Orang tua Bagong, RB Tjondro Sentono menikah dengan Siti Aminah, Dari hasil
perkawinan mereka, lahirlah Kus Sumarbirah, Bagong Kussudiardja, Handung Kussudyarsana,
dan terakhir Lilut Kussudyarto. Kakeknya, Gusti Djuminah konon adalah putra mahkota Sultan
HB VII yang karena membelot, terpaksa harus menjalani hukuman kurantil (pengasingan).
Ia adalah ayah dari Butet Kertaradjasa dan Djaduk Ferianto. Kakek enam cucu ini juga
pelukis, bahkan termasuk perintis seni lukis batik kontemporer. Ia juga pernah bermain film,
antara lain dalam Kugapai Cintamu. Pada 1985, ia menerima Hadiah Seni Pemerintah RI, dan
penghargaan Sri Paus Paulus VI atas fragmennya Perjalanan Yesus Kristus. Untuk lukisan
abstraknya yang dipamerkan di Dacca, ia beroleh medali emas dari pemerintah Bangladesh pada
1980.
Pada Desember 1984, Bagong memulai perjalanan lima bulan ke tujuh negara Eropa.
Bersama 14 penari, ia mengadakan 69 kali kegiatan: pentas tari, seminar, lokakarya, pameran
batik, dan demonstrasi melukis batik. Pada Hari Kebangkitan Nasional di Jakarta, 20 Mei 1985,
ia mempertunjukkan Pawai Lintasan Sejarah Indonesia, didukung 710 penari dan figuran.
Sebulan kemudian, Bagong beserta 100 penari muncul di pesisir Parangtritis, 27 km di selatan
Yogyakarta. Pentas tari kreasinya berjudul Kita Perlu Berpaling ke Alam dan Bersujud pada-
Nya. Bulan berikutnya ia dengan 15 penari manggung di Malaysia, mementaskan tari Gema
Nusantara, Igel-igelan, dan Ratu Kidul. Pada 5 Oktober 1985 di Jakarta, ia menampilkan Pawai
Lintasan Sejarah ABRI yang melibatkan 8.000 seniman, militer, hansip, dan veteran.
Masa kecilnya yang sulit, kendati ia cucu G.P.H. Djuminah, kakak Sri Sultan
Hamengkubuwono VIII, membuat Bagong suka bekerja keras. Ayahnya, pelukis wayang dan
penulis aksara Jawa, kurang mampu menopang kehidupan keluarga. Bagong harus melakoni
berbagai pekerjaan seperti menambal ban dan jadi kusir andong.