Kreativitas Steve Reich Dalam Menciptakan Musik Minimalist
Kreativitas Steve Reich Dalam Menciptakan Musik Minimalist
The listener is invited, not to follow a complex musical “argument”, but to concentrate upon
a slowly changing sound and focus with microscopic awareness on different aspects of it.
Roger Sutherland
A. Pendahuluan
Musik minimalist merupakan salah satu aliran atau style1 musik yang berkembang di
Amerika sekitar pada tahun 1598 hingga 1974, yang identik dengan “pola-pola repetitif”
(mencakup pola ritmik dan penempatan nada/pitch/not), yang dimainkan secara intens hingga
munculnya berbagai dan perubahan (pada satu atau beberapa pola) ”secara perlahan dan
bertahap” (gradual process) pada struktur mikro (cell, motif, dan figure) dan makronya
(form2). Musik minimalis merupakan kebalikan dari musik dodekafon atau (secara sederhana)
musik atonal-nya Arnold Schoenberg yang pada prinsipnya cenderung menghindari pola-pola
repetitif.Mengacu pada “American Minimal Music: La Monte Young, Terry Riley, Steve
Reich, Philip Glass” yang ditulis oleh Mertens (1983), musik minimalist mengacu pada style
Reich dan Philip Glass) merepresentasikan siklus atau perputaran jika dilihat secara
keseluruhan, pola-pola pada bagian awal muncul kembali pada bagian akhir setelah melewati
berbagai perubahan. Musik minimalist “pada umumnya” tidak memiliki melodi yang
1
Sama halnya dengan musik romantik atau avant-garde, “mungkin” sebaiknya jangan dulu diklasifikasikan
menjadi suatu “genre”, karena musik minimalist memiliki atau dapat diaplikasikan ke dalam wujud yang
berbeda-beda meskipun mengacu pada prinsip yang sama.
2
Penulis lebih mengutamakan kata “form” daripada “bentuk” untuk menghindari makna ganda dari kata
“bentuk” tersebut. Definisi “form” (secara sederhana) lebih mengacu pada “bagan” yang lebih besar daripada
frase.
1
ekspresif layaknya sebuah kalimat yang tersusun oleh frase demi frase yang berbeda, pola-
pola didalamnya “cenderung” pendek dan diperpanjang dengan adanya pengulangan. Musik
minimalist juga “cenderung” mengacu pada musik modal atau tidak begitu menunjukan
adanya fungsi, hirarki, dan variasi progresi (perpindahan) chord meskipun hal tersebut
“terdengar” atau mencakup unsur-unsur musik tonal (penggunaan skala diatonis), struktur
dan “robotik”3 atau kaku. Di sisi lain, berbagai pengulangan di dalamnya tersebut
memberikan kesan meditatif atau kontemplatif. Di sisi lain, musik minimalist bersifat
impersonal (khsususnya, bagi Steve Reich dan Philip Glass) atau tidak merepresentasikan
makna simbolik (naratif atau mendramatisir seperti musik era romantik), pemikiran, dan
mana?). Pencapaian estetis lebih diarahkan pada “proses transformatif” yang terbentuk secara
objektif oleh konsep-konsep tertentu yang sifatnya “baku”. Reich dalam karya tulisnya yang
processes. I want to be able to hear the process happening throughout the sounding music”
(Colannino, 2006).
memuali berbagai pengulangan dan perubahan yang bertahap, melainkan juga memiliki nilai-
nilai instristik dan ekstrisik yang menarik untuk dikaji. Sama halnya dengan berbagai jenis
musik lainnya, dibalik wujudnya yang terdengar monoton, musik minimalist memiliki
kekayaannya tersendiri, yang mencakup tehnik penggarapan, material dasar, pemilihan dan
3
Makna robotik tidak berarti mengkesampingkan nilai-nilai estetik di dalamnya.
2
bunyi atau kesan (extramusical) yang diterima para oleh pendengarnya, hal-hal tersebut
pada intinya menunjukan adanya pemikiran, ide, dan proses kreatif yang perlu
para pendengarnya (yang kritis) untuk selalu waspada terhadap berbagai “perubahan”,
keterkaitan antara suatu pola dengan pola lainnya, serta efek bunyi yang dihasilkannya.
Musik minimalist mengajarkan kita (pelaku seni, khususnya komponis) untuk menghargai
Terkait penjelasan di atas, artikel ini membahas ide dan proses kreatif Steve Reich
yang diwujudkan dalam beberapa komposisi musiknya. Reich merupakan salah satu
B. Pembahasan
“It’s Gonna Rain” (1965) merupakan komposisi musik elektronik yang diproduksi
menggunakan tape loop/recorder. Komposisi tersebut berupa rekaman suara seseorang yang
sedang berbicara (lebih tepatnya berorasi), yang kemudian diambil menjadi suatu potongan
kalimat (“It’s gonna rain” pada bagian A dan “Knocking upon the door, let’s showing up,
Alleluia, God, I didn’t see You” pada bagian B). Secara teknis, hasil rekaman tersebut diputar
dan dibagi ke dalam dua (bagian A) hingga delapan (bagian B) channel/jalur. Pada awalnya,
hasil rekaman pada channel pertama (untuk bagian A, istilah yang paling tepat adalah figure)
diputar yang secara berulang-ulang (looping) hingga akhir, kemudian hasil rekaman yang
sama (pada channel kedua) dimunculkan dimana titik putarnya sedikit bergeser dari ketukan
pertama dan terus menjauh secara perlahan (dan terus bermunculan satu perastu hingga
delapan channel pada bagian B) dalam jumlah pengulangan (atau bar, jika hal tersebut
3
dinotasikan) tertentu , hingga bunyinya tersebut menjadi unison (titik putarnya sama) pada
kembali lagi pada ABCDEF, merupakan cyclic structure) dan fade out pada bagian B
B. Tehnik
memiliki wujud yang sama tersebut dikenal dengan istilah phase shifting.
Tabel 2.1. A: Ilustrasi pergeseran figure pada “It’s Gonna Rain”. B: Empat
mpat kemungkian ilusi
kombinasi kata yang terdengar oleh apresiator. (Dokumentasi: Andrew, 2004)
Terlepas
lepas dari pandangan subjektif bahwa komposisi musik tersebut terdengar enak
bertahap” (gradual process) di dalamnya tersebut menghasilkan kombinasi kata yang (secara
subjektif)) terdengar berbeda serta bunyi yang unik, bertumpukan, dan (seolah-olah)
(seolah saling
dan/atau susul-menyusul (seperti canon, dengan durasi yang pendek), baik itu dilihat pada
timbre maupun pola ritmiknya.. Uniknya, tehnik atau fenomena musikal “phase
phase shifting
shifting”
4
“an extension of the idea of infinite canon, or round in medieval
music,in which two or more identical melodies are played, one starts after the
other, as in traditional rounds, but in the phase shifting process the melodies
usually much shorter repeating patterns, an the imitations, instead of being
fixed, are variable.” (Mertens. 1983)
Reich kemudian mengaplikasikan phase shifting pada beberapa karya lainnya secara
kreatif dan menjadi salah satu ciri khasnya dalam proses penciptaan musik minimalist …
“music as gradual process”. “Come Out” (1966) dan “Melodica” (1966) merupakan
komposisi musiknya yang menyerupai “It’s Gonna Rain”. “Come Out” diambil dari suara
seorang remaja yang berkata “I had to, like, open the bruise up and let some the bruise blood
come out to show them”. “Melodica” juga merupakan karya musik elektronik yang
diproduksi menggunakan tape loop/recorder, hanya saja sumber bunyina diambil dari suatu
instrumen musik. “Melodica” merupakan titik awal Reich dalam membuat musik
instrumental.
Terdapat point menarik pada komposisi musik “It’s Gonna Rain” untuk diimitasi
dan/atau diaplikasikan dalam proses kreatif penciptaan komposisi musik (tidak peduli apa itu
genrenya, tetapi khususnya musik film dan experimental). Hal tersebut mengingatkan kembali
dan memberikan pencerahan, rekaman suara manusia (khususnya spoken words) dapat diolah
seemikian rupa dan diaplikasikan menjadi pola iringan, ornamentasi, sound effect, maupun
(“sebagai ciri khas musik minimalist”, dengan atau tanpa adanya phase shifting). Sebagai
contoh, seorang komponis bernama Jacob Ter Velduis mengaplikasikan hal tersebut sebagai
“melodi utama” (yang di-doubling dengan instrumen musik lainnya) pada beberapa
kompleks, variatif, epic, dan sekaligus terdengar “ngepop” atau (subjektifnya) easy listening.
5
Gambar 2.1. Analisis proses phase shifting pada bagian pertama “Piano Phase” dalam wujud
partitur. Segitiga berwarna putih menunjukan not pertama pada suatu figure yang mengalami
pergeseran. (Dokumentasi: Lee, 2010)
Reich mengadopsi konsep atau tehnik phase shifting tersebut pada beberapa
komposisi musik instrumentalnya, contohnya yaitu “Piano Phase” (1967), “Violin Phase”
(1967), dan “Drumming” (1971). Mengenai “Piano Phase”, komposisi tersebut dimainkan
dengan menggunakan dua buah piano, dimana hal tersebut (disadari atau tidak) ditujukan
untuk mempertegas pergeseran pola (figure) secara bertahap di dalamnya dengan kualitas
timbre yang sama. Dilihat dari bentuk keseluruhan komposisi tersebut, Reich hanya
menggunakan enam4 buah not dengan urutan dan pola ritmik yang statis (keseluruhan not di
dalamnya memiliki nilai ketukan yang sama). Uniknya, komposisi tersebut menjadi lebih
sederhana seiring perpindahan bagian (sesuatu yang nyaris luput dari perhatian, karena
musik minimalist identik dengan struktur mikro), dimana figure atau rangkaian not (secara
horizontal) di dalamnya menjadi lebih pendek. Bagian pertama diolah dalam birama 6/4,
4
Sebenarnya, penggunaan 6 buah not (pitch) dapat mengasilkan musik yang tidak minimalist lagi dengan
berbagai kemungkianan arah gerak (horizontal) dan sususan (vertikal) untuk dijadikan motif, figure, kalimat
melodi dan lain-lain, hanya saja Reich mereduksinya dalam bentuk pengulangan-pengulangan dengan wujud
yang nyaris sama.
6
bagian kedua diolah dalam birama 4/4, sedangkan bagian ketiga diolah dalam birama 2/4.
Pada awalnya (pada bagian pertama dan kegita), dua buah piano tersebut digunakan untuk
memainkan figure yang sama secara berulang-ulang. Seiring berjalannya alur, permainan
piano atau urutan not pada figure kedua tersebut mengalami pergeseran dalam jumlah bar
tertentu hingga kembali unison (cyclic structure) mengikuti permainan piano/figure pertama
komposisi musik “Piano Phase” tidak hanya menghasilkan bunyi yang menumpuk, sahut-
auditory illusion atau ilusi pada persepsi pendengaran, yaitu sound localization dan
precedence effect. Perbedaan (dilihat secara vertikal) pola yang dihasilkan proses tersebut
terdengar menyatu dan/atau sulit untuk dibedakan. Di sisi lain (jika kita berkonsentrasi untuk
mendengarkannya), hal tersebut menghasilkan dua buah pola (resulting pattern) yang
berbeda dan berjalan sendiri-sendiri pada wilayah atas dan bawah (khusus pada bagian
pertama). Di samping itu, ketukan pertama dan/atau aksen pada karya tersebut juga
empat buah violin (dimainkan dalam format quartet atau solo dimana tiga violin lainnya
dimainkan menggunakan rekaman audio) yang bentuknya terdiri dari lima bagian. Sedikit
berbeda dengan “Piano Phase”, pengaplikasian phase shifting dalam karya tersebut tidak
mencapai satu putaran penuh (cyclic structure) dan diakhiri dengan unison. Kali ini Reich
5
Hal ini “mungkin” sangat kondisional bagi setiap orang, yang tergantung oleh pada faktor internal (persepsi
pendengaran) dan eksternal (keras lembut tekanan jari anatara dua pemain piano, bentuk ruangan,
kondisi/timbre dan tata letak piano, maupun jarak – posisi antara piano dan pemain – apresiatornya. Dalam
kasus ini, penulis mendengarkan salah satu sampel karya tersebut secara stereo, dimana setiap notnya
memiliki volume yang sama rata (dimainkan oleh virtual instument).
7
Gambar 2.2. Potongan full score “Violin Phase” yang disertai notasi resulting pattern
(Mertens, 1983)
Sama halnya dengan “Piano Phase”, perpaduan antara satu pola dengan pola sejenis
yang mengalami pergeseran akan menghasilkan fenomena interlocking dan pola lain
(resulting pattern) yang bentuknya berbeda (secara subjektif, hal tersebut tergantung pada
fokus pendengaran apresiatornya). Dalam kesempatan ini, Reich memberikan instruksi pada
salah satu performer untuk melakukan doubling pada bagian-bagian tertentu berupa resulting
pattern yang dipersepsikan oleh performer tersebut dengan jumlah pengulangan tertentu.
Reich mengatakan, “Some of these resulting patterns are more noticeable once they are
pointed out. This “pointing out” process is accomplished musically by doubling of these by
pre-existent patterns with the same instrument” (Mertens, 1983). Pada bagian keempat,
komposisi tersebut menjadi semakin kompleks dan figure utamanya terasa menghilang ketika
proses phase shifting dan dubling dilakukan secara bersamaan. Pada bagian kelima, figure
atau pola yang dihasilkan melalui proses phase shifting tersebut dihilangkan dan resulting
8
Terdapat tiga point yang dapat diambil oleh penulis mengenai “Piano Phase” maupun
“Violin Phase”. Pertama, fenomena psychoacoustic yang terbentuk oleh struktur komposisi
tersebut menjadi ide dan pertanyaan tersendiri bagi penulis dalam proses penciptaan musik,
yaitu bagaimana caranya mennjolkan hal tersebut semenarik dan sekreatif mungkin, dalam
merupakan tehnik atau fenomena musikal yang sangat flksibel dan menarik untuk
diaplikasikan dalam berbagai genre, style, tehnik, format, dan medium musik, baik dalam
digunakan secara parsial maupun menyeluruh (dalam konteks musik minimalist), baik
sebagai pola iringan, layer, ornamentasi, harmoni, maupun melodi. Mengacu pada konsep
minimax, secara teknis, phase shifting merupakan (dalam arti, dapat dijadikan) “konsep” atau
“bahan” penciptaan musik yang sifatnya sederhana dan monoton tetapi “dapat” menghasilkan
sesuatu yang kompleks6, maksimal, dan dinamis (tergantung bagaimana cara kita
mengolahnya), terutama untuk mengedepankan timbre, tekstur – kontur, pola ritmik, dan
konsep eclecticism atau polystylism.7 Ketiga, dengan adanya perubahan yang perlahan dan
bertahap (music as gradual process? secara teknis, tidak harus seperti itu) phase shifting
juga dapat digunakan sebagai pendekatan yang efektif, yang ditujukan bagi apresiator awam,
yaitu untuk memahami tehnik pengolahan dan aspek parametris di dalam musik.
pada tahun 1968. Komposisi tersebut terbentuk oleh rangkaian bunyi feedback yang
dihasilkan oleh tiga buah atau lebih microphone dan speaker melalui proses phase shifting.
digantung diatasnya, dan kemudian diayunkan secara bersamaan pada jarak yang sama.
6
Kompleks tidak selalu berarti sulit untuk dipahami atau tidak menarik untuk didengarkan (dalam konteks
“telinga tonal”).
7
Terkait hal tersebut, terkadang kita (komponis dan arranger) merasa (seakan-akan) dituntut untuk berfikir
dan bertindak secara rumit untuk menghasilkan suatu karya yang kompleks dan/atau memiliki beragam variasi
di dalamnya. Padahal, banyak sekali cara yang lebih sederhana untuk mencapai hal tersebut, bahkan kita tidak
harus selalu mencapai itu.
9
Melalui cara tersebut, phase shifting terbentuk dengan sendirinya dimana fenomena tersebut
dapat dipahami melalui ilmu fisika (bagaimana?). Terkait hal tersebut, Reich menyatakan
bahwa musiknya itu bersifat impersonal terlepas dari subjektivitasnya. Reich mengatakan,
“Once the process has been set up it inexorably works itself out” (Mertens, 1983).
dipengaruhi oleh musik non Barat, termasuk Gamelan Bali yang ia pelajari pada masa
perkuliahannya. Uniknya, Reich hanya mengadopsi hal tersebut untuk konstruksi ritmik dan
bentuknya saja, (sejauh daya apresiasi penulis dan didukung sumber tertulis lainnya) ia tidak
menggunakan scale (urutan nada yang mengacu pada interval atau jarak nada tertentu) dan
sistem harmoni diluar konvensi musik Barat, tidak seperti yang dilakukan Colin McPhee
(komponis abad 20) yang mengadopsi laras (scale) musik Bali dan kemudian menghasilkan
persilangan bahasa dan estetika Barat – Timur dalam komposisinya. Meskipun seperti itu,
musinya yang statis dan terdengar meditatif dan ritualistik, terhindar dari berbagai variasi
progresi chord dan pergerakan nada (aspek horizontal), penuh pengulangan dalam durasi
yang panjang, serta banyak menggunakan instrumen berbahan logam (pada karya-karya
berikutnya) menunjukan bahwa ia cukup terpengaruh dengan estetika dan tehnik dalam
musik non-Barat. Terkait hal tersebut, Reich menulis sebuah artikel dalam The New York
Times, ia berpendapat:
One can study the rhythmic structure of non-Western music and let
that study lead one where it will while continuing to use the instruments,
scales, and any other sound one has grown up with. This brings about the
interesting situation of the non-Western influence being there in thinking, but
not in sound. This is a more genuine and interesting form of influence because
while listening one is not necessarily aware of some non-Western music being
imitated. (Schwarz, 2009)
mempelajari African drumming di bawah bimbingan seorang master drummer lokal yang
10
bernama Gideon Alorworye. kemudian mengadopsi hal tersebut dan mengembangkan lebih
jauh konsep minimalism-nya, yaitu pada komposisi musik perkusi yang berjudul
“Drumming” (1971). Komposisi tersebut terbagi menjadi empat bagian dimana tehnik
garapan, penggunaan instrumen, struktur – bentuk, dan alur musiknya lebih kompleks.
Meskipun seperti itu, “Drumming” masih bisa dikategorikan sebagai musik minimalist karena
keseluruhan bentuknya tersebut tetap mengacu pada hal-hal yang sifatnya sangat sederhana,
yaitu pengulangan dan perubahan pola secara bertahap (music as gradual process), phase
adalah pembentukan dan/atau pemadatan pola dengan cara menambahkan beberapa not
dan/atau nilai ketukan pada posisi dan pengulangan tertentu secara bertahap (rhythmic
reduction).
mengaplikasikan tehnik augmentiaton untuk mengkonstruksi pola ritmik dengan birama 6/4
(atau 12/8, ia tidak memunculkan tanda biarama pada partiturnya). Reich hanya
memunculkan satu buah ketukan sehingga setiap barnya terdengar renggang atau memiliki
jeda (tanda diam atau rest), kemudian jumlah ketukan terus bertambah dan bunyinya menjadi
tebal seiring berjalannya alur, kemudian phase shifting dimunculkan ketika pola ritmik
didalamnya menjadi rapat – padat dan mebentuk pola utama/tematik (figure) yang statis
(ostinato). Uniknya, ketukan pertama pada bagian tersebut (sebelum phase shifting)
sebenarnya adalah ketukan ke lima, kemudian posisi “yang seolah-olah” berada pada ketukan
pertama (tesis) tersebut (secara subjektif) “terasa” bergeser seiring bertambahnya jumlah
ketukan dan munculnya bunyi yang bernada rendah maupun tinggi. Ketika proses phase
shifting tersebut sedang berlangsung, Reich memunculkan figure tambahan dengan pola
ritmik yang berbeda dan diulang-ulang pada bagian-bagian tertentu sehingga figure utama
11
maupun yang terbentuk oleh phase shifting itu sendiri (secara subjektif) terdengar menyatu
dan/atau sulit untuk dibedakan. Reich memunculkan juga beberapa figure tambahan pada
bagian-bagian lainnya. pada bagian kedua dimunculkan dengan menggunakan vocal wanita
untuk mengimitasi bunyi instrumen dengan kata bou dan dou, sedangkan pada bagian ketiga
Gamabr 2.3. Potongan full score “Drumming” yang mengilustrasikan adanya proses
augmentation pada bagian pertama (Mertens, 1983)
yaitu proses perpindahan timbre (warna bunyi/suara) antara dua (atau lebih)
instrumen/medium yang berbeda jenis dengan bertahap dan mangacu pada pola permainan
yang sama. Reich menghubungkan bagian pertama, kedua, dan ketiga pada komposisi
tersebut dengan menggunakan beberapa instrumen lain (yang berperan pada bagian
12
berikutnya) yang jenis dan timbre-nya berbeda dengan menggunakan tehnik fade in dan fade
out pada pola repetitif di dalamnya. Bagian pertama yang didominasi oleh empat pasang
bongo dihubungkan dan selanjutnya diganti dengan menggunakan tiga buah marimba, bagian
kedua yang didominasi oleh marimba dihubungkan dan selanjutnya diganti dengan
dimunculkan secara bersamaan pada bagian akhir komposisi tersebut yang struktur – bentuk
“Clapping Music” (1972). Komposisi tersebut berupa pola ritmik sederhana dalam birama
12/8 yang dimainkan dengan cara bertepuk tangan (body percussion) oleh dua orang
performer, yang kemudian dipecah ke dalam dua jalur mengikuti dua belas tahap phase
shifting (12 pengulangan bar x 12 pergeseran pola ritmik). Komposisi tersebut sangat
menyerupai “Piano Phase” yang di dalamnya terdapat cyclic structure (diawali dan diakhiri
dengan unison, khususnya pada bagian pertama), hanya saja di dalam konstruksi ritmiknya
terdapat tanda diam (rest). Dengan adanya tanda tersebut, fenomena interlocking di dalamnya
tersebut menjadi dominan, yaitu berupa bunyi yang saling bertautan. bersahut-sahutan, dan
susul menyusul. Disamping itu, komposisi tersebut terdengar ganjil dan perpaduan pola
ritmik di dalamnya (secara subjektif) sulit untuk diikuti atau dipecah melalui analisis secara
auditif.
“Clapping Music” merupakan komposisi yang paling minimalist dan esensial (music
tersebut menunjukan suatu kelebihan di balik kesederhaan konsep phase shiting, yaitu dapat
Music” merupakan salah satu referensi karya yang paling mudah untuk diimitasi (dalam
konteks penciptaan) serta dijelaskan dan diaplikasikan secara langsung (dalam konteks
13
pendidikan) untuk memperkenalkan dan memahami musik minimalist. Komposisi
omposisi tersebut
mengingatkan kembali bahwa tubuh manusia merupakan salah satu medium alternatif untuk
perkusif.
Kreativitas Steve Reich dalam mengembangkan musik minimalist dapat dilihat pada
menjadi tiga bagian (6/4, 4/4, dan 3/4) dan dimainkan menggunakan lima pasang clave
dengan nada/picth yang berbeda (A, B, C#, D#, dan D# bagian atas/8va).
atas Pada bagian
pertama, komposisii tersebut pada awalnya dikonstruksi oleh dua buah pola ritmik (figure)
yang dimainkan
mainkan secara terus menerus (ostinato)
( membentuk frame atau pola iringan
iringan, figure A
berupa ketukan menyerupai metronome menggunakan clave bernada D# 8va (berbunyi pada
dimainkan dengan menggunakan clave bernada B menyerupai basic figure pada “Clapping
“
clave bernada A dengan konsep atau tehnik augmentation,, yaitu dimulai dari satu buah
14
(mengikuti suatu jumlah bar), dan kemudian jumlah ketukannya bertambah secara bertahap
hingga menjadi suatu pola ritmik yang utuh, menyerupai figure B dengan posisi yang
bergeser.
dengan clave bernada C#) dimunculkan dengan tehnik yang sama dan hasil akhir yang pola
bernada D#) dimunculkan dengan tehnik yang sama tetapi hasil akhirnya menyerupai figure
B. Pada tahap terakhir atau jembatan menuju bagian berikutnya, figure C dan D dimainkan
secara homofon yang pola ritmiknya menyerupai figure B dan E, sehingga strukturnya
“hampir” kembali seperti semula. Secara praktis, konsep atau tehnik augmentation pada
bagian pertama tersebut kembali diaplikasian pada bagian kedua dan ketiga dimana memiliki
shifting dalam penciptaan komposisi musiknya. kali ini Reich lebih berkonsentrasi dan pada
tehnik augmentation, diminution, konstruksi ritmik, dan kualitas bunyi. Disamping itu, Reich
lebih “melibatkan diri” untuk merekayasa dan melengkapi jalannya alur, dimana bentuk
musik tidak lagi tercipta dengan sendirinya. Terkait hal tersebut, Reich mengaplikasikan hal-
hal tersebut pada dua komposisi musiknya, yaitu dan “Music for Mallet Instruments, Voices,
Mengenai “Music for Mallet Instruments, Voices, and Organ” (1973), meskipun tetap
mengacu pada tehnik pengolahan yang sederhana, struktur (susunan – pergerakan nada dan
pola ritmik), alur – bentuk, dan penempatan berbagai instrumen di dalamnya tersebut
“terdengar” lebih kompleks dan variatif, serta detail, pembagian, dan hubungan antar polanya
sulit untuk diurai, diprediksi, atau diikuti. Secara auditif, Beberapa pola di dalamnya
15
memiliki jalurnya sendiri tetapi begitu menyatu dan saling mengecoh. Terkait hal tersebut,
Smith dalam “Minimalism and Time: The Perception of Temporality in American Minimalist
Gambar 2.5. Potongan full score “Music for Mallet Instruments, Voices, and Organ” pada
bagian pertama (Dokumentasi: Mertens, 1983)
“Music for Mallet Instruments, Voices, and Organ” terbagi dalam emat bagian yang
secara keseluruhan membentuk musik modal (sederhananya, musik yang pusat dan susunan
nadanya mengacu pada scale tertentu). Bagian pertama menggunakan F dorian scale dengan
birama (3/4 x 2), bagian kedua menggunakan A dorian (2/4 x 2), bagian kegita menggunakan
B aeolian scale (natural minor, 3/4 x 2), dan bagian ke empat menggunakan A mixolidyan
scale (3/4 x 2) membentuk dominant sevent chord yang seakan-akan berada pada tingkat
kelima dalam hirarki harmoni tonal (dalam konvensi musik Barat, hal tersebut sering
digunakan sebagai jembatan untuk mengakhiri suatu kalimat dan bentuk musik).
16
Setiap bagian pada komposisi tersebut hampir menyerupai “Music for Pieces of
Wood”, yaitu diawali dengan dua buah figure (figure A dan B) yang dimainkan secara
berulang-ulang dan kemudian disusul figure lainnya (figure C) yang dibentuk secara bertahap
yaitu berupa dua buah chord (cadential atau memiliki hubungan harmoni) yang nilai ketukan
(bergerak turun) dan tiga buah marimba (bergerak naik, lebih dominan) berupa pola perkusif,
sedangkan figure C dimainkan menggunakan marimba lainnya yang pola ritmik dan urutan
ketukan atau bunyi dalam figure A, yaitu berupa pelebaran atau perpanjangan durasi. Hal
tersebut menghasilkan ilusi pada pendengaran, metris atau hitungan mengenai kesatuan irama
– birama di dalamnya (secara subjektif) menjadi berubah, ketukan pertama (tesis) pada setiap
bar atau pengulangan tertentu menjadi sulit untuk ditemukan, terlebih chord kadensial di
dalamnya yang “terasa” harus selesai pada ketukan tertentu membuat komposisi tersebut
semakin ganjil. Di sisi lain, tahapan tersebut menjadi lebih kompleks ketika Reich
menambahkan figure-figure lainnya yang silih berganti dengan pola ritmik dan pergerakan
Reich kembali menyederhanakan struktur musik pada setiap akhir bagian. Figure
tambahan tidak lagi dimunculkan, marimba yang memainkan figure C memainkan figure B
(unison), dan nilai ketukan atau durasi bunyi pada figure B kembali dipersempit atau
diperpendek secara bertahap. Secara garis besar, setiap bagian pada “Music for Mallet
17
keseimbangan bentuk dan alur yang dinamis (dalam konteks musik minimalist yang
Gambar 2.6. Potongan full score “Six Pianos” pada bagian pertama
(Dokumentasi: Mertens, 1983)
Struktur, bentuk, dan alur pada “Six Pianos” (1973) hampir menyerupai (dan digarap
sebelum) “Music for Mallet Instruments, Voices, and Organ”, hanya saja di dalamnya tidak
ada figure yang durasinya diperpanjang maupun diperpendek. Tiga bagian dalam komposisi
tersebut dimulai dengan suatu figure berupa pola iringan atau comping yang pergerakannya
terdengar zigzag (pada bagian pertama, dimainkan dengan piano ke-1, 2, 3, dan 6 yang
susunan nadanya berbeda tetapi pola ritmiknya sama dan dianggap sebagai suatu kesatuan),
kemudian disusul oleh figure lainnya (dimainkan dengan piano ke-4 dan 5) yang dibangun
secara bertahap menggunakan tehnik augmentation, yaitu berupa syncope atau penekanan
18
pada ketukan lemah hingga membentuk pola comping yang wujudnya menyerupai figure
utama dengan posisi yang bergeser (out of synch). Dua figure tersebut menghasilkan suatu
kesatuan dimana stuktur – bentuknya menyerupai hasil dari phase shifting. Sebagai contoh,
pada bagian pertama, susunan not pada ketukan kesatu dalam figure utama berada pada
ketukan keempat dalam figure lainnya. Setelah melalui proses augmentation, Reich
menambahkan beberapa figure lain (secara bergiliran) yang strukturnya berbeda, muncul
Aspek musikal yang menarik pada “Six Piano” yaitu penggunaan dan permainan
enam buah piano “secara perkusif”, yang saling mengisi dan membentuk fenomena
interlocking dengan harmoni yang cukup kompleks tetapi bunyi yang dihasilkannya tidak
berbenturan. Di samping itu, Reich mengolah gradasi komposisi tersebut dengan cara
menaikan dan menurunkan dinamika suatu figure secara bertahap (fade in dan fade out).
Secara singkat, “Six Piano” lebih menonjolkan timbre dan kompleksitas harmoni, “Music for
Pieces of Wood” lebih menonjolkan konstruksi ritmik dan konsep atau tehnik augmentation
itu sendiri, sedangkan “Music for Mallet Instruments, Voices, and Organ” menonjolkan
beberapa aspek parametris (timbre, dinamika, pitch, durasi atau pola ritmik, dan form) secara
seimbang dan beberapa figure terdengar lebih melodis. Meskipun wujudnya begitu kompleks,
ketiga komposisi tersebut pada intinya tetap mengacu pada konsep dan tehnik penciptaan
yang sederhana serta aspek minimalist lainnya tetap menonjol, yaitu berupa pengulangan,
not/nada/pitch dengan pola-pola yang memiliki kemiripan. Terkai hal tersebut, tiga komposisi
yang diciptakan Reich pada tahun 1973 merupakan akhir dari musik minimalist (?) dalam
“In early 1973 Reich completed Six Pianos and Music for Mallet
Instruments, Voices and Organ, the last of his truly minimalist works. Between
1974 and 1976 he composed Music for Eighteen Musicians, a large-scale
19
piece which was to form the transition between his minimalist music and his
subsequent style which was more tonally complex and directional.” (Smith,
2001)
Sebagai informasi tambahan, Steve Reich dan tiga komponis musik minimalist asal
Amerika lainnya (La Monte Young, Terry Riley, dan Philip Glass) mulai mengembangkan
tehnik penciptaan musiknya dengan lebih fleksibel pada tahun 1973. Melalui proses tersebut,
Reich menghasilkan berbagai komposisi musik “postminimalist” yang lebih dinamis, tetapi
ia tetap mempertahankan berbagai pengulangan dan bentuk yang dikontruksi secara bertahap.
Mengacu pada penelitian Dmitri Cervo dalam “The Interaction of Linear and Vertical Time
in Minimalist and Postminimalist Piano Music” yang ditulis oleh Richard Andrew Lee
1. Musik postminimalist tetap mengacu pada tehnik penciptaan, style, dan estetika musik
2. Musik postminimalist ditandai dengan adanya suatu kalimat melodi (lebih dari
sekedar motif dan figure) yang memiliki peranan penting dan terdengar lebih
3. Musik postminimalist terdiri dari beberapa movement yang kontras dan memiliki
siginifikan, meskipun hal tersebut sudah tampak pada “Music for Mallet Instruments,
“cenderung” mengacu pada sistem harmoni tonal dan terdengar konsonan (nada-nadanya
tidak bertegangan, atau sederhananya … sumbang (menurut telinga tonal)), terbentuk oleh
20
pulse8 yang intens, dimainkan dalam format chamber campuran dan menghasilkan perpaduan
timbre yang tidak konvensional (pada zamannya), memiliki struktur yang lebih variatif, serta
memiliki durasi yang lebih pendek (sekitar 15 menit) dari musik minimalist (antara 70 hingga
120 menit, tetapi beberapa komposisi musik minimalist Reich tidak seperti itu) (Lee, 2010).
Mengacu pada ciri-ciri tersebut, musik minimalist dan postminimalist tidak memperlihatkan
perbedaan yang signifikan, dan bisa saja suatu karya minimalist juga memuat ciri-ciri
postminimalist, hal tersebut hanya dapat dipahami secara mendalam melalui proses
merupakan perkembangan dari musik minimalist yang wujdunya lebih variatif dan tampak
C. Kesimpulan
ide dan proses yang sangat kreatif dan out of the box, yang membuatnya menjadi salah satu
maverick yang fenomenal dalam catatan sejarah musik Barat pada abad ke-20. Sedikit
gunakan sebagai pijakan atau dalam menciptakan suatu karya musik), dimulai dari suatu
menjadi sesuatu yang maksimal (dalam sudut pandang penulis). Di samping itu,
komposisi-komposisi yang tidak lagi minimalist (yang akan dibahas pada kesempatan lain),
8
“Sederhananya”, pulse merupakan pola repetitif, yang terbentuk oleh pola ritmik atau rangkaian not
(horizontal) yang nilai ketukan/hitungannya sama (dan cenderung rapat) dalam tempo yang stabil (dan
cenderung cepat).
21
Membiacarakan kreativitas tentunya terasa tidak kreatif jika tidak ada point penting
yang dapat diambil untuk proses kreatif lainnya. Kreativitas Reich cukup menginspirasi
penulis untuk mengembangkan dan memperkaya ide penciptaan musik. Hal-hal tersebut
dapat diaplikasikan pada pola iringan, sistem harmoni, layer, ornamentasi, sound effect,
Music”).
menghasilkan suatu perubahan yang bertahap dan intens ataupun untuk mencapai
efek/kesan tertentu.
4. penggunaan dan pengolahan hasil rekaman bunyi yang diambil dari berbagai sumber
yang tidak konvensional, khususnya suara manusia (spoken words dan lain-lain diluar
aktivitas bernyanyi) yang memiliki berbagai timbre. (mengacu pada “It’s Gonna
Rain”)
menciptakan ilusi pada persepsi pendengaran. (mengacu pada “Piano Phase” dan
“Violin Phase”)
6. Permainan piano yang mengedepankan aspek perkusif dan penggunaannya lebih dari
satu buah untuk menghasilkan struktur dan timbre yang padat. (mengacu pada “Six
Piano”)
22
D. Daftar Sumber
1. Mertens, Wim. 1983. American Minimal Music: La Monte Young, Terry Riley, Steve
2. K. Schwarz, Robert. 2009. “Steve Reich: Music as a gradual process Part II”. Jurnal:
Perspectives of New Music, Vol. 20 No. 1/2 (autumn, 1981 – summer, 1982): 225-286
3. Paul Smith, Andrew. 2004. Minimalism and Time: The Perception of Temporality in
(http://etheses.dur.ac.uk/29/80/)
4. Andrew Lee, Richard. 2010. The Interaction of Linear and Vertical Time in
Missouri.
5. Marie Doran Eaton, Rebbeca. 2008. Unheard Minimalism: The Function of the
Clapping Music and The Yoruba Bell Timeline. Jurnal: Perspectives of New Music.
23