Anda di halaman 1dari 32

KONSEP PSIKOFARMAKOLOGI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Skizofrenia dapat merupakan penyakit yang ditentukan secara genetik, tetapi juga
terdapat bukti yang menunjukkan kejadian intra uteri dan komplikasi obstetrik.
Obat neuroleptik banyak mengedalikan banyak gejala skizofrenia. Obat tersebut
mempunyai sebagian besar efek pada gejala positif seperti halusinasi dan waham.
Gejala negatif seperti menarik diri dari lingkungan sosial dan apatis emosional
kurang dipengaruhi oleh obat neuroleptik. (Profitasari, 2010)
Obat neuroleptik membtuhkan waktu beberapa minggu untuk mengendalikan
gejala skizofren dan sebagian pasien akan membutuhkan pengobatan rumatan
selama bertahuntahun. Relaps sering terjadi bahkan pada pasien yang
dipertahankan dengan obat dan lebih dari dua pertiganya mengalami relaps dalam
satu tahun bila menghentikan terapi. Sayangnya, neuroleptik juga memblok
reseptor dopamin pada gnaglia basalis dan sering juga menyebabkan gangguan
pergerakan (efek ekstra piramidal) yang menyebabkan stress dan kecacatan.
(Mansjoer, 2000)
Berbagai agen farmakologis yang digunakan untuk menerapi berbagai gangguan
psikiatrik disebut dengan tiga istilah umumyang dapat saling menggantikan: obat
psikotropik, obat psikoaktif, dan obat psikoterapuetik. Dahulu agen tersebut dibagi
dalam empat kategori :
1. Obat antipsikotik atau neuroleptik, digunakan untuk menerapi psikosis.
2. Obat anti depresan, digunakan untuk menerapi depresi.
3. Obat anti manik dan penstabil mood, digunakan untuk menerapi gangguan
bipolar.
4. Obat anti ansietas dan anti ansiolitik, digunakan untuk menerapi keadaan
ansietas.
Meskipun demikian, sekarang ini pembagian tersebut kurang sah disebabkan
berbagai alasan yang mendasari. Sedangkan pendapat lain mengemukakan
klasifikasi obat psikotropika yang baru. Berikut tabel yang menunjukkan
klasifikasi obat psikofarmaka dengan istilah dan obat acuan yang dipakai :
Golongan Sinonin Obat Acuan
Antipsikosis Neuroleptika, Major Chlorpromazine
Tranquillizer, Ataractics
Antidepresan Thymoleptics, Psychic Amitriptyline
energizers
Anti manik Mood modulator, mood Lithium
stabilizer, Antimanics Caebonate
Anti ansietas Psycholeptics, Minor Diazepam/
Tranquillizer, Anxyolitic Chlordiazepoxide
Anti insomnia Hypnotics, Somnifacient, Phenobarbital
Hipnotika
Anti obsesif konvulsif Drugs used in Chlomipramin
Obsesivecompulsive Disorder
Anti panic Drugs used in Panic disorder Imipramine
(Andri, 2009)
BAB II
PSIKOFARMAKA

1. Definisi
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada
Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan
perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap
taraf kualitas hidup pasien. Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan,
diantaranya: antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas. Pembagian
lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer, neuroleptic, antidepressants
dan psikomimetika
2. Obat-0bat Psikotropika
1) Obat Anti-Psikosis
Obat-obat neuroleptika juga disebut tranquilizer mayor, obat anti psikotik atau
obat anti skizofren, karena terutama digunakan dalam pengobatan skizofrenia
tetapi juga efektif untuk psikotik lain, seperti keadaan manik atau delirium.
Obat-obat anti psikotik ini terbagi atas dua golongan besar, yaitu :
1. Obat anti psikotik tipikal
1. Phenothiazine
 Rantai alipathic : CHLORPROMAZINE
LOVEMEPROMAZINE
 Rantai piperazine : PERPHENAZINE
TRIFLUOPERAZINE
FLUPHENAZINE
 Rantai piperidine : THIORIDAZINE
2. Butyrophenone : HALOPERIDOL
3. diphenyl-butyl-piperidine : PIMOZIDE
2. Obat anti psikotik atipikal
1. Benzamide : SULPIRIDE
2. Dibenzodiazepine : CLOZAPINE
OLANZAPINE
QUETIAPINE
3. Benzisoxazole : RISPERIDON

Mekanisme Kerja

Semua obat anti-psikosis merupakan obat-obat potensial dalam memblokade reseptor


dopamin dan juga dapat memblokade reseptor kolinergik, adrenergik dan histamin.
Pada obat generasi pertama (fenotiazin dan butirofenon), umumnya tidak terlalu
selektif, sedangkan benzamid sangat selektif dalam memblokade reseptor dopamine
D2. Anti-psikosis “atypical” memblokade reseptor dopamine dan juga serotonin 5HT2
dan beberapa diantaranya juga dapat memblokade dopamin system limbic, terutama
pada striatum.

Cara Penggunaan

Umumnya dikonsumsi secara oral, yang melewati “first-pass metabolism” di


hepar. Beberapa diantaranya dapat diberikan lewat injeksi short-acting Intra muscular
(IM) atau Intra Venous (IV), Untuk beberapa obat anti-psikosis (seperti haloperidol
dan flupenthixol), bisa diberikan larutan ester bersama vegetable oil dalam bentuk
“depot” IM yang diinjeksikan setiap 1-4 minggu. Obat-obatan depot lebih mudah untuk
dimonitor. Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat. Penggantian obat disesuaikan dengan dosis
ekivalennya. Apabila obat psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam
dosis optimal setelah jangka waktu memadai, dapat diganti dengan obat anti-psikosis
lainnya. Jika obat anti-psikosis tersebut sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek
sampingnya dapat ditolerir dengan baik, dapat dipilih kembali untuk pemakaian
sekarang. Dalam pemberian dosis, perlu dipertimbangkan:

 Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu


 Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
 Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
 Dosis pagi dan malam berbeda untuk mengurangi dampak efek samping,
sehingga tidak menganggu kualitas hidup pasien

Mulailah dosis awal dengan dosis anjuran  dinaikkan setiap 2-3 hari 
hingga
dosis efektif (sindroma psikosis reda)  dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu
dinaikkan  dosis optimal  dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) 
diturunkan setiap 2 minggu  dosis maintenance  dipertahankan selama 6 bulan –
2 tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/minggu  tapering off (dosis diturunkan tiap
2-4 minggu)  stop.

Obat anti-psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun
diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan sangat kecil. Jika
dihentikan mendadak timbul gejala cholinergic rebound, yaitu: gangguan lambung,
mual, muntah, diare, pusisng, gemetar dan lain-lain dan akan mereda jika diberikan
anticholinergic agents (injeksi sulfas atropine 0,25 mg IM dan tablet trihexylfenidil
3x2 mg/hari). Obat anti-psikosis parenteral berguna untuk pasien yang tidak mau atau
sulit teratur makan obat atau tidak efektif dengan medikasi oral. Dosis dimulai dengan
0,5 cc setiap bulan. Pemberiannya hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan
terhadap skizofrenia.

Penggunaan CPZ sering menimbulkan hipotensi orthostatik pada waktu


merubah posisi tubuh. Hal ini dapat diatasi dengan injeksi nor-adrenalin (effortil IM).
Haloperidol juga dapat menimbulkan sindroma Parkinson, dan diatasi dengan tablet
trihexylfenidil 3-4x2 mg/hari.

Indikasi

Obat anti-psikosis merupakan pilihan pertama dalam menangani skizofreni, untuk


memgurangi delusi, halusinasi, gangguan proses dan isi pikiran dan juga efektif dalam
mencegah kekambuhan. Major transquilizer juga efektif dalam menangani mania,
Tourette’s syndrome, perilaku kekerasan dan agitasi akibat bingung dan demensia.
Juga dapat dikombinasikan dengan anti-depresan dalam penanganan depresi
delusional.

Efek Samping

 Extrapiramidal: distonia akut, parkinsonism, akatisia, dikinesia tardive


 Endokrin: galactorrhea, amenorrhea
 Antikolinergik: hiperprolaktinemia
Bila terjadi gejal tersebut, obat anti-psikosis perlahan-lahan dihentikan. Bisa
diberikan obat reserpin 2,5 mg/hari. Obat pengganti yang yang paling baik adalah
klozapin 50-100 mg/hari.
Reaksi idiosinkrasi yang timbul dapat berupa diskrasia darah, fotosensitivitas,
jaundice, dan Neuroleptic Malignant Syndrome (NSM). NSM berupa
hiperpireksia, rigiditas, inkontinensia urin, dan perubahan status mental dan
kesadaran. Bila terejadi NSM, hentikan pemakaian obat, perawatan suportif dan
berikan agonis dopamine (bromokriptin 3x 7,5 sampai 60 mg/hari, L-Dopa 2x100
mg atau amantidin 200 mg/hari)

Kontraindikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris yang tinggi,
ketergantungan alkohol, penyakit SSP dan gangguan kesadaran.
SEDIAAN ANTIPSIKOSIS DAN DOSIS ANJURAN
2. Anti Depresan
Antidepresan terutama digunakan untuk mengobati depresi, gangguan
obsesifkompulsif, gangguan ansietas menyeluruh, gangguan panik, gangguan fobik
dan pada kasus tertentu, enuresis nokturnal (antidepresn trisiklik) dan bulimia
nervosa (fluoxetine).
Pengaruh antidepressan pada neurotransmitter biogenik amin memiliki
mekanisme yang berbeda pada setiap golongan antidepressan. Terapi jangka
panjang dengan obat-obat tersebut telah membuktikan pengurangan reuptake
norepinephrine atau serotonin atau keduanya, penurunan jumlah reseptor beta pasca
sinaptik, dan berkurangnya pembentukan cAMP.

Tiga Fase Pengobatan Gangguan Depresif


Saat merencanakan intervensi pengobatan, penting untuk menekankan kepada
penderita bahwa ada beberapa fase pengobatan sesuai dengan perjalanan gangguan
depresif :
 Fase akut bertujuan untuk meredakan gejala
 Fase kelanjutan untuk mencegah relaps
 Fase pemeliharaan/rumatan untuk mencegah rekuren
Di pelayanan kesehatan primer, obat anti depresan yang tersedia biasanya
golongan trisiklik. Meskipun antidepresan trisiklik sampai saat ini merupakan obat
antidepresan yang paling banyak digunakan, tetapi penggunaannya masih belum
optimal karena kemampuan diagnostik dari pelayanan kesehatan primer belum
ditingkatkan juga belum berperannya konselor apoteker. Dari hasil penelitian
ternyata dosis yang digunakan masih terlalu rendah. Akibatnya, efek terapi yang
ingin dihasilkan tidak tercapai.
Antidepresan baru terlihat efeknya dalam 4 sampai 12 minggu. Banyak efek
samping bersifat sementara dan akan menghilang ketika obat diteruskan, dan
beberapa efek samping menetap seperti mulut kering, konstipasi dan efek seksual.
Orang berusia lanjut perlu mendapatkan perhatian atas daya absorbsi dan
kepekaannya terhadap efek obat. Monitor obat dan gejala perlu lebih cermat.
Mekanisme Kerja
Trisiklik (TCA) memblokade reuptake dari noradrenalin dan serotonin yang
menuju neuron presinaps. SSRI hanya memblokade reuptake dari serotonin.
MAOI menghambat pengrusakan serotonin pada sinaps. Mianserin dan mirtazapin
memblokade reseptor alfa 2 presinaps. Setiap mekanisme kerja dari antidepresan
melibatkan modulasi pre atau post sinaps atau disebut respon elektrofisiologis.

Cara Penggunaan
Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa diberikan sekali sehari dan
mengalami proses first-pass metabolism di hepar. Respon anti-depresan jarang
timbul dalam waktu kurang dari 2-6 minggu. Untuk sindroma depresi ringan dan
sedang, pemilihan obat sebaiknya mengikuti urutan:
Langkah 1 : golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Langkah 2 : golongan tetrasiklik (TCA)
Langkah 3 :golongan tetrasiklik, atypical, MAOI (Mono Amin Oxydase Inhibitor)
reversibel.

Pemberian Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
 Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
 Efek sekunder (efek samping) : sekitar 12-24 jam
 Waktu paruh : 12-48 jam (pemberian 1-2 kali perhari)

Ada lima proses dalam pengaturan dosis, yaitu:

a) Initiating Dosage (dosis anjuran), untuk mencapai dosis anjuran selama minggu
I. Misalnya amytriptylin 25 mg/hari pada hari I dan II, 50 mg/hari pada hari III
dan IV, 100 mg/hari pada hari V dan VI.
b) Titrating Dosage (dosis optimal), dimulai pada dosis anjuran sampai dosis
efektif kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari
selama 7 sampai 15 hari (miggu II), kemudian minggu III 200 mg/hari dan
minggu IV 300 mg/hari.
c) Stabilizing Dosage (dosis stabil), dosis optimal dipertahankan selama 2-3 bulan.
Misalnya amytriptylin 300 mg/hari (dosis optimal) kemudian diturunkan sampai
dosis pemeliharaan.
d) Maintining Dosage (dosis pemeliharaan), selama 3-6 bulan. Biasanya dosis
pemeliharaan ½ dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari.
e) Tappering Dosage (dosis penurunan), selama 1 bulan. Kebalikan dari initiating
dosage. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari à 100 mg/hari selama 1 minggu, 100
mg/hari à 75 mg/hari selama 1 minggu, 75 mg/hari à 50 mg/hari selama 1 minggu,
50 mg/hari à 25 mg/hari selama 1 minggu.

Dengan demikian obat anti depresan dapat diberhentikan total. Kalau kemudian
sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan seterusnya. Pada
dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari (single dose one hour
before sleep), untuk golongan trisiklik dan tetrasiklik. Untuk golongan SSRI
diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah sarapan. Pemberian obat anti depresi
dapat dilakukan dalam jangka panjang oleh karena “addiction potential”-nya sangat
minimal.

Indikasi
Obat antidepresan ditujukan kepada penderita depresi dan kadang berguna juga pada
penderita ansietas fobia, obsesif-kompulsif, dan mencegah kekambuhan depresi.

Efek Samping
Trisklik dan MAOI : antikolinergik(mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur,
konstipasi, sinus takikardi) dan antiadrenergik (perubahan EKG, hipotensi.
SSRI : nausea, sakit kepala
MAOI : interaksi tiramin
Jika pemberian telah mencapai dosis toksik timbul atropine toxic syndrome dengan
gejala eksitasi SSP, hiperpireksia, hipertensi, konvulsi, delirium, confusion dan
disorientasi. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasinya:
 Gastric lavage
 Diazepam 10 mg IM untuk mengatasi konvulsi

Kegagalan Terapi
 Kepatuhan pasien menggunakan obat (compliance), yang dapat hilang oleh
karena adanya efek samping, perlu diberikan edukasi dan informasi
 Pengaturan dosis obat belum adekuat
 Tidak cukup lama mempertahankan pada dosis minimal
 Dalam menilai efek obat terpengaruh oleh presepsi pasien yang tendensi
negative, sehingga penilaian menjadi “bias”.

3. Anti-Mania
Mania merupakan gangguan mood atau perasaan ditandai dengan aktivitas fisik
yang berlebihan dan perasaan gembira yang luar biasa yang secara keseluruhan
tidak sebanding dengan peristiwa positif yang terjadi. Hal ini terjadi dalam jangka
waktu paling sedikit satu minggu hampir setiap hari terdapat keadaan afek (mood,
suasana perasaan) yang meningkat ekspresif atau iritabel.1,2 Sindroma mania
disebabkan oleh tingginya kadar serotonin dalam celah sinaps neuron, khususnya
pada sistem limbik, yang berdampak terhadap “dopamine receptor
supersensitivity”. Lithium karbonat merupakan obat pilihan utama untuk
meredakan sindroma mania akut dan profilaksis terhadap serangan sindroma mania
yang kambuh pada gangguan afektif bipolar.2 Bentuk mania yang lebih ringan
adalah hipomania. Mania seringkali merupakan bagian dari kelainan bipolar
(penyakit manik-depresif). Beberapa orang yang tampaknya hanya menderita
mania, mungkin sesungguhnya mengalami episode depresi yang ringan atau
singkat. Baik mania maupun hipomania lebih jarang terjadi dibandingkan dengan
depresi. Mania dan hipomania agak sulit dikenali, kesedihan yang berat dan
berkelanjutan akan mendorong seseorang untuk berobat ke dokter, sedangkan
kegembiraan jarang mendorong seseorang untuk berobat ke dokter karena
penderita mania tidak menyadari adanya sesuatu yang salah dalam keadaan
maupun perilaku mentalnya.

Cara Penggunaan Obat


Pada mania akut diberikan haloperidol IM atau tablet litium karbonat. Pada
gangguan afektif bipolar dengan serangan episodik mania depresi diberi litium
karbonat sebagai obat profilaks. Daapt mengurangi frekwensi, berat dan lamanya
suatu kekambuahan. Bila penggunaan obat litium karbonat tidak memungkinkaan
dapat digunakan karbamezin. Obat ini terbukti ampuh meredakan sindroma mania
akut dan profilaks serangan sindroma mania pada gangguan afektif bipolar.
Pada ganguan afektif unipolar, pencegahan kekambuhan dapat juga denagn
obat antidepresi SSRI yang lebih ampuh daripada litium karonat. Dosis awal harus
lebih rendah pada pasien usia lanjut atau pasien gangguan fisik yang mempengaruhi
fungsi ginjal. Pengukuran serum dilakukan dengan mengambil sampeel darah pagi
hari, yaitu sebelum makan obat dan sekitar 12 jam setelah dosis petang.
Mekanisme kerja
Lithium Carbonate merupakan obat pilihan utama untuk meredakan Sindrom
mania akut atau profilaksis terhadap serangan Sindrom mania yang kambuhan pada
gangguan afektif bipolar.
Hipotesis: Efek anti-mania dari Lithium disebabkan kemampuannya
mengurangi ”dopamine receptor supersensitivity”, meningkatnya ”cholinergic-
muscarinic activity”, dan menghambat ”cyclic AMP (adenosine monophosphate)
dan phosphoinositides”.

Indikasi
Gejala sasaran: Sindrom mania. Butir-butir diagnostik terdiri dari:
 Dalam jangka waktu paling sedikit satu minggu hampir setiap hari terdapat
keadaan afek (mood, suasana perasaan) yang meningkat, ekspresif dan iritabel.
 Keadaan tersebut paling sedikit 4 gejala berikut:
1. Peningkatan aktivitas (ditempat kerja, dalam hubungan sosial atau seksual),
atau ketidak-tenangan fisik
2. Lebih banyak bicara dari lazimnya ataun adanya dorongan untuk bicara
terus menerus
3. Lompat gagasan (flight of ideas) atau penghayatan subjektif bahwa
pikirannya sedang berlomba
4. Rasa harga diri yang melambung (grandiositas, yang dapat bertaraf sampai
waham/delusi)
5. Berkurangnya kebutuhan tidur
6. Mudah teralih perhatian, yaitu perhatiannya terlalu cepat tertarik kepada
stimulus luar yang tidak penting
7. Keterlibatan berlebihan dalam aktivitas-aktivitas yang mengandung
kemungkina resiko tinggi dengan akibat yang merugikan apabila tidak
diperhitungkan secara bijaksana.
Kontra Indikasi
Wanita hamil karena bersifat teratogenik. Lithium dapat melalui plasenta dan
masuk peredaran darah janin, khususnya mempengaruhi kelenjar tiroid.

Efek samping
1. Efek samping Lithium berhubungan erat dengan dosis dan kondisi fisik pasien.
2. Gejala efek samping pada pengobatan jangka lama: mulut kering, haus,
gastrointestinal distress (mual, muntah, diare, feses lunak), kelemahan otot,
poliuria, tremor halus (fine tremor, lebih nyata pada pasien usia lanjut dan
penggunaan bersamaan dengan neuroleptika dan antidepresan) Tidak ada efek
sedasi dan gangguan akstrapiramidal.
3. Efek samping lain : hipotiroidisme, peningkatan berat badan, perubahan fungsi
tiroid, edema pada tungkai metalic taste, leukositosis, gangguan daya ingat dan
kosentrasi pikiran
4. Gejala intoksikasi
 Gejala dini : muntah, diare, tremor kasar, mengantuk, kosentrasi pikiran
menurun, bicara sulit, pengucapan kata tidak jelas, berjalan tidak stabil.
 Dengan semakin beratnya intoksikasi terdapat gejala: kesadaran menurun,
oliguria, kejang-kejang.
 Penting sekali pengawasan kadar lithium dalam darah.
5. Faktor predisposisi terjadinya intoksikasi lithium :
 Demam (berkeringat berlebihan)
 Diet rendah garam
 Diare dan muntah-muntah
 Diet untuk menurunkan berat badan
 Pemakaian bersama diuretik, antireumatik, obat anti inflamasi nonsteroid
6. Tindakan mengatasi intoksikasi lithium :
 Mengurangi faktor predisposisi
 Diuresis paksa dengan garam fisiologis NaCl diberikan secara IV 10 ml
7. Tindakan pencegahan intoksikasi lithium dengan edukasi tentang faktor
predisposisi, minum secukupnya, bila berkeringat dan diuresis banyak harus
diimbangi dengan minum lebih banyak, mengenali gejala dan intoksikasi dan
kontrol rutin.

4. Anti-Ansietas
Antiansietas adalah obat – obat yang digunakan untuk mengatasi kecemasan
dan juga mempunyai efek sedative, relaksasi otot, amnestic, dan antiepileptic.
Antiansietas yang terutama adalah benzodiazepine. Banyak golongan obat yang
mendepresi system saraf pusat (SSP) lain telah digunakan untuk sedasi siang hari
pada pengobatan ansietas, namun penggunaannya saat ini telah ditinggalkan.
Alasannya ialah antara lain golongan barbiturate dan meprobamat, lebih toksik
pada takar lajak (overdoses).
Dari golongan benzodiazepine, yang dianjurkan untuk antiansietas adalah
klordiazepoksid, diazepam, oksazepam, klorazepat, lorazepam, prazepam,
alprazolam, dan halozepam. Sedangkan klorazepam lebih dianjurkan untuk
pengobatan panic disorder.

Klasifikasi yang sering dipakai adalah :


1. Derivate benzodiazepine :
 Diazepam (valium)
 Bromazepam (lexotan)
 Lorazepam (ativan)
 Alprazolam (xanax)
 Clobazam (frisium)
2. Derivate gliserol :
 Meprobamat
3. Derivate berbiturat :
 Fenobarbital
Mekanisme Kerja

Mayoritas neurotransmitter yang melakukan inhibisi di otak adalah asam amino


GABA (gamma-aminobutyric acid A). Secara selektif reseptor GABA akan
membiarkan ion Chlorid masuk ke dalam sel, sehingga terjadi hiperpolarisasi
neuron dam menghambat penglepasan transmisi neuronal. Secara umum obat –
obat antiansietas ini bekerja di reseptor GABA. Benzodiazepine menghasilkan efek
pengikatan terhadap reseptor GABA tersebut.

Cara Penggunaan
1. Benzodiazepine memiliki rasio terapetik yang tinggi sebagai anti ansietas dan
kurang menimbulkan adiksi dengan toksisitas yang rendah dibandingkan
dengan meprobamate atau fenobarbital.
2. Benzodiazepine sebagai “drug of choice” karena memiliki spesifisitas, potensi
dan kemanannya.
3. Spectrum klinis benzodiazepine memliputi efek anti ansietas (lorazepam,
clobazam, bromazepam), antikonvulsan, anti insomnia
(nitrazepam/flurazepam), dan premedikasi tingkat operatif (midazolam).
4. Efek klinis terlihat bila kadar obat dalam darah telah mencapai “steady state”
dimana dapat dicapai 5-7 hari dengan dosis 2-3 kali sehari. Onset of action cepat
dan langsung memberikan efek.
5. Mulai dengan dosis awal (dosis anjuran) kemudian dinaikkan dosis setiap 3-5
hari sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan 2-3 minggu.
Kemudian diturunkan 1/8 x dosis awal setiap 2-4 minggu sehingga tercapai
dosis pemeliharan. Bila kambuh dinaikkan lagi dan tetap efektif pertahankan 4-
8 minggu.
6. Pemberian obat tidak boleh lebih dari 1-3 bulan dan penghentian selalu secara
bertahap.
Efek Samping dan Kontra Indikasi
Pada penggunaan dosis terapi jarang timbul efek samping seperti rasa
mengantuk, tetapi pada kadar takar lajak (overdoses) benzodiazepine menimbulkan
efek depresi SSP. Efek samping akibat depresi susunan saraf pusat berupa kantuk
dan ataksia yang merupakan kelanjutan dari efek farmakodinamik obat – obat
tersebut. Efek antiansietas diazepam dapat diharapkan terjadi bila kadar dalam
darah mencapai 300-400 ng/mL dan pada kadar ini sudah terjadi efek sedasi dan
gangguan psikomotor. Intoksikasi SSP yang menyeluruh terjadi pada kadar di atas
900-1000 ng/mL.
Hal yang ganjil adalah sesekali terjadi peningkatan ansietas. Respon semacam
ini terjadi khusus pada pasien yang merasa ketakutan dan terjadi penumpulan daya
pikir sebagai akibat efek samping sedasi antiansietas.Efek yang unik juga adalah
dimana terjadi peningkatan nafsu makan yang mungkin ditimbulkan oleh derivate
benzodiazepine secara mental.
Umumnya, toksisitas klinik benzodiazepine rendah. Bertambahnya berat
badan, yang mungkin disebabkan karena perbaikan nafsu makan, terjadi pada
beberapa pasien. Banyak efek samping yang dilaporkan pasien tumpang tindih
dengan dengan gejala ansietas, oleh sebab itu anamnesis yang cermat sangat
penting sehingga dapat dibedakan apakah benar merupakan efek samping atau
merupakan gejala ansietas.
Pemberian dalam jumlah besar dan jangka waktu lama menyebabkan toleransi
dan dependensi, serta gejala putus zat apabila obat dihentikan secara tiba–tiba.
Derivate benzodiazepine sebaiknya jangan diberikan bersama dengan alcohol,
barbiturate dan atau fenotiazin. Kombinasi ini mungkin menimbulkan efek depresi
yang berlebihan. Pada pasien dengan gangguan pernapasan, benzodiazepine dapat
memperberat gejala sesak napas.
Indikasi dan Sediaan
Derivate benzodiazepine digunakan untuk menimbulkan sedasi,
menghilangkan rasa cemas, dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan dengan
rasa cemas. Selainsebagai antiansietas, derivate benzodiazepine juga digunakan
sebagai hipnotik, antikonvulsan, pelemas otot, dan induksi anestesi umum yang
tentunya dosis untuk masing – masing tujuan penggunaan berbeda.
Sebagai antiansietas, klordiazepoksid dapat diberikan secara oral atau bila
sangat diperlukan, suntikan dapat diulang 2-4 jam dengan dosis 25 – 100 mg sehari
dalam 2 atau 4 pemberian. Dosis diazepam adalah 2-20 mg sehari, dan pemberian
suntik dapat diulang tiap 3-4 jam. Klorazepat diberikan secara oral 30 mg sehari
dalam dosis terbagi.
Klodiazepoksid tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg. diazepam
tersedia dalam bentuk tablet 2 mg dan 5 mg. diazepam tersedia sebagai larutan
untuk pemberian rektal pada anak dengan kejang demam. Alprazolam tersedia
dalam bentuk tablet 0,5 mg, 1 mg, dan 2 mg.

Toleransi dan Ketergantungan Fisik


Keadaan ini terjadi apabila benzodiazepine diberikan dalam dosis tinggi dan dalam
jangka waktu yang lama. Jadi pemberian golongan obat ini lebih dari 3 minggu
sebaiknya dihindari. Habituasi dapat terjadi akibat benzodiazepine, namun karena
waktu paruhnya panjang dan terjadi perubahan menjadi metabolit aktif, gejala putus
obat mungkin tidak akan Nampak selama 1 minggu sesudah penghentian obat pada
pemakaian kronik. Umumnya pada pemberian dengan dosis biasa tidak akan terjadi
gejala putus obat.
KETRAMPILAN KLINIK DASAR PEMERIKSAAN PSIKIATRI

I. PENGANTAR
Pemeriksaan psikiatri (gangguan jiwa) berbeda dengan pemeriksaan medis umum
karena pasien tidak sepenuhnya memiliki kemampuan untuk menyadari adanya gangguan
psikiatri dan bahkan pasien dapat datang dengan beberapa keluhan somatik/fisik.
Dokterpun kadang meremehkan keberadaan gangguan mental, bahkan beberapa tidak
yakin bahwa gangguan psikiatri sebagai gangguan medis yang “nyata” dan hanya
menfokuskan pada keluhan fisik. Wawancara psikiatrik yang baik merupakan salah satu
modal dasar yang harus dimiliki oleh psikiater karena wawancara selain merupakan alat
untuk mendapatkan data juga harus bersifat terapetik Selama melakukan wawancara, kita
harus mengidentifikasi psikopatologi yang terdapat pada pasien, menginterpretasikan
psikopatologi itu ke dalam suatu gejala atau sindroma klinik yang esensial untuk dapat
menegakkan diagnosis (dalam hal ini diagnosis multiaksial dengan menggunakan kriteria
PPDGJIII) melalui suatu proses yang efisien

II. PEMERIKSAAN PSIKIATRI


2.1 WAWANCARA
Proses wawancara dapat dilakukan pada pasien sendiri (autoanamnesa) maupun
dengan orang lain yang mengantar/keluarganya (heteroanamnesa) atas seijin pasien dan
sesuai indikasi. Dahulukan autoanamnesa secara terpisah sebagai penghargaan terhadap
penderita dan tidak menimbulkan kecurigaan, terutama pada penderita dengan kepribadian
agak curiga.

Screening dan Follow Up


Awali dengan pertanyaan terbuka (open ended question), kemudian sesuaikan gaya
wawancara dengan komunikasi yang berjalan spontan saat itu. Ingatlah untuk tetap
fleksibel, menjauhkan dari asumsi pribadi terhadap keadaan penderita, dan waspada
terhadap reaksi emosional yang mungkin terjadi. Gunakan pertanyaan tertutup (closed
ended question) pada saaat yang tepat untuk mengumpulkan berbagai detil yang tidak dapat
diformulasikan menjadi gambaran klinis atau diagnosis. Pendekatan yang baik adalah
dengan mengkombinasikan keduanya dengan teknik yang berkelanjutan dari pertanyaan
luas ke pertanyaan yang terfokus dan tajam.
Pendekatan yang baik adalah dengan mengkombinasikan keduanya dengan teknik
yang berkelanjutan dari pertanyaan luas ke pertanyaan yang terfokus dan tajam. Memulai
topik baru dengan pertanyaan terbuka yang luas; lanjutkan dengan memfokuskan pada satu
topik target; dan akhiri dengan serial pertanyaan yang semakin menyempit, sesekali tertutup
– tipe ya/tidak. Pertanyaan ya/tidak dapat digunakan untuk verivikasi, spesifik, atau
memancing respon. Jika ingin menghindari pertanyaan tertutup, gunakan pertanyaan
terbuka yang tajam dan fokus. Penderita gangguan jiwa sering mengalami distorsi
tranferensi. Kewaspadaan dan penghargaan tetang dinamika hubungan penderita dan dokter
serta potensinya untuk distorsi transferensi tentang dokter dari penderita, merupakan faktor
yang sangat penting bagi dokter agar tetap obyektif, menjaga jarak, menunjukkan empati
dan tidak terlalu banyak sehingga tidak hanyut dalam perasaan terhadap pasien. Dengan
pandangan demikian maka dokter akan tetap sabar, toleran dan cukup bebas dari cemas
pribadi menghadapi penderita.
Anamnesis, bertujuan untuk menggali data subyektif dengan menanyakan alasan
berobat dari keluhan utama pasien, riwayat gangguan sekarang, gangguan dahulu, riwayat
perkembangan diri, latar belakang sosial, keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan perkawinan.
Jangan terlalu berharap pada wawancara yang pertama, tapi pupuklah kepercayaan pelan-
pelan sehingga dengan pertanyaanpertanyaan yang halus kita dapat membuka rahasia hidup
penderita tanpa menimbulkan rasa cemas yang berlebihan. Penderita yang sangat terganggu
secara akut harus diperiksa secepat mungkin sebab keadaannya mungkin cepat berubah.

Klarifikasi Riwayat
Tiap pasien mempunyai cara menjawab yang berbedabeda. Beberapa pasien
menjawab pertanyaan dengan jelas, yang lainnya menjawab secara sempit, tidak sesuai
dengan pertanyaan, tidak jelas, atau sirkumstansial. Dalam beberapa situasi, pewawancara
perlu membantu pasien untuk dapat memberi jawaban yang lebih jelas. Teknik yang dapat
membantu pasien memperjelas jawabannya adalah specification, generalization, checking
symptom, leading question, probing, interrelation, dan summarizing. Spesifikasi dilakukan
bila pasien yang memberikan jawaban tidak jelas maka pertanyaan bias ubah menjadi lebih
tertutup, generalisasi dilakukan bila pasien hanya memberikan informasi yang spesifik saat
pewawancara memerlukan penjelasan mengenai pola perilaku secara keseluruhan.
Pewawancara dapat mengajukan beberapa daftar gejala (checking symptom) kepada pasien
untuk membentu menilai adanya psikopatologi, hal tersebut dilakukan jika cerita yang
disampaikan pasien tidak jelas. Leading question mengarahkan pasien pada jawaban yang
spesifik. Pasien kadang menyampaikan makna dan pentingnya suatu situasi yang ia alami
tanpa menjelaskan alasannya. Pewawancara harus mencoba untuk menemukan alasan
tersebut dengan teknik yang disebut probing. Pewawancara harus melakukan eksplorasi
mengenai hubungan (interrelation) yang tidak logis yang disampaikan oleh pasien dalam
wawancara. Teknik summaries berguna pada pasien yang memberikan jawaban yang tidak
jelas atau sirkumstansial, asosiasi longgar, flight of ideas, seperti pada pasien bipolar atau
siklotimia. Teknik ini membantu memfokuskan perhatian pasien. Dengan teknik ini
pewawancara juga dapat merefleksikan kembali pada pasien apa yang dipikirkan oleh
pewawancara mengenai katakata pasien. Pewawancara perlu berhati-hati dalam
menggunakan teknik ini karena dapat mengarahkan pasien dan pewawancara meletakkan
kata-katanya pada pasien.

2.1.1. Identifikasi
Meliputi pertanyaan tentang identitas dan orientasi. Bermanfaat untuk administrasi dan
agar tidak salah mengenali pasien. Selain itu, komponen-komponen ini ada kaitannya
dengan penyakit tertentu. Misalnya schizophrenia serangan pertamanya biasanya pada usia
kurang dari 45 tahun, depresi lebih banyak terjadi pada wanita. Daerah Blitar secara
epidemiologis banyak penduduknya yang terkena schizophrenia. Identifikasi pasien
meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, suku bangsa/latar belakang, kebudayaan, status
sipil, pendidikan, dan pekerjaannya. Orientasi dinilai dengan menanyakan posisi pasien
sekarang dalam ruang dan waktu.

2.1.2. Keluhan utama


Sebab utama yang menyebabkan seseorang secara aktif/pasif datang/dibawa berobat
(tidak harus ke dokter) menurut pasien dan/atau keluarganya. Misalnya, tertawa sendiri
tanpa sebab, nangis tanpa sebab, gaduh gelisah, bingung, kemudian dikaitkan dengan fungsi
mental yang mana. Lakukan autoanamnesa terlebih dahulu dengan menanyakan alasan
pasien datang/berobat, berapa lama ia mengalami gangguan tersebut, apakah ada pencetus
yang berhubungan dengan awal keluhannya, dan bagaimana pasien memahami
gangguannya. Heteroanamnesa yang ditanyakan meliputi sejak kapan tampak perilaku tidak
yang wajar tersebut, perkiraan mengapa hal tersebut terjadi, dan berapakali kambuhnya.

2.1.3. Riwayat Penyakit sekarang


Bertitik tolak dari keluhan utama yaitu permulaan gangguan (gejala/tanda pertama)
hingga keadaan sekarang. Susun secara sistematis dan kronologis. Didapatkan dari
anamnesa baik secara heteroanamnesa atas ijin penderita (bila diindikasikan agar secara
cepat tahu gambaran gejala) maupun autoanamnesa (dahulukan) dengan prinsip 5W+How.
Tanyakan fungsi jiwa secermat mungkin antara lain:
 Afek emosi : apa pasien pernah menangis/tertawa tanpa sebab
 Proses berfikir : apakah pasien pernah berbicara melantur. Rincilah apa yang
dibicarakan nilailah bentuk dan isi pikiran, sedangkan arus pikiran tidak bisa dinilai karena
tidak direkam saat itu.
 Presepsi : pernahkan melihat/mendengar sesuatu yang tidak dilihat/didengar
orang lain
 Kemauan : bagaimana tentang perawatan diri, pekerjaan, pergaulan sosial
2.1.4. Riwayat Penggunaan
Obat-obatan Tanyakan pola penggunaan obat-obatan terlarang termasuk intake
alkohol dan penggunaan mariyuana, kokain, heroin dan halusinogen.

2.1.5. Riwayat Psikiatri terdahulu


Tanyakan apakah pasien sebelumnya pernah mengalami gangguan yang sejenis,
termasuk apakah sudah pernah menemui dokter dan mendapat pengobatan. Bila sudah, rinci
jumlah, warna obat yang pernah diterima dan hasil pengobatan serta riwayat perawatan di
rumah sakit.

2.1.6. Riwayat Perkembangan dan Sosial


Riwayat pribadi ditanyakan antara lain mengenai perkembangan fisik dan mental,
hubungan antar manusia, hidup, emosi, sifat, minat, kemampuan, prestasi, ketrampilan,
pengalaman penting, kepercayaan, gangguan jiwa yang pernah dialami yang dapat dibagi
dalam masa-masa : graviditas ibunya, kelahiran bayi, kanak-kanak, pubertas, adolesens,
dewasa, tua/senja usia. Misalnya menanyakan penderita anak ke berapa dari berapa
bersaudara (predesposisi anak ke-1 dan terakhir atau anak tunggal), masa kelahiran,
pertumbuhan, dididik, tinggal dengan siapa, riwayat perkembangan pendidikan, riwayat
pekerjaan (suka pindah? kenapa?), bakat, minat, penggunaan waktu luang dan riwayat
pernikahan.
2.1.7. Faktor Premorbid
Untuk mengetahui penyebab dan prognosa penyakit. Mulai dari lahir, balita, sekolah
dasar, hingga sekarang. Berhubungan dengan keturunan, riwayat perkembangan dan
stressor psikososial. Kepribadian premorbid, diperlukan untuk mengetahui prognosa.
Tentukan sifat-sifat sebelum timbulnya gangguan bila tidak ditemukan gangguan
kepribadian sebutkan ciri-ciri kepribadian. Jika ditemukan sesuaikan dengan kriteria
PPDGJ III.
2.1.8. Faktor Keturunan
Riwayat keluarga orang tua, saudara, susunan keluarga, susunan anggota rumah
tangga dalam rumah yang ditempatinya, anggota keluarga yang pernah atau sedang
menderita gangguan jiwa atau penyakit fisik lain. Apakah ada keluarga (ayah, ibu, saudara,
suami/istri) yang menderita gangguan jiwa dan apakah pernah sampai MRS.
2.1.9. Faktor Pencetus
Faktor pencetus/stressor psikososial, peristiwa apa yang mendahului gejala, untuk
mengetahui prognosa dan cara terapi.
2.1.10. Faktor Organik/Riwayat penyakit medis terdahulu
Pernahkah mengalami penyakit fisik misalnya kejang (mulai lahir sampai sekarang),
DM, stroke, Hipertensi.
2.1.11. Riwayat Pengobatan
Tanyakan obat-obatan yang sering ia gunakan baik yang dengan resep atau tanpa
resep.

2.2. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan, secara obyektif didapatkan dari penilaian status mentalis, penilaian
kognitif, bila diindikasikan dapat dilakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
dan scan otak. Penilaian status psikiatri perlu disesuaikan dengan sosio ekonomi dan latar
belakang pendidikan.
2.2.1 Status Internistik
Pemeriksaan kardiologi sederhana berupa denyut nadi dan tekanan darah.
2.2.2 Status Neurologik
Pemeriksaan neurologis sederhana antara lain tonus otot, refleks, dan nervus
cranialis.
2.2.3 Status Psikiatri (autoanamnesa)
Status Praesens (tanggal, jam)
 Kesan Umum, amati wajah, apakah sesuai dengan usia, kontak mata, cara
berpakaian, rambut, hygiene pribadi salah satunya dari bau, cara duduk, bersikap dan
perilaku terhadap pemeriksa, cara berjalan, psikomotor yang melambat atau agitasi.
 Kontak
 Verbal : lancar, tidak lancar, relevan, irrelevan
 Non verbal : tulis, gambar, isyarat (misalnya beri minum lihat responnya)
 Kesadaran :
 Orientasi, terhadap waktu, ruang, nama, identitas dan orang lain
 Atensi, perhatian dan konsentrasi terhadap pertanyaan yang diajukan. Dapat
ditanyakan dengan pertanyaan pasien datang dengan siapa, dimana ia memarkir
kendaraannya, atau kapan ia membuat janji untuk datang pada pemeriksa saat ini. Dari
pertanyaan tersebut, pemeriksa dapat menentukan seberapa besar atensi, konsentrasi,
orientasi dan memori.
 Memori, penilaian daya ingat pasien dapat dilakukan secara informal. Saat
pemeriksa memperkenalkan diri dan pasien dapat mengulang menyebut nama pemeriksa
(immediate recall). Untuk menilai memori jangka sedang dan panjang pasien dapat diajak
menceritakan kejadian yang telah lama terjadi.
 Afek – Emosi : amati keadaan emosional pasien (misalnya: depresi, gembira,
cemas) yang biasanya dikemukkan sendiri oleh pasien. Afek adalah penilaian terhadap
keadaan emosi pasien yang terdiri dari:
 Tingkatan afek, atau spektrum mood yang ditunjukkan pasien. Terdiri dari: (a)
penuh (normal) yaitu emosi yang berubah sesuai dengan keadaan yang dibicarakan, (b)
terbatas, yang sering tampak sedih (pasien depresi) dan dapat juga tiba-tiba meningkat
(pasien manik), dan (c) datar, yaitu pasien yang menunjukkan sedikit sekali emosi, terutama
pada pasien
 Kesesuaian, yaitu seberapa sesuai keadaan emosi dengan skizoprenia.
 Kelabilan, yaitu kecepatan perubahan mood pasien. subyek pembicaraan. Jika
pasien membicarakan kesedihan malah bergembira berarti termasuk tidak sesuai.
 Proses Berfikir : bentuk (adanya ide aneh; normalnya realistis ditanya
menjawab sesuai pertanyaan), arus, isi. Terbagi menjadi :
 Linear : menjawab langsung sesuai pertanyaan.
 Circumstance : jawaban berputar-putar dari pertanyaan yang
sebenarnya
 Tangensial : jawaban tidak berhubungan dengan pertanyaan, terjadi
bila pasien cemas, atau mengalami demensia
 Flight of idea : tampak pada mania, pikiran pasien melompat-lompat
dari ide satu ke ide lainnya yang sulit untuk diikuti
 Asosiasi longgar : pasien menunjukkan ide-ide yang tidak
berhubungan
 Pikiran blocking : pikiran pasien tiba-tiba terhenti tanpa tujuan yang
jelas, kadang muncul pada psikosis.
 Berfikir kongkrit : pasien tidak dapat berfikir abstrak, sehingga
responnya sering ekstrim.
 Preservasi : perilaku, sikap dan pola bicara yang berulang. Sering
merupakan tanda dari disfungsi sistem saraf.

Isi pikiran, jenisnya antara lain:


 Waham : keyakinan pribadi yang salah (tidak sesuai dengan
pendekatan rasional) yang dipertahankan. Waham paranoid : termasuk
keyakinan bahwa pasien sedang dikejar kelompok tertentu.
 Waham kebesaran : keyakinan bahwa pasien lebih berbakat, terkenal
daripada keadaan yang sesungguhnya.
 Waham somatik : keyakinan bahwa ada ssesuatu yang salah pada
bagian tubuhnya, atau ia menderita penyakit tertentu.
 Waham bersama : terjadi bila salah satu anggota keluarga juga
mengalami waham yang sama.
 Paranoia : perasaan kecurigaan secara umum, kecenderungan untuk
menganggap sesuatu yang diluar dirinya berbahaya.
 Ide bunuh diri : pikiran yang selalu mengarah pada rasa ingin bunuh
diri.
 Ide membunuh : pikiran untuk membunuh orang lain.
 Ide referensi : pasien merasa pernah mengalami hal tertentu atau pergi
ke tempat tertentu.
 Intelegensi, sesuai dengan tingkat pendidikan (angka, pengetahuan umum, beda
jeruk dengan bola).
 Persepsi
 Halusinasi : presepsi sensoris tanpa adanya input sensoris. Dapat terjadi
pada sebuah indra sensoris antara lain halusinasi auditorius (mendengar
sesuatu tanpa ada sumber bunyi), halusinasi visual (melihat sesuatu yang
tidak ada). Terjadi pada pasien scizophrenia, delirium, mania.
 Ilusi : presepsi yang salah terhadap input sensoris. Misalnya menganggap
batu yang dilihat sebagai buah. Terutama terjadi pada delirium.
 Derealisasi dan depersonalisasi : perasaan tidak nyaman karena diri
sendiri atau dunia luar berubah dan menjadi tidak nyata.
 Kemauan/volition : motivasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari,
berhubungan dengan perawatan diri, pekerjaan, pergaulan social.
 Psikomotor : terdiri dari postur yaitu tonus otot tubuh pasien yang berkaitan
dengan energi dan ketegangan dan gerakan psikomotor haruslan bertujuan yang
dibedakan atas bahasa tubuh ekspresif untuk menekankan apa yang ingin
disampaiakan secara verbal dan simbolik yang tergantung budaya untuk
mewakili apa yang ucapakan oleh verbal.

2.3 DIAGNOSIS MULTIAXIAL


Diagnosis, berupa diagnosis multiaxial sesuai PPDGJ III yang mengacu pada
DSM IV dengan mempertimbangkan keadaan komorbid yang berhubungan :
Axis I : Gangguan Klinis
Kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis
Axis II : Gangguan Kepribadian
Retardasi Mental
Axis III : Kondisi Medik Umum
Axis IV : Masalah Psikososial dan Lingkungan
Axis V : Global Assessment of Functioning - GAF Scale
Keterangan :
0 : tidak dilakukan
1 : ya dengan tidak sempurna
2 : ya dengan sempurna
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan SG, Setabudy R, Nafrialdi, dan Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi
ke-lima. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. hal. 171-7

2. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Synopsis of Psychiatry : Behavioral


Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, 2007.

3. Maslim R. Panduan Praktis : Penggunaan Obat Psikotropik (Psychotropic


Medication). Edisi ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Ama

4. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Lippincott’s Illustatrated Reviews:


Pharmacology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2000.

5. Lieberman JA, Tasman A. Handbook of Psychiatric Drugs. Chester city : John


Wiley&Sons Ltd ; 2006.

6. Hollister LE. Obat antidepresan. Dalam: Farmakologi dasar dan klinik. Katzung
BG. Edisi ke-enam.1998. Jakarta: EGC. hal. 467-77.

7. Richard F, Michelle C, and Luigi C. Antidepressants; in Lippincott's Illustrated


Reviews: Pharmacology. Harvey AR and Champe PC. 4th Edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. 2009. p. 142-50.

8. Departemen Kesehatan Ditjen Bina Pelayanan Medik Direktorat Bina Pelayanan


kesehatan Jiwa. Buku pedoman pelayana kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan
kesehatan dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan Ditjen Bina Pelayanan Medik
Direktorat Bina Pelayanan kesehatan Jiwa.2006. hal. 59-64.

9. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
2010. hal. 356-60.

10. Support Hope Inc. Antipsychotic : Haloperidol, Haldol. Disitasi tanggal : 05 Mei
2009 dari http://www.supporthope.com/medication/anti_anxiety/index.html. Last
update : Januari 2008.

Anda mungkin juga menyukai