DI KABUPATEN SLEMAN
SKRIPSI
OLEH
ISNAENI NURUL KHUSNA
13/353262/SP/25966
PEMBIMBING
2017
HALAMAN PENGESAHAN
ii
iii
MOTTO
HIDUP
***
KECIL TERBINA
MUDA BERKARYA
HIDUP BERSAHAJA
BERKELUARGA BAHAGIA
TUA SEJAHTERA
***
iv
PERSEMBAHAN
3. Kakak dan Adikku (Mba Pipit dan Dik Dyas) yang sangat kusayangi
5. Calon Imam hidupku yang sabar menunggu dalam ketaatan hati hingga
agung.
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Dengan segala kerendahan hati senantiasa penulis mengucap puji syukur ke hadirat Allah
SWT atas semua rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa diberikan serta atas izin-Nyalah
Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Dinamika Collaborative Governance
lancar.
Berbagai hambatan dan pengalaman menjadi pengalaman yang berharga bagi penulis
sebagai dari proses penyelesaian studi di kampus. Berkat bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak pula lah akhirnya skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, atas segala bantuan, bimbingan
dan arahan yang telah diberikan kepada penulis, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan
ilmu yang sangat berharga dan bermanfaat serta terkhusus kepada Bapak Drs.
Suparjan, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah sabar memberikan masukan dan
2. Bapak H. Drs. Mulyanto, MM selaku sekretaris penuh waktu KPA Sleman yang telah
Sleman.
3. Mas Dwi Suryanto selaku pengelola program KPA Sleman atas segala kebaikan hati,
vi
4. Ibu dr. Wisnu selaku Kepala Bidang P2PL Dinas Kabupaten Sleman yang bersedia
5. Semua koordinator, manajer program dan staf LSM-LSM Peduli AIDS Kabupaten
Sleman: Yayasan Vesta Indonesia, Yayasan Victory Plus, PKBI Sleman, OPSI DIY
dan LSM Kebaya atas segala kerja sama, keramahan dan keterbukaan informasi yang
diberikan.
6. Hibah Riset Fisipol UGM 2016 yang telah mendanai penelian ini.
8. Keluarga besar KBM Nurul Hikmah atas kasih sayang, dukungan dan perhatian yang
senantiasa diberikan.
10. Mas Firstian Abdi Bintoro (Mas Bin) atas pinjaman laptop dan rayuan yang
membuat semangat.
11. Keluarga besar KBM Akselerasi GP 28 Caturtunggal atas pembinaan yang begitu
12. Keluarga besar PERMATA Desa Concongcatur atas nasihat yang dan motivasi yang
13. Semua sahabat KKN STG-02 2016 Wakatobi atas pengalaman yang mengesankan.
14. Kawan-kawan BEM KM UGM periode 2013 hingga 2015 atas pengalaman berharga
vii
15. Kepengurusan KAPSTRA 2014 hingga 2015 atas kerjasamanya untuk mencoba
16. Para Mentor dan rekan-rekan Insan Mulia Enterpreneur Academy (IMEA) Batch 01
17. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini, yang tidak bisa
Penulis menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangan dari skripsi ini karena
adanya keterbatasan teknik dan pengetahuan penulis.Oleh karena itu segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dan semoga skripsi ini dapat
Penulis
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang Maha Kuasa, karena atas
limpahan rahmat dan hidayahNya saya dapat menetapi agama islam yang murni ini. Shalawat dan
salam tak lupa penulis panjatkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, yang mana atas
perjuangannya, agama rahmatan lil alamin ini dapat penulis rasakan saat ini. Begitupun dengan para
perantara agama yang telah memperjuangkan Al-qur’an dan Hadist yang saya jadikan pedoman
hidup hingga saat ini, atas perjuangannya saya ucapkan Alhamdulillah jazahumullahukhoiro.
Sesungguhnya karya skripsi yang berjudul “Dinamika Collaborative Governance Antar Stakeholder
Dalam Upaya Penanggulangan HIV&AIDS di Kabupaten Sleman” sebagai bagian dari instrumen
perjuangan penulis untuk melanjutkan dakwah bagi umat islam di masa mendatang. Pengerjaan karya
ini semurni-murninya diniati untuk kelancaran dan kebarokahan saya dalam menjalankan ibadah.
Penelitian yang berlokasi di Kabupaten Sleman ini mengkaji tentang dinamika collaborative
governance yang berlangsung dalam upaya penanggulangan HIV&AIDS selama ini.Sebagaimana
diketahui bahwa HIV&AIDS merupakan masalah yang memiliki dampak yang kompleks dan tidak
bisa diatasi dengan hanya salah satu pihak saja namun penanganannya memerlukan keterlibatan
multi pihak/multi stakeholder agar pengendalian penularan HIV&AIDS dapat efektif dan
komprehensip. Memilih sampel penelitian di Kabupaten Sleman karena angka kasus HIV di wilayah
ini merupakan tertinggi diantara Kabupaten lain di Provinsi DIY. Pada penelitian ini, peneliti akan
mengupas tuntas terkait bagaimana dinamika collaborative governnace yang terjadi antara
stakeholder yang terlibat meliputi aspek keterlibatan, motivasi bersama dan kapasitas aksi bersama,
serta mengetahui faktor penghambat apa saja yang mempengaruhi dinamika tersebut, serta penulis
mencoba memberi makna dari fakta yang terjadi dilapangan. Penulis menyadari bahwa dalam proses
penulisan karya ini tidak luput dari segala kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua
pihak sangat diperlukan untuk pengembangan penelitian ini agar lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Semoga karya ini bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak terkait, terutama untuk para
stakeholder kebijakan dalam memformulasikan kebijakan dan manajemen pemerintahan yang tepat
untuk penanggulangan HIV&AIDS yang lebih efektif, komprehensif dan berkelanjutan agar
penurunan angka penularan HIV&AIDS hingga zero infected bisa terwujud.
ix
DAFTAR ISI
MOTTO .................................................................................................................... iv
PERSEMBAHAN .......................................................................................................v
KATA PENGANTAR..............................................................................................ix
DAFTAR ISI..............................................................................................................x
ABSTRAKSI.............................................................................................................xv
ABSTRACTION..................................................................................................... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................1
x
1.6.1 Alasan Melakukan Kolaborasi .........................................................................19
a. Keterlibatan Berprinsip...............................................................................29
xi
2.6.1 Observasi ...............................................................................................52
2.7.2 Konfirmabilitas......................................................................................59
xii
DALAM PENAGGULANGAN HIV DAN AIDS DI SLEMAN ............................88
4.3.C Keterbatasan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Keuangan ...118
xiii
4.5 Power Sharing Yang Baik Menguatkan Collaboration Governance
LAMPIRAN ............................................................................................................134
xiv
ABSTRAKSI
HIV&AIDS menjadi masalah yang serius bagi kesehatan masyarakat apabila tidak
ditanggulangi dengan baik, karena sangat berkaitan erat pembangunan suatau negara yakni
berpengaruh pada tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia. Kabupaten Sleman masih
menduduki jumlah kasus yang tertinggi di Provinsi DIY. Terbentuknya KPA selaku badan yang
khusus menanggulangi kasus AIDS mempunyai tugas dan fungsi pokonya ada
mengkoordinasikan semua program penanggulangan HIV&AIDS yang ada pada lintas sektor
baik pada elemen pemerintah, elemen komunitas (LSM Peduli AIDS) dan swasta. Dengan
banyaknya institusi yang terlibat dalam upaya penanggulangan HIV&AIDS mengapa prevalensi
dan jumlah kasus HIV&AIDS tidak kunjung mengalami penurunan yang signifikan justru ada
kecenderungan meningkat tajam. Sehingga pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana dinamika kolaborasi yang dibangun oleh KPA Sleman, Dinas Kesehatan Sleman,
LSM Peduli AIDS atau 3 Pilar dalam menanggulangi HIV&AIDS di Kabupaten Sleman dan
mengetahui faktor penghambat apa yang mempengaruhi kolaborasi tersebut.
Dalam melihat fenomena ini akan lebih banyak menggunakan perspektif mengenai
kelembagaan serta dibingkai dalam teori collaborative governance yang ditawarkan oleh
Emerson dkk. Teori ini tergolong pada paradigma New Public Management yang mana dalam
mengambil kebijakan untuk pelayanan publik dan mencapai tujuan publik yang hanya bisa
dicapai dengan melibatkan banyak pihak/stakeholder. Ada beberapa aspek yang harus dipenuhi
oleh masing-masing stakeholder sebagai syarat agar dinamika collaborative governance berjalan
dengan baik seperti aspek keterlibatan,motivasi dan kapasitas aksi bersama.
Untuk menerangkan fenomena yang akan diteliti secara mendalam, komprehensip serta
menguak dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang terjadi sehingga pada penelitian ini
menggunakan metode kualitatif deskriptif serta penentuan informan dengan metode purposive
sampling dan data riset yang berhasil dikumpulkan yakni melalui wawancara, dokumentasi dan
obesrvasi. Lokasi penelitian ini berada di Kabupaten Sleman.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dinamika kolaborasi antara tiga stakeholder tersebut
berjalan dengan baik dengan melihat aspek keterlibatan, motivasi bersama dan kapasitas aksi
bersama Aspek keterlibatan dapat dikatakan baik sebab terjadi komunikasi intensif diantara
ketiga stakeholder. Aspek motivasi dikatakan baik pula karena dalam dinamika kolaborasi antara
ketiga stakeholder memuat unsur saling percaya, saling memahami, legitimasi internal dan
komitmen bersama yang berjalan sama baik dan kuat. Namun dalam aspek kapasitas aksi bersama
pada unsur kelembagaan kolaboratif dan sumber daya memiliki beberapa tantangan yang
menjadikanya kurang berjalan maksimal sehingga dapat mempengaruhi keberlangsungan
kolaborasi secara umum. Sedangkan unsur leadership menunjukan bahwa pola yang terjalin
adalah pola jaringan sehingga tidak terjadi hierarki dalam kolaborasi serta pengetahuan yang
mampu diakses dengan baik oleh semua stakeholder. Dinamika kolaborasi yang berhasil
dibangun dapat dikategorikan pada tahapan eksplorasi. Faktor penghambat yang ditemui dalam
dinamika kolaborasi tersebut adalah faktor kultur dan keterbatasan sumber daya. Dari data riset
yang diperoleh dapat dimaknai bahwa collaborative governance yang terjadi sekaligus mampu
digunakan sebagai mekanisme kontrol yang kuat antar stakeholder.
Kata Kunci: Dinamika collaborative governance, faktor penghambat, penanggulangan
HIV&AIDS
xv
ABSTRACTION
HIV and AIDS is a serious problem for public health if not addressed properly, because it
is very closely related to the development of the country suatau effect on the high and low quality
of human resources. Sleman still occupy the highest number of cases in the province.
Establishment of the KPA as a specialized agency tackling AIDS cases has the duty and function
of existing pokonya coordinate all the HIV and AIDS exist in both the cross-cutting elements of
the government, the community element (AIDS NGOs) and the private sector. With the number
of institutions involved in the response to HIV and AIDS why the prevalence and incidence of
HIV and AIDS does not go to experience a significant decline in fact there is a tendency to rise
sharply. So in this study aims to determine how the dynamics of collaboration developed by KPA
Sleman, Sleman Health Service, AIDS NGOs or third pillar in tackling HIV and AIDS in Sleman
and knowing what the inhibiting factors that affect the collaboration.
In view of this phenomenon will be more use of the institutional perspective and framed
in the theory of collaborative governance offered by Emerson et al. This theory belong to the
paradigm of New Public Management which in their policy for public services and achieve public
objectives can only be achieved by involving many parties / stakeholders. There are several
aspects that must be met by each stakeholder as a condition for the dynamics of collaborative
governance goes well as aspects of engagement, motivation and capacity of collective action.
To explain the phenomenon to be studied in depth, comprehensively and to uncover and
understand something behind the phenomena that occur so that in this study using descriptive
qualitative methods as well as determination of informants using purposive sampling and research
data collected namely through interviews, documentation and obesrvasi. The location of this
research is in Sleman.
The results showed that the dynamic collaboration between the three stakeholders that
goes well with a view aspects of engagement, motivation and capacity of collective action
together with the involvement aspect can be good because it occurs an intensive communication
among the three stakeholders. Motivational aspects also said to be good because of the dynamics
of the collaboration between the three stakeholders contains elements of mutual trust, mutual
understanding, internal legitimacy and commitment that runs equally well and strong. However,
in the aspect of joint action capacity at the institutional elements of collaborative and resource has
several challenges which makes it less running optimally so as to affect the sustainability of
collaboration in general. While elements of leadership that exists shows that the pattern is a
network pattern so there is no hierarchy in the collaboration and knowledge that can be accessed
by all stakeholders. The dynamics of collaboration which have been built can be categorized in
the exploration stage. Inhibiting factors encountered in the collaboration dynamics are cultural
factors and resource limitations. From the research data obtained can be interpreted that
collaborative governance is happening at the same time capable of being used as a powerful
control mechanism between stakeholders.
Keywords: Dynamics of collaborative governance, inhibiting factors, prevention of HIV
& AIDS
xvi
BAB 1
PENDAHULUAN
menentukan arah penelitian kita. Penulisan judul sendiri harus disesuaikan dengan pokok
dari isi penelitian yang akan kita lakukan. Judul dapat membantu pembaca untuk lebih
cepat mengetahui fokus dari penelitian yang akan dibaca. Judul dalam sebuah karya
penulisan berfungsi sebagai alat untuk menunjukkan kepada pembaca tentang hakekat
dari objek dan fokus dari penelitian, wilayah, serta metode yang dipergunakan. Judul
Pemilihan judul tersebut tentu dilandasi oleh beberapa alasan yang menurut
peneliti sangat rasional. Alasan tersebut merujuk pada aspek aktualitas, orisinalitas, serta
relevansi dengan ilmu yang peneliti geluti yakni Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.
Hal ini disebabkan ketiga aspek tersebut adalah bagian yang harus dipertimbangkan guna
memastikan urgensi dari sebuah penelitian. Berikut ini akan dijelaskan rasionalisasi
1.1.1 Aktualitas
dilakukan banyak pihak. Dengan adanya penelitian ini diharapkan nantinya dapat
1
memberikan masukan kepada pemegang kepentingan terkait dalam upaya
HIV&AIDS ini. Dengan demikian penelitian ini masih aktual untuk dilakukan sesuai
dengan kondisi sosial yang terjadi didalam masyarakat dimana hingga sampai saat ini
UGM penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian yang pertama yang
HIV&AIDS di Sleman.
Departemen tersebut memiliki tiga konsentrasi utama, yaitu Pemberdayaan, CSR, dan
Kebijakan Sosial. Tema yang diangkat dalam penlelitian ini yakni analisis kelembagaan
Penelitian ini mampu bersinggungan sekaligus antara fokus kebijakan, pemberdayaan dan
CSR sebab stakeholder yang terkait didalamnya meliputi pemerintah, peran swasta juga
kelembagaan. Sehingga penelitian ini erat bersinggungan dengan ilmu yang dikaji dalam
masyrakat dan institusi sosial, serta penelitian ini harapannya mampu memberikan
2
dalam penanggulangan HIV&AIDS yang terus meningkat, dengan demikian sama artinya
masyarakat rentan dikatakan bahwa masyarakat rentan adalah kelompok masyarakat yang
masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan tidak dapat
jasmani, rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan, atau
sosial.Ada 22 macam jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang saat
ini ditangani oleh Departemen Sosial saat ini diantaranya adalahorang dengan
1.1.3 Orisinalitas
3
(a) Niluh Gede Susantie (2007), UGM dalam tesisnya yang berjudul Koordinasi
Manokwari, penelitian ini menggunakan metode kualitatif, hal yang ingin diketahui
dari penelitian ini adalah bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan dalam pencegahaan
terbentuk antar kemitraan. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa bentuk
kegiatan sudah dilaksanakan mulai dari upaya preventif hingga kuratif namun dalam
segi koordinasi tidak ada integrasi dalam KPA Daerah Manokwari, stakeholder yang
belum bekerja optimal. Koordinasi gagal karena terhambat keterbatasan dana. Serta
kemitraan yang dijalin dilaksanakan secara formal dan informal namun bersifat semu,
saja, kalangan LSM memandang persoalan HIV&AIDS lebih mendalam, hal tersebut
(b) Asri Swatini (2010), Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Collaborative
hasil bahwa dalam proses kolaborasi diantara KPA Surakata tidak bekerja secara
efektif tetapi tergantung pada LSM lokal peduli AIDS dalam pencarian data dan
LSM lokal tetapi pihak LSM dalam operasionalnya dapat bertahan mellaui lembaga
donor internasional. Pihak LSM lokal merasa KPA tidak bekerja signifikan dalam
4
penurunan angka penderita AIDS di Surakata. Penelitian tersebut menggunakan
Dalam penelitian ini, peneliti melihat bahwa ide yang diangkat untuk dalam
mengenai penanggulangan HIV&AIDS ini banyak dilakukan oleh peneliti dari klaster
sains dan medika, namun keunikan dari penelitian ini adalah keberanian untuk
ada sebelumnya.
Hal yang menjadikan penelitian ini tetap orisinal dan berbeda dari penelitian yang
sudah dijelaskan diatas, selain setting waktu dan tempat penelitian adalah penelitian
Diantara beberapa permasalahan publik yang memiliki implikasi luas dan tidak
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang disebabkan oleh infeksi dengan
Human Immunodeficiency Virus/ HIV kini telah menjadi fenomena yang menyita
5
perhatian banyak kalangan masyarakat beberapa tahun terakhir. Masalah kesehatan
berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia, sebab dengan kulitas hidup
masyarakat yang baik pada akhirnya akan mengantarkan menuju masyarakat yang
lebih maju dan sejahtera. Kesehatan yang buruk pada gilirannya akan mempengaruhi
(Darwin 2005:63). Maka dari itu negara berkewajiban memenuhi hak dasar/hak sosial
penyakit ini mengindikasikan rendahnya moral dan perilaku seksual yang tidak sehat
perhatian dunia sejak dekade tahun delapan puluhan.Di indonesia sendiri isu
sebab kasus penderita HIV&AIDS di Indonesia masih tinggi dan cenderung terus
Pemerintah melalui kerjasama dengan berbagai lembaga dalam atau luar negeri.
Berikut ditampilkan situasi HIV&AIDS yang bersumber dari Ditjen PP-PL melalui
6
Gambar 1. Kasus HIV&AIDS yang dilaporkan Tahun 1987 hingga September
2014
dari tahun ke tahun sejak pertama kali dilaporkan (tahun 1987). Sebaliknya jumlah kasus
AIDS menunjukan kecenderungan meningkat secara lambat bahkan sejak tahun 2012
jumlah kaus AIDS mulai turun. Jumlah kumulatif penderita HIV dari tahun 1987 sampai
September 2014 sebanyak 150.296 orang, sedangkan total kumulatif kasus AIDS
diterima dari Ditjen PP & PLKemenkes RI 17 Oktober 2014, Provinsi Daerah Istimewa
sedangkan prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk DIY menempati urutan ke 8
7
Gambar 1. Epidemi HIV dan AIDS di DIY 2004-Maret 2016
766
800 726
688
600
317 HIV
400 262
217 214 AIDS
158 132
200
56
0
Kasus Kota YogyakartaKasus Sleman Kasus Bantul Kasus Kulonprogo
Kasus Gunung Kidul
mengenai kasus HIV di Kabupaten Sleman pada tahun 1993 hingga Maret 2016.
Gambar 2. Jumlah Kasus HIV di Kabupaten Sleman yang dilaporkan Tahun 1993
hingga Maret 2016
Tahun/Waktu Jumlah
1993-2011 ( Sampai Desember 2011) 343Kasus
1993 – 2012 ( Sampai Maret 2012) 380Kasus
Kasus HIV 1993 – 2012 (Sampai November 2012) 433 Kasus
Di 1993 – 2013 (Sampai Maret 2013) 470 Kasus
Kabupaten 1993 – 2013 (Sampai Juni 2013) 487 Kasus
Sleman 1993 – 2013 ( Sampai Desember 2013) 544 Kasus
1993 – 2014 ( Sampai Maret 2014) 574 Kasus
1993-2015 (sampai September 2015) 737 Kasus
1993-2016 (Sampai Maret 2016) 766 Kasus
Sumber : diolah dari data Surveylans, Komisi Penananggulangan AIDS Provinsi DIY
Dari gambar diatas sangat jelas terlihat kasus HIV&AIDS di Kabupaten Sleman
terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan, data tersebut juga dapat
menunjukan bahwa hingga saat ini pemerintah belum berhasil untuk mengatasi
Sleman.
8
Upaya memerangi HIV&AIDS tidak hanya menjadi komitmen Indonesia namun
juga menjadi salah satu komitmen global yang termuat dalam Millenium
tahun 2015 namun nyatanya belum berhasil dituntaskan sehingga menjadi program
dituntaskan pada 2030 mendatang. Namun karena penyebaran HIV&AIDS ini sudah
cukup tinggi dan penyebarannya tidak hanya terkonsentrasi pada kelompok berisiko
Perkembangan HIV&AIDS yang cukup pesat ini nantinya akan berdampak pada
semua aspek kehidupan masyarakat, apabila tidak ada langkah-langkah konkrit dari
pada pembangunan, karena proporsi umur muda yang terkena penyakit ini dapat
DIY.
9
Dari data diatas dapat dilihat bahwa pola penularan HIV&AIDS tidak banyak
umurnya. Infeksi paling banyak terjadi pada kelompok usia produktif yakni 20-29
tahun. Dengan semakin banyaknya orang yang hidup dalam jangka waktu pendek
kontribusi mereka pada ekonomi nasional dan perkembangan sosial akan kecil dan
kurang dapat diandalkan. Hal ini menjadi penting untuk dicarikan solusinya sebab
hilangnya individu terlatih dalam jumlah besar tidak akan mudah digantikan. Pada
tingkat makro biaya yang berhubungan dengan kehilangan seperti itu apabila
berkurang dan sumber daya yang harus dipakai untuk aktivitas produktif terpaksa
dialihkan pada perawatan kesehatan, waktu yang terbuang untuk merawat anggota
keluarga yang sakit, dan biaya yang dibutuhkan untuk membiayai yang sakit
sosial ekonomi politik dan pertahanan keamanan. Selain itu juga karena karakteristik
penularan HIV&AIDS dapat menular melalui rantai penularan HIV yang seringkali
menjadi perhatian bagi pemerintah selaku pembuat kebijakan publik namun tidak
10
Para stakeholder disini adalah setiap orang, kelompok atau lembaga yang positif
atau negatif mempengaruhi atau dipengaruhi oleh isu atau hasil tertentu. Jenis
wewenang, tanggung jawab atau klaim atas sumber daya sangat penting untuk
inisiatif koservasi apapun (2) stakeholders sekunder adalah mereka yang memiliki
minat langsung dalam hasilnya (3) stakeholder oposisi, mengarah pada kemungkinan
mereka yang memiliki kapasitas menerima dampak negatif dari pengahsil pengaruh
melalui sumber daya dan pengaruh yang mereka perintah (4) stakeholders marginal
yakni merujuk pada mereka yang secara langsung ataupun tidak langsung
terpengaruh dari dampak suatu kebijakan namun kurang memiliki kapasitas untuk
2003:2.2)
HIV&AIDS di Sleman adalah merujuk pada beberapa hal yaitu Keputusan Bupati
pelayanan masing-masing SKPD tersebut, selain itu yang menjadi anggota KPA
Sleman adalah beberapa LSM peduli HIV dan AIDS di Sleman seperti LSM PKBI
Sleman, LSM Victory Plus, LSM Vesta, LSM Kebya dan LSM OPSI serta semua
institusi dan lembaga yang dianggap berkaitan baik secara langsung maupun tidak
11
Namun agar memfokuskan arah penelitian maka akan dipilih stakeholder yang
ini. Sejauh ini memang yang berperan aktif dan intensif dalam penanggulangan
masalah HIV&AIDS di Sleman ditangani tiga aktor yakni KPA, Dinas Kesehatan dan
LSM. Jajaran SKPD memang turut membantu namun kebanyakan dalam hal promosi
sehingga terlihat belum maksimal dan intensif, persoalan tersebut karena terhambat
adanya kondisi tersebut karena terhambat belum adanya payung hukum yang jelas
yang mengatur mengenai bentuk kegiatan, pendanaan maupun lainnya yang mengatur
Sleman mencakup dua kategori stakeholder yakni stakeholder primer dan stakeholder
Dinas Kesehatan (Dinkes) dan Lemabga Swadaya Maysarakat (LSM) Peduli AIDS
yaitu LSM PKBI DIY, LSM Victory Plus, LSM Vesta, LSM Kebaya dan LSM OPSI.
di Sleman.
Kedudukan KPA sebagai koordinator dan fasilitator menjadikan KPA harus mampu
12
mengajak para stakeholder lain untuk berperan aktif mensukseskan program-program
Infeksi Menular Seksual (IMS), Program penyediaan darah dan produk darah yang
Berdasarkan hal diatas, maka penelitian ini menekankan pada kolaborasi institusi
institusi itu saja. Institusi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah KPA Sleman,
Dinas Kesehatan dan LSM-LSM Peduli AIDS di Sleman yang mana ketiga aktor
13
tersebut dianggap paling berperan dalam proses penanggulangan HIV&AIDS di
Sleman. Dengan demikian, hasil penelitian nantinya akan berfokus pada persoalan
sudah dilakukan serta mengetahui hambatan apa saja yang terjadi selama kolaborasi
berlangsung.
multipihak dalam suatu pelayanan publik tidak dapat dipungkiri tentu menjumpai
tantangan tersendiri seperti ego sektoral yang dimiliki oleh masing-masing pihak
yang berbeda-beda. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan oleh beberapa poin dibawah
mengungkapkan bahwa ada 4 (empat) tipe perbedaan dalam sikap dan cara kerja
terhadap tujuan tertentu (2) Perbedaan dalam orientasi waktu (3) Perbedaan dalam
Selain itu pengalaman yang kurang menunjukan hal yang positif mengenai
studi Sumarto (2008) dalam Mardiyanta (2011) mengenai praktik administrasi publik
14
Kabupaten Sumedang, Kabupaten Kebumen, Kota Solo dan Kota Parepare) terdapat
pemerintahan tentang pentingnya dan tentang keuntungan apa yang bisa diperoleh
signifikan. Kedua, kebijakan dan peraturan yang ada serta mengatur tentang proses
partisipasi dalam tata kepemerintahan di daerah tidak cukup mengikat dan tidak
memberikan insentif yang cukup berarti untuk diterapkan secara serius dan
berkelanjutan. Sementara itu proses monitoring dan penegakan hukum dari aturan-
aturan ini juga belum menjadi prioritas dari pemerintah pusat maupun pemerintah
propinsi.
menjadi media penyalur suara warga seringkali tidak mampu mengembangkan dan
mempertahankan diri menjadi lembaga yang demokratis dan kuat. Anggota atau
kompeten dalam berpartisipasi. Walaupun masalah yang dihadapi setiap forum dan
asosiasi berbeda secara detilnya, ada beberapa persoalan dasar yang dihadapi yaitu
15
Keempat, para perencana, pelaksana dan fasilitator program partisipatif sering
bisa berpartisipasi secara efektif dan agar tidak terjadi dominasi kepentingan tertentu
Setelah berefleksi dari beberapa kasus diatas pada praktik kolaborasi ternyata
masih terdapat syarat atau aspek yang kurang bisa diterapkan dengan baik oleh para
setiap strategi penanggulannya, maka dari itu penelitian ini penting untuk dilakukan
kolaborasi untuk mencapai tujuan yang sama dan bagaimana antar stakeholder itu
menjalankan syarat atau aspek penting untuk mencapai kolaborasi yang baik.
selenggarakan oleh negara namun voluntary sector dan privat sector mulai diberikan
ruang sehingga memiliki andil yang cukup signifikan pula dalam distribusi
kesejahteraan (Beresford & Croft (1984). Hal ini lebih kepada persoalan “how to
16
govern” antara stakeholder yang mempunyai backround kultur dan struktur yang
mengatasi suatu masalah publik. Sehingga sangat menarik dan penting untuk
berlangsung dalam menjalankan suatu kebijakan sebab persoalan ini selalu bersifat
Dalam kasus ini berangkat dari latar belakang masalah diatas, maka peneliti
tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai program penanggulangan HIV dan
Sleman?
17
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah dan rumusan
masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
a. Memberikan tambahan referensi bagi civitas akademika, baik oleh peneliti umum
penanggulangan HIV&AIDS.
18
1.5 Manfaat Penelitian
Sleman.
1.5.2Manfaat Operasional
a. Bagi peneliti, penelitian ini menjadi proses pembelajaran penelitian dan bekal
HIV&AIDS.
sangat minim. Penelitian ini juga dapat menjadi bahan referensi mengenai
19
masyarakat sehingga dapat memberikan perlindungan dengan penanggulangan
respon kegagalan implementasi dan tingginya biaya dan politisasi regulasi. Ini
sengaja diciptakan secara sadar karena alasan sebagai berikut: (1) Kompleksitas dan
saling ketergantungan antar institusi (2) konflik antar kelompok kepentingan yang
bersifat laten dan sulit diredam dan (3) upaya mencari cara-cara baru untuk mencapai
legitimasi publik. Fragmentasi hukum dan pemecahan masalah yang sifatnya multi
yuridiksi merupakan dua sumber utama atau symptom adanya kompleksitas institusi dan
interdependensi. Konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit
diredam seringkali merugikan berbagai pihak dan memerlukan tenaga dan perhatian yang
masalah, konflik antar kelompok akan sulit diatasi, serta berbagai upaya telah dilakukan
dan belum membuahkan hasil, maka kolaborasi bisa dilakukan sebagai upaya pemecahan
20
masalah yang memiliki legitimasi kuat karena melibatkan berbagai kelompok
kepentingan untuk secara aktif berpartisipasi dan mengambil keputusan secara bersama-
sama untuk bisa disetujui bersama-sama (Sudarmo, 2011 :114 dalam Asri 2010).
HIV&AIDS tidak bisa dijalankan oleh satu intansi saja karena program yang dilakukan
bebrapa instansi yang terkait sesuai degan bidang dan kapasitasnya masing-masing. Oleh
(sengaja diciptakan) untuk menyikapi suatu persoalan yang menuntut pemecahan dari
governance akan bervariasi seperti dalam hal manajeman, regulasi, kebijakan komunitas,
Teori-teori atau pendapat yang digunakan dalam penelitian ini banyak mengambil
dan mengacu pada karya Ansell, Gash dan Emerson, Nabatchi, Balogh serta Dorothy,
Norris-Tirrel, Joy A Clay, hal tersebut karena teori-teori yang ada sangat relevan dengan
penelitian ini.
pengertian kolaborasi secara umum dibedakan dalam dua pengertian: (1) kolaborasi
21
Kolaborasi dalam pengertian normatif merupakan aspirasi, atau tujuan-tujan
filosofi bagi pemerintah untuk mencapai interaksi-interaksinya dengan para partner atau
mitranya. Memang collaborative governance ini bisa merupakan bukan instusi formal
saja tetapi juga bisa merupakan a way of behaving (cara berperilaku/bersikap) institusi nn
pemerintah yang lebih besar dalam melibatkan pada manajemen publik pada satu
swadaya masyarakat setempat (LSM), dan lembaga-lembaga swasta lokal maupun asing
ikut dilibatkan sesuai dengan porsi kepentingannya dan tujuannya. Bisa saja kolaborasi
ini terdiri dari institusi pemerintah saja, LSM lokal saja, lembaga swasta saja atau bisa
setempat yang didanai oleh pihak swasta/LSM atau penyandang dana dari luar negeri
namun dalam kolaborasi ini, institusi-institusi yang terlibat secara aktif melakukan
Misalnya dalam persoalan HIV dan AIDS hanya beberapa institusi-institusi saja
serta sarana dan prasarana pelayanan adalah dinas kesehatan, serta unuk penjangkauan
pendampingan dan penyediaan data-data rill terkait jumlah penderita HIV dan AIDS
dalam pupulasi kunci adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM ) peduli AIDS.
menjadi 2 dalam arti proses dan normatif, maka dalam penelitian Dinamika Collaborative
22
GovernanceStakeholders dalam penanggulangan HIV&AIDS di Sleman ini
dikategorikan dalam arti proses, karena dalam kolaborasi ini setiap stakeholders bersama-
Hal ini selaras dengan yang diaksud Ansell dan Gash dalam pengertian kolaborasi yang
menekankan pada proses kolektif melalui hubungan yang disepakati secara formal
suatu forum kolektif dengan badan-badan publik untuk mengambil bagian dalam
Definisi collaborative governance menurut Ansell dan Gash (2008) adalah suatu
bentuk susunan kepemerintahan, dimana satu atau lebih instansi publik secara langsung
keputusan yang formal, berorintasi pada konsensus, deliberatif dan menuju pada
formulasi atau implementasi kebijakan publik, atau dapat pula dalam manajemen
program atau asset publik. Konsep dan definisi tersebut banyak dijadikan acuan oleh
dan Balogh (2011) menawarkan definisi yang lebih luas yaitu sebagai proses dan struktur
23
masyarakat secara konstruktif antar badan-badan publik, berbagai level pemerintahan dan
atau pada ranah publik, privat dan sipil untuk melaksanakan suatu tujuan publik yang
tidak dapat dicapai kecuali oleh forum bersama”. Dengan kata lain kolaborasi membahas
mengenai kerjasama dua tau lebih stakeholder untuk mengelola sumber daya yang sama
kelola yang mampu mencakup kemitraan antara negara, sektor swasta, masyarakat sipil,
dan masyarakat, serta bergabung dengan pengaturan pemerintah dan hybrid, seperti
social partnerships) dan rezim co-manajemen (Agrawal dan Lemos 2007 dalam Emerson
2011). Hal ini juga termasuk beberapa tindakan kolaboratif berbasis masyarakat yang
terlibat dalam pengelolaan sumber daya kolektif (yang sering mengundang partisipasi
federal antara kebijakan kesehatan masyarakat dan ilmu perubahan iklim atau jenis
Kerangka integratif yang diusulkan oleh Emerson, Nabatchi dan Balogh (2011)
Governance, oleh karena tulisannya yang tergolong baru dan terlengkap maka penulis
dalam penelitian ini. Terlihat pada gambar 1 yakni gambaran tiga dimensi, pertama
24
ditunjukan dalam bentuk kotak-kotak itu mewakili konteks sistem secara umum,
Sumber :Integrative framework Collaborative Governance (Emerson, Natabatchi dan Balogh 2011)
Dalam gambar tersebut sebagai mana terlihat di kotak terluar, yang digambarkan
oleh garis utuk, mewakili konteks sistem disekitarnya atau penyelenggaraan politik,
hukum sosio ekonomi, lingkungan dan pengaruh lain yang mempengaruhi CGR. Konteks
dinamika kolaborasi dalam hal permulaan dan seterusnya. Dari konteks ini pula muncul
ketidakpastian yang membantu menginisiasi dan mengatur arah bagi sebuah CGR.Dalam
kerangka kerja ini, CGR digambarkan oleh kotak ditengah dengan garis putus-putus dan
kolaboratif dan aksi-aksi yang ada akan membentuk kulitas secara keseluruhan dan
tingkatan pada sejumlah mana CGR dikembangkan dan mampu berlangsung efektif.
Dinamika kolaboratif, digambarkan oleh kotak yang paling dalam dengan garis titik-
titik, terdiri dari tiga komponen interaktif: keterlibatan motivasi bersama, dan kapasitas
25
untuk melakukan aksi bersama. Tiga komponen dinamika kolaboratif bekerja bersama-
sama dalam sebuah cara yang interaktif dan berulang-ulang untuk menghasilkan aksi-aksi
tujuan bersama CGR. Aksi-sksi dalam CGR dapat berdampak internal dan eksternal
dalam rejim; dengan demikin dalam gambar tersebut garis-garis terhubung dari kotak
aksi kepada dampak yang terlihat (yaitu hasil di lapangan) dan adaptasi potensial
(transformasi situasi kompleks atau isu) baik di dalam konteks sistem maupun pada CGR
itu sendiri.
memperkenalkan istilah CGR ini untuk menunjukan sebuah sistem dimana kolaborasi
antar batas yang dilaksanakan menunjukan mode kekuasaan yang menonjol untuk
memimpin, membuat keputusan dan melaksanaakan aktivitas. Bentuk dan arah dari CGR
awalnya dibentuk oleh driver-driver yang muncul dari konteks sistem, bagaimanapun
waktu oleh dua komponennya, dinamika kolaboratif dan aksi-ksi kolaboratif dibawah ini
26
Tabel. 1: Model Pendekatan Collaborative Governance (Emerson, Natabatchi dan
Balogh 2011)
Tidak dapat dipungkiri bahwa tata kelola kolaboratif ini dimulai dan berkembang
dalam konteks beragam pengaruh politik, hukum, sosial ekonomi dan lingkungan.
konteks ekternal ini menciptakan peluang dan kendala serta pengaruh pada
keberlangsungan CGR tetapi tidak menutup kemungkinan rezim itu sendiri juga dapat
mempengaruhi konteks sistem ekternal melalui dampak yang dihasilkan dari tindakan
(misalnya, pemilu, kemerosotan ekonomi, acara cuaca ekstrim, atau peraturan baru
awal tetapi setiap saat selama CGR berlangsung, sehingga membuka kemungkinan
27
1.6.6 Driver
ini adalah driver atau penggerak. Driver ini meliputi kepemimpinan insentif
yang terkumpul dengan mengurangi biaya awal pelaksanaan aksi kolektif kemudian
kognitif yang terjadi antar waktu dari pendefinisian masalah hingga pengaturan
berada dalam posisi untuk memulai dan membantu memastikan sumber daya yang
dibutuhkan dan dukungan untuk CGR yang jelas ia harus memiliki komitmen untuk
tidak berpihak pada golongan tertentu selain itu pemimpin bersedia untuk menyerap
kolaborasi, misalnya, dengan menyediakan staf, teknologi dan sumber daya lainnya
kepentingan, atau peluang) atau eksternal (krisis situasional atau institusi, ancaman,
dalam penyajian isu yang mengarah pada kepesertaanwaktu atau tekanan untuk solusi
28
bisa memicu perkembangan inisiatif kolaboratif. Namun demikian, insentif tersebut
(positif atau negatif) harus ada untuk menginduksi pemimpin dan peserta untuk
kolaboratif.
ketergantungan Driver, ketika pihak atau organisasi diberikan dengan informasi yang
sempurna tentang masalah dan solusinya, mereka akan mampu bertindak independen
untuk mengejar kepentingan mereka atau merespon risiko. Ada juga ketidakpastian
individu tentang sejauh mana jalan konvensional untuk solusi atau kepuasanbisa
Proposisi Satu: Satu atau lebih dari driver meliputi kepemimpinan, insentif
untuk memulai CGR. Lebih banyak driver yang hadir dan diakui oleh peserta,
Merujuk pada pendapat Ansell dan Gash, 2006 dalam Emerson 2012 terdapat
tahapan dalam dinamika kolaboratif yang dipandang sebagai sebuah siklus atau
interaksi yang berulang terdapat tiga komponen yang saling berinteraksi dalam
aksi bersama.
29
a) keterlibatan berprinsip yakni semua pemangku kepentingan berada dalam suatu
jaringan lintas organisasi, bertatap muka dalam forum pribadi maupun publik atau
di forum tertentu yang lain. Sebelum menentukan elemen yang ada pada
ini. Peserta dalam hal ini bisa berupa stakeholder, mitra atau kolaborator, lembaga
publik, LSM, korporasi komunitas dsb tergantung konteks CGR. Pendapat dan
ini terjadi dari waktu kewaktu melalui proses pembelajaran sosial yakni
bersama, kekhawatiran isu, nilai-nilai serta informasi yang relevan. Proses ini
langkah kolaboratif perbedaan pendapat adalah pasti terjadi dalam tahap ini
kerja tata kelola kolaboratif yang ditawarkan Emerson (2011) adalah dinamika
30
penemuan, definisi, musyawarah dan tekad selama berprinsip keterlibatan
siklus memperkuat diri yang terdiri dari empat elemen: saling kepercayaan,
disebut sebagai modal sosial. Elemen pertama dari motivasi bersama adalah
bekerja sama,mengenal satu sama lain dan membuktikan satu sama lain bahwa
mereka diandalkan (Fisher dan Brown 1989 dalam Emerson 2011) kepercayaan
31
Proposisi Tiga: kualitas interaksi melalui keterlibatan berprinsip akan
c) Kapasitas Aksi Bersama. Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk menghasilkan
hasil yang diinginkan bersama-sama yang tidak bisa dicapai secara terpisah
kapasitas baik diri dan orang lain untuk mencapai tujuan umum. Dalam kerangka
motivasi bersama.
tertentu sangat penting di awal orang lain lebih kritis pada saat-saat musyawarah
32
memerlukan struktur yang lebih eksplisit dan manajemen kerja (Milward dan
Provan 2000 dalam Emerson 2011) seperti faktor desain institusional seperti
satu kelompok atau organisasi akan mengatur dan mengelola sendiri dalam
Dalam banyak hal, itu adalah mata uang kolaborasi adalah pengetahuan,
pengetauan yang tidak lengkap yang harus seimbang dan ditingkatkan dengan
dan jaringan. Pengetahuan juga merupakan elemen sentral dalam adaptif model
Sumber Daya adalah elemen terakhir dari untuk aksi bersma. Salah satu
manfaat dari kolaborasi ini berpotensi untuk berbagi dan memanfaatkan sumber
daya yang langka (Thomson dan Perry 2006 dalam Emerson 2011). Dukungan
anggaran yang memadai dan sumber daya lainnya yang dibutuhkan juga berperan
dana, waktu, teknis dan dukungan logistik; administrasi dan bantuan organisasi;
33
keterampilan yang diperlukan untuk analisis atau implementasi; dan skill lainnya
dari CGR.
kapasitas untuk aksi bersama. Proposisi Enam: Tingkat yang diperlukan untuk
empat elemen kapasitas untuk aksi bersama ditentukan oleh tujuan CGR ini, dan
tujuan yang tidak bisa tercapai oleh salah satu organisasi saja. CGR yang efektif
harus mampu menyediakan mekanisme baru untuk tindakan kolektif hal ini
ditentukan oleh mitra kerjasama sesuai yang dibutuhkan untuk mencapai hasil
organisasi harus jelas atau eksplisist misal dalam kebijakan umum yang
dilaksanakan jika 1) teori bersama aksi diidentifikasi secara eksplisit antara mitra
34
kerjasama dan 2) dinamika kolaboratif berfungsi untuk menghasilkan kapasitas
Dalam kerangka Emerson (2012) yang mengacu pada Innes dan Booher
adalah hasil dari tindakan didorong oleh dinamika kolaboratif. Dampak yang
disengaja (dan tidak disengaja) seperti perubahan negara dalam konteks sistem.
Dampak juga dapat mencakupnilai tambah yang baik sosial baru atau inovasi
Merekadapat spesifik, diskrit, dan jangka pendek atau dampak jangka panjang.
lebih eksplisit dan terukur. Lebih disukai, sifat dan luasnya dampak konsisten
dengan hasil yang diinginkan ditargetkan oleh mitra kolaboratif selama proses
keterlibatan berprinsip berulang. Tidak adanya dampak, serta dampak yang tidak
dipertanggungjawabkan.
cenderung lebih dekat dengan hasil yang ditargetkan dengan sedikit konsekuensi
negatif yang tidak diinginkan, dan berasal dari tindakan pemikiran bersama
35
Beberapa proposisi diatas penulis cantumkan untuk menunjang dalam
Terlebih karena proposisi yang satu dengan yang lainya saling berkaitan dan
aktifitas yang dibagi menjdi 5 tahapan. Mereka merangkum mulai dari level
terendah sampai level tertinggi. Gagasan Tirrrel dan Clay dapat dijadikan salah
satu pendukung pisau analisis dalam memahami tingkatan kolaborasi pada suatu
kasus. Penjelasan tahap yang dimaksud diringkas berikut ini (Tirrel dan Clay,
2010:30)
36
Lanjutan :Tahapan dari Kegiatan Kolaborasi Konvensional dan Praktik Strategi Kolaborasi (Tirrel
dan Clay 2010: 79)
-Develop goals and action plans and begin -Build trust through ethical
implementation communication and operations
- identify and foster early success
Stage 3: Growth -Continued planning and priority setting - Avoid bureaucratic tingking
-Operation implementation and monitoring - Promote innovation and
strategies routinized creativity
-Ongoing cycle of participant recruitment - Emphasize cooperation and new
and exit. shared understanding
-Focus on information
dissemination and feedback
Stage 4: Matuity -Resources stabilized -Balance stability with innovation
-Planning Evalation and revision -Remain mission driven and
strategies continued results oriented
-Collaborative acrivity visible - Build a deeper leadership bench
Stage 5: Ending -Recognition -Act with intentionally
A. Ending -Sharing results -Seek expert assistance
/Closur -Archive processes,participant,
e and impact
-Be transparent
-Meeting attendance drops. - Diagnose”pathologies”.
B. Decline -Participants frustrated -Seek „outside‟ perspective
-Resources uncertain - Create reality-based analysis
-Emphasis on satus quo processes. Be purposeful about
whats next
-New participants recruited and previous -Bring new perspective to table
C. Renewa participants reconnected. -Hold periodic retreats
l -Purpose clarified or revised -Deliberate redesign of structure
and processes
-Restore legitimacy
Sumber :Strategic Collaboration In Public and Nonprofit Administartion (Tirrel dn
1. Tahap 1:Eksplorasi
formal dan informal seperti pertemuan dalam bentuk curah pendapat, rapat dan
2. Tahap 2: Formasi
Pada tahap ini kolaborasi menjadi kenyataan. Kreasi dan persetujuan mulai
37
3. Tahap 3: Tumbuh
4. Tahap 4: Dewasa
Tahap ini sudah masuk dalam tingkatan pengembangan. Dana partisipasi dan
akses stabil. Semua strategi didesain dengan basis berkelanjutan. Hasil kolaborasi
5. Tahap 5 : Akhir
Tahap ini kolaborasi sudah bekerja secara ideal dan sempurna. Ada kepuasan
didapatkan jawaban apa bentuk tahapan dari kolaborasi yang selama ini
dalam penelitian ini memiliki beberapa batasan yakni mengenai waktu. Tahapan
governance yang terjadi selama peneliti melakukan penelitian yang tidak bersifat
longitudinal dari tahun ke tahun namun hanya pada konteks bebrapa bulan
struktur pun menjadi lebih kontekstual sesuai penelitian ini berlangsung sehingga
hasil analisa berikut belum mampu menjelaskan semua tahapan kolaborasi seperti
38
1.6.11 Hambatan Kolaborasi
Terdapat sejumlah faktor terutama faktor struktur sosial, faktor kultural dan
Tekait dengan faktor budaya adalah bahwa kolaborasi bisa gagal karena
mensyaratkan para pelayan publik dan pemimpinya untuk memiliki skill dan
sesuatu dilakukan dalam sebuah kolaborasi namun melakukan hal seperti ini
dalam pelayanan publik yang tergantung pada prosedur dan tidak bersedia
Dengan kata lain, ketergantungan pada prosedur dan tidak berani ambil risiko
39
dan arah kebijakannya juga bersifat vertical. Tidak cocok untuk kolaborasi,
Dengan kata lain kolaborasi yang cenderung memiliki sifat spontanitas yang
kadang tidak memerlukan aturan ketat secara formal dan kadang juga tidak perlu
mengikuti proses tradisional yang biasa dilakukan dalam keseharian atau sesuai
dengan standard operating procedure yang biasa terjadi dalam organiasi publik
milik pemerintah yang cenderung kaku yakni hanya mengacu pada akuntabilitas
pada organisasi atau atasan saja, atau aturan yang berlaku saja, sehingga
dana publik secara substansial bahkan dana-dana tersebut kemungkinan ada diluar
40
pengamatan, terutama jika dana-dana tersebut membuahkan hasil-hasil
positif.Bahkan segera setelah program semakin besar atau menjadi bagian dari
filosofi yang lebih luas yang memandu semua jenis rencana atau jika proyek-
mengintervensi dan mengatur inisiatif diluar yang kita ketahui. Proses seperti itu
mungkin diikuti dengan ukuran-ukuran akuntabilitas yang sangat ketat dan kaku
dan pada akhirnya meninjau kembali budaya risiko dan kegagalan yang muncul
dari kolaborasi.
Tekait dengan faktor politik, kolaborasi bisa gagal karena kurangnya inovasi
tehadap agenda yang ditentukan diatas tetapi bisa mengarahkan pada pencapaian
konflik.
Kolaborasi bisa gagal karena adanya perubahan kesepakatan yang telah disetujui
diawal kesepakatan kerja sama dan munculnya kepentingan baru yang berbeda-
41
1.6.12 Stakeholders
Lebih lanjut dan jelas World Wild Fund Ecoregional Conservation Strategies Unit
sebagai berikut :
Stakeholder adalah setiap orang, kelompok atau lembaga yang positif atau
negatif mempengaruhi atau dipengaruhi oleh isu atau hasil tertentu. Jenis
penting untuk inisiatif koservasi apapun. (2) stakeholders sekunder adalah mereka
yang memiliki minat langsung dalam hasilnya. (3) stakeholder oposisi, mengarah
42
pada kemungkinan mereka yang memiliki kapasitas menerima dampaknegatif
dari pengahasil pengaruh melalui sumber daya dan pengaruh yang mereka
perintah. (4) stakeholders marginal yakni merujuk pada mereka yang secara
langsung ataupun tidak langsung terpengaruh dari dampak suatu kebijakan namun
disini adalah lembaga driver yakni Komisi Penanggulangan AIDS Sleman, dan
stakeholder sekunder terdiri dari dinas kesehatan kabupaten Sleman dan Lembaga
LSM Victory Plus, LSM Vesta, LSM Kebya dan LSM OPSI.
Kerangka pikir yang dibuat dalam penelitian ini tidak dimaksudkan untuk
induktif. Kerangka pikir yang dibuat merupakan tutunan dari landasan teori yang
dan tetap konsisten dari poin per poin. Demikian pula dengan definisi konsep dan
43
dan definisi operasioanl merupakan penjelasan lebih lanjut dari kerangka pikir.
Secara umum kerangka pikir yang dibangun dalam penelitian ini diadopsi
dalam kasus yang akan diteliti. Karena fokus penelitian lebih dititik beratkan pada
fitur utama collaborative governance (dinamika dan aksi) yang dikaitkan dengan
selain dinamika aksi dan dampak tidak dikaji secara mendalam tetapi
berdasar pada kasus penelitian yang mana titik masalah mendasarnya terletak
pada ketiga konsep tersebut.kerangka penelitian ini beranjak pula dari tesis yang
Sumber : diringkas dari Emerson, Natabach, Balogh (2011) dan Dorothy Norris-Tirell, Clay 2011
44
BAB 2
METODE PENELITIAN
Pada penelitian kali ini, metode kualitatif digunakan sebagai instrument dalam
mencari temuan baru dari berbagai sisi yang akan dikuak berdasarkan rumusan masalah
yang telah diangkat oleh peneliti. Alasan penggunaan kualitatif sendiri dikarenakan akan
lebih memudahkan peneliti dalam memahami dan mengkaji lebih jauh mengenai realitas
bahwa kualitatif adalah metode yang cocok digunakan untuk mengungkap dan
memahami sesuatu dibalik fenomena yang sedikit pun belum diketahui, pun juga akan
mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang masih sedikit diketahui. Oleh karena itu,
metode kualitatif bagi peneliti sangat ideal digunakan bagi penelitian ini yang
hakikatnya untuk mencari tau sesuatu lebih mendalam dan menyeluruh tentang dinamika
dilakukan pada objek yang alamiah. Objek yang alamiah adalah objek yang berkembang
apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak begitu
mempengaruhi dinamika pada objek tersebut. Pada penelitian ini sendiri peneliti hanya
memberikan pertanyaan yang bersifat mengalir sesuai dengan respon atau jawaban yang
muncul dari narasumber. Tidak ada pertanyaan yang sifatnya menekan narasumber
untuk menjawab, hal ini agar informasi yang didapatkan dapat terus berkembang hingga
mampu menjawab pertanyaan penelitian yang diangkat oleh peneliti. Maka dari pada itu,
45
kehadiran peneliti tidak mempengaruhi dinamika yang terjadi pada objek penelitian
tersebut.
yang ada di dalam penelitian. Peneliti memilih metode pendekatan ini karena peneliti
untuk menekan angka penularan HIV yang semakin meningkat tajam, padahal notabene
program ini telah berjalan selama hampir delapan tahun. Hal ini merupakan sisi kritis
peneliti dalam melihat kebijakan yang notabene bertujuan untuk menekan angka
banyaknya instansi yang terlibat dalam upaya penanggulangan tetapi masih terdapat
Pendekatan ini mempunyai tujuan untuk mendapatkan informasi mengenai gejala atau
keadaan yang ada yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat wawancara
berikut :
Provinsi D.I.Y Sleman merupakan wilayah palin tinggi kasus HIV nya.
3. Lokasi penelitian sudah familiar karena peneliti tinggal dan studi di daerah penelitian,
46
Serta objek penelitian pada 3 stakeholders dalam penanggulangan HIV dan AIDS si
Sleman yakni :
a. LSM PKBI
diantaranya komunitas penjaja seks dan kliennya, serta pemakai narkoba suntik
b. LSM Vesta
Vesta melakukan kegiatan bukan saja pada masyarakat LSL tetapi juga pada
tinggi (hasil survey perilaku pada kelompok laki-laki yang mobilitas tinggi dan
memiliki uang), misalnya crew bus AKAP (antar kota antar propinsi), antar kota
dalam propinsi (AKDP), sopir taxi, tukang ojek. Sebagai salah satu kelompok
47
masyarakat yang juga menjadi perhatian Vesta adalah kelompok TNI dan POLRI.
LSM Vesta ini berlokasi di Jl. Sukun no.21 Pondok Karangbendo, Banguntapan,
Bantul.
dan pemberdayaan ODHA yang berdiri sejak tahun 2004. LSM ini berlokasi di
d. LSM Kebaya
sekelompok waria yang konsen terhadap laju epidemi HIV dan AIDS di
Unit analisis dalam penelitian ini adalah stakeholder 3 pilar yang terlibat
LSM lokasinya berada di luar wilayah Sleman namun mereka tetap menjalin
memang ruang lingkup kerja LSM tersebut adalah tidak terbatas Kabupaten
Sleman saja namun seluruh DIY. Fokus penelitian atau unit analisis utamanya
48
yakni stakeholder 3 pilar yakni KPA Sleman, Dinas Kesehatan Sleman dan LSM
Peduli AIDS. Populasi penelitian yakni berjumlah 13 orang yang terdiri atas tim
pelaksana KPA Sleman, Pimpinan dan anggota yang mengerti mengenai topik
penelitian pada masing-masing LSM Peduli AIDS, Kepala bidang P2PL dan
Pengelola Program Dinas Kesehatan Sleman, dan Anggota KPA DIY. Penting
kiranya bagi peneliti dalam hal ini untuk memfokuskan analisis pada pimpinan
atau pada salah satu anggota yang memang mengerti atau mempunyai wewenang
suatu populasi. Maksud pengambilan sampel dalam hal ini ialah menjaring
untuk merinci kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang unik. Dalam
yang dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan, atau mungkin dirinya
objek/situasi sosial yang diteliti. Lincoln dan Guba (1985) mengemukakan bahwa
49
sampel dalam penelitian kuantitatif. Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif
informasi. Terkait hal ini S. Nasution (1988) menjelaskan bahwa penentuan unit
sampel dianggap telah memadai apabila telah sampai taraf dimana data yang yang
diperoleh telah jenuh, ditambah sampel tidak lagi memberikan informasi yang
dikatakan tidak lagi diperoleh tambahan informasi baru yang berarti (Sugiyono,
2012 ; 302).
yang dipilih oleh peneliti adalah informan yang sekiranya mengerti dan
pada beberapa agenda yang diadakan oleh KPA, Dinas Kesehatan atau LSM
Peduli AIDS serta bertanya-tanya terlebih dahulu kepada pihak terkait untuk
informan. Pada penelitian ini, peneliti telah memutuskan bahwa informan dari
50
Pimpinan dan anggota yang berkompeten mengenai topik penelitian pada 4 LSM
Peduli AIDS yakni berjumlah 8 orang, serta Kepala Bidang P2PL & Pengelola
Narasumber dalam penelitian ini data diperoleh secara langsung dari para
informan melaui wawancara dengan pihak yang kompeten. Adapun para informan
c) Ketua atau Manajer LSM PKBI Sleman dan atau anggota yang
d) Ketua atau Manajer LSM Vesta dan atau anggota yang berkompeten
e) Ketua atau Manajer LSM Victory Plus dan atau anggota yang
f) Ketua atau Manajer LSM Kebaya Sleman dan atau anggota yang
g) Ketua atau Manajer LSM OPSI Sleman dan atau anggota yang
KPA Sleman dan atau anggota yang berkompeten dalam topic penelitian
51
merupakan orang yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan program-
dan atau anggota yang berkompeten dalam topik penelitian dari Dinas
Victory Plus, LSM Vesta, LSM Kebaya dan LSM OPSI merupakan pihak
memberikan data kepada pengumpul data yang biasanya merupakan hasil dari
ini peneliti memperoleh data primer dari hasil observasi, wawancara, dan
52
wawancara mendalam dengan narasumber stakeholder 3 pilar seperti yang
Data ini adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data, misalnya yaitu melalui orang lain, sumber tertulis, atau
diperoleh. Pada penelitian kali ini peneliti memperoleh data sekunder dari
konteks yang lain. Lalu peneliti juga mendapatkan data dari KPA Sleman dan
observasi adalah dasar dari semua ilmu pengetahuan (Sugiyono, 2012; 310).
Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai
53
Dalam penelitian kualitatif, observasi atau pengamatan harus
ketiga yakni melalui observasi peneliti dapat mencatat perilaku dan kejadian
yang tak berstruktur. Observasi yang digunakan dalam penelitian kali ini
tetapi tidak ikut terlibat secara langsung pada kegiatan tersebut. Peneliti
Kesehatan Sleman maupaun dari LSM Peduli AIDS seperti Vesta, yakni
populasi kunci dsb dengan waktu tertentu. Pada kegiatan itu, peneliti
dalam penelitian kali ini yakni mengamati sejauh dinamika kolaborasi yang
54
dilakukan, peneliti tidak menemukan kendala serius untuk menggali
2.6.2 Wawancara
pertemuan yang dilakukan oleh dua orang untuk bertukar informasi dan ide
melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik
juga untuk mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam terkait
terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi (Sugiyono,
55
kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu dan pada masa yang akan
orang lain, baik manusia maupun bukan manusia, lalu memperluas konstruksi
observasi dan wawancara untuk mengkroscek apa yang diamati dengan yang
(Sugiyono, 2012 ; 319). Pada penelitian kali ini, peneliti menggunakan jenis
sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar wawancara yang dilakukan dapat lebih
bebas dalam menemukan permasalahan secara lebih terbuka, tetapi tetap dapat
telah peneliti tetapkan sebelumnya, yaitu KPA, Dinas Kesehatan, dan LSM
Peduli AIDS. Selama proses wawancara kerap kali ada perbedaan pendapat
56
kendala yang berarti. Para informan begitu antusias dan terbuka dalam
menyampaikan jawaban, meskipun kerap kali ada jawaban yang sulit peneliti
cerna dari para peserta. Secara keseluruhan proses wawancara telah dilakukan
2.6.3 Dokumentasi
wawancara, akan lebih kredibel atau dapat dipercaya jika didukung oleh suatu
dokumentasi dalam menguatkan hasil penelitian yang diperoleh baik itu dari
maupun gambar yang di dapatkan dari beberapa sumber yaitu KPA Sleman, Dinas
AIDS. Dokumentasi dalam penelitian ini telah peneliti sajikan pada bagian
lampiran.
informasi. Dilakukan juga studi pustaka yang diambil dari buku-buku dan sumber
lain yang kaitannya dengan objek penelitian. Hal ini dikarenakan perlu kiranya
hasil temuan yang di peroleh di lapangan tidak semata mata diterima secara
mentah, melainkan sangat penting untuk dikaji dan ditelaah lebih jauh dengan
57
literasi yang telah ada sebelumnya, agar hasil penelitian yang diperoleh lebih
kredibel dan valid. Kredibilitas adalah hal yang mutlak dalam penelitian,
governance. Literasi tersebut berupa jurnal, buku, maupun hasil penelitian lain
berbagai studi kasus yang lebih dulu atau penelitian yang dilakukan di berbagai
negara. Referensi Pustaka ini adalah bagian yang penting untuk digunakan
menentukan sikap lebih lanjut dari rangkaian proses penelitian. Bukti referensi
2.7.1 Triangulasi
yang lain dan di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
58
pengumpulan data dan sumber data yang telah ada.Dengan triangulasi maka
tetapi lebih kepada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah
fakta yang terkait dalam upaya menjawab rumusan masalah. Secara lebih rinci
diuraikan data-data yang dianggap ideal sebagai acuan untuk menjawab rumusan
masalah penelitian.
yang terjalin antar stakeholder selama ini begitupun sebaliknya melihat perspektif
Dinas Kesehatan dalam hal ini Bidang P2PL dan selanjutnya selanjutnya juga
59
seperti notulensi pertemuan-pertemuan, Surat Keputusan, laporan pencapaian
Jadi pada penelitian ini, peneliti mengamati tiga sumber data yang
diperoleh yakni observasi, wawancara, dan dokumentasi, Hal ini untuk mengkaji
perkembangan informasi dari fenomena yang sedang diteliti. Dalam hal ini
dalam penanggulangan HIV&AIDS, tidak hanya peneliti serap dari satu sumber,
2.7.2 Konfirmabilitas
hanya sekilas saja. Demi menjaga kebenaran data, maka informasi yang diperoleh
selama proses penelitian baik itu menyangkut subjek atau objek akan di
metode yang diterapkan untuk menghindari hal tersebut demi keabsahan data.
2.7.3 Referensi
peneliti dapat di kroscek lebih lanjut dengan beberapa referensi baik itu berupa
buku maupun penelitian yang telah ada sebelumnya terkait dengan objek
60
penelitian.Hal ini demi menghindari masuknya data yang tidak logis dan
maka peneliti akan lebih selektif dan antisipatif dalam melakukan kajian dari pada
data yang dimiliki. Oleh karena itu untuk menghindari kedangkalan penelaahan
Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen dalam (Moleong, 2014 : 248)
adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain. Proses
analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan.
Conclusions:drawing/ verifying
Data Reduction/ atau Penarikan Kesimpulan
Data Reduksi dan Verifikasi
menyusun secara sistematis data yang di peroleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya
61
diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan yang
dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara
terus menerus sampai tuntas hingga datanya sudah jenuh (Sugiyono, 2012 ; 337).
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan pola, lalu membuang
data yang tidak perlu. Dengan demikian data yang direduksi akan memberikan
338). Terkait hal ini, maka peneliti dalam menyerap data yang diperoleh telah
penelitian ini akan diambil dan dikembangkan lebih lanjut. Hal yang berkaitan
62
2.8.2. Penyajian Data
dalam pola hubungan, dan akan menjadi lebih mudah dalam dipahami. Dalam
penelitian kualitatif, penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan,
hubungan antar kategori, dan sejenisnya.Dalam hal ini Miles dan Huberman
(1984) menyatakan yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam
penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan penyajian
data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan
kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Penyajian data
penelitian, sehingga peneliti dapat dengan mudah menentukan tindakan yang akan
dilakukan dalam waktu ke depan (Sugiyono, 2012 : 341). Data-data yang ada
disajikan dengan beraneka rupa, yang tentunya harus memudahkan peneliti dalam
dalam sebuah matriksyang terstruktur dan sistematis dalam laporan penelitian ini.
Setelah selesainya tahap reduksi data dan penyajian data kemudian ditarik
temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada.Temuan dapat berupa deskripsi atau
63
gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga
setelah di teliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis
atau teori. Kesimpulan yang dihadirkan oleh peneliti harus didasarkan atas bukti valid
dan kredibel sesuai aktivitas yang terjadi selama proses penelitian. Pada penelitian ini
wawancara yang telah jenuh dengan dibandingkan hasil observasi yang telah
dilakukan peneliti.Tentu data ini terkait dengan jawaban dalam rumusan masalah
Secara garis besar, apa yang menjadi fokus dalam penelitian ini akan mengorbit
pada isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan sosial dan governance. Penelitian yang
berkaitan dengan kebijakan sosial, akan sangat lekat denganpemahaman tentang cara-
diantara state dan aktor-aktor non-state. Tidak hanya soal relasi, lebih spesifik juga
mempelajari cara-cara atau tata kelola para pemangku kebijakan baik pemerintah dan
tepatnya melalui upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Disamping itu, penelitian
yang berhubungan dengan isu seputar kebijakan sosial akan berorientasi pada
juga memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan hasil penelitian untuk khalayak
umum. Dengan begitu, etika yang paling tidak harus dipenuhi peneliti kebijakan
64
memastikan bahwa penelitian ini dapat dijadikan evidence-based bagi keperluan
evaluasi kebijakan.
Akan tetapi dalam realisasinya kita tidak dapat memungkiri bahwa penelitian
kebijakan soial akan sangat riskan dengan konflik kepentingan misalnya antara
Peneliti harus menyadari potensi setiap konflik kepentingan tersebut. Peneliti harus
meyakinkan kepada para pemangku kepentingan bahwa penelitian ini tidak akan
ekonomi dengan cara tidak mengekspos informan secara eksplisit. Hal ini dapat
yang digunakan dalam penelitiannya; termasuk cara analisis dan produksi hasil
temuan. Peneliti juga harus menyatakan secara terbuka dan eksplisit tentang
kebijakan. Terakhir, untuk menyadur data sekunder, peneliti disarankan untuk tidak
menggunakan data yang tidak dipublikasikan, maupun metode, atau hasil tanpa izin
(Resnik, 2015). Penelitian yang dilakukan telah mengikuti prosedur dan etika yang
disebutkan diatas.
65
2.10 Sistematika Penulisan
1. BAB 1 Pendahuluan. Bab ini memuat penjelasna tentang latar belakang, alsan
teknik analisis data dan sistematika penulsan. definisi konsep dan operasioanl.
3. BAB 3 Profil Sakeholder dan Bentuk Kolaborasi. Bab ini memuat penjelasan
5. BAB 5 Penutup. Pada Bab ini memuat hasil kesimpulan, dan rekomendasi.
66
BAB 3
3.1.PROFIL STAKEHOLDER
lembaga independen yang bersifat adhoc yang bertujuan untuk meningkatkan upaya
Pencegahan dan Penanggulangan AIDS yang lebih intensif, menyeluruh, terpadu dan
tentang Kesehatan dan Peraturan Presiden RI No.75 tahun 2006 tentang Komisi
2012 tentang KomisiPenaggulangan AIDS Provinsi DIY. Inilah dasar hukum Komisi
Beran, Tridadi Sleman D.I Yogyakarta 55511.Lebih khusus KPA Sleman dibentuk
67
KPA Kabupaten Sleman mempunyai tugas utama mengkoordinir kegiatan-
68
- Memudahkan ODHA untuk dapat mengakses ARV melalui proses di klinik VCT dan
CST baik di Rumah Sakit (Layanan Kesehatan) maupun komunitas.
- Mempromosikan penggunaan kondom pada kelompok beresiko rentan tertular HIV.
- Memutus mata rantai penularan HIV melalui pengurangan dampak buruk penggunaan
narkoba suntik.
- Mengupayakan dukungan Peraturan Daerah dan penganggaran APBD Kabupaten
Sleman.
Tabel 2.
Sumber : Keputusan Wakil Ketua 1 Komisi Pennaggulangan AIDS kabupaten Sleman Nomor :
002/KPA.SLM.I/2016
Dengan berdasarkan tabel diatas terlihat susunan sekretariat KPA Sleman
yang mana KPA aktif berkantor setiap hari senin sampai sabtu menjalankan semua
program KPA dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Sleman.
Sleman
di Kabupaten Sleman.
c. Mengadakan rapat koordinasi KPA Kabupaten Sleman per sektor terkait dan
69
e. Melaksanakan rapat koordinasi triwulan atau 3 bulan sekali dalam pertemuan
Kabupaten Sleman.
g. KPA menyuplai kondom dan pelicin gratis serta menyediakan fasilitas media KIE
seperti leaflet atau brosusr tentang penanggulangan HIV&AIDS pada tiap LSM
h. Merekap data dari LSM, Klinik IMS (Infeksi Menular Seksual) dan Klinik VCT
HIV dan AIDS kepada seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan bidang pelayanan
masing-masing SKPD tersebut. Selain itu, yang menjadi anggota KPA bukan hanya
SKPD tapi semua institusi dan lembaga yang dianggap berkaitan baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS di
70
Kabuaten Sleman. Setiap SKPD tersebut juga harus memiliki program-program
yang terkait dengan masing-masing bidang SKPD dimana seluruh anggaran biayanya
akan masuk pada APBD Kabupaten Sleman. Namun dalam penelitianini difokuskan
Komprehensip Berkelanjutan (LKB) Stategi Use For ARV (SUFA) LKB merupakan
layanan yang bersifat menyeluruh dan terus menerus, artinya program yang
menyeluruh mulai dari sosialisasi, preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Itu
edukasi. Preventifnya ada harm reduction penurunan risiko bahaya HIV&AIDS yang
khusus ditunjukan kepada penggguna narkoba jarum suntik, teerdapat terapi rumatan
metadon, dan pemberian alat suntik steril. KPA ada pemberian kondom, meskipun itu
71
kontroversial namun hal itu harus dilakukan untuk menekan angka penularan
melalui seluruh 25 puskesmas yang ada di Kabupaten Sleman yakni Puskesmas Mlati
II, Puskesmas Gamping II, Puskesmas Godean I, Puskesmas Godean II, Puskesmas
test VCT, IMS tetapi menyediakan juga CST (Care Support Treatment), sedangkan
Pakem. Sebelum test dilakukan konseling hasilnya diberikan, kalau hasilnya positive
bisadidapatkan RSUD Sleman dan RSUP Sardjito. Akses untuk mendapatkan pil
Sleman
72
para pendiri PKBI, yang terdiri dari sekelompok tokoh masyarakat dan ahli kesehatan
Indonesia serta untuk mengahdapi tantangan yang cukup besar mengenai Gagasan
tentang keluarga berencana di era tahun 1950-an. Seiring dengan berjalannya waktu
saat ini salah satu yang menjadi fokus kegiatan PKBI Sleman juga adalah mengenai
desa dampingan di Sleman yang difokuskan pada edukasi perubahan mindset bagi
perilaku oleh masyarakat sehingga penanggulangan HIV dan AIDS benar-benar bisa
terlaksana secara konkrit karena bagi mereka perubahan hanya akan terjadi oleh
HIV dan AIDS apabila kesadaran dan kemauan tidak muncul dalam komunitasitu
tidak akan berjalan dengan maksimal. Selain itu PKBI Sleman juga memiliki 12
mitra sekolah di Sleman dan mitra 2 populasi kunci yakni Waria dan LSL (laki-laki
Seks Laki-laki.
pada desa dampingan, Kelompok Remaja dengan sekolah mitra dan Kelompok
populasi kunci. Untuk saat ini apabila dalam menyelenggarakan kegiatan akses VCT
bagi masyarakat atau populasi kunci PKBI Sleman biasanya bekerja sama dengan
LSM lain seperti LSM Vesta namun untuk kedepanya PKBI Sleman sedang
73
menyusun MoU dengan Puskesmas untuk bisa bekerjasama dalam penyelenggaraan
HIV & AIDS dan PIMS (Penyakit Menular Seksual) umumnya bagi kaum muda
Jogjakarta dan secara khusus bagi populasi kunci seperti LSL (laki-laki Seks Laki-
Penjangkauan ini adalah Vesta melakuakan edukasi terlebih dahulu mengenai HIV
dan AIDS dan IMS dan bagaimana penanggulangannya kepada populasi kunci atau
kepada khususnya populasi kunci LSM Vesta bekerja sama dengan beberapa LSM
juga seperti untuk penjangkauan pekerja seks Vesta bekerjasama dengan LSM OPSI,
untuk penjangkauan penasun Vesta bekerjsama dengan ARMETh Jogja dan untuk
search and find yakni penjangkauan pada pendekatan ini lebih menekankan pada
populasi kunci segera mengakses test HIV atau VCT nya terlebih dahulu untuk
74
mengetahui status HIVnya kemudian setelah itu konseling dan informasi mengani
atau masyarkat mengenai apa saja yang khususnya berkaitan dengan penyakit HIV
dan AIDS dan IMS. Setelah klien melakukan konseling biasanya oleh para konselor
Vesta mengarahkan untuk test VCT untuk segera mengetahui status HIVnya. Test
VCT ini bisa dilakukan di layanan/ puskesmas atau VCT mobile dengan cara petugas
layanan yang datang ke populasi kunci yang telah dikumpulkan pada lokasi tertentu
sosial agar mereka mau mengakses PRTM (Pengobatan Terapi Rumatan Methadon)
narkobanya.
FGD ini biasanya dilakukan pada populasi kunci waria, praktiknya dnegan
yang dihadapi oleh waria misalnya atupun persoalan seputar HIV&AIDS dan IMS
dikalangan waria dan terkadang juga mendatangkan layanan untuk VCT mobile
75
5. Edutaiment
HIV&AIDS dikemas dan disampaikan melalui hiburan seperti pentas seni yang
6. Diskusi Kultural
Kegiatan ini bekerjaasama dengan PKMK UGM yang dilaksanakan setiap bulan
pesertanya adalah aktivis, akademisi, dari dinas, KPA dsb. Untuk pelaksanaan
acaranya adalah bergiliran oleh setiap instansi yang terlibat. Dan tema yang diangkat
atau yang disebut dengan OBK. Apabila OBK ini mengalami kendala atau
mengadvokasikanya.
yang terdampak dengan HIV dan AIDS. Yayasan ini adalah kelompok penggagas
dukungan sebaya dukungan psikososial dan pemberdayaan ODHA yang berdiri sejak
Kualitas hidup ODHA dan OHIDHA yang lebih baik dan sebagai Wadah
76
pemberdayaan ODHA dan OHIDHA yang bebas dari stigma dan diskriminasi Dalam
mencapai Visi tersebut maka Victory Plus harus menjalankan misi dengan melakukan
dukungan bagi ODHA Laki – laki, Laki – Laki Pecandu/IDU (Injection Drug
User), LSL dan LDR di Wilayah Sleman), Jalinan Kasih (Kelompok dukungan
- Pelatihan / Training
Melatih ODHA & OHIDHA untuk bisa trampil berbicara di depan umum.
status HIVnya.
77
- Sosialisasi HIV&AIDS
denganakte Notaris no. 38/22 Januari 2007. Dengan tujuan sebagai berikut :1)
waria yang berisiko tertular HIV dan pada ODHA Waria. 3) Melakukan
Edutainment)
kalangan pekerja seks, serta tidak adanya perlindungan hukum bagi pekerja seks
78
perkumpulan yang keanggotaannya individual dan merupakan wadah bagi pekerja
seks perempuan, waria dan laki-laki. Diinisiasi dalam sebuah lokakarya nasional
3.2 Bentuk Kolaborasi Tiga Stakeholder (KPA, Dinas Kesehatan dan LSM
Secara eksplisit kolaborasi yang telah berjalan selama ini memang tertulis
tertulis jelas bagian keanggotaan dari masing-masing SKPD dan institusi lain.
Serta kolaborasi tiga stakeholder atau disebut 3 pilar ini diperkuat secara khusus
melalui instruksi dari KPAN. MoU yang dibuat ditingkat pusat bersama LSM
dengan KPAN menjadi dasar yang cukup kuat dan di patuhi hingga jajaran tingkat
sehingga di tingkat Kabupten/Kota tidak perlu dibuat lagi dibuat MoU secara
79
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada masing-masing stakeholder
baik Dinas Kesehatan (Kepala Bidang P2PL), Sekretaris KPA Sleman dan
memiliki inti yang sama yakni kolaborasi yang terjadi memang sudah ada intruksi
dari pusat dan ada dasar hukumnya. Sehingga kolaborasi yang berjalan pada
termarginalkan yang berisiko terinfeksi HIV dan AIDS diakibatkan perilaku yang
berisiko, yakni Wanita Pekerja Seks (WPS), Waria, Gay/ Laki-laki Seks Laki-laki
80
(LSL), lesbian, biseksual, transgender dan pengguna narkoba khususnya jarum
suntik.
ketiga stakeholder ini karena LSM merupakan lembaga yang menjalankan fungsi
karena tidak setiap orang mampu untuk masuk dalam kelompok tersebut, karena
mayoritas mereka hanya akan terbuka pada anggota kelompoknya saja. Tanpa
adanya bantuan LSM dalam penjagkauan akan sulit dilakukan oleh anggota KPA
sendiri maupun para anggota SKPD, seperti yang diungkapkan oleh pengelola
Kolaborasi antar tiga stakeholder yang berjalan selama ini yang terjadi
antara KPA Sleman, Dinas Kesehatan Sleman dan LSM Peduli AIDS adalah
masih tertuang dalam kesepakatan secara informal tidak ada surat perjanjian kerja
namun hanya didasarkan komitmen bersama dalam keanggotaan KPA, MoU dari
tingkat pusat serta tuntutan project dari lembaga donor (pemberi dana) yang
menyebutkan bahwa;
81
tidak ada surat perjanjian karena kita kan sudah berkomitmen dalam
kenaggotaan KPA yang sudah tertuang dalam SK Bupati itu dan juga
sesuai undang-undang”.
Dari penjelasan diatas jelas bahwa kolaborasi berjalan didasarkan hanya pada
“Berlokabrasi dengan KPA atau dinkes ya pasti tuntutan lemaga donor lah
sekarang kan semua dana harus masuk ke dinkes baru dinkes yang
menyalurkan ke KPA, lah kalo dibilang kebutuhan sekrang lihat tujuanya
KPA kan tujuanya hanya koordinatif saja beda dengan dinkes memang
KPA menjalankan fungsi implentatif kan ngga? ya program-program
yang sifatnya koordinasi sudah pasti ya maskutnya ya seperti program –
programKPA melakuakan penjangkauan, pendampingan
ODHA,implementasi dsb kan itu bukan mereka yang melakukan secara
garis sbesar KPA funginya koordinasi ajah tidak pada implmentasi.”.
Hal tersebut menggambarkan bahwa memang kolaborasi yang berjalan selama
dan AIDS di Sleman bersama LSM peduli AIDS, Dinas Kesehatan dan
berikut :
82
a. Melaksanakan rapat koordinasi triwulan atau tiga bulan sekali yang dihadiri KPA,
biasnya disbeut forum PMTS (Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual) yang
dilakukan scara berkala pertiga bulan, serta peremuan lintas sector atau
b. Mengadakan kepanitian bersama pada saat ada acara tertentu, misalnya peringatan
hari AIDS sedunia.Kepanitian bersama ini untuk acara-acara khusus, misalnya
pada peringatan hari AIDS sedunia yang dibentuk dari gabungan anatra KPA,
Dinas Kesehatan, LSM Peduli HIV&AIDS dan perwakilan elemen masyarakat
misalnya untuk HAS 2016 ini yang menjadi leading nya ialah dari unsur TNI.
HAS ini biasanya diikuti oleh seluruh ODHA, populasi kunci, elemen masyarakat
dan jajaran SKPD lainya, didalamnya terdapat berbagai rangkaian acara seperti
upacara yang langsung dipimpin oleh Bupati Sleman, ada talkshow, ada cerdas
cermat seputar HIV&AIDS, kampanye mengenai pencegahan HIV&AIDS, VCT
Mobile dsb.
c. KPA menyuplai kondom dan pelicin gratis serta menyediakan fasilitas media KIE
seperti leaflet atau brosur tentang HIV dan AIDS kepada tiap LSM.
Saat ini kebutuhan kondom dan pelicin bagi tiap LSM telah disupply sepenuhnya
oleh pihak KPA.Pihak KPA sendiri mendapat kondom dari New Funding Model
83
(NFM). Maka piak LSM sudah tidak kesulitan lagi dalam menyediakan kondom
dan pelicin guna menekan angka penularan HIV dan AIDS, selain itu KPA juga
menyediakan media KIE berupa brosur, leaflet atau pamphlet tentang upaya
kepada masyarakat.
mereka terinfeksi IMS dan HIV dan AIDS sekaligus pendekatan untuk para
penderitan HIV dan AIDS yang tidak atau belum bersedia periksa secara langsung
Sleman yakni dengan cara pihak KPA dengan LSM serta petugas layanan
sasaran. Dengan adanya VCT mobile ini diharapkan para kelompok tidak perlu
lagi merasa canggung atau malu karena pemeriksaan dilakukan diwilayah tempat
tinggal mereka sendiri dan bisa maksimal dalam mengkases layanan karena waktu
melakukan test VCT bisa menyesuaikan dengan waktu mereka tidak terpaku pada
jam operasional layanan LKB saja yang seringkali berbenturan dengan jam sibuk
kelompok sasaran. VCT mobile ini memang hanya dilakukan untuk pemeriksaan
84
HIV, konseling dan keluhan infeksi menular seksual, hasilnya sudah bisa
langsung didapatkan pada jam/hari itu juga apabila telah dinyatakan positif
selama ini sebagai upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Sleman
Perbup tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Sleman yang saat ini sedang
APBD.
f. Setiap LSM memberikan laporan kepada KPA dan Dinas Kesehatan yang
meliputi program yang dijalnkan orang-orang atau target yang berhasil dijangkau,
jumlah atau penemuan kasus baru, laporan penggunaan kondom, laporan jumlah
peer educator yang sudah berhasil ditraining dan laporan jumlah orang yang telah
diantar periksa ke klinik LSM maupun VCT.Laporan ini merupakan hal yang
wajib disampaikan oleh pihak LSM kepada pihak KPA.Setiap laporan yang telah
diterima KPA selanjutnya direkap untuk dilaporkan kepada Bupati sebagai ketua
Pihak LSM memahami bahwa peran KPA disini sifatnya adalah koordinatif jadi
populasi kunci atau ODHA adalah dari pihak LSM. Untuk kegaitan penjangkauan
dengan beberapa LSM lain seperti OPSI yang khusus untuk menjangkau populasi
85
kunci pekerja seks di DIY, kemudian menjalin kerjasma dengan LSM Kebaya
untuk menjangkau populasi kunci waria dan menjalin kerjasama dengan Armeth
untuk menjangkau populasi kunci pengguna narkoba jarum suntik dan juga
menjalin kerjasama dengan komunitas gay atau LSL untuk menjangkau populasi
gay pula. Data-data yang mereka dapatkan selanjutnya dihimpun oleh YVI untuk
“kami melakukan apa yang sesuai dengan tupoksi kita membantu untuk
program secara DIY juga maka apapun yang kita lakukan kita akan dilihat
dalam lingkup DIY maka termasuk data-data yang berkaitan dengan
Sleman itu semua kita juga pertahankan. Data-data yang kami berikan ke
KPA bisa dikonformasi kemudian kalo kita diminta ya kita lakukan yang
ada dijuknis tapi kita juga melakukan inovasi untuk mencapai target
program”.
Demikian pula yang disampaiakan oleh Yan Michael Manajer Program Yayasan
Victory Plus :
“Paling kita koordinasi aja dengandinkes dan KPA sleman ada berapa sih
ODHA yang didukung diwilayah sleman, pemetaan penganggaran terkait
kemungkinan pengobatan yang tidak hanya ARV tentunya atau mungkin
ketika ada RS atau layanan puskesmans ketika mereka menemukan kasus
baru mereka akan menghubungi kita untuk melakukn dukungan kepada
ODHA, kalo KPA kan fungsinya hanya koordinasi ketika ada persoalan
dilapangan kita sampaikan kepada KPA lalu KPA akan memberi
rekomendasi atau rujukan solusinyakalo kita selalu memberikan apa yang
dinas atau inginkan maksudnya ya pelaporan-pelaporan kita tidak penah
menutupi apa kegiatan kita apa yang sudah kita capai dalam memberi
dukungan dsb”.
stakeholder khususnya KPA, Dinkes dan LSM itu sendiri sebenarnya memiliki
tugas pokok dan fungsinya masing-masing yang tidak sama namun mereka
menilai bahwa yang belum banyak terlihat selama ini adalah peranan dari SKPD
yang lainnya, merka semua tahu bahwa SKPD pun seharusnya memiliki tugas dan
86
fungsi masing-masing dalam menjalankan program penanggulangan HIV dan
AIDS) di 4 Desa Sleman pada tahun 2016 ini yakni Desa Sendangarum
Kecamatan Tempel, dan Desa Wonokerto Turi. Dengan terbentuknya WPA peran
masyarakat dalam upaya pencegahan, penanggulangan HIV dan AIDS dapat lebih
jejaring kerja disini adalah bertujuan agar bagaimana orang yang telah terinfeksi
HIV dan AIDS namun tak mampu membayar biaya pengobatan tetap dapat
bisa diakses oleh ODHA yang terkendala dengan biaya.Namun secara umum
pengobatan ARV level 1 itu gratis disubsidi dari pemerintah apabila itu dikenakan
biaya hanya biaya pendaftaran saja. Jika berdomisili di Sleman terkena tariff
Rp5000,- jika luar Sleman biaya administrasinya Rp17.500,-. Namun LSM seperti
PKBI bisa menyediakan pengobatan gratis asalkan berobat di Klinik PKBI DIY
Plus.
87
Layanan berjejaring kerja juga dimaksudkan untuk memastikan agar semua
pendampingan bisa berjalan dengan baik melalui adanya kerjasama banyak pihak
forum PMTS dimana anggota PMTS yakni multistakholder dari unsur pemerintah
88
BAB 4
Pada bab ini akan dibahas mengenai dinamika collaborative governanceantar tiga
kolaborasi yang dikatakan baik dan efektif menurut Emerson adalah kolaborasi yang
didalamnya memuat beberapa aspek yang harus dipenuhi oleh setiap stakeholder yang
kolaborasi.Dalam melihat aspek keterlibatan salah satu yang menjadi indikator untuk
melihatnya adalah komunikasi intensif yang terjalin antar stakeholder. Sedangkan aspek
motivasi bersama dilihat melalui elemen saling percaya antar stakholder, saling
memahami antar stakeholder, legitimasi internal yang terjalin dan komitmen bersama
yang ditunjukan tiap stakeholder. Serta aspek kapasitas untuk aksi bersama dianalisis
pengetahuan.
Ketiga aspek dalam dinamika kolaborasi tersebut selain merupakan sebuah siklus
interaksi yang berulang tetapi komponen dinamika tersebut mampu menentukan kualitas
baik buruknya suatu langkah kolaboratif yang dilakukan yang kemudian berdampak besar
pada suatu hasil/dampak yang akan diberikan. Untuk memudahkan dalam membaca
berikut ini :
89
Tabel 3.Matriks Dinamika Collaborative Governance Dalam Penanggulangan HI V dan AIDS di
Kabupaten Sleman
90
4.1 Keterlibatan Aktif dari Ketiga Stakeholder
didasarkan pada komitmen bersama pada keanggotaan KPA pada awal pembentukanya.
Setiap pihak memiliki tugas dan tanggung jawab dan fungsi pokok yang berbeda-beda.
Perbedaaan tugas dan fungsi merupakan karakteristik tersendiri dalam kolaborasi ini.
Pada intinya, semuanya tetap terkait dalam satu kesatuan proses dan interaksi. Perbedaan
Keterlibatan KPA adalah sebagai fasilitator, dalam hal ini ialah memfasilitasi,
yang tergabung dalam kemitraan KPA maupun pihak lain yang bersangkutan, serta
fungsi dan tugas lain seperti yang telah dijelaskan pada SK Bupati. Keterlibatan Dinas
Kesehatan adalah pada penyediaan sarana dan prasarana layanan kesehatan dalam
pengobatan HIV dan AIDS, sedangkan keterlibatan LSM Peduli AIDS khususnya
Victory Plus pada pendampingan ODHA, Yayasan Vesta Indonesia bersama dengan
LSM Kebaya dan OPSI DIY fokus pada penjangkuan serta pencegahan IMS,HIV&AIDS
pada populasi kunci dan pemuda di DIY dan PKBI Sleman fokus pada edukasi dan
pencegahan HIV dan AIDS bagi masyarakat dan beberapa populasi kunci.
Tekad keterlibatan secara aktif selalu ditujukan oleh setiap pihak. Sesuai
kesimpulan hasil wawancara dengan semua informan, keterlibatan yang aktif terjadi
91
kemitraan yang difasilitasi oleh KPA. Merujuk pada Agranoff dan McGuire (2003)
bahwa aktifitas kolaborasi yang aktif dan strategi kolaborasi yang opportunistic
untuk koordinasi bagi seluruh stakeholder yang berperan dalam menanggulangi HIV dan
AIDS, supply kondom dan pelicin gratis juga KIE ke LSM atau pada pertemuan
sosialisasi. Anggaran yang disediakan oleh KPA sendiri untuk tahun 2016 ini sebesar
Rp180.000.000,- yang diperoleh dai APBD Kabupaten Sleman 2016 dan dana dari New
aktifnya melalui kegiatan yang meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan
bagi pengobatan HIV dan AIDS di seluruh wilayah Sleman, salah satu pencapaiannya
adalah pada awalnya hanya 3 Puskesmas yang memiliki layanan test VCT dan IMS
kemudian berkembang menjadi 10 Puskesmas dan pada tahun 2016 ini Dinas Kesehatan
Test VCT dan IMS serta menuju kepada layanan LKB atau (Layanan Komprehensip
Sedangkan keterlibatan LSM Peduli HIV di Sleman yakni Yayasan Victory Plus,
Yayasan Vesta Indonesia dan PKBI Sleman juga nampak aktif dalam program
penangggulangan HIV & AIDS sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
Mereka biasanya menunjukan keterlibatanya dengan berbagai cara, sebagai contoh pada
saat terdapat kegiatan bimbingan teknis mengenai HIV dan AIDS atau forum Pertemuan
LKB (Layanan Komprehensip Berkelanjutan) perwakilan dari setiap LSM tersebut selalu
92
dilibatkan menjadi narasumber sekaligus peserta. Begitu pula pada forum-forum
koordinasi lainya yang diselenggarakan KPA maupaun Dinas Kesehatan seperti forum
PMTS, forum kemitraan, pertemuan monev, pertemuan populasi kunci LSL, WPS,
Waria, Pertemuan Harm Reduction dan Pertemuan Pokja mereka selalu memenuhi
undangan tersebut dan aktif dalam forum koordinasi dengan menyuarakan pendapat,
hanya berkutat pada ketiga Stakeholder diatas namun masih ada beberapa stakeholder
lain yang juga memilki peranan masing-masing dalam penanggulangan HIV dan AIDS
sesuai bidangnya yang dituangkan dalam kegiatannya serta sekaligus mereka juga masih
bagian dari keanggotaan atau mitra KPA. Seperti yang tercantum pada table dibawah ini:
Tabel 4: Tabel Kegiatan Penaggulangn HIV dan AIDS Pada Seluruh Stakeholder di
Kabupaten Sleman
INSTANSI PROGRAM DAN KEGIATAN
Dinas Kesehatan Pencegahan, pengobatan dan perawatan surveilans
Pelatihan :VCT, Universal Precaution, konseling, pembentukan/pembinaan
klinik VCT dan klinik IMS, pengadaan reagen,ARV, dan BAT untuk infeksi
oportunistik
Bagian Kesra Setda Koordinasi antar instansi/SKPD
Advokasi
Penyiapan SK/Perda yang mendukung
Dinas Nakersos, Bidang Dukungan sosial ODHA dan Kelurganya
Kesejahteraan Sosial, Bidang Penyuluhan untuk kelompok rentan: anjal, remjal, pengemis dll
Tenaga Kerja Promosi kondom di panti rehabilitasi sosial
Penyuluhan sosial pada masyrakat dan pemuda
Mengkampanyekan pencegahan IMS,HIV&AIDS di tempat kerja,
TKI/TKW/PJTKI
Perlindungan kekerasan calon/tenaga kerja yang terinfeksi HIV
Dinas Pendidikan, Pemuda dan Pelatihan guru tentang HIV&AIDS
Olahraga Penyuluhan di dalam dan diluar sekolah tentang HIV&AIDS
Kampanye hidup sehat pada pelajar
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Mencegah eksploitasi sex di tempat wisata
Megkampanyekan pencegahan IMS, HIV&AIDS di jalur wisata dan tempat
wisata
93
Lanjutan : Tabel Kegiatan Penaggulangan HIV dan AIDS Pada Seluruh Stakeholder di Kabupaten Sleman
Dinas Perhubungan Komunikasi dan Promosi hidup sehat bagi laki-laki berisiko tinggi di lingkungan terminal,
Telematika bandara dan stasiun
Promosi penggunaan kondom bagi laki-laki berisiko tinggi di lingkungan
terminal, bandara dan stasiun
Penyebarluasan informasi dan kebijkan pennaggulangan AIDS di media
internet
Bagian Humas Setda Penyebarluasan kebijakan penanggulangan AIDSkepada media cetaka dan
media elektronik
Penyebarluasan informasi penanggulangan AIDS dan dukungan sosial
terhadap ODHA melalui media cetak dan media elektronik
Badan Keluarga Berencana Orientasi kesehatan reproduksi
Pemberdayan Perempuan dan Peningkatan kesehatan reproduksi reaja (KRR)
Perlindungan Anak Penyuluhan (triad KRR, HIV&AIDS dan narkoba)
Promosi pencegahan IMS,HIV&AIDS dengan kondom
Promosi penghapusan kekerasan terhadap perempuan
Badan Perencanaan Pembangunan Dukungan perencanaan pendanaan (APBD) program penanggulangan AIDS
Daerah Dinas Pengelolaan Kekayaan Rekomendasi program hasil evaluasipelaksanaan penanggulangan AIDS di
dan Keuangan Daerah Kbupaten Sleman
RSUD Sleman Meningkatkan tata laksana kasus HIV&AIDS
RSUD Prambanan Menerapkan universal precaution
Pelaksaan VCT
Menyediakan ARV dan obat lainya
Polres Sleman Menegakan hukum dan aturan yang berlaku di NKSRI secara prevenif dan
represif
Satpol PP Menegakan peraturan daerah preventif dan represif
Kementerian Agama Kabupaten Memberdayakan organisasi agama dalam penaggulangan AIDS
Sleman Meningkatkan kehidupan beragama
Promosi pencegahan dan penanggulangan AIDS melalui media dakwah
Organisasi Keagamaan Pembinaan dan penyuluhan HIV&AIDS melalui media dakwah
Meningkatkan kehidupan beragama
Promosi gaya hidup sehat
Organisasi Profesi Sosialiasi pencegahan HIV&AIDS dan rujukan proosi gaya hidup sehat
Secara tekstual keterlibatan aktif pihak/instansi yang lain khususnya mitra KPA
dalam penanggulangan HIV&AIDS sudah ada dan dijabarkan dalam pembagian tugas
maupun program-programnya walaupun pada tiap instansi tersebut tidak berbunyi secara
eksplisit mengenai detail program dan anggraan. Program dan kegiatan tersebut hanya
melekat atau bahkan hanya disisipkan pada program pokok lain pada masing-masing
94
instansi, atau yang biasa disebut integrasi program. Hal itu disebabkan karena memang
tidak diperbolehkan dari Bappeda apabila tiap instansi memiliki kegiatan yang sama
dengan kegiatan yang sudah ada instansi lain hal itu dianggap kegiatan yang tumpang
tindih, dan juga belum ada payung hukum yang kuat bagi SKPD lain untuk
menganggarkan program HIV&AIDS secara rinci. Saat ini Sleman memang belum
“Jika dilihat dari komitmennya semua sudah berkomitmen untuk penaggulangan HIV,
Tupoksinya yang buat bukan KPA tapi semua dari lintas sector, jadi program apa yang
sekiranya bisa diintegraasikan dengan penanggualangan HIV, karna kalo menyebutkan
secara khusus mengenai penanggualangan HIV itu tidak boleh dan tidak ada, hanya
bisanya integrasi program. Jadi tidak musti ada anggranya sebenarnya kegiatan harus
dilakuakan, tapi bisa juga dengan mengintegrasikan kegiatan yang merka punyai
mislakan di Perhubungan ada pertemuan rutin supir-supir itu bisa juga diintegrasikan
dengan kegiatan atau sosialsisai HIV/AIDS, tapi yang utama adalah intervensi perubahan
perilaku, jadi untuk kalangan berisiko mereka kerahkan untuk tes HIV ke layanan yang
tersedia atau kita mendatangakan pelayanan tersebut. Program itu kan melekat pada
tupoksi masing-masing sector SKPD, mereka dianjurkan untuk melaksanakan
penanggulangan HIV meskipun dengan nama yang tidak terang-terangan menyebutkan
penyuluhan penanggulangan HIV misalnya itu tidak, tapi intinya tujuannya tetap sama,
kadang mereka lintas sector juga ragu-ragu untuk melakukan program penanggulangan
HIV/AIDS karena belum ada payung hukumnya di wilayah Sleman khusunya. Saat ini ya
sedang disegerakan penysusunan draft Perbup untuk penaggulangan HIV dan AIDS di
Sleman, kami sudah melakukan beberapa pertemuan dengan forum lintas sector karena
itu dibahas atau mengenai kepentingan bersama-sama to”.
Dengan demikian keterlibatan mereka pada penaggulangan HIV dan AIDS sudah
ada walaupun dengan porsi yang berbeda satu dengan yang lainya. Mayoritas mereka
SKPD tetap menghadiri rapat koordinasi apabila diundang oleh KPA meskipun dengan
utusan yang tidak selalu sama atau berganti-ganti serta aktif berkoordinasi dengan KPA
ketika menjalankan program HIV dan AIDS pada bidangnya masing-masing terlebih jika
ada sebuah event yang harus dilaksanakan berkaitan dengan HIV dan AIDS ini. Namun
apabila dibandingkan keterlibatan LSM terlihat lebih aktif dan intensif dibandingkan
95
jajaran SKPD yang lain selain Dinkes khususnya. Sebab belum ada payung hukum yang
kuat bagi SKPD untuk mampu dan mau melakukan program penanggulangan
HIV&AIDS yang lebih intensif dan inovatif sehinggaprogram yang selama ini berjalan
terkesan hanya setengah hati, belum dapat maksimal seperti yang sudah di cantumkan
Dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, komunikasi antar tiga stakeholder
berjalan aktif. Terutama pada saat penetapan keputusan terkait implementasi kegaiatan
atau pencapaian suatu kegiatan. Intensitas komunikasi antara satu pihak dengan pihak
yang lainya berbeda-beda. Sekali lagi dalam hal ini posisi KPA yang bertindak sebagai
koordinator dan fasilitator pada kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS di Sleman,
yang banyak berinteraksi ke semua pihak baik dengan LSM, Dinkes maupaun jajaran
SKPD lainya yang terlibat. Komunikasi yang dilakukan bersifat fleksibel artinya tidak
ada batas dalam menjalin komunikasi setiap saat kepada siapapun. Adapun strategi
komunikasi yang dilakukan yakni setiap ada sesuatu hal yang perlu dikomunikasikan,
KPA, LSM ataupun Dinas Kesehatan langsung menghubungi pihak lainya. Baik secara
langsung maupun tidak langsung. Misalnya ketika stock kondom dan pelicin habis pada
outlet LSM segera mengubungi KPA, LSM meminta dari KPA atau Dinkes agar layanan
VCT mobile di komunitas atau menemukan kasus ODHA yang bermasalah dan butuh
bantuan dari KPA mereka segera komunikasikan kepada pihak yang bersangkutan.
Begitu pula dengan KPA maupun Dinas Kesehatan apabila ada hal yang harus
disampaikan atau di tanyakan kepada pihak LSM mereka segera mengubungi oncall,
96
sosial media lain atau melalui surat misalnya pihak LSM diminta sebagai narasumber
dalam kegiatan bimbingan teknis HIV dan AIDS, pertemuan LKB, sosialisasi HIV dan
AIDS diminta membantu pemetaan populasi kunci dan sebagainya. Pihak LSM tidak
pernah menutupi kegiatan yang telah dilakukan dan apa yang diminta oleh pihak Dinas
Kesehatan ataupun KPA selama itu masih bisa dikerjakan atau sesuai kapasitas pihak
LSM maka permintaan tersebut akan dipenuhi. Sedangkan komunikasi dalam bentuk
formal terdapat pada beberapa forum-forum pertemuan yang difasilitasi oleh KPA seperti
Tabel.5 : Forum pertemuan dalam collaborative governance penanggulangan AIDS di Sleman 2016
6 Pertemuan populasi Kunci WPS (Wanita Komunitas WPS, dan LSM Formal
Pekerja Seks)
8 Pertemuan LKB Pada tingkat bawah Seluruh Pemerintah Desa dan Formal
kecamatan, Perwakilan Tokoh
Maysarakat dan Agama, dan
LSM di Kabupaten Sleman
9 Pertemuan pokja lokasi Prambanan dan Komunitas dan kelompok kerja, Formal
Pokja Lokasi Jombor LSM, pemangku kepentingan
10 Sosialisasi HIV dan AIDS pada remaja Perwakilan remaja dari beberapa Formal
usia 15-24 tahun wilayah
97
Lanjutan :Forum pertemuan dalam collaborative governance penanggulangan AIDSdi Sleman 2016
13 Hari AIDS Nasional 2016 Mitra KPA atau Anggota KPA Formal
Forum pertemuan diatas memang dirancang oleh KPA untuk terus memastikan
bahwa upaya-upaya penanggulangan HIV dan AIDS antar lintas sector bisa berjalan baik
menjadi persoalan di lapangan dalam penanggulangan HIV dan AIDS untuk segera
dicarikan solusinya serta sebagai sarana untuk menyampaikan capaian dari kegiatan atau
target yang sudah berhasil dilaksanakan dan diraih masing-masing pihak. Sehingga KPA
pada kegiatan diatas berperan proaktif dalam berkomunikasi atau berkoordinasi dengan
pihak yang bersangkutan bahkan tak jarang KPA juga terlibat langsung untuk terjun ke
kesehatan dsb. Dengan demikian komunikasi yang dilakukan KPA kepada semua pihak
memang mayoritas bersifat formal (rapat) dan dilakukan secara intensif, namun tidak
menutup kemungkinan komunikasi yang dibangun antara keduanya yakni KPA dan
seluruh mitranya juga bersifat informal (tatap muka biasa) dan fleksibel artinya tidak ada
Adapaun strategi berkomunikasi yang dilakukan yakni setiap ada sesuatu hal
menghubungi. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti pihak-pihak LSM
yang bertindak sebagai pelaksana utama dilapangan yang sering menjangkau populasi
kunci dan yang banyak berinteraksi dengan masyarakat apabila menjumpai masalah
98
dilapangan dalam akses layanan bagi ODHA misalnya, KPA dimintai bantuan untuk
membantu menyelesaikan persoalan tersebut dan ada kalanya pula KPA diundang
kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS diwaktu tertentu sesuai kebutuhan agenda dari
masing-masing pihak.
adalah memeberitahuakan melalui surat undangan secara formal. Dapat dilihat pada table
diatas peserta yang mengikuti forum tersebut mayoritas LSM selalu dilibatkan, dalam
menyampaikan capaianya dan temuan persoalan apa saja yang ada dilapangan kemudian
mereka diskusikan bersama untuk mendapatkan solusinya. Sebagai contoh dalam forum
LKB pada tanggal 04 Oktober 2016 di Rumah Dinas Bupati Sleman yang bertujuan
Dinas Kesehatan, dan LSM Peduli AIDS di Sleman yakni Yayasan Vesta Indonesia
(YVI), Yayasan Victory Plus, OPSI DIY, Kebaya dan ARMETh, pada forum tersebut
secara bergantian KPA, Dinas Kesehatan dan Yayasan Vesta Indoensia menyampaikan
melaporkan capaian test IMS dan VCT dan VCT mobile yang telah dilakukan, KPA
menyampaikan hasil supervisi layanan LKB atau kepada populasi kunci, dan YVI juga
99
Pada saat sesi diskusi semua peserta dan pembicara yang hadir aktif
persolan yang ada dilapangan. Sebagai contoh ada puskesmas yang belum mencapai
target dalam VCT Mobile, maka YVI menawarkan bantuan untuk bisa memenuhi target
tersebut dengan cara VCT Mobile pada populasi kunci yang telah dikoordinir oleh YVI.
Komunikasi aktif yang serupa antara KPA, LSM Peduli HIV dan AIDS Sleman
juga Dinas Kesehatan terus terjadi pada forum-forum pertemuan lain dengan peserta yang
masih pada tahap ekplorasi. Pengelempokan ini merujuk pada transisi aktifitas kolaborasi
yang dikelompokan oleh Tirrel dan Clay (2010) menurutnya, pertemuan dalam suatu
kolaborasi yang masih dilakukan dalam bentuk formal dan informal dikategorikan
sebagai tahap ekplorasi. Struktur dan operasional suadah mulai dikembangkan lebih
HIV dan AIDS tahun 2008 sampai tahun ke delapan 2016 terus mengalami kemajuan.
Terdapat perubahan transisi yang signifikan dari tahap ekplorasi ke tahap formalisasi
sekarang ini. Hal itu ditunjukan dengan adanya forum-forum yang melibatkan multipihak
merumuskan parameter keberhasilan dan tujuan seperti forum kemitraan yang selalu
100
4.2 Motivasi Bersama (Shared Motivation) yang Besar Antar Ketiga Stakeholder
Motivasi merupakan salah satu isu paling utama dalam kajian collaborative
governance. Motivasi dipahami sebagai suatu proses kolaboratif yang sangat penting.
Sehingga Emerson, Natabatchi dan Balogh (2011) menjadikan aspek motivasi sebagaian
bagian utama dalam dinamika kolaborasi. Tanpa motivasi yang kuat, kecil kemungkinan
pihak-pihak yang terlibat dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Sleman ikut
bekerjasama dengan semangat yang tinggi. Tentu ada nilai bersama yang diinternalisasi
secara bersama. Antara Dinas Kesehatan,KPA dan pihak LSM dalam melaksanakan
atau populasi kunci untuk melihat perkembangan kegiatan yang telah berjalan atau
meninjau langsung persoalan yang terjadi dilapanngan. Ada impian yang ingin diraih
sehingga motivasi untuk berbuat selalu ada. Hal yang sama juga terjadi pada saat
P2PL Dinas Kabupaten Sleman Dr.Wisnu salut dan mengapresiasi atas motivasi
kerjasama LSM pedulli HIV dan AIDS di Sleman ini. Para pihak tidak mengharapkan
apa-apa selain tercapainya tujuan bersama guna menurukan angka penularan HIV dan
AIDS.
Elemen yang terkait dengan motivasi meliputi saling percaya, saling memahami,
legitimasi internal dan komitmen bersama. Berbicara motivasi tentu tidak terlepas dari
individu para kolaborator. Bagaimanapun juga, motivasi lembaga sulit dipisahkan dari
terintegrasi dalam lembaga dan individu dengan baik. Karena memang program
penanggulangan HIV dan AIDS sangat memerlukan keterlibatan dan motivasi dari
101
banyak pihak untuk dapat mewujudkanya. Meskipun masing-masing pihak itu perwakilan
dari berbagai instansi yang berbeda-beda, tetap saja aspek personal menjadi bagian yang
terpisahkan dari kolaborasi. Aspek personal yang dimaksud adalah orang-orang yang
melaksanakan tugas harian yang diberikan kepada Sekretaris 1 yakni Drs. H. Mulyanto,
MM, dan dibantu oleh pelaksana program dilapangan Dwi Suharyanto, dan dari Dinas
Kesehatan yang banyak aktif terlibat menanggulangi HIV dan AIDS khususnya adalah di
Bidang P2PL yang di pimpin oleh Dr. Wisnu. Kemudian perwakilan utama dari Pihak
Yayasan Vesta Indonesia adalah Ahmad Zubair (Koordinator Monev), Yayasan Victory
Plus adalah Samuel (Direktur) dan Yan Michael (Manajer Program) dan PKBI
diwakilkan oleh Luna (Direktur). Mereka inilah orang-orang inti dalam kolaborasi yang
dimandat oleh instansinya masing-masing. Dan setiap SKPD pun sebenarnya punya
kewajiban dalam mengirimkan salah satu anggotanya untuk menjadi Tim HIV dan AIDS
di Sleman.
penggulangan HIV dan AIDS di Sleman tetap dikaitkan dengan motivasi kelembagaan
organisasi yang terlibat atau sebagai akumulasi kelembagaan dari pihak-pihak yang
terlibat dalam kolaborasi. Tentunya, praktik kolaborasi akan berjalan kurang sempurna
jika ada minimal satu pihak yang tidak menguatkan motivasinya. Motivasi inilah sebagai
penanggulangan HIV&AIDS yang seperti sekarang ini sebagai wujud dari collaborative
102
govevernance eksis karena ada motvasi kelembagaan khususnya antara ketiga
stakeholder yakani KPA, Dinas Kesehatan dan LSM Peduli AIDS di Sleman.
4.2.A Ketiga Stakeholder Menunjukkan Kinerja Baik dan Transparansi Untuk Saling
percaya muncul pada program penaggulangan HIV dan AIDS di Sleman karena kinerja
Dari tahun ke tahun semua pihak yang terlibat dalam penanggulangan HIV dan
AIDS di Sleman dalam hal ini mitra KPA, masing-masing telah memberikan kinerja
terbaiknya sesuai tugas dan fungsi pokoknya sehinga KPA semakin percaya kepada pihak
yang terlibat. Ini ditandai ucapan syukur dan apresiasi oleh Wakil Ketua KPA maupun
Kepala Sekretariat KPA atas kerjasama multipihak dalam menanggulangi HIV dan AIDS
di Sleman. Bagaimanapun program ini tidak akan efektif bila dilakukan hanya satu pihak
saja sehingga mau tidak mau semua pihak harus bahu-membahu dan saling percaya
kepada satu sama lain dengan tupoksinya masing-masing dalam melakukan program
103
Sekretaris Penuh KPA Kabupaten Sleman memberikan pernyataan terkait hal itu
“Komunikasi yang terjalin selama ini menunjukan hal yang bagus ya dengan
pihak LSMdan ketika menyampaikan data atau laporan pun dari LSM itu lebih
rinci lagi biasanya kana ada penjangkauan dan pendampingan, ya bisa dikatakan
pihak LSM itu kepanjangan tangan KPA, maka dari itu tak mungkin KPA
berjalan tanpa koordinasi dengan mereka atau pihak lainya. Ya memang diKPA
harus pandai-pandai memanfaatkanitu. insentifnya bagi mereka ya mereka kan
juga memiliki program intern jadi sama-sama bisa jalan lahprogramnya, dan kalo
kami undang ya kitaya kasih dana transport dan konsum ya gitu aja nda ada yang
bersifat ekonomi itu nda ada, mereka nda cari uang disini”.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Koordinator Monev YVI yang menyatakan bahwa:
“ selama ini kami membangun kepercaanya ya dengan melakukan kinerja nyata
apa yang kita kerjaan bisa dilihat data-data yang diberikanpun dapat dikonfirmasi,
begitu juga jika KPA atau Dinkes membutuhkan suatu data dari kami kamipun
akan berikan. Kalo memebuktikan baik atau ndanya kan buktinya kami bisa
bertahan sampai saat ini bermitra dengan KPA dari pertama kali KPA ada sampai
sekrang kerjasma terus berjalan. kalo bisa lama seperti inikan komunikasi terjalin
denga baik dan saling percaya. sejauh ini kami selalu dilibatkan tentang program-
program penanggulanga HIV dan AIDS baik yg dilaksnakan dinkes atau KPA,
jika mereka ada hal yang membingungkan atau ingin ditanyakan mereka juga
segera menghubungi kami”.
Dalam salah satu peretemuanyang berhasil diikuti oleh peneliti yakni pertemuan
perwakilan seluruh puskesmas yang ada di Sleman, RSUD Sleman,Dinkes, KPA seluruh
LSM Peduli AIDS yakni Yayasan Vesta Indonesia, Yayasan Victory Plus, Kebaya, OPSI,
ARMETh, serta KPA, Dinkes, Yayasan Vesta Indonesia menjadi salah satu narasumber
dalam forum tersebut, ketiganya terlebih dulu menyampaikan hasil capaian kegiatanya
masing-masing dalam mennaggulangi HIV dan AIDS, suasana dalam forum pun
menunjukan hal yang sama, komunikasi antara seluruh peserta berjalan dengan aktif,
bahkan dr Wisnu selaku Kepala Bidang P2PL Dinas Kesehatan Sleman memberikan
104
apresiasi yang baik terhadap capian yang telah dilakukan YVI bersama timnya dalam
melakukan penjangkauan.
penanggulangan HIV dan AIDS antara pihak KPA, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman
dan LSM Peduli AIDSini sudah baik. Rasa saling percaya tidak hanya ada pada saat
pelaksanaan dan pelaporan atau pada hal yang bersifat operasional saja, ketika
pengambilan keputusan dalam suatu forum pun demikian. Pihak Dinas Kesehatan
bahkan selalu menyarankan agar Pihak Puskesmas supaya melibatkan Pihak LSM untuk
membantu dalam memenuhi target test VCT dan pendampingan ODHA maka dari itu
dihimbau untuk semua puskesmas supaya menyimpan nomor telepon dari tiap-tiap
penanggulangan HIV dan AIDS. Kepercayaan berawal dari kinerja yang baik.Secara
Saling memahami atau shared understanding juga menjadi aspek utama pula
lebih berkaitan dengan kapasitas pihak yang terlibat untuk mau memahami dan
bekerja bersama. Dalam penaggulangan HIV dan AIDS yang dilakukan oleh
KPA,Dinas Kesehatan dan LSM Peduli AIDS semuanya saling memahami. Contoh
105
pada saat pertemuan PMTS jika ada yang tidak paham akan kapasitasnya dan apa
yang harus dilakukan untuk mengatasi hal tersebut pihak lain memberikan
dengan persoalan yang dihadapi, memang dalam forum tersebut selain digunakan
untuk berkoordinasi tetapi juga ajang untuk menyamakan persepsi dan pemahaman
bersama bukti konkritnya adalah pada forum PMTS itu akan membangun
dari pemangku kepentingan sehingga program yang dijalankan dapat berjalan secara
komprehensif.
Sebagai contoh semua pihak memahami adanya peran Polres dan Pol PP adalah
dan razia narkoba. Namun perlu strategi khusus untuk sinkronisasi program dengan
pihak lain misalnya pihak LSM seabgai penjangkau ke penasun (pengguna narkoba
jarum suntik) untuk memberikan jarum suntik steril, pejngkau tersebut tidak boleh
menemui kesulitan di lapangan atau ingin bekerja sama dengan dinas lain harus
106
4.2.C Bentuk Komitmen Bersama Antar Ketiga Stakeholder Melalui Pencapaian Program
totalitas organisasi yang terlibat. Bukan hanya dilihat dari individu yang mewakili
organisasi totalitas mencakup semua pihak yang terlibat atau berkepentingan. Komitmen
bersama itu harus dibuktikan secara menyeluruh oleh pihak berkepentingan. Komitmen
perlu kuat di internal organisasi sebelum diperluas pada sebuah kolaborasi. Karena
nantinya apabila ada salah satu pihak yang belum memiliki komitmen secara utuh maka
akan sulit untuk mencapai hasil yang maksimal. Sudah tentu dalam hal ini individu–
individu yang ada dalam organisasi itu mendukung jalanya program penanggulangan
HIV&AIDS, untuk aspek ini komitmen antar organisasi atau tiga stakeholder sudah baik
tupoksinya mereka bertugas meningkatkan sarana dan prasarana layanan kesehatan untuk
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, buktinya adalah tahun ini Sleman
adalah satu-satunya Kabupaten di DIY yang seluruh puskesmasnya bisa melayani test
VCT dan IMS serta memiliki Layanan Komprehensip Berkelanjutan (LKB) hal ini
sengaja dilakukan karena memang saat ini strategi Kabupaten Sleman dalam
HIVsebanyak-banyaknya terlebih dahulu maka tidak heran angka kasus HIV di Sleman
tertinggi di DIY, setelah tahap ini kemudian untuk selanjutnya adalah orang yang
107
sehingga laju penyebaran virus HIV untuk bisa menjadi AIDS bisa di tekan tingkat
kecepatannya.
atau program yang telah dilakukanserta selalu memenuhi undangan dari pihak KPA atau
setiap SKPD.Hal itu dilakukan karena memang belum ada payung hukum yang kuat
khususnya di Sleman bagi SKPD dalam menyelenggarakan program HIV dan AIDS
4.2.D Adanya Regulasi dan MoU Antar Ketiga Stakeholder Menjadi Legitimasi
dibentuknya KPA Sleman tahun 2008 hingga 2016 ini. Strategi pertamakali dalam
membangun kolaborasi melalui adanya struktur organisasi KPA adalah dengan cara
ini ditanggulangi oleh multi pihak kemudian membahas program kerja dan kegiatan yang
108
dalam bentuk tertulis yang berbentuk nota kesepakatan (MoU) namun bukan perjanjian
kerjasama.
Meskipun hanya MoU yang melandasi kolaborasi ini yang sejatinya, MoU itu
belumlah melahirkan suatu Hubungan Hukum namun MoU baru merupakan persetujuan
prinsip yang dituangkan secara tertulis. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, MoUyang
dituangkan secara tertulis baru menciptakan suatu awal yang menjadi landasan penyusunan
pada dasarnya sama halnya dengan perjanjian itu sendiri. Walaupun secara khusus tidak
ada pengaturan tentang MoU dan materi muatan MoU itu diserahkan kepada para pihak
bukan berarti MoU tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi para
tidak ada sanksi yang megikat bagi salah satu stakeholder apabila tidak melakukan
berkolaborasi karena masih banyak yang beranggapan bahwa penannggulangan HIV dan
AIDS ini hanyalah tanggung jawab dari Dinas Kesehatan saja.Namun seiring berjalannya
waktu terlihat masing-masing stakeholder memperkuat hubungan antar pihak. MoU yang
telah ditandatangani kerjasama dalam penanggulangan HIV&AIDS sejak tahun 2008 yakni
terbentuknya KPA Sleman menjadi landasan normatif yang cukup mengikat untuk sebuah
legitimasi kolaborasi. Namun lebih dari itu sebenarnya internalisasi legitimasi kedalam
masing-masing stakeholder jauh lebih penting. Legitimasi tidak hanya sekadar diatas
109
kertas. Kolaborasi antar stakeholder berhasil berlangsung hingga saat ini walaupun terjadi
pergantian Bupati Sleman. Program-program yang dilakukan setiap tahunnya oleh masing-
Legitimasi internal yang dilakukan oleh ketiga stakeholder yakni KPA, Dinas
kesehatan dan LSM Peduli AIDS di Sleman selama ini sudah berjalan cukup baik namun
perlu ditingkatkan lagi. Legitimasi internal yang kuat mulai muncul dalam kolaborasi ini
ditandai dengan adanya upaya mobilisasi anggota organisasi dari setiap stakeholder,
artinya legitimasi internal bukan hanya milik individu saja. Dalam menjalankan program
program tersebut berusaha untuk selalu menjalin kerjasama karena memang program tidak
Hal ini terjadi baik di level atasan (pimpinan atau orang yang mempunyai
wewenang untuk mengambil keputusan) atau bawahan dalam arti stakeholder yang
langsung berinteraksi atau memberi pelayanan kepada populasi kunci, ODHA atau
individu kemudian terus berproses menjadi pengakuan oleh semua organisasi dan menjadi
pengakuan holistik oleh semua stakeholder yang terlibat sedangkan legitimasi internal
110
4.3 Kapasitas Melakukan Aksi Bersama (Capacity of Join Action)Ketiga Stakeholder
Memiliki Beberapa Tantangan Pada Keterbatasan Sumberdaya dan Terbatasnya
Kemampuan Mengelola Kelembagaan Kolaboratif
Selain keterlibatan dan motivasi bersama sebagai isu utama dalam collaborative
governance pada penanggulangan HIV dan AIDS di Sleman, kapasitas untuk aksi juga
berda pada posisi yang sama. Ketiga aspek tersebut (ketrlibatan, motivasi dan kapasitas)
merupakan nilai yang harus ada pada dinamika suatu collaborative governance dengan
kata lain ketiga aspek tersebut menunjukan nilai sebuah proses dalam kerjasama antara
organisasi atau indiividu dan saling mempengaruhi kinerja kolaborasi. Sehingga untuk
meraih kolaborasi yang baik dan efektif maka ketiga aspek harus baik pula. Kapasitas ini
penanggulangan HIV&AIDS di Sleman dalam mencapai hasil yang efektif, efisien dan
berkelanjutan.
Hal yang ditekankan dalam kapasitas untuk aksi yakni sejauhmana kolaborasi
berdasar pada profil organisasi, para kolaborator tidak diragukan lagi mengelola praktik
kolaborasi. KPA dibentuk pada tahun 2010 memang bertujuan untuk mngkolaborasikan
Kabupaten Sleman juga memiliki otoritas dan kapasitas yang mumpuni sesuai peranya
puskesmas dan kader-kader kesehatanya. LSM Peduli HIV&AIDS pun tentu memilliki
111
hingga pemberdayaan ODHA dsb. Pada prinsipnya suatu kolaborasi akan selalu kuat
Namun pada sisi tertentu kolaborasi akan mengalami kendala apabila salah satu
penanggulangan HIV&AIDS seperti tentu bukan hanya tanggung jawab pihak Dinas
Kesehatan, KPA atau LSM Peduli AIDS semata namun program ini menjadi tanggung
jawab semua elemen masyarakat.Maka dari itu dibentuklah KPA beserta program-
program yang meliputi lintas sektor atau multi pihak. Sebagai contoh struktur organisasi
KPA sendiri yang terdiri dari lintas sektor di Kabupaten Sleman dalam praktiknya
pada bidang SKPD nya masing-masing ada sebagian SKPD yang masih merasa bingung
dalam melaksanakan program tersebut dan bahkan terkesan sekadarnya saja program
penanggulangan HIV&AIDS pada SKPD selain Dinkes umunya belum bisa dijadikan
salah satu program prioritas. Sebagai contoh Dinas Tenaga Kerja dan Sosisal mereka
Ketenagakerjaan dan Kesehatan Bagi Tenaga Kerja pada tanggal 28 Agustus 2016
dimana pesertanya adalah perwakilan HRD dari semua perushaan BUMD atau BUMS
oleh Kepala Badan Pengawasan Tenaga Kerja Kabupaten Sleman hanya selama kurang
112
“Selain mengenai pentingnya BPJS tadi penting juga bagi kita untuk mewaspadai
adanya penyakit menular di sekitar kita khususnya di lingkungan kerja seperti
adanya HIV dan AIDS TB dsb maka dari itu mohon bapak ibu disini bisa
mengadakan kegaitan-kegiatan penanggulangan untuk penyakit-penyakit tersebut,
untuk mengadakanya bapak ibu bisa bekerjasama dengan kami dinas tenaga kerja,
atau puskesmas terdekat, dinas kesehatan atau dengan komisi Penanggulangan
AIDS nanti akan kami bantu fasilitasi. Nah mungkin itu saja pertemuan siang hari
ini, terimakasih atas partisipasi bapak ibu, kami juga mohon maaf apabila dalam
menyambut bapak ibu ada hal yang kurang berkenan wabilahi taufik walhidayah
wassalamualaikum wr.wb”.
Idealnya apabila ingin menysipkan kampanye tentang penaggulangan HIV&AIDS
bagi setiaap SKPD bisa lebih di mkasimalkan lagi seperti menyediakan sesi tersendiri
sosialsiasi HIV dan AIDS secara khusus dan mengadirkan narasumber yang mumpuni.
Hal tersebut pada akhirnya akan menghambat ketercapaianya maksimum kegiatan demi
governance menggambarkan sebuah proses dan kelembagaan, oleh karena itu kajian
mengenai kelembagaan kolaboratif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam melihat
disini berhubungan erat dengan persoalan nilai, norma dan aturan yang melekat
organisasi atau individu itu melakukan hubungan interaksi. Perangkat yang normatif
mencakup hal-hal yang tertulis atau tersirat dalam kolaborasi, sedangkan hubungan
interaksi meliputi tindakan yang dilakukan dalam suatu kolaborasi. Kedua aspek tersebut
akan terus melekat dan menjadi kesatuan yang utuh dalam melihat kelembagaan.
113
Kelembagan selalu melekat dengan norma yang ada dan tindakan yang dilakukan,
tentunya melekat pada organisasi atau individu yang ada dalam sebuah kolaborasi. Dalam
kelembagaan sudah ada yakni melalui adanya KPA. Persoalan kemudian apakah itu baik
atau buruk akan saangat tergantung pada hal yang terkait dengan kelembagaan itu sendiri,
dilakukan analaisis data pada kasus yang diteliti, struktur organisasi KPA sudah jelas
melibatkan banyak instasi dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dalam
Ketua : Bupati
Ketua Pelaksana : Asisten Sekda Bidang Pembangunan
Wakil Ketua I : Ka.Dinas Kesehatan
Wakil Ketua II : Ka.Dinas Tenaga Kerja dan Sosial
Sekretaris I : Tenaga Penuh Waktu yang ditunjuk
Sekretaris II :Ka.Bagian Kesejahteraan Rakyat Setda
Anggota :
1. Kepolisian Resort Sleman
2. Lapas Narkotika Klas II A Pakem
3. Bappeda
4. Badan KB, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
5. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
6. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah raga
7. Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika
8. RSUD Sleman
9. Lapas Klas IIB Sleman
10. Kantor Kementerian Agama
11. RSUD Prambanan
12. Palang Merah Indonesia Sleman
13. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Cab. Sleman
14. Yayasan Victory Plus Propinsi DIY
15. Yayasan Vesta Indonesia
16. PKBI Sleman
17. LSM Kebaya
Sumber : Dokumen KPA
114
Dalam menjalankan tugas dan fungsi pokoknya sesuai UU Nomor 75 Tahun 20016
tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional yang mengatur juga KPA Provinsi dan
Kota/Kabupaten, KPA akan di bantu oleh Tim Pelaksana, Tim Pelaksana yang dimaksud
adalah Sekretariat KPA.Tim pelaksana dalam KPA sejauh ini sudah bekerja dengan baik,
karena KPA ini merupakan organisasi multi pihak dengan beragam latar belakang dan
Khususnya bagi SKPD selain Dinas Kesehatan ada sebagian mereka yang masih belum
mereka tetap termasuk dalam keanggotaan KPA, hal ini dibuktikan ketika mereka
mengikuti rapat dengan selalu berganti-ganti utusan bahkan sama sekali tidak datang
rapat yang diselenggarakan oleh Sekretaris KPA sehingga kadang kala informasi yang
Sekretaris KPA pun sudah berinisiatif untuk membentuk setiap perwakilan yang
berkompeten menjadi Tim HIV dan AIDS di Sleman bagi setiap jajaran SKPD maupun
lembaga lain untuk menjaga koordinasi dan kolaborasi tetap berjalan dengan baik namun
pada praktiknya hal itu juga belum bisa maksimal. Sentuhan penataan kelembagaan disini
masih kurang apalagi mengharapkanlebih dari itu.Namun yang selama ini terlihat yang
lebih aktif dalam menanggulangi HIV&AIDS di Sleman adalah Tim Pelaksana KPA,
Dinas Kesehatan dibawah kendali Dr.Wisnu dan LSM Peduli AIDS di Sleman. Idealnya
bagi semua lembaga yang tergabung dan berkomitmen dalam keaggotaan KPA bisa
sama-sama aktif dan maksimal dalam menjalankan program penanggulangan HIV dan
115
Kelembagaan dalam sebuah kolaborasi berbeda dengan sekadar melihat kelembagaan
berbentuk sebuah jaringan tentunya jaringan yang kolaborasi yang melibatkan banyak
organisasi dan individu. Bukan hanya kelembagaan sebatas sebuah organisasi yang
melibatkan beberapa individu jika seperti itu konteks dan cakupanya akan jauh berbeda.
Suatu kolaborasi mendorong penataan kelembagaan yang lebih luas dan tidak terpetakan
pada batas individu dan organisasi. Individu yang dimaksud disini adalah individu yang
terlibat dalam keanggotaan KPA atau yang menjadi perwakilan dari masing-masing
instansi/organisasi.
Kemudian organisasi yang dimaksud adalah setiap instansi yang terlibat dalam
keanggotan KPA yang telah disebutkan diatas. Konteks penatan kelembagaan harus
mencakup semua bagian tersebut, jadi tidak hanya pada organisasnya dengan asumsi
perwakilan, tetapi mencakup semua anggota organisasi yang terlibat dan dilibatkan.
Setiap organisasi dan individu yang terlibat kolaborasi juga perlu ditata. Sebaran norma
dan lingkup tindakan harus lebih luas dalam penataaan kelembagaan kolaborasi.
HIV dan AIDS yang tergabung dalam KPA memiliki kesamaan permasalahan pada poin
jadi bagian dari kolaborasi, karena itu masalah yang terjadi juga menjadi masalah pihak
lainaya. Sedikit atau banyak kesalahan pemerintah akan berdampak sistemik, masalah
yang ada dipihak pemerintahatau salah satu stakeholder tidak bisa lagi dilihat masalah
organisasi itu sendiri.Semuanya sudah menjadi bagian kolaborasi sehingga apabila terjadi
masalah juga masalah bagi bersama. Namun pada sisi tertentu kolaborasi akan
116
mengalami kendala apabila banyak pihak yang tidak menjalankan fungsinya secara
maksimal.
Dalam jurnal Emerson (2011) disebutkan salah satu aspek untuk memiliki
kolaborasi lebih berbetuk jaringan daripada hierarki. Artinya setiap pihak berada pada
posisi yang sama. Hubungan pihak yang terlibat lebih pada fungsi koordinasi daripada
komando. Berbeda dengan pola hierarki yang biasanya lebih mengedepankan komando.
Namun bukan berarti pula komando sama sekali tidak ada dalam kolaborasi. Semuanya
ditentukan pola yang disepakati sejak awal. Untuk kasus collaborative governance dalam
jaringan. sebagaimana tertuang dalam SK Bupati dan komitmen bersama dalam forum
kemitraan. Garis koordinasinya tidak vertikal, masing masing memiliki tugas yang
berbeda tetapi berada pada posisi yang sama. Harapanya dengan cara itu, setiap
kolaborator bisa saing menguatkan kelebihan dan menutupi kekurangan serta sama-sama
aktif bertindak.
menjadi hal yang sangat penting dalama memaksimalakan fungsi koordinasi kepada
semua stakeholder terkait. Hal ini maksudkan agar ada pihak yang mengkoordinasikan
program penanggulangan HIV dan AIDS, tujuan utamanya agar program bisa terlaksana
dengan baik dan tepat sasaran. Dalam hal ini sudah jelas terlihat bahwa KPA sendiri
117
karena ini amanat dari undang-undang serta kapasitas dari KPA yang memiliki otoritas
menguat pada setiap kegiatan yang telah disusun oleh KPA pada tiap bulannya. Hampir
semua kegiatan KPA adalah bersifat koordinatif yang melibatkan berbagai stakeholder
dari organisasi pemerintah dan organisasi non pemerintah. Bahkan seringkali KPA aktif
membangun komunikasi informal atau setiap waktu apabila ada hal yang mendesak yang
harus disampaikan kepada seluruh stakeholder yang tekait termasuk LSM dan Dinas
Kesehatan.
LSM terlihat lebih intensif dalam membangun kolaborasi pada KPA atau Dinkes Sleman,
Dinkes telah menunjukan langkah yang signifikan dalam saranadan prasaranan layanan
kesehatandengan 25 puskesmas seluruh Sleman bisa melayani test VCT& IMS serta
terlihat sudah berjalan namun belum maksimal terutama dalam mendrong SKPD untuk
terlibat lebih intensif dalam penanggulangan HIV dan AIDS ini. SKPD lain selain Dinkes
mereka cenderung baru melaksanakan fungsi koordinasi jikaada event dan bila mendapat
perintah atau umpan sebelumnya dari KPA, Dinkes maupun SKPD lain. Sehingga
Kepemimpinan kolaborasi tentu tidak akan berjalan mulus bila upaya saling
118
4.3.C Keterbatasan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Keuangan
Sumber daya yang dijelaskan pada poin ini yakni Sumber Daya Keuangan (SDK)
dan Sumber Daya Manusia (SDM). Penjelasan SDK berkaitan dengan pendanaan
program penanggulangan HIV dan AIDS dan SDM berkaitanndengan pelaku program
governance dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Harus diakui baik buruknya program
kemampuan keuangan dan manusianya. Kedunaya sudah pasti banyak berpengaruh pada
keduanya mengalami kondisi kurang baik maka kolaboasi akan sulit dibangun. Kemajuan
dan kemunduran program penanggulangan HIV dan AIDS dipenagruhi oleh SDK
danSDM yang tersedia, banyak pihak yang telibat belum tentu menjamin SDK dan SDM
selama ini bagi LSM serta bagi KPA dan Dinas Kesehatan selain dari APBD. Karena
sumber danaLSM hanya dari lembaga donor yang bisa saja habis kontraknya maka ada
melaksanakan programnya. Memang hal yang cukup sulit apabila SKPD menganggarkan
alokasi dana untuk kegiatan LSM secara terbilang karena itu menyalahi prosedur yang
penanggulangan HIV dan AIDS bisa difasilitasi oleh SKPD apabila disiasati menjadi
119
Sementara ini Sleman hanya baru berhasil menjalin perjanjian kerjasama
program penanggulangan HIV dan AIDS yang bersifat mengikat dan terdapat anggaranya
yakni dengan penjangkau penasun walaupun pihak tersebut anggota LSM namun dalam
perjanjian tersebut atas nama individu. Selain itu kerjaama antara pemerintah dengan
Persoalan SDM juga hampir sama dengan SDK. Sama-sama ada keterbatasan
kuantitas. Khususnya ini terjadi pada KPA dan LSM. KPA yang dimkasud disini adalah
Tim Pelaksana yang berjumlah 4 orang yang berkantor di sekretariat KPA dengan tugas
AIDS dan fungsi lain seperti tercantum dalam undang-undang personil yang berjumlah 4
orang agak kewalahan bahkan tak jarang personil KPA yang merangkap pekerjaan dalam
satu waktu. Bahkan sempat tahun lalu anggaran KPA tidak terserap habis karena bebrapa
program tidak berhasil diselenggarakan. Sedangkan bagi LSM Peduli AIDS di Sleman
juga demikian mayoritas LSM seperti Yayasan vesta Indonesia, Yayasan Victory Plus,
LSM Kebaya dan PKBI lingkup kerjanya adalah seluruh DIY dan personil dari LSM
tersebut juga mayoritas hanya belasan hingga kurang dari 50 orang. Sehingga dengan
demikian dalam menjalankan program penanggulangan HIV dan AIDS di Sleman yang
luas ini juga tentu akan mempengaruhi tingkat pencapaian target program.
Kolaborasi
Pengetahuan adalah elemen ketiga dalam kapasitas untuk aksi bersama. Dalam
banyak hal, pengetahuan adalah mata uang kolaborasi, artinya untuk membangun suatu
120
kolaborasi tentu memerlukan suatu pengetahuan dan pengetauan yang tidak lengkap
dantak seimbang harus ditingkatkan dengan pengetahuan baru. Pada intinya, kolaborasi
memerlukan agregasi, pemisahan, dan mengumpulkan data dan informasi, serta generasi
mempercepat dalam membangun suatu kolaborasi atau jaringan yang baik. Masing-
masing stakeholder khususnya KPA, Dinas Kesehatan dan LSM Peduli AIDS di Sleman
tentu mereka memiliki pengetahuan mengenai HIV dan AIDS perkembangan kasus dsb
Namun untuk terus menambah pengetahuan/ informasi baru yang berguna dalam
berjalanya kolaborasi pengetahuan terbaru mengenai HIV dan AIDS kasus terbaru stategi
diselenggarakan oleh Dinkes atau KPA ataupun mereka yang mengadakan diskusi
pengetahuan baru. Secara umum pengetahuan yang didapatkan antar tiga stakeholder ini
tergolong mudah
121
4.4 Collaborative Governance yang Baik Dapat Menjadi Mekanisme
berlangsung dalam penaggulangan HIV dan AIDS di Sleman apabila dilihat dari konteks
governance bisa menjadi salah satu alternative mekanisme kontrol publik yang cukup
baik khususnya pada stakeholder yang telibat. Masyarakat atau publik dalam konteks ini
adalah termasuk di dalamnya pemerintah (KPA dan Dinas Kesehatan Sleman), LSM
Peduli AIDS, atau secara umum adalah mahasiswa, pers, kekuatan politik, asosiasi,
komunitas, keluarga dan siapa saja yang memiliki concern pada penyelesaian masalah-
masalah publik. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Frederickson ketika
“the word governance is probably the best and the most generally accept
methaporfor describing the partners of interaction of multiple-organizational system
or networks” (Frederickson, 1997 dalam Hermawan, 2004).
Kolaborasi dan interaksi timbal balik hanya akan terjadi, manakala kekuasaan
mana berbagai elemen dalam masyarakat dapat menggunakan kekuasaan itu secara
setara dan tidak ada hegemoni antara satu elemen dengan elemen lainnya.Hal ini
122
interaksi yang terjadi pun tidak sebatas pada implementasi dan keberhasilan program,
tetapi lebih jauh terhadap interaksi kontrol atau mekanisme check and balances.
Pola kepemimpinan antar tiga stakeholder yang horizontal dalam kolaborasi ini
sekaligus menandakan bahwa pola yang terjalin adalah dengan networks sehingga
membawa implikasi pada interaksi yang seimbang, setara dan sinergis dalam konteks
mekanisme kontrol di antara berbagai elemen masyarakat dan hanya akan terjadi
oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dimonitor.
dan tindakan yang telah dilakukan kepada yang berwenang. Pengertian tersebut dapat
dipahami juga sebagai sebuah sikap untuk menerima berbagai konsekuensi atas
sebuah masyarakat dalam konteks ini lebih kepada antar stakeholder yang terlibat.
yang baik antar stakeholdernya sehingga penilaian, kritik, saran bahkan sanksi
ini pula terlihat adanya political will dari masing-masing kolaborator stakeholder yang
terjainnya koordinasi yang intesif baik formal atau informal serta keikutsertaan dalam
program bersama sehingga saran, kritik yang membangun dapat disampaikan secara
Tanpa terwujudnya hal itu, maka konstruksi mekanisme kontrol hanya akan
bernasib sama dengan berbagai perangkat peraturan di negeri ini yang semata mata
menjadi “hiasan” yang indah tetapi “nol” dalam pelaksanaannya. Kondisi yang
demikian juga dapat terjadi karena tidak adanya political will dari aktor-aktor yang
menjalankan sebuah perangkat peraturan. Dengan politicall will yang kuat dan
kesamaan tujuan maka dengan sendirinya dalam membangun kolaborasi ini ego sektoral
Stakeholder
Adanya power sharing dan power itu sendiri adalah sangat penting bagi
keberhasilan kolaborasi.Menurut (Hardly dan Philips, 1998 dalam Ansell dan Gash,
124
partisipasi kerjasama dan dan pembagian kekuasaan (power sharing). Power sharing
berarti merendahkan kekuasaan salah satu stakeholder yang terlibat tetapi lebih mengarah
pada stakeholder memiliki kekuatan yang sama dalam mempengaruhi atau mendesain
dengan baik. Hal ini ditunjukan saat masing-masing bekerja dilapangan dan saat forum
koordinasi. Semua aktif terlibat dan benegosiasi apabila menemui suatu persoalan dan
ketika mengambil sebuah keputusan atau strategi dalam penanggulangan AIDS ketiga
stakeholder aktif memberi solusi dan masukan agar didapatkan hasil untuk kebaikan
bersama, diantara ketiga stakeholder tidak ada yang saling mendominasi satu sama lain.
sumberdaya ketiga stakeholder baik itu sumber daya keuangan, sumber daya manusia,
pengetahuan, teknologi dan sebagainya seperti yang telah diulas pada aspek sumber daya
diatas, kesemuanya itu adalah sumber daya yang bisa digunakan dalam proses kolaborasi.
terjadi anatara ketiga stakeholder (KPA Sleman, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman dan
LSM Peduli AIDS) dengan adanya sumber daya yang dimiliki telah menunjukan adanya
power sharing yang cukup baik.Hal ini dibuktikan dengan salah satunyaterjadi pada saat
forum LKB 04 Oktober 2016 di Rumah Dinas Bupati Sleman yang dihadiri oleh Dr
Wisnu Kepala Bidang P2PL Dinkes Sleman, Tim Pelaksana KPA, Perwakilan seluruh
125
Puskesmas, Mitra LSM Peduli AIDS dan beberapa stakeholder yang lain. Pada saat itu
disampaikan masing-masing capaian program dari ketiga stakeholder ada dari pihak
Puskesmas yang belum mencapai target VCT mobilenya akhirnya pihak LSM Vesta
menawarkan solusi untuk bisa membantu hal tersebut dengan cara mengumpulkan teman-
Kemudian ketika pihak LSM dalam hal ini LSM Vesta membutuhkan bantuan
memberikan solusi atas persoalan tersebut, saat itu ada salah satu puskesmas yang
yang masih bisa digunakan bagi pihak LSM. Begitupula untuk program pendampingan
ODHA, ada beberapa puskesmas yang masih merasa bingung ketika menjumpai orang
yang berstatus positif HIV terkadang pasien tersebut tidak ingin terbuka pada pihak
puskesmas sehingga sulit diajak pengobatan. Hal tersebut disampaikan oleh salah satu
puskesmas pada forum LKB juga, kemudian persoalan itu direspon oleh pihak LSM
yakni Victory Plus dengan baik yakni dengan menawarkan solusi bahwa LSM tersebut
memang berfokus pada pendampingan ODHA maka untuk mengatasi hal tersebut
puskesmas bisa segera menghubungi dan menyampaikanya pada LSM Victory Plus untuk
Dari fakta diatas bisa dilihat pula bahwa power sharing yang berjalan tidak hanya
pada aspek sumber daya saja namun power sharing disini mengandung aspek pembagian
kewenangan yang adil, legitimasi dan saling percaya satu sama lain dimana semua
126
peranan yang mendominasi meskipun salah satu diantara mereka tentu memiliki
sumberdaya dan kekuasaan yang lebih kuat (misal Dinkes), namun ketiga stakeholder
memiliki kesempatan yang sama, posisi yang sama sertapartisipasi dari ketiga
Seperti yang telah disebutkan pada landasan teori, kolaborasi yang dibangun dalam
penanggulangan HIV dan AIDS ini juga mengalami beberapa hambatan yakni terkait
dengan faktor intitusi adalah bahwa kolaborasi bisa gagal karena adanya kecenderungan
budaya ketergantungan pada prosedur dan tidak berani mengambil terobosan dan
risiko.Untuk terciptanya kolaborasi yang efektif mensyaratkan para pelayan publik dan
pemimpinya untuk memiliki skill dan kesediaan untuk masuk ke kemitraan secara
dan menjadikan segala sesuatu dilakukan dalam sebuah kolaborasi namun melakukan hal
seperti ini dalam pelayanan publik yang tergantung pada prosedur dan tidak bersedia
mengambil risiko tidak mungkin akan menjadikan kolaborasi menjadi terwujud. Dengan
kata lain, ketergantungan pada prosedur dan tidak berani ambil risiko merupakan salah
satu hambatan bagi terselenggaranya kolaborasi. Inovasi yang dilakukan oleh para
Adanya hambatan tersebut dibuktikan dengan pihak SKPD atau KPA sendiri yang
belum bisa menganggarkan alokasi dana untuk kebutuhan penaggulangan HIV dan
AIDS yang dilakukan oleh LSM secara khusus sebagai contoh untuk pendampingan
ODHA padahal peran pendamping ODHA juga disini memiliki peranan yang cukup
127
penting bahkan boleh dikatakan sebagai ujung tombak untuk menekan angka penularan
HIV kepada orang lain pasca mengetahui status HIVnya. Dan kegiatan ini juga tentu
mengeluarkan biaya dan tenaga yang perlu didukung dari pihak pemerintah sebenarnya
namun hingga saat ini belum bisa terakomodasi.Sebab hal itu tidak sesuai dengan
prosedur yang ada yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.Program yang telah
dianggarkan pada periode tertentu tidak bisa dengan mudah untuk diubah-ubah. Serta
prosedur birokrasi yang cenderung lama dalam proses penganggaran sehingga ada bulan
yang tidak efektif dan tidak bisa menjalankan program seperti pada awal tahun. Sehingga
program efektif baru berjalan ketika bulan ke tiga atau ke empat ketika dana telah cair
atau bahkan menumpuk pada bulan akhir tahun. Hal ini tentu menghambat kinerja
Sistem penganggaran program pada birokrasi pemerintah yang cukup lamban tersebut
hampir menyeluruh terjadi pada jajaran instansi pemerintah termasuk KPA dan Dinkes
sehingga mau tidak mau program kurang intensif karena selama satu tahun itu terdapat 2-
HIV tidak mengenal batasan waktu, pengobatan ODHA serta pendampingan ODHA juga
semestinya dilakukan terus menerus dan tidak boleh berhenti apabila ingin pengendalian
Faktor penghambat yang lain ialah adanya tantangan keterbatasan sumber daya
memang membutuhkan solusi dan tekad bersama mengingat masalah AIDS ini yang
128
bahkan Bupati dan sebagainya namun yang benar-benar menjalankan tugas harian dan
program secara lebih intensif tetap Tim Pelaksana Harian KPA Kabupaten Sleman yang
berjumlah hanya 4 orang yang dipimpin oleh Sekretaris KPA. Sehingga pernah suatu saat
tidak bisa berjalan dengan efektif karena pihak KPA (Tim Pelaksana Harian) mengaku
bahwa kadang forum pertemuan atau forum koordinasi memang tidak berjalan dengan
efektif artinya masih sering dijumpai bahwa peserta undangan khususnya bagi jajaran
SKPD yang tidak bisa mengahdiri undangan tersebut dengan alasan pimpinan sedang
bertugas di tempat lain sehingga yang menghadiri rapat alhasil adalah orang-orang yang
seadanya dan kadang tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan atau tidak
yang telah atau sedang dibahas di dalam rapat. Sebab itu koordinasi kadang putus dan
kolaborasi akhirnya tidak berjalan dengan baik. Kemudian KPA lebih memilih fokus
kepada program selanjutnya sehinnga kadang lupa untuk menindaklanjuti SKPD tersebut
untuk bisa lebih berkontribusi nyata dan maksimal dalam penanggulangan AIDS.
Hal yang sama terjadi pada Dinas Kesehatan pula, khususnya pada bidang yang
menangani penularan AIDS yakni Bidang P2PL. Tenaga mereka sudah tentu terbatas
karena semua kebijakan dan program tentang pencegahan penularan penyakit dan
pencemaran lingkungan di Kabupaten Sleman menjadi tanggung jawab bidang P2PL dan
AIDS adalah hanya salah satu bagian darinya sehingga kemudian fokus dan tenaga
mereka terbagi dan kurang bisa fokus hanya untuk isu HIV&AIDS saja. Serta bagi LSM
129
juga memiliki keterbatasan yang sama mengenai sumber daya manusia. Mayoritas LSM
yang menjadi mitra KPA Sleman adalah LSM yang ruang lingkup kerjanya di seluruh
Provinsi DIY serta dengan hanya memiliki sumber daya manusia yang berkisar puluhan.
Bahkan beberapa dari LSM tersebut sekretariat mereka tidak berlokasi di Sleman
tetapi di Bantul dan Kota Yogyakarta. Sehingga dalam menjangkau dan mendampingi
ODHA faktor waktu dan lokasi juga menjadi tantangan tersendiri bagi LSM.Sehingga
dengan banyaknya wilayah yang mereka tangani kadang dalam melakukan feedback
kepada Dinkes Sleman atau KPA pihak LSM kurang bisa intensif melaporkannya
walaupun sebenarnya mereka sudah mempunyai database mengenai berapa jumlah orang
yang berhasil dijangkau atau ODHA yang didampingi, yang itu juga merupakan hasil dari
kolaborasi dengan Dinas Kesehatan, namun untuk melaporkan hasil tindak lanjutnya
secara khusus untuk wilayah Sleman sendiri mereka belum intensif melaporkannya.
130
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kabupaten Sleman dan LSM Peduli AIDS berada pada tingkat eksplorasi. Kolaborasi
yang berada pada tingkat eksplorasi adalah suatu pertemuan yang dilakukan dalam
bentuk formal dan informal baik dalam brainstorming issue / persoalan seputar HIV dan
AIDS, membangun forum koordinasi, membangun hubungan dan komuikasi yang baik
dan intensif antar mitra KPA. Dengan demikian artinya praktik yang dilakukan masih
pada tahap pengembangan format yang utuh menuju suatu collaborative governance
yang ideal. Selama ini para kolaborator melakukan aktivitasnya berdasar pada komitmen
bersama dan keanggotan mitra KPA yang tertuang dalam SK Bupati Sleman Tahun
layanan kesehtan bagi pencegahan dan pengobatan HIV dan AIDS. KPA berfungsi
penanggulangan HIV dan AIDS, menginisiasi terbentuknya kemitraan lintas sector, dan
LSM menjalankan program penanggulangan HIV dan AIDS berbasis masyarakat dan
oleh para pihak sangat terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
penanggulagan HIV&AIDS yang dilakukan tiga stakeholder diatas dari 2008 sampai
2016 ini mulai dari agenda setting sampai transformasi aksi sudah berjalan dengan baik,
131
aspek yang terkait meliputinya antara lain komunikasi intensif, saling percaya, saling
kepemimpinan kolaborator dan sumber daya. Dari delapan aspek yang dikaji dalam
penelitian ini ada dua diantaranya yang belum sempurna yakni sumber daya dan
legitimasi internal hal ini terjadi karena adanya hambatan kultur pada pihak pemerintah
yang akhirnya kurang bisa mengembangkan startegi inovatif untuk mengatasi persoalan
tersebut.
antar stakeholder dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Sleman ini ialah
collaborative governance yang dilakukan secara tidak langsung telah menjadi mekanisme
kontrol yang kuat bagi antar stakeholder dalam melaksanakan tupoksinya masing-masing
pada penanggulangan HIV dan AIDS yang berujung pada akuntabilitas disertai
kepercayaan tinggi sehingga pencapaian program bisa maksimal dan efektif bisa
dilaksanakan.Selain itu sebenarnya kolaborasi yang terjadi adalah sebagai power sharing/
5.2 Rekomendasi
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti baik di KPA, Dinas
Kesehatan dan LSM Peduli AIDS di Kabupaen Sleman mengenai dinamika kolaborasi
132
tiga stakeholder dan stakeholder lain yakni beberapa SKPD Kabupaten Sleman dalam
Sleman sebaiknya membuat kesepakatan formal dalam bentuk tertulis yang disepakati
oleh tiga pihak stakeholder, yakni KPA sebagai koordinator program, Dinas Kesehatan
sebgai layanan dan LSM-LSM Peduli HIV dan AIDS sebagai penjangkau dan
pendampng pada komunitas, populasi kunci dan ODHA agar masing-masing pilar merasa
terikat terhadap ugas dan tanggung jawabnya sehingga ikut berpartisipasiaktif dalam
pennagguangan HIV dan AIDS di Kabupaten Sleman begitu pula ada konsekuensi bagi
merekayang tidak aktif. Dan harus melakukan pengawasan lebih ketat untuk setiap SKPD
agar terlibat lebih jauh dalam penanggulangan HIV dan AIDS sehingga dapat bekerja
secara optimal dan profesioanl demi terwujudnya penurunan angka HIV dan AIDS di
Sleman dan tercipata distribusi akuntabilitas yang merata diantara semua anggota KPA.
meningkatkan kualitas layanan yang sudah terbentuk di seluruh 25 puskesmas Sleman ini
dengan cara memperkuat pengawasan dan mendorong peran yang masksimal yang
3. Pemerintah Kabupaten Sleman perlu memberikan dukungan sumber daya berupa dana
atau dalam bentuk program lain kepada LSM-LSM Peduli HIV dan AIDS untuk
kunci atau masyarakat secara umum karena selama ini program-program penanggulangan
133
HIV dan AIDS agar bisa kontinyu dan maksimal apabila nanti lembaga donor sudah tidak
4. LSM Peduli AIDS perlu meningkatkan laporan atau feedback yang lebih intensif dan
sistematis kepada Dinas Kesehatan atau KPA khususnya mengenai pencapian program,
dampingan ODHA atau penjangkauan agar monitoring perawatan dan pengobatan kepada
Demikian saran yang dismapaikan kepada KPA, Dinas kesehatan dan pemerintah
Kabupaten Sleman agar menjadi pertibangan dan diharapkan dapat mengatasi hambatan
134
Daftar Pustaka
Ansell, Chris, and Alison Gash. 2008. Collaborative governance in theory and
practice.Journal of Public Administration Research and Theory18:543–71.
Beresford, P, Croft, S, 1984, Welfare Pluralism: The New face of Fabiansm. Critical
Social Poicy
Dedy Hernawan. Akuntabilitas NGO dan Kontrol Publik.Jurnal Administrasi Publik, Vol.3,
No.2, 2004
Emerson, Kirk, Nabatchi, Tina, and Balogh, Stepehen. 2011. An Integrative Framework
for Collaborative Governance, Journal of Public Administration Research and Theory Part
22: 1-29. London: Oxford University Press.
Gazley,Beth. 2010. Why not partner with local govermen? Nonporfit managerial
perceptions of collaborative disadvantage, Nonprofit and Voluntary Sector Quaterly online:
https://www.researchgate.net/publication/273589175-Reinforcing-the-safety-net
Lynn, Lawrence E., Carolyn J. Heinrich, and Carolyn J. Hill. 2001. Improving
governance: A new logic for empirical research. Washington, DC: Georgetown Univ. Press.
135
Resnik, David. B. 2015. What is Ethics in Research & Why is it Important?
(Online).http://www.niehs.nih.gov/research/resources/bioethics/whatis
Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi Edisi ke-12,
Jakarta: Salemba Empat
Sugiyono. 2012. Metode penelitian Pendidikan (Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D).
Bandung : Alfabeta.
Susantie , Niluh Gede, 2007, Tesis” Koordinasi Stakeholder dalam Pencegahan dan
Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Manokwari’, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
www.aidsyogyadiy.com
www.depkes.go.id
www.kemensos.go.id
136