Anda di halaman 1dari 32

BUKU PENUNTUN PRAKTIKUM

EKOLOGI

Disusun Oleh :
Dr. Dra. Nanik heru Suprapti, M.Si.
Dra. Erry Wiryani, MS.
Dra. Sri Utami, MS.
Dr. Fuad Muhammad, SSi, MSi.

LABORATORIUM EKOLOGI DAN BIOSISTEMATIK


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2018

i
KATA PENGANTAR

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik


antar makhluk hidup dengan lingkungannya. Pemahaman terhadap
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya
akan lebih mudah melalui pengamatan secara langsung.

Kegiatan praktikum ini menekankan kepada mahasiswa untuk


lebih mengenal secara langsung di lapangan atau di laboratorium
tentang pemahaman ekosistem, azas dan organisasi taraf komunitas,
azas dan organisasi taraf populasi, jenis dan individu dalam ekosistem
serta perkembangan dan evolusi ekosistem.

Harapan kami semoga buku petuntun praktikum ini dapat


membantu mahasiswa lebih mudah dalam mempelajari ekologi.

Semarang, September 2018

Tim Penyusun
PENUNTUN PRAKTIKUM EKOLOGI

I. TATA TERTIB PRAKTIKUM

1. Mahasiswa yang mengambil praktikum ekologi diwajibkan


mengikuti semua kegiatan asistensi dan praktikum yang
diselenggarakan di laboratorium maupun di lapangan
2. Asistensi dilakukan satu kali untuk semua materi praktikum
3. Pre test dilakukan sebelum praktikum dimulai
4. Setiap acara praktikum selesai, mahasiswa diwajibkan
membuat laporan hasil praktikum
5. Setelah semua acara praktikum selesai dilakukan
ujian/responsi
6. Evaluasi nilai praktikum dinilai dari nilai pretest, laporan dan
responsi

1
PENUNTUN PRAKTIKUM EKOLOGI

II. MATERI PRAKTIKUM

POKOK BAHASAN I
PLOT SAMPLING

POKOK BAHASAN II
SAMPING MAKROINVERTEBRATA

POKOK BAHASAN III


KOMPETISI

POKOK BAHASAN IV
MENAKSIR BESARNYA POPULASI

POKOK BAHASAN V
SAMPLING MIKROINVERTEBRATA

POKOK BAHASAN VI
PLOTLESS SAMPLING

POKOK BAHASAN VII


SAMPLING BIOTA AKUATIK

POKOK BAHASAN VIII


SAMPLING VERTEBRATA
POKOK BAHASAN 1
PLOT SAMPLING
Tujuan:
Mahasiswa diharapkan mampu dan menguasai cara penentuan ukuran plot minimum dan
jumlah plot minimum serta dapat membedakan dua tipe komunitas yang berbeda.

DASAR TEORI
Untuk dapat membuat deskripsi dan mengungkapkan informasi yang berarti
dan jelas tentang suatu komunitas (hewan maupun tumbuhan) yang dikaji, maka
haruslah dilakukan suatu analisis struktur komunitas tersebut.
Mempelajari suatu komunitas kita tidak mungkin melakukan penelitian pada
seluruh area komunitas tersebut. Oleh karena itu kita dapat melakukan penelitian
di sebagian area komunitas tersebut, dengan syarat mewakili seluruh komunitas.
Untuk dapat memenuhi syarat tersebut kita dihadapkkan pada permasalahan,
berapa luas area (plot) yang memadai dalam mengambul contoh (sampel) tersebut,
berapa banyak contoh perlu diambil (dilakukan) dengan luas area contoh tertentu,
dan bagaimana cara mmenyebarkan sampel (plot) di komunitas tersebut.

2.1 Menentukan Luas Minimum


Luas area tempat pengambilan contoh sangat bervariasi tergantung bentuk
atau struktur komunitas tersebut. Pada tumbuhan misalnya, untuk vegetasi penutup
tanah diperlukan ukuran 1 meter persegi. Sedangkan untuk vegetasi hutan
campuran di tropola diperlukan ukura 1/10 hektar. Yang penting adalah seluas
apapun petak contoh yang diambil, haruslah dapat menggambarkan bentuk
komunitas secsra keseluruhan. Petak contoh dianggap memadai apabila sebagian
besar jenis-jenis penyusun komunitas tersebut berada dalam daerah petak contoh
tadi. Dengan demikian akan diperoleh suatu luasan terkecil yang dapat mewakili
komunitas tersebut. Luas terkecil yang dapat mewakili karakteristik komunitas
secara keseluruhan disebut luas minimum.
Salah satu cara untuk menentukan ukuran plot minimum adalah dengan
metode releve atau juga dikenal sebagai teknik plot bersarang. Dalam metode ini
yang penting adalah mendaftar (mencatat) seluruh jenis (tumbuhan atau hewan)
yang ada pada suatu komunitas. Oleh karena itu komunitas terlebih dahulu dibagi
menjadi beberapa segmen yang masingmasing segmen tersebut merupakan bagian
yang seragam atau homogeny. Selanjutnya pada tiap-tiap segmen kita letakkan
kuadrat (plot) releve, sedapat mungkin pada bagian pusat atau sentral yang
mempunyai distribusi spesies paling banyak atau kaya komposisi spesiesnya.

2.2 Menentukan Jumlah Plot Minimum


Setelah ukuran plot minimum diketahui atau ditentukan maka
permasalahan selanjutnya adalah beberapa banyak jumlah plot minimum yang
diperoleh. Atau seringkali ekolog tidak menggunakan luas minimum, akan tetapi
langsung menggunaan luas tertentu yang sudah ditentukan, misalnya ukuran 1x1
meter persegi, 10x10 meter persegi, dan kemudian melakukan pengulangan dengan
ukuran luas tersebut sampai diperoleh jumlah minimum yang dapat mewakili. Pada
prinsipnya menentukan jumlah plot minimum hampir sama dengan menentukan
luas minimum, yaitu berdasarkan jumlah petak contoh yang diperkirakan dapat
mewakili seluruh karakteristik komunitas tersebut.

METODE
A. Alat dan Bahan
1. Tali
2. Pasak
3. Meteran
4. Buku identifikasi
5. Millimeter block
B. Cara Kerja
A. Menentukan luas plot minimum (untuk tumbuhan dan hewan sesil)
1. Buat suatu bujur sangkar di lapangan yang akan diteliti seluas 25x25 cm2, catat semua
jenis yang berada dalam bujur sangkar tersebut
2. Perluas bujur sangkar tadi menjadi dua kali semula, yaitu menjadi 25x50 cm2, kemudian
catat semua penambahan jenis yang ada di dalamnya
3. Lakukan pencatatan semua penambahan jenis pada setiap penambahan luas dengan cara
yang sama, yaitu 50x50 cm2, 50x100 cm2, 100x100 cm2, dan seterusnya sampai tidak
terjadi lagi penambahan jenis baru, atau biasanya minimal sebanyak 10 kalo perbesaran
plot. Lihat Gambar 1

7 9
1
3
2

6
8

Gambar 1. Penambahan luas plot untuk menentukan luas plot minimum

1. Contoh pencatatan spesies adalah sbb:


Nomor Ukuran plot Jumlah kumulatif total
Nama lokal Nama ilmiah
plot (m2) spesies
1 0.25 Brambangan Commelina nudiflora

Gewor Cyanotis cristata

Ilalang Imperata cylindrica

Teki-1 Cyperus rotundus

Teki-2 C. compressus 5

2 0.5 Krokot Portulaca oleracea

Rumput Belulang
Eleusine indica
Rumput Jarum Andropogon occiulatus 8

3 1 Akalipa Acalipha indica

Teki pendul Kyllinga monocephala 10

4 2 Bayam duri Amaranthus spinosus

Kremah Althernanthera sessilis 12

5 4 Lenglengan Lencas lavandulifolia


Tapak duri Vulca rosea

Rumput lamuran
Andropogon caricosus 15
Rumput
6 8 grinting Cynodon dactylion 16
7 16 16

8 32 Ceplika Ruelia tuberosa 17

9 64 Patikan kebo Euphorbia hirta

Patikan-1 Euphorbia sp. 19

4. 4. Untuk mendapatkan luas minimum, buatlah suatu grafik dari data yang diperoleh,
yaitu grafik hubungan antara jumlah spesies pada sumbu Y dn ukuran plot pada sumbu
X, seperti Gambar 1-2. Kemudian dibuat garis lurus melalui titik 0,0 dan titik 10% dari
jumlah total spesies dan 10% dari total ukuran plot (garis a-1), kemudian buat garis
sejajar a-1 yang bersinggungan dengan kurva (garis a-2). Dari titik singgung yang
diperoleh lalu ditarik garis tegak lurus dengan sumbu X (garis a-3). Titik potong antara
a-3 dengan sumbu X adalah ukuran plot minimal yang semestinya.

Gambar 2. Grafik hubungan antara jumlah spesies dan ukuran plot dalam menentukan ukuran
(luas) plot minimum
B. Menentukan jumlah plot minimum
1. Setelah luas minimum diperoleh maka dapat ditentukan jumlah plot minimum yang
harus diambil atas dasar luas plot minimum tersebut. Sebarkanlah secara acak 3 kuadrat
(dari luas minimum yang diperoleh), misal berukuran 1x1 m2, catat jumlah jenis dari
ketiga kuadrat tadi
2. Kemudian sebarkan lagi 3 kuadrat berikutnya dengan ukuran yang tetap (sama), catat
kembali jumlah jenis dari ketiganya.
3. Lakukan hal yang sama berkali-kali sampai misal 10 kali 3 kuadrat.
4. Kemudian susunlah, seri 3 kuadrat tadi berdasarkan jumlah jenis dari yang terkecil
(paling sedikit) ke jumlah terbesar (paling banyak), tanpa memperhatikan mana yang
lebih dulu diambil. Dalam tabel
5. Kemudian buatlah grafik hubungan antara jumlah jenis pada sumbu Y dan jumlah
ulangan seri (pengelompokan) 3 kuadrat pada sumbu X, seperti grafik luas minimum.
6. Untuk mendapatkan jumlah plot minimum analog dengan menentukan luas plot
minimum.

Jumlah jenis dan seri 3 kuadrat


Jenis Tumbuhan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Jumlah jenis
POKOK BAHASAN II
SAMPING MAKROINVERTEBRATA

METODE
A. Alat dan Bahan

1. Kontainer jebakan
2. Botol sampel
3. Termometer
4. pH meter
5. Detergen
6. Formalin

A. Cara Kerja

PIT FALL TRAP

1. Dibuat petak sampling secara acak pada suatu lahan atau komunitas seluas 1 m2, dan dibuat
jebakan atau perangkap hewan tanah (pit fall trap) secara diagonal, yaitu 4buah di tiap
sudut dan 1 buah di tengah petak contoh.
2. Pada setiap kontiner jebakan, di diisikan larutan formalin 4% sebagai larutan fiksatif dan
ditambah sedikit detergen untuk mengurangi tegangan permukaan, sebanyak 1/3 atau ½
volume kontiner. Kontiner jebakan di pasang sedemikian rupa sehingga antara jebakan dan
lubang tanah tidak ada rongga atau ruang antara. Kontiner dibiarkan terpasang selama
waktu tertentu.
3. Untuk menjaga dan meminimalkan masuknya kotoran seperti patahan ranting, jatuhan
daun dan sebagainya, maka diatas perangkap dipasang atap, yang berjarak +10 cm diatas
jebakan.
4. Setelah waktu tertentu, sampel hewan yang diperoleh dikumpulkan dalam botol sampel,
kemudian diidentifikasi di laboratorium sampai ke tingkat takson maksimal.
5. Hasil identifikasi sampel kemudian ditabulasikan dan dianalisis mengenai kelimpahan,
keanekaragam, dan perataan jenisnya.
6. Bandingkan hasil sampling yang diperoleh antara dua area atau dua waktu pengambilan
yang berbeda.
7. Dicatat pula kondisi lingkungan sekitar, seperti kelembapan relatif, suhu, pH, habitat
sekitar, kondisi biologi maupun fisik lingkungan.
POKOK BAHASAN III
KOMPETISI

Tujuan:
Mahasiswa diharapkan memahami pengertian azas dan organisasi taraf
populasi dengan cara dapat mengestimasi besarnya populasi.

DASAR TEORI
Beberapa fenomena ekologis yang paling spektakuler adalah interaksi
spesifik dan interaksi obligat antara populasi-populasi yang berbeda secara
taksonomi. Komunitas ekologi tersusun oleh beberapa populasi yang berinteraksi
pada tingkat yang bervariasi. Interaksi potensial bervariasi mulai dari interaksi yang
sangat netral, dimana dua populasi bersamasama dalam suatu lingkungan, sampai
pada interaksi dengan beberapa pengaruh yang langsung terhadap kemampuan
individu dalam satu atau kedua populasi untuk mempertahankan kehidupan atau
reproduksi. Interaksi-interaksi diantara populasi ini dapat positif. Yaitu mendorong
pertumbuhan pada 1 atau kedua jenis populasi. Interaksi juga dapat bersifat
negative (McNaughton, 1990)
Beberapa tipe interaksi mengenai pengaruh interaksinya terhadap
pertumbuhan populasi dan masing-masing spesies menurut McNaughton (1990)
disajikan dalam table berikut :

Interaksi Pengaruh pada Perumbuhan Populasi

Populasi 1 Populasi 2
Netralisme 0 0
Komensalisme + 0
Predasi/ + -0
Parasitisme - -
Amensalisme - +
Kompetisi +
Mutualisme

2.1 Netralisme
Adanya suatu populasi dalam interaksi netral tidak mempunyai pengaruh pada
kehadiran populasi yang lain, sehingga interaksi tersebut tidak menghasilkan pengaruh
pada organisasi ekologi dari komunitas atau ekosistem. Ini tidak berarti populasi tersebut
tidak mempunyai pengaruh apapun, tetapi agaknya mereka tidak berpengaruh langsung
satu sama lain. Masing-masing populasi akan berinteraksi dengan populasi lain dalam
komunitas dan kemudian mempengaruhi organisasi komunitas (Began, 1990).

2.2 Komensalisme
Berati “Bersama-sama pada satu meja”. Istilah ini digunakan untuk
menggambarkan hubungan simbiotik, yaitu satu organisme memakan makanan yang tidak
dimanfaatan oleh yang lain. Suatu interaksi dengan pengaruh positif pada satu populasi dan
tidak berpengaruh pada populasi lai, merupakan penempel pada atau hidup dalam
organisme lain. Kelihatannya penempel tidak mempunyai pengaruh terhadap inangnya,
tetapi ada penempel yang mungkin berpengaruh negative terhadap inangnya sehingga lebih
dikenal dengan predasi/ parasit. Banyak organisme yang biasanya merupakan komensal
dalam beberapa avertebrata. Komensal-komensal yang hidup dalam usus beberapa
binatang seperti organisme pencerna sellulosa dalam rayap dan ruminansia bahkan dapat
memberikan manfaat positif. Tetapi kehadiran mereka tidak menguntungkan bagi
komensal itu sendiri.

2.3 Amensalisme
Suatu interaksi dengan pengaruh negative pada suatu populasi dan tidak
berpengaruh pada populasi yang lain, keduanya sama-sama berjuang keras sehingga satu
populasi akan mengharapkan hasil pengaruh negative dan populasi yang membutuhkan
beberapa sumber penghasilan (Kimball, 1992).

2.4 Parasitisme
Parasitisme adalah organisme yang hidup diatas atau didalam tubuh organisme lain
(inang) yang mendapatkan makanan dari jaringnya dan sedikit banyak menyebabkan
kerugian. Parasit biasanya tidak mematikan inangnya. Mematikan inang berarti membuang
makanan dengan cuma-cuma. Karena itu parasit yang sudah menyesuaikan diri dengan
baik hanya makan jaringan inangnya untuk mencukupi kebutuhannya, tanpa membunuh
inangnya tersebut. Berbeda dengan predator yang menghabiskan modal inangnya. Dengan
demikian parasitisme merupakan hubungan timbal balik. Ini merupakan hasil evolusi
adaptasi baik bagi parasit maupun inang. Kenyataan bahwa tiap spesies parasit hanya
terbatas pada satu atau paling banyak dua spesies inang. Spesialisasi berlebihan dari
beberapa parasit dan kemampuan inang untuk mengatasi kehadiran mereka merupakan
bukti lebih lanjut dari suatu riwayat adaptasi timbale balik yang panjang (McNaughton,
1990).

Parasit sering kali dikatakan mengalami degenerasi. Hal ini sebagian besar. Selama
jangka waktu penyesuaian pada kondisi relung (niche) yang khusus, parasit telah
kehilangan struktur yang demi kesejahteraan mutlak diperlukan oleh kerabatnya yang
hidup bebas. Tetapi dari segi parasit, hilangnya alat yang tidak sesuai lagi merupakan suatu
peningkatan efisiensi dan dengan demikian berarti perbaikan spesialisasi. Lenyapnya
struktur dan fungsi yang tidak berguna merupakan ciri khas semua parasit (Began, 1990).

2.5 Predasi
Predator dalam pengertian yang paling luas adalah organisme yang memakan
semua atau bagian-bagian organisme hidup lain yaitu prey (mangsa). Hubungan atau
interaksi ini disebat predasi. Predator dapat meliputi herbivore atau karnivora. Predator
berbeda dengan parasit. Predator akan memakan/ menghabiskan modal inangnya
sedangkan parasit untuk berkembang mereka cukup meningkatkan hubungan erat dengan
inang agar mereka tetap hidup dan terus menerus menyediakan makanan baginya (Guritno,
1995).
Parasitoid adalah organisme yang bersifat parasit yang secara berangsur-angsur
membunuh inangnya. Parasitoid dewasa tinggal dan meletakkan telur pada atau dalam
inang. Larva kemudian memakan inang. Stadium yang berbeda dari siklus hidup parasitoid
selanjutnya bertanggung jawab untuk mendapatkan dan membunuh prey. Sebaliknya
dalam interaksi predator-prey yang klasik, penundan waktu dari penyerang sampai
kematian biasanya dianggap kecil.

2.6 Mutualisme
Merupakan interaksi yang berpengaruh positif pada kedua spesies sebagai akibat
dari kebersamaan mereka. Interaksi yang saling menguntungkan sering disebut simbiosis,
tetapi juga protokooperasi atau mutualisme. Walaupun semua istilah ini dipakai untuk
interaksi yang bersifat obligat. Mutualisme secara tidak langsung merupakan hubungan
yang bersifat obligat. Sedangkan protokooperasi secara tidak langsung merupakan
hubungan yang lebih bersifat fakultatif. Sifat obligat pada mutualisme tergantung pada
keuntungan netto yang didapat dan kemungkinan anggota dari interaksi saling berada
bersama (Kimball, 1992).

Mutualisme dapat meningkatkan jangkauan pada lingkungan dalam niche utama


suatu spesies, tetapi dapat juga mengurangi jangkauan habitat yang ditempati, sehingga
kedua anggota interaksi harus mampu mencari habitat utama secara simultan.

2.7 Kompetisi
Kompetisi berasal dari kata “comperete” yang berarti “meminta” untuk hal yang
sama dengan yang dilakukan oleh pihak lain. Kompetisi dibatasi dengan pengertian aksi
dari usaha untuk mendapatkan apa yang diusahakan pihak lain untuk didapat pada waktu
yang sama. Pengertian kompetisi yang lebih sederhana dikemukakan oleh Braakhekke
(1980) yang membatasi suatu kompetisi sebagai proses partisipasi sumber daya lingkungan
yang terdapat dalam keadaan kurang yang disebabkan oleh kebutuhan serentak dari
individu-individu yang dapat membawa kepada pengurangan tingkat pertumbuhan dan
kapasitas reproduksinya.

Kita memberikan definisi kompetisi sebagai interaksi biologis negative yang terjadi
antara 2 atau banyak individu apabila :

1. Suplai sumber yang dibutuhkan terbatas, dalam hubungannya dengan permintaan


organisme.
2. Kualitas sumber bervariasi dan permintaan terhadap sumber yang berkualitas tinggi
lebih banyak.
Definisi ini memperluas konsep umum bahwa kompetisi adalah untuk sumber yang
suplainya terbatas, mencakup usaha untuk memanfaatkan kualitas yang berbeda dalam tipe
sumber. Organisme mungkin bersaing jika masing-masing berusaha untuk mencapai
sumber yang paling baik di sepanjang gradient kualitas atau apabila dua individu mencoba
menempati tempat yang sama secara simultan. Sumber yang digunakan oleh individu untuk
hidup dan bereproduksi contohnya meliputi makanan, pasangan dalam perkawinan,
oksigen, tempat bersarang, daerah bebas predator, dan cahaya.
Kompetisi antar anggota dari spesies yang sama merupakan kompetisi
intraspesifik, sedangkan kompetisi antara anggota-anggota dari spesies yang berbeda
merupakan kompetisi interspesifik.

Salah satu cara yang paling mudah untuk mempelajari kompetisi intraspesifik
adalah dengan percobaan kerapatan tanaman. Perubahan pertumbuhan dari hasil tanaman
akibat perubahan jarak tanam tentu adalah akibat persaingan antara individu tanaman yang
sama. Suatu tipe hubungan diantara hasil persatuan luas dengan kepadatan tanaman.
Hubungan tersebut menujukkan bahwa peningkatan jumlah tanaman persatuan luas mula-
mula diikuti dengan peningkatan hasil yang proporsional. Peningkatan hasil kemudian
tidak lagi proporsional dengan peningkatan kepadatan tanaman lebih lanjut. Yang berarti
kompetisi mulai bekerja. Persaingan yang semakin keras pada kepadatan yang lebih tinggi
mengakibatkan tingkat hasil hampir konstan sebagai akibat dari hasil penurunan hasil
persatuan tanaman yang sebanding dengan pertambahan jumlah tanaman (McNaughton,
1990).

METODE
Kompetisi Intraspesifik
B. Alat dan Bahan

1. Botol selai
2. Media campuran tape pisang
3. Lalat Drosophila melanogaster
4. Chloroform
5. Kapas
6. Kantong plastik
C. Cara Kerja

1. Persiapkan botol bekas selai yang berukuran sama dan telah dibersihkan.
2. Dua minggu sebelum praktikum, dilakuakan rearing terlebih dahulu.
3. Mengisi botol selai dengan media yang telah disediakan yaitu campuran tape / pisang
dengan perbandingan 1:6.
4. Mengadakan perbedaaan jenis kelamin (Sexing).
5. Mengadakan penanaman dengan sex ratio :
a. 2 jantan 2 betina
b. 2 jantan 4 betina
c. 2 jantan 8 betina
d. 2 jantan 16 betina
6. Setelah penanaman dilakukan pengamatan selama 2 minggu.
7. Hitung lalat jantan dan betina pada tiap botol.
8. Buat grafik pertumbuhan perkembangbiakan yang sama misalnya 2-2, 2-4, 2-8, 2-16.
9. Buat grafik keseluruhan dalam golongan (untuk masing-masing sub grup).
10. Hitung harga laju pertumbuhan dengan asumsi medium tak terbatas dengan menggunakan
rumus :
𝑑𝑁
= Rn
𝑑𝑡

Nt = No.ert

NLn Nt = Ln No + rt
𝑁𝑡
𝐿𝑜𝑔 𝑒 ( )
r= 𝑁𝑜

r = 𝐿𝑜𝑔 𝑒 𝑁𝑡−log𝑒 .𝑁𝑜

Nt = Jumlah individu di akhir praktikum

No = Sex Ratio

T = t2 – t1

R = Laju intrinsic peningkatan ilmiah

Kompetisi Interspesifik

A. Alat dan Bahan

1. Biji kedelai (Glycine max)


2. Biji jagung (Zea mays)
3. Media dari tanah
4. Pot

B. Cara Kerja

1. Peserta praktikum dibagi menjadi 3 kelompok.


2. Setiap kelompok menyediakan 5 pot berukuran sama dan diisi tanah yang siap ditanami
seminggu sebelum praktikum :
a. Pot pertama ditanami 10 biji jagung
b. Pot kedua ditanami 10 biji kedelai
c. Pot ketiga ditanami dengan 5 biji jagung dan 5 biji kedelai di waktu penanaman
yang bersamaan.
d. Pot keempat ditanami dengan 5 biji kedelai, seminggu kemudian ditanami 5 biji
jagung.
e. Pot kelima ditanami dengan 5 biji jagung, seminggu kemudian ditanami 5 biji
kedelai.
3. Siramilah semua pot dengan frekuensi yang sama.
4. Lihatlah pertumbuhannya setiap minggu dengan menghitung : tinggi tanaman dan
banyaknya daun yang tumbuh.
5. Amatilah pertumbuhannya selama 1 bulan.
POKOK BAHASAN IV
MENAKSIR BESARNYA POPULASI

DASAR TEORI
Penelitian mengenai aspek-aspek ekologi dari individu-individu atau
populasi suatu spesies adakalanya disebut penelitian autoekologi. Penamaan ini
digunakan untuk membedakannya dari penelitian sinekologi yang materi
bahasannya berupa komunitas dengan berbagai interaksi antar populasi yang terjadi
dalam komunitas itu.
Untuk dapat mengukur populasi hewan di alam secara umum dapat
dilakukan dengan cara-cara yang disesuaikan dengan tujuan, jenis dan perilaku
hewannya, antara lain :
1. Inventarisasi jenis
Dalam acara ini, dilakukan inventarisasi dengan melakukan penjelajahan ke
berbagai habitat yang ada. Kemudian melakukan identifikasi jenis dengan
menggunakan berbagai buku pegangan (buku identifikasi). Metoda ini biasa
dilakukan untuk hewanhewan besar yang susah untuk dilakukan penangkapan,
seperti Mammalia, Burung, Reptilia, Amphibi, Ikan dan lain sebagainya.
2. Pengukuran populasi
Populasi adalah suatu kelompok individu yang menempati suatu daerah
tertentu dalam waktu tertentu (Krebs,1978). Studi populasi dimaksudkan untuk :
a. Menghitung jumlah individu
b. Menganalisis komposisi jenis
c. Mendeterminasi fluktuasi jumlah individu dan komposisi jenis dari waktu ke waktu
d. Membandingkan jumlah individu dan komposisi jenis dari suatu daerah ke daerah
lainnya.
Cara melakukan pengukuran populasi, dilakukan dengan pencatatan atau
sensus, baik secara langsung, tidak langsung maupun cara gabungan keduanya.
Secara umum untuk dapat menduga populasi hewan ada dua cara pendekatan, yaitu
:
(1) Mengukur densitas absolut, seperti dengan menggunakan metoda penangkapan dan
penandaan- melepas dan menangkap kembali (CMR), pemetan teritorium dan lain
sebagainya.
(2) Menggunakan densitas secara relatif, seperti dengan menggunakan indeks perhitungan
tertentu, dengan pembuatan garis transek, petak contoh (unit cuplikan) atau teknik
pengambilan contoh lainnya.

Dari data yang terkumpul, dapat dianalisis struktur jenis dalam komunitas tersebut
1. Indeks Kelimpahan Jenis
Indeks kelimpahan jenis dimaksudkan untuk menggambarkan komposisi
jenis dalam komunitas. Secara sederhana indeks kelimpahan jenis dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut : Di = 𝑛𝑖 𝑥 100
𝑁
Keterangan :
ni : jumlah individu jenis ke i. N : jumlah
total individu seluruh jenis.

Berdasarkan Jorgensen (1974) untuk menggambarkan komposisi jenis dalam komunitas


dapat dibedakan dalam 3 kelompok yaitu :
- Jenis dominan, yang mempunyai Di > 5%
- Jenis sub dominan, yang mempunyai Di 2—5 %
- Jenis tidak dominan, yang mempunyai Di < 2%

2. Indeks Keanekaragaman/Keanekaan/Keragaman Jenis


Keanekaragaman hewan adalah banyaknya jenis hewan yang terdapat disuatu tempat.
Semakin banyak jumlah jenisnya maka semakin besar keanekaragamanya. Selanjutnya
semakin besar indeks keanekaragaman jenis di suatu komunitas maka berarti semakin
mantap atau stabil komunitas tersebut. Indeks keanekaragaman yang paling umum adalah
indeks keanekaragaman jenis dari Shanon – Weaner atau sering ditulis sebagai Shanon –
Wiener, yaitu :
H’ = E ni/N In ni/N
Keterangan :
ni : jumlah individu jenis ke i N : jumlah
total individu seluruh jenis
In : logaritma bilangan dasar (normal)

3. Indeks Perataan/ Persebaran Jenis


Indeks perataan atau persebaran jenis (evenness index atau the equitability index)
dianalisis untuk mengetahui perataan atau perebaran individu yang dipunyai oleh suatu
jenis hewan di dalam suatu komunitas.
Indeks perataan jenis yang umum adalah : c = 𝐻′
𝐼𝑛 𝑆

Keterangan :
H’ : indeks keanekaragaman jenis Shanon – Wiener
In : logaritma bilangan dasar
S : jumlah jenis

4. Indeks kesamaan
Indeks kesamaan digunakan untuk membandingkan kesamaan jenis-jenis hewan yang
dapat dicatat dari suatu habitat dengan habitat lain atau dari suatu waktu ke waktu lain.
Formulasi rumusnya adalah:
2𝐶
𝑆𝑠= Ss : Indeks kesamaan Sorensen.
𝐴+𝐵
METODE
A. Alat dan Bahan

1. Kontainer jebakan
2. Botol sampel
3. Jaring ayun
4. Tip ex atau cat kuku

B. Cara Kerja

CAPTURE-MARK RECAPTURE

1. Lakukan penangkapan hewan, misal belalang atau capung atau kupu-kupu dengan jaring
ayun dengan satuan usaha yang seragam (misal jumlah dan kekuatan ayunan).
2. Lakukan penandaan pada hewan yang tertangkap (misal dengn ct kuku atau tip ex). Dengan
catatan penandaan tidak mengurangi aktivitas hewan tersebut. Setelah itu lepaskan kembali
hewan yang telah bertanda.
3. Lakukan penangkapan kembali dengan cara yang sama setelah waktu tertentu, catat jumlah
hewan yang bertanda maupun yang tidak bertanda.
4. Kemudian tentukan perkiraan besarnya populasi dengan menggunakan rumus petersen,
yaitu:

0 : perkiraan jumlah individu hewan.


a : jumlah individu hewan hasil tangkapan pertama
kemudian diberi tanda.
n : jumlah semua individu hewan hasil tangkapan kedua (bertanda ataupun tidak bertanda).
r : jumlah individu hewan yang bertanda dan tertangkap kembali pada tangkapan kedua.

Untuk menghitung variansinya adalah:

atau simpangan bakunya

Taksiran populasinya adalah :


POKOK BAHASAN V
SAMPLING MIKROINVERTEBRATA

Tujuan:
1. Mengetahui teknik sampling mikroinvertebrata tanah khususnya mikroartropoda taah.
2. Membandingkan kelimpahan dan keanekaragaman mikroartropoda tanah dari dua lokasi
yang berbeda.

METODE
A. Alat dan Bahan
1. Soil tester
2. Botol sampel
3. Termometer tanah
4. Termometer udara
5. Sekop & linggis
6. Tali rafia
7. Meteran
8. Kantong plastik
9. Corong barlese
10. Mikorskop stereo
11. Pipet tetes
12. Cawan petri
13. Kuas
14. Lampu bohlam
15. Jarum
16. Buku identifikasi
17. Nampan plastik
19. Kamera
19. Alkohol 70%

Cara Kerja
1. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara sistematik menggunakan metode transek garis.
2. Di tiap lokasi yang sudah ditentukan, pilihlah dua titik untuk membuat transek garis
sepanjang 60 m. Di sepanjang garis tersebut tentukanlah empat titik tambahan yang berjarak
masing-masing 10 m untuk pengambilan 6 sampel (6 pengulangan) yang diberi kode titik I,
II, III, IV, V, dan VI. Pengambilan sampel tanah dilakukan menggunakan metode Pencuplikan
Contoh Tanah (PCT) dengan menggali tanah seluas 10 x 10 cm sampai kedalaman 5 cm.
Sampel tanah di setiap titik pengambilan diambil lalu dimasukkan kedalam kantong.
Lokasi A o----------------o---------------o----------------o----------------o------------------o
I II III IV V VI
{------------------------------------- 60 m ------------------------------------------}

Lokasi B o----------------o---------------o----------------o----------------o------------------o
I II III IV V VI

3. Beri label tiap sampel tersebut sesuai dengan lokasi dan titik sampel masing-masing.
4. Ukur faktor fisik – kimia tiap lokasi sampling, antara lain; titik ordinat, ketinggian lokasi
(elevasi), suhu udara, kelembaban udara, pH tanah, suhu tanah, dan kelembaban tanah.
5. Sampel tanah yang sudah siap segera dibawa ke laboratorium untuk dilakukan ekstraksi
mikroartropoda tanah menggunakan corong Barlese (Barlese funnel).
6. Ekstraksi mikroartropoda tanah. Masukkan tiap sampel tanah kedalam corong berkasa. Jika
volume sampel tanah lebih banyak dari volume corong, lakukan sub-sampling dengan cara
menimbang sampel tanah sebelum di sub-sampling. Misalnya berat sampel tanah sebelum
disub-sampling 600g tanah, maka ambilah 300g diantaranya sebagai sum-sampel yang akan
diekstraksi.
7. Tempatkan penampung sampel (botol sampel) yang berisi 50 ml alkohol 70% tepat dibawah
corong. Ekstraksi dilakukan di bawah lampu bohlam 40 watt selama minimal 5 hari. Alkohol
harus di cek setiap hari dan harus diisi jika volumenya berkurang.

Gambar 1. Modifikasi Barlese Funnel Extractor (corong Barlese).


8. Setelah 5 hari, dilakukan panen mikroartropoda tanah dengan cara mengakhiri ekstraksi
dan memindahkan botol-botol berisi sampel ke tempat penyortiran.
9. Penyortiran mikroartropoda tanah dilakukan dengan cara memindahkan mikroartropoda
dari botol sampel ke cawan petri menggunakan pipet, pinset dan kuas.
10. Lakukan identifikasi sampai kelompok taksa yang paling memungkinkan (minimal ordo).
11. Hitung jumlah individu tiap kelompok taksa .
12. Proses identifikasi dan pengelompokan taksa dilakukan dengan cara melihat morfologi
yang diamati menggunakan mikroskop stereo dan buku acuan untuk identifikasi.
13. Buat tabulasi mikroartropoda tanah yang didapat dan bandingkan hasil sampling yang
diperoleh antara dua area pengambilan yang berbeda.

Tabel 5.1. Contoh tabulasi jenis taksa dan jumlah individu tiap taksa mikroartropoda tanah di
tiap lokasi pengamatan.
Lokasi A Lokasi B
I I II I V V Rerat I I II I V V Rerat
Taksa I I V I a I I V I a
Collembola 2 3 5 1 0 1 2
Acari
Diplura
Chilopoda
Diplopoda
Formicidae
Psedoscorpio
n
Dll.
POKOK BAHASAN VI
PLOTLESS SAMPLING
Menentukan kelimpahan dan keanekaragaman vegetasi

Tujuan:
 Mengetahui teknik-teknik analisis vegetasi pohon tanpa menggunakan plot di
ekosistem hutan homogen dan heterogen.

Metode sampling plot atau kuadrat dalam kondisi tertentu dirasa merepotkan dan memakan
waktu lama. Selain itu hasilnya sangat tergantung ukuran, bentuk, dan jumlah plot yang digunakan.
Metode plotless menjadi alternatif berguna untuk sampling tumbuhan atau hewan sessil dan
memiliki kelebihan tidak harus membuat batas pengamatan berupa ukuran dan bentuk tertentu.
Metode sampling plotless yang paling populer adalah metode point-quarter, atau kuadran.
(Jangan keliru kuadran dengan kuadrat).
Akurasi metode kuadran cocok untuk individu-individu yang berdistribusi secara acak,
terutama jika hanya terdapat sejumlah kecil individu saja. Namun metode kuadran bisa
dimodifikasi agar cocok untuk individu-individu yang berdistribusi secara berkelompok ataupun
homogen. Metode modifikasi ini adalah sampling wandering-quarter.

Gambar 7.1 Metode sampling point-quarter atau kuadran. Pada sampling point-quarter,
tentukan jarak terdekat point-to-point (di) di tiap kuadran.
Gambar 7.2 Metode sampling wandering-quarter. Pada sampling ini, tentukan jarak pohon
terdekat dari kuadran pertemuan dua garis, dan kemudian pohon tersebut menjadi titik pusat
kuadran berikutnya dengan membuat garis imajiner sejajar dengan transek sebelumnya. Masing-
masing nilai di adalah jarak dari pusat titik kuadran ke pohon berikutnya di kuadran masing-
masing.

METODE
A. Alat dan Bahan
1. Pensil/spidol anti air
2. Buku catatan
3. Kantong plastik
4. Kompas
5. Meteran

Cara Kerja

Metode Point-quarter
1. Di area pengamatan vegetasi, tentukan satu titik secara acak. Tandai titik tersebut
menggunakan pasak.
2. Jadikan titik pusat tersebut sebagai lokasi awal untuk membuat garis imajiner empat arah
mata angin (U, S, T, B) yang membagi lokasi sampling menjadi empat kuarter, atau
kuadran.
3. Di masing-masing kuadran, ukur jarak dari titik pusat ke individu pohon terdekat (apapun
spesiesnya). Hanya satu pohon perkuadran yang diukur sehingga total ada empat pohon
yang dicatat untuk masing-masing titik sampel.
4. Identifikasi pohon yang didapat dan catat area yang dicover (coverage area). Jika pohon-
pohon di daerah tersebut berjarak jauh satu sama lain dan tidak acak (homogen), maka
pohon yang sama (spesies yang sama) kemungkinan besar dihitung lebih dari sekali. Pada
situasi demikian, metode point-quarter tidak layak digunakan.

Metode Wandering-quarter
1. Dengan menggunakan kompas, tentukan satu kuadran (sudut 900) dengan dua garis transek
yang saling berpotongan seperti pada Gambar 7.2.
2. Ukur jarak dari titik perpotongan terhadap pohon terdekat pada kuadran.
3. Identifikasi pohon tersebut. Estimasi coverage area nya.
4. Pohon yang didapat dijadikan sebagai titik baru untuk kuadran kedua dengan membentuk
sudut 900 . Ikuti prosedur yang sama seperti prosedur nomor 1 sampai dengan 3.
5. Ulangi prosedur ini sampai mencapai akhir transek.
POKOK BAHASAN VII
SAMPLING BIOTA AKUATIK

Tujuan:
Mengetahui teknik-teknik sampling hewan akuatik khususnya makrozoobentos di berbagai
tipe perairan.

DASAR TEORI
Habitat perairan memiliki stratifikasi. Organisme yang menempati permukaan air
dinamakan neuston; yang berada dipermukaan atau dibawah substrat dinamakan benthos
(makrozoobenthos); dan yang berada diantara keduanya dinamakan nekton atau plankton.
Teknik dan peralatan untuk mengoleksi organisme akuatik secara kuantitatif tergantung pada
stratum. Di lingkungan perairan, estimasi kerapatan absolut yang akurat sulit didapat, dan variasi
ukuran organisme, habitat, dan aktivitasnya berkontribusi terhadap bias yang terjadi pada
pengukuran tersebut.
Salah satu teknik sampling yang cukup banyak digunakan adalah grab sampling. Pada
teknik ini kita memindahkan sebagian kecil habitat (substrat atau air) pada waktu tertentu.
Sebaliknya, perangkap jebak (traps), seines, plate samplers, dan townets merupakan teknik
pengambilan sampel tanpa memindahkan habitat apapun. Grab sampling mengoleksi sampel
organisme secara kuantitatif dari suatu habitat, oleh karena itu kita memungkinkan menghitung
kerapatan absolut. Meskipun demikian, grab sampling tidak selalu mudah dikuantifikasi.
Khususnya pada beberapa tipe habitat benthik, area yang homogen atau volume substrat sulit
dikoleksi. Contohnya, dari 1 m2 habitat yang disampling bisa jadi memiliki 5 m2 area permukaan
bebatuan atau gravel yang tidak dihuni organisme, sehingga hanya memungkinkan mengestimasi
kerapatan absolut, daripada kerapatan ekologi.
Dredges (alat pengeruk) biasa dipakai untuk mengeruk dasar perairan, baik hanya mengikis
permukaan atau menggaruk substrat (tergantung desain alat). Salah satu contoh dredge yang
populer adalah Ekman grab/dredge. Dengan mengetahui lebar mulut dredge dan kedalamannya,
kita bisa mendapatkan hasil tangkapan yang dinyatakan dalam “jumlah individu per unit volume”
atau “jumlah individu per unit area substrat”. Alat ini cocok dipakai untuk sampling hewan akuatik
di perairan yang cukup dalam dan bersubstrat lunak sehingga memerlukan pengambilan sampel
perlu dilakukan dari atas perahu. Di perairan mengalir yang dangkal, alat yang cukup praktis
digunakan adalah jaring Surber (biasa juga disebut Surber swift-water net). Alat ini terdiri dari
rangka besi berbentuk segi empat yang mewakili luas area tertentu (biasanya 0,1 m2).

METODE
A. Alat dan Bahan
1. Botol sampel
2. Water checker (pH, salinitas, DO)
3. Saringan benthos
4. Pinset
5. Pensil/spidol anti air
6. Sekop
7. Kantong plastik
8. Mikroskop stereo
9. Cawan petri
10. Nampan plastik
11. Rose Bengal

Cara Kerja

A. Lokasi sungai/danau/laut yang agak dalam dan bersubtrat lunak (lumpur atau
pasir).
1. Gunakan alat Ekman grab untuk mengambil sampel makrozoobenthos di substrat lunak.
2. Pastikan terlebih dahulu mulut Ekman grab dalam posisi terbuka sebelum diturunkan ke
dasar perairan.
3. Turunkan Ekman grab secara perlahan sampai menyentuh dasar perairan.
4. Jatuhkan bandul penutup mulut Ekman grab. Pastikan tali grab dalam kondisi tegang dan
tegak lurus terhadap permukaan air.
5. Angkat Ekman grab dengan cara menarik tali dan pindahkan seluruh substrat hasil
sampling ke atas loyang saringan benthos.
6. Bilas substrat untuk menghilangkan lumpur pengotor dengan cara menggoyang-goyangkan
loyang saringan dipermukaan air.
7. Pindahkan sampel subtrat kedalam kantong plastik. Teteskan formalin 4% sebagai
pengawet dan larutan rose bengal sebagai pewarna jaringan. Bubuhi label dengan cara
menempel stiker label yang telah ditulisi nama sampel menggunakan pensil atau spidol anti
air. (jangan gunakan ballpoint yang mudah luntur kena air).
8. Bawa sampel substrat ke laboratorium untuk dilakukan penyortiran, penghitungan dan
identifikasi.
9. Penyortiran dilakukan dengan cara memisahkan benthos dari substrat sungai menggunakan
cawan petri dan pinset.
10. Lakukan identifikasi benthos dengan bantuan mikroskop stereo dan buku acuan identifikasi
benthos.
11. Catat jenis dan jumlah benthos yang ditemukan.

B. Lokasi sungai yang dangkal.


1. Gunakan jaring Surber untuk mengambil sampel makrozoobenthos di sungai dangkal.
2. Letakkan Jaring Surber di dasar sungai dengan mulut jaring mengarah berlawan arah
terhadap aliran sungai.
3. Pindahkan batu-batu dan kerikil dari area sampling Surber ke dalam nampang saringan.
4. Substrat yang berada tepat di area bingkai Surber diaduk perlahan. Hewan-hewan yang
terganggu karena substratnya diaduk kemudian terbawa arus air menuju jaring Surber.
5. Batu-batu dan kerikil (khususnya yang terendam air) harus diamati dengan cermat karena
besar kemungkinan terdapat hewan-hewan invertebrata yang menempel. Gunakan sikat
untuk melepas hewan-hewan tersebut dari bebatuan. Lakukan penyikatan didalam air tepat
didepan mulut jaring Surber.
6. Pindahkan sampel benthos yang didapat ke dalam kantong plastik. Teteskan formalin 4%
dan sebagai pengawet dan larutan rose bengal sebagai pewarna jaringan.
7. Bubuhi label dengan cara menempel stiker label yang telah ditulisi nama sampel
menggunakan pensil atau spidol anti air. (jangan gunakan ballpoint yang mudah luntur kena
air).
8. Bawa sampel substrat ke laboratorium untuk dilakukan penyortiran, penghitungan dan
identifikasi.
9. Penyortiran dilakukan dengan cara memisahkan benthos dari substrat sungai menggunakan
cawan petri dan pinset.
10. Lakukan identifikasi benthos dengan bantuan mikroskop stereo dan buku acuan identifikasi
benthos.
11. Catat jenis dan jumlah benthos yang ditemukan.

Tabel 6.1. Form data pengukuran fisika-kimia perairan.

Tanggal sampling ..................


Nama lokasi ..................
Ordinat ..................
Alat sampling ..................
Temperatur air ..................
DO ..................
Salinitas ..................
Tabel 6.2. Form data pengamatan benthos
Kode sampel: ..............
No Jenis benthos Jumlah individu Keterangan
POKOK BAHASAN VIII
SAMPLING VERTEBRATA

Tujuan :
Mahasiswa mampu melakukan pengukuran struktur komunitas vertebrata (burung)
menggunakan metode sampling Poin Count.
Dasar teori :
Metode Point count (titik hitung) dilakukan dengan berjalan ke suatu tempat tertentu,
memberi tanda, dan selanjutnya mencatat spesies yang ditemukan selama jangka waktu yang telah
ditentukan sebelumnya (5-10 menit) sebelum bergerak ke titik selanjutnya. Perbedaan antara
metode garis transek dengan metode titik hitung adalah dalam metode titik hitung, pengamat tetap
berdiri dalam satu lokasi yang telah ditetapkan (sebuah stasiun sensus) selama periode waktu
tertentudan mencatat serta menghitung semua burung baik yang terlihat maupun yang terdengar.
Dibandingkan dengan garis transek, titik hitung sering lebih sesuai untuk melakukan survei burung
yang tidak terlalu banyak berpindah, dan juga lebih mungkin untuk dilakukan dihabitat yang rapat.
Alasannya adalah karena penempatan jalur transek secara acak kemungkinan hanya akan melalui
dua atau tiga tipe habitat saja dikawasan yang memeiliki rentang yang lebih luas untuk menjangkau
berbagai tipe habitat. Di daerah yang sama, penempatan stasiun sensus, baik secara acak maupun
secara sistematis, tampaknya memiliki rentang yang lebih luas untuk menjangkau berbagai tipe
habitat yang ada. Selain itu, jika tujuan studi adalah untuk mengetahui lebih rinci hubungan habitat
dan jenis-jenis burung, data habitat bias diperoleh dari catatan keadaan yang ada di sekitar masing-
masing stasiun sensus dan dapat dengan mudah diasosiasikan dengan kehadiran/ketidakhadiran
individu suatu jenis burung.
Lokasi titik hitung sebaiknya ditempatkan secara acak di dalam unit sampel atau tipe-tipe
habitat. Selain untuk memperoleh cakupan yang memadai untuk masing-masing unit, anda dapat
mengambil teknik acak berdasarkan ketinggian. Cara yang praktis dalam penempatan titik hitung
yaitu dengan meletakkan di luar jalur transek mengikuti jalan setapak atau sungai tetapi dengan
menempatkan setiap lokasi pada jarak tertentu yang tegak lurus ke jalur transek tersebut. Jones
dkk. (1995) telah menggunakan prosedur ini, satu di antara dua stasiun sensus ditempatkan sejauh
50 m secara berselang-seling pada sisi-sisi jalur transek. Pertimbangan lain yang penting adalah
jarak antara stasiun-stasiun sensus berdekatan satu sama lain, maka burung-burung bias dicatat
dari satu stasiun dan kemudian akan berpeluang besar untuk terbang dengan jarak yang cukup
pendek ke stasiun sensus berikutnya. Jika stasiun sensus itu satu dengan lainnya terlalu jauh, akan
terjadi pemborosan waktu untuk berjalan diantara keduanya. Jarak yang umumnya disepakati
untuk dua stasiun dihutan yang lebar berkisar antara 200-250 m. Jika focus suatu studi adalah
burung-burung kecil, cenderung menetap dan jenis-jenis yang banyak bergerak terutama untuk
studi di habitat terbuka, jarak antara stasiun harus lebih besar, 350-400 m adalah jarak biasa.

METODE

A. Alat dan Bahan


1. Binokuler (teropong)
2. Alat tulis
B. Cara Kerja
1. Lokasi yang akan disensus ditentukan berdasarkan survey yang telah dilakukan, kemudian
garis transek dibuat sesuai keadaan lokasi yang akan disensus.
2. Sepanjang garis transek dibuat sebanyak 5 titik hitung dengan jarak yang konstan antara
titik satu dengan titik lainnya.
3. Jarak antara titik stasiun satu dengan yang lain sepanjang 150 m (sesuai dengan luasan area
yang akan di sensus).

Titik pengamatan

150m D = 20m

Jarak antara titik pengamatan 150m

4. Tiap titik hitung dilakukan pengamatan dengan luasan berbentuk lingkaran berdiameter 20
m.
5. Tiap titik hitung diamati selama 10 menit menggunakan binokuler.
6. Spesies burung yang berada di dalam lingkaran titik hitung diamati, kemudian dihitung
jumlah spesies serta jumlah individu tiap spesies.
7. Data tiap titik hitung dimasukkan kedalam table berikut :
No. Nama Spesies Jumlah Keterangan
1.
2.
3.

DAFTAR PUSTAKA

Amidjaja, T. et all. 1970. Proceeding Bidang Biologi jilid I Biologi Umum. ITB. Bandung.

Began, M. et all. 1990. Ecology Individuals Populations and Communities. Blackwell Scientific
Publications. London.

Cox, G. W., 1972. Laboratory Manual of General Ecology. Win Heinemann Eduntional Books.
London.

Dumbois, D. M. and Ellenbergh H., 1974. Aims and Method of Vegetation Ecology. Wiley
International Editions. New York.

Dwijoseputro, D., 1991. Ekologi Manusia dengan Lingkungan. Erlangga. Jakarta.

Irwan. 1997. Tipe - Tipe Ekosistem. Gramedia. Jakarta.

Iskandar, J. dan B. Yoyok. 1986. Metode Pengukuran dan Analisis Data Aspek Flora dan
Fauna Sumber Daya Alam dan Lingkungan. UNPAD. Bandung

Kimball, J. W., 1992. Biologi Umum Jilid 3. Erlangga. Jakarta.

McNaughton, S. J and Larry L. W., 1990. Ekologi Umum. UGM Press. Yogyakarta.

Michael, P., 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. UI Press.
Jakarta.

Nanik Heru Suprapti, Hendarko Sugondo, Erry Wiryani dan Mochammad Hadi. 2002. Ekologi.
Laboratorium Ekologi dan Biosistematika Jurusan Biologi, FMIPA UNDIP.
Semarang.

Odum, E. P., 1993. Dasar - Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. UGM Press. Yogyakarta.

Parson, T. R. Takashi M. and Hagrobe B. 1984. Biological Ocenographic 3rd edition.


Pergamon Press. Oxford.

Southwich, C. H., 1972. Ecology & The Quality of Our Environment. Von Nostrand Reinhold
Company. New York.

Anda mungkin juga menyukai