Anda di halaman 1dari 152

DINAMIKA COLLABORATIVE GOVERNANCE ANTAR STAKEHOLDER

DALAM UPAYA PENANGGULANGAN HIV&AIDS

DI KABUPATEN SLEMAN

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Mencapai Derajat Sarjana S-1

OLEH
ISNAENI NURUL KHUSNA
13/353262/SP/25966
PEMBIMBING

Drs. SUPARJAN M.Si

DEPARTEMEN PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2017
HALAMAN PENGESAHAN

ii
iii
MOTTO

HIDUP

***

KECIL TERBINA

MUDA BERKARYA

HIDUP BERSAHAJA

BERKELUARGA BAHAGIA

TUA SEJAHTERA

MATI MASUK SURGA

***

iv
PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbilalamin, terima kasih Ya Rabbku untuk segala rahmat dan

pertolonganmu yang sangat luar biasa dalam hidupku..

Karya sederhana ini kupersembahkan khusus teruntuk :

1. Mamahku tersayang, atas segala doa , pengorbanan dan cinta kasihnya

yang terus menguatkandan meliputiku hingga detik ini.

2. Bapakku tersayang, atas segala doa, perjuangan, nasihat dan cinta

kasihnya yang senantiasa dilantunkan untukku.

3. Kakak dan Adikku (Mba Pipit dan Dik Dyas) yang sangat kusayangi

dan selalu menghiburku.

4. Keluarga keduaku di KBM Nurul Hikmah Yogyakarta, aku sangat

mengasihi kalian, dan yang teristimewa Pak Harminto, Pak Ridwan,

Pak Agung, Mas Zaka, Mba Ella dan Dik Aris.

5. Calon Imam hidupku yang sabar menunggu dalam ketaatan hati hingga

ridho dariNya nanti menyatukan kita dalam kesucian cinta yang

agung.

v
UCAPAN TERIMAKASIH

Dengan segala kerendahan hati senantiasa penulis mengucap puji syukur ke hadirat Allah

SWT atas semua rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa diberikan serta atas izin-Nyalah

Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Dinamika Collaborative Governance

Antar Stakeholder Dalam Peananggulangan HIV&AIDS Di Kabupaten Sleman dengan

lancar.

Berbagai hambatan dan pengalaman menjadi pengalaman yang berharga bagi penulis

sebagai dari proses penyelesaian studi di kampus. Berkat bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak pula lah akhirnya skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, atas segala bantuan, bimbingan

dan arahan yang telah diberikan kepada penulis, pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih (Alhamdulillahi jaza humullohu khoiro) kepada:

1. Seluruh jajaran Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Sosial

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan

ilmu yang sangat berharga dan bermanfaat serta terkhusus kepada Bapak Drs.

Suparjan, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah sabar memberikan masukan dan

arahan yang sangat bermanfaat pada penelitian ini.

2. Bapak H. Drs. Mulyanto, MM selaku sekretaris penuh waktu KPA Sleman yang telah

bersedia memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di KPA

Sleman.

3. Mas Dwi Suryanto selaku pengelola program KPA Sleman atas segala kebaikan hati,

keramahan, informasi, kesediaan waktu dan keterbukaan selama penelitian di KPA

vi
4. Ibu dr. Wisnu selaku Kepala Bidang P2PL Dinas Kabupaten Sleman yang bersedia

memberikan kesempatan dan informasi untuk kelancaran penelitian ini.

5. Semua koordinator, manajer program dan staf LSM-LSM Peduli AIDS Kabupaten

Sleman: Yayasan Vesta Indonesia, Yayasan Victory Plus, PKBI Sleman, OPSI DIY

dan LSM Kebaya atas segala kerja sama, keramahan dan keterbukaan informasi yang

diberikan.

6. Hibah Riset Fisipol UGM 2016 yang telah mendanai penelian ini.

7. Keluarga besar Deparetemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan 2013 atas

persaudaraan dan pertemanan yang mengesankan.

8. Keluarga besar KBM Nurul Hikmah atas kasih sayang, dukungan dan perhatian yang

senantiasa diberikan.

9. Keluarga besar Pondok Pesantren Mahasiswa Baitul Hamdi Yogyakarta atas

kebersamaan dan dukungan yang diberikan.

10. Mas Firstian Abdi Bintoro (Mas Bin) atas pinjaman laptop dan rayuan yang

membuat semangat.

11. Keluarga besar KBM Akselerasi GP 28 Caturtunggal atas pembinaan yang begitu

banyak dan tak ternilai.

12. Keluarga besar PERMATA Desa Concongcatur atas nasihat yang dan motivasi yang

diberikan untuk tetap semangat menghafal Alquran disela-sela menulis.

13. Semua sahabat KKN STG-02 2016 Wakatobi atas pengalaman yang mengesankan.

14. Kawan-kawan BEM KM UGM periode 2013 hingga 2015 atas pengalaman berharga

berproses dengan kalian.

vii
15. Kepengurusan KAPSTRA 2014 hingga 2015 atas kerjasamanya untuk mencoba

berkontribusi pada Departemen PSDK.

16. Para Mentor dan rekan-rekan Insan Mulia Enterpreneur Academy (IMEA) Batch 01

atas dukungan dan tambahan ilmu yang diberikan.

17. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini, yang tidak bisa

disebut satu persatu.

Penulis menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangan dari skripsi ini karena

adanya keterbatasan teknik dan pengetahuan penulis.Oleh karena itu segala saran dan

kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dan semoga skripsi ini dapat

memberi manfaat bagi semua yang membacanya.

Yogyakarta, November 2016

Penulis

viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang Maha Kuasa, karena atas
limpahan rahmat dan hidayahNya saya dapat menetapi agama islam yang murni ini. Shalawat dan
salam tak lupa penulis panjatkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, yang mana atas
perjuangannya, agama rahmatan lil alamin ini dapat penulis rasakan saat ini. Begitupun dengan para
perantara agama yang telah memperjuangkan Al-qur’an dan Hadist yang saya jadikan pedoman
hidup hingga saat ini, atas perjuangannya saya ucapkan Alhamdulillah jazahumullahukhoiro.
Sesungguhnya karya skripsi yang berjudul “Dinamika Collaborative Governance Antar Stakeholder
Dalam Upaya Penanggulangan HIV&AIDS di Kabupaten Sleman” sebagai bagian dari instrumen
perjuangan penulis untuk melanjutkan dakwah bagi umat islam di masa mendatang. Pengerjaan karya
ini semurni-murninya diniati untuk kelancaran dan kebarokahan saya dalam menjalankan ibadah.

Penelitian yang berlokasi di Kabupaten Sleman ini mengkaji tentang dinamika collaborative
governance yang berlangsung dalam upaya penanggulangan HIV&AIDS selama ini.Sebagaimana
diketahui bahwa HIV&AIDS merupakan masalah yang memiliki dampak yang kompleks dan tidak
bisa diatasi dengan hanya salah satu pihak saja namun penanganannya memerlukan keterlibatan
multi pihak/multi stakeholder agar pengendalian penularan HIV&AIDS dapat efektif dan
komprehensip. Memilih sampel penelitian di Kabupaten Sleman karena angka kasus HIV di wilayah
ini merupakan tertinggi diantara Kabupaten lain di Provinsi DIY. Pada penelitian ini, peneliti akan
mengupas tuntas terkait bagaimana dinamika collaborative governnace yang terjadi antara
stakeholder yang terlibat meliputi aspek keterlibatan, motivasi bersama dan kapasitas aksi bersama,
serta mengetahui faktor penghambat apa saja yang mempengaruhi dinamika tersebut, serta penulis
mencoba memberi makna dari fakta yang terjadi dilapangan. Penulis menyadari bahwa dalam proses
penulisan karya ini tidak luput dari segala kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua
pihak sangat diperlukan untuk pengembangan penelitian ini agar lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Semoga karya ini bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak terkait, terutama untuk para
stakeholder kebijakan dalam memformulasikan kebijakan dan manajemen pemerintahan yang tepat
untuk penanggulangan HIV&AIDS yang lebih efektif, komprehensif dan berkelanjutan agar
penurunan angka penularan HIV&AIDS hingga zero infected bisa terwujud.

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... ii

HALAMAN PERNYATAAN .................................................................................. iii

MOTTO .................................................................................................................... iv

PERSEMBAHAN .......................................................................................................v

UCAPAN TERIMA KASIH..................................................................................... vi

KATA PENGANTAR..............................................................................................ix

DAFTAR ISI..............................................................................................................x

ABSTRAKSI.............................................................................................................xv

ABSTRACTION..................................................................................................... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................1

1. Alasan Pemilihan Judul.........................................................................................1

1.1.1 Aktualitas Judul ........................................................................................1

1.1.2 Relevansi Dengan Departemen PSdK ......................................................2

1.1.3 Orisinalitas ................................................................................................3

1.2. Latar Belakang ...................................................................................................5

1.3. Rumusan Masalah ............................................................................................16

1.4. Tujuan Penelitian .............................................................................................16

1. 4.1 Tujuan Operasional ................................................................................17

1. 4.2 Tujuan Substansial .................................................................................17

1.5. Manfaat Penelitian.............................................................................................18

1.5.1 Manfaat Substansial .........................................................................................18

1.5.2 Manfaat Operasional.........................................................................................18

1.6 Landasan Teori....................................................................................................19

x
1.6.1 Alasan Melakukan Kolaborasi .........................................................................19

1.6.2 Pengertian Kolaborasi .....................................................................................20

1.6.3 Pengertian Collaborative Governance .............................................................22

1.6.4 Collaborative Governance Regime ..................................................................23

1.6.5 Konteks Umum Sistem ....................................................................................26

1.6.6 Driver ...............................................................................................................27

1.6.7 Dinamika Kolaborasi .......................................................................................28

a. Keterlibatan Berprinsip...............................................................................29

b. Motivasi Bersama .......................................................................................30

c. Kapasitas Aksi Bersama..............................................................................31

1.6.8 Tindakan Kolaboratif .......................................................................................33

1.6.9 Dampak Kolaborasi .........................................................................................34

1.6.10 Tahapan Collaborative Governance Menurut Dorothy Norris......................35

1.6.11 Hambatan Kolaborasi.....................................................................................38

1.6.12 Stakeholder ....................................................................................................41

1.6.13 Kerangka Pikir Penelitian ..............................................................................42

BAB 2 METODE PENELITIAN .............................................................................44

2.1 Jenis Penelitian....................................................................................................44

2.2 Lokasi Penelitian.................................................................................................45

2.3 Unit Analisis .......................................................................................................47

2.4 Penentuan Sampel ...............................................................................................48

2.5 Data Penelitian ....................................................................................................51

2.5.1 Data Primer............................................................................................51

2.5.2 Data Sekunder........................................................................................52

2.6 Teknik Pengumpulan Data ................................................................................52

xi
2.6.1 Observasi ...............................................................................................52

2.6.2 Wawancara ............................................................................................54

2.6.3 Dokumentasi ..........................................................................................56

2.6.4 Studi Kepustakaan................................................................................ 56

2.7 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ...............................................................57

2.7.1 Triangulasi .............................................................................................57

2.7.2 Konfirmabilitas......................................................................................59

2.7.3 Refrensi .................................................................................................59

2.8 Teknik Analisa Data .........................................................................................61

2.8.1 Reduksi Data .........................................................................................61

2.8.2 Penyajian Data .......................................................................................62

2.8.3 Menarik Kesimpulan dan Verivikasi .....................................................59

2.9 Etika Riset .........................................................................................................63

2.10 Sistematika Penulisan .....................................................................................65

BAB 3 PROFIL STAKEHOLDER DAN BENTUK KOLABORASI .....................66

3.1 Profil Stakeholder .............................................................................................66

3.1.A Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Sleman .............................66

3.1.B Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman ....................................................70

3.1.C LSM PKBI Sleman ...............................................................................71

3.1.D Yayasan Vesta Indonesia ......................................................................73

3.1.E Yayasan Victory Plus. ...........................................................................75

3.1.F LSM Kebaya..........................................................................................77

3.1.F LSM OPSI. ............................................................................................77

3.2 Bentuk Kolaborasi Tiga Stakeholder ................................................................78

BAB 4 DINAMIKA COLLABORATIVE GOVERNANCE TIGA STAKEHOLDER

xii
DALAM PENAGGULANGAN HIV DAN AIDS DI SLEMAN ............................88

4.1 Keterlibatan Aktif dari Ketiga Stakeholder ........................................................90

4.1.A Komunikasi Intensif dari Ketiga Stakeholder ......................................67

4.2 Motivasi Bersama (Shared Motivation) yang Besar

Antar Ketiga Stakeholder ........................................................................................100

4.2.A Ketiga Stakeholder Menunjukkan Kinerja Baik dan Transparansi

Untuk Saling Percaya/ Membangun Kepercayaan (Trust Buliding) ............102

4.2.B Menyamakan Persepsi dan Kerjasama Merupakan Bentuk Saling

Memahami Antar Ketiga Stakeholder ..........................................................104

4.2.C Bentuk Komitmen Bersama Antar Ketiga Stakeholder

Melalui Pencapaian Program........................................................................106

4..2.D Adanya Regulasi dan MoU Antar Ketiga Stakeholder

Menjadi Legitimasi Internal yang Cukup Kuat ............................................107

4.3 Kapasitas Melakukan Aksi Bersama (Capacity of Join Action) Ketiga

Stakeholder Memiliki Beberapa Tantangan Pada Keterbatasan Sumberdaya dan

Terbatasnya Kemampuan Mengelola Kelembagaan Kolaboratif ...........................100

4.3.A Keterbatasan Anggota KPA Dalam Mengelola

Kelembagaan Kolaboatif ..............................................................................112

4.3.B Kepemimpinan/ Leadership Antar Stakeholder

Membentuk Pola Jaringan ............................................................................116

4.3.C Keterbatasan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Keuangan ...118

4.3.D Pengetahuan Mudah Diakses Oleh Stakeholder Dalam

Mendukung Kolaborasi ................................................................................121

4.4 Collaborative Governance yang Baik Dapat Menjadi Mekanisme Kontrol

Yang Kuat Antar Stakeholder ................................................................................121

xiii
4.5 Power Sharing Yang Baik Menguatkan Collaboration Governance

Antar Stakeholder ...................................................................................................123

4.6 Faktor Institusi dan Keterbatasan Sumber Daya: Faktor Penghambat

Collaborative Governance Antar Stakeholder........................................................126

BAB 5 PENUTUP ..................................................................................................130

5.1 Kesimpulan .......................................................................................................130

5.2 Rekomendasi .....................................................................................................131

LAMPIRAN ............................................................................................................134

xiv
ABSTRAKSI

HIV&AIDS menjadi masalah yang serius bagi kesehatan masyarakat apabila tidak
ditanggulangi dengan baik, karena sangat berkaitan erat pembangunan suatau negara yakni
berpengaruh pada tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia. Kabupaten Sleman masih
menduduki jumlah kasus yang tertinggi di Provinsi DIY. Terbentuknya KPA selaku badan yang
khusus menanggulangi kasus AIDS mempunyai tugas dan fungsi pokonya ada
mengkoordinasikan semua program penanggulangan HIV&AIDS yang ada pada lintas sektor
baik pada elemen pemerintah, elemen komunitas (LSM Peduli AIDS) dan swasta. Dengan
banyaknya institusi yang terlibat dalam upaya penanggulangan HIV&AIDS mengapa prevalensi
dan jumlah kasus HIV&AIDS tidak kunjung mengalami penurunan yang signifikan justru ada
kecenderungan meningkat tajam. Sehingga pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana dinamika kolaborasi yang dibangun oleh KPA Sleman, Dinas Kesehatan Sleman,
LSM Peduli AIDS atau 3 Pilar dalam menanggulangi HIV&AIDS di Kabupaten Sleman dan
mengetahui faktor penghambat apa yang mempengaruhi kolaborasi tersebut.
Dalam melihat fenomena ini akan lebih banyak menggunakan perspektif mengenai
kelembagaan serta dibingkai dalam teori collaborative governance yang ditawarkan oleh
Emerson dkk. Teori ini tergolong pada paradigma New Public Management yang mana dalam
mengambil kebijakan untuk pelayanan publik dan mencapai tujuan publik yang hanya bisa
dicapai dengan melibatkan banyak pihak/stakeholder. Ada beberapa aspek yang harus dipenuhi
oleh masing-masing stakeholder sebagai syarat agar dinamika collaborative governance berjalan
dengan baik seperti aspek keterlibatan,motivasi dan kapasitas aksi bersama.
Untuk menerangkan fenomena yang akan diteliti secara mendalam, komprehensip serta
menguak dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang terjadi sehingga pada penelitian ini
menggunakan metode kualitatif deskriptif serta penentuan informan dengan metode purposive
sampling dan data riset yang berhasil dikumpulkan yakni melalui wawancara, dokumentasi dan
obesrvasi. Lokasi penelitian ini berada di Kabupaten Sleman.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dinamika kolaborasi antara tiga stakeholder tersebut
berjalan dengan baik dengan melihat aspek keterlibatan, motivasi bersama dan kapasitas aksi
bersama Aspek keterlibatan dapat dikatakan baik sebab terjadi komunikasi intensif diantara
ketiga stakeholder. Aspek motivasi dikatakan baik pula karena dalam dinamika kolaborasi antara
ketiga stakeholder memuat unsur saling percaya, saling memahami, legitimasi internal dan
komitmen bersama yang berjalan sama baik dan kuat. Namun dalam aspek kapasitas aksi bersama
pada unsur kelembagaan kolaboratif dan sumber daya memiliki beberapa tantangan yang
menjadikanya kurang berjalan maksimal sehingga dapat mempengaruhi keberlangsungan
kolaborasi secara umum. Sedangkan unsur leadership menunjukan bahwa pola yang terjalin
adalah pola jaringan sehingga tidak terjadi hierarki dalam kolaborasi serta pengetahuan yang
mampu diakses dengan baik oleh semua stakeholder. Dinamika kolaborasi yang berhasil
dibangun dapat dikategorikan pada tahapan eksplorasi. Faktor penghambat yang ditemui dalam
dinamika kolaborasi tersebut adalah faktor kultur dan keterbatasan sumber daya. Dari data riset
yang diperoleh dapat dimaknai bahwa collaborative governance yang terjadi sekaligus mampu
digunakan sebagai mekanisme kontrol yang kuat antar stakeholder.
Kata Kunci: Dinamika collaborative governance, faktor penghambat, penanggulangan
HIV&AIDS

xv
ABSTRACTION
HIV and AIDS is a serious problem for public health if not addressed properly, because it
is very closely related to the development of the country suatau effect on the high and low quality
of human resources. Sleman still occupy the highest number of cases in the province.
Establishment of the KPA as a specialized agency tackling AIDS cases has the duty and function
of existing pokonya coordinate all the HIV and AIDS exist in both the cross-cutting elements of
the government, the community element (AIDS NGOs) and the private sector. With the number
of institutions involved in the response to HIV and AIDS why the prevalence and incidence of
HIV and AIDS does not go to experience a significant decline in fact there is a tendency to rise
sharply. So in this study aims to determine how the dynamics of collaboration developed by KPA
Sleman, Sleman Health Service, AIDS NGOs or third pillar in tackling HIV and AIDS in Sleman
and knowing what the inhibiting factors that affect the collaboration.
In view of this phenomenon will be more use of the institutional perspective and framed
in the theory of collaborative governance offered by Emerson et al. This theory belong to the
paradigm of New Public Management which in their policy for public services and achieve public
objectives can only be achieved by involving many parties / stakeholders. There are several
aspects that must be met by each stakeholder as a condition for the dynamics of collaborative
governance goes well as aspects of engagement, motivation and capacity of collective action.
To explain the phenomenon to be studied in depth, comprehensively and to uncover and
understand something behind the phenomena that occur so that in this study using descriptive
qualitative methods as well as determination of informants using purposive sampling and research
data collected namely through interviews, documentation and obesrvasi. The location of this
research is in Sleman.
The results showed that the dynamic collaboration between the three stakeholders that
goes well with a view aspects of engagement, motivation and capacity of collective action
together with the involvement aspect can be good because it occurs an intensive communication
among the three stakeholders. Motivational aspects also said to be good because of the dynamics
of the collaboration between the three stakeholders contains elements of mutual trust, mutual
understanding, internal legitimacy and commitment that runs equally well and strong. However,
in the aspect of joint action capacity at the institutional elements of collaborative and resource has
several challenges which makes it less running optimally so as to affect the sustainability of
collaboration in general. While elements of leadership that exists shows that the pattern is a
network pattern so there is no hierarchy in the collaboration and knowledge that can be accessed
by all stakeholders. The dynamics of collaboration which have been built can be categorized in
the exploration stage. Inhibiting factors encountered in the collaboration dynamics are cultural
factors and resource limitations. From the research data obtained can be interpreted that
collaborative governance is happening at the same time capable of being used as a powerful
control mechanism between stakeholders.
Keywords: Dynamics of collaborative governance, inhibiting factors, prevention of HIV
& AIDS

xvi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul


Dalam sebuah penelitian, judul merupakan bagian yang penting dalam

menentukan arah penelitian kita. Penulisan judul sendiri harus disesuaikan dengan pokok

dari isi penelitian yang akan kita lakukan. Judul dapat membantu pembaca untuk lebih

cepat mengetahui fokus dari penelitian yang akan dibaca. Judul dalam sebuah karya

penulisan berfungsi sebagai alat untuk menunjukkan kepada pembaca tentang hakekat

dari objek dan fokus dari penelitian, wilayah, serta metode yang dipergunakan. Judul

dalam penelitian ini sendiri yaitu :

“Dinamika Collaborative Governance Antar Stakeholder Dalam Upaya Penanggulangan

HIV&AIDS di Kabupaten Sleman”

Pemilihan judul tersebut tentu dilandasi oleh beberapa alasan yang menurut

peneliti sangat rasional. Alasan tersebut merujuk pada aspek aktualitas, orisinalitas, serta

relevansi dengan ilmu yang peneliti geluti yakni Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.

Hal ini disebabkan ketiga aspek tersebut adalah bagian yang harus dipertimbangkan guna

memastikan urgensi dari sebuah penelitian. Berikut ini akan dijelaskan rasionalisasi

alasan pemilihan judul berdasarkan ketiga aspek tersebut, yakni:

1.1.1 Aktualitas

Isu kesehatan masyarakat khususnya HIV&AIDS tahun demi tahun justru

meningkat tajam sehingga upaya pencegahan dan penanggulannya makin massif

dilakukan banyak pihak. Dengan adanya penelitian ini diharapkan nantinya dapat

1
memberikan masukan kepada pemegang kepentingan terkait dalam upaya

menciptakanproduk kebijakan yang lebih efektif bagi penanggulangan masalah

HIV&AIDS ini. Dengan demikian penelitian ini masih aktual untuk dilakukan sesuai

dengan kondisi sosial yang terjadi didalam masyarakat dimana hingga sampai saat ini

program penanggulangan dan pencegahan HIV&AIDS masih terus digulirkan kepada

masyarakat sasaran program.Serta setelah melakukan tinjauan pustaka pada e-library

UGM penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian yang pertama yang

mengambil isu mengenai collaborative governance dalam konteks penanggulangan

HIV&AIDS di Sleman.

1.1.2 Relevansi dengan DepartemenPembangunan Sosial dan Kesejahteraan

Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan jelas merupakan jurusan

yang memiliki coreSosial Development (pembangunan sosial). Dimana didalam

Departemen tersebut memiliki tiga konsentrasi utama, yaitu Pemberdayaan, CSR, dan

Kebijakan Sosial. Tema yang diangkat dalam penlelitian ini yakni analisis kelembagaan

dalam implementasi program penanggulangan HIV&AIDS di Kabupaten Sleman.

Penelitian ini mampu bersinggungan sekaligus antara fokus kebijakan, pemberdayaan dan

CSR sebab stakeholder yang terkait didalamnya meliputi pemerintah, peran swasta juga

masyarakat sipil.Penelitian ini akan banyak membahas mengenai isu kesehatan

masyarakat khususnya penanggulangan HIV&AIDS yang dilihat dari perspektif

kelembagaan. Sehingga penelitian ini erat bersinggungan dengan ilmu yang dikaji dalam

Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yakni mengenai kesehatan

masyrakat dan institusi sosial, serta penelitian ini harapannya mampu memberikan

kontribusi untuk menemukan solusi bagi pemecahan masalah kesehatan masyarakat

2
dalam penanggulangan HIV&AIDS yang terus meningkat, dengan demikian sama artinya

penelitian ini berupaya berkontribusi bagi peningkatan kualitas kesehatan masyarakat

sebagai salah satu indikator kesejahteraan sosial.

Serta permasalahan mengenai HIV&AIDS ini juga dapat tergolong permasalahan

sosial yang dihadapi masyarakat, Orang Dengan HIV&AIDS (ODHA) termasuk

masyarakat rentan dikatakan bahwa masyarakat rentan adalah kelompok masyarakat yang

mengalami pemasalahan terkait dengan kesejahteraan hidupnya sehingga kelompok ini

juga dapat disebut sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).

Penyandang masalah kesejahteraan sosial adalah seseorang, keluarga atau kelompok

masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan tidak dapat

melaksanakan fungsi sosialnya sehingga tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya baik

jasmani, rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan, atau

gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, ketunaan sosial,

keterbelakangan, keterasingan/ketertinggalan, dan bencana alam maupun bencana

sosial.Ada 22 macam jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang saat

ini ditangani oleh Departemen Sosial saat ini diantaranya adalahorang dengan

HIV&AIDS (ODHA) Sehingga menjadi penting untuk melakukan dan mengetahui

strategi penanggulangan HIV&AIDS yang ada di Kabupaten Sleman khususnya.

1.1.3 Orisinalitas

Dalam proses pelaksanaannya, penulis melakukan studi literatur yang

dipergunakan sebagai bahan pembuktian bahwa penelitian yang dilakukan berbeda

dengan penelitianyang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian sebelumnya yang penulis

jadikan sebagai bahan kajian diantaranya:

3
(a) Niluh Gede Susantie (2007), UGM dalam tesisnya yang berjudul Koordinasi

Stakeholder dalam pencegahan dan penanggulangan HIV&AIDS di Kabupaten

Manokwari, penelitian ini menggunakan metode kualitatif, hal yang ingin diketahui

dari penelitian ini adalah bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan dalam pencegahaan

dan penanggulangan HIV&AIDS, komunikasi yang terjalin dalam koordinasi

stakeholder yang digunakan dalam penanggulangan HIV&AIDS dan kemitraan yang

terbentuk antar kemitraan. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa bentuk

kegiatan sudah dilaksanakan mulai dari upaya preventif hingga kuratif namun dalam

segi koordinasi tidak ada integrasi dalam KPA Daerah Manokwari, stakeholder yang

berkepentingan masih berjalan sendiri-sendiri dan struktur KPA Daerah Manokwari

belum bekerja optimal. Koordinasi gagal karena terhambat keterbatasan dana. Serta

kemitraan yang dijalin dilaksanakan secara formal dan informal namun bersifat semu,

Birokrat memandang persoalanHIV&AIDS secara normatif dan hanya dipermukaan

saja, kalangan LSM memandang persoalan HIV&AIDS lebih mendalam, hal tersebut

berpengaruh pada dinamika serta strategi dalam kemitraan HIV&AIDS.

(b) Asri Swatini (2010), Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Collaborative

Governance Komisi Penanggulangan AIDS dan Lembaga Swadaya Masyarakat

Lokal Dalam Kasus HIV&AIDS di Kota Surakata. Penelitian tersebut mendapatkan

hasil bahwa dalam proses kolaborasi diantara KPA Surakata tidak bekerja secara

efektif tetapi tergantung pada LSM lokal peduli AIDS dalam pencarian data dan

penjangkauan kelompok sasaran. KPA tidak mendukung dalam pendanaan terhadap

LSM lokal tetapi pihak LSM dalam operasionalnya dapat bertahan mellaui lembaga

donor internasional. Pihak LSM lokal merasa KPA tidak bekerja signifikan dalam

4
penurunan angka penderita AIDS di Surakata. Penelitian tersebut menggunakan

etnografi trianggulasi serta Penelitian ini menganalisis menggunakan konsep

efektivitas kolaborasi dari Provan dan Milward.

Dalam penelitian ini, peneliti melihat bahwa ide yang diangkat untuk dalam

mengkajiisu kesehatan mayarakat khususnya penanggulangan HIV&AIDS tergolong

belum massif dalam persepktif collaborative governance. Biasanya penelitian

mengenai penanggulangan HIV&AIDS ini banyak dilakukan oleh peneliti dari klaster

sains dan medika, namun keunikan dari penelitian ini adalah keberanian untuk

mendefinisikan atau mengkerangkai program penanggulangan HIV&AIDS yang

dilakukan oleh multistakeholder yang terlibat dalam penanggulangan HIV&AIDS

institusi baik pemerintah maupun non pemerintah dalam perspektif

dinamikacollaborative governance yang belum pernah dibahas oleh penelitian yang

ada sebelumnya.

Hal yang menjadikan penelitian ini tetap orisinal dan berbeda dari penelitian yang

sudah dijelaskan diatas, selain setting waktu dan tempat penelitian adalah penelitian

ini ingin mengetahui bagaimana dinamika collaborative governance dengan

mengadopsi terori dari Emerson dkk bukan untuk mengevaluasi collaborative

governance seperti yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya.

1.2 Latar Belakang

Diantara beberapa permasalahan publik yang memiliki implikasi luas dan tidak

bisa ditangani oleh satu institusi pemerintah saja adalah HIV&AIDS.Penyakit

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang disebabkan oleh infeksi dengan

Human Immunodeficiency Virus/ HIV kini telah menjadi fenomena yang menyita

5
perhatian banyak kalangan masyarakat beberapa tahun terakhir. Masalah kesehatan

memang menjadi perhatian utama dalam pembangunan suatu negara karena

berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia, sebab dengan kulitas hidup

masyarakat yang baik pada akhirnya akan mengantarkan menuju masyarakat yang

lebih maju dan sejahtera. Kesehatan yang buruk pada gilirannya akan mempengaruhi

banyak hal seperti kecerdasan, kelancaran pendidikan dan produktivitas kerja

(Darwin 2005:63). Maka dari itu negara berkewajiban memenuhi hak dasar/hak sosial

terhadap warga negaranya sebagaimana yang telah diamanatkan dalam konstitusi

salah satunya yakni pemenuhan aspek kesehatan.

Masalah HIV&AIDS saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

banyak diperhatikan, banyak pihak prihatin dengan adanya HIV&AIDS sebab

penyakit ini mengindikasikan rendahnya moral dan perilaku seksual yang tidak sehat

(Susantie,2007). Sebenarnya masalah kesehatan masyarakat ini mulai memperoleh

perhatian dunia sejak dekade tahun delapan puluhan.Di indonesia sendiri isu

mengenai penanggulangan HIV&AIDS bagi masyarakat semakin massif dilakukan

sebab kasus penderita HIV&AIDS di Indonesia masih tinggi dan cenderung terus

meningkat dari tahun ke tahun. Kasus HIV&AIDS pertama kali ditemukan di

Indonesia pada tanggal 5 April 1987 pada seorang wisatawan Belanda

(Wibowo,2012). Hingga saat ini HIV&AIDS sudah menyebar di 386 kabupaten/kota

di seluruh Indonesia.Banyak upaya penanggulangan yang telah dilakukan oleh

Pemerintah melalui kerjasama dengan berbagai lembaga dalam atau luar negeri.

Berikut ditampilkan situasi HIV&AIDS yang bersumber dari Ditjen PP-PL melalui

aplikasi Sistem Informasi HIV&AIDS dan IMS (SIHA)

6
Gambar 1. Kasus HIV&AIDS yang dilaporkan Tahun 1987 hingga September

2014

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Gambar 1 memperlihatkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah kasus HIV

dari tahun ke tahun sejak pertama kali dilaporkan (tahun 1987). Sebaliknya jumlah kasus

AIDS menunjukan kecenderungan meningkat secara lambat bahkan sejak tahun 2012

jumlah kaus AIDS mulai turun. Jumlah kumulatif penderita HIV dari tahun 1987 sampai

September 2014 sebanyak 150.296 orang, sedangkan total kumulatif kasus AIDS

sebayak 55.799 orang.

Laporan Kasus HIV&AIDS di Indonesia sampai dengan September 2014, yang

diterima dari Ditjen PP & PLKemenkes RI 17 Oktober 2014, Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta menempati urutan ke 14 provinsi dengan penderita HIV&AIDS terbesar

sedangkan prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk DIY menempati urutan ke 8

dari seluruh provinsi di Indonesia.

7
Gambar 1. Epidemi HIV dan AIDS di DIY 2004-Maret 2016

766
800 726
688

600

317 HIV
400 262
217 214 AIDS
158 132
200
56

0
Kasus Kota YogyakartaKasus Sleman Kasus Bantul Kasus Kulonprogo
Kasus Gunung Kidul

Sumber : Diolah dari KPADIY


Wilayah yang paling banyak penderita HIV&AIDS di Provinsi DIY sendiri adalah

Kabupaten Sleman.Berikut data yang berhasil dihimpun bersumber dari surveylans

mengenai kasus HIV di Kabupaten Sleman pada tahun 1993 hingga Maret 2016.

Gambar 2. Jumlah Kasus HIV di Kabupaten Sleman yang dilaporkan Tahun 1993
hingga Maret 2016
Tahun/Waktu Jumlah
1993-2011 ( Sampai Desember 2011) 343Kasus
1993 – 2012 ( Sampai Maret 2012) 380Kasus
Kasus HIV 1993 – 2012 (Sampai November 2012) 433 Kasus
Di 1993 – 2013 (Sampai Maret 2013) 470 Kasus
Kabupaten 1993 – 2013 (Sampai Juni 2013) 487 Kasus
Sleman 1993 – 2013 ( Sampai Desember 2013) 544 Kasus
1993 – 2014 ( Sampai Maret 2014) 574 Kasus
1993-2015 (sampai September 2015) 737 Kasus
1993-2016 (Sampai Maret 2016) 766 Kasus
Sumber : diolah dari data Surveylans, Komisi Penananggulangan AIDS Provinsi DIY

Dari gambar diatas sangat jelas terlihat kasus HIV&AIDS di Kabupaten Sleman

terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan, data tersebut juga dapat

menunjukan bahwa hingga saat ini pemerintah belum berhasil untuk mengatasi

masalah kesehatan masyarakat yakni penyebaran penyakit HIV&AIDS di Kabupaten

Sleman.

8
Upaya memerangi HIV&AIDS tidak hanya menjadi komitmen Indonesia namun

juga menjadi salah satu komitmen global yang termuat dalam Millenium

Development Goals (MDGs) khususnya pada point enam yakni memerangi

HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular lainnya yang direncanakan berakhir di

tahun 2015 namun nyatanya belum berhasil dituntaskan sehingga menjadi program

berkelanjutan yang disebut Sustainable Development Goals dan ditargetkan dapat

dituntaskan pada 2030 mendatang. Namun karena penyebaran HIV&AIDS ini sudah

cukup tinggi dan penyebarannya tidak hanya terkonsentrasi pada kelompok berisiko

tinggi saja, melainkan juga pada masyarakat berisiko rendah.

Perkembangan HIV&AIDS yang cukup pesat ini nantinya akan berdampak pada

semua aspek kehidupan masyarakat, apabila tidak ada langkah-langkah konkrit dari

pemerintah untuk menghambat laju penyebarannya salah satu dampaknya adalah

pada pembangunan, karena proporsi umur muda yang terkena penyakit ini dapat

menurunkan angka harapan hidup. Berikut merupakan data mengenai jumlah

penderita HIV&AIDS berdasarkan golongan umur yang bersumber KPA Provinsi

DIY.

Gambar 3. Jumlah Penderita HIV/AIDS provinsi DIY yang dilaporkan Menurut


Kelompok Umur Tahun 1993-2014
1200
965
938
1000 890
851 829 <4
778
800 696 05 s.d 14
581 619 15 s.d 19
600 511 20 s.d 29
453
365 392 30 s.d 39
400 283 261 40 s.d 49
202 50 s.d 59
141 156
200 72 102 56
342018 7 472622 13 3034 31 563141 33 543351 55 >60
0
1993-2011 1993-2012 1993-2013 1993-2014 1993-2015

Sumber : diolah dari data HIV/AIDS KPA Provinsi DIY, 2014

9
Dari data diatas dapat dilihat bahwa pola penularan HIV&AIDS tidak banyak

berubah dan cenderung mengalami peningkatan penderita pada setiap kelompok

umurnya. Infeksi paling banyak terjadi pada kelompok usia produktif yakni 20-29

tahun. Dengan semakin banyaknya orang yang hidup dalam jangka waktu pendek

kontribusi mereka pada ekonomi nasional dan perkembangan sosial akan kecil dan

kurang dapat diandalkan. Hal ini menjadi penting untuk dicarikan solusinya sebab

hilangnya individu terlatih dalam jumlah besar tidak akan mudah digantikan. Pada

tingkat makro biaya yang berhubungan dengan kehilangan seperti itu apabila

meningkatnya pekerja yang tidak hadir, meningkatnya biaya pelatihan, pendapatan

berkurang dan sumber daya yang harus dipakai untuk aktivitas produktif terpaksa

dialihkan pada perawatan kesehatan, waktu yang terbuang untuk merawat anggota

keluarga yang sakit, dan biaya yang dibutuhkan untuk membiayai yang sakit

kesemuanya itu tentu membawa dampak bagi kehidupan seseorang.

Pencegahan dan penannggulangan HIV&AIDS ini menjadi prioritas sebab

penyebaran HIV&AIDS ini akan menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan

secara keseluruhan karena saling berpengaruh terhadap kesehatan juga terhadap

sosial ekonomi politik dan pertahanan keamanan. Selain itu juga karena karakteristik

penularan HIV&AIDS dapat menular melalui rantai penularan HIV yang seringkali

sulit untuk diawasi dan dipantau. Meskipun penanggulangan tersebut khususnya

menjadi perhatian bagi pemerintah selaku pembuat kebijakan publik namun tidak

menutup kemungkinan bahwa pemerintah memiliki keterbatasan dalam

penanggulangan HIV&AIDS tersebut, sehingga untuk mengoptimalkan kinerja

pemerintah perlu adanya kolaborasi anatar stakeholder.

10
Para stakeholder disini adalah setiap orang, kelompok atau lembaga yang positif

atau negatif mempengaruhi atau dipengaruhi oleh isu atau hasil tertentu. Jenis

stakeholder (1) Stakeholder primer termasuk mereka yang karena kekuasaan,

wewenang, tanggung jawab atau klaim atas sumber daya sangat penting untuk

inisiatif koservasi apapun (2) stakeholders sekunder adalah mereka yang memiliki

minat langsung dalam hasilnya (3) stakeholder oposisi, mengarah pada kemungkinan

mereka yang memiliki kapasitas menerima dampak negatif dari pengahsil pengaruh

melalui sumber daya dan pengaruh yang mereka perintah (4) stakeholders marginal

yakni merujuk pada mereka yang secara langsung ataupun tidak langsung

terpengaruh dari dampak suatu kebijakan namun kurang memiliki kapasitas untuk

mengutarakan kepentingannya, seperti perempuan, masyarakat adat, dll (WWF,

2003:2.2)

Terkait pada siapa saja stakeholder yang terlibat dalam penanggulangan

HIV&AIDS di Sleman adalah merujuk pada beberapa hal yaitu Keputusan Bupati

Sleman Nomor 320/Kep.KDH/A/2008 Tentang Komisi Penanggulangan AIDS

Kabupaten Sleman. Didalamnya dijelaskan bahwa semua SKPD Kabupaten Sleman,

RSUD di Sleman, Lapas di Sleman merupakan anggota KPA Sleman yang

diharapkan dapat mengkomunikasikan dan menginformasikan sesuai dengan

pelayanan masing-masing SKPD tersebut, selain itu yang menjadi anggota KPA

Sleman adalah beberapa LSM peduli HIV dan AIDS di Sleman seperti LSM PKBI

Sleman, LSM Victory Plus, LSM Vesta, LSM Kebya dan LSM OPSI serta semua

institusi dan lembaga yang dianggap berkaitan baik secara langsung maupun tidak

langsung terhadap upaya penanggulangan HIV&AIDS di Kabupaten Sleman.

11
Namun agar memfokuskan arah penelitian maka akan dipilih stakeholder yang

dianggap memiliki andil paling besar dalam penanggulangan HIV&AIDS di Sleman

ini. Sejauh ini memang yang berperan aktif dan intensif dalam penanggulangan

masalah HIV&AIDS di Sleman ditangani tiga aktor yakni KPA, Dinas Kesehatan dan

LSM. Jajaran SKPD memang turut membantu namun kebanyakan dalam hal promosi

atau kampanye penanggulangan HIV&AIDS yang diintegrasikan keprogram lain

sehingga terlihat belum maksimal dan intensif, persoalan tersebut karena terhambat

adanya kondisi tersebut karena terhambat belum adanya payung hukum yang jelas

yang mengatur mengenai bentuk kegiatan, pendanaan maupun lainnya yang mengatur

secara rigit penanggulangan HIV&AIDS yang harus dilakukan oleh SKPD.

Maka kolaborasi ketiga stakeholder dalam penanggulangan HIV&AIDS di

Sleman mencakup dua kategori stakeholder yakni stakeholder primer dan stakeholder

sekunder.Yang termasuk stakeholder primer adalah lembaga driver yakni Komisi

Penanggulangan AIDS Kabupaten Sleman. Serta Stakeholder sekunder terdiri dari

Dinas Kesehatan (Dinkes) dan Lemabga Swadaya Maysarakat (LSM) Peduli AIDS

yaitu LSM PKBI DIY, LSM Victory Plus, LSM Vesta, LSM Kebaya dan LSM OPSI.

Diharapkan dengan adanya kolaborasi antar stakeholder lintas sektoral tersebut

penanggulangan HIV&AIDS di Sleman dapat berjalan optimal sehingga berdampak

pada penurunan HIV&AIDS di Sleman atau pengendalian HIV&AIDS yang efektif

di Sleman.

Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Sleman sebagai lembaga driver

memiliki tanggung jawab yang besar dalam penaggulangan HIV&AIDS di Sleman.

Kedudukan KPA sebagai koordinator dan fasilitator menjadikan KPA harus mampu

12
mengajak para stakeholder lain untuk berperan aktif mensukseskan program-program

penanggulangan HIV&AIDS adapun program-program penanggulangan tersebut

meliputi program pencegahan, program perawatan dan dukungan kepada ODHA.

Program pencegahan meliputi: Program peningkatan pelayanan konseling dan

testing sukarela, progam peningkatan penggunaan kondom pada hubungan seks

berisiko, Program pengurangan dampak buruk penyalahgunaan napza suntik.

Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak, Program penanngulangan

Infeksi Menular Seksual (IMS), Program penyediaan darah dan produk darah yang

aman Program peningkatan kewaspadaan universal. Sedangkan Program perawatan,

pengobatan dan dukungan ODHA meliputi: Program peningkatan saran pelayanan

kesehatan, Program peningkatan penyediaan, distribusi obat dan reagensia, Program

pendidikan dan pelatihan, Program peningkatan penjangkauan dan dukungan ODHA.

Program-program diatas merupakan jabaran dari dokumen Strategi Nasional

penanggulangan HIV&AIDS tahun 2007-2010. Maka seharusnya program-program

tersebut mampu diimplementasikan di setiap kota/kabupaten di Indonesia, jadi

penelitian ini ingin melihat bagaimana program-program tersebut mampu

berkolaborasi atau melihat bagaimana dinamika kolaborasi yang terjadi sejauh

program penanggulangan HIV&AIDS di Sleman dilakukan.

Berdasarkan hal diatas, maka penelitian ini menekankan pada kolaborasi institusi

dalam upaya penanggulangan HIV&AIDS dan tidak memfokuskan pada penurunan

jumlah HIV&AIDS melainkan hanya menekankan pada proses kolaborasi antar

institusi itu saja. Institusi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah KPA Sleman,

Dinas Kesehatan dan LSM-LSM Peduli AIDS di Sleman yang mana ketiga aktor

13
tersebut dianggap paling berperan dalam proses penanggulangan HIV&AIDS di

Sleman. Dengan demikian, hasil penelitian nantinya akan berfokus pada persoalan

kolaborasi antar ketiga stakeholders tersebut mengenai bagaimana dinamika

kolaborasi yang terjadi kemudian mengidentifikasi apa tahapan kolaborasi yang

sudah dilakukan serta mengetahui hambatan apa saja yang terjadi selama kolaborasi

berlangsung.

Berkaitan dengan hambatan yang terjadi dalam kolaborasi termasuk didalamnya

melakukan koordinasi. Pengalaman sajuh ini membangun koordinasi baik kolaborasi

multipihak dalam suatu pelayanan publik tidak dapat dipungkiri tentu menjumpai

tantangan tersendiri seperti ego sektoral yang dimiliki oleh masing-masing pihak

sehingga masih mengedepankan cara pandang dalam mengahadapi suatu pesolan

yang berbeda-beda. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan oleh beberapa poin dibawah

ini menurut Paul R. Lawrence dan Jay W. Lorch (Handoko, 2003:197)

mengungkapkan bahwa ada 4 (empat) tipe perbedaan dalam sikap dan cara kerja

yang mempersulit tugas pengkoordinasian, yaitu (1) Perbedaan dalam orientasi

terhadap tujuan tertentu (2) Perbedaan dalam orientasi waktu (3) Perbedaan dalam

orientasi antar-pribadi (4) Perbedaan dalam formalitas struktur.

Selain itu pengalaman yang kurang menunjukan hal yang positif mengenai

collaborative governance terjadi pada kasus di jajaran pemerintahan menurut hasil

studi Sumarto (2008) dalam Mardiyanta (2011) mengenai praktik administrasi publik

dalam implementasi undang-undang keterbukaan informasi publick yang tentunya

banyak melibatkan stakeholder didalamnya menunjukkan bahwa, pengalaman

partisipasi yang telah berlangsung di berbagai daerah (Kabupaten Bandung,

14
Kabupaten Sumedang, Kabupaten Kebumen, Kota Solo dan Kota Parepare) terdapat

adanya kelemahan-kelemahan untuk dapat memproduksi suatu efek transformatif dan

empowerment seperti yang diharapkan. Beberapa kelemahan yang mempengaruhi

kualitas dan efektivitas partisipasi antara lain:

Pertama, belum meratanya kemauan politik maupun pemahaman di jajaran

pemerintahan tentang pentingnya dan tentang keuntungan apa yang bisa diperoleh

dari proses partisipasi. Tidak jarang partisipasi diselenggarakan semata sebagai

formalitas proyek yang semakin lama kualitasnya semakin menurun secara

signifikan. Kedua, kebijakan dan peraturan yang ada serta mengatur tentang proses

partisipasi dalam tata kepemerintahan di daerah tidak cukup mengikat dan tidak

memberikan insentif yang cukup berarti untuk diterapkan secara serius dan

berkelanjutan. Sementara itu proses monitoring dan penegakan hukum dari aturan-

aturan ini juga belum menjadi prioritas dari pemerintah pusat maupun pemerintah

propinsi.

Ketiga, forum-forum warga atau forum multi-stakeholders yang berpotensi

menjadi media penyalur suara warga seringkali tidak mampu mengembangkan dan

mempertahankan diri menjadi lembaga yang demokratis dan kuat. Anggota atau

peserta membutuhkan penguatan-penguatan untuk menjadikan dirinya lebih

kompeten dalam berpartisipasi. Walaupun masalah yang dihadapi setiap forum dan

asosiasi berbeda secara detilnya, ada beberapa persoalan dasar yang dihadapi yaitu

yang terkait dengan aspek kepemimpinan, transparansi, kompetensi, dan akses

terhadap sumber daya.

15
Keempat, para perencana, pelaksana dan fasilitator program partisipatif sering

menghadapi kesulitan untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya?” agar warga

bisa berpartisipasi secara efektif dan agar tidak terjadi dominasi kepentingan tertentu

dalam suatu forum partisipatif. Pengetahuan dan keterampilan menyelenggarakan

forum-forum partisipatif dan penguasaan.

Setelah berefleksi dari beberapa kasus diatas pada praktik kolaborasi ternyata

masih terdapat syarat atau aspek yang kurang bisa diterapkan dengan baik oleh para

stakeholder untuk menjalankan kolaborasi yang ideal. Sama halnya dengan

penanggulangan AIDS ini yang merepresentasikan adanya langkah kolaborasi dalam

setiap strategi penanggulannya, maka dari itu penelitian ini penting untuk dilakukan

salah satunya adalah ingin mengetahui bagaimana dinamika kolaborasi yang

dibangun stakeholder selama ini dalam penaggulangan HIV&AIDS di Kabupaten

Sleman bagaimana stakeholder melintasi batas-batas instansinya untuk membangun

kolaborasi untuk mencapai tujuan yang sama dan bagaimana antar stakeholder itu

menjalankan syarat atau aspek penting untuk mencapai kolaborasi yang baik.

Persoalan menganai bagaimana membangun tata kelola kolaborasi antar

stakeholder seperti diatas dalam perspective governance atau New Public

Management khususnya sebenarnya memiliki kesamaan dengan konteks persoalan

kelembagaan dalam perspektiv welfare pluralism. Dimana dalam perspektif tersebut

konteksnya adalah distribusi kesejahteraan tidak lagi signifikan diberikan atau di

selenggarakan oleh negara namun voluntary sector dan privat sector mulai diberikan

ruang sehingga memiliki andil yang cukup signifikan pula dalam distribusi

kesejahteraan (Beresford & Croft (1984). Hal ini lebih kepada persoalan “how to

16
govern” antara stakeholder yang mempunyai backround kultur dan struktur yang

berbeda untuk mampu bersama-sama menyelenggarakan suatu kebijakan untuk

mengatasi suatu masalah publik. Sehingga sangat menarik dan penting untuk

dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana kolaborasi antar stakeholder

berlangsung dalam menjalankan suatu kebijakan sebab persoalan ini selalu bersifat

sangat dinamis dan kontekstual.

1.3 Rumusan Masalah

Dalam kasus ini berangkat dari latar belakang masalah diatas, maka peneliti

tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai program penanggulangan HIV dan

AIDS di Kabupaten Sleman oleh berbagai institusi terkait, sehingga pertanyaan

pokok/ main question penelitian ini adalah :

- Bagaimana Dinamika Collaborative Governance yang selama ini berlangsung

diantara stakeholderkhususnya adalah KPA, Dinas Kesehatan Sleman dan LSM

Peduli AIDS di Sleman dalam penanggulangan HIV&AIDS di Kabupaten

Sleman?

Dan memiliki sub questions sebagai berikut :

- Apa tahapan collaborative governance yang selama ini berlangsung dalam

penanggulangan HIV&AIDS di Sleman ?

- Apa saja faktor hambatan yang mempengaruhi collaborative governance dalam

melakukan upaya penanggulangan HIV&AIDS di Kabupaten Sleman?

17
1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah dan rumusan

masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1.4.1 Tujuan Substansial :

a. Mengetahui dinamika collaborative governance multi pihak dalam melakukan

penanggulangan HIV&AIDS di Kabupaten Sleman.

b. Mengetahui faktor penghambat yang mempengaruhi ketiga aktor tersebut dalam

melakukan upaya kolaborasi pennaggulangan HIV&AIDS di Kabupaten Sleman.

1.4.1 Tujuan Operasional :

a. Memberikan tambahan referensi bagi civitas akademika, baik oleh peneliti umum

maupun yang berasal dari Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.

b. Dapat memberikan sumbangan informasi maupun pemikiran yang dapat digunakan

oleh peneliti selanjutnya terhadap isu terkait kesehatan masayarakat khususnya

penanggulangan HIV&AIDS.

c. Memberikan gambaran mengenai institusi yang menangani penanggulangan

HIV&AIDS di Kabupaten Sleman. Sebagai penerapan ilmu yang telah dipelajari

dalam studi Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.

d. Memberi kontribusi bagi solusi berupa rekomendasi penanggulangan HIV/AIDS

bagi para stakeholder.

18
1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Substansial

Secara substansial penelitian ini dapat mengetahui dinamika collaborative

governanceantar stakeholder dalam upaya penanggulangan HIV&AIDS di Kabupaten

Sleman.

1.5.2Manfaat Operasional

a. Bagi peneliti, penelitian ini menjadi proses pembelajaran penelitian dan bekal

tambahan pengetahuan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi

di masyarakat terkait isu kesehatan masyarakat khususnya penanggulangan

HIV&AIDS.

b. Penelitian ini berkontribusi untuk memberikan tambahan referensi bagi civitas

akademika di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan terkait kebijakan

kesehatan masyarakat khususnya penanggulangan HIV&AIDS.

c. Penelitian ini menambah informasi bermanfaat bagi pembaca untuk peduli

terhadap perkembangan isu HIV&AIDS.

d. Penulis berpartisipasi memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai bahaya

HIV&AIDS yang mengancam masyarakat. Diharapkan masyarakat tidak bersikap

apatis dan ikut berkontribusi dalam penanggulangan HIV&AIDS dengan

menyebarkan informasi secara benar dan tepat penanggulangan HIV&AIDS.

Bagi para stakeholders diharapkan dapat sebagai refleksi implementasi

kebijakan dan memberikan tambahan rekomendasi bahan masukan bagi perumus

kebijakan pencegahan penularan di kalangan masyarakat yang saat ini masih

sangat minim. Penelitian ini juga dapat menjadi bahan referensi mengenai

19
masyarakat sehingga dapat memberikan perlindungan dengan penanggulangan

HIV&AIDS dikalangan masyarakat.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Alasan Melakaukan Kolaborasi

Menurut (Ansell and Gash, 2007:544) collaborative governance muncul sebagai

respon kegagalan implementasi dan tingginya biaya dan politisasi regulasi. Ini

dikembangkan sebagai sebuah alternatif adversarrialism untuk pluralisme kelompok

kepentingan dan kegagalan akuntabilitas manajerialisme (terutama otoritas ahli yang

ditantang).Lebih posistif, orang mungkin berpendapat bahwa kecenderungan kearah

kolaborasi juga muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kapasitas

institusi.Sebuah pengetahuan menjadi lebih komplek dan saling tergantung, permintaan

untuk meningkatkan kolaborasi.

Secara umum collaborative governance muncul secara adaptif atau dengan

sengaja diciptakan secara sadar karena alasan sebagai berikut: (1) Kompleksitas dan

saling ketergantungan antar institusi (2) konflik antar kelompok kepentingan yang

bersifat laten dan sulit diredam dan (3) upaya mencari cara-cara baru untuk mencapai

legitimasi publik. Fragmentasi hukum dan pemecahan masalah yang sifatnya multi

yuridiksi merupakan dua sumber utama atau symptom adanya kompleksitas institusi dan

interdependensi. Konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit

diredam seringkali merugikan berbagai pihak dan memerlukan tenaga dan perhatian yang

cukup besar. Sehingga tanpa melakukan collaborative governance dalam pemecahan

masalah, konflik antar kelompok akan sulit diatasi, serta berbagai upaya telah dilakukan

dan belum membuahkan hasil, maka kolaborasi bisa dilakukan sebagai upaya pemecahan

20
masalah yang memiliki legitimasi kuat karena melibatkan berbagai kelompok

kepentingan untuk secara aktif berpartisipasi dan mengambil keputusan secara bersama-

sama untuk bisa disetujui bersama-sama (Sudarmo, 2011 :114 dalam Asri 2010).

Adanya kolaborasi dalam penanggulangan HIV&AIDS di Sleman ini disebabkan

kompleksitas dan saling ketergantungan dengan institusi lain. Dalam penanggulangan

HIV&AIDS tidak bisa dijalankan oleh satu intansi saja karena program yang dilakukan

meliputi pencegahan, pengobatan dan pendampingan sehingga harus dilakukan oleh

bebrapa instansi yang terkait sesuai degan bidang dan kapasitasnya masing-masing. Oleh

karena collaborative governance kemunculannya dan perkembangannya sifatnya adaptif

(sengaja diciptakan) untuk menyikapi suatu persoalan yang menuntut pemecahan dari

berbagai pihak terkait maka dimungkinkan bahwa bentuk-bentuk collaborative

governance akan bervariasi seperti dalam hal manajeman, regulasi, kebijakan komunitas,

perencanaan kolaborasi dan bentuk-bentuk lain yang mencakup berbagai stakeholder

yang harus terlibat secara normatif.

1.6.2 Pengertian Kolaborasi

Teori-teori atau pendapat yang digunakan dalam penelitian ini banyak mengambil

dan mengacu pada karya Ansell, Gash dan Emerson, Nabatchi, Balogh serta Dorothy,

Norris-Tirrel, Joy A Clay, hal tersebut karena teori-teori yang ada sangat relevan dengan

penelitian ini.

Dijelaskan oleh (Sudarmo 2010dalam Asri 2010) yang menjelaskan bahwa

pengertian kolaborasi secara umum dibedakan dalam dua pengertian: (1) kolaborasi

dalam arti normatif (2) kolaborasi dalam arti proses.

21
Kolaborasi dalam pengertian normatif merupakan aspirasi, atau tujuan-tujan

filosofi bagi pemerintah untuk mencapai interaksi-interaksinya dengan para partner atau

mitranya. Memang collaborative governance ini bisa merupakan bukan instusi formal

saja tetapi juga bisa merupakan a way of behaving (cara berperilaku/bersikap) institusi nn

pemerintah yang lebih besar dalam melibatkan pada manajemen publik pada satu

periode.Pengertian kolaborasi dalam arti sebuah proses merupakan serangkaian proses

atau cara mengatur/mengelola atau memerintah secara institusional. Dalam pengertian

ini, sejumlah institusi pemerintah maupaun non pemerintah termasuk lembaga-lembaga

swadaya masyarakat setempat (LSM), dan lembaga-lembaga swasta lokal maupun asing

ikut dilibatkan sesuai dengan porsi kepentingannya dan tujuannya. Bisa saja kolaborasi

ini terdiri dari institusi pemerintah saja, LSM lokal saja, lembaga swasta saja atau bisa

juga mencakup institusi yang berafiliasi ke pemerintah berkolaborasi dengan LSM

setempat yang didanai oleh pihak swasta/LSM atau penyandang dana dari luar negeri

namun dalam kolaborasi ini, institusi-institusi yang terlibat secara aktif melakukan

governance bersama. Adapun porsi keterlibatanya tidak selalu sama bobotnya.

Misalnya dalam persoalan HIV dan AIDS hanya beberapa institusi-institusi saja

yang terlibat, yakni sebagai koordinator program-program penanggulangan HIV dan

AIDS adalah Komisi Penanggulangan AIDS, kemudian untuk penyelenggara pelayanan

serta sarana dan prasarana pelayanan adalah dinas kesehatan, serta unuk penjangkauan

pendampingan dan penyediaan data-data rill terkait jumlah penderita HIV dan AIDS

dalam pupulasi kunci adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM ) peduli AIDS.

Mengacu pada teori yang dijelaskan sebelumnya, bahwa kolaborasi dibedakan

menjadi 2 dalam arti proses dan normatif, maka dalam penelitian Dinamika Collaborative

22
GovernanceStakeholders dalam penanggulangan HIV&AIDS di Sleman ini

dikategorikan dalam arti proses, karena dalam kolaborasi ini setiap stakeholders bersama-

sama berupaya melaksanakan program-program penanggulangan HIV&AIDS di Sleman.

Hal ini selaras dengan yang diaksud Ansell dan Gash dalam pengertian kolaborasi yang

menekankan pada proses kolektif melalui hubungan yang disepakati secara formal

maupun informal demi mencapai tujuan yang sama.

1.6.3 PengertianCollaborative Governance/ Pemerintahan Kolaboratif

Menurut Ansell dan Gash (2008) fenomena kepemerintahan di dunia beberapa

dekade terakhir menunjukan bentuk baru kepemerintahan, yang muncul untuk

menggantikan berbagai modus pengambilan kebijakan dan implementasi. Model baru

tersebut ialah kepemerintahan kolaboratif atau collaborative governance. Model tersebut

bercirikan pelibatan stakeholder swasta publik dan masyarakat bersama-sama dalam

suatu forum kolektif dengan badan-badan publik untuk mengambil bagian dalam

pengambilan keputusan yang berorientasi pada konsensus.

Definisi collaborative governance menurut Ansell dan Gash (2008) adalah suatu

bentuk susunan kepemerintahan, dimana satu atau lebih instansi publik secara langsung

berhubungan dengan stakeholder non-negara dalam sebuah proses pengambilan

keputusan yang formal, berorintasi pada konsensus, deliberatif dan menuju pada

formulasi atau implementasi kebijakan publik, atau dapat pula dalam manajemen

program atau asset publik. Konsep dan definisi tersebut banyak dijadikan acuan oleh

akademisi lainnya dalam membahas collaborative governance hingga Emerson, Nabatchi

dan Balogh (2011) menawarkan definisi yang lebih luas yaitu sebagai proses dan struktur

dari pengambilan keputusan kebijakan publik dan manjemen yang melibatkan

23
masyarakat secara konstruktif antar badan-badan publik, berbagai level pemerintahan dan

atau pada ranah publik, privat dan sipil untuk melaksanakan suatu tujuan publik yang

tidak dapat dicapai kecuali oleh forum bersama”. Dengan kata lain kolaborasi membahas

mengenai kerjasama dua tau lebih stakeholder untuk mengelola sumber daya yang sama

yang sulit dicapai bila dilakukan secara individual.

Atau bisa juga dimaknai ''governance multipartner'' yakni pemerintahan/tata

kelola yang mampu mencakup kemitraan antara negara, sektor swasta, masyarakat sipil,

dan masyarakat, serta bergabung dengan pengaturan pemerintah dan hybrid, seperti

kemitran publik-swasta (public privat partnership) dan kemitraan swasta-sosial (private-

social partnerships) dan rezim co-manajemen (Agrawal dan Lemos 2007 dalam Emerson

2011). Hal ini juga termasuk beberapa tindakan kolaboratif berbasis masyarakat yang

terlibat dalam pengelolaan sumber daya kolektif (yang sering mengundang partisipasi

lembaga-lembaga publik)serta struktur kolaboratif antar pemerintah seperti kolaborasi

federal antara kebijakan kesehatan masyarakat dan ilmu perubahan iklim atau jenis

tindakan kolaboratif lainnya.

1.6.4 Colaborative Governance Regime (CGR)

Kerangka integratif yang diusulkan oleh Emerson, Nabatchi dan Balogh (2011)

dalam jurnalnya yang berjudul An Integrative Framework For Collaborative

Governance, oleh karena tulisannya yang tergolong baru dan terlengkap maka penulis

menjadikan pemahamannya sebagai basis dasar dalam memahami kerangka integrative

collaborative governance sekaligus menjadikan gagasan teorinya sebagai kerangka utama

dalam penelitian ini. Terlihat pada gambar 1 yakni gambaran tiga dimensi, pertama

24
ditunjukan dalam bentuk kotak-kotak itu mewakili konteks sistem secara umum,

kemudian rejim collaborative governance dan dinamika collaborative actionnya.

Gambar 1 :Kerangka kerja Collaborative Governance Regime

Sumber :Integrative framework Collaborative Governance (Emerson, Natabatchi dan Balogh 2011)

Dalam gambar tersebut sebagai mana terlihat di kotak terluar, yang digambarkan

oleh garis utuk, mewakili konteks sistem disekitarnya atau penyelenggaraan politik,

hukum sosio ekonomi, lingkungan dan pengaruh lain yang mempengaruhi CGR. Konteks

sistem ini menghasilkan peluang-peluang dan batasan-batasan dan mempengaruhi

dinamika kolaborasi dalam hal permulaan dan seterusnya. Dari konteks ini pula muncul

driver-driver, termasuk kepemimpinan, intensif konsekuensi, ketergantungan dan

ketidakpastian yang membantu menginisiasi dan mengatur arah bagi sebuah CGR.Dalam

kerangka kerja ini, CGR digambarkan oleh kotak ditengah dengan garis putus-putus dan

mengandung dinamika kolaborasi dan aksi-aksi kolaborasi, bersama-sama, dinamika

kolaboratif dan aksi-aksi yang ada akan membentuk kulitas secara keseluruhan dan

tingkatan pada sejumlah mana CGR dikembangkan dan mampu berlangsung efektif.

Dinamika kolaboratif, digambarkan oleh kotak yang paling dalam dengan garis titik-

titik, terdiri dari tiga komponen interaktif: keterlibatan motivasi bersama, dan kapasitas

25
untuk melakukan aksi bersama. Tiga komponen dinamika kolaboratif bekerja bersama-

sama dalam sebuah cara yang interaktif dan berulang-ulang untuk menghasilkan aksi-aksi

kolaboratif atau langkah-langkah yang diambil dalam rangka mengimplementasikan

tujuan bersama CGR. Aksi-sksi dalam CGR dapat berdampak internal dan eksternal

dalam rejim; dengan demikin dalam gambar tersebut garis-garis terhubung dari kotak

aksi kepada dampak yang terlihat (yaitu hasil di lapangan) dan adaptasi potensial

(transformasi situasi kompleks atau isu) baik di dalam konteks sistem maupun pada CGR

itu sendiri.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kerangka kerja integrative

memperkenalkan istilah CGR ini untuk menunjukan sebuah sistem dimana kolaborasi

antar batas yang dilaksanakan menunjukan mode kekuasaan yang menonjol untuk

memimpin, membuat keputusan dan melaksanaakan aktivitas. Bentuk dan arah dari CGR

awalnya dibentuk oleh driver-driver yang muncul dari konteks sistem, bagaimanapun

pengembangan dari CGR pada tingkatan ia berlangusng efektif dipengaruhi waktu ke

waktu oleh dua komponennya, dinamika kolaboratif dan aksi-ksi kolaboratif dibawah ini

menggambarkan dua komponen tersebut, sejalan dengan beberapa komponen yang

melekat didalamnya (Emersonn, dkk:2011).

26
Tabel. 1: Model Pendekatan Collaborative Governance (Emerson, Natabatchi dan

Balogh 2011)

1.6.5 Konteks Umum Sistem

Tidak dapat dipungkiri bahwa tata kelola kolaboratif ini dimulai dan berkembang

dalam konteks beragam pengaruh politik, hukum, sosial ekonomi dan lingkungan.

konteks ekternal ini menciptakan peluang dan kendala serta pengaruh pada

keberlangsungan CGR tetapi tidak menutup kemungkinan rezim itu sendiri juga dapat

mempengaruhi konteks sistem ekternal melalui dampak yang dihasilkan dari tindakan

kolaboratif. Konteks sistemdirepresentasikan dalam kerangka ini, bukan sebagai

serangkaian kondisiawal tetapi sebagai ruang tiga-dimensi karena kondisi eksternal

(misalnya, pemilu, kemerosotan ekonomi, acara cuaca ekstrim, atau peraturan baru

diberlakukan) dapat mempengaruhi dinamika dan kinerja kolaborasi tidak hanya di

awal tetapi setiap saat selama CGR berlangsung, sehingga membuka kemungkinan

baru atau tantangan tak terduga.

27
1.6.6 Driver

Unsur penting untuk berjalannya dalam kerangka kerja collaborative governance

ini adalah driver atau penggerak. Driver ini meliputi kepemimpinan insentif

konsekuensial,salingketergantungandan ketidakpastian. Driver-driver atau penggerak

yang penting memberikan tenaga atau membujuk peserta collaborative governance

yang terkumpul dengan mengurangi biaya awal pelaksanaan aksi kolektif kemudian

mengatur dinamika kolaboratif sambil berjalan. Bebrapa ahli melukiskan proses-

proses kolaboratif sebagai rangkaian linier atas langkah-langakah atau tahap-tahap

kognitif yang terjadi antar waktu dari pendefinisian masalah hingga pengaturan

petunjuk dan implementasi.

Kepemimpinan mengacu pada kehadiran seorang pemimpin yang teridentifikasi

berada dalam posisi untuk memulai dan membantu memastikan sumber daya yang

dibutuhkan dan dukungan untuk CGR yang jelas ia harus memiliki komitmen untuk

pemecahan masalah kolaboratif, kesediaan untuk tidak memaksakan kehendak dan

tidak berpihak pada golongan tertentu selain itu pemimpin bersedia untuk menyerap

biaya transaksi yang tinggi (dan berpotensi menghambat) menginisiasiupaya

kolaborasi, misalnya, dengan menyediakan staf, teknologi dan sumber daya lainnya

dapat membantu memperkuat usaha kolaboratif.

Insentif konsekuensial merujuk baik internal (masalah, kebutuhan sumber daya,

kepentingan, atau peluang) atau eksternal (krisis situasional atau institusi, ancaman,

atau peluang), driver untuk tindakan kolaboratif.Insentif tersebut konsekuensial

dalam penyajian isu yang mengarah pada kepesertaanwaktu atau tekanan untuk solusi

matangdan kesempatan. Sebagai contoh, ketersediaan hibah atau peluang pendanaan

28
bisa memicu perkembangan inisiatif kolaboratif. Namun demikian, insentif tersebut

(positif atau negatif) harus ada untuk menginduksi pemimpin dan peserta untuk

terlibat bersama-sama. Keduanya saling ketergantungan merupakan syarat tindakan

kolaboratif.

Ketidakpastian yang tidak dapat diselesaikan secara internal dapat mendorong

kelompok untuk berkolaborasi untuk mengurangi dan berbagi risiko. Ketidakpastian

kolektif tentang bagaimana mengelola masalah sosial juga terkait dengan

ketergantungan Driver, ketika pihak atau organisasi diberikan dengan informasi yang

sempurna tentang masalah dan solusinya, mereka akan mampu bertindak independen

untuk mengejar kepentingan mereka atau merespon risiko. Ada juga ketidakpastian

individu tentang sejauh mana jalan konvensional untuk solusi atau kepuasanbisa

diandalkan untuk menghasilkan hasil yang diinginkan.maka proposisi pertama

menyangkut sejauh mana driver ini diperlukan untuk memulai CGR.

Proposisi Satu: Satu atau lebih dari driver meliputi kepemimpinan, insentif

konsekuensial, saling ketergantungan, atau ketidakpastian adalah yang diperlukan

untuk memulai CGR. Lebih banyak driver yang hadir dan diakui oleh peserta,

semakin besar kemungkinan CGR akan dimulai.

1.6.7Dynamic Collabortaive / Dinamika Kolaborasi

Merujuk pada pendapat Ansell dan Gash, 2006 dalam Emerson 2012 terdapat

tahapan dalam dinamika kolaboratif yang dipandang sebagai sebuah siklus atau

interaksi yang berulang terdapat tiga komponen yang saling berinteraksi dalam

dinamika kolaboratif yakni keterlibatan berprinsip, motivasi bersama dan kapasitas

aksi bersama.

29
a) keterlibatan berprinsip yakni semua pemangku kepentingan berada dalam suatu

jaringan lintas organisasi, bertatap muka dalam forum pribadi maupun publik atau

di forum tertentu yang lain. Sebelum menentukan elemen yang ada pada

keterlibatan berprinsip penting diketahui bahwa peserta dari tindakan kolaborasi

ini. Peserta dalam hal ini bisa berupa stakeholder, mitra atau kolaborator, lembaga

publik, LSM, korporasi komunitas dsb tergantung konteks CGR. Pendapat dan

kepentingan dari masing masing-masing mereka memungkinkan untuk

pertimbangan terciptanya keputusan yang lebih bijaksana. Keterlibatan berprinsip

ini terjadi dari waktu kewaktu melalui proses pembelajaran sosial yakni

penemuan definisi musyawarah dan tekad, melalui proses berulang-ulang ini

mitra kerjasama mengembangkan rasa mempunyai tujuan bersama dan langkah-

langkah untuk mencapai tindakan bersama untuk mencapai tujuan itu.

Penemuan/Discovery mengacu pada pengungkapan kepentingan individu dan

bersama, kekhawatiran isu, nilai-nilai serta informasi yang relevan. Proses ini

mencerminkan upaya terus menerus untuk membangun makna bersama dengan

mengartikulasikan tujuan bersama, menyetujui konsep permasalahaan beserta

penyelesaiannya, mengklarifikasi tugas dan harapan satu sama lain.

Musyawarah/Deliberation, unsur ini merupakan terpenting untuk suksesnya

langkah kolaboratif perbedaan pendapat adalah pasti terjadi dalam tahap ini

namun yang terpenting adalah keterlibatan semua pihak dalam menyuarakan

perspektifnya pencapaian mufakat yang perlu dicatat adalah musyawarah

bukanlah agregsi dari kepentingan-kepentingan kelompok. Pada intinya kerangka

kerja tata kelola kolaboratif yang ditawarkan Emerson (2011) adalah dinamika

30
penemuan, definisi, musyawarah dan tekad selama berprinsip keterlibatan

menciptakan dan memperekat motivasi bersama dan membangun kapasitas yang

dibutuhkan untuk aksi bersama.

Proposisi Dua: Berprinsip keterlibatan dihasilkan dan ditopang oleh interaktif

proses penemuan, definisi, musyawarah dan tekad. Efektivitas keterlibatan

berprinsip ditentukan, sebagian oleh kualitas proses-proses interaktif.

b) Motivasi bersama Emerson (2011) mendefinisikan motivasi bersama sebagai

siklus memperkuat diri yang terdiri dari empat elemen: saling kepercayaan,

pengertian, legitimasi internal dan komitmen. Motivasi bersama menyoroti

elemen interpersonal dan relasional dari dinamika kolaboratif dan kadang-kadang

disebut sebagai modal sosial. Elemen pertama dari motivasi bersama adalah

pengembangan kepercayaan, yang terjadi dari waktu ke waktu sebagai pihak

bekerja sama,mengenal satu sama lain dan membuktikan satu sama lain bahwa

mereka diandalkan (Fisher dan Brown 1989 dalam Emerson 2011) kepercayaan

menghasilkan saling pengertian, yang pada gilirannya menghasilkan legitimasi

dan akhirnya komitmen. Norma-norma interpersonal yang informal kepercayaan

dan timbal balik membimbing mereka interaksi dan lebih memperkuat

kepercayaan legitimasi dan kemanjuran dinamika kolaboratif. Hal ini

menyebabkan menciptakan ikatan komitmen, yang memungkinkan peserta untuk

menyeberangi batas-batas organisasi, sektoral, danatau yurisdiksi yang

sebelumnya memisahkan mereka dan berkomitmen untuk jalan bersama.

(Thomson dan Perry 2006 dalam Emerson 2011)

31
Proposisi Tiga: kualitas interaksi melalui keterlibatan berprinsip akan

membantu menumbuhkan kepercayaan, saling pengertian, legitimasi internal dan

komitmen bersama, sehingga menghasilkan dan mempertahankan bersama

motivasi. Proposisi Empat: Setelah dihasilkan, motivasi bersama akan

meningkatkan dan membantu mempertahankan keterlibatan berprinsip dan

sebaliknya dalam “siklus yang baik”.

c) Kapasitas Aksi Bersama. Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk menghasilkan

hasil yang diinginkan bersama-sama yang tidak bisa dicapai secara terpisah

(Himmelman, 1994 dalam Emerson 2011). Kerjasama itu untuk meningkatkan

kapasitas baik diri dan orang lain untuk mencapai tujuan umum. Dalam kerangka

kerja Emerson kapasitas untuk aksi bersama dikonseptualisasikan sebagai

kombinasi dari empat elemen yang diperlukan: prosedural dan kelembagaan

pengaturan, kepemimpinan, pengetahuan, dan sumber daya pemimpin

dikembangkan dari waktu ke waktu melalui interaksi keterlibatan berprinsip dan

motivasi bersama.

Pengaturan prosedural dan kelembagaan mencakup berbagai protokol

proses dan struktur organisasi yang diperlukan untuk mengelola interaksi

berulang dari waktu ke waktu. Sebagai contoh yang termasuk

perankepemimpinan sponsor, convener, fasilitator/mediator, perwakilan dari

organisasi atau konstituen,teknologdan advokat publik. Peran kepemimpinan

tertentu sangat penting di awal orang lain lebih kritis pada saat-saat musyawarah

pemimpin berusaha memperjuangkan penentuan kolaboratif melalui pelaksanaan

(Agranoff, 2006 dalam Emerson 2011) agar langgeng tindakan kolaboratif

32
memerlukan struktur yang lebih eksplisit dan manajemen kerja (Milward dan

Provan 2000 dalam Emerson 2011) seperti faktor desain institusional seperti

charter, oleh-hukum, aturan, dan peraturan. Ini pengaturan prosedural dan

kelembagaan harus didefinisikan baik di tingkat intra organisasi (yaitu, bagaimana

satu kelompok atau organisasi akan mengatur dan mengelola sendiri dalam

inisiatif kolaboratif) dan di tingkat antarorganisasi (yaitu, bagaimana kelompok

organisasi akan mengatur dan mengelola bersama di CGR dan mengintegrasikan

dengan eksternal pengambilan keputusan).

Pengetahuan adalah elemen ketiga dalam kapasitas untuk aksi bersama.

Dalam banyak hal, itu adalah mata uang kolaborasi adalah pengetahuan,

pengetauan yang tidak lengkap yang harus seimbang dan ditingkatkan dengan

pengetahuan baru. Pada intinya, kolaborasi memerlukan agregasi, pemisahan, dan

mengumpulkan data dan informasi, serta generasi baru, pengetahuan bersama.

kemampuan untuk mengirimkan pengetahuan berkualitas tinggi efektif dalam dan

di organisasi adalah esensi dari ''konduktivitas'' dalam organisasi kinerja tinggi

dan jaringan. Pengetahuan juga merupakan elemen sentral dalam adaptif model

pengelolaan sumber daya.

Sumber Daya adalah elemen terakhir dari untuk aksi bersma. Salah satu

manfaat dari kolaborasi ini berpotensi untuk berbagi dan memanfaatkan sumber

daya yang langka (Thomson dan Perry 2006 dalam Emerson 2011). Dukungan

anggaran yang memadai dan sumber daya lainnya yang dibutuhkan juga berperan

untuk keberlangsungan kolaborasi sumber daya yang berguna dapat termasuk

dana, waktu, teknis dan dukungan logistik; administrasi dan bantuan organisasi;

33
keterampilan yang diperlukan untuk analisis atau implementasi; dan skill lainnya

Melalui dinamika kolaboratif, sumber daya tersebut dapat dimanfaatkan dan

didistribusikan sebagai sumber daya bersama untuk mempengaruhi tujuan umum

dari CGR.

Proposisi Lima: keterlibatan berprinsip dan motivasi bersama akan

merangsang pengembangan pengaturan kelembagaan, kepemimpinan,

pengetahuan, dan sumber daya, sehingga menghasilkan dan mempertahankan

kapasitas untuk aksi bersama. Proposisi Enam: Tingkat yang diperlukan untuk

empat elemen kapasitas untuk aksi bersama ditentukan oleh tujuan CGR ini, dan

hasil yang ditargetkan. Proposisi Tujuh: Kualitas dan luasnya dinamika

kolaboratif tergantung pada interaksi produktif dan memperkuat diri di antara

berprinsip keterlibatan, motivasi bersama, dan kapasitas untuk aksi bersama.

1.6.8 Tindakan Kolaboratif.

Tata kelola kolaboratif umumnya diciptakan untuk mendorong tindakan atau

tujuan yang tidak bisa tercapai oleh salah satu organisasi saja. CGR yang efektif

harus mampu menyediakan mekanisme baru untuk tindakan kolektif hal ini

ditentukan oleh mitra kerjasama sesuai yang dibutuhkan untuk mencapai hasil

yang ditetapkan. Kesesuaian tindakan yang dilakukan oleh individu atau

organisasi harus jelas atau eksplisist misal dalam kebijakan umum yang

menyiratkan tentang tujuan kerjasama dan mengoprasionalkan bagi mitra yang

terlibat dalam kerjasama.

Proposisi Delapan: tindakan kolaboratif lebih mungkin untuk

dilaksanakan jika 1) teori bersama aksi diidentifikasi secara eksplisit antara mitra

34
kerjasama dan 2) dinamika kolaboratif berfungsi untuk menghasilkan kapasitas

yang diperlukan untuk aksi bersama.

1.6.9 Dampak /Impact

Dalam kerangka Emerson (2012) yang mengacu pada Innes dan Booher

(1999,419) mengklasifikasikan dampak sebagai efek ''hasil dilapangan''. Dampak

adalah hasil dari tindakan didorong oleh dinamika kolaboratif. Dampak yang

disengaja (dan tidak disengaja) seperti perubahan negara dalam konteks sistem.

Perubahanperubahan dalam yang sudah ada sebelumnya atau diproyeksikan.

Dampak juga dapat mencakupnilai tambah yang baik sosial baru atau inovasi

teknologi yang dikembangkan oleh tindakan kolaboratif.

Dampak dapat fisik, lingkungan, sosial, ekonomi, danatau politik.

Merekadapat spesifik, diskrit, dan jangka pendek atau dampak jangka panjang.

Ketika akuntabilitas hasil kolaborasi dianggap penting, dampak ini cenderung

lebih eksplisit dan terukur. Lebih disukai, sifat dan luasnya dampak konsisten

dengan hasil yang diinginkan ditargetkan oleh mitra kolaboratif selama proses

keterlibatan berprinsip berulang. Tidak adanya dampak, serta dampak yang tidak

diinginkan (baik negatif dan positif) dapat terjadi dan harus

dipertanggungjawabkan.

Proposisi Sembilan: Dampak yang dihasilkan dari tindakan kolaboratif

cenderung lebih dekat dengan hasil yang ditargetkan dengan sedikit konsekuensi

negatif yang tidak diinginkan, dan berasal dari tindakan pemikiran bersama

selama dinamika kolaboratif.

35
Beberapa proposisi diatas penulis cantumkan untuk menunjang dalam

menganalisa dinamika collaborative governance lebih khusus semua proposisi

tersebut akan memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai aspek yang

harus dipenuhi agar dinamika collaborative governance berjalan dengan baik.

Terlebih karena proposisi yang satu dengan yang lainya saling berkaitan dan

mampu memberikan memberikan penjelasan yang komprehensip mengenai

collaborative governance secara umum sehingga menjadi penting untuk penulis

jabarkan secara lengkap.

1.6.10 Tahapan Collaborative Governance Menurut Dorothy Norris Tirrel

dan Joy A.Clay

Tirrel dan Clay mmengkonsepkan bahwa dalam kolaborasi terjadi transisi

aktifitas yang dibagi menjdi 5 tahapan. Mereka merangkum mulai dari level

terendah sampai level tertinggi. Gagasan Tirrrel dan Clay dapat dijadikan salah

satu pendukung pisau analisis dalam memahami tingkatan kolaborasi pada suatu

kasus. Penjelasan tahap yang dimaksud diringkas berikut ini (Tirrel dan Clay,

2010:30)

Tabel 3. Tahapan dari Kegiatan Kolaborasi Konvensional dan Praktik


Strategi Kolaborasi (Tirrel dn Clay 2010: 79)
Collaboration Conventional Collaboration Activities Strategic Collaboration Practice
Stage
Stage1; -Conversations and meetings on a specific -Intentional decision for strategic
Exploration public problem or issue collaboration
-Critical mass of engaged
-Brainstorming and information gathering participant
-Suitable participants and
resources at the table
-Relationships established or continued
-A champion leads the effort
with a focus on shared expectation
Stage2: -Develop collaborative structure and -Sharpen mission and vision durin
Formalization operating procedures, and begin process-oriented planning
implementation -Create structures and processes
-Define paremeters and expectations of that ensure broad stakeholder
participation participation

36
Lanjutan :Tahapan dari Kegiatan Kolaborasi Konvensional dan Praktik Strategi Kolaborasi (Tirrel
dan Clay 2010: 79)
-Develop goals and action plans and begin -Build trust through ethical
implementation communication and operations
- identify and foster early success

Stage 3: Growth -Continued planning and priority setting - Avoid bureaucratic tingking
-Operation implementation and monitoring - Promote innovation and
strategies routinized creativity
-Ongoing cycle of participant recruitment - Emphasize cooperation and new
and exit. shared understanding
-Focus on information
dissemination and feedback
Stage 4: Matuity -Resources stabilized -Balance stability with innovation
-Planning Evalation and revision -Remain mission driven and
strategies continued results oriented
-Collaborative acrivity visible - Build a deeper leadership bench
Stage 5: Ending -Recognition -Act with intentionally
A. Ending -Sharing results -Seek expert assistance
/Closur -Archive processes,participant,
e and impact
-Be transparent
-Meeting attendance drops. - Diagnose”pathologies”.
B. Decline -Participants frustrated -Seek „outside‟ perspective
-Resources uncertain - Create reality-based analysis
-Emphasis on satus quo processes. Be purposeful about
whats next
-New participants recruited and previous -Bring new perspective to table
C. Renewa participants reconnected. -Hold periodic retreats
l -Purpose clarified or revised -Deliberate redesign of structure
and processes
-Restore legitimacy
Sumber :Strategic Collaboration In Public and Nonprofit Administartion (Tirrel dn

Clay 2010: 79)

1. Tahap 1:Eksplorasi

Pada tahap ini pertemuan antara pihak berkepentingan dilakukan secara

formal dan informal seperti pertemuan dalam bentuk curah pendapat, rapat dan

pembagian informasi. Termasuk diskusi tentang peninjauan opini.

2. Tahap 2: Formasi

Pada tahap ini kolaborasi menjadi kenyataan. Kreasi dan persetujuan mulai

terlihat prosedur dan struktur operasional dikembangkan.Disamping itu tujuan

telah dirumuskan dan aksi bersama dikembangkan.

37
3. Tahap 3: Tumbuh

Pada tahap ini pengaturan terhadap prioritas dan perencanaan ditekankan

proses operasional dirutinkan. Sudah dilakukan upaya untuk memperjuangkan

konsensusdan formulasi dan implementasi.

4. Tahap 4: Dewasa

Tahap ini sudah masuk dalam tingkatan pengembangan. Dana partisipasi dan

akses stabil. Semua strategi didesain dengan basis berkelanjutan. Hasil kolaborasi

dibagi kepada semua pihak dan tujuan kolaborasi dinilai.

5. Tahap 5 : Akhir

Tahap ini kolaborasi sudah bekerja secara ideal dan sempurna. Ada kepuasan

dari masing-masing pihak atas hasil yang dilakukan. Kolaborasi sukses

menyelesaikan masalah ketika terjadi penurunan maka dilakukan pembaruan.

Tahapan diatas akan membantu menganalisa penelitian ini sehingga

didapatkan jawaban apa bentuk tahapan dari kolaborasi yang selama ini

berlangsung dalam penanggulangan AIDS di Sleman. Namun tahapan kolaborasi

dalam penelitian ini memiliki beberapa batasan yakni mengenai waktu. Tahapan

kolaborasi ini hanya digunakan untuk menganalisa dinamika collaborative

governance yang terjadi selama peneliti melakukan penelitian yang tidak bersifat

longitudinal dari tahun ke tahun namun hanya pada konteks bebrapa bulan

sehingga hanya menganalisa dinamika collaborative governance pada aspek

struktur pun menjadi lebih kontekstual sesuai penelitian ini berlangsung sehingga

hasil analisa berikut belum mampu menjelaskan semua tahapan kolaborasi seperti

yang dicantumkan diatas.

38
1.6.11 Hambatan Kolaborasi

Terdapat sejumlah faktor terutama faktor struktur sosial, faktor kultural dan

faktor kepentingan pemerintah yang mendominasi yang bisa menyebabkan

gagalnya suatu kolaborasi termasuk partisipasi aktif dari berbagai stakeholders

dalam pengambilan keputusan (Sudarmo, 2010 dalam Asri 2010).

Tekait dengan faktor budaya adalah bahwa kolaborasi bisa gagal karena

adanya kecenderungan budaya ketergantungan pada prosedur dan tidak berani

mengambil terobosan dan risiko. Untuk terciptanya kolaborasi yang efektif

mensyaratkan para pelayan publik dan pemimpinya untuk memiliki skill dan

kesediaan untuk masuk ke kemitraan secara pragmatik, yakni berorientasi pada

hasil. Memang memungkinkan mengabaikan konvensi dan menjadikan segala

sesuatu dilakukan dalam sebuah kolaborasi namun melakukan hal seperti ini

dalam pelayanan publik yang tergantung pada prosedur dan tidak bersedia

mengambil risiko tidak mungkin dakan menjadikan kolaborasi menjadi terwujud.

Dengan kata lain, ketergantungan pada prosedur dan tidak berani ambil risiko

merupakan alah satu hambatan bagi terselenggaranya kolaborasi. Inovasi yang

dilakukan oleh para stakeholder diperlukan dalam rangka mencapai tujuan

kolaborasi yang baik.

Terkait dengan faktor institusi, kolaborasi bisa gagal karena adanya

kecenderungan institusi-intitusi yang terlibat dalam kerjasama atau kolaborasi

cenderung menerapkan struktur hierarkis terhadap institusi-institusi lain yang ikut

dalam kerjasama atau kolaborasi tersebut. Institusi-institusi yang masih terlalu

ketat mengadopsi struktur vertical yang dengan demikian akuntabilitas institusi

39
dan arah kebijakannya juga bersifat vertical. Tidak cocok untuk kolaborasi,

karena untuk kolaborasi mensyaratkan cara-cara kerja atau pengorganisasian

secara horizontal antara pemerrintah dan non pemerintah.

Dengan kata lain kolaborasi yang cenderung memiliki sifat spontanitas yang

kadang tidak memerlukan aturan ketat secara formal dan kadang juga tidak perlu

mengikuti proses tradisional yang biasa dilakukan dalam keseharian atau sesuai

dengan standard operating procedure yang biasa terjadi dalam organiasi publik

yang mekanistik. Kemudian akuntabilitas institusi-institusi publik atau organisasi

milik pemerintah yang cenderung kaku yakni hanya mengacu pada akuntabilitas

pada organisasi atau atasan saja, atau aturan yang berlaku saja, sehingga

akuntabilitas dalam konteks ini lebih menekankan pada responsibilitas.Padahal

kolaborasi mengendaki fleksibilitas termasuk pada penggunaan/ belanja sumber

daya milik bersama/publik.

Kemudian faktor selanjutnya adalah kakunya batasan definisi dan konsisi

yang ditentukan pihak pemerintah. Sering terjadi bahwa dalam organisasi-

organisasi pemerintah, rencana-rncana dan inisiatif terkait oleh harapan, prosedur,

ketersediaan sumberdaya yang melimpah sehingga sulit dibayangkan

menyelenggarakan bentuk kolaborasi dengan para aktor di luar organisasi untuk

memperoleh pemaham yang sama.

Disamping itu, masih ada kemungkinan hanmbatan lainya adalah tidak

terlihatnya atau belum dikembangkanya strategi-strategi inovatif dan seumpama

ada inovasi-inovasi yang dilakukan kadang kala tidak mencerminkan investasi

dana publik secara substansial bahkan dana-dana tersebut kemungkinan ada diluar

40
pengamatan, terutama jika dana-dana tersebut membuahkan hasil-hasil

positif.Bahkan segera setelah program semakin besar atau menjadi bagian dari

filosofi yang lebih luas yang memandu semua jenis rencana atau jika proyek-

proyek kolaborasi memburuk (gagal) pemerintah kemungkinan akan

mengintervensi dan mengatur inisiatif diluar yang kita ketahui. Proses seperti itu

mungkin diikuti dengan ukuran-ukuran akuntabilitas yang sangat ketat dan kaku

dan pada akhirnya meninjau kembali budaya risiko dan kegagalan yang muncul

dari kolaborasi.

Tekait dengan faktor politik, kolaborasi bisa gagal karena kurangnya inovasi

para pemimpin dalam mencapai tujuan-tujuan politik yang kompleks dan

kontadiktif.Kepemimpinan yang inovatif adalah kepemimpinan yang bisa

memperkenalkan berbagai macam nilai-nilai dan tujuan-tujuan politis yang bisa

menjadikan sebagai inti pemerintahan yang kolaboratif dan memberikan inspirasi

tehadap agenda yang ditentukan diatas tetapi bisa mengarahkan pada pencapaian

hasil-hasil positif melalui kemitraan.Dalam kolaborasi ini seharusnya segala

bentuk kepentingan dapat diminamalisir sehingga kecil kemungkinan terjadinya

konflik.

Faktor lain yang menjadi gagalnya sebuah kolaborasi adalah perubahan

kesepakatan dan perbedaan kepentingan antar stakeholders yang terlibat.

Kolaborasi bisa gagal karena adanya perubahan kesepakatan yang telah disetujui

diawal kesepakatan kerja sama dan munculnya kepentingan baru yang berbeda-

beda diantara stakeholders termasuk para pemimpin masing-masing kelompok.

41
1.6.12 Stakeholders

Terdapat beberapa pengertian stakeholders, diantaranya menurut Gazley

(2010:611) menjelaskan bahwa:

“stakeholder theory offers a means of examining links between performance,


board diversity, and representativeness that incorporates the qualitative
dimensions of these relationship.”

Pendapat Gazely diatas mejelaskan bahwa stakeholder merupakan hubungan

antara kinerja, keberagaman dan gabungan dari keterwakilan beberapa dimensi.

Lebih lanjut dan jelas World Wild Fund Ecoregional Conservation Strategies Unit

Research and Development (2003:2.2) menjelaskan pengertian stakeholder

sebagai berikut :

“ stakeholder is any person, group, or institution that positively or negatively


affect or is affected by a particular issue or outcome.”
Type of stakeholders:
a. Primary stakeholders include those who, because of power, authority,
responsibilities, or clais over the resources, are central to any conservations
initiative.
b. Secondary stakeholder are those with and direct interst in the outcome.
c. Opposition stakeholder may have the capacity to adversely influence outcomes
through the resources through the resources and influences they command
d. Margenalized stakeholders such as women, indigeneous peoples, and other
impoverished and disenfranchised groups may in fact be primary, secondary or
oppositions stakeholders, but may lack the recognition or capacity to participate
in collaboration efforts on an equal basis”.

Stakeholder adalah setiap orang, kelompok atau lembaga yang positif atau

negatif mempengaruhi atau dipengaruhi oleh isu atau hasil tertentu. Jenis

stakeholder (1) Stakeholder primer termasuk mereka yang karena

kekuasaan,wewenang, tanggung jawab atau klaim atas sumber daya sangat

penting untuk inisiatif koservasi apapun. (2) stakeholders sekunder adalah mereka

yang memiliki minat langsung dalam hasilnya. (3) stakeholder oposisi, mengarah

42
pada kemungkinan mereka yang memiliki kapasitas menerima dampaknegatif

dari pengahasil pengaruh melalui sumber daya dan pengaruh yang mereka

perintah. (4) stakeholders marginal yakni merujuk pada mereka yang secara

langsung ataupun tidak langsung terpengaruh dari dampak suatu kebijakan namun

kurang memiliki kapasitas untuk mengutarakan kepentingannya, seperti

perempuan, masyarakat adat, dll.

Pengembangan collaborative governance pada tiga stakeholder dalam

penanggulangan HIV&AIDS di Sleman mencakup dua kategori stakeholder yakni

stakeholder primer dan stakeholder sekunder. Yang termasuk stakeholder primer

disini adalah lembaga driver yakni Komisi Penanggulangan AIDS Sleman, dan

stakeholder sekunder terdiri dari dinas kesehatan kabupaten Sleman dan Lembaga

Swadaya Masyarakat peduli AIDS di Sleman diantaranya LSM PKBI Sleman,

LSM Victory Plus, LSM Vesta, LSM Kebya dan LSM OPSI.

1.6.13 Kerangka Pikir

Kerangka pikir yang dibuat dalam penelitian ini tidak dimaksudkan untuk

menguji teori sebgaaimana karakter utama penelitian kuantitatif. Peneliti tetap

membangun paradigma penelitian kualitatif yang berbasis pada pemikiran

induktif. Kerangka pikir yang dibuat merupakan tutunan dari landasan teori yang

telah dijelaskan sebelumnya. Pembuatan kerangka pikir hanyalah gambaran untuk

mensistematiskan alur pemikiran dan mempertegas fokus bahasan agar terarah

dan tetap konsisten dari poin per poin. Demikian pula dengan definisi konsep dan

definisi operasional yang ditulis seiring dengan adanya kerangka pikir.Singkatnya

kerangka pikir merupakan konsep abstrak penulis.Sementara itu, definisi konsep

43
dan definisi operasioanl merupakan penjelasan lebih lanjut dari kerangka pikir.

Program penanggulangan HIV&AIDS di Sleman yang melibatkan multi aktor

merupakan gambaran dari collaborative governance.

Secara umum kerangka pikir yang dibangun dalam penelitian ini diadopsi

dari kerangka integratif collaborative governance yang digagas oleh Emreson

Natabachi dan Balogh (2011). Sebagai catatan bahwa penggunaan kerangka

mereka semata-mata tidak dimaksudkan untuk mengujinya namun lebih pada

alasan ketepatan kerangka integrative collaborative governance itu digunakan

dalam kasus yang akan diteliti. Karena fokus penelitian lebih dititik beratkan pada

fitur utama collaborative governance (dinamika dan aksi) yang dikaitkan dengan

dampak penanggulangan HIV&AIDS di Sleman maka peneliti meringkas

apayang dikemukakan Emerson dkk dalam kerangka pikir penelitian. Konsep

selain dinamika aksi dan dampak tidak dikaji secara mendalam tetapi

dideskripsikan guna mendukung temuan penelitian.Pembatasan kajian juga

berdasar pada kasus penelitian yang mana titik masalah mendasarnya terletak

pada ketiga konsep tersebut.kerangka penelitian ini beranjak pula dari tesis yang

dibangun bahwa dinamika collaborative governance pada penanggulangan

HIV&IDS akan sangat menentukan keberhasilan capaian program.

Gambar 4: Kerangka pikir penelitian

Sumber : diringkas dari Emerson, Natabach, Balogh (2011) dan Dorothy Norris-Tirell, Clay 2011

44
BAB 2

METODE PENELITIAN

2.1 Jenis Penelitian

Pada penelitian kali ini, metode kualitatif digunakan sebagai instrument dalam

mencari temuan baru dari berbagai sisi yang akan dikuak berdasarkan rumusan masalah

yang telah diangkat oleh peneliti. Alasan penggunaan kualitatif sendiri dikarenakan akan

lebih memudahkan peneliti dalam memahami dan mengkaji lebih jauh mengenai realitas

permasalahan yang terjadi di masyarakat dari berbagai perspektif. Seperti diketahui

bahwa kualitatif adalah metode yang cocok digunakan untuk mengungkap dan

memahami sesuatu dibalik fenomena yang sedikit pun belum diketahui, pun juga akan

mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang masih sedikit diketahui. Oleh karena itu,

metode kualitatif bagi peneliti sangat ideal digunakan bagi penelitian ini yang

hakikatnya untuk mencari tau sesuatu lebih mendalam dan menyeluruh tentang dinamika

collaborative governance dalam penanggulangan HIV&AIDS.

Penelitian kualitatif berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan. Penelitian

dilakukan pada objek yang alamiah. Objek yang alamiah adalah objek yang berkembang

apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak begitu

mempengaruhi dinamika pada objek tersebut. Pada penelitian ini sendiri peneliti hanya

memberikan pertanyaan yang bersifat mengalir sesuai dengan respon atau jawaban yang

muncul dari narasumber. Tidak ada pertanyaan yang sifatnya menekan narasumber

untuk menjawab, hal ini agar informasi yang didapatkan dapat terus berkembang hingga

mampu menjawab pertanyaan penelitian yang diangkat oleh peneliti. Maka dari pada itu,

45
kehadiran peneliti tidak mempengaruhi dinamika yang terjadi pada objek penelitian

tersebut.

Pendekatan analisis kritis digunakan peneliti untuk mengeksplorasi fenomena

yang ada di dalam penelitian. Peneliti memilih metode pendekatan ini karena peneliti

ingin mengetahui dinamika collaborative governance dalam penaggulangan HIV&AIDS

untuk menekan angka penularan HIV yang semakin meningkat tajam, padahal notabene

program ini telah berjalan selama hampir delapan tahun. Hal ini merupakan sisi kritis

peneliti dalam melihat kebijakan yang notabene bertujuan untuk menekan angka

penularan HIV&AIDS dan mengatasi berbagai persoalan didalamnya, dengan

banyaknya instansi yang terlibat dalam upaya penanggulangan tetapi masih terdapat

polemik bahwa angka penularan HIV&AIDS di Sleman justru semakin meningkat.

Pendekatan ini mempunyai tujuan untuk mendapatkan informasi mengenai gejala atau

keadaan yang ada yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat wawancara

maupun pada saat penelitian dilakukan.

2.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Sleman dengan ketentuan sebagai

berikut :

1. Tingginya angka kasus HIV&AIDS di masyarakat,jika dibandingkan pada lingkup

Provinsi D.I.Y Sleman merupakan wilayah palin tinggi kasus HIV nya.

2. Program HIV&AIDS mulai menjadi program prioritas dalam pembangunan

kesehatan Kabupaten Sleman.

3. Lokasi penelitian sudah familiar karena peneliti tinggal dan studi di daerah penelitian,

sehingga memudahkan untuk menjangkau wilayah tersebut.

46
Serta objek penelitian pada 3 stakeholders dalam penanggulangan HIV dan AIDS si

Sleman yakni :

1. Komisi Pennaggulangan AIDS Kabupaten Sleman yang berlokasi di Jalan

Rorojonggrang Komplek Pemda Sleman, Beran Tridadi Sleman Ygyakarta.

2. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sleman yang berlokasi di Jalan Rorojonggrang

kompleks pemda Sleman Beran Tridadi Sleman Ygyakarta.

3. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pedui AIDS di Sleman diantaranya:

a. LSM PKBI

PKBI berfokus pada melakukan pemberian Komunikasi Informasi dan

Edukasi(KIE) serta Komunikasi Perubahan Perilaku (Behaviour Change

Communication/BCC), penjangkauan kelompok berperilaku resiko tinggi,

diantaranya komunitas penjaja seks dan kliennya, serta pemakai narkoba suntik

(Intravenous Drug Users/IDUs), memberikan layanan konseling, penapisan

(screening) dan membangun sistem rujukan.PKBI Sleman berlokasi dijalan

Sambisari No. 99 Duwet, Sendangdadi, Mlati, Sleman.

b. LSM Vesta

LSM Vesta dikukuhkan sebagai nama lembaga untuk memayungi

kegiatan-kegiatan yang bergerak di bidang HIV & AIDS.Pada perkembangannya

Vesta melakukan kegiatan bukan saja pada masyarakat LSL tetapi juga pada

kelompok orang muda lainnya yang merupakan kelompok berperilaku berisiko

tinggi (hasil survey perilaku pada kelompok laki-laki yang mobilitas tinggi dan

memiliki uang), misalnya crew bus AKAP (antar kota antar propinsi), antar kota

dalam propinsi (AKDP), sopir taxi, tukang ojek. Sebagai salah satu kelompok

47
masyarakat yang juga menjadi perhatian Vesta adalah kelompok TNI dan POLRI.

LSM Vesta ini berlokasi di Jl. Sukun no.21 Pondok Karangbendo, Banguntapan,

Bantul.

c. LSM Victory Plus

Yayasan Victory Plus Yogyakarta adalah salah satu yayasan yang

bergerak dalam memberikan dukungan langsung kepada orang yang terdampak

dengan HIV&AIDS. Yayasan ini adalah kelompok penggagas dukungan sebaya

dan pemberdayaan ODHA yang berdiri sejak tahun 2004. LSM ini berlokasi di

Jalan Tunggoron No.5 Mrican Sleman.

d. LSM Kebaya

Kebaya adalah Keluarga Besar Waria Yogyakarta, sebuah LSM dengan

slogan :"Membantu dan Membangun Waria untuk Waria oleh Waria".Bergerak

dalam bidangpencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.Diprakarsai oleh

sekelompok waria yang konsen terhadap laju epidemi HIV dan AIDS di

Indonesia, khususnya di kota Yogyakarta.LSM beralamat Jalan Gowongan Lor JT

III/148 Jogjakarta 55232 Indonesia.

2.3 Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah stakeholder 3 pilar yang terlibat

dalam penanggulangan HIV&AIDS di Kabuptaen Sleman. Meskipun mayoritas

LSM lokasinya berada di luar wilayah Sleman namun mereka tetap menjalin

kerjasama dan kolaborasi yang baik dalam menanggulangi HIV&AIDS serta

memang ruang lingkup kerja LSM tersebut adalah tidak terbatas Kabupaten

Sleman saja namun seluruh DIY. Fokus penelitian atau unit analisis utamanya

48
yakni stakeholder 3 pilar yakni KPA Sleman, Dinas Kesehatan Sleman dan LSM

Peduli AIDS. Populasi penelitian yakni berjumlah 13 orang yang terdiri atas tim

pelaksana KPA Sleman, Pimpinan dan anggota yang mengerti mengenai topik

penelitian pada masing-masing LSM Peduli AIDS, Kepala bidang P2PL dan

Pengelola Program Dinas Kesehatan Sleman, dan Anggota KPA DIY. Penting

kiranya bagi peneliti dalam hal ini untuk memfokuskan analisis pada pimpinan

atau pada salah satu anggota yang memang mengerti atau mempunyai wewenang

mengenai pengambilan keputusan dalam kolaborasi yang berlangsung dalam

penanggulangan HIV&AIDS di Sleman.

2.4 Penentuan Sampel

Pemilihan suatu sampel yakni harus benar-benar mewakili ciri-ciri pada

suatu populasi. Maksud pengambilan sampel dalam hal ini ialah menjaring

sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya,

dengan demikian tujuannya bukan untuk memusatkan diri pada adanya

perbedaan-perbedaan yang nantinya dikembangkan kedalam generalisasi, namun

untuk merinci kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang unik. Dalam

penelitian kualitatif, teknik sampling yang sering digunakan yaitu purposive

sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data

dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut

yang dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan, atau mungkin dirinya

menjadi penguasa sehingga akan memudahkan peneliti dalam menjelajahi

objek/situasi sosial yang diteliti. Lincoln dan Guba (1985) mengemukakan bahwa

penentuan sampel dalam penelitian kualitatif sangat berbeda dengan penentuan

49
sampel dalam penelitian kuantitatif. Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif

tidak didasarkan perhitungan statistik. Sampel yang dipilih berfungsi untuk

mendapatkan informasi yang maksimum dan bukan untuk digeneralisasikan

(Sugiyono, 2012 ; 300-301).

Dalam proses penentuan sampel, berapa besar sampel tidak dapat

ditentukan sebelumnya. Besarnya sampel ditentukan oleh pertimbangan

informasi. Terkait hal ini S. Nasution (1988) menjelaskan bahwa penentuan unit

sampel dianggap telah memadai apabila telah sampai taraf dimana data yang yang

diperoleh telah jenuh, ditambah sampel tidak lagi memberikan informasi yang

baru, artinya bahwa dengan menggunakan sumber data selanjutnya boleh

dikatakan tidak lagi diperoleh tambahan informasi baru yang berarti (Sugiyono,

2012 ; 302).

Metode purposive diterapkan peneliti pada pada penelitian ini, informan

yang dipilih oleh peneliti adalah informan yang sekiranya mengerti dan

menguasai seluk beluk aktivitas kolaborasi dalam penanggulangan HIV&AIDS

selama ini. Dalam memperoleh informasi tersebut, tentu peneliti berpartisipasi

pada beberapa agenda yang diadakan oleh KPA, Dinas Kesehatan atau LSM

Peduli AIDS serta bertanya-tanya terlebih dahulu kepada pihak terkait untuk

mengetahui pihak mana saja yang sekiranya berkompeten untuk dijadikan

informan. Pada penelitian ini, peneliti telah memutuskan bahwa informan dari

anggota KPA namun yang disebut sebagai 3 pilar dalam penanggulngan

HIV&AIDS sebagaimana yang telah di instruksikan oleh KPAN yakni KPA

Sleman yang direpresentasikan oleh Tim Pelaksana Harian berjumlah 4 orang,

50
Pimpinan dan anggota yang berkompeten mengenai topik penelitian pada 4 LSM

Peduli AIDS yakni berjumlah 8 orang, serta Kepala Bidang P2PL & Pengelola

Program Dinas Kesehatan Sleman yang berjumlah 2 orang.

Narasumber dalam penelitian ini data diperoleh secara langsung dari para

informan melaui wawancara dengan pihak yang kompeten. Adapun para informan

dalam penelitian ini adalah;

a) Ketua atau manajer program Komisi Penanggulangan AIDS Sleman atau

anggota yang berkompeten pada topic penelitian.

b) Ketua atau Kepala Dinas Kesehatan Sleman atau Anggota yang

berkompeten dalam topik penelitian.

c) Ketua atau Manajer LSM PKBI Sleman dan atau anggota yang

berkompeten dalam topik penelitian.

d) Ketua atau Manajer LSM Vesta dan atau anggota yang berkompeten

dalam topik penelitian.

e) Ketua atau Manajer LSM Victory Plus dan atau anggota yang

berkompeten dalam topik penelitian.

f) Ketua atau Manajer LSM Kebaya Sleman dan atau anggota yang

berkompeten dalam topik penelitian.

g) Ketua atau Manajer LSM OPSI Sleman dan atau anggota yang

berkompeten dalam topik penelitian.

h) Pemilihan narasumber tersebut dengan berbagia pertimbangan, yakni

pertimbangan tersebut adalah : 1) Ketua Ketua atau Manajer Program

KPA Sleman dan atau anggota yang berkompeten dalam topic penelitian

51
merupakan orang yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan program-

program penanngulangan HIV&AIDS di Sleman. 2) Ketua atau Kepala

dan atau anggota yang berkompeten dalam topik penelitian dari Dinas

Kesehatan Sleman merupakan pihak yang sangat mengerti dan memahami

setiap program-program kerja dinas yang berhubungan dengan

penegndalian HIV&AIDS. 3) Ketua atau Manajer dan atau anggota yang

berkompeten dalam topik penelitian dari LSM PKBI Sleman, LSM

Victory Plus, LSM Vesta, LSM Kebaya dan LSM OPSI merupakan pihak

Pembina yang sekaligus megarahkan anggota-anggotanya dalam

pelaksanaaan program-program penanggulangan HIV&AIDS di Sleman.

2.5 Data Penelitian

Ketika melakukan penelitian, tentu sumber data menjadi element yang

relevan bagi peneliti untuk mengungkap realitas atau permasalahan dalam

menjawab pertanyaan penelitian. Pada penelitian ini, sumber data yang

digunakan peneliti dapat dikategorisasikan berdasarkan sifatnya, yaitu :

2.5.1 Data Primer

Ini merupakan data yang diperoleh dari keterangan tiap-tiap narasumber

secara langsung.Sumber data primer adalah sumber data yang langsung

memberikan data kepada pengumpul data yang biasanya merupakan hasil dari

wawancara, observasi, wawancara mendalam dan kuesioner.Pada penelitian

ini peneliti memperoleh data primer dari hasil observasi, wawancara, dan

52
wawancara mendalam dengan narasumber stakeholder 3 pilar seperti yang

telah disebutkan diatas.

2.5.2 Data Sekunder

Data ini adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada

pengumpul data, misalnya yaitu melalui orang lain, sumber tertulis, atau

dokumentasi berupa foto. Keseluruhan instrumen tersebut merupakan hal-hal

penunjang yang bersifat sekunder dalam menguatkan data penelitian yang

diperoleh. Pada penelitian kali ini peneliti memperoleh data sekunder dari

referensi buku-buku dan juga hasil penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya terkait dengan pelaksanaan collaborative governance dalam

konteks yang lain. Lalu peneliti juga mendapatkan data dari KPA Sleman dan

LSM Peduli AIDS terkait dengan dokumen laporan perkembangan pencapaian

program, data AIDS, notulensi pertemuan dsb.

2.6 Teknik Pengumpulan Data

2.6.1 Observasi atau Pengamatan

Teknik ini paling lazim digunakan dalam melakukan penelitian baik

penelitian kualitatif maupun kuantitatif. Nasution (1988) menyatakan bahwa,

observasi adalah dasar dari semua ilmu pengetahuan (Sugiyono, 2012; 310).

Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai

dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Marshal (1995)

menyatakan juga bahwa melalui observasi, peneliti dapat belajar tentang

perilaku, dan makna dari perilaku tersebut.

53
Dalam penelitian kualitatif, observasi atau pengamatan harus

dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam menggali temuan baru, hal ini seperti

yang dikemukakan Guba dan Lincoln sebagai berikut : Pertama, teknik

pengamatan ini didasarkan atas pengalaman secara langsung, kedua, teknik

pengamatan juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, lalu yang

ketiga yakni melalui observasi peneliti dapat mencatat perilaku dan kejadian

sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya.

Sanafiah Faisal (1990) mengklasifikasikan observasi menjadi observasi

partisipasi, observasi yang secara terang-terangan dan tersamar, dan observasi

yang tak berstruktur. Observasi yang digunakan dalam penelitian kali ini

yakni observasi tersamar, yang diartikan bahwa peneliti datang di tempat

kegiatan yang diteliti dan mengakui bahwa sedang melakukan penelitian,

tetapi tidak ikut terlibat secara langsung pada kegiatan tersebut. Peneliti

menghadiri beberapa agenda yang diselenggarakan oleh KPA Sleman, Dinas

Kesehatan Sleman maupaun dari LSM Peduli AIDS seperti Vesta, yakni

berupa pertemuan koordinasi lintas sektor, pertemuan Layanan Komprehensip

Berkelanjutan (LKB), pertemuan bimbingan teknis (Bimtek), VCT pada

populasi kunci dsb dengan waktu tertentu. Pada kegiatan itu, peneliti

berkesempatan mengobservasi serta mewawancarai para stakeholder yang

terkait kolaborasi penangggulangan HIV&AIDS di Sleman ini. Posisi peneliti

dalam penelitian kali ini yakni mengamati sejauh dinamika kolaborasi yang

terjalin sejauh ini serta mengethaui bagaimana program kolaborasi itu

berjalana diantara stakeholder. Selama proses observasi dan wawancara

54
dilakukan, peneliti tidak menemukan kendala serius untuk menggali

informasi, apabila agenda pertemuan yang sudah terlewatkan peneliti dapat

mengkasesnya melalui hasil notulensi pertemuan dan dokumentasi lainya.

Para stakeholder begitu ramah dan terbuka mengijinkan peneliti untuk

melakukan proses observasi pada agenda mereka.

2.6.2 Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan

oleh dua pihak. Eastberg (2002) mendefinisikan wawancara sebagai

pertemuan yang dilakukan oleh dua orang untuk bertukar informasi dan ide

melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik

tertentu (Sugiyono, 2012 : 317). Pada proses wawancara yakni terdapat

pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan narasumber yang memberikan

jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara digunakan pada penelitian ini

sebagai pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan

juga untuk mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam terkait

pelaksanaan collaboarative governance dalam penanggulangan HIV&AIDS

di Sleman. Susan Stainback (1988) mengemukakan bahwa dengan

wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam

tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang

terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi (Sugiyono,

2012 ; 318). Menurut Lincoln dan Guba, maksud mengadakan wawancara

antara lain: mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan,

motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain. Merekonstruksi kebulatan-

55
kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu dan pada masa yang akan

datang, memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh

orang lain, baik manusia maupun bukan manusia, lalu memperluas konstruksi

yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota.

Dalam penelitian kualitatif, kerap kali dilakukan metode perpaduan antara

observasi dan wawancara untuk mengkroscek apa yang diamati dengan yang

dilakukanstakeholder selaku pemegang peran pelaksanaan kebijakan atau

kolaborasi. Esterberg (2002) mengemukakan ada beberapa macam model

wawancara yaitu wawancara terstruktur, semiterstruktur, dan tidak terstruktur

(Sugiyono, 2012 ; 319). Pada penelitian kali ini, peneliti menggunakan jenis

wawancara semi terstruktur dengan panduan wawancara yang telah disusun

sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar wawancara yang dilakukan dapat lebih

bebas dalam menemukan permasalahan secara lebih terbuka, tetapi tetap dapat

dikendalikan dengan susunan pertanyaan yang menjadi poin penting dalam

penelitian. Pertanyaan tersebut dapat berkembang seiring dengan temuan yang

diperoleh dari informanketika melakukan wawancara.

Wawancara dalam penelitian ini, peneliti lakukan dengan informan yang

telah peneliti tetapkan sebelumnya, yaitu KPA, Dinas Kesehatan, dan LSM

Peduli AIDS. Selama proses wawancara kerap kali ada perbedaan pendapat

terkait implementasi program. Menyikapi hal tersebut, maka peneliti

melakukan triangulasi dengan membandingkan pada aspek lain seperti

dokumentasi dan observasi, setelah itu baru peneliti dapat menyimpulkan

fakta yang sebenarnya. Dalam proses wawancara, peneliti tidak menemukan

56
kendala yang berarti. Para informan begitu antusias dan terbuka dalam

menyampaikan jawaban, meskipun kerap kali ada jawaban yang sulit peneliti

cerna dari para peserta. Secara keseluruhan proses wawancara telah dilakukan

sesuai dengan prosedur yang ada.

2.6.3 Dokumentasi

Dokumentasi ialah catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumentasi

bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.

Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan

wawancara dalam penelitian kualitatif. Hasil penelitian dari observasi dan

wawancara, akan lebih kredibel atau dapat dipercaya jika didukung oleh suatu

dokumentasi (Sugiyono, 2012 ; 329). Pada penelitian ini, peneliti menjadikan

dokumentasi dalam menguatkan hasil penelitian yang diperoleh baik itu dari

observasi ataupun wawancara. Dokumen tersebut yakni berupa berupa tulisan

maupun gambar yang di dapatkan dari beberapa sumber yaitu KPA Sleman, Dinas

Kesehatan Sleman, forum pertemuan koordinasi, bimbingan teknis, LSM Peduli

AIDS. Dokumentasi dalam penelitian ini telah peneliti sajikan pada bagian

lampiran.

2.6.4 Studi Kepustakaan

Sebagai upaya mendukung dan menunjang kelengkapan data dan

informasi. Dilakukan juga studi pustaka yang diambil dari buku-buku dan sumber

lain yang kaitannya dengan objek penelitian. Hal ini dikarenakan perlu kiranya

hasil temuan yang di peroleh di lapangan tidak semata mata diterima secara

mentah, melainkan sangat penting untuk dikaji dan ditelaah lebih jauh dengan

57
literasi yang telah ada sebelumnya, agar hasil penelitian yang diperoleh lebih

kredibel dan valid. Kredibilitas adalah hal yang mutlak dalam penelitian,

dikarenakan ini menjadi syarat keshahihan suatu penelitian dan dapat di

pertanggung jawabkan apabila kelak dipublikasikan. Selama proses penelitian ini,

peneliti membaca beberapa literasi yang kaitannya dengan collaborative

governance. Literasi tersebut berupa jurnal, buku, maupun hasil penelitian lain

yang memiliki relevansi terhadap penelitian yang sedang dilakukan. Sumber

literasi sendiri yang berupa jurnal pelaksanaan collaborative governance dari

berbagai studi kasus yang lebih dulu atau penelitian yang dilakukan di berbagai

negara. Referensi Pustaka ini adalah bagian yang penting untuk digunakan

sebagai referensi peneliti dalam mengembangkan data yang diperoleh serta

menentukan sikap lebih lanjut dari rangkaian proses penelitian. Bukti referensi

data yang peneliti gunakan telah dicantumkan dalam daftar pustaka.

2.7 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Pemeriksaan keabsahan data didasarkan atas kriteria tertentu.Kriteria itu

terdiri dari derajat kepercayaan, keteralihan, kebergantungan, dan kepastian.

Terdapat beberapa metode yang dilakukan peneliti dalam memeriksa keabsahan

data yang diperoleh, metode tersebut, yaitu:

2.7.1 Triangulasi

Ini adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu

yang lain dan di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai

pembanding terhadap data tersebut. Triangulasi diartikan sebagai teknik

pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik

58
pengumpulan data dan sumber data yang telah ada.Dengan triangulasi maka

dilakukan pengujian kredibilitas data yang bersumber dari observasi, wawancara

mendalam, dan dokumentasi. Susan Stainback (1988) menyatakan bahwa tujuan

dari triangulasi bukan untuk mencari kebenaran tentang beberapa fenomena,

tetapi lebih kepada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah

ditemukan (Sugiyono, 2012 ; 330).

Teknik triangulasi yang digunakan peneliti dalam penelitian ini yakni

membandingkan antara sumber data yang diperoleh guna mendapatkan fakta-

fakta yang terkait dalam upaya menjawab rumusan masalah. Secara lebih rinci

langkah-langkah proses triangulasi pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Membandingkan data hasil wawancara dari beberapa informan yang terdiri

dari peserta, pendamping, dan pemerintah setempat terhadap pengamatan

lapangan yang dilakukan peneliti. Dari perbandingan tersebut maka akan

diuraikan data-data yang dianggap ideal sebagai acuan untuk menjawab rumusan

masalah penelitian.

2. Membandingkan perspektif dari KPA Sleman mengenai dinamika kolaborasi

yang terjalin antar stakeholder selama ini begitupun sebaliknya melihat perspektif

Dinas Kesehatan dalam hal ini Bidang P2PL dan selanjutnya selanjutnya juga

membandingkan dengan pandangan LSM Peduli AIDS.

3. Membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang dianggap memiliki

korelasi dengan dinamika collaborative governance dalam penanggulangan

HIV&AIDS di Sleman. Dokumen tersebut berupa dokumen-dokumen tertulis

59
seperti notulensi pertemuan-pertemuan, Surat Keputusan, laporan pencapaian

data-data HIV&AIDS dsb.

Jadi pada penelitian ini, peneliti mengamati tiga sumber data yang

diperoleh yakni observasi, wawancara, dan dokumentasi, Hal ini untuk mengkaji

temuan yang diperoleh, dan juga memperdalam pemahaman peneliti terkait

perkembangan informasi dari fenomena yang sedang diteliti. Dalam hal ini

informasi yang diperoleh peneliti mengenai dinamika collaborative governance

dalam penanggulangan HIV&AIDS, tidak hanya peneliti serap dari satu sumber,

melainkan dari semua sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan akan

menjadi data yang akan diperdalam dinamika perkembangannya.

2.7.2 Konfirmabilitas

Konfirmabilitas dilakukan dengan observasi secara mendalam dan bukan

hanya sekilas saja. Demi menjaga kebenaran data, maka informasi yang diperoleh

selama proses penelitian baik itu menyangkut subjek atau objek akan di

konfirmasi kebenarannya dengan pihak yang bersangkutan. Tentunya hal ini

diterapkan peneliti untuk menghindari adanya data-data fiktif yang berpotensi

mengganggu perkembangan proses penelitian. Metode konfirmabilitas menjadi

metode yang diterapkan untuk menghindari hal tersebut demi keabsahan data.

2.7.3 Referensi

Keterbatasan referensi yang tersedia dapat menghambat peneliti dalam

menginterpretasikan data yang telah masuk.Ada baiknya data-data yang diperoleh

peneliti dapat di kroscek lebih lanjut dengan beberapa referensi baik itu berupa

buku maupun penelitian yang telah ada sebelumnya terkait dengan objek

60
penelitian.Hal ini demi menghindari masuknya data yang tidak logis dan

menyimpang dari teori yang sebenarnya. Dengan melakukan referensi teoritis

maka peneliti akan lebih selektif dan antisipatif dalam melakukan kajian dari pada

data yang dimiliki. Oleh karena itu untuk menghindari kedangkalan penelaahan

kajian diperlukan referensi selengkap mungkin.

2.8 Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen dalam (Moleong, 2014 : 248)

adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan

data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,

mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang

dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain. Proses

analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan.

Gambar 8. Komponen dan analisis data:


Data Collection/ Data Display/
Pengumpulan Data Penyajian Data

Conclusions:drawing/ verifying
Data Reduction/ atau Penarikan Kesimpulan
Data Reduksi dan Verifikasi

Sumber : Sugiyono, 2016: 338

Bogdan menyatakan bahwa analisis data adalah proses mencari dan

menyusun secara sistematis data yang di peroleh dari hasil wawancara, catatan

lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya

dapat diinformasikan kepada orang lain. Dalam penelitian kualitatif, data

61
diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan yang

bermacam-macam dan dilakukan secara terus-menerus hingga datanya

jenuh.Analisis data kualitatif bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan

data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pada hubungan tertentu atau

menjadi hipotesis. Miles dan Huberman (1984), mengemukakan bahwa aktivitas

dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara

terus menerus sampai tuntas hingga datanya sudah jenuh (Sugiyono, 2012 ; 337).

Aktivitas dalam analisis data itu mencakup beberapa hal, yakni :

2.8.1. Reduksi Data

Mereduksi data berarti merangkum, memilah hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan pola, lalu membuang

data yang tidak perlu. Dengan demikian data yang direduksi akan memberikan

gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan

pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan (Sugiyono, 2012 ;

338). Terkait hal ini, maka peneliti dalam menyerap data yang diperoleh telah

memilih dan memilah data yang dianggap penting dalam menunjang

keberlanjutan proses penelitian. Data yang dianggap bermanfaat dalam kelanjutan

penelitian ini akan diambil dan dikembangkan lebih lanjut. Hal yang berkaitan

dengan dinamika collaborative governance dan penghambat kolaborasi tersebut

dalam penanggulangan HIV&AIDS menjadi sorotan bagi peneliti dalam

penelitian kali ini.data tersebut dijadikan acuan untuk pengembangan penelitian.

62
2.8.2. Penyajian Data

Melalui penyajian data, maka data menjadi terorganisasikan, tersusun

dalam pola hubungan, dan akan menjadi lebih mudah dalam dipahami. Dalam

penelitian kualitatif, penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan,

hubungan antar kategori, dan sejenisnya.Dalam hal ini Miles dan Huberman

(1984) menyatakan yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam

penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan penyajian

data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan

kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Penyajian data

menjadi penting untuk peneliti dalam mengetahui perkembangan proses

penelitian, sehingga peneliti dapat dengan mudah menentukan tindakan yang akan

dilakukan dalam waktu ke depan (Sugiyono, 2012 : 341). Data-data yang ada

disajikan dengan beraneka rupa, yang tentunya harus memudahkan peneliti dalam

membaca dan menelaah femomena yang di temui.Dalam penelitian ini peneliti

menjabarkan data dalam beberapa bagian.Bagian tersebut terkait dengan aspek

dinamika collaborative governance dalam penanggulangan HIV&AIDS di sajikan

dalam sebuah matriksyang terstruktur dan sistematis dalam laporan penelitian ini.

2.8.3 Menarik Kesimpulan dan Verifikasi

Setelah selesainya tahap reduksi data dan penyajian data kemudian ditarik

kesimpulan atas data-data yang telah diperoleh dan disajikan oleh

peneliti.Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah merupakan

temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada.Temuan dapat berupa deskripsi atau

63
gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga

setelah di teliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis

atau teori. Kesimpulan yang dihadirkan oleh peneliti harus didasarkan atas bukti valid

dan kredibel sesuai aktivitas yang terjadi selama proses penelitian. Pada penelitian ini

kesimpulan yang peneliti dapatkan diperoleh dari pemilahan data-data hasil

wawancara yang telah jenuh dengan dibandingkan hasil observasi yang telah

dilakukan peneliti.Tentu data ini terkait dengan jawaban dalam rumusan masalah

yang digagas oleh peneliti.

2.9 Etika Riset

Secara garis besar, apa yang menjadi fokus dalam penelitian ini akan mengorbit

pada isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan sosial dan governance. Penelitian yang

berkaitan dengan kebijakan sosial, akan sangat lekat denganpemahaman tentang cara-

cara distribusi kesejahteraan khususnya kesehatan, organisasi kesejahteraan,dan relasi

diantara state dan aktor-aktor non-state. Tidak hanya soal relasi, lebih spesifik juga

mempelajari cara-cara atau tata kelola para pemangku kebijakan baik pemerintah dan

non pemerintah dalam peningkatan kualitas kesehatan masyarakat yang lebih

tepatnya melalui upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Disamping itu, penelitian

yang berhubungan dengan isu seputar kebijakan sosial akan berorientasi pada

kepentingan akademis, pemangku kebijakan/praktik,penerima manfaat, dan tentunya

juga memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan hasil penelitian untuk khalayak

umum. Dengan begitu, etika yang paling tidak harus dipenuhi peneliti kebijakan

sosial adalah mampu bertanggung jawab untuk melakukan publikasiyang

berkontribusi pada publik dan dapat disebarluaskan sebagai konsumsi publik,berikut

64
memastikan bahwa penelitian ini dapat dijadikan evidence-based bagi keperluan

evaluasi kebijakan.

Akan tetapi dalam realisasinya kita tidak dapat memungkiri bahwa penelitian

kebijakan soial akan sangat riskan dengan konflik kepentingan misalnya antara

individu dan lembaga-lembaga sosial, atau antar kelompok-kelompok yang berbeda.

Peneliti harus menyadari potensi setiap konflik kepentingan tersebut. Peneliti harus

meyakinkan kepada para pemangku kepentingan bahwa penelitian ini tidak akan

disalahgunakan, dan tidak merugikan siapapun.Selain itu, penting juga memastikan

bahwa informanmendapat jaminan perlindungan dari risiko-risiko sosial, politik, dan

ekonomi dengan cara tidak mengekspos informan secara eksplisit. Hal ini dapat

dilakukan dengan cara mendiskusikan batas-batas kerahasiaan dengan informan, lalu

menjelaskan kepada narasumber bahwa data rekaman audio dikumpulkan dan

disimpan sebagai bagian dari proses penelitian.

Peneliti juga dituntut untuk menjadi transparan dalam menggambarkan metode

yang digunakan dalam penelitiannya; termasuk cara analisis dan produksi hasil

temuan. Peneliti juga harus menyatakan secara terbuka dan eksplisit tentang

keterbatasan temuan penelitian, dan memetakan implikasi, konsekuensi, dan

alternatifnya jika rekomendasi penelitian tersebut digunakan dalam perumusan suatu

kebijakan. Terakhir, untuk menyadur data sekunder, peneliti disarankan untuk tidak

menggunakan data yang tidak dipublikasikan, maupun metode, atau hasil tanpa izin

(Resnik, 2015). Penelitian yang dilakukan telah mengikuti prosedur dan etika yang

disebutkan diatas.

65
2.10 Sistematika Penulisan

Dalam penelitian skripsi ini, strukturt penyajian kontesn dijabarkan dalam

beberapa rancangan bab sebagai berikut :

1. BAB 1 Pendahuluan. Bab ini memuat penjelasna tentang latar belakang, alsan

pemilihan judul, pertanyaan penelitian, tujuan dan mnfaat pnelitian dan

landasan teori hingga kerangka penelitian.

2. BAB 2 Metode Penelitian. Bab ini memuat penjelasan mengenai jenis

penelitian, unit analisis, teknik pengumpuln data, teknik pennetuan informan,

teknik analisis data dan sistematika penulsan. definisi konsep dan operasioanl.

3. BAB 3 Profil Sakeholder dan Bentuk Kolaborasi. Bab ini memuat penjelasan

mengenai profil stakeholder yang terlibat dalam penanggulangan HIV dan

AIDS dan bentuk kolaborasinya..

4. BAB 4 Dinamika Collaborative Governance Antar 3 Stakeholder . Bab ini

memuat pembahasan terkait bagaimana dinamika yang berlangsung antara 3

stakeholder dalam melakukan penanggulangan HIV dan AIDS di Sleman

serta membahas faktor penghambat yang terdapat dalam dinamika kolaborasi.

5. BAB 5 Penutup. Pada Bab ini memuat hasil kesimpulan, dan rekomendasi.

66
BAB 3

PROFIL STAKEHOLDER DAN BENTUK KOLABORASI TIGA STAKEHOLDER


(KPA, DINAS KESEHATAN DAN LSM PEDULI HIV & AIDS) DI SLEMAN

3.1.PROFIL STAKEHOLDER

3.1.A . Komisi Penaggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Sleman

Komisi Penanggulangan AIDS atau biasa disingkat KPA adalah sebuah

lembaga independen yang bersifat adhoc yang bertujuan untuk meningkatkan upaya

Pencegahan dan Penanggulangan AIDS yang lebih intensif, menyeluruh, terpadu dan

terkoordinasi. Komisi Penanggulangan AIDS dibentuk berdasarkan undang-undang

kesehatan di Indonesia yang diatur melalui Undang-Undang No 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan dan Peraturan Presiden RI No.75 tahun 2006 tentang Komisi

Penanggulangan AIDS Nasional serta Peraturan Menteri Dalam Negeri No 20

Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS

dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan HIV&AIDS di daerah.

Kemudian Pemerintah Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 39 tahun

2012 tentang KomisiPenaggulangan AIDS Provinsi DIY. Inilah dasar hukum Komisi

Penanggulangan AIDS (KPA) dibentuk yang menjadi landasanimplementasi

kebijakan dalam penanggulangan permasalahan HIV&AIDS di Provinsi DIY sekaligus

menguatkan pembentukan KPA di Kabupaten Sleman. Komisi Penanggulangan AIDS

(KPA) Kabupaten Sleman berada di Jl. Rorojonggrang (Komplek Pemda Sleman)

Beran, Tridadi Sleman D.I Yogyakarta 55511.Lebih khusus KPA Sleman dibentuk

berdasarkan Keputusan Bupati Sleman Nomor320/Kep.KDH/A/2008 Tentang Komisi

Penanggulangan AIDS Kabupaten Sleman.

67
KPA Kabupaten Sleman mempunyai tugas utama mengkoordinir kegiatan-

kegiatan yang di Kabupaten Sleman yang berkaitan denganpencegahan, penanggulangan

sehingga akan terwujud penurunan angka HIV&AIDS, dalam menjalankan tugasnya,

KPA berpedoman pada Keputusan Bupati Sleman Nomor320/Kep.KDH/A/2008 Tentang

Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Sleman (terlampir)

Sedangakan visi dan misiyang ingin dicapai Komisi Penanggulangan AIDS

(KPA) Kabupaten Sleman adalah :

VISI KPA Sleman


- Terkendalinya penyebaran HIV dan AIDS di Kabupaten Sleman
MISI KPA Sleman
- Mendorong kepada semua pihak untuk meningkatkan kepedulian dalam penanggulangan
HIV dan AIDS
- Meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi penderita HIV dan AIDS
- Mendorong kemandirian masyarakat untuk dapat melakukan upaya penanggulangan HIV
dan AIDS
- Menggalang Sumber Daya Manusia dan sumber dana masyarakat dalam upaya
penanggulangan HIV dan AIDS
- Menciptakan perilaku yang aman dari resiko penularan HIV dan AIDS
STRATEGI KPA Sleman
- Advokasi kepada berbagai pihak dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS
- Meningkatkan kualitas, kuantitas dan kinerja semua pihak yang terlibat dalam upaya
penanggulangan HIV dan AIDS
- Melakukan analisis situasi pada kelompok beresiko secara lokal spesifik dan dinamis
untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam upaya penanggulangan HIV dan
AIDS
- Memantapkan fungsi kelembagaan KPA Kabupaten Sleman untuk meningkatkan
kepedulian dalam upaya penanggulangan HIV danAIDS
- Pemenuhan sarana, prasarana dan program untuk mendukung kegiatan penanggulangan
HIV dan AIDS
- Memanfaatkan media massa secara optimal untuk soisalisasi dan advokasi guna
menciptakan kepedulian masyarakat untuk berperilaku aman dari resiko penularan HIV
dan AIDS
- Mengupayakan pengurangan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA
- Pemberdayaan keluarga dan masyarakat
- Mempercepat pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS pada kelompok resiko
rentan tertular, ibu dan anak dengan memperhatikan semua aspek (yaitu pendidikan dan
pencegahan, KIE / Komunikasi Informasi Edukasi, pendidikan agama dan dakwah dll)
yang diketahui berpengaruh dalam keberhasilan upaya tersebut.

68
- Memudahkan ODHA untuk dapat mengakses ARV melalui proses di klinik VCT dan
CST baik di Rumah Sakit (Layanan Kesehatan) maupun komunitas.
- Mempromosikan penggunaan kondom pada kelompok beresiko rentan tertular HIV.
- Memutus mata rantai penularan HIV melalui pengurangan dampak buruk penggunaan
narkoba suntik.
- Mengupayakan dukungan Peraturan Daerah dan penganggaran APBD Kabupaten
Sleman.
Tabel 2.

Susunan Sekretariat 2014-2016 Komisi Pennangulangan AIDS Sleman

NO. NAMA KEDUDUKAN


1. Drs. H. Mulyanto, MM. Sekretaris
2. Dwi Suryanto Pengelola Program

3. Yusuf Toto Purwoko, A.Md.KL PengelolaKeuangan

4. Istiardi Arif Nor Rahman Pengelola Administrasi dan Logistik

Sumber : Keputusan Wakil Ketua 1 Komisi Pennaggulangan AIDS kabupaten Sleman Nomor :
002/KPA.SLM.I/2016
Dengan berdasarkan tabel diatas terlihat susunan sekretariat KPA Sleman

yang mana KPA aktif berkantor setiap hari senin sampai sabtu menjalankan semua

program KPA dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Sleman.

Program-program KPA yang dilakukan selama ini antara lain yaitu:

a. Mengkoordinir semua anggota KPA dalam upaya penanggulangan HIV&AIDS di

Sleman

b. Pertemuan menyusun Starategi dan Rencana Aksi Daerah Penanggulangan AIDS

di Kabupaten Sleman.

c. Mengadakan rapat koordinasi KPA Kabupaten Sleman per sektor terkait dan

Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM.

d. Menginisiasi terbentuknya kemitraan (antara pemerintah, sektor swasta dan

komunitas), memelihara kemitraan yang sudah terbentuk.

69
e. Melaksanakan rapat koordinasi triwulan atau 3 bulan sekali dalam pertemuan

PMTS (Pencegahan HIV Melaui Transmisi Seksual) atau Mengkoordinir

berjalannnya PMTS yang pesertanya adalah seluruh stakeholder baik dari

pemerintah, komunitas/ LSM dan swasta.

f. Melakukan monitoring dan evaluasi program penanggulangan HIV&AIDS di

Kabupaten Sleman.

g. KPA menyuplai kondom dan pelicin gratis serta menyediakan fasilitas media KIE

seperti leaflet atau brosusr tentang penanggulangan HIV&AIDS pada tiap LSM

h. Merekap data dari LSM, Klinik IMS (Infeksi Menular Seksual) dan Klinik VCT

(Voluntary Counceling and Testing) setiap sebulan sekali.

i. Memberikan Bimbingan Teknis mengenai penanggulangan HIV&AIDS kepada

Mitra Kerja dan sektor terkait

j. Orientasi Rencana Strategis Penanggulangan HIV&AIDS Kabupaten Sleman

untuk pembuat kebijakan tingkat Pemerintah Kabupaten Sleman

k. Membuat laporan pertanggung jawaban kepada Bupati di tingkat daerah dan

kepada Gubernur di tingkat provinsi.

Dalam Keputusan Bupati Sleman Nomor 320/Kep.KDH/A/2008 juga

didalamnya dijelaskan semua SKPD Kabupaten Sleman mrupakan anggota KPA

yang diharapkan dapat mengkomunikasikan dan menginformasikan tentang bahaya

HIV dan AIDS kepada seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan bidang pelayanan

masing-masing SKPD tersebut. Selain itu, yang menjadi anggota KPA bukan hanya

SKPD tapi semua institusi dan lembaga yang dianggap berkaitan baik secara

langsung maupun tidak langsung terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS di

70
Kabuaten Sleman. Setiap SKPD tersebut juga harus memiliki program-program

penanggulangan HIV&AIDS dalam upaya penurunan angka penularan HIV&AIDS

yang terkait dengan masing-masing bidang SKPD dimana seluruh anggaran biayanya

akan masuk pada APBD Kabupaten Sleman. Namun dalam penelitianini difokuskan

pada tiga stakeholder penanggulangan HIV&AIDS, yang terdiri dari Komisi

Penanggulan AIDS Sleman sebagai kordinator program penanggulangan yang

menjadi ujung tombak yang seharusnya mampu melaksanakan fungsi koordinatif

sehingga program-program penanggulangan HIV&AIDS di Sleman antar stakeholder

bisa berjalan dengan baik.

3.1.B Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman

Dinas Kesehatan kabupaten Sleman berlokasi di komplek Pemda Sleman Jalan

Rororjonggrang.Penanggulangan HIV&AIDS termasuk dalam bidang Pengendalian

penyakit dan Penyehaan Lingkungan disingkat P2PL. Program penanggulangan

HIV&AIDS dilaksanakan dengan suatu konsep yang dinamakan Layanan

Komprehensip Berkelanjutan (LKB) Stategi Use For ARV (SUFA) LKB merupakan

layanan yang bersifat menyeluruh dan terus menerus, artinya program yang

menyeluruh mulai dari sosialisasi, preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Itu

semua ada di Kabupaten Sleman.

Contohnya promotif dilaksanakan dengan sosialisasi dan advokasi dengan

edukasi. Preventifnya ada harm reduction penurunan risiko bahaya HIV&AIDS yang

khusus ditunjukan kepada penggguna narkoba jarum suntik, teerdapat terapi rumatan

metadon, dan pemberian alat suntik steril. KPA ada pemberian kondom, meskipun itu

71
kontroversial namun hal itu harus dilakukan untuk menekan angka penularan

HIV&AIDS. Kuratif terdapat program dari diagnosis sampai pengobatan.

Diagnosis HIV dengan melakukan VCT (Voluntary Counceling Test) bisa

melalui seluruh 25 puskesmas yang ada di Kabupaten Sleman yakni Puskesmas Mlati

1, Puskesmas Depok II, Puskesmas Prmabanan, Puskesmas Depok I, Puskesmas,

Depok II, PUskesmas, Kalasan, Puskesmas Ngaglik I, Puskesmas Ngaglik II,

Puskesmas Tempel I, Puskesmas Tempel II, Puskesmas Minggir I, Puskesmas Mlati

II, Puskesmas Gamping II, Puskesmas Godean I, Puskesmas Godean II, Puskesmas

Seyegan, Puskesmas Moyudan, Puskesmas Berbah, Puskesmas Turi, Puskesmas

Pakem, Puskesmas Ngemplak I, Puskesmas Ngemplak II, Puskesmas Cangkringan ,

Puskesmas Gamping I dan RSUD Sleman dan RSUP Sardjito.

Dari ke 25 puskesmas LKB tersebut yang mampu menyediakan pelayanan

test VCT, IMS tetapi menyediakan juga CST (Care Support Treatment), sedangkan

PRTRM (Program Rumatan Terapi Methadon) hanya di Rumah Sakit Grashia,

Pakem. Sebelum test dilakukan konseling hasilnya diberikan, kalau hasilnya positive

diberikan konseling kemudian diterapi. Pengambilan ARV (antiretroviral virus)

bisadidapatkan RSUD Sleman dan RSUP Sardjito. Akses untuk mendapatkan pil

ARV adalah secara gratis.

3.1.C LSM PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Kabupaten

Sleman

Berdiri sejak 23 Desember 1957, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia

(PKBI) merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memelopori gerakan

Keluarga Berencana di Indonesia. Lahirnya PKBI dilatarbelakangi oleh keprihatinan

72
para pendiri PKBI, yang terdiri dari sekelompok tokoh masyarakat dan ahli kesehatan

terhadap berbagai masalah kependudukan dan tingginya angka kematian ibu di

Indonesia serta untuk mengahdapi tantangan yang cukup besar mengenai Gagasan

tentang keluarga berencana di era tahun 1950-an. Seiring dengan berjalannya waktu

saat ini salah satu yang menjadi fokus kegiatan PKBI Sleman juga adalah mengenai

program pennaggulangan HIV dan AIDS dan pendampingan masyarakat.

PKBI Sleman telah membentuk CBO (community Based Organization) di 6

desa dampingan di Sleman yang difokuskan pada edukasi perubahan mindset bagi

masyarakat mengenai penanggulangan HIV dan AIDS dan Kesehatan Reproduksi,

setelah terjadi perubahan mindset yang diharapkan kemudian adalah perubahan

perilaku oleh masyarakat sehingga penanggulangan HIV dan AIDS benar-benar bisa

terlaksana secara konkrit karena bagi mereka perubahan hanya akan terjadi oleh

komunitas itu sendiri sebanyak apapun informasi mengenai cara-cara penanggulangan

HIV dan AIDS apabila kesadaran dan kemauan tidak muncul dalam komunitasitu

tidak akan berjalan dengan maksimal. Selain itu PKBI Sleman juga memiliki 12

mitra sekolah di Sleman dan mitra 2 populasi kunci yakni Waria dan LSL (laki-laki

Seks Laki-laki.

Sementara ini PKBI Sleman lebih berfokus kepada edukasi/sosialiasi dan

konseling mengenai penanggulangan HIV dan AIDS kepada Kelompok Komunitas

pada desa dampingan, Kelompok Remaja dengan sekolah mitra dan Kelompok

populasi kunci. Untuk saat ini apabila dalam menyelenggarakan kegiatan akses VCT

bagi masyarakat atau populasi kunci PKBI Sleman biasanya bekerja sama dengan

LSM lain seperti LSM Vesta namun untuk kedepanya PKBI Sleman sedang

73
menyusun MoU dengan Puskesmas untuk bisa bekerjasama dalam penyelenggaraan

layanan VCT di komunitas minimal di komunitas desa dampingannya.

3.1.D Yayasan Vesta Indonesia / YVI

Yayasan Vesta Indonesia dikukuhkan sebagai nama lembaga untuk

memayungikegiatan-kegiatan yang bergerak di bidang penanggulangan dan persoalan

HIV & AIDS dan PIMS (Penyakit Menular Seksual) umumnya bagi kaum muda

Jogjakarta dan secara khusus bagi populasi kunci seperti LSL (laki-laki Seks Laki-

laki), Pekerja Seks, Waria dan Penasun ( Pengguna Narkoba Suntik).

Kegiatan LSM Vesta yakni:

1. Penjangkauan (outreach) dan pendampingan

Penjangkauan ini adalah Vesta melakuakan edukasi terlebih dahulu mengenai HIV

dan AIDS dan IMS dan bagaimana penanggulangannya kepada populasi kunci atau

masyarakat pada umumnya. Dalam melakukan penjangkauan dan pendampingan

kepada khususnya populasi kunci LSM Vesta bekerja sama dengan beberapa LSM

juga seperti untuk penjangkauan pekerja seks Vesta bekerjasama dengan LSM OPSI,

untuk penjangkauan penasun Vesta bekerjsama dengan ARMETh Jogja dan untuk

penjangkauan kepada waria Vesta bekerjasama dengan LSM Kebaya Yogyakarta.

Prkatiknya masing-masing populasi kunci itu mempunyai koordinator lapangan yang

berasal dari masing-masing perwakilan dari LSM yang berbeda-beda tersebut.

Dalam melakukan startegi penjangkauan LSM Vesta melakukannya dengan

search and find yakni penjangkauan pada pendekatan ini lebih menekankan pada

populasi kunci segera mengakses test HIV atau VCT nya terlebih dahulu untuk

74
mengetahui status HIVnya kemudian setelah itu konseling dan informasi mengani

HIV dan AIDS dan pencegahanya akan diberikan,

2. HCT (HIV Counceling and Testing)

Kegiatan dimana konselor Vesta memberikan konseling kepada populasi kunci

atau masyarkat mengenai apa saja yang khususnya berkaitan dengan penyakit HIV

dan AIDS dan IMS. Setelah klien melakukan konseling biasanya oleh para konselor

Vesta mengarahkan untuk test VCT untuk segera mengetahui status HIVnya. Test

VCT ini bisa dilakukan di layanan/ puskesmas atau VCT mobile dengan cara petugas

layanan yang datang ke populasi kunci yang telah dikumpulkan pada lokasi tertentu

biasnaya di sekretariat Vesta sendiri.

3. Dukungan Psikososial untuk Penasun akses PTRM

Vesta mempunyai pertemuan khusus bagi penasun untuk memberikan dukungan

sosial agar mereka mau mengakses PRTM (Pengobatan Terapi Rumatan Methadon)

dan mereka damping sampai merekabisa benar-benar lepas dari ketergantungan

narkobanya.

4. Focus Group Discusion (FGD)

FGD ini biasanya dilakukan pada populasi kunci waria, praktiknya dnegan

mengadakan pertemuan dan didalamnya terdapat diskusi untuk membahas issu-issu

yang dihadapi oleh waria misalnya atupun persoalan seputar HIV&AIDS dan IMS

dikalangan waria dan terkadang juga mendatangkan layanan untuk VCT mobile

dalam FGD tersebut.

75
5. Edutaiment

Yakni merupakan kegiatan edukasi dengan entertaiment.Edutaiment ini biasanya

ditujukan kepada populasi kunci khuusnya waria dan LSL.Informasi tentang

HIV&AIDS dikemas dan disampaikan melalui hiburan seperti pentas seni yang

dilakukan oleh LSL atau waria.

6. Diskusi Kultural

Kegiatan ini bekerjaasama dengan PKMK UGM yang dilaksanakan setiap bulan

pesertanya adalah aktivis, akademisi, dari dinas, KPA dsb. Untuk pelaksanaan

acaranya adalah bergiliran oleh setiap instansi yang terlibat. Dan tema yang diangkat

pada setiap diskusinya berbeda-beda sesuai dengan kapasitas masing-masing lembaga

dan issue yang berkembang.

7. Pendampingan terhadap OBK (Organisasi Berbasis Komunitas)

Pendampingan ini dikhususkan bagi populasi kunci karena biasnyanya mereka

karena memang mereka tertutup sehingga mereka punya komunitas masing-masing

atau yang disebut dengan OBK. Apabila OBK ini mengalami kendala atau

memerlukan bantuan LSM Vesta senantiasa untuk mendampingi dan

mengadvokasikanya.

3.1.E. Yayasan Victory Plus Yogyakarta

Yayasan yang bergerak dalam memberikan dukungan langsung kepada orang

yang terdampak dengan HIV dan AIDS. Yayasan ini adalah kelompok penggagas

dukungan sebaya dukungan psikososial dan pemberdayaan ODHA yang berdiri sejak

tahun 2004.Yayasan Victory Plus Yogyakarta mempunyai impian untuk mencapai

Kualitas hidup ODHA dan OHIDHA yang lebih baik dan sebagai Wadah

76
pemberdayaan ODHA dan OHIDHA yang bebas dari stigma dan diskriminasi Dalam

mencapai Visi tersebut maka Victory Plus harus menjalankan misi dengan melakukan

Pemberdayaan ODHA dan OHIDHA serta mendorong keterlibatan ODHA dan

OHIDHA dalam penanggulangan HIV dan AIDS.

Program yang dijalankan antara lain:

- Pemberdayaan ODHA melalui Kelompok Dukungan Sebaya: Dimas (Kelompok

dukungan bagi ODHA Laki – laki, Laki – Laki Pecandu/IDU (Injection Drug

User), LSL dan LDR di Wilayah Sleman), Jalinan Kasih (Kelompok dukungan

bagi ODHA Waria, Perempuan, dan Anak Jalanan di Wilayah

Sleman).Pendampingan ODHA & OHIDHA di Rumah.

- Pendampingan ODHA & OHIDHA di Rumah Sakit.

- Peningkatan Penghasilan ODHA (Income Generating).

- Pelatihan / Training

Pelatihan Public Speaking (Pelatihan untuk berbicara di depan umum)

Melatih ODHA & OHIDHA untuk bisa trampil berbicara di depan umum.

- Pelatihan Pembentukan KDS

Mempersiapkan ODHA & OHIDHA untuk menjadi motor dalam pembentukan

KDS di setiap wilayah dan kelompok resiko.

- Pelatihan Pendidik Pengobatan (Treatment Educator)

Melatih ODHA & OHIDHA untuk menjadi pendamping pengobatan terhadap

ODHA yang memulai treatment.

- Pertemuan ODHA Provinsi: Memperlengkapi ODHA yang baru mengetahui

status HIVnya.

77
- Sosialisasi HIV&AIDS

3.1.F. LSM Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya)

Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM ) yangbergerak dalam

bidangHIVdan AIDS di Yogyakarta. Berdiri pada tanggal 18 Desember 2006

denganakte Notaris no. 38/22 Januari 2007. Dengan tujuan sebagai berikut :1)

Memberikan informasi, edukasi, dan advokasi kepada kelompok waria mengenai

HIV&AIDS. 2) Memberikan konseling dan dukungan psikososial pada kelompok

waria yang berisiko tertular HIV dan pada ODHA Waria. 3) Melakukan

pendampingan terhadap kelompok waria. Kegiatan- kegiatan Kebaya antara lain:

1. Peningkatan keterlibatan dan menumbuhkan semangat kerelawanan diantara

Mitra Strategis: (Pelatihan Peer Educator (P.E), Pertemuan rutin P.E

2. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran Mitra Strategis terhadap IMS, HIV

dan AIDS: (Penjangkauan individu dan kelompok terhadap semua M.S,

Edutainment)

3. Pemberdayaan: (Pelatihan ketrampilan pada waria usia lanjut)

4. Pertemuan " Violet Community": Kelompok dukungan Sebaya bagi komunitas

odha dan ohidha di kalangan waria di Yogyakarta.

3.1.G. Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI)

Banyaknya kasus pelanggaran HAM, berbagai ketidakadilan, stigmatisasi,

diskriminasi dan tingginya angka prevelansi HIV&AIDS dan IMS lainnya di

kalangan pekerja seks, serta tidak adanya perlindungan hukum bagi pekerja seks

di Indonesia telah menjadi alasan yang mendorong terbentuknya Organisasi

Perubahan Sosial Indonesia (OPSI). OPSI adalah suatu organisasi berbentuk

78
perkumpulan yang keanggotaannya individual dan merupakan wadah bagi pekerja

seks perempuan, waria dan laki-laki. Diinisiasi dalam sebuah lokakarya nasional

pada tanggal 28 November 2008 di Jakarta.

Persiapan Pembentukan OPSI dibentuk dengan tujuan untuk

memperjuangkan terpenuhinya hak-hak konstitusi pekerja seks sebagai warga

negara, menghilangkan stigma terhadap pekerja seks, mendorong teribatnya

pekerja seks secara penuh dan bermakna dalam penanggulangan HIV&AIDS

hingga ke level pengambilan kebijakan yang menyangkut pekerjaan dan

kehidupan pekerja seks.Kongres Nasional pertama sekaligus deklarasi OPSI

dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 2009 di Jakarta.

3.2 Bentuk Kolaborasi Tiga Stakeholder (KPA, Dinas Kesehatan dan LSM

Peduli HIV) Di Sleman

Secara eksplisit kolaborasi yang telah berjalan selama ini memang tertulis

dalam Keputusan Bupati Sleman Nomor 320/Kep.KDH/A/2008 Tentang Komisi

Penanggulangan AIDS Kabupaten Sleman. Dalam surat keputusan tersebut

tertulis jelas bagian keanggotaan dari masing-masing SKPD dan institusi lain.

Serta kolaborasi tiga stakeholder atau disebut 3 pilar ini diperkuat secara khusus

melalui instruksi dari KPAN. MoU yang dibuat ditingkat pusat bersama LSM

dengan KPAN menjadi dasar yang cukup kuat dan di patuhi hingga jajaran tingkat

bawah dalam menjalankan kolaborasi dalam penanggulangan HIV&AIDS,

sehingga di tingkat Kabupten/Kota tidak perlu dibuat lagi dibuat MoU secara

tertulis cukup melanjutkan instruksi dari pusat.

79
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada masing-masing stakeholder

baik Dinas Kesehatan (Kepala Bidang P2PL), Sekretaris KPA Sleman dan

Pimpinan dari 5 LSM peduli AIDS, semuanya memberikan jawaban yang

memiliki inti yang sama yakni kolaborasi yang terjadi memang sudah ada intruksi

dari pusat dan ada dasar hukumnya. Sehingga kolaborasi yang berjalan pada

masing-masing stakeholder adalah dilakukan sesuai kapasitas tupoksinya masing-

masing seperti yang sudah di instruksikan dalam peraturan. Masing-masing

stakeholder memiliki peran dan andil masing-masing dalam melaksanakan

program-program yang menyangkut penanggulangan HIV&AIDS baik berupa

pencegahan maupun penanggulangan. Masing-masing stakeholder tersebut

memiliki program-program yang berjalan secara independen termasuk dalam hal

finansial juga masing-masing stakeholder memiliki supportdana masing-masing.

Maka dapat disimpulkan bahwa pembagian dan tugas masing-masing tiga

stakeholder ini adalah KPA sebagai koordinator program penanggulangan

HIV&AIDS yang berfungsi menjalankan fungsi koordinatif, Dinas Kesehatan

sebagai layanan dan menjalankan fungsi pelayanan dalam hal penanggulangan

HIV&AIDS dan LSM peduli AIDS sebagai penjangkau yang menjalanakan

fungsi implementatif di level lapangan atau yang mendampingi para kelompok

sasaran populasi kunci yang terinfeksi HIV&AIDS.

Kelompok sasaran yang dimaksud disini adalah para kelompok yang

termarginalkan yang berisiko terinfeksi HIV dan AIDS diakibatkan perilaku yang

berisiko, yakni Wanita Pekerja Seks (WPS), Waria, Gay/ Laki-laki Seks Laki-laki

80
(LSL), lesbian, biseksual, transgender dan pengguna narkoba khususnya jarum

suntik.

Masing-masing LSM tersebut merupakan ujung tombak dari kolaborasi

ketiga stakeholder ini karena LSM merupakan lembaga yang menjalankan fungsi

jangkauan sampai pada level dilapangan. LSM menjalankan fungsi lapangan

karena tidak setiap orang mampu untuk masuk dalam kelompok tersebut, karena

mayoritas mereka hanya akan terbuka pada anggota kelompoknya saja. Tanpa

adanya bantuan LSM dalam penjagkauan akan sulit dilakukan oleh anggota KPA

sendiri maupun para anggota SKPD, seperti yang diungkapkan oleh pengelola

program KPA Pak Dwi:

“Ya memang dalam kita melakukan penjangkauan dan pendampingan


kepada komunitas atau populasi kunci kita memerlukan kerjasama dengan
teman-teman LSM, karena kan sbagian mereka seperti populasi kunci itu
hanya tebuka pada sesama kelompoknya, kalo kami mau masuk ya
biasanya kami bersama teman-teman LSM”.

Kolaborasi antar tiga stakeholder yang berjalan selama ini yang terjadi

antara KPA Sleman, Dinas Kesehatan Sleman dan LSM Peduli AIDS adalah

masih tertuang dalam kesepakatan secara informal tidak ada surat perjanjian kerja

namun hanya didasarkan komitmen bersama dalam keanggotaan KPA, MoU dari

tingkat pusat serta tuntutan project dari lembaga donor (pemberi dana) yang

peduli pada penurunan angka penularan HIV dan AIDS di Kabupaten

Sleman.Seperti yang diungkapkan Pengelola Program KPA Sleman, Pak Dwi

menyebutkan bahwa;

“Meskipun kita berasal dari instansi yang berbeda-beda, program


dimasing-masing lembagapun berbeda namun kita kan punya tujuan yang
sama HIV dan AIDS ini telah menjadi persolan bersama yang harus
diselesaikan bersama pula, jadi ya kita bermitra dengan mereka walaupaun

81
tidak ada surat perjanjian karena kita kan sudah berkomitmen dalam
kenaggotaan KPA yang sudah tertuang dalam SK Bupati itu dan juga
sesuai undang-undang”.

Sama halnya seperti yang diungkapkan oleh Zubair selaku Koordinator


Monev Yayasan Vesta Indonesia yang mengungkapakan bahwa:

“Sebenernya setiap lembagakan punya visi misi sendiri-sendiri, seperti Vesta


misalnya kan untuk mencegah dan menanggulangi HIV dan AIDS untuk
kaum muda di DIY dan edukasi IMS untuk populasi kunci. Tapi kita selalu
berkoordinasi untuk penanggulangan HIV dan AIDS ini dengan dinkes dan
KPA tentunya, jadi kalo kita koordinasi atau bekerjasama dengan SKPD atau
KPA ya itu memang kebutuhan kita, ya memang ada secara projek dari GF
yang mendanai program2 kita tapi kan secara substansi untuk melakukan
program teresebut memang sudah terset up untuk berkoordinasi dengan dinkes
dengan yang lain ya bisa dibilang simbiosis mutualisme lah”.

Dari penjelasan diatas jelas bahwa kolaborasi berjalan didasarkan hanya pada

kesadaran masing-masing pihak untuk sama-sama berperan aktif dalam upaya

penanggulangan HIV dan AIDS. Adapun menurut pandangan manajer Program

Yayasan Victory Plus Yan Michael yang menjelaskan bahwa :

“Berlokabrasi dengan KPA atau dinkes ya pasti tuntutan lemaga donor lah
sekarang kan semua dana harus masuk ke dinkes baru dinkes yang
menyalurkan ke KPA, lah kalo dibilang kebutuhan sekrang lihat tujuanya
KPA kan tujuanya hanya koordinatif saja beda dengan dinkes memang
KPA menjalankan fungsi implentatif kan ngga? ya program-program
yang sifatnya koordinasi sudah pasti ya maskutnya ya seperti program –
programKPA melakuakan penjangkauan, pendampingan
ODHA,implementasi dsb kan itu bukan mereka yang melakukan secara
garis sbesar KPA funginya koordinasi ajah tidak pada implmentasi.”.
Hal tersebut menggambarkan bahwa memang kolaborasi yang berjalan selama

ini didasarkan pada tuntutan dari lembaga donor.Berikut kolaborasi yang

dibangun oleh KPA dalam mengkoordinasikan Program Penanggulangan HIV

dan AIDS di Sleman bersama LSM peduli AIDS, Dinas Kesehatan dan

mitra/anggota KPA lainya yang dilaksanakan dalam pertemuan forum sebagai

berikut :

82
a. Melaksanakan rapat koordinasi triwulan atau tiga bulan sekali yang dihadiri KPA,

Dinas Kesehatan, dan LSM-LSM peduli AIDS untuk mengetahui perkembangan

penanganan kasus HIV dan AIDS di masing-masing stakeholder. Forum ini

biasnya disbeut forum PMTS (Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual) yang

dilakukan scara berkala pertiga bulan, serta peremuan lintas sector atau

Pertemuan Kemitraan yang dilaksanakan setiap 6bulan sekali.

“Selama ini dalam forum musyawarah atau diskusi semua stakeholder,


yang telibat belum berjalan denganbaik saya pikir, ya karna pertemuan itu
hanya untuk rapat-rapat evaluasi gitu kan? nda ada pertemuan yang lain
dan jumlahnyapun terbatas, dan kadang orangnya yang datang beda-beda
jadikan informasi juga beda-beda yang didapat. Kalo di LSM mungkin
mudah dikoordinaskan tapi kalo di SKPD sangat sulit. Diskusi pun
berjalan dengan pasif. Dalam pertemuan itu paling dismapaikan apa yang
sudah dilakukan KPA, apa yang sudah dilakuakn Victory dsb udah gitu
aja. Kalo rencana tindak lanjut juga yang saya lihat selama ini hanya
tulisan aja tuh ya atau mungkin saya yang kurang mengikuti ya, tapi ya
itu waktu saya mengusulkan forum pertemuan odha tetap belum juga
diadakan”

b. Mengadakan kepanitian bersama pada saat ada acara tertentu, misalnya peringatan
hari AIDS sedunia.Kepanitian bersama ini untuk acara-acara khusus, misalnya
pada peringatan hari AIDS sedunia yang dibentuk dari gabungan anatra KPA,
Dinas Kesehatan, LSM Peduli HIV&AIDS dan perwakilan elemen masyarakat
misalnya untuk HAS 2016 ini yang menjadi leading nya ialah dari unsur TNI.
HAS ini biasanya diikuti oleh seluruh ODHA, populasi kunci, elemen masyarakat
dan jajaran SKPD lainya, didalamnya terdapat berbagai rangkaian acara seperti
upacara yang langsung dipimpin oleh Bupati Sleman, ada talkshow, ada cerdas
cermat seputar HIV&AIDS, kampanye mengenai pencegahan HIV&AIDS, VCT
Mobile dsb.
c. KPA menyuplai kondom dan pelicin gratis serta menyediakan fasilitas media KIE

seperti leaflet atau brosur tentang HIV dan AIDS kepada tiap LSM.

Saat ini kebutuhan kondom dan pelicin bagi tiap LSM telah disupply sepenuhnya

oleh pihak KPA.Pihak KPA sendiri mendapat kondom dari New Funding Model
83
(NFM). Maka piak LSM sudah tidak kesulitan lagi dalam menyediakan kondom

dan pelicin guna menekan angka penularan HIV dan AIDS, selain itu KPA juga

menyediakan media KIE berupa brosur, leaflet atau pamphlet tentang upaya

pencegahan, penularan dan penaggulangan HIV&AIDS yang jika LSM

membutuhkanya maka LSM dapat memperolehnya untuk kemudian disebarkan

kepada masyarakat.

d. Bersama-sama mengadakan VCT mobile yang disediakan Puskesmas LKB

sebagai upaya penjangkauan terhadap kelompok sasaran untuk mengetahui

mereka terinfeksi IMS dan HIV dan AIDS sekaligus pendekatan untuk para

penderitan HIV dan AIDS yang tidak atau belum bersedia periksa secara langsung

ke klinik IMS ataupun VCT.

Program VCTmobile ini bekerjasama juga dengan pihak Dinas Kesehatan

Kabupaten Sleman khususnya kepada layanan/puskesmas yanga da di wilayah

Sleman yakni dengan cara pihak KPA dengan LSM serta petugas layanan

puskesmas LKB mendatangi kelompok sasaran secara langsung misalnya di

sekretariat Vesta atau di tempat komnitas populasi kunci berkumpul.Hal ini

dilakukan dalam rangka mengoptimalkan penjangkauan terhadap kelompok

sasaran. Dengan adanya VCT mobile ini diharapkan para kelompok tidak perlu

lagi merasa canggung atau malu karena pemeriksaan dilakukan diwilayah tempat

tinggal mereka sendiri dan bisa maksimal dalam mengkases layanan karena waktu

melakukan test VCT bisa menyesuaikan dengan waktu mereka tidak terpaku pada

jam operasional layanan LKB saja yang seringkali berbenturan dengan jam sibuk

kelompok sasaran. VCT mobile ini memang hanya dilakukan untuk pemeriksaan

84
HIV, konseling dan keluhan infeksi menular seksual, hasilnya sudah bisa

langsung didapatkan pada jam/hari itu juga apabila telah dinyatakan positif

terkena HIV segera diberikan pendamping atau pendukung sebaya untuk

membimbing dalam pengobatannya.

e. Mengadakan diskusi kultural tentang kebijakan-kebijakan yang telah berjalan

selama ini sebagai upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Sleman

mengenai kelebihan dan kekurangannya. Termasuk dalam proses formulasi

Perbup tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Sleman yang saat ini sedang

berlangsung dan menyuarakan penanggulangan HIV dan AIDS masuk dalam

APBD.

f. Setiap LSM memberikan laporan kepada KPA dan Dinas Kesehatan yang

meliputi program yang dijalnkan orang-orang atau target yang berhasil dijangkau,

jumlah atau penemuan kasus baru, laporan penggunaan kondom, laporan jumlah

peer educator yang sudah berhasil ditraining dan laporan jumlah orang yang telah

diantar periksa ke klinik LSM maupun VCT.Laporan ini merupakan hal yang

wajib disampaikan oleh pihak LSM kepada pihak KPA.Setiap laporan yang telah

diterima KPA selanjutnya direkap untuk dilaporkan kepada Bupati sebagai ketua

umum KPA Sleman.

Pihak LSM memahami bahwa peran KPA disini sifatnya adalah koordinatif jadi

memang yang banyak berperan dilapangan dan bersinggungan langsung dengan

populasi kunci atau ODHA adalah dari pihak LSM. Untuk kegaitan penjangkauan

yang dilakuakan oleh YayasanVesta Indonesia (YVI) mereka berkerjasama

dengan beberapa LSM lain seperti OPSI yang khusus untuk menjangkau populasi

85
kunci pekerja seks di DIY, kemudian menjalin kerjasma dengan LSM Kebaya

untuk menjangkau populasi kunci waria dan menjalin kerjasama dengan Armeth

untuk menjangkau populasi kunci pengguna narkoba jarum suntik dan juga

menjalin kerjasama dengan komunitas gay atau LSL untuk menjangkau populasi

gay pula. Data-data yang mereka dapatkan selanjutnya dihimpun oleh YVI untuk

sewaktu-waktu dilaporkan ke KPA. Seperti yang dinyatakan oleh Zubair

Koordinator Monev YVI:

“kami melakukan apa yang sesuai dengan tupoksi kita membantu untuk
program secara DIY juga maka apapun yang kita lakukan kita akan dilihat
dalam lingkup DIY maka termasuk data-data yang berkaitan dengan
Sleman itu semua kita juga pertahankan. Data-data yang kami berikan ke
KPA bisa dikonformasi kemudian kalo kita diminta ya kita lakukan yang
ada dijuknis tapi kita juga melakukan inovasi untuk mencapai target
program”.

Demikian pula yang disampaiakan oleh Yan Michael Manajer Program Yayasan
Victory Plus :

“Paling kita koordinasi aja dengandinkes dan KPA sleman ada berapa sih
ODHA yang didukung diwilayah sleman, pemetaan penganggaran terkait
kemungkinan pengobatan yang tidak hanya ARV tentunya atau mungkin
ketika ada RS atau layanan puskesmans ketika mereka menemukan kasus
baru mereka akan menghubungi kita untuk melakukn dukungan kepada
ODHA, kalo KPA kan fungsinya hanya koordinasi ketika ada persoalan
dilapangan kita sampaikan kepada KPA lalu KPA akan memberi
rekomendasi atau rujukan solusinyakalo kita selalu memberikan apa yang
dinas atau inginkan maksudnya ya pelaporan-pelaporan kita tidak penah
menutupi apa kegiatan kita apa yang sudah kita capai dalam memberi
dukungan dsb”.

Memang seperti dijelaskan sebelumnya bahwa masing-masing dari tiga

stakeholder khususnya KPA, Dinkes dan LSM itu sendiri sebenarnya memiliki

tugas pokok dan fungsinya masing-masing yang tidak sama namun mereka

menilai bahwa yang belum banyak terlihat selama ini adalah peranan dari SKPD

yang lainnya, merka semua tahu bahwa SKPD pun seharusnya memiliki tugas dan

86
fungsi masing-masing dalam menjalankan program penanggulangan HIV dan

AIDS sebagaima yang telah tertuang dalam komitmen kenaggotaan KPA.

g. Mendorong peran aktif masyarakat dengan membentuk WPA (Warga Peduli

AIDS) di 4 Desa Sleman pada tahun 2016 ini yakni Desa Sendangarum

Kecamatan Moyudan, Desa Sendangagung Kecamatan Minggir,Desa Pondokrejo

Kecamatan Tempel, dan Desa Wonokerto Turi. Dengan terbentuknya WPA peran

masyarakat dalam upaya pencegahan, penanggulangan HIV dan AIDS dapat lebih

optimal, terarah dan berkesinambunga serta untuk mendorong partisipasi

masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS dan kemandirian penderita

yang terinfeksi HIV dan AIDS untuk mengakses pengobatan pribadi.

h. Mendorong sistem rujukan dan jejaring kerja.Mendorong sistem rujukan dan

jejaring kerja disini adalah bertujuan agar bagaimana orang yang telah terinfeksi

HIV dan AIDS namun tak mampu membayar biaya pengobatan tetap dapat

mengakses pengobatan secara gratis.Ada beberapa jaminan kesehatan gratis yang

bisa diakses oleh ODHA yang terkendala dengan biaya.Namun secara umum

pengobatan ARV level 1 itu gratis disubsidi dari pemerintah apabila itu dikenakan

biaya hanya biaya pendaftaran saja. Jika berdomisili di Sleman terkena tariff

Rp5000,- jika luar Sleman biaya administrasinya Rp17.500,-. Namun LSM seperti

PKBI bisa menyediakan pengobatan gratis asalkan berobat di Klinik PKBI DIY

atau bisa di arahkan mengakses pengobatan gratis dengan Jamkesda Sleman

ataupun Jamkesos yang lingkupnya Provinsi, pendampingan ODHA untuk

mengakses layanan kesehatan tersebut biasanya dilakukan oleh Yayasan Victory

Plus.

87
Layanan berjejaring kerja juga dimaksudkan untuk memastikan agar semua

pelayanan bagi ODHA dari mulai pencegahan, penjangkauan, pengobatan hingga

pendampingan bisa berjalan dengan baik melalui adanya kerjasama banyak pihak

sesuai tupoksinya masing-masing salah satu strategi yang dibuat untuk

mewujudkan itu adalah KPA membentuk memperkuat dan memaksimalkan

forum PMTS dimana anggota PMTS yakni multistakholder dari unsur pemerintah

dan non pemerintah yang mempunyai kapasitasnya masing-masing dalam

berkontribusi pada penanggulangan HIV&AIDS.

88
BAB 4

DINAMIKA COLLABORATIVE GOVERNANCE TIGA STAKEHOLDER DALAM


PENAGGULANGAN HIV DAN AIDS DI SLEMAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai dinamika collaborative governanceantar tiga

stakeholder dalam penanggulangan HIV&AIDS di Sleman. Suatu dinamika aksi

kolaborasi yang dikatakan baik dan efektif menurut Emerson adalah kolaborasi yang

didalamnya memuat beberapa aspek yang harus dipenuhi oleh setiap stakeholder yang

terlibat yakni keterlibatan, motivasi bersama dan kapasitas untuk melakukan

kolaborasi.Dalam melihat aspek keterlibatan salah satu yang menjadi indikator untuk

melihatnya adalah komunikasi intensif yang terjalin antar stakeholder. Sedangkan aspek

motivasi bersama dilihat melalui elemen saling percaya antar stakholder, saling

memahami antar stakeholder, legitimasi internal yang terjalin dan komitmen bersama

yang ditunjukan tiap stakeholder. Serta aspek kapasitas untuk aksi bersama dianalisis

dengan melihat elemen kelembagaan kolaboratif, kepemimpinan, sumber daya dan

pengetahuan.

Ketiga aspek dalam dinamika kolaborasi tersebut selain merupakan sebuah siklus

interaksi yang berulang tetapi komponen dinamika tersebut mampu menentukan kualitas

baik buruknya suatu langkah kolaboratif yang dilakukan yang kemudian berdampak besar

pada suatu hasil/dampak yang akan diberikan. Untuk memudahkan dalam membaca

aspek-aspek dinamika collaborative governance antar tiga stakeholder dalam

penanggulangan HIV&AIDS di Sleman maka disajikan dalam matrik dan penjelasan

berikut ini :

89
Tabel 3.Matriks Dinamika Collaborative Governance Dalam Penanggulangan HI V dan AIDS di
Kabupaten Sleman

No Aspek Dinamika Nama Institusi


Kolaborasi 1.KPA Sleman
2.Dinas Kesehatan Sleman
3.LSM Peduli AIDS (Yayasan Vesta Indonesia, Yayasan
Victory Plus, PKBI Sleman, OPSI DIY, Kebaya)
1 Keterlibatan Keterangan
Komunikasi Intesnsif Aspek komunikasi dalam program penanggulangan HIV dan
AIDS berlangsung baik. Semua pihak berkomunikasi melalui
media dan tatap muka secara langsung secara intensif .
komunikasi dalambentuk formal dan non formal
2 Motivasi
Saling Percaya Aspek salingpercaya berlangsung dengan baik sejak KPA
dibentuk dan deklarasi komitmen sebagai anggota KPA yang
tercantum dalam SK Bupati Sleman hingga saat ini. semua
pihak saling member kepercayaan melaui kinerja atau capaian
kegiatan dan dukungan yang terus berlanjut meskipun
dukungan tersebut bukan bersifat financial
Saling Memahami Aspek saling memahami berlangsung dengan baik. Seua pihak
memahami dan saling memberi pemahaman atau pengertian
terkait tugas dan perannya masing-masing.
Legitimasi Internal Aspek legitimasi internal berlangsung dengan baik semua
pihak menguatkan legitimasi dalam kolaborasi
penanggulangan HIV dan AIDS ini serta menguatkan
legitimasi organisasinya masing-masing.
Komitmen Bersama Secara umum aspek ini sudah dikelola dengan baik. Ketiganya
menunjukan komitmen sesuai dengan kapasitas masing-
masing.
3 Kapasitas Aksi Bersama
Kelembagaan Secara umum aspek ini sudah dikelola dengan baik. Makna
Kolaboratif keelembagaan kolaborasi sudah merata kepada semua pihak.
Kepemimpinan Secara umum aspek ini sudah dikelola dengan baik.
Kolaborator Kepemimpinan jaringan berbasis koordinasi antar organisasi
berlangsung baik
Sumber Daya Secara umum aspek ini sudah baik. Tetapi masih ada
keterbatasan sehinga masih dijumpai kendala atau tantangan
dalam menjalankan program penanggulangan HIV dan AIDS
atau program koordinasi. Dalam hal ini seperti SDM dan SDK
terbatas kuantitasnya sehingga forum koordinasi jumlahnya
terbatas dan sampai saat ini kegiatan operasional LSM
khususnya dalam melakuakn pennaggulangan HIV dan AIDS
belum bisa di danai oleh APBD.
Pengetahuan Secara umum aspek ini tidak ada kendala.pengetahuan yang
dibutuhkan untuk mendukung langkah kolaboratif baik intu
informasi ataupun pengetahuan yang berkaitan dengan
penanggulangan AIDS terbaru relatif mudah diakses oleh
setiap stakeholder.
Sumber: Data hasil olah penelitian

90
4.1 Keterlibatan Aktif dari Ketiga Stakeholder

Keterlibatan setiap pihak dalam program penanggulangan HIV&AIDS di Sleman

didasarkan pada komitmen bersama pada keanggotaan KPA pada awal pembentukanya.

Setiap pihak memiliki tugas dan tanggung jawab dan fungsi pokok yang berbeda-beda.

Perbedaaan tugas dan fungsi merupakan karakteristik tersendiri dalam kolaborasi ini.

Pada intinya, semuanya tetap terkait dalam satu kesatuan proses dan interaksi. Perbedaan

ini hanya pada persoalan fungsi dan peran masing-masing.

Keterlibatan KPA adalah sebagai fasilitator, dalam hal ini ialah memfasilitasi,

mengkoordinasikan, memonitoring serta mengevaluasi mengenai upaya-upaya

penanggulangan HIV&AIDS di Sleman pada masing-b masing instansi dan lembaga

yang tergabung dalam kemitraan KPA maupun pihak lain yang bersangkutan, serta

fungsi dan tugas lain seperti yang telah dijelaskan pada SK Bupati. Keterlibatan Dinas

Kesehatan adalah pada penyediaan sarana dan prasarana layanan kesehatan dalam

pengobatan HIV dan AIDS, sedangkan keterlibatan LSM Peduli AIDS khususnya

Victory Plus pada pendampingan ODHA, Yayasan Vesta Indonesia bersama dengan

LSM Kebaya dan OPSI DIY fokus pada penjangkuan serta pencegahan IMS,HIV&AIDS

pada populasi kunci dan pemuda di DIY dan PKBI Sleman fokus pada edukasi dan

pencegahan HIV dan AIDS bagi masyarakat dan beberapa populasi kunci.

Tekad keterlibatan secara aktif selalu ditujukan oleh setiap pihak. Sesuai

kesimpulan hasil wawancara dengan semua informan, keterlibatan yang aktif terjadi

berdasarkan kesepakatan bersama yang terbangun semenjak KPA dibentuk sesuai

perundang-undangan lebih khususnya kesepakatan bersama itu muncul dalam forum

91
kemitraan yang difasilitasi oleh KPA. Merujuk pada Agranoff dan McGuire (2003)

bahwa aktifitas kolaborasi yang aktif dan strategi kolaborasi yang opportunistic

mencirikan sebuah kolaborasi yang berbasis hukum.

Keseriusan KPA ditunjukan dengan dianggarkannya forum-forum pertemuan

untuk koordinasi bagi seluruh stakeholder yang berperan dalam menanggulangi HIV dan

AIDS, supply kondom dan pelicin gratis juga KIE ke LSM atau pada pertemuan

sosialisasi. Anggaran yang disediakan oleh KPA sendiri untuk tahun 2016 ini sebesar

Rp180.000.000,- yang diperoleh dai APBD Kabupaten Sleman 2016 dan dana dari New

Funding Model melalui Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Sedangkan Dinas

Kesehatan Kabupaten Sleman khususnya bidang P2PL juga membuktikan keterlibatan

aktifnya melalui kegiatan yang meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan

bagi pengobatan HIV dan AIDS di seluruh wilayah Sleman, salah satu pencapaiannya

adalah pada awalnya hanya 3 Puskesmas yang memiliki layanan test VCT dan IMS

kemudian berkembang menjadi 10 Puskesmas dan pada tahun 2016 ini Dinas Kesehatan

berhasil melatih seluruh 25 Puskesmas di Kabupaten Sleman untuk menyediakan layanan

Test VCT dan IMS serta menuju kepada layanan LKB atau (Layanan Komprehensip

Berkelanjutan) sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang.

Sedangkan keterlibatan LSM Peduli HIV di Sleman yakni Yayasan Victory Plus,

Yayasan Vesta Indonesia dan PKBI Sleman juga nampak aktif dalam program

penangggulangan HIV & AIDS sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.

Mereka biasanya menunjukan keterlibatanya dengan berbagai cara, sebagai contoh pada

saat terdapat kegiatan bimbingan teknis mengenai HIV dan AIDS atau forum Pertemuan

LKB (Layanan Komprehensip Berkelanjutan) perwakilan dari setiap LSM tersebut selalu

92
dilibatkan menjadi narasumber sekaligus peserta. Begitu pula pada forum-forum

koordinasi lainya yang diselenggarakan KPA maupaun Dinas Kesehatan seperti forum

PMTS, forum kemitraan, pertemuan monev, pertemuan populasi kunci LSL, WPS,

Waria, Pertemuan Harm Reduction dan Pertemuan Pokja mereka selalu memenuhi

undangan tersebut dan aktif dalam forum koordinasi dengan menyuarakan pendapat,

temuan di lapangan, memberikan solusi ataupun bernegosiasi.

Sebenarnya berbicara penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Sleman tidak

hanya berkutat pada ketiga Stakeholder diatas namun masih ada beberapa stakeholder

lain yang juga memilki peranan masing-masing dalam penanggulangan HIV dan AIDS

sesuai bidangnya yang dituangkan dalam kegiatannya serta sekaligus mereka juga masih

bagian dari keanggotaan atau mitra KPA. Seperti yang tercantum pada table dibawah ini:

Tabel 4: Tabel Kegiatan Penaggulangn HIV dan AIDS Pada Seluruh Stakeholder di
Kabupaten Sleman
INSTANSI PROGRAM DAN KEGIATAN
Dinas Kesehatan Pencegahan, pengobatan dan perawatan surveilans
Pelatihan :VCT, Universal Precaution, konseling, pembentukan/pembinaan
klinik VCT dan klinik IMS, pengadaan reagen,ARV, dan BAT untuk infeksi
oportunistik
Bagian Kesra Setda Koordinasi antar instansi/SKPD
Advokasi
Penyiapan SK/Perda yang mendukung
Dinas Nakersos, Bidang Dukungan sosial ODHA dan Kelurganya
Kesejahteraan Sosial, Bidang Penyuluhan untuk kelompok rentan: anjal, remjal, pengemis dll
Tenaga Kerja Promosi kondom di panti rehabilitasi sosial
Penyuluhan sosial pada masyrakat dan pemuda
Mengkampanyekan pencegahan IMS,HIV&AIDS di tempat kerja,
TKI/TKW/PJTKI
Perlindungan kekerasan calon/tenaga kerja yang terinfeksi HIV
Dinas Pendidikan, Pemuda dan Pelatihan guru tentang HIV&AIDS
Olahraga Penyuluhan di dalam dan diluar sekolah tentang HIV&AIDS
Kampanye hidup sehat pada pelajar
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Mencegah eksploitasi sex di tempat wisata
Megkampanyekan pencegahan IMS, HIV&AIDS di jalur wisata dan tempat
wisata

93
Lanjutan : Tabel Kegiatan Penaggulangan HIV dan AIDS Pada Seluruh Stakeholder di Kabupaten Sleman

Dinas Perhubungan Komunikasi dan Promosi hidup sehat bagi laki-laki berisiko tinggi di lingkungan terminal,
Telematika bandara dan stasiun
Promosi penggunaan kondom bagi laki-laki berisiko tinggi di lingkungan
terminal, bandara dan stasiun
Penyebarluasan informasi dan kebijkan pennaggulangan AIDS di media
internet
Bagian Humas Setda Penyebarluasan kebijakan penanggulangan AIDSkepada media cetaka dan
media elektronik
Penyebarluasan informasi penanggulangan AIDS dan dukungan sosial
terhadap ODHA melalui media cetak dan media elektronik
Badan Keluarga Berencana Orientasi kesehatan reproduksi
Pemberdayan Perempuan dan Peningkatan kesehatan reproduksi reaja (KRR)
Perlindungan Anak Penyuluhan (triad KRR, HIV&AIDS dan narkoba)
Promosi pencegahan IMS,HIV&AIDS dengan kondom
Promosi penghapusan kekerasan terhadap perempuan

Badan Perencanaan Pembangunan Dukungan perencanaan pendanaan (APBD) program penanggulangan AIDS
Daerah Dinas Pengelolaan Kekayaan Rekomendasi program hasil evaluasipelaksanaan penanggulangan AIDS di
dan Keuangan Daerah Kbupaten Sleman
RSUD Sleman Meningkatkan tata laksana kasus HIV&AIDS
RSUD Prambanan Menerapkan universal precaution
Pelaksaan VCT
Menyediakan ARV dan obat lainya
Polres Sleman Menegakan hukum dan aturan yang berlaku di NKSRI secara prevenif dan
represif
Satpol PP Menegakan peraturan daerah preventif dan represif
Kementerian Agama Kabupaten Memberdayakan organisasi agama dalam penaggulangan AIDS
Sleman Meningkatkan kehidupan beragama
Promosi pencegahan dan penanggulangan AIDS melalui media dakwah
Organisasi Keagamaan Pembinaan dan penyuluhan HIV&AIDS melalui media dakwah
Meningkatkan kehidupan beragama
Promosi gaya hidup sehat
Organisasi Profesi Sosialiasi pencegahan HIV&AIDS dan rujukan proosi gaya hidup sehat

PMI cbang Sleman Menyediakan donor darah yang aman


Meningkatkan kualitas dan kuantitas unit transfuse darah
Promosi gaya hidup sehat
Lembaga Swadaya Masyarakat Promosi hidup sehat untuk dampingan
(Yayasan Vesta Indonesia, Yayasan Penjangkauan populasi kunci
Victory Plus, PKBI Sleman ) Pendampingan ODHA
Perilaku seksual aman untuk dampingan
Pemberdayaan ODHA dan Keluarganya
Perlindungan ODHA
Advokasi
Dharma wanita, Tim Penggerak Kampanye hidup sehat
PKK dan Organisasi Pemuda Pembinaan dan penyuluhan
Sumber: Dokumen KPA Sleman

Secara tekstual keterlibatan aktif pihak/instansi yang lain khususnya mitra KPA

dalam penanggulangan HIV&AIDS sudah ada dan dijabarkan dalam pembagian tugas

maupun program-programnya walaupun pada tiap instansi tersebut tidak berbunyi secara

eksplisit mengenai detail program dan anggraan. Program dan kegiatan tersebut hanya

melekat atau bahkan hanya disisipkan pada program pokok lain pada masing-masing

94
instansi, atau yang biasa disebut integrasi program. Hal itu disebabkan karena memang

tidak diperbolehkan dari Bappeda apabila tiap instansi memiliki kegiatan yang sama

dengan kegiatan yang sudah ada instansi lain hal itu dianggap kegiatan yang tumpang

tindih, dan juga belum ada payung hukum yang kuat bagi SKPD lain untuk

menganggarkan program HIV&AIDS secara rinci. Saat ini Sleman memang belum

mempunyai Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati yang khusus mengenai

penaggulangan HIV&AIDS di Kabupten Sleman. Seperti yang diungkapkan oleh

Pengelola Program KPA Sleman Pak Dwi :

“Jika dilihat dari komitmennya semua sudah berkomitmen untuk penaggulangan HIV,
Tupoksinya yang buat bukan KPA tapi semua dari lintas sector, jadi program apa yang
sekiranya bisa diintegraasikan dengan penanggualangan HIV, karna kalo menyebutkan
secara khusus mengenai penanggualangan HIV itu tidak boleh dan tidak ada, hanya
bisanya integrasi program. Jadi tidak musti ada anggranya sebenarnya kegiatan harus
dilakuakan, tapi bisa juga dengan mengintegrasikan kegiatan yang merka punyai
mislakan di Perhubungan ada pertemuan rutin supir-supir itu bisa juga diintegrasikan
dengan kegiatan atau sosialsisai HIV/AIDS, tapi yang utama adalah intervensi perubahan
perilaku, jadi untuk kalangan berisiko mereka kerahkan untuk tes HIV ke layanan yang
tersedia atau kita mendatangakan pelayanan tersebut. Program itu kan melekat pada
tupoksi masing-masing sector SKPD, mereka dianjurkan untuk melaksanakan
penanggulangan HIV meskipun dengan nama yang tidak terang-terangan menyebutkan
penyuluhan penanggulangan HIV misalnya itu tidak, tapi intinya tujuannya tetap sama,
kadang mereka lintas sector juga ragu-ragu untuk melakukan program penanggulangan
HIV/AIDS karena belum ada payung hukumnya di wilayah Sleman khusunya. Saat ini ya
sedang disegerakan penysusunan draft Perbup untuk penaggulangan HIV dan AIDS di
Sleman, kami sudah melakukan beberapa pertemuan dengan forum lintas sector karena
itu dibahas atau mengenai kepentingan bersama-sama to”.

Dengan demikian keterlibatan mereka pada penaggulangan HIV dan AIDS sudah

ada walaupun dengan porsi yang berbeda satu dengan yang lainya. Mayoritas mereka

SKPD tetap menghadiri rapat koordinasi apabila diundang oleh KPA meskipun dengan

utusan yang tidak selalu sama atau berganti-ganti serta aktif berkoordinasi dengan KPA

ketika menjalankan program HIV dan AIDS pada bidangnya masing-masing terlebih jika

ada sebuah event yang harus dilaksanakan berkaitan dengan HIV dan AIDS ini. Namun

apabila dibandingkan keterlibatan LSM terlihat lebih aktif dan intensif dibandingkan
95
jajaran SKPD yang lain selain Dinkes khususnya. Sebab belum ada payung hukum yang

kuat bagi SKPD untuk mampu dan mau melakukan program penanggulangan

HIV&AIDS yang lebih intensif dan inovatif sehinggaprogram yang selama ini berjalan

terkesan hanya setengah hati, belum dapat maksimal seperti yang sudah di cantumkan

dalam tabel pembagian program dan kegiatan diatas.

4.1.A Komunikasi Intensif dari Ketiga Stakeholder

Dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, komunikasi antar tiga stakeholder

berjalan aktif. Terutama pada saat penetapan keputusan terkait implementasi kegaiatan

atau pencapaian suatu kegiatan. Intensitas komunikasi antara satu pihak dengan pihak

yang lainya berbeda-beda. Sekali lagi dalam hal ini posisi KPA yang bertindak sebagai

koordinator dan fasilitator pada kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS di Sleman,

yang banyak berinteraksi ke semua pihak baik dengan LSM, Dinkes maupaun jajaran

SKPD lainya yang terlibat. Komunikasi yang dilakukan bersifat fleksibel artinya tidak

ada batas dalam menjalin komunikasi setiap saat kepada siapapun. Adapun strategi

komunikasi yang dilakukan yakni setiap ada sesuatu hal yang perlu dikomunikasikan,

KPA, LSM ataupun Dinas Kesehatan langsung menghubungi pihak lainya. Baik secara

langsung maupun tidak langsung. Misalnya ketika stock kondom dan pelicin habis pada

outlet LSM segera mengubungi KPA, LSM meminta dari KPA atau Dinkes agar layanan

VCT mobile di komunitas atau menemukan kasus ODHA yang bermasalah dan butuh

bantuan dari KPA mereka segera komunikasikan kepada pihak yang bersangkutan.

Begitu pula dengan KPA maupun Dinas Kesehatan apabila ada hal yang harus

disampaikan atau di tanyakan kepada pihak LSM mereka segera mengubungi oncall,

96
sosial media lain atau melalui surat misalnya pihak LSM diminta sebagai narasumber

dalam kegiatan bimbingan teknis HIV dan AIDS, pertemuan LKB, sosialisasi HIV dan

AIDS diminta membantu pemetaan populasi kunci dan sebagainya. Pihak LSM tidak

pernah menutupi kegiatan yang telah dilakukan dan apa yang diminta oleh pihak Dinas

Kesehatan ataupun KPA selama itu masih bisa dikerjakan atau sesuai kapasitas pihak

LSM maka permintaan tersebut akan dipenuhi. Sedangkan komunikasi dalam bentuk

formal terdapat pada beberapa forum-forum pertemuan yang difasilitasi oleh KPA seperti

yang terdapat pada table dibawah ini:

Tabel.5 : Forum pertemuan dalam collaborative governance penanggulangan AIDS di Sleman 2016

No Nama Forum Peserta Sifat

1 Pertemuan Kemitraan Mitra KPA atau Anggota KPA Formal

2 Pertemuan PMTS Pemangku Kepentingan seperti Formal


aparat desa, dan populasi kunci
LSL, komunitas WPSTL , LSM

3 Pertemuan Monitoring dan Evaluasi Anggota KPA, Semua SKPD, Formal


dan LSM

4 Pertemuan Harm Reduction Penasun, Pemangku kepentingan Formal


Satpol PP dan POLRES, LSM

5 Pertemuan populasi Kunci LSL Komunitas LSL dan LSM Formal


(Homoseksual)

6 Pertemuan populasi Kunci WPS (Wanita Komunitas WPS, dan LSM Formal
Pekerja Seks)

7 Pertemuan LKB ( Layanan Komprehensip Seluruh Puskesmas dan LSM Formal


Berkelanjutan) Peduli AIDS di Kabupaten
Sleman

8 Pertemuan LKB Pada tingkat bawah Seluruh Pemerintah Desa dan Formal
kecamatan, Perwakilan Tokoh
Maysarakat dan Agama, dan
LSM di Kabupaten Sleman

9 Pertemuan pokja lokasi Prambanan dan Komunitas dan kelompok kerja, Formal
Pokja Lokasi Jombor LSM, pemangku kepentingan

10 Sosialisasi HIV dan AIDS pada remaja Perwakilan remaja dari beberapa Formal
usia 15-24 tahun wilayah

97
Lanjutan :Forum pertemuan dalam collaborative governance penanggulangan AIDSdi Sleman 2016

11 Sosialisasi HIV dan AIDS padadipekerja


Sleman Pekerja
2016 swasta dan LBT Formal
swasta dan LBT (laki-laki berisiko Tinggi)

12 Supervisi Layanan Puskesmas seluruh Sleman Formal

13 Hari AIDS Nasional 2016 Mitra KPA atau Anggota KPA Formal

14 Pertemuan Outlet Kondom Puskesmas seluruh sleman Formal

Sumber :Hasil wawancara dengan KPA Sleman

Forum pertemuan diatas memang dirancang oleh KPA untuk terus memastikan

bahwa upaya-upaya penanggulangan HIV dan AIDS antar lintas sector bisa berjalan baik

dan sinergisdalam forum-forum tersebut membahas bersama menangani apa yang

menjadi persoalan di lapangan dalam penanggulangan HIV dan AIDS untuk segera

dicarikan solusinya serta sebagai sarana untuk menyampaikan capaian dari kegiatan atau

target yang sudah berhasil dilaksanakan dan diraih masing-masing pihak. Sehingga KPA

pada kegiatan diatas berperan proaktif dalam berkomunikasi atau berkoordinasi dengan

pihak yang bersangkutan bahkan tak jarang KPA juga terlibat langsung untuk terjun ke

lapangan bersama populasi kunci, LSM, pemangku kepentingan wilayah, petugas

kesehatan dsb. Dengan demikian komunikasi yang dilakukan KPA kepada semua pihak

memang mayoritas bersifat formal (rapat) dan dilakukan secara intensif, namun tidak

menutup kemungkinan komunikasi yang dibangun antara keduanya yakni KPA dan

seluruh mitranya juga bersifat informal (tatap muka biasa) dan fleksibel artinya tidak ada

batas dalam menjalin komunikasi setiap saat kepada siapapun.

Adapaun strategi berkomunikasi yang dilakukan yakni setiap ada sesuatu hal

yang perlu dikomunikasikan KPA maupun jajaran mitranya langsung saling

menghubungi. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti pihak-pihak LSM

yang bertindak sebagai pelaksana utama dilapangan yang sering menjangkau populasi

kunci dan yang banyak berinteraksi dengan masyarakat apabila menjumpai masalah

98
dilapangan dalam akses layanan bagi ODHA misalnya, KPA dimintai bantuan untuk

membantu menyelesaikan persoalan tersebut dan ada kalanya pula KPA diundang

berkolaborasi oleh LSM maupun kelompok kerja dalam menyelenggarakan suatu

kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS diwaktu tertentu sesuai kebutuhan agenda dari

masing-masing pihak.

Biasanya dalam mempertemukan semua stakeholder komunikasi yang dilakukan

adalah memeberitahuakan melalui surat undangan secara formal. Dapat dilihat pada table

diatas peserta yang mengikuti forum tersebut mayoritas LSM selalu dilibatkan, dalam

forum pertemuan tersebut LSM, Dinas Kesehatan ataupun KPA sama-sama

menyampaikan capaianya dan temuan persoalan apa saja yang ada dilapangan kemudian

mereka diskusikan bersama untuk mendapatkan solusinya. Sebagai contoh dalam forum

LKB pada tanggal 04 Oktober 2016 di Rumah Dinas Bupati Sleman yang bertujuan

menyampaikan hasil capaian LKB,menyampaikan hasil penjangkauan, serta penguatan

jejaring dan koordinasi antar stakeholder untuk peningkatan layanan.

Forum tersebut dihadiri oleh seluruh Puskesmas di Kabupaten Sleman, KPA,

Dinas Kesehatan, dan LSM Peduli AIDS di Sleman yakni Yayasan Vesta Indonesia

(YVI), Yayasan Victory Plus, OPSI DIY, Kebaya dan ARMETh, pada forum tersebut

secara bergantian KPA, Dinas Kesehatan dan Yayasan Vesta Indoensia menyampaikan

masing-masing capaian kegiatannya.Dinas Kesehatan bersama layanan puskesmas

melaporkan capaian test IMS dan VCT dan VCT mobile yang telah dilakukan, KPA

menyampaikan hasil supervisi layanan LKB atau kepada populasi kunci, dan YVI juga

menyampaikan hasil jangkauanya dari populasi kunci.

99
Pada saat sesi diskusi semua peserta dan pembicara yang hadir aktif

menyampaikan pertanyaan atau pendapatnya untuk bersama-sama menemukan solusi atas

persolan yang ada dilapangan. Sebagai contoh ada puskesmas yang belum mencapai

target dalam VCT Mobile, maka YVI menawarkan bantuan untuk bisa memenuhi target

tersebut dengan cara VCT Mobile pada populasi kunci yang telah dikoordinir oleh YVI.

Komunikasi aktif yang serupa antara KPA, LSM Peduli HIV dan AIDS Sleman

juga Dinas Kesehatan terus terjadi pada forum-forum pertemuan lain dengan peserta yang

berbeda semisal pertemuan PMTS, Pertemuan Harm Reductions, Pertemuan Monev,

Pertemuan LSL, Pertemuan Pokja Lokasi Jombor dan Prambanan.

Pada dasarnya komunikasi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Sleman

masih pada tahap ekplorasi. Pengelempokan ini merujuk pada transisi aktifitas kolaborasi

yang dikelompokan oleh Tirrel dan Clay (2010) menurutnya, pertemuan dalam suatu

kolaborasi yang masih dilakukan dalam bentuk formal dan informal dikategorikan

sebagai tahap ekplorasi. Struktur dan operasional suadah mulai dikembangkan lebih

lanjut. Praktik collaborative governance yang dilakukan dalam program penanggulangan

HIV dan AIDS tahun 2008 sampai tahun ke delapan 2016 terus mengalami kemajuan.

Terdapat perubahan transisi yang signifikan dari tahap ekplorasi ke tahap formalisasi

sekarang ini. Hal itu ditunjukan dengan adanya forum-forum yang melibatkan multipihak

untuk membahas langkah atau struktur kolaborasi, prosedur/strategi pelaksanaanya,

merumuskan parameter keberhasilan dan tujuan seperti forum kemitraan yang selalu

rutin terlaksana seperti yang telah di rencanakan khususnya oleh KPA.

100
4.2 Motivasi Bersama (Shared Motivation) yang Besar Antar Ketiga Stakeholder

Motivasi merupakan salah satu isu paling utama dalam kajian collaborative

governance. Motivasi dipahami sebagai suatu proses kolaboratif yang sangat penting.

Sehingga Emerson, Natabatchi dan Balogh (2011) menjadikan aspek motivasi sebagaian

bagian utama dalam dinamika kolaborasi. Tanpa motivasi yang kuat, kecil kemungkinan

pihak-pihak yang terlibat dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Sleman ikut

bekerjasama dengan semangat yang tinggi. Tentu ada nilai bersama yang diinternalisasi

secara bersama. Antara Dinas Kesehatan,KPA dan pihak LSM dalam melaksanakan

program penanggulangan HIV dan AIDS bersama-sama terjun langsung ke masyarakat

atau populasi kunci untuk melihat perkembangan kegiatan yang telah berjalan atau

meninjau langsung persoalan yang terjadi dilapanngan. Ada impian yang ingin diraih

sehingga motivasi untuk berbuat selalu ada. Hal yang sama juga terjadi pada saat

pengambilan keputusan pertemuan diselingi oleh motivasi kolaborator. Kepala Bidang

P2PL Dinas Kabupaten Sleman Dr.Wisnu salut dan mengapresiasi atas motivasi

kerjasama LSM pedulli HIV dan AIDS di Sleman ini. Para pihak tidak mengharapkan

apa-apa selain tercapainya tujuan bersama guna menurukan angka penularan HIV dan

AIDS.

Elemen yang terkait dengan motivasi meliputi saling percaya, saling memahami,

legitimasi internal dan komitmen bersama. Berbicara motivasi tentu tidak terlepas dari

individu para kolaborator. Bagaimanapun juga, motivasi lembaga sulit dipisahkan dari

motivasi personal yang menggerakkan lembaga tersebut. Beberapa nilai sudah

terintegrasi dalam lembaga dan individu dengan baik. Karena memang program

penanggulangan HIV dan AIDS sangat memerlukan keterlibatan dan motivasi dari

101
banyak pihak untuk dapat mewujudkanya. Meskipun masing-masing pihak itu perwakilan

dari berbagai instansi yang berbeda-beda, tetap saja aspek personal menjadi bagian yang

terpisahkan dari kolaborasi. Aspek personal yang dimaksud adalah orang-orang yang

banyak memainkan peran kelembagaan dalam collaborative governance.

Perwakilan utama dari jajaran pemerintahan/aktor negara ialah Bupati selaku

ketua KPA Kabupaten Sleman namun mendelegasikan wewenangnya untuk

melaksanakan tugas harian yang diberikan kepada Sekretaris 1 yakni Drs. H. Mulyanto,

MM, dan dibantu oleh pelaksana program dilapangan Dwi Suharyanto, dan dari Dinas

Kesehatan yang banyak aktif terlibat menanggulangi HIV dan AIDS khususnya adalah di

Bidang P2PL yang di pimpin oleh Dr. Wisnu. Kemudian perwakilan utama dari Pihak

Yayasan Vesta Indonesia adalah Ahmad Zubair (Koordinator Monev), Yayasan Victory

Plus adalah Samuel (Direktur) dan Yan Michael (Manajer Program) dan PKBI

diwakilkan oleh Luna (Direktur). Mereka inilah orang-orang inti dalam kolaborasi yang

dimandat oleh instansinya masing-masing. Dan setiap SKPD pun sebenarnya punya

kewajiban dalam mengirimkan salah satu anggotanya untuk menjadi Tim HIV dan AIDS

di Sleman.

Pada prinsipnya, penjelasan terkait motivasi kelembagaan kolaboratif dalam

penggulangan HIV dan AIDS di Sleman tetap dikaitkan dengan motivasi kelembagaan

organisasi yang terlibat atau sebagai akumulasi kelembagaan dari pihak-pihak yang

terlibat dalam kolaborasi. Tentunya, praktik kolaborasi akan berjalan kurang sempurna

jika ada minimal satu pihak yang tidak menguatkan motivasinya. Motivasi inilah sebagai

penggerak utama terciptanya hubungan harmonis diantara kolaborator. Adanya upaya

penanggulangan HIV&AIDS yang seperti sekarang ini sebagai wujud dari collaborative

102
govevernance eksis karena ada motvasi kelembagaan khususnya antara ketiga

stakeholder yakani KPA, Dinas Kesehatan dan LSM Peduli AIDS di Sleman.

4.2.A Ketiga Stakeholder Menunjukkan Kinerja Baik dan Transparansi Untuk Saling

Percaya/ Membangun Kepercayaan (Trust Buliding)

Dalam jurnal Emerson dkk (2011) terkait kerangka integrative collaborative

governance disebutkan bahwa trust building (membangun kepercayaan) menjadi

komponen yang penting dalam keberlangsungan tindakan kolaboratif. Rasa saling

percaya muncul pada program penaggulangan HIV dan AIDS di Sleman karena kinerja

baik diperlihatkan oleh masing-masing pihak. Memang pada umumnya antara

kepercayaan dengan kinerja selalu berbanding lurus. Semakin baikkinerja maka

kepercayaan akan semakin meningkat.

Dari tahun ke tahun semua pihak yang terlibat dalam penanggulangan HIV dan

AIDS di Sleman dalam hal ini mitra KPA, masing-masing telah memberikan kinerja

terbaiknya sesuai tugas dan fungsi pokoknya sehinga KPA semakin percaya kepada pihak

yang terlibat. Ini ditandai ucapan syukur dan apresiasi oleh Wakil Ketua KPA maupun

Kepala Sekretariat KPA atas kerjasama multipihak dalam menanggulangi HIV dan AIDS

di Sleman. Bagaimanapun program ini tidak akan efektif bila dilakukan hanya satu pihak

saja sehingga mau tidak mau semua pihak harus bahu-membahu dan saling percaya

kepada satu sama lain dengan tupoksinya masing-masing dalam melakukan program

penanggulangan HIV dan AIDS.

103
Sekretaris Penuh KPA Kabupaten Sleman memberikan pernyataan terkait hal itu

dalam petikan wawancara berikut:

“Komunikasi yang terjalin selama ini menunjukan hal yang bagus ya dengan
pihak LSMdan ketika menyampaikan data atau laporan pun dari LSM itu lebih
rinci lagi biasanya kana ada penjangkauan dan pendampingan, ya bisa dikatakan
pihak LSM itu kepanjangan tangan KPA, maka dari itu tak mungkin KPA
berjalan tanpa koordinasi dengan mereka atau pihak lainya. Ya memang diKPA
harus pandai-pandai memanfaatkanitu. insentifnya bagi mereka ya mereka kan
juga memiliki program intern jadi sama-sama bisa jalan lahprogramnya, dan kalo
kami undang ya kitaya kasih dana transport dan konsum ya gitu aja nda ada yang
bersifat ekonomi itu nda ada, mereka nda cari uang disini”.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Koordinator Monev YVI yang menyatakan bahwa:
“ selama ini kami membangun kepercaanya ya dengan melakukan kinerja nyata
apa yang kita kerjaan bisa dilihat data-data yang diberikanpun dapat dikonfirmasi,
begitu juga jika KPA atau Dinkes membutuhkan suatu data dari kami kamipun
akan berikan. Kalo memebuktikan baik atau ndanya kan buktinya kami bisa
bertahan sampai saat ini bermitra dengan KPA dari pertama kali KPA ada sampai
sekrang kerjasma terus berjalan. kalo bisa lama seperti inikan komunikasi terjalin
denga baik dan saling percaya. sejauh ini kami selalu dilibatkan tentang program-
program penanggulanga HIV dan AIDS baik yg dilaksnakan dinkes atau KPA,
jika mereka ada hal yang membingungkan atau ingin ditanyakan mereka juga
segera menghubungi kami”.
Dalam salah satu peretemuanyang berhasil diikuti oleh peneliti yakni pertemuan

LKB (Layanan Komprehensip Berkesinambungan) dimana persertanya adalah

perwakilan seluruh puskesmas yang ada di Sleman, RSUD Sleman,Dinkes, KPA seluruh

LSM Peduli AIDS yakni Yayasan Vesta Indonesia, Yayasan Victory Plus, Kebaya, OPSI,

ARMETh, serta KPA, Dinkes, Yayasan Vesta Indonesia menjadi salah satu narasumber

dalam forum tersebut, ketiganya terlebih dulu menyampaikan hasil capaian kegiatanya

masing-masing dalam mennaggulangi HIV dan AIDS, suasana dalam forum pun

menunjukan hal yang sama, komunikasi antara seluruh peserta berjalan dengan aktif,

bahkan dr Wisnu selaku Kepala Bidang P2PL Dinas Kesehatan Sleman memberikan

104
apresiasi yang baik terhadap capian yang telah dilakukan YVI bersama timnya dalam

melakukan penjangkauan.

Pernyataan diatas menggambarkan bahwa upaya saling percaya dalam

penanggulangan HIV dan AIDS antara pihak KPA, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman

dan LSM Peduli AIDSini sudah baik. Rasa saling percaya tidak hanya ada pada saat

pelaksanaan dan pelaporan atau pada hal yang bersifat operasional saja, ketika

pengambilan keputusan dalam suatu forum pun demikian. Pihak Dinas Kesehatan

bahkan selalu menyarankan agar Pihak Puskesmas supaya melibatkan Pihak LSM untuk

membantu dalam memenuhi target test VCT dan pendampingan ODHA maka dari itu

dihimbau untuk semua puskesmas supaya menyimpan nomor telepon dari tiap-tiap

personil pihak LSM agar memudahkan untuk berkoordinasi.

Intinya, masing-masing pihak saling membangun kepercayaan satu dengan yang

lainnya berdasarkan pada tugas dan perannya masing-masing dalam program

penanggulangan HIV dan AIDS. Kepercayaan berawal dari kinerja yang baik.Secara

umum, ketiga stakeholder sudah bekerja sesuai dengan tugasyang dipercayakan.

4.2.B Menyamakan Persepsi dan Kerjasama Merupakan Bentuk Saling Memahami

Antar Ketiga Stakeholder

Saling memahami atau shared understanding juga menjadi aspek utama pula

dalam menjalankan suatu collaborative governance, penjelasan saling memahami

lebih berkaitan dengan kapasitas pihak yang terlibat untuk mau memahami dan

bekerja bersama. Dalam penaggulangan HIV dan AIDS yang dilakukan oleh

KPA,Dinas Kesehatan dan LSM Peduli AIDS semuanya saling memahami. Contoh

105
pada saat pertemuan PMTS jika ada yang tidak paham akan kapasitasnya dan apa

yang harus dilakukan untuk mengatasi hal tersebut pihak lain memberikan

pemahaman dan solusi bersama.

Keterbukaan informasi dan mengemukakan pendapat selama ini berjalan dengan

baik, semua pihak sama-sama mengungkapakan kondisi nyata di lapanganterkait

dengan persoalan yang dihadapi, memang dalam forum tersebut selain digunakan

untuk berkoordinasi tetapi juga ajang untuk menyamakan persepsi dan pemahaman

bersama bukti konkritnya adalah pada forum PMTS itu akan membangun

kesepakatan bersama dalam pelaksanaan program PMTS dengan integrasi program

dari pemangku kepentingan sehingga program yang dijalankan dapat berjalan secara

komprehensif.

Sebagai contoh semua pihak memahami adanya peran Polres dan Pol PP adalah

melakukan tupoksi untuk menegakkan Perda. Polisi melakukan penegakan hukum

dan razia narkoba. Namun perlu strategi khusus untuk sinkronisasi program dengan

pihak lain misalnya pihak LSM seabgai penjangkau ke penasun (pengguna narkoba

jarum suntik) untuk memberikan jarum suntik steril, pejngkau tersebut tidak boleh

ditangkap namun apabila terbukti melakukan pelanggaran pihak kepolisisan berhak

menangkapnya.Kemudian pihak LSM-LSM Peduli AIDS juga memahami fungsi dan

tugas KPA sebagai koordinator penanggulangan AIDS di Sleman sehingga apabila

menemui kesulitan di lapangan atau ingin bekerja sama dengan dinas lain harus

dikomunikasikan terlebih dahulu ke KPA.

106
4.2.C Bentuk Komitmen Bersama Antar Ketiga Stakeholder Melalui Pencapaian Program

Komitmen bersama dalam program penanggulangan HIV&AIDS terkait dengan

totalitas organisasi yang terlibat. Bukan hanya dilihat dari individu yang mewakili

organisasi totalitas mencakup semua pihak yang terlibat atau berkepentingan. Komitmen

bersama itu harus dibuktikan secara menyeluruh oleh pihak berkepentingan. Komitmen

perlu kuat di internal organisasi sebelum diperluas pada sebuah kolaborasi. Karena

nantinya apabila ada salah satu pihak yang belum memiliki komitmen secara utuh maka

akan sulit untuk mencapai hasil yang maksimal. Sudah tentu dalam hal ini individu–

individu yang ada dalam organisasi itu mendukung jalanya program penanggulangan

HIV&AIDS, untuk aspek ini komitmen antar organisasi atau tiga stakeholder sudah baik

juga intensif juga sudah baik.

Komitmen dari masing-masing stakeholder ditunjukan melalui program yang di

jalankan sesuai kapasitasnya masing-masing dengan baik dalam rangka menanaggulangi

HIV&AIDS di Sleman. Komitmen dari Dinas Kesehatan Sleman misalnya sesuai

tupoksinya mereka bertugas meningkatkan sarana dan prasarana layanan kesehatan untuk

pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, buktinya adalah tahun ini Sleman

adalah satu-satunya Kabupaten di DIY yang seluruh puskesmasnya bisa melayani test

VCT dan IMS serta memiliki Layanan Komprehensip Berkelanjutan (LKB) hal ini

sengaja dilakukan karena memang saat ini strategi Kabupaten Sleman dalam

menanggulangi HIV dan AIDS adalah mengedepankan untuk menemukan kasus

HIVsebanyak-banyaknya terlebih dahulu maka tidak heran angka kasus HIV di Sleman

tertinggi di DIY, setelah tahap ini kemudian untuk selanjutnya adalah orang yang

terinfeksi HIV tersebut dipertahankan untuk didampingi mengkases pengobatan.

107
sehingga laju penyebaran virus HIV untuk bisa menjadi AIDS bisa di tekan tingkat

kecepatannya.

Sedangkan dari pihak LSM menunjukan komitmennya dengan capaian kegiatan

atau program yang telah dilakukanserta selalu memenuhi undangan dari pihak KPA atau

Dinas Kesehatan.Sedangkan KPA komitmenya ditunjukan dalam menginisiasi

kerjasama-kerjasama untuk penanggulangan HIV dan AIDS buktinya mereka telah

mengadakan pertemuan yang meilbatkan seluruh SKPD mendorong seluruh SKPD

terlibat dalampenanggulangan HIV dan AIDS di Sleman melalui integrasi program di

setiap SKPD.Hal itu dilakukan karena memang belum ada payung hukum yang kuat

khususnya di Sleman bagi SKPD dalam menyelenggarakan program HIV dan AIDS

secara khusus dalam anggaran mereka.Namun sebenarnya apabila diprioritaskan oleh

SKPD itu sendiri masih bisa saja untuk dimunculkan di anggraran.

4.2.D Adanya Regulasi dan MoU Antar Ketiga Stakeholder Menjadi Legitimasi

Internal yang Cukup Kuat

Kolaborasi penanggulangan HIV& AIDS dilaksanakan selama 8 tahun sejak

dibentuknya KPA Sleman tahun 2008 hingga 2016 ini. Strategi pertamakali dalam

membangun kolaborasi melalui adanya struktur organisasi KPA adalah dengan cara

mengundang seluruh stakeholder yang tercantum dalam SK Bupati Sleman Nomor

320/Kep. KDH/A/2008 Tentang Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Sleman dalam

forum pertemuan kolaborasi kemudian brainstorming issu HIV&AIDS pentingnya kasus

ini ditanggulangi oleh multi pihak kemudian membahas program kerja dan kegiatan yang

akan dilakukan oleh masing-masing stakeholder. Pelaksanaan kegiatan disepakati bersama

108
dalam bentuk tertulis yang berbentuk nota kesepakatan (MoU) namun bukan perjanjian

kerjasama.

Meskipun hanya MoU yang melandasi kolaborasi ini yang sejatinya, MoU itu

belumlah melahirkan suatu Hubungan Hukum namun MoU baru merupakan persetujuan

prinsip yang dituangkan secara tertulis. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, MoUyang

dituangkan secara tertulis baru menciptakan suatu awal yang menjadi landasan penyusunan

dalam melakukan hubungan hukum/perjanjian.Kekuatan mengikat dan memaksa MoU

pada dasarnya sama halnya dengan perjanjian itu sendiri. Walaupun secara khusus tidak

ada pengaturan tentang MoU dan materi muatan MoU itu diserahkan kepada para pihak

yang membuatnya di samping itu, walaupun MoU merupakan perjanjian pendahuluan,

bukan berarti MoU tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi para

pihak untuk mentaatinyaatau melaksanakannya.Sehingga dalam kolaborasi ini memang

tidak ada sanksi yang megikat bagi salah satu stakeholder apabila tidak melakukan

program kegiatan pennaggulangan HIV&AIDS sesuai kesepakatan namun kolaborasi ini

tetap diawasi oleh Badan Pengawas Daerah (Bawasda) Sleman.

Diawal pembentukan KPA memang agak lama membangun kesadaran untuk

berkolaborasi karena masih banyak yang beranggapan bahwa penannggulangan HIV dan

AIDS ini hanyalah tanggung jawab dari Dinas Kesehatan saja.Namun seiring berjalannya

waktu terlihat masing-masing stakeholder memperkuat hubungan antar pihak. MoU yang

telah ditandatangani kerjasama dalam penanggulangan HIV&AIDS sejak tahun 2008 yakni

terbentuknya KPA Sleman menjadi landasan normatif yang cukup mengikat untuk sebuah

legitimasi kolaborasi. Namun lebih dari itu sebenarnya internalisasi legitimasi kedalam

masing-masing stakeholder jauh lebih penting. Legitimasi tidak hanya sekadar diatas

109
kertas. Kolaborasi antar stakeholder berhasil berlangsung hingga saat ini walaupun terjadi

pergantian Bupati Sleman. Program-program yang dilakukan setiap tahunnya oleh masing-

masing stakeholder beragam didasarkan pada kapasitasnya maisng-masing.

Legitimasi internal yang dilakukan oleh ketiga stakeholder yakni KPA, Dinas

kesehatan dan LSM Peduli AIDS di Sleman selama ini sudah berjalan cukup baik namun

perlu ditingkatkan lagi. Legitimasi internal yang kuat mulai muncul dalam kolaborasi ini

ditandai dengan adanya upaya mobilisasi anggota organisasi dari setiap stakeholder,

artinya legitimasi internal bukan hanya milik individu saja. Dalam menjalankan program

sesuai tupoksinya masing-masing stakeholder mempunyai kesadaran untuk menjalankan

program tersebut berusaha untuk selalu menjalin kerjasama karena memang program tidak

bisa terlaksana apabila dikerjakan hanya oleh satu instansi saja.

Hal ini terjadi baik di level atasan (pimpinan atau orang yang mempunyai

wewenang untuk mengambil keputusan) atau bawahan dalam arti stakeholder yang

langsung berinteraksi atau memberi pelayanan kepada populasi kunci, ODHA atau

masyarakat seperti petugas lapangan pada LSM ataupun petugas puskesmas.Legitimasi

kolaborasi dalam program penanggulangan HIV&AIDS ini beranjak dari pengakuan

individu kemudian terus berproses menjadi pengakuan oleh semua organisasi dan menjadi

pengakuan holistik oleh semua stakeholder yang terlibat sedangkan legitimasi internal

menuntun pula pada aksi kolektif yang signifikan.

110
4.3 Kapasitas Melakukan Aksi Bersama (Capacity of Join Action)Ketiga Stakeholder
Memiliki Beberapa Tantangan Pada Keterbatasan Sumberdaya dan Terbatasnya
Kemampuan Mengelola Kelembagaan Kolaboratif

Selain keterlibatan dan motivasi bersama sebagai isu utama dalam collaborative

governance pada penanggulangan HIV dan AIDS di Sleman, kapasitas untuk aksi juga

berda pada posisi yang sama. Ketiga aspek tersebut (ketrlibatan, motivasi dan kapasitas)

merupakan nilai yang harus ada pada dinamika suatu collaborative governance dengan

kata lain ketiga aspek tersebut menunjukan nilai sebuah proses dalam kerjasama antara

organisasi atau indiividu dan saling mempengaruhi kinerja kolaborasi. Sehingga untuk

meraih kolaborasi yang baik dan efektif maka ketiga aspek harus baik pula. Kapasitas ini

berhubungan dengan kemampuan organisasi atau individu yang terlibat dalam

penanggulangan HIV&AIDS di Sleman dalam mencapai hasil yang efektif, efisien dan

berkelanjutan.

Hal yang ditekankan dalam kapasitas untuk aksi yakni sejauhmana kolaborasi

tersebut mengelola prinsip-prinsip kelembagaan, kepemimpinan, dan sumber daya.Bila

berdasar pada profil organisasi, para kolaborator tidak diragukan lagi mengelola praktik

kolaborasi. KPA dibentuk pada tahun 2010 memang bertujuan untuk mngkolaborasikan

atau mengkoordinir semua program penanggulangan HIV&AIDS. Dinas Kesehatan

Kabupaten Sleman juga memiliki otoritas dan kapasitas yang mumpuni sesuai peranya

dalam meningkatkan layanan kesehatan hingga ke tingkatan paling bawah yakni

puskesmas dan kader-kader kesehatanya. LSM Peduli HIV&AIDS pun tentu memilliki

banyak pengalaman yang cukup banyak dalam melakukan penanggulangan HIV&AIDS

sesuai fokusnya masing-masing darimulai edukasi, penjangkauan, pendampingan ODHA

111
hingga pemberdayaan ODHA dsb. Pada prinsipnya suatu kolaborasi akan selalu kuat

apabila pihak yang berkolaborasi juga kuat.

Namun pada sisi tertentu kolaborasi akan mengalami kendala apabila salah satu

dari pihak kolaborator tidak melaksanakan fungsinya secara maksimal.Program

penanggulangan HIV&AIDS seperti tentu bukan hanya tanggung jawab pihak Dinas

Kesehatan, KPA atau LSM Peduli AIDS semata namun program ini menjadi tanggung

jawab semua elemen masyarakat.Maka dari itu dibentuklah KPA beserta program-

program yang meliputi lintas sektor atau multi pihak. Sebagai contoh struktur organisasi

KPA sendiri yang terdiri dari lintas sektor di Kabupaten Sleman dalam praktiknya

menjalankan program dilapangan mengalami persoalan yang cukup serius terutama

terjadi pada jajaran SKPD di Kabupaten Sleman.

Meskipun telah didorong untuk melakukan program penanggulangan HIV&AIDS

pada bidang SKPD nya masing-masing ada sebagian SKPD yang masih merasa bingung

dalam melaksanakan program tersebut dan bahkan terkesan sekadarnya saja program

penanggulangan HIV&AIDS pada SKPD selain Dinkes umunya belum bisa dijadikan

salah satu program prioritas. Sebagai contoh Dinas Tenaga Kerja dan Sosisal mereka

menyisipkan megenai bahaya HIV&AIDS pada pertemuan Sosialisasi BPJS

Ketenagakerjaan dan Kesehatan Bagi Tenaga Kerja pada tanggal 28 Agustus 2016

dimana pesertanya adalah perwakilan HRD dari semua perushaan BUMD atau BUMS

yang ada di Kabupaten Sleman kampanye penanggulangan HIV&AIDS disampaikan

oleh Kepala Badan Pengawasan Tenaga Kerja Kabupaten Sleman hanya selama kurang

dari dua menit di bagian akhir acara.

112
“Selain mengenai pentingnya BPJS tadi penting juga bagi kita untuk mewaspadai
adanya penyakit menular di sekitar kita khususnya di lingkungan kerja seperti
adanya HIV dan AIDS TB dsb maka dari itu mohon bapak ibu disini bisa
mengadakan kegaitan-kegiatan penanggulangan untuk penyakit-penyakit tersebut,
untuk mengadakanya bapak ibu bisa bekerjasama dengan kami dinas tenaga kerja,
atau puskesmas terdekat, dinas kesehatan atau dengan komisi Penanggulangan
AIDS nanti akan kami bantu fasilitasi. Nah mungkin itu saja pertemuan siang hari
ini, terimakasih atas partisipasi bapak ibu, kami juga mohon maaf apabila dalam
menyambut bapak ibu ada hal yang kurang berkenan wabilahi taufik walhidayah
wassalamualaikum wr.wb”.
Idealnya apabila ingin menysipkan kampanye tentang penaggulangan HIV&AIDS

bagi setiaap SKPD bisa lebih di mkasimalkan lagi seperti menyediakan sesi tersendiri

sosialsiasi HIV dan AIDS secara khusus dan mengadirkan narasumber yang mumpuni.

Hal tersebut pada akhirnya akan menghambat ketercapaianya maksimum kegiatan demi

kegiatan di setiap SKPD. Kemauan dan kemampuan beberapa SKPD mencerminkan

kapasitasdan political will yang belum maksimal dalam penanggulangan HIV&AIDS.

4.3.A Keterbatasan Anggota KPA Dalam Mengelola Kelembagaan Kolaboatif

Hakikatnya kelembagaan adalah salah satu kajian utama governance. Praktek

governance menggambarkan sebuah proses dan kelembagaan, oleh karena itu kajian

mengenai kelembagaan kolaboratif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam melihat

collaborative governance dibidang penanggulangan HIV&AIDS ini. Aspek kelembagaan

disini berhubungan erat dengan persoalan nilai, norma dan aturan yang melekat

dalamhubungan kerjasama antara organisasi atau individu serta dimaknai bagiamana

organisasi atau individu itu melakukan hubungan interaksi. Perangkat yang normatif

mencakup hal-hal yang tertulis atau tersirat dalam kolaborasi, sedangkan hubungan

interaksi meliputi tindakan yang dilakukan dalam suatu kolaborasi. Kedua aspek tersebut

akan terus melekat dan menjadi kesatuan yang utuh dalam melihat kelembagaan.

113
Kelembagan selalu melekat dengan norma yang ada dan tindakan yang dilakukan,

tentunya melekat pada organisasi atau individu yang ada dalam sebuah kolaborasi. Dalam

Program Penaggulangan HIV&AIDS. Dalam program penanggulangan HIV&AIDS

kelembagaan sudah ada yakni melalui adanya KPA. Persoalan kemudian apakah itu baik

atau buruk akan saangat tergantung pada hal yang terkait dengan kelembagaan itu sendiri,

disinilah pentingnya penataan sebagai bagian dari kemampuan mengelola. Setelah

dilakukan analaisis data pada kasus yang diteliti, struktur organisasi KPA sudah jelas

melibatkan banyak instasi dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dalam

menanggulangai HIV dan AIDS seperti yang tercantum dibawah ini:

Struktur Organisasi KPA

Ketua : Bupati
Ketua Pelaksana : Asisten Sekda Bidang Pembangunan
Wakil Ketua I : Ka.Dinas Kesehatan
Wakil Ketua II : Ka.Dinas Tenaga Kerja dan Sosial
Sekretaris I : Tenaga Penuh Waktu yang ditunjuk
Sekretaris II :Ka.Bagian Kesejahteraan Rakyat Setda
Anggota :
1. Kepolisian Resort Sleman
2. Lapas Narkotika Klas II A Pakem
3. Bappeda
4. Badan KB, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
5. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
6. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah raga
7. Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika
8. RSUD Sleman
9. Lapas Klas IIB Sleman
10. Kantor Kementerian Agama
11. RSUD Prambanan
12. Palang Merah Indonesia Sleman
13. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Cab. Sleman
14. Yayasan Victory Plus Propinsi DIY
15. Yayasan Vesta Indonesia
16. PKBI Sleman
17. LSM Kebaya
Sumber : Dokumen KPA

114
Dalam menjalankan tugas dan fungsi pokoknya sesuai UU Nomor 75 Tahun 20016

tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional yang mengatur juga KPA Provinsi dan

Kota/Kabupaten, KPA akan di bantu oleh Tim Pelaksana, Tim Pelaksana yang dimaksud

adalah Sekretariat KPA.Tim pelaksana dalam KPA sejauh ini sudah bekerja dengan baik,

karena KPA ini merupakan organisasi multi pihak dengan beragam latar belakang dan

kulturpada msing-masing pihak lembaga maka tentu mengalamai beberapa tantangan.

Khususnya bagi SKPD selain Dinas Kesehatan ada sebagian mereka yang masih belum

maksimal dalam berkontribusi pada penanggulangan HIV&AIDS di Sleman meskipun

mereka tetap termasuk dalam keanggotaan KPA, hal ini dibuktikan ketika mereka

mengikuti rapat dengan selalu berganti-ganti utusan bahkan sama sekali tidak datang

rapat yang diselenggarakan oleh Sekretaris KPA sehingga kadang kala informasi yang

didapat dalam forum koordinasi terputus, tidak tersampaikan kepada pimpinan.

Sekretaris KPA pun sudah berinisiatif untuk membentuk setiap perwakilan yang

berkompeten menjadi Tim HIV dan AIDS di Sleman bagi setiap jajaran SKPD maupun

lembaga lain untuk menjaga koordinasi dan kolaborasi tetap berjalan dengan baik namun

pada praktiknya hal itu juga belum bisa maksimal. Sentuhan penataan kelembagaan disini

masih kurang apalagi mengharapkanlebih dari itu.Namun yang selama ini terlihat yang

lebih aktif dalam menanggulangi HIV&AIDS di Sleman adalah Tim Pelaksana KPA,

Dinas Kesehatan dibawah kendali Dr.Wisnu dan LSM Peduli AIDS di Sleman. Idealnya

bagi semua lembaga yang tergabung dan berkomitmen dalam keaggotaan KPA bisa

sama-sama aktif dan maksimal dalam menjalankan program penanggulangan HIV dan

AIDS sesuai tupoksinya masing-masing.

115
Kelembagaan dalam sebuah kolaborasi berbeda dengan sekadar melihat kelembagaan

sebagai suatau organisasi bentuk tunggal. Kelembagaan dalam kolaborasi setidaknya

berbentuk sebuah jaringan tentunya jaringan yang kolaborasi yang melibatkan banyak

organisasi dan individu. Bukan hanya kelembagaan sebatas sebuah organisasi yang

melibatkan beberapa individu jika seperti itu konteks dan cakupanya akan jauh berbeda.

Suatu kolaborasi mendorong penataan kelembagaan yang lebih luas dan tidak terpetakan

pada batas individu dan organisasi. Individu yang dimaksud disini adalah individu yang

terlibat dalam keanggotaan KPA atau yang menjadi perwakilan dari masing-masing

instansi/organisasi.

Kemudian organisasi yang dimaksud adalah setiap instansi yang terlibat dalam

keanggotan KPA yang telah disebutkan diatas. Konteks penatan kelembagaan harus

mencakup semua bagian tersebut, jadi tidak hanya pada organisasnya dengan asumsi

perwakilan, tetapi mencakup semua anggota organisasi yang terlibat dan dilibatkan.

Setiap organisasi dan individu yang terlibat kolaborasi juga perlu ditata. Sebaran norma

dan lingkup tindakan harus lebih luas dalam penataaan kelembagaan kolaborasi.

Permasalahan yang terjadi pada penatan kelembagaaan program penaggulangan

HIV dan AIDS yang tergabung dalam KPA memiliki kesamaan permasalahan pada poin

komitmen. Sama-sama bermasalah secara khusus di internal setempat. Pemerintah sudah

jadi bagian dari kolaborasi, karena itu masalah yang terjadi juga menjadi masalah pihak

lainaya. Sedikit atau banyak kesalahan pemerintah akan berdampak sistemik, masalah

yang ada dipihak pemerintahatau salah satu stakeholder tidak bisa lagi dilihat masalah

organisasi itu sendiri.Semuanya sudah menjadi bagian kolaborasi sehingga apabila terjadi

masalah juga masalah bagi bersama. Namun pada sisi tertentu kolaborasi akan

116
mengalami kendala apabila banyak pihak yang tidak menjalankan fungsinya secara

maksimal.

4.3.B Kepemimpinan/ Leadership Antar Stakeholder Membentuk Pola Jaringan

Dalam jurnal Emerson (2011) disebutkan salah satu aspek untuk memiliki

kapasitas aksi bersma adalah kepemimpinan. Pada umumnya, kepepmimpinan dalam

kolaborasi lebih berbetuk jaringan daripada hierarki. Artinya setiap pihak berada pada

posisi yang sama. Hubungan pihak yang terlibat lebih pada fungsi koordinasi daripada

komando. Berbeda dengan pola hierarki yang biasanya lebih mengedepankan komando.

Namun bukan berarti pula komando sama sekali tidak ada dalam kolaborasi. Semuanya

ditentukan pola yang disepakati sejak awal. Untuk kasus collaborative governance dalam

program penaggulangan HIVdan AIDS, kepemimpinan yang terbentuk membentuk pola

jaringan. sebagaimana tertuang dalam SK Bupati dan komitmen bersama dalam forum

kemitraan. Garis koordinasinya tidak vertikal, masing masing memiliki tugas yang

berbeda tetapi berada pada posisi yang sama. Harapanya dengan cara itu, setiap

kolaborator bisa saing menguatkan kelebihan dan menutupi kekurangan serta sama-sama

aktif bertindak.

Walaupun berbentuk jaringan, kehadiran pemimpin atau koordinator tetap

menjadi hal yang sangat penting dalama memaksimalakan fungsi koordinasi kepada

semua stakeholder terkait. Hal ini maksudkan agar ada pihak yang mengkoordinasikan

program penanggulangan HIV dan AIDS, tujuan utamanya agar program bisa terlaksana

dengan baik dan tepat sasaran. Dalam hal ini sudah jelas terlihat bahwa KPA sendiri

yang berposisi sebagai koordinator umum program penanggulangan HIV&AIDS. Tentu

117
karena ini amanat dari undang-undang serta kapasitas dari KPA yang memiliki otoritas

kewilayahan yang menjadi alasan mendasarnya. Pelaksanaan fungsi koordinasi selalu

menguat pada setiap kegiatan yang telah disusun oleh KPA pada tiap bulannya. Hampir

semua kegiatan KPA adalah bersifat koordinatif yang melibatkan berbagai stakeholder

dari organisasi pemerintah dan organisasi non pemerintah. Bahkan seringkali KPA aktif

membangun komunikasi informal atau setiap waktu apabila ada hal yang mendesak yang

harus disampaikan kepada seluruh stakeholder yang tekait termasuk LSM dan Dinas

Kesehatan.

Semua stakeholder bertugas masing-masing sesuai kapasitas dan tupoksinya.

LSM terlihat lebih intensif dalam membangun kolaborasi pada KPA atau Dinkes Sleman,

Dinkes telah menunjukan langkah yang signifikan dalam saranadan prasaranan layanan

kesehatandengan 25 puskesmas seluruh Sleman bisa melayani test VCT& IMS serta

memiliki layanan berkesinanmbungan. KPA dalam menjalankan fungsi koordinasinya

terlihat sudah berjalan namun belum maksimal terutama dalam mendrong SKPD untuk

terlibat lebih intensif dalam penanggulangan HIV dan AIDS ini. SKPD lain selain Dinkes

sebenarnya sudah memiliki inisiasi tapi belum maksimal dalam implementasinya

mereka cenderung baru melaksanakan fungsi koordinasi jikaada event dan bila mendapat

perintah atau umpan sebelumnya dari KPA, Dinkes maupun SKPD lain. Sehingga

memang terkesan tidak ada inisiasi melakukan kepemimpinanyang sesungguhnya.

Kepemimpinan kolaborasi tentu tidak akan berjalan mulus bila upaya saling

berkoordinasi cenderung enggan dilakukan karena dalam kepemimpinan jaringan, saling

berkordinasi merupakan poin yang sangat penting.

118
4.3.C Keterbatasan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Keuangan

Sumber daya yang dijelaskan pada poin ini yakni Sumber Daya Keuangan (SDK)

dan Sumber Daya Manusia (SDM). Penjelasan SDK berkaitan dengan pendanaan

program penanggulangan HIV dan AIDS dan SDM berkaitanndengan pelaku program

penanggulangan HIV dan AIDS. Keduanya merupakan ruh utama collaborative

governance dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Harus diakui baik buruknya program

yang dilaksanakan dengan pola kolaborasi sangat tergantung pada sejauhmana

kemampuan keuangan dan manusianya. Kedunaya sudah pasti banyak berpengaruh pada

pelaksanaan dan keberlanjutan program penanggulangan HIV dan AIDS apabila

keduanya mengalami kondisi kurang baik maka kolaboasi akan sulit dibangun. Kemajuan

dan kemunduran program penanggulangan HIV dan AIDS dipenagruhi oleh SDK

danSDM yang tersedia, banyak pihak yang telibat belum tentu menjamin SDK dan SDM

akan terpenuhi dengan baik.

Dalam penanggulangan HIV&AIDS yang meilbatkan banyak aktor ini memiliki

persoalan mendasar yang sering diperbincangkan. GF-ATM adalah penopang dana

selama ini bagi LSM serta bagi KPA dan Dinas Kesehatan selain dari APBD. Karena

sumber danaLSM hanya dari lembaga donor yang bisa saja habis kontraknya maka ada

kekhawatiran pada pihak LSM apabila tidak dapat melanjutkan programnya

melaksanakan programnya. Memang hal yang cukup sulit apabila SKPD menganggarkan

alokasi dana untuk kegiatan LSM secara terbilang karena itu menyalahi prosedur yang

ada dipemerintah. Namun sebenarnya kegiatan LSM yang menyangkut dengan

penanggulangan HIV dan AIDS bisa difasilitasi oleh SKPD apabila disiasati menjadi

program prioritas di SKPD tersebut.

119
Sementara ini Sleman hanya baru berhasil menjalin perjanjian kerjasama

program penanggulangan HIV dan AIDS yang bersifat mengikat dan terdapat anggaranya

yakni dengan penjangkau penasun walaupun pihak tersebut anggota LSM namun dalam

perjanjian tersebut atas nama individu. Selain itu kerjaama antara pemerintah dengan

LSM hanya bisa dijalin dengan kerjasama program saja.

Persoalan SDM juga hampir sama dengan SDK. Sama-sama ada keterbatasan

kuantitas. Khususnya ini terjadi pada KPA dan LSM. KPA yang dimkasud disini adalah

Tim Pelaksana yang berjumlah 4 orang yang berkantor di sekretariat KPA dengan tugas

dan fungsi pokoknya mengkoordinasikan seluruh program penanggulangan HIV dan

AIDS dan fungsi lain seperti tercantum dalam undang-undang personil yang berjumlah 4

orang agak kewalahan bahkan tak jarang personil KPA yang merangkap pekerjaan dalam

satu waktu. Bahkan sempat tahun lalu anggaran KPA tidak terserap habis karena bebrapa

program tidak berhasil diselenggarakan. Sedangkan bagi LSM Peduli AIDS di Sleman

juga demikian mayoritas LSM seperti Yayasan vesta Indonesia, Yayasan Victory Plus,

LSM Kebaya dan PKBI lingkup kerjanya adalah seluruh DIY dan personil dari LSM

tersebut juga mayoritas hanya belasan hingga kurang dari 50 orang. Sehingga dengan

demikian dalam menjalankan program penanggulangan HIV dan AIDS di Sleman yang

luas ini juga tentu akan mempengaruhi tingkat pencapaian target program.

4.3.D Pengetahuan Mudah Diakses Oleh Stakeholder Dalam Mendukung

Kolaborasi

Pengetahuan adalah elemen ketiga dalam kapasitas untuk aksi bersama. Dalam

banyak hal, pengetahuan adalah mata uang kolaborasi, artinya untuk membangun suatu

120
kolaborasi tentu memerlukan suatu pengetahuan dan pengetauan yang tidak lengkap

dantak seimbang harus ditingkatkan dengan pengetahuan baru. Pada intinya, kolaborasi

memerlukan agregasi, pemisahan, dan mengumpulkan data dan informasi, serta generasi

baru, pengetahuan bersama.Pengetahuan yang berkualitas dan efektif mampu

mempercepat dalam membangun suatu kolaborasi atau jaringan yang baik. Masing-

masing stakeholder khususnya KPA, Dinas Kesehatan dan LSM Peduli AIDS di Sleman

tentu mereka memiliki pengetahuan mengenai HIV dan AIDS perkembangan kasus dsb

dengan baik dan mudah didapat dari masing-masing instansinya.

Namun untuk terus menambah pengetahuan/ informasi baru yang berguna dalam

berjalanya kolaborasi pengetahuan terbaru mengenai HIV dan AIDS kasus terbaru stategi

penanganan terbaru ketiga stakeholder ini mendapatkanya sekaligus dalam forum

pertemuan koordinasi, forum kemitraan, bimbingan teksnis atau sosialisasi yang

diselenggarakan oleh Dinkes atau KPA ataupun mereka yang mengadakan diskusi

kultural dengan stakeholder terkait untuk mendapatkan tambahan informasi dan

pengetahuan baru. Secara umum pengetahuan yang didapatkan antar tiga stakeholder ini

tergolong mudah

121
4.4 Collaborative Governance yang Baik Dapat Menjadi Mekanisme

Kontrol Yang Kuat Antar Stakeholder

Salah satu praktik Collaboborative governance antar tiga stakeholder yang

berlangsung dalam penaggulangan HIV dan AIDS di Sleman apabila dilihat dari konteks

governance bisa menjadi salah satu alternative mekanisme kontrol publik yang cukup

baik khususnya pada stakeholder yang telibat. Masyarakat atau publik dalam konteks ini

adalah termasuk di dalamnya pemerintah (KPA dan Dinas Kesehatan Sleman), LSM

Peduli AIDS, atau secara umum adalah mahasiswa, pers, kekuatan politik, asosiasi,

komunitas, keluarga dan siapa saja yang memiliki concern pada penyelesaian masalah-

masalah publik. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Frederickson ketika

memberikan pemahaman tentang governance,

“the word governance is probably the best and the most generally accept
methaporfor describing the partners of interaction of multiple-organizational system
or networks” (Frederickson, 1997 dalam Hermawan, 2004).

Pada logika networks sebagaimana terkandung dalam pemahaman


Frederickson di atas, berbagai komponen atau elemen dalam masyarakat,
membangun suatu kolaborasi untuk melakukan aksi-aksi yang saling terkait satu dengan
lainnya menuju pada konstruksi tatanan sosial yang tertib guna menghadapi dan
menyelesaikan berbagaipersoalan-persoalan publik.

Kolaborasi dan interaksi timbal balik hanya akan terjadi, manakala kekuasaan

dapat disebar atau terdesentralisasi secara merata ke tengah elemen publik, di

mana berbagai elemen dalam masyarakat dapat menggunakan kekuasaan itu secara

setara dan tidak ada hegemoni antara satu elemen dengan elemen lainnya.Hal ini

disebabkan masing-masing elemen dalam masyarakat memiliki keberdayaan serta

kesempatan yang sama untuk berpartisipasi, berinteraksi dan melakukan koreksi.sehingga

122
interaksi yang terjadi pun tidak sebatas pada implementasi dan keberhasilan program,

tetapi lebih jauh terhadap interaksi kontrol atau mekanisme check and balances.

Pola kepemimpinan antar tiga stakeholder yang horizontal dalam kolaborasi ini

sekaligus menandakan bahwa pola yang terjalin adalah dengan networks sehingga

membawa implikasi pada interaksi yang seimbang, setara dan sinergis dalam konteks

mekanisme kontrol di antara berbagai elemen masyarakat dan hanya akan terjadi

manakala transparansi dan akuntabilitas menjadi karakter dasar berbagai elemen

stakeholder tersebut. Transparansidibangun atas dasar kebebasan arus informasi

dimana proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima

oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dimonitor.

Akuntabilitas sendiri menurut mengandung arti sebuah tindakan

pertanggungjawaban yang berbentuk pelaporan atau penjelasan atas berbagai keputusan

dan tindakan yang telah dilakukan kepada yang berwenang. Pengertian tersebut dapat

dipahami juga sebagai sebuah sikap untuk menerima berbagai konsekuensi atas

keputusan dan tindakan yang telah dikeluarkan tadi.

“Accountability means togive account or explain ones decesion or action to


another authority and accept any consequences thereform”(Zarei, 2000 dalam
Hermawan,2004).
Pengertian ini memberikan makna bahwa akuntabilitas adalah sebuah

pertanggungjawaban atas berbagai keputusan dan tindakan yang dibuat dalam

sebuah masyarakat dalam konteks ini lebih kepada antar stakeholder yang terlibat.

Akuntabilitas yang ditunjukan masing-masing stakeholder disini berupa laporan capaian

kegiatan yang telah disepakati bersama yang disampaikan pada pertemuan

koordinasi/lintas sektor yang diselenggarakan KPA secara berkala.


123
Akuntabilitas yang terjadi dalam kolaborasi ini pula didasari dengan kepercayaan

yang baik antar stakeholdernya sehingga penilaian, kritik, saran bahkan sanksi

merupakan upaya yang diarahkan untuk kebaikan bersama, untuk menjaga

keberlangsungan (survive) interaksi yang konstruktif dalam menjalankan hal-hal yang

sudah disepakati dalam kolaborasi sesuai tupoksinya masing-masing. Dalam kolaborasi

ini pula terlihat adanya political will dari masing-masing kolaborator stakeholder yang

terkait dalam mewujudkan mekanisme kontrol yang kontinyu dibuktikan dengan

terjainnya koordinasi yang intesif baik formal atau informal serta keikutsertaan dalam

program bersama sehingga saran, kritik yang membangun dapat disampaikan secara

mudah dan efektif antar tiga stakeholder.

Tanpa terwujudnya hal itu, maka konstruksi mekanisme kontrol hanya akan

bernasib sama dengan berbagai perangkat peraturan di negeri ini yang semata mata

menjadi “hiasan” yang indah tetapi “nol” dalam pelaksanaannya. Kondisi yang

demikian juga dapat terjadi karena tidak adanya political will dari aktor-aktor yang

menjalankan sebuah perangkat peraturan. Dengan politicall will yang kuat dan

kesamaan tujuan maka dengan sendirinya dalam membangun kolaborasi ini ego sektoral

antar stakeholder terminimalkan.

4.5 Power Sharing Yang Baik Menguatkan Collaboration GovernanceAntar

Stakeholder

Adanya power sharing dan power itu sendiri adalah sangat penting bagi

keberhasilan kolaborasi.Menurut (Hardly dan Philips, 1998 dalam Ansell dan Gash,

2010) keberhasilan proses atau dinamika collaborative governance tergantung dari

124
partisipasi kerjasama dan dan pembagian kekuasaan (power sharing). Power sharing

dapat memajukanupaya bersama dari para kolaboratorsehingga saling menguntungkan,

bahkan untuk saling untuk memberdayakan antarstakeholder untuk berpartisipasi lebih

efektif dalam kolaborasimemperoleh keuntungan altruistik.Power sharing disini bukan

berarti merendahkan kekuasaan salah satu stakeholder yang terlibat tetapi lebih mengarah

pada stakeholder memiliki kekuatan yang sama dalam mempengaruhi atau mendesain

proses kolaborasi untuk mencapai tujuan bersama.

Sehingga proses negosiasi, partisipasi dan pengambilan keputusan bisa berjalan

dengan baik. Hal ini ditunjukan saat masing-masing bekerja dilapangan dan saat forum

koordinasi. Semua aktif terlibat dan benegosiasi apabila menemui suatu persoalan dan

ketika mengambil sebuah keputusan atau strategi dalam penanggulangan AIDS ketiga

stakeholder aktif memberi solusi dan masukan agar didapatkan hasil untuk kebaikan

bersama, diantara ketiga stakeholder tidak ada yang saling mendominasi satu sama lain.

Power sharing disini salah satunya berkaitan erat dengan kepemilikan

sumberdaya ketiga stakeholder baik itu sumber daya keuangan, sumber daya manusia,

pengetahuan, teknologi dan sebagainya seperti yang telah diulas pada aspek sumber daya

diatas, kesemuanya itu adalah sumber daya yang bisa digunakan dalam proses kolaborasi.

Meskipun mengalami beberapa keterbatasan dalam konteks dinamika kolaborasi yang

terjadi anatara ketiga stakeholder (KPA Sleman, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman dan

LSM Peduli AIDS) dengan adanya sumber daya yang dimiliki telah menunjukan adanya

power sharing yang cukup baik.Hal ini dibuktikan dengan salah satunyaterjadi pada saat

forum LKB 04 Oktober 2016 di Rumah Dinas Bupati Sleman yang dihadiri oleh Dr

Wisnu Kepala Bidang P2PL Dinkes Sleman, Tim Pelaksana KPA, Perwakilan seluruh

125
Puskesmas, Mitra LSM Peduli AIDS dan beberapa stakeholder yang lain. Pada saat itu

disampaikan masing-masing capaian program dari ketiga stakeholder ada dari pihak

Puskesmas yang belum mencapai target VCT mobilenya akhirnya pihak LSM Vesta

menawarkan solusi untuk bisa membantu hal tersebut dengan cara mengumpulkan teman-

teman populasi kunci untuk mau di VCT oleh puskesmas tersebut.

Kemudian ketika pihak LSM dalam hal ini LSM Vesta membutuhkan bantuan

untuk penyuluhan mengenai HIV&AIDS bagi populasi kunci pihak puskesmas

memberikan solusi atas persoalan tersebut, saat itu ada salah satu puskesmas yang

menawarkan bahwa mereka memiliki anggaran progam mengenai penyuluhan AIDS

yang masih bisa digunakan bagi pihak LSM. Begitupula untuk program pendampingan

ODHA, ada beberapa puskesmas yang masih merasa bingung ketika menjumpai orang

yang berstatus positif HIV terkadang pasien tersebut tidak ingin terbuka pada pihak

puskesmas sehingga sulit diajak pengobatan. Hal tersebut disampaikan oleh salah satu

puskesmas pada forum LKB juga, kemudian persoalan itu direspon oleh pihak LSM

yakni Victory Plus dengan baik yakni dengan menawarkan solusi bahwa LSM tersebut

memang berfokus pada pendampingan ODHA maka untuk mengatasi hal tersebut

puskesmas bisa segera menghubungi dan menyampaikanya pada LSM Victory Plus untuk

dilakukan tindak lanjut pada ODHA tersebut.

Dari fakta diatas bisa dilihat pula bahwa power sharing yang berjalan tidak hanya

pada aspek sumber daya saja namun power sharing disini mengandung aspek pembagian

kewenangan yang adil, legitimasi dan saling percaya satu sama lain dimana semua

stakeholder mampu memiliki power untuk menentukan konsensus atau mengambil

keputusan mengenai startegi kolaboratif penanggulangan AIDS di Sleman.Tidak ada

126
peranan yang mendominasi meskipun salah satu diantara mereka tentu memiliki

sumberdaya dan kekuasaan yang lebih kuat (misal Dinkes), namun ketiga stakeholder

memiliki kesempatan yang sama, posisi yang sama sertapartisipasi dari ketiga

stakeholder yang cukup baik sesuai dengan tupoksinya masing-masing.

4.6 Faktor Institusi dan Keterbatasan Sumber Daya: Penghambat Collaborative

Governance Antar Stakeholder Dalam Penanggulangan AIDS di Sleman

Seperti yang telah disebutkan pada landasan teori, kolaborasi yang dibangun dalam

penanggulangan HIV dan AIDS ini juga mengalami beberapa hambatan yakni terkait

dengan faktor intitusi adalah bahwa kolaborasi bisa gagal karena adanya kecenderungan

budaya ketergantungan pada prosedur dan tidak berani mengambil terobosan dan

risiko.Untuk terciptanya kolaborasi yang efektif mensyaratkan para pelayan publik dan

pemimpinya untuk memiliki skill dan kesediaan untuk masuk ke kemitraan secara

pragmatik, yakni berorientasi pada hasil. Memang memungkinkan mengabaikan konvensi

dan menjadikan segala sesuatu dilakukan dalam sebuah kolaborasi namun melakukan hal

seperti ini dalam pelayanan publik yang tergantung pada prosedur dan tidak bersedia

mengambil risiko tidak mungkin akan menjadikan kolaborasi menjadi terwujud. Dengan

kata lain, ketergantungan pada prosedur dan tidak berani ambil risiko merupakan salah

satu hambatan bagi terselenggaranya kolaborasi. Inovasi yang dilakukan oleh para

stakeholder diperlukan dalam rangka mencapai tujuan kolaborasi yang baik.

Adanya hambatan tersebut dibuktikan dengan pihak SKPD atau KPA sendiri yang

belum bisa menganggarkan alokasi dana untuk kebutuhan penaggulangan HIV dan

AIDS yang dilakukan oleh LSM secara khusus sebagai contoh untuk pendampingan

ODHA padahal peran pendamping ODHA juga disini memiliki peranan yang cukup

127
penting bahkan boleh dikatakan sebagai ujung tombak untuk menekan angka penularan

HIV kepada orang lain pasca mengetahui status HIVnya. Dan kegiatan ini juga tentu

mengeluarkan biaya dan tenaga yang perlu didukung dari pihak pemerintah sebenarnya

namun hingga saat ini belum bisa terakomodasi.Sebab hal itu tidak sesuai dengan

prosedur yang ada yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.Program yang telah

dianggarkan pada periode tertentu tidak bisa dengan mudah untuk diubah-ubah. Serta

prosedur birokrasi yang cenderung lama dalam proses penganggaran sehingga ada bulan

yang tidak efektif dan tidak bisa menjalankan program seperti pada awal tahun. Sehingga

program efektif baru berjalan ketika bulan ke tiga atau ke empat ketika dana telah cair

atau bahkan menumpuk pada bulan akhir tahun. Hal ini tentu menghambat kinerja

kolaborasi secara umum.

Sistem penganggaran program pada birokrasi pemerintah yang cukup lamban tersebut

hampir menyeluruh terjadi pada jajaran instansi pemerintah termasuk KPA dan Dinkes

sehingga mau tidak mau program kurang intensif karena selama satu tahun itu terdapat 2-

3 bulan yang vakum dalam menjalankan program penanggulangan, padahal penularan

HIV tidak mengenal batasan waktu, pengobatan ODHA serta pendampingan ODHA juga

semestinya dilakukan terus menerus dan tidak boleh berhenti apabila ingin pengendalian

penularan HIV&AIDS dikontrol dengan baik.

Faktor penghambat yang lain ialah adanya tantangan keterbatasan sumber daya

manusia. Tantangan keterbatasan SDM dalam penanggulangan HIV&AIDS di Sleman ini

memang membutuhkan solusi dan tekad bersama mengingat masalah AIDS ini yang

cukup kompleks sehingga penyelesaianya harus melibatkan banyak pihak. Meskipun

keanggotaan KPA sebenarnya mencakup seluruh jajaran SKPD, Kepolisian, LSM,

128
bahkan Bupati dan sebagainya namun yang benar-benar menjalankan tugas harian dan

program secara lebih intensif tetap Tim Pelaksana Harian KPA Kabupaten Sleman yang

berjumlah hanya 4 orang yang dipimpin oleh Sekretaris KPA. Sehingga pernah suatu saat

rencana program yang mereka anggarkan tidak mampu dilaksanakan

seluruhnya.Kebanyakan rogram yang dibuat KPA sebenarnya bersifat koordinatif dan

sesekali merupakan langkah sosialisasi. Meskipun demikian terkadang program mereka

tidak bisa berjalan dengan efektif karena pihak KPA (Tim Pelaksana Harian) mengaku

bahwa kadang forum pertemuan atau forum koordinasi memang tidak berjalan dengan

efektif artinya masih sering dijumpai bahwa peserta undangan khususnya bagi jajaran

SKPD yang tidak bisa mengahdiri undangan tersebut dengan alasan pimpinan sedang

bertugas di tempat lain sehingga yang menghadiri rapat alhasil adalah orang-orang yang

seadanya dan kadang tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan atau tidak

mempunyai pengetahuan yang komprehensip menganai program penaggulangan AIDS

yang telah atau sedang dibahas di dalam rapat. Sebab itu koordinasi kadang putus dan

kolaborasi akhirnya tidak berjalan dengan baik. Kemudian KPA lebih memilih fokus

kepada program selanjutnya sehinnga kadang lupa untuk menindaklanjuti SKPD tersebut

untuk bisa lebih berkontribusi nyata dan maksimal dalam penanggulangan AIDS.

Hal yang sama terjadi pada Dinas Kesehatan pula, khususnya pada bidang yang

menangani penularan AIDS yakni Bidang P2PL. Tenaga mereka sudah tentu terbatas

karena semua kebijakan dan program tentang pencegahan penularan penyakit dan

pencemaran lingkungan di Kabupaten Sleman menjadi tanggung jawab bidang P2PL dan

AIDS adalah hanya salah satu bagian darinya sehingga kemudian fokus dan tenaga

mereka terbagi dan kurang bisa fokus hanya untuk isu HIV&AIDS saja. Serta bagi LSM

129
juga memiliki keterbatasan yang sama mengenai sumber daya manusia. Mayoritas LSM

yang menjadi mitra KPA Sleman adalah LSM yang ruang lingkup kerjanya di seluruh

Provinsi DIY serta dengan hanya memiliki sumber daya manusia yang berkisar puluhan.

Bahkan beberapa dari LSM tersebut sekretariat mereka tidak berlokasi di Sleman

tetapi di Bantul dan Kota Yogyakarta. Sehingga dalam menjangkau dan mendampingi

ODHA faktor waktu dan lokasi juga menjadi tantangan tersendiri bagi LSM.Sehingga

dengan banyaknya wilayah yang mereka tangani kadang dalam melakukan feedback

kepada Dinkes Sleman atau KPA pihak LSM kurang bisa intensif melaporkannya

walaupun sebenarnya mereka sudah mempunyai database mengenai berapa jumlah orang

yang berhasil dijangkau atau ODHA yang didampingi, yang itu juga merupakan hasil dari

kolaborasi dengan Dinas Kesehatan, namun untuk melaporkan hasil tindak lanjutnya

secara khusus untuk wilayah Sleman sendiri mereka belum intensif melaporkannya.

130
BAB 5

PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Praktik collaborative governance yang dilakukan oleh KPA, Dinas Kesehatan

Kabupaten Sleman dan LSM Peduli AIDS berada pada tingkat eksplorasi. Kolaborasi

yang berada pada tingkat eksplorasi adalah suatu pertemuan yang dilakukan dalam

bentuk formal dan informal baik dalam brainstorming issue / persoalan seputar HIV dan

AIDS, membangun forum koordinasi, membangun hubungan dan komuikasi yang baik

dan intensif antar mitra KPA. Dengan demikian artinya praktik yang dilakukan masih

pada tahap pengembangan format yang utuh menuju suatu collaborative governance

yang ideal. Selama ini para kolaborator melakukan aktivitasnya berdasar pada komitmen

bersama dan keanggotan mitra KPA yang tertuang dalam SK Bupati Sleman Tahun

2008 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Sleman. Dinas Keesehatan Kabupaten

Sleman bertugas menyediakan pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana

layanan kesehtan bagi pencegahan dan pengobatan HIV dan AIDS. KPA berfungsi

sebgai lembaga koordinator yang mengkoordinasikan semua lembaga dalam

penanggulangan HIV dan AIDS, menginisiasi terbentuknya kemitraan lintas sector, dan

LSM menjalankan program penanggulangan HIV dan AIDS berbasis masyarakat dan

sesuai fokusnya masing-masing. Jadi proses collaborative governance yang dilakukan

oleh para pihak sangat terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.

Secara umum dinamika keterlibatan, motivasi dan kapasitas dalam program

penanggulagan HIV&AIDS yang dilakukan tiga stakeholder diatas dari 2008 sampai

2016 ini mulai dari agenda setting sampai transformasi aksi sudah berjalan dengan baik,
131
aspek yang terkait meliputinya antara lain komunikasi intensif, saling percaya, saling

memahami, legitimasi internal, komitmen bersama, kelembagan kolaboratif

kepemimpinan kolaborator dan sumber daya. Dari delapan aspek yang dikaji dalam

penelitian ini ada dua diantaranya yang belum sempurna yakni sumber daya dan

legitimasi internal hal ini terjadi karena adanya hambatan kultur pada pihak pemerintah

yang akhirnya kurang bisa mengembangkan startegi inovatif untuk mengatasi persoalan

tersebut.

Serta makna yang terkandung dibalik berlangsungnya collaborative governance

antar stakeholder dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Sleman ini ialah

collaborative governance yang dilakukan secara tidak langsung telah menjadi mekanisme

kontrol yang kuat bagi antar stakeholder dalam melaksanakan tupoksinya masing-masing

pada penanggulangan HIV dan AIDS yang berujung pada akuntabilitas disertai

kepercayaan tinggi sehingga pencapaian program bisa maksimal dan efektif bisa

dilaksanakan.Selain itu sebenarnya kolaborasi yang terjadi adalah sebagai power sharing/

berbagi kekuasaan yang tidak berarti mengurangi kekuasaan pada masing-masing

stakeholder tetapi lebih kepada masing-masing stakeholder yang tidak saling

mendominasi, tidak memihak sehingga pelaksanaan dinamika kolaboratif bisa menjadi

inklusif, partisipatif dan representatif.

5.2 Rekomendasi

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti baik di KPA, Dinas

Kesehatan dan LSM Peduli AIDS di Kabupaen Sleman mengenai dinamika kolaborasi

132
tiga stakeholder dan stakeholder lain yakni beberapa SKPD Kabupaten Sleman dalam

penanggulangan HIV dan AIDS peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1.KPA selaku kooordinator program penanggulangan HIVdan AIDS di Kabupaten

Sleman sebaiknya membuat kesepakatan formal dalam bentuk tertulis yang disepakati

oleh tiga pihak stakeholder, yakni KPA sebagai koordinator program, Dinas Kesehatan

sebgai layanan dan LSM-LSM Peduli HIV dan AIDS sebagai penjangkau dan

pendampng pada komunitas, populasi kunci dan ODHA agar masing-masing pilar merasa

terikat terhadap ugas dan tanggung jawabnya sehingga ikut berpartisipasiaktif dalam

pennagguangan HIV dan AIDS di Kabupaten Sleman begitu pula ada konsekuensi bagi

merekayang tidak aktif. Dan harus melakukan pengawasan lebih ketat untuk setiap SKPD

agar terlibat lebih jauh dalam penanggulangan HIV dan AIDS sehingga dapat bekerja

secara optimal dan profesioanl demi terwujudnya penurunan angka HIV dan AIDS di

Sleman dan tercipata distribusi akuntabilitas yang merata diantara semua anggota KPA.

2. Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman selaku penyedia layanan sebaiknya terus

meningkatkan kualitas layanan yang sudah terbentuk di seluruh 25 puskesmas Sleman ini

dengan cara memperkuat pengawasan dan mendorong peran yang masksimal yang

tercantum dalam pilar LKB (Layanan Komprehensip Berkelanjutan)

3. Pemerintah Kabupaten Sleman perlu memberikan dukungan sumber daya berupa dana

atau dalam bentuk program lain kepada LSM-LSM Peduli HIV dan AIDS untuk

mendukung pelaksanaan program-program penanggulangan HIV dan AIDS di populasi

kunci atau masyarakat secara umum karena selama ini program-program penanggulangan

133
HIV dan AIDS agar bisa kontinyu dan maksimal apabila nanti lembaga donor sudah tidak

dapat lagi mendanai kegiatan LSM.

4. LSM Peduli AIDS perlu meningkatkan laporan atau feedback yang lebih intensif dan

sistematis kepada Dinas Kesehatan atau KPA khususnya mengenai pencapian program,

dampingan ODHA atau penjangkauan agar monitoring perawatan dan pengobatan kepada

ODHA bisa dipantau dan di tangani secara bersama-sama.

Demikian saran yang dismapaikan kepada KPA, Dinas kesehatan dan pemerintah

Kabupaten Sleman agar menjadi pertibangan dan diharapkan dapat mengatasi hambatan

kolaborasi yang terjadi selama ini.

134
Daftar Pustaka

Agranoff, Robert. 2003. Collaborative public management. Washington, DC:


Georgetown Univ.

Ansell, Chris, and Alison Gash. 2008. Collaborative governance in theory and
practice.Journal of Public Administration Research and Theory18:543–71.

Antun Mardiyanta. 2011. Kebijakan Publik Deliberatif: Relevansi dan Tantangan


lmplementasinya. Tahun 2011, Volume 24, Nomor3 Hal: 261-271. Jurnal Departemen Ilmu
Administrasi FISIP Universitas Airlangga.

Asri Swatini. 2010 Collaborative Governance Komisi Penanggulangan AIDS dan


Lembaga Swadaya Masyarakat Lokal Dalam Kasus HIV&AIDS di Kota Surakata.Universitas
Negeri Sebelas Maret.

Beresford, P, Croft, S, 1984, Welfare Pluralism: The New face of Fabiansm. Critical
Social Poicy

Darwin, Muhadjir, 2005, Memanusiakan Rakyat: Penanggulangan Kemiskinan sebagai


Arus Utama Pembangunan, Benang Merah, Yogyakarta.

Dedy Hernawan. Akuntabilitas NGO dan Kontrol Publik.Jurnal Administrasi Publik, Vol.3,
No.2, 2004

Emerson, Kirk, Nabatchi, Tina, and Balogh, Stepehen. 2011. An Integrative Framework
for Collaborative Governance, Journal of Public Administration Research and Theory Part
22: 1-29. London: Oxford University Press.

Gazley,Beth. 2010. Why not partner with local govermen? Nonporfit managerial
perceptions of collaborative disadvantage, Nonprofit and Voluntary Sector Quaterly online:
https://www.researchgate.net/publication/273589175-Reinforcing-the-safety-net

Handoko, T. Hani (2003), Manajemen. Edisi Kedua. Cetakan Kedelapanbelas.


Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta

Lynn, Lawrence E., Carolyn J. Heinrich, and Carolyn J. Hill. 2001. Improving
governance: A new logic for empirical research. Washington, DC: Georgetown Univ. Press.

O’Leary, Rosemary, and Vij, Nidhi. 2012. Collaborative Public Management:


Where Have We Been and Where Are We Going?, The American Review of Public
Administration 2012 42: 507.American Society for Public Administration

135
Resnik, David. B. 2015. What is Ethics in Research & Why is it Important?
(Online).http://www.niehs.nih.gov/research/resources/bioethics/whatis

Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi Edisi ke-12,
Jakarta: Salemba Empat
Sugiyono. 2012. Metode penelitian Pendidikan (Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D).
Bandung : Alfabeta.

Sumarto, HS (2008) Promoting Civic Engagementin Indonesia: Policy, Strategy and


Agenda. Studi di Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Kebumen, Kota Solo
dan Kota Parepare atas dukungan LGSP-USAID

Susantie , Niluh Gede, 2007, Tesis” Koordinasi Stakeholder dalam Pencegahan dan
Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Manokwari’, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wibowo, Muhamad Budi, 2013, Tesis, HIV/AIDS dan Penanggulangannya Studi


Penelitian tentang Evaluasi HIV/AIDS dan implementasi Penanggulangannya di Kabupaten
Merauke, Program Studi Administrasi kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Wood, Donna, and Barbara Gray. 1991. Toward a comprehensive theory of


collaboration. Journal of Applied Behavioral Science 27:139–62.

www.aidsyogyadiy.com

www.depkes.go.id

www.kemensos.go.id

136

Anda mungkin juga menyukai