis akan berkembang
membentuk lesi, atau yang lebih sering malah menjadi subklinis. Dalam dua
keadaan tersebut, ujung saraf sensoris akan terinfeksi, kemudian virus pindah
melalui akson ke ganglia sakralis dan disana akan dimulai periode laten. HSV
hanya dapat dikultur dari ganglion selama periode infeksi primer. Virus menyebar
ke daerah lain secara sentrifugal dimana vesikel terbentuk akibat migrasi dari
HSV-2 ke saraf sensoris lainnya dan via autoinokulasi. Viremia terjadi pada 25%
pasien dengan infeksi primer.(6) Kemudian HSV-2 akan mempertahankan dirinya
ke dalam periode laten di dalam ganglion dimana aktivasi sistem kekebalan tubuh
sangat terbatas. Virus tersebut kemudian akan keluar dari neuron sensoris ke
daerah genital sehingga menyebabkan terjadinya periode subklinis ataupun
berkembang menjadi lesi herpes genital. Sistem imun penderita, terutama limfosit
CD8+, sangat penting dalam proses terbentuknya lesi genital.(6) Terbentuknya lesi
pada genital (simtomatik) menunjukkan adanya viral shedding, yaitu saat dimana
virus menjadi aktif dan keluar dari ganglion saraf menuju ke permukaan kulit dan
menimbulkan lesi. Sebuah penelitian di Amerika meneliti tentang besarnya angka
viral shedding yang diukur dengan quantitive real-time fluorescence polymerase
chain reaction untuk HSV DNA dari swab genital, pada herpes genitalis yang
simtomatik dan asimtomatik. Hasilnya, pada herpes genitalis simtomatik lebih
sering ditemukan viral shedding daripada yang asimtomatik.(7)

F. MANIFESTASI KLINIS

Masa inkubasi herpes genitalis biasanya berkisar antara 3-5 hari untuk infeksi
primer yang simtomatik, kadang 10 hari, jarang mencapai 3 minggu.

Primary Genital Herpes

Lesi pada daerah genital atau perianal multipel, biasanya bilateral. Umumnya
dapat ditemukan vaginal discharge. Urethral discharge umum ditemukan pada
laki-laki, biasanya disertai dengan disuria berat. Lesi kutaneus muncul setelah 7-
15 hari berupa papul, menjadi vesikel, menjadi pustul, menjadi ulkus, lalu menjadi
krusta.

Gambar 2. Perjalanan Klinis Infeksi Primer Herpes Genitalis (8)

Lesi pada mukosa atau permukaan yang lembab (misalnya introitus


vagina, labia minor, uretra, rektum) mengalami ulserasi lebih awal, sering disertai
dengan nyeri yang berat dan tidak berubah menjadi krusta. Nyeri dan bengkak
pada daerah inguinal juga sering ditemukan, biasanya bilateral. Infeksi yang
didapatkan melalui seks secara anal dapat dirasakan nyeri pada rektum, keluar
cairan, tenesmus, dan beberapa gejala dari proctitis. Demam, malaise, nyeri
kepala juga sering ada, dan kadang-kadang fotofobia dan kaku pada leher.(3)
Gambar 3A. Infeksi Primer Herpes Genitalis dengan Vesikel, 3B. Vulvitis
Herpetik Primer

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed.

First Episode Nonprimary Genital Herpes

Lesi yang ditemukan pada tipe ini biasanya lebih sedikit daripada infeksi
primer. Biasanya terjadi selama 10-20 hari. Nyeri dan bengkak pada daerah
inguinal lebih jarang ditemukan daripada infeksi primer.(3)
Recurrent Genital Herpes

Pada herpes genitalis rekuren biasanya terbentuk lesi berkelompok yang


terdiri dari 2-10 lesi, lokasinya di bagian lateral dari garis tengah dan hanya
terdapat di satu sisi tubuh. Lesi tersebut biasanya timbul 2-3 cm dari lokasi lesi
sebelumnya. Gejala infeksi rekuren selain dapat terjadi di genital dan perianal,
juga dapat terjadi di daerah bokong, paha, dan perut bagian bawah (disebut juga
area “boxer shorts”). Lesi yang paling sering ditemukan adalah lesi ulseratif
atipikal, tanpa didahului oleh periode vesikular ataupun pustular. Gejala
neurologis prodormal biasanya muncul 1-2 hari sebelum timbul lesi, biasanya
berupa parestesia (rasa terbakar, kesemutan), atau hypesthesia pada daerah lesi
atau di sepanjang perjalanan nervus sakralis. Gejala sistemik dan pembengkakan
daerah inguinal jarang ditemukan.(3)
Gambar 4A. Herpes genitalis rekuren pada penis. Vesikel berkelompok dengan
krusta di bagian sentral, dasar yang meninggi dan berwarna merah. 4B. Herpes
genitalis rekuren pada vulva. Erosi berukuran besar dan sangat nyeri di labia.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Terdapat beberapa metode pemeriksaan laboratorium yang dapat


digunakan untuk menunjang penegakan diagnosis infeksi HSV, tentunya dengan
spesifisitas dan sensitivitas yang beragam. Metode-metode tersebut antara lain:
Pemeriksaan sitologi

Pemeriksaan sitologi dilakukan dengan Tzanck smears, pewarnaan


Papanicolaou atau Romanovsky, dan imunofluoresens. Tzanck smearsdengan
pewarnaan Giemsa menggunakan bahan dari kerokan lesi kulit atau mukosa.
Dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.(1)Ini
merupakan pemeriksaan yang murah, namun spesifisitas dan sensitivitas nya
rendah.
Gambar 5. Pemeriksaan Tzanck Smears positif dengan pewarnaan Giemsa, sampel
diambil dari dasar vesikel. Terlihat keratinosit berukuran besar dan multinuklear.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed.

Pewarnaan Papanicolaou atau Romanovsky menggunakan bahan dari hasil


biopsi, sedangkan deteksi sel yang terinfeksi dengan imunofluoresens
menggunakan hasil kerokan dasar vesikel. Pemeriksaan ini murah dan cepat,
spesifisitas dan sensitivitas nya lebih tinggi daripada Tzanck smears.(8)
1.Pemeriksaaan biologi molekular

Deteksi DNA HSV berdasarkan amplifikasi asam nukleat dan polymerase


chain reaction (PCR) sudah menjadi metode alternatif karena pemeriksaan ini
empat kali lebih sensitif, hasilnya tidak dipengaruhi oleh cara pengumpuan sampel
dan proses transportasi, serta pengerjaannya lebih cepat daripada kultur virus.
Sampel pemeriksaan didapatkan dari swab, kerokan lesi kulit, cairan dari vesikel,
eksudat dari dasar vesikel, atau sampel dari mukosa yang tidak terdapat lesi.
Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah sensitivitas dan spesifisitas nya paling
tinggi daripada pemeriksaan yang lain. Namun pemeriksaan ini hanya bisa
dilakukan di laboratorium tertentu yang memiliki fasilitas yang mendukung
pemeriksaan tersebut.(8)
2. Kultur virus

Kultur virus digunakan untuk menentukan tipe virus, sudah lama menjadi
landasan untuk penegakan diagnosis infeksi HSV selama dua dekade terakgir dan
sudah ditentukan sebagai gold standard diagnosis laboratoris untuk infeksi HSV.
Sampel diambil dari swab, kerokan lesi kulit, cairan dari vesikel, eksudat dari
dasar vesikel, atau dari mukosa yang tanpa lesi. Pemeriksaan ini cukup mahal,
tidak lebih sensitif dari PCR, sensitivitasnya bervariasi dari rendah ke tinggi
tergantung keadaan klinis pasien dan spesifisitasnya cukuo tinggi.(8)
3. Deteksi antigen virus

Antigen virus dapat dideteksi oleh direct immunofluorescence (IF) assay


dengan menggunakan antibodi monoklonal spesifik yang sudah diberi label
fluorescein, atau oleh enzyme immunoassay (EIA) pada swab. Sampel diambil
dari swab, kerokan dari lesi, cairan dari vesikel, dan eksudat dari dasar vesikel.
Spesifisitas kedua pemeriksaan tersebut cukup tinggi, yaitu berkisar antara 62-
100% untuk pemeriksaan ELISA, dan pada immunoperoxidase staining dapat
mencapai 90%. Sensitivitas kedua pemeriksaan tersebut cukup tinggi, yaitu
berkisar antara 85-90%.(8)

H. DIAGNOSIS BANDING

Herpes genitalis harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole, dan
ulkus mikstum, maupun ulkus yang mendahului penyakit limfogranuloma
venerum.
a. Chancroid, atau yang lebih dikenal dengan ulkus mole adalah ulkus yang
kotor, merah dan nyeri. Merupakan penyakit menular seksual yang ditandai
dengan ulkus genitalis nekrotik yang sangat nyeri, disertai dengan limfadenipati
inguinal. Penyakit ini disebabkan oleh Haemophilus ducreyi, bakteri gram-negatif
berbentuk basil anaerob yang sangat infektif. Bakteri ini masuk ke dalam kulit
melalui mukosa yang tidak intak dan menyebabkan reaksi inflamasi. H. Ducreyi
ditularkan secara seksual melalui kontak langsung dengan lesi purulen dan dengan
autoinokulasi pada daerah nonseksual misalnya mata dan kulit. Penyakit ini
biasanya dimulai dengan papul inflamasi berukuran kecil pada tempat inokulasi,
beberapa hari kemudian, papul akan berubah menjadi ulkus yang sangat nyeri.
Tanpa pengobatan, lesi dapat bertahan beberapa minggu sampai beberapa bulan,
dan dapat berkomplikasi menjadi limfadenopati supuratif.(11) Pada ulkus mole,
tanda-tanda radang akut lebih mencolok dan pada pemeriksaan penunjang sediaan
apus berupa bahan dari dasar ulkus tidak ditemukan sel datia berinti banyak.(1)

Gambar 6. Ulkus mole yang melebar dengan eksudat, telah menghancurkan


frenulum

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed.

b. Limfogranuloma venerum adalah penyakit sistemik yang disebabkan


oleh Chlamydia trachomatis, afek primer biasanya cepat hilang, bentuk yang
tersering adalah sindrom inguinal. Sindrom tersebut berupa limfadenitis dan
penadenitis beberapa kelenjar getah bening inguinal medial dengan kelima tanda
radang akut dan disertai gejala konstitusi, kemudian akan mengalami perlunakan
yang tak serentak.
Gambar 7. Limfogranuloma venerum: erosi yang tidak nyeri pada preputium.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed.

Gambar 8. Pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral. Kulit di


permukaannya eritematosa dan terdapat indurasi. Lesi primer belum terbentuk.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed.

c. Sifilis, adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum,


sangat kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir
semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan
dapat ditularkan dari ibu ke janin. Pada anamnesis diketahui masa inkubasi, tidak
terdapat gejala konstitusi, demikian pula gejala setempat yaitu tidak ada rasa
nyeri. pada afek primer yang penting adalah terdapat erosi/ulkus yang bersih,
soliter, bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi: T. Pallidum positif.
Kelainan dapat nyeri jika disertai infeksi sekunder. Kelenjar regional dapat
membesar, indolen, tidak berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa
supurasi.Berbeda dengan sifilis, herpes simpleks bersifat residif, dapat disertai
keluhan berupa rasa gatal atau nyeri,

lesi berupa vesikel di atas kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah
tampak kelompok erosi, sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat
indurasi.(1)

Gambar 9. Ulkus pada awal sifilis, tampak sebagai papul yang datar dan
mengalami erosi, dengan tepi yang meninggi dan dasar yang halus, bersih.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed.

I. PENATALAKSANAAN

Primary Genital Herpes

Penatalaksanaan umum untuk herpes genitalis adalah membersihkan area


yang bersangkutan (terdapat lesi) dengan normal saline, pemberian analgesik
(sistemik maupun lokal, seperti lidokain gel), dan perawatan infeksi sekunder oleh
bakteri.(12) Selain itu juga diberikan terapi antiviral spesifik misalnya asiklovir
yang terbukti efektif dalam mengobati infeksi virus serta ketersediaannya dalam
bentuk generik. Obat lainnya, seperti valaciclovir dan famciclovir, digunakan
dalam dosis yang lebih jarang daripada asiklovir, namun harganya lebih mahal.
Penelitian menunjukkan ketiga obat tersebut dalam menurunkan berat dan durasi
dari gejala klinis akibat infeksi virus. Biasanya lama pemberian obat-obatan
antivirus adalah lima hari, namun BASHH guidelines merekomendasikan
pengobatan harus tetap dilanjutkan lebih dari lima hari jika lesi yang baru masih
terus terbentuk, jika gejala dan tanda berat, atau jika pasien mengidap HIV atau
jika terdapat penyakit komplikasi lainnya. Guideline tersebut juga menyatakan
bahwa kombinasi obat oral dan topikal tidak menunjukkan keuntungan.(12)Obat
antiviral sistemik intravena hanya diberikan jika pasien memiliki kesulitan
menelan atau tidak dapat mentoleransi obat-obatan karena muntah.
Rekomendasi terapi oral untuk infeksi herpes genitalis primer (diberikan selama
lima hari) adalah sebagai berikut: (13)
 Aciclovir 200 mg lima kali sehari, atau

 Aciclovir 400 mg tiga kali sehari, atau

 Famciclovir 250 mg tiga kali sehari, atau

 Valaciclovir 500 mg dua kali sehari.

Herpes Genitalis Rekuren

Penatalaksanaan serangan rekuren dari herpes genitalis meliputi terapi


suportif, terapi antiviral episodik, atau terapi antiviral supresif. Kebanyakan
serangan rekuren bersifat ringan dan self limiting, namun dapat diobati hanya
dengan terapi suportif. Penatalaksanaan umum untuk pasien herpes genitalis
rekuren antara lain membersihkan daerah yang terdapat lesi dengan normal saline,
pemberian analgetik (sistemik maupun lokal seperti lidokain gel), dan merawat
infeksi sekunder karena bakteri.(12)
Terapi suportif yang dimaksud adalah kompres dengan normal saline,
penggunaan analgetik, konseling perilaku seksual. Terapi antiviral episodik yang
dimaksud adalah dilakukan pengobatan saat terdapat gejala prodormal atau pada
awal serangan. Asiklovir oral, valasiklovir, dan famsiklovir menurunkan berat dan
durasi penyakit dalam waktu 1-2 hari. Antiviral topikal tidak lebih efektif dari
terapi sistemik.(12) Rekomendasi terapi episodik oral untuk herpes genitalis
rekuren (diberikan selama lima hari) adalah sebagai berikut:(13)
 Aciclovir 200 mg lima kali sehari, atau

 Aciclovir 400 mg tiga kali sehari selama 3-5 hari, atau

 Valaciclovir 500 mg dua kali sehari, atau

 Famciclovir 125 mg dua kali sehari.


Sedangkan yang dimaksud dengan terapi antiviral supresif adalah untuk
mengurangi rekurensi dari herpes genitalis. Pasien harus segera menghentikan
penggunaan obat-obatan tersebut setelah 12 bulan.(12) Rekomendasi terapi supresif
oral untuk herpes genitalis adalah sebagai berikut: (13)
 Aciclovir 400 mg dua kali sehari, atau

 Valaciclovir 250 mg dua kali sehari, atau

 Valaciclovir 500 mg satu kali sehari, atau

 Valaciclovir 1 gram sehari, atau

 Famciclovir 250 mg dua kali sehari.

J. PROGNOSIS

Selama pencegahan rekurens masih merupakan masalah, hal tersebut


secara psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat
memberi prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih
singkat dan rekurens lebih panjang. Pada orang dengan gangguan imunitas
misalnya pada penyakit-penyakit dengan tumor di sistem retikuloendotelial,
pengobatan dengan imunosupresan yang lama atau fisik yang sangat lemah,
menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat dalam dan dapat fatal.
Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang
dewasa.(1)

K. KOMPLIKASI

Infeksi HSV-2 selain dapat menyebabkan penyakit herpes genitalis, juga


dapat menyebabkan komplikasi pada retina, otak, batang otak, nervus kranialis,
medulla spinalis, dan nerve roots. Secara umum, infeksi HSV-2 dapat
menyebabkan meningitis. Manifestasi kelainan neurologis akibat infeksi HSV-2
antara lain herpes simpleks ensefalitis pada neonatus, meningitis aspetik akut pada
dewasa, meningitis aseptik rekuren, ensefalitis dan meningonesefalitis HSV-2
pada dewasa, radikulopati HSV-2, serta nekrosis retina akut.(9)Sacral
radiculopathy dapat ditunjukkan dengan adanya gejala hyperesthesia pada saat
terjadi infeksi herpes simpleks primer. Amitriptilin dapat menjadi pilihan untuk
terapi infeksi ini jika terapi antiviral sistemik tidak adekuat atau tidak efektif.(10)
Sesuai dengan rekomendasi European guideline for the management of Genital
Herpes pada tahun 2010, jika herpes genitalis disertai dengan komplikasi penyakit
lainnya, maka waktu pengobatan dapat diperpanjang lebih dari lima hari.(13)

L. PENCEGAHAN

Kunci dari penanganan orang yang terinfeksi HSV-2 adalah dengan melakukan
konseling mengenai pencegahan penularan penyakit tersebut. Menghindari kontak
seksual dengan pasangan terutama selama masih ada lesi pada daerah genital dan
saat terjadi gejala prodormal, serta penggunaan kondom, ternyata telah terbukti
dapat menurunkan angka penularan infeksi HSV-2, meskipun tidak
menghilangkan sama sekali. Ditambah dengan pemberian Valacyclovir 500 mg
setiap hari pada penderita awal dapat mengurangi angka penularan hingga 50%.
Pengembangan vaksin untuk HSV adalah pendekatan terbaik untuk pencegahan
infeksi ini.

M. INFEKSI HSV-2 PADA KEADAAN TERTENTU

1. KEHAMILAN

Manifestasi klinis infeksi herpes genialis kronik hampir sama baik pada
wanita hamil maupun tidak hamil, meskipun kehamilan tidak meningkatkan
frekuensi dari rekurensi. Infeksi primer selama kehamilan lebih sering
berhubungan dengan komplikasi seperti penyebaran secara viseral, terutama jika
infeksi didapatkan pada trimester ketiga. Infeksi primer yang didapat saat
kehamilan harus diobati dengan obat-obatan antiviral sistemik.(6)

2. NEONATUS

Infeksi HSV pada neonatus memiliki angka mortalitas sebesar 65% dan
angka disabilitas jangka panjang sebesar 80%, meskipun telah diberikan terapi
antiviral. Lesi kutaneus sering ditemukan. Infeksi kongenital sangat jarang terjadi
dan hanya terjadi jika tertular saat usia kehamilan trimester ketiga, manifestasinya
berupa mikrosefali dan korioretinitis. Penatalaksanaan untuk penyakit ini adalah
asiklovir intravena dosis tinggi (20mg/kgBB setiap 8 jam selama 21 hari).
Penularan yang paling sering adalah pada saat melahirkan, sedangkan kasus
setelah proses kelahiran jarang ditemukan. Bayi yang lahir dari ibu yang sedang
terinfeksi herpes genitalis dengan lesi aktif, harus ditempatkan di ruang isolasi dan
dilakukan kultur virus, pemeriksaan fungsi hati dan pemeriksaan cairan
serebrospinal.(6)
3. HIV/AIDS

Penderita dengan immunocompromised biasanya memiliki gejala yang


lebih berat serta lebih lama pada daerah genital, perianal, atau oral. Lesi yang
disebabkan oleh HSV biasanya bersifat atipik, lebih nyeri, serta lebih berat.
Meskipun terapi antiretroviral bisa menurunkan tingkat keparahan dari infeksi
herpes genital, namun infeksi subklinik tetap dapat terjadi. Pemberian terapi
supresif atau terapi episodik menggunakan agen antivirus oral terbukti efektif
dalam memperingan manifestasi klinik dari HSV yang disertai dengan infeksi
HIV.
DAFTAR PUSTAKA

1. Handoko RP. Herpes Simpleks. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. P.380-2.
2. Marques AR, Straus SE. Herpes Simplex. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. P.1873-85
3. Handsfield HH. Color Atlas & Synopsis of Sexually Transmitted
Diseases. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2011. P.109-31.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Press Release: CDC
Study Finds U.S. Herpes Rates Remains High. Available
at:http://www.cdc.gov/nchhstp/newsroom/2010/hsv2pressrelease.html. Updated
December 26, 2013. Accessed July 3, 2015.
5. Melancon JM. Herpes Simplex. In: Arndt KA, Hsu JTS, Alam M,
Bhatia A, Chilukuri
S. Manual of Dermatologic Therapeutics. 8th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2014. P.150-9.
6. Schiffer JT, Corey L. New Concept in Understanding Genital Herpes.
Curr Infect Dis Rep 2009; 11(6): 457-64.
7. Tronstein E, Johnston C, Huang ML, Selke S, Magaret A, Warren T, et
al. Genital Shedding of Herpes Simplex Virus Among Symptomatic and
Asymptomatic Persons with HSV-2 Infection. JAMA 2011; 305(14): 1441-9.
8. Legoff J, Pere H, Belec L. Diagnosis of Genital Herpes Simplex Virus
Infection in the Clinical Laboratory. Virology Journal 2014; 11: 1-17.
doi:10.1186/1743-422X-11-83.
9. Berger JR, Houff S. Neurological Complications of Herpes Simplex
Virus Type 2 Infection. Arch Neurol 2008; 65(5): 596-600.
10. Ooi C, Zawar V. Hyperaesthesia Following Genital Herpes: A Case
Report. Dermatology Research and Practice 2011. doi:10.1155/2011/903595.
11. Bauer ME, Townsend CA, Doster RS, Fortney KR, Zwicki BW, Katz
BP, et al. A Fibrinogen-Binding Lipoprotein Contributes to the Virulance of
Haemophilus ducreyi in Humans. J Infect Dis 2009; 199(5): 684-92.
12. Sen P, Barton SE. Genital Herpes and It’s Management. BMJ 2007;
334: 1048-52. doi: 10.1136/bmj.39189.504306.55.
13. Patel R, Alderson S, Geretti A, Nilsen A, Foley E, Lautenschlager S, et
al. European Guideline for the Management of Genital Herpes. Int J STD AIDS
2011; 22(1): 1-10. doi: 10.1258/ijsa.2010.010278.

Anda mungkin juga menyukai