Anda di halaman 1dari 23

Kreativitas Steve Reich dalam Menciptakan Musik Minimalist

The listener is invited, not to follow a complex musical “argument”, but to concentrate upon
a slowly changing sound and focus with microscopic awareness on different aspects of it.
Roger Sutherland

A. Pendahuluan

Musik minimalist merupakan salah satu aliran atau style1 musik yang berkembang di

Amerika sekitar pada tahun 1598 hingga 1974, yang identik dengan “pola-pola repetitif”

(mencakup pola ritmik dan penempatan nada/pitch/not), yang dimainkan secara intens hingga

munculnya berbagai dan perubahan (pada satu atau beberapa pola) ”secara perlahan dan

bertahap” (gradual process) pada struktur mikro (cell, motif, dan figure) dan makronya

(form2). Musik minimalis merupakan kebalikan dari musik dodekafon atau (secara sederhana)

musik atonal-nya Arnold Schoenberg yang pada prinsipnya cenderung menghindari pola-pola

repetitif.Mengacu pada “American Minimal Music: La Monte Young, Terry Riley, Steve

Reich, Philip Glass” yang ditulis oleh Mertens (1983), musik minimalist mengacu pada style

empat komponis yang mempeloporinya, yaitu mengenai tehnik penciptaan dan

pengaplikasian unsur-unsur musik “secara terbatas” dan tentunya sangat ekstrim.

“Beberapa” komposisi musik minimalist (khsususnya yang diciptakan oleh Steve

Reich dan Philip Glass) merepresentasikan siklus atau perputaran jika dilihat secara

keseluruhan, pola-pola pada bagian awal muncul kembali pada bagian akhir setelah melewati

berbagai perubahan. Musik minimalist “pada umumnya” tidak memiliki melodi yang

1
Sama halnya dengan musik romantik atau avant-garde, “mungkin” sebaiknya jangan dulu diklasifikasikan
menjadi suatu “genre”, karena musik minimalist memiliki atau dapat diaplikasikan ke dalam wujud yang
berbeda-beda meskipun mengacu pada prinsip yang sama.
2
Penulis lebih mengutamakan kata “form” daripada “bentuk” untuk menghindari makna ganda dari kata
“bentuk” tersebut. Definisi “form” (secara sederhana) lebih mengacu pada “bagan” yang lebih besar daripada
frase.

1
ekspresif layaknya sebuah kalimat yang tersusun oleh frase demi frase yang berbeda, pola-

pola didalamnya “cenderung” pendek dan diperpanjang dengan adanya pengulangan. Musik

minimalist juga “cenderung” mengacu pada musik modal atau tidak begitu menunjukan

adanya fungsi, hirarki, dan variasi progresi (perpindahan) chord meskipun hal tersebut

“terdengar” atau mencakup unsur-unsur musik tonal (penggunaan skala diatonis), struktur

harmoni di dalamnya “cenderung” statis.

Musik minimalist pada umumnya terdengar matematis, sistematis, ssecara ritmikal,

dan “robotik”3 atau kaku. Di sisi lain, berbagai pengulangan di dalamnya tersebut

menimbulkan fenomena psycho-acoustic yang memberikan kenikmatan tersendiri, yaitu

memberikan kesan meditatif atau kontemplatif. Di sisi lain, musik minimalist bersifat

impersonal (khsususnya, bagi Steve Reich dan Philip Glass) atau tidak merepresentasikan

makna simbolik (naratif atau mendramatisir seperti musik era romantik), pemikiran, dan

emosi penciptanya (termasuk pertimbangan estetika? Komposisi musik minimalist yang

mana?). Pencapaian estetis lebih diarahkan pada “proses transformatif” yang terbentuk secara

objektif oleh konsep-konsep tertentu yang sifatnya “baku”. Reich dalam karya tulisnya yang

berjudul “Music as Gradual Process” mengungkapkan, “I am interested in perceptible

processes. I want to be able to hear the process happening throughout the sounding music”

(Colannino, 2006).

Musik minimalist tidak hanya sebatas menunjukan “kesederhanaan” yang diwujdukan

memuali berbagai pengulangan dan perubahan yang bertahap, melainkan juga memiliki nilai-

nilai instristik dan ekstrisik yang menarik untuk dikaji. Sama halnya dengan berbagai jenis

musik lainnya, dibalik wujudnya yang terdengar monoton, musik minimalist memiliki

kekayaannya tersendiri, yang mencakup tehnik penggarapan, material dasar, pemilihan dan

penempatan instrumen, strukur – bentuk, motion – intensitas – kompleksitas, maupun efek

3
Makna robotik tidak berarti mengkesampingkan nilai-nilai estetik di dalamnya.

2
bunyi atau kesan (extramusical) yang diterima para oleh pendengarnya, hal-hal tersebut

pada intinya menunjukan adanya pemikiran, ide, dan proses kreatif yang perlu

diapresiasi. “Khusus mengenai karya-karyanya Steve Reich”, musik minimalist mengajak

para pendengarnya (yang kritis) untuk selalu waspada terhadap berbagai “perubahan”,

keterkaitan antara suatu pola dengan pola lainnya, serta efek bunyi yang dihasilkannya.

Musik minimalist mengajarkan kita (pelaku seni, khususnya komponis) untuk menghargai

berbagai hal-hal kecil, mengembangkan, dan memodifikasinya dalam berbagai kemungkinan.

Terkait penjelasan di atas, artikel ini membahas ide dan proses kreatif Steve Reich

yang diwujudkan dalam beberapa komposisi musiknya. Reich merupakan salah satu

komponis berkebangsaan Amerika yang mempelopori musik minimalist yang cukup

menginspirasi penulis dalam proses penciptaan musik.

B. Pembahasan

“It’s Gonna Rain” (1965) merupakan komposisi musik elektronik yang diproduksi

menggunakan tape loop/recorder. Komposisi tersebut berupa rekaman suara seseorang yang

sedang berbicara (lebih tepatnya berorasi), yang kemudian diambil menjadi suatu potongan

kalimat (“It’s gonna rain” pada bagian A dan “Knocking upon the door, let’s showing up,

Alleluia, God, I didn’t see You” pada bagian B). Secara teknis, hasil rekaman tersebut diputar

dan dibagi ke dalam dua (bagian A) hingga delapan (bagian B) channel/jalur. Pada awalnya,

hasil rekaman pada channel pertama (untuk bagian A, istilah yang paling tepat adalah figure)

diputar yang secara berulang-ulang (looping) hingga akhir, kemudian hasil rekaman yang

sama (pada channel kedua) dimunculkan dimana titik putarnya sedikit bergeser dari ketukan

pertama dan terus menjauh secara perlahan (dan terus bermunculan satu perastu hingga

delapan channel pada bagian B) dalam jumlah pengulangan (atau bar, jika hal tersebut

3
dinotasikan) tertentu , hingga bunyinya tersebut menjadi unison (titik putarnya sama) pada

akhir bagian A (analoginya,


analoginya, dari ABCDEF, BCDEFA, CDEFAB, dan seterusnya, lalu

kembali lagi pada ABCDEF, merupakan cyclic structure) dan fade out pada bagian B
B. Tehnik

atau “proses” bergesernya


ernya ketukan pertama atau titik putar pada dua (atau lebih) pola yang

memiliki wujud yang sama tersebut dikenal dengan istilah phase shifting.

Tabel 2.1. A: Ilustrasi pergeseran figure pada “It’s Gonna Rain”. B: Empat
mpat kemungkian ilusi
kombinasi kata yang terdengar oleh apresiator. (Dokumentasi: Andrew, 2004)

Terlepas
lepas dari pandangan subjektif bahwa komposisi musik tersebut terdengar enak

atau tidak enak (khususnya, terdengar monoton), adanya “proses


roses yang terjadi secara

bertahap” (gradual process) di dalamnya tersebut menghasilkan kombinasi kata yang (secara

subjektif)) terdengar berbeda serta bunyi yang unik, bertumpukan, dan (seolah-olah)
(seolah saling

melawan, bersahut-sahutan (interlockin


interlocking, bagian B terdengar seperti delay hingga noise)

dan/atau susul-menyusul (seperti canon, dengan durasi yang pendek), baik itu dilihat pada

timbre maupun pola ritmiknya.. Uniknya, tehnik atau fenomena musikal “phase
phase shifting
shifting”

tersebut ditemukan secara tidak


idak sengaja ketika Reich bereksperimen menggunakan tape

loop/recorder. Reich mengatakan:

4
“an extension of the idea of infinite canon, or round in medieval
music,in which two or more identical melodies are played, one starts after the
other, as in traditional rounds, but in the phase shifting process the melodies
usually much shorter repeating patterns, an the imitations, instead of being
fixed, are variable.” (Mertens. 1983)

Reich kemudian mengaplikasikan phase shifting pada beberapa karya lainnya secara

kreatif dan menjadi salah satu ciri khasnya dalam proses penciptaan musik minimalist …

“music as gradual process”. “Come Out” (1966) dan “Melodica” (1966) merupakan

komposisi musiknya yang menyerupai “It’s Gonna Rain”. “Come Out” diambil dari suara

seorang remaja yang berkata “I had to, like, open the bruise up and let some the bruise blood

come out to show them”. “Melodica” juga merupakan karya musik elektronik yang

diproduksi menggunakan tape loop/recorder, hanya saja sumber bunyina diambil dari suatu

instrumen musik. “Melodica” merupakan titik awal Reich dalam membuat musik

instrumental.

Terdapat point menarik pada komposisi musik “It’s Gonna Rain” untuk diimitasi

dan/atau diaplikasikan dalam proses kreatif penciptaan komposisi musik (tidak peduli apa itu

genrenya, tetapi khususnya musik film dan experimental). Hal tersebut mengingatkan kembali

dan memberikan pencerahan, rekaman suara manusia (khususnya spoken words) dapat diolah

seemikian rupa dan diaplikasikan menjadi pola iringan, ornamentasi, sound effect, maupun

(dikombinasikan dengan) melodi utama, yaitu dimainkan/diputar secara berulang-ulang

(“sebagai ciri khas musik minimalist”, dengan atau tanpa adanya phase shifting). Sebagai

contoh, seorang komponis bernama Jacob Ter Velduis mengaplikasikan hal tersebut sebagai

“melodi utama” (yang di-doubling dengan instrumen musik lainnya) pada beberapa

komposisi musik eksperimentalnya (bukan musik minimalist) dengan sangat menarik,

kompleks, variatif, epic, dan sekaligus terdengar “ngepop” atau (subjektifnya) easy listening.

5
Gambar 2.1. Analisis proses phase shifting pada bagian pertama “Piano Phase” dalam wujud
partitur. Segitiga berwarna putih menunjukan not pertama pada suatu figure yang mengalami
pergeseran. (Dokumentasi: Lee, 2010)

Reich mengadopsi konsep atau tehnik phase shifting tersebut pada beberapa

komposisi musik instrumentalnya, contohnya yaitu “Piano Phase” (1967), “Violin Phase”

(1967), dan “Drumming” (1971). Mengenai “Piano Phase”, komposisi tersebut dimainkan

dengan menggunakan dua buah piano, dimana hal tersebut (disadari atau tidak) ditujukan

untuk mempertegas pergeseran pola (figure) secara bertahap di dalamnya dengan kualitas

timbre yang sama. Dilihat dari bentuk keseluruhan komposisi tersebut, Reich hanya

menggunakan enam4 buah not dengan urutan dan pola ritmik yang statis (keseluruhan not di

dalamnya memiliki nilai ketukan yang sama). Uniknya, komposisi tersebut menjadi lebih

sederhana seiring perpindahan bagian (sesuatu yang nyaris luput dari perhatian, karena

musik minimalist identik dengan struktur mikro), dimana figure atau rangkaian not (secara

horizontal) di dalamnya menjadi lebih pendek. Bagian pertama diolah dalam birama 6/4,

4
Sebenarnya, penggunaan 6 buah not (pitch) dapat mengasilkan musik yang tidak minimalist lagi dengan
berbagai kemungkianan arah gerak (horizontal) dan sususan (vertikal) untuk dijadikan motif, figure, kalimat
melodi dan lain-lain, hanya saja Reich mereduksinya dalam bentuk pengulangan-pengulangan dengan wujud
yang nyaris sama.

6
bagian kedua diolah dalam birama 4/4, sedangkan bagian ketiga diolah dalam birama 2/4.

Pada awalnya (pada bagian pertama dan kegita), dua buah piano tersebut digunakan untuk

memainkan figure yang sama secara berulang-ulang. Seiring berjalannya alur, permainan

piano atau urutan not pada figure kedua tersebut mengalami pergeseran dalam jumlah bar

tertentu hingga kembali unison (cyclic structure) mengikuti permainan piano/figure pertama

yang tidak memiliki perubahan apapun hingga akhir.

Hal menarinya, pengaplikasian “phase shifting” atau “gradual Process” pada

komposisi musik “Piano Phase” tidak hanya menghasilkan bunyi yang menumpuk, sahut-

menyahut, dan susul-menysusul, tetapi juga menghasilkan fenomena psychoacoustic berupa

auditory illusion atau ilusi pada persepsi pendengaran, yaitu sound localization dan

precedence effect. Perbedaan (dilihat secara vertikal) pola yang dihasilkan proses tersebut

terdengar menyatu dan/atau sulit untuk dibedakan. Di sisi lain (jika kita berkonsentrasi untuk

mendengarkannya), hal tersebut menghasilkan dua buah pola (resulting pattern) yang

berbeda dan berjalan sendiri-sendiri pada wilayah atas dan bawah (khusus pada bagian

pertama). Di samping itu, ketukan pertama dan/atau aksen pada karya tersebut juga

“terdengar” ikut bergeser pada ketukan tertentu.5

“Violin Phase” (1967) merupakan komposisi musik yang dimainkan menggunakan

empat buah violin (dimainkan dalam format quartet atau solo dimana tiga violin lainnya

dimainkan menggunakan rekaman audio) yang bentuknya terdiri dari lima bagian. Sedikit

berbeda dengan “Piano Phase”, pengaplikasian phase shifting dalam karya tersebut tidak

mencapai satu putaran penuh (cyclic structure) dan diakhiri dengan unison. Kali ini Reich

lebih berupaya untuk menonjolkan fenomena psychoacoustic.

5
Hal ini “mungkin” sangat kondisional bagi setiap orang, yang tergantung oleh pada faktor internal (persepsi
pendengaran) dan eksternal (keras lembut tekanan jari anatara dua pemain piano, bentuk ruangan,
kondisi/timbre dan tata letak piano, maupun jarak – posisi antara piano dan pemain – apresiatornya. Dalam
kasus ini, penulis mendengarkan salah satu sampel karya tersebut secara stereo, dimana setiap notnya
memiliki volume yang sama rata (dimainkan oleh virtual instument).

7
Gambar 2.2. Potongan full score “Violin Phase” yang disertai notasi resulting pattern
(Mertens, 1983)

Sama halnya dengan “Piano Phase”, perpaduan antara satu pola dengan pola sejenis

yang mengalami pergeseran akan menghasilkan fenomena interlocking dan pola lain

(resulting pattern) yang bentuknya berbeda (secara subjektif, hal tersebut tergantung pada

fokus pendengaran apresiatornya). Dalam kesempatan ini, Reich memberikan instruksi pada

salah satu performer untuk melakukan doubling pada bagian-bagian tertentu berupa resulting

pattern yang dipersepsikan oleh performer tersebut dengan jumlah pengulangan tertentu.

Reich mengatakan, “Some of these resulting patterns are more noticeable once they are

pointed out. This “pointing out” process is accomplished musically by doubling of these by

pre-existent patterns with the same instrument” (Mertens, 1983). Pada bagian keempat,

komposisi tersebut menjadi semakin kompleks dan figure utamanya terasa menghilang ketika

proses phase shifting dan dubling dilakukan secara bersamaan. Pada bagian kelima, figure

atau pola yang dihasilkan melalui proses phase shifting tersebut dihilangkan dan resulting

pattern yang muncul pada bagian tersebut dipertahankan.

8
Terdapat tiga point yang dapat diambil oleh penulis mengenai “Piano Phase” maupun

“Violin Phase”. Pertama, fenomena psychoacoustic yang terbentuk oleh struktur komposisi

tersebut menjadi ide dan pertanyaan tersendiri bagi penulis dalam proses penciptaan musik,

yaitu bagaimana caranya mennjolkan hal tersebut semenarik dan sekreatif mungkin, dalam

rangka “mempermainkan” persepsi pendengaran para apresiator. Kedua, phase shifting

merupakan tehnik atau fenomena musikal yang sangat flksibel dan menarik untuk

diaplikasikan dalam berbagai genre, style, tehnik, format, dan medium musik, baik dalam

digunakan secara parsial maupun menyeluruh (dalam konteks musik minimalist), baik

sebagai pola iringan, layer, ornamentasi, harmoni, maupun melodi. Mengacu pada konsep

minimax, secara teknis, phase shifting merupakan (dalam arti, dapat dijadikan) “konsep” atau

“bahan” penciptaan musik yang sifatnya sederhana dan monoton tetapi “dapat” menghasilkan

sesuatu yang kompleks6, maksimal, dan dinamis (tergantung bagaimana cara kita

mengolahnya), terutama untuk mengedepankan timbre, tekstur – kontur, pola ritmik, dan

konsep eclecticism atau polystylism.7 Ketiga, dengan adanya perubahan yang perlahan dan

bertahap (music as gradual process? secara teknis, tidak harus seperti itu) phase shifting

juga dapat digunakan sebagai pendekatan yang efektif, yang ditujukan bagi apresiator awam,

yaitu untuk memahami tehnik pengolahan dan aspek parametris di dalam musik.

Reich menciptakan komposisi musik fenomenal lainnnya berjudul “Pendulum Music”

pada tahun 1968. Komposisi tersebut terbentuk oleh rangkaian bunyi feedback yang

dihasilkan oleh tiga buah atau lebih microphone dan speaker melalui proses phase shifting.

Secara teknis, beberapa microphone tersebut diposisikan berhadapan dengan speaker,

digantung diatasnya, dan kemudian diayunkan secara bersamaan pada jarak yang sama.

6
Kompleks tidak selalu berarti sulit untuk dipahami atau tidak menarik untuk didengarkan (dalam konteks
“telinga tonal”).
7
Terkait hal tersebut, terkadang kita (komponis dan arranger) merasa (seakan-akan) dituntut untuk berfikir
dan bertindak secara rumit untuk menghasilkan suatu karya yang kompleks dan/atau memiliki beragam variasi
di dalamnya. Padahal, banyak sekali cara yang lebih sederhana untuk mencapai hal tersebut, bahkan kita tidak
harus selalu mencapai itu.

9
Melalui cara tersebut, phase shifting terbentuk dengan sendirinya dimana fenomena tersebut

dapat dipahami melalui ilmu fisika (bagaimana?). Terkait hal tersebut, Reich menyatakan

bahwa musiknya itu bersifat impersonal terlepas dari subjektivitasnya. Reich mengatakan,

“Once the process has been set up it inexorably works itself out” (Mertens, 1983).

Kreativitas Reich dalam menciptakan musik minimalist juga terinspirasi dan

dipengaruhi oleh musik non Barat, termasuk Gamelan Bali yang ia pelajari pada masa

perkuliahannya. Uniknya, Reich hanya mengadopsi hal tersebut untuk konstruksi ritmik dan

bentuknya saja, (sejauh daya apresiasi penulis dan didukung sumber tertulis lainnya) ia tidak

menggunakan scale (urutan nada yang mengacu pada interval atau jarak nada tertentu) dan

sistem harmoni diluar konvensi musik Barat, tidak seperti yang dilakukan Colin McPhee

(komponis abad 20) yang mengadopsi laras (scale) musik Bali dan kemudian menghasilkan

persilangan bahasa dan estetika Barat – Timur dalam komposisinya. Meskipun seperti itu,

musinya yang statis dan terdengar meditatif dan ritualistik, terhindar dari berbagai variasi

progresi chord dan pergerakan nada (aspek horizontal), penuh pengulangan dalam durasi

yang panjang, serta banyak menggunakan instrumen berbahan logam (pada karya-karya

berikutnya) menunjukan bahwa ia cukup terpengaruh dengan estetika dan tehnik dalam

musik non-Barat. Terkait hal tersebut, Reich menulis sebuah artikel dalam The New York

Times, ia berpendapat:

One can study the rhythmic structure of non-Western music and let
that study lead one where it will while continuing to use the instruments,
scales, and any other sound one has grown up with. This brings about the
interesting situation of the non-Western influence being there in thinking, but
not in sound. This is a more genuine and interesting form of influence because
while listening one is not necessarily aware of some non-Western music being
imitated. (Schwarz, 2009)

Pada tahun 1970, Reich melakukan kunjungan ke University of Ghana untuk

mempelajari African drumming di bawah bimbingan seorang master drummer lokal yang

10
bernama Gideon Alorworye. kemudian mengadopsi hal tersebut dan mengembangkan lebih

jauh konsep minimalism-nya, yaitu pada komposisi musik perkusi yang berjudul

“Drumming” (1971). Komposisi tersebut terbagi menjadi empat bagian dimana tehnik

garapan, penggunaan instrumen, struktur – bentuk, dan alur musiknya lebih kompleks.

Meskipun seperti itu, “Drumming” masih bisa dikategorikan sebagai musik minimalist karena

keseluruhan bentuknya tersebut tetap mengacu pada hal-hal yang sifatnya sangat sederhana,

yaitu pengulangan dan perubahan pola secara bertahap (music as gradual process), phase

shifting, augmentation dan diminution. Augmentation (dalam konteks kreativitas Reich)

adalah pembentukan dan/atau pemadatan pola dengan cara menambahkan beberapa not

dan/atau nilai ketukan pada posisi dan pengulangan tertentu secara bertahap (rhythmic

construction), sedangkan dimunition adalah proses atau tehnik kebalikannya (rhythmic

reduction).

Pada bagian pertama, dengan menggunakan beberapa buah bongo, Reich

mengaplikasikan tehnik augmentiaton untuk mengkonstruksi pola ritmik dengan birama 6/4

(atau 12/8, ia tidak memunculkan tanda biarama pada partiturnya). Reich hanya

memunculkan satu buah ketukan sehingga setiap barnya terdengar renggang atau memiliki

jeda (tanda diam atau rest), kemudian jumlah ketukan terus bertambah dan bunyinya menjadi

tebal seiring berjalannya alur, kemudian phase shifting dimunculkan ketika pola ritmik

didalamnya menjadi rapat – padat dan mebentuk pola utama/tematik (figure) yang statis

(ostinato). Uniknya, ketukan pertama pada bagian tersebut (sebelum phase shifting)

sebenarnya adalah ketukan ke lima, kemudian posisi “yang seolah-olah” berada pada ketukan

pertama (tesis) tersebut (secara subjektif) “terasa” bergeser seiring bertambahnya jumlah

ketukan dan munculnya bunyi yang bernada rendah maupun tinggi. Ketika proses phase

shifting tersebut sedang berlangsung, Reich memunculkan figure tambahan dengan pola

ritmik yang berbeda dan diulang-ulang pada bagian-bagian tertentu sehingga figure utama

11
maupun yang terbentuk oleh phase shifting itu sendiri (secara subjektif) terdengar menyatu

dan/atau sulit untuk dibedakan. Reich memunculkan juga beberapa figure tambahan pada

bagian-bagian lainnya. pada bagian kedua dimunculkan dengan menggunakan vocal wanita

untuk mengimitasi bunyi instrumen dengan kata bou dan dou, sedangkan pada bagian ketiga

dimunculkan dengan menggunakan piccolo dan siulan.

Gamabr 2.3. Potongan full score “Drumming” yang mengilustrasikan adanya proses
augmentation pada bagian pertama (Mertens, 1983)

Selain phase shifting, augmentation, dan dimunition, Reich juga mengaplikasikan

timbral modulation pada komposisi “Drumming” tersebut, (dalam konteks penciptaannya)

yaitu proses perpindahan timbre (warna bunyi/suara) antara dua (atau lebih)

instrumen/medium yang berbeda jenis dengan bertahap dan mangacu pada pola permainan

yang sama. Reich menghubungkan bagian pertama, kedua, dan ketiga pada komposisi

tersebut dengan menggunakan beberapa instrumen lain (yang berperan pada bagian

12
berikutnya) yang jenis dan timbre-nya berbeda dengan menggunakan tehnik fade in dan fade

out pada pola repetitif di dalamnya. Bagian pertama yang didominasi oleh empat pasang

bongo dihubungkan dan selanjutnya diganti dengan menggunakan tiga buah marimba, bagian

kedua yang didominasi oleh marimba dihubungkan dan selanjutnya diganti dengan

menggunakan tiga buah glockenspiel. Keseluruhan instrumen tersebut kemudian

dimunculkan secara bersamaan pada bagian akhir komposisi tersebut yang struktur – bentuk

dan alurnya hampir menyerupai bagian pertama.

Reich menyederhanakan kembali konsep garapannya dalam komposisi yang berjudul

“Clapping Music” (1972). Komposisi tersebut berupa pola ritmik sederhana dalam birama

12/8 yang dimainkan dengan cara bertepuk tangan (body percussion) oleh dua orang

performer, yang kemudian dipecah ke dalam dua jalur mengikuti dua belas tahap phase

shifting (12 pengulangan bar x 12 pergeseran pola ritmik). Komposisi tersebut sangat

menyerupai “Piano Phase” yang di dalamnya terdapat cyclic structure (diawali dan diakhiri

dengan unison, khususnya pada bagian pertama), hanya saja di dalam konstruksi ritmiknya

terdapat tanda diam (rest). Dengan adanya tanda tersebut, fenomena interlocking di dalamnya

tersebut menjadi dominan, yaitu berupa bunyi yang saling bertautan. bersahut-sahutan, dan

susul menyusul. Disamping itu, komposisi tersebut terdengar ganjil dan perpaduan pola

ritmik di dalamnya (secara subjektif) sulit untuk diikuti atau dipecah melalui analisis secara

auditif.

“Clapping Music” merupakan komposisi yang paling minimalist dan esensial (music

as gradual process, termasuk “Pendulum Music”) yang pernah diciptakan. Komposisi

tersebut menunjukan suatu kelebihan di balik kesederhaan konsep phase shiting, yaitu dapat

menghasilkan berbagai kemungkinan perpaduan pola ritmik. Di samping itu, “Clapping

Music” merupakan salah satu referensi karya yang paling mudah untuk diimitasi (dalam

konteks penciptaan) serta dijelaskan dan diaplikasikan secara langsung (dalam konteks

13
pendidikan) untuk memperkenalkan dan memahami musik minimalist. Komposisi
omposisi tersebut

mengingatkan kembali bahwa tubuh manusia merupakan salah satu medium alternatif untuk

menghasilkan bunyi (timbre),, khususnya untuk menciptakan musik atau unsur-unsur


unsur

perkusif.

Gambar 2.4. Sampel full score yang menunjukan adanya pergeseran


pergeseran pola pada bagian awal
dan akhir “Clapping Music”
(Dokumentasi:
Dokumentasi: Colannino, 2006)

Kreativitas Steve Reich dalam mengembangkan musik minimalist dapat dilihat pada

komposisi lainnya yaitu “Music


Music for Pieces of Wood”
Wood (1973). Komposisi tersebut disusun

menjadi tiga bagian (6/4, 4/4, dan 3/4) dan dimainkan menggunakan lima pasang clave

dengan nada/picth yang berbeda (A, B, C#, D#, dan D# bagian atas/8va).
atas Pada bagian

pertama, komposisii tersebut pada awalnya dikonstruksi oleh dua buah pola ritmik (figure)

yang dimainkan
mainkan secara terus menerus (ostinato)
( membentuk frame atau pola iringan
iringan, figure A

berupa ketukan menyerupai metronome menggunakan clave bernada D# 8va (berbunyi pada

ketukan bawah/down beat, muncul terlebih dahulu


d dalam beberapa bar), sedangkan figure B

dimainkan dengan menggunakan clave bernada B menyerupai basic figure pada “Clapping

Music”.. Seiring berjalannya alur, figure C dibentuk dengan menggunakan menggunakan

clave bernada A dengan konsep atau tehnik augmentation,, yaitu dimulai dari satu buah

ketukan (berupa aksentuasi) pada hitungan atau posisi tertentu,


tertentu, kemudian diulang
diulang-ulang

14
(mengikuti suatu jumlah bar), dan kemudian jumlah ketukannya bertambah secara bertahap

hingga menjadi suatu pola ritmik yang utuh, menyerupai figure B dengan posisi yang

bergeser.

Pada tahap selanjutnya, seiring berjalannya figure A, B dan C, figure D (dimainkan

dengan clave bernada C#) dimunculkan dengan tehnik yang sama dan hasil akhir yang pola

(posisi) ritmiknya menyerupai figure C, kemudian figure (E (dimainkan dengan clave

bernada D#) dimunculkan dengan tehnik yang sama tetapi hasil akhirnya menyerupai figure

B. Pada tahap terakhir atau jembatan menuju bagian berikutnya, figure C dan D dimainkan

secara homofon yang pola ritmiknya menyerupai figure B dan E, sehingga strukturnya

“hampir” kembali seperti semula. Secara praktis, konsep atau tehnik augmentation pada

bagian pertama tersebut kembali diaplikasian pada bagian kedua dan ketiga dimana memiliki

birama dan durasi yang lebih pendek.

Pada tahun 1973 tersebut, Reich memutuskan untuk mengkesampingkan phase

shifting dalam penciptaan komposisi musiknya. kali ini Reich lebih berkonsentrasi dan pada

tehnik augmentation, diminution, konstruksi ritmik, dan kualitas bunyi. Disamping itu, Reich

lebih “melibatkan diri” untuk merekayasa dan melengkapi jalannya alur, dimana bentuk

musik tidak lagi tercipta dengan sendirinya. Terkait hal tersebut, Reich mengaplikasikan hal-

hal tersebut pada dua komposisi musiknya, yaitu dan “Music for Mallet Instruments, Voices,

and Organ” dan “Six Piano”.

Mengenai “Music for Mallet Instruments, Voices, and Organ” (1973), meskipun tetap

mengacu pada tehnik pengolahan yang sederhana, struktur (susunan – pergerakan nada dan

pola ritmik), alur – bentuk, dan penempatan berbagai instrumen di dalamnya tersebut

“terdengar” lebih kompleks dan variatif, serta detail, pembagian, dan hubungan antar polanya

sulit untuk diurai, diprediksi, atau diikuti. Secara auditif, Beberapa pola di dalamnya

15
memiliki jalurnya sendiri tetapi begitu menyatu dan saling mengecoh. Terkait hal tersebut,

Smith dalam “Minimalism and Time: The Perception of Temporality in American Minimalist

Music from 1958 to 1974” menyatakan:

“It is much more difficult to recognise and predict processes that


occur between voices with different timbres than it is between voices with the
same timbre. Part Four of Drumming and Music for Mallet Instruments,
Voices and Organ have so much information content that it is difficult, and
perhaps impossible, to follow every detail.” (Smith, 2001)

Gambar 2.5. Potongan full score “Music for Mallet Instruments, Voices, and Organ” pada
bagian pertama (Dokumentasi: Mertens, 1983)

“Music for Mallet Instruments, Voices, and Organ” terbagi dalam emat bagian yang

secara keseluruhan membentuk musik modal (sederhananya, musik yang pusat dan susunan

nadanya mengacu pada scale tertentu). Bagian pertama menggunakan F dorian scale dengan

birama (3/4 x 2), bagian kedua menggunakan A dorian (2/4 x 2), bagian kegita menggunakan

B aeolian scale (natural minor, 3/4 x 2), dan bagian ke empat menggunakan A mixolidyan

scale (3/4 x 2) membentuk dominant sevent chord yang seakan-akan berada pada tingkat

kelima dalam hirarki harmoni tonal (dalam konvensi musik Barat, hal tersebut sering

digunakan sebagai jembatan untuk mengakhiri suatu kalimat dan bentuk musik).

16
Setiap bagian pada komposisi tersebut hampir menyerupai “Music for Pieces of

Wood”, yaitu diawali dengan dua buah figure (figure A dan B) yang dimainkan secara

berulang-ulang dan kemudian disusul figure lainnya (figure C) yang dibentuk secara bertahap

menggunakan tehnik augmentiation, sehingga menghasilkan struktur polimetris dan

fenomena interlocking. Figure A dimainkan menggunakan vokal, organ, dan metallophone

yaitu berupa dua buah chord (cadential atau memiliki hubungan harmoni) yang nilai ketukan

atau bunyinya lebih panjang (sustain), figure B dimainkan menggunakan glockenspiel

(bergerak turun) dan tiga buah marimba (bergerak naik, lebih dominan) berupa pola perkusif,

sedangkan figure C dimainkan menggunakan marimba lainnya yang pola ritmik dan urutan

notnya menyerupai figure B dengan posisi yang bergeser.

Setelah figure C terbentuk, proses augmentation tersebut ditransformasikan pada nilai

ketukan atau bunyi dalam figure A, yaitu berupa pelebaran atau perpanjangan durasi. Hal

tersebut menghasilkan ilusi pada pendengaran, metris atau hitungan mengenai kesatuan irama

– birama di dalamnya (secara subjektif) menjadi berubah, ketukan pertama (tesis) pada setiap

bar atau pengulangan tertentu menjadi sulit untuk ditemukan, terlebih chord kadensial di

dalamnya yang “terasa” harus selesai pada ketukan tertentu membuat komposisi tersebut

semakin ganjil. Di sisi lain, tahapan tersebut menjadi lebih kompleks ketika Reich

menambahkan figure-figure lainnya yang silih berganti dengan pola ritmik dan pergerakan

nada yang berbeda, baik menggunakan vocal maupun instrumen lainnya.

Reich kembali menyederhanakan struktur musik pada setiap akhir bagian. Figure

tambahan tidak lagi dimunculkan, marimba yang memainkan figure C memainkan figure B

(unison), dan nilai ketukan atau durasi bunyi pada figure B kembali dipersempit atau

diperpendek secara bertahap. Secara garis besar, setiap bagian pada “Music for Mallet

Instruments, Voices, and Organ” menunjukan adanya kontradiksi yang menghasilkan

17
keseimbangan bentuk dan alur yang dinamis (dalam konteks musik minimalist yang

cenderung kaku), yaitu “rhythmic construction/augmentation versus unison/diminution”.

Gambar 2.6. Potongan full score “Six Pianos” pada bagian pertama
(Dokumentasi: Mertens, 1983)

Struktur, bentuk, dan alur pada “Six Pianos” (1973) hampir menyerupai (dan digarap

sebelum) “Music for Mallet Instruments, Voices, and Organ”, hanya saja di dalamnya tidak

ada figure yang durasinya diperpanjang maupun diperpendek. Tiga bagian dalam komposisi

tersebut dimulai dengan suatu figure berupa pola iringan atau comping yang pergerakannya

terdengar zigzag (pada bagian pertama, dimainkan dengan piano ke-1, 2, 3, dan 6 yang

susunan nadanya berbeda tetapi pola ritmiknya sama dan dianggap sebagai suatu kesatuan),

kemudian disusul oleh figure lainnya (dimainkan dengan piano ke-4 dan 5) yang dibangun

secara bertahap menggunakan tehnik augmentation, yaitu berupa syncope atau penekanan

18
pada ketukan lemah hingga membentuk pola comping yang wujudnya menyerupai figure

utama dengan posisi yang bergeser (out of synch). Dua figure tersebut menghasilkan suatu

kesatuan dimana stuktur – bentuknya menyerupai hasil dari phase shifting. Sebagai contoh,

pada bagian pertama, susunan not pada ketukan kesatu dalam figure utama berada pada

ketukan keempat dalam figure lainnya. Setelah melalui proses augmentation, Reich

menambahkan beberapa figure lain (secara bergiliran) yang strukturnya berbeda, muncul

secara simultan, terdengar kontras, dan mendominasi dua figure sebelumnya.

Aspek musikal yang menarik pada “Six Piano” yaitu penggunaan dan permainan

enam buah piano “secara perkusif”, yang saling mengisi dan membentuk fenomena

interlocking dengan harmoni yang cukup kompleks tetapi bunyi yang dihasilkannya tidak

berbenturan. Di samping itu, Reich mengolah gradasi komposisi tersebut dengan cara

menaikan dan menurunkan dinamika suatu figure secara bertahap (fade in dan fade out).

Secara singkat, “Six Piano” lebih menonjolkan timbre dan kompleksitas harmoni, “Music for

Pieces of Wood” lebih menonjolkan konstruksi ritmik dan konsep atau tehnik augmentation

itu sendiri, sedangkan “Music for Mallet Instruments, Voices, and Organ” menonjolkan

beberapa aspek parametris (timbre, dinamika, pitch, durasi atau pola ritmik, dan form) secara

seimbang dan beberapa figure terdengar lebih melodis. Meskipun wujudnya begitu kompleks,

ketiga komposisi tersebut pada intinya tetap mengacu pada konsep dan tehnik penciptaan

yang sederhana serta aspek minimalist lainnya tetap menonjol, yaitu berupa pengulangan,

perubahan secara bertahap, dan adanya kecenderungan untuk terus menggunakan

not/nada/pitch dengan pola-pola yang memiliki kemiripan. Terkai hal tersebut, tiga komposisi

yang diciptakan Reich pada tahun 1973 merupakan akhir dari musik minimalist (?) dalam

perjalanannya sebagai seorang komponis. Smith menyatakan:

“In early 1973 Reich completed Six Pianos and Music for Mallet
Instruments, Voices and Organ, the last of his truly minimalist works. Between
1974 and 1976 he composed Music for Eighteen Musicians, a large-scale

19
piece which was to form the transition between his minimalist music and his
subsequent style which was more tonally complex and directional.” (Smith,
2001)

Sebagai informasi tambahan, Steve Reich dan tiga komponis musik minimalist asal

Amerika lainnya (La Monte Young, Terry Riley, dan Philip Glass) mulai mengembangkan

tehnik penciptaan musiknya dengan lebih fleksibel pada tahun 1973. Melalui proses tersebut,

Reich menghasilkan berbagai komposisi musik “postminimalist” yang lebih dinamis, tetapi

ia tetap mempertahankan berbagai pengulangan dan bentuk yang dikontruksi secara bertahap.

Mengacu pada penelitian Dmitri Cervo dalam “The Interaction of Linear and Vertical Time

in Minimalist and Postminimalist Piano Music” yang ditulis oleh Richard Andrew Lee

(2010), berikut ini adalah ciri-ciri dari musik postminimalist, yaitu:

1. Musik postminimalist tetap mengacu pada tehnik penciptaan, style, dan estetika musik

minimalist, tetapi lebih terbuka terhadap unsur-unsur lainnya (eclecticism).

2. Musik postminimalist ditandai dengan adanya suatu kalimat melodi (lebih dari

sekedar motif dan figure) yang memiliki peranan penting dan terdengar lebih

ekspresif. Sebagai contoh, Reich mengaplikasikan phase shifiting berupa nyanyian

dengan durasi cukup panjang dalam komposisinya yang berjudul “Proverb”.

3. Musik postminimalist terdiri dari beberapa movement yang kontras dan memiliki

tempi (tempo?) yang berbeda-beda, sedangkan musik minimalist (“yang diciptakan

oleh Reich”) cenderung tidak memperlihatkan pembagian atau perubahan secara

siginifikan, meskipun hal tersebut sudah tampak pada “Music for Mallet Instruments,

Voices, and Organ”.

Disamping itu, Kyle Glann memberikan penjelasan bahwa musik postminimalist

“cenderung” mengacu pada sistem harmoni tonal dan terdengar konsonan (nada-nadanya

tidak bertegangan, atau sederhananya … sumbang (menurut telinga tonal)), terbentuk oleh

20
pulse8 yang intens, dimainkan dalam format chamber campuran dan menghasilkan perpaduan

timbre yang tidak konvensional (pada zamannya), memiliki struktur yang lebih variatif, serta

memiliki durasi yang lebih pendek (sekitar 15 menit) dari musik minimalist (antara 70 hingga

120 menit, tetapi beberapa komposisi musik minimalist Reich tidak seperti itu) (Lee, 2010).

Mengacu pada ciri-ciri tersebut, musik minimalist dan postminimalist tidak memperlihatkan

perbedaan yang signifikan, dan bisa saja suatu karya minimalist juga memuat ciri-ciri

postminimalist, hal tersebut hanya dapat dipahami secara mendalam melalui proses

mengapresiasi dan menbandingkan karya-karya terkait. Pada intinya, musik postminimalist

merupakan perkembangan dari musik minimalist yang wujdunya lebih variatif dan tampak

menarik untuk dibahas pada kesempatan berikutnya.

C. Kesimpulan

Beberapa komposisi minimalist yang diciptakan oleh Steve Reich merepresentasikan

ide dan proses yang sangat kreatif dan out of the box, yang membuatnya menjadi salah satu

maverick yang fenomenal dalam catatan sejarah musik Barat pada abad ke-20. Sedikit

meminjam intilah “minimax”-nya Slamet Abdul Sjukur (komponis Indonesia, yang ia

gunakan sebagai pijakan atau dalam menciptakan suatu karya musik), dimulai dari suatu

ketidaksengajaan, Reich mengembangkan hal-hal yang sangat sederhana dengan total

menjadi sesuatu yang maksimal (dalam sudut pandang penulis). Di samping itu,

kreativitasnya dalam ranah penciptaan musik terus berkembang hingga menghasilkan

komposisi-komposisi yang tidak lagi minimalist (yang akan dibahas pada kesempatan lain),

tetapi memuat ciri khas yang ia bangun sebelumnya.

8
“Sederhananya”, pulse merupakan pola repetitif, yang terbentuk oleh pola ritmik atau rangkaian not
(horizontal) yang nilai ketukan/hitungannya sama (dan cenderung rapat) dalam tempo yang stabil (dan
cenderung cepat).

21
Membiacarakan kreativitas tentunya terasa tidak kreatif jika tidak ada point penting

yang dapat diambil untuk proses kreatif lainnya. Kreativitas Reich cukup menginspirasi

penulis untuk mengembangkan dan memperkaya ide penciptaan musik. Hal-hal tersebut

dapat diaplikasikan pada pola iringan, sistem harmoni, layer, ornamentasi, sound effect,

melodi utama, dan pola – tehnik lainnya. Hal-hal tersebut mencakup:

1. Pengaplikasian dan pengkombinasian phase shifiting (termasuk resulting pattern),

augmentation, diminituion, dan trimbal modulation dalam konteks musik minimalist,

post-minimalist, maupun musik yang mengacu pada eclecticism.

2. Pembatasan akan penggunaan dan pengolahan material bunyi (kuantitas) serta

memanfaatkan dan menonjolkannya semaksimal mungkin (kualitas), termasuk

instrumen yang digunakan (mengacu pada “Clapping Music” dan “Pendulum

Music”).

3. Memanfaatkan berbagai pengulangan pada struktur mikro maupun makro untuk

menghasilkan suatu perubahan yang bertahap dan intens ataupun untuk mencapai

efek/kesan tertentu.

4. penggunaan dan pengolahan hasil rekaman bunyi yang diambil dari berbagai sumber

yang tidak konvensional, khususnya suara manusia (spoken words dan lain-lain diluar

aktivitas bernyanyi) yang memiliki berbagai timbre. (mengacu pada “It’s Gonna

Rain”)

5. Pengolahan bunyi sedemikian rupa untuk menonjolkan fenomena psychoacoustic atau

menciptakan ilusi pada persepsi pendengaran. (mengacu pada “Piano Phase” dan

“Violin Phase”)

6. Permainan piano yang mengedepankan aspek perkusif dan penggunaannya lebih dari

satu buah untuk menghasilkan struktur dan timbre yang padat. (mengacu pada “Six

Piano”)

22
D. Daftar Sumber

1. Mertens, Wim. 1983. American Minimal Music: La Monte Young, Terry Riley, Steve

Reich, Philip Glass. London: Kahn & Averill.

2. K. Schwarz, Robert. 2009. “Steve Reich: Music as a gradual process Part II”. Jurnal:

Perspectives of New Music, Vol. 20 No. 1/2 (autumn, 1981 – summer, 1982): 225-286

3. Paul Smith, Andrew. 2004. Minimalism and Time: The Perception of Temporality in

American Minimalist Music from 1958 – 1974. Tesis. Durham University.

(http://etheses.dur.ac.uk/29/80/)

4. Andrew Lee, Richard. 2010. The Interaction of Linear and Vertical Time in

Minimalist and Postminimalist Piano Music. Disertasi. Kansas City: University of

Missouri.

5. Marie Doran Eaton, Rebbeca. 2008. Unheard Minimalism: The Function of the

Minimalist Technique in Film Scores. Disertasi. Austin: The University of Texas.

6. Colannino, Justin. Gomez, Francisco. T. Toussaint, Godfried. 2006. Steve Reich’s

Clapping Music and The Yoruba Bell Timeline. Jurnal: Perspectives of New Music.

23

Anda mungkin juga menyukai