Abstract
Inovasi penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia, hingga kini, sedang
berada pada tahap pengintegrasian ragam produk dalam proses penyampaian
layanan. Ragam produk layanan publik, terutama produk perizinan dan non
perizinan yang sebelumnya dikelola secara parsial melalui sejumlah instansi
teknis pemerintah, kini dikelola dalam format kelembagaan tunggal,
sebagaimana praktek “Pelayanan Terpadu Satu Pintu” (PTSP: One stop service:
OSS).
Peran inovatif “Pelayanan Terpadu Satu Pintu”, kini terus dikembangkan.
Perspektif pengembangan, terutama difokuskan pada fungsi-fungsi administratif
dan pemanfaatan perangkat pendukung teknologi informasi (e-gov). Pada sisi
lain, masalah yang diidap masayarakat dalam upayanya mendapatkan
pelayanan, belum terurai secara presisi. Masalah jarak dan waktu tempuh
menuju pusat pelayanan (Kantor-kantor pelayanan: OSS) serta akibat biaya yang
ditimbulkannya, masih membebani. Situasi ini sangat lazim dialami masyarakat
di kabupaten, kota dan provinsi karena topografi Indonesia terbagi dalam
wilayah-wilayah administrasi daratan dan pulau-pulau yang luas.
Perhatian riset ini tertuju pada penciptaan model konseptual lanjutan dari one
stop service, sebagaimana konsep “Pelayanan Terpadu Satu Pintu” (OSS) yang
telah lama dipraktekkan di Indonesia. Bertujuan untuk mengurai beban
permasalahan yang diidap oleh masyarakat pengguna layanan pada wilayah
administrasi daratan dan pulau-pulau yang luas. Disamping tujuan filosofis,
membangun kesepadanan (isomorfism) antara amanat regulasi dan fakta empiris
pelayanan publik.
Direkomendasikan bahwa peluang dan potensi implementasi konsep “Super
Service Delivery”sebagai model konseptual lanjutan dari one stop service, kini,
sudah cukup realible. Kewenangan, tugas pokok dan fungsi “Kantor Pelayanan
Terpadu Satu Atap”, secara regulatif dan administratif dapat diulur mendekati
(stretched close) warga masyarakat yang jauh diberbagai wilayah pelosok karena
pengguna orisinil layanan publik ada disana. Dengan semakin dekatnya simpul-
simpul pelayanan publik dengan masyarakat yang berdomisili di wilayah-wilayah
1
pelosok, maka tidak akan ada lagi beban biaya tambahan untuk menjangkau
layanan.
Teknisnya, tugas dan fungsi pelayanan PTSP selaku institusi penyelenggara one
stop service, implemetasinya didelegasikan melalui Kantor-Kantor Kecamatan di
berbagai pelosok wilayah, bahkan cukup mungkin didelegasikan hingga ke
Kantor-Kantor Kelurahan/Kantor Desa. Pihak PTSP hanya perlu menempatkan 1
(satu) hingga 2 (dua) orang personil untuk melaksanakan tugas ini. Teknik ini,
secara administratif memanfaatkan jaringan kerja pemerintahan dan jaringan e-
gov yang telah siap dan mampu memediasi pencatatan dan transaksi secara real
time. Bank Pemerintah Daerah dapat juga memberikan dukungannya dengan
cara yang sama untuk menangani tatakelola transaksi super delivery service in
remote areas ini.
Keywords: ......................................................................................................
Disciplines: Public Administration
Type: Research Paper
1. Pendahuluan
Salah satu prinsip dasar pelayanan publik yang baik adalah accessible.
Artinya, lokasi dan tempat pelayanan, selain mudah dijangkau (Tervo et al., 2013;
Moseley, 1997; dan Farrington, 2005), pula tidak memberi beban tambahan
kepada pelanggan yang membutuhkan pelayanan (Penchansky and Thomas, 1981;
Saurman, 2015). Beban tambahan yang lazim timbul dalam kaitan ini adalah
jarak, yang berimplikasi biaya dan waktu yang terpaksa harus ditanggung oleh
warga masyarakat guna menjangkau pusat pelayanan. Dewasa ini, aksesibilitas
pelayanan publik dengan masalah teknis beban waktu dan biaya yang ditimbulkan
oleh jarak tempuh menuju pusat pelayanan publik, mulai disadari masyarakat di
seluruh pelosok wilayah Indonesia (Purnomo dan Wulandari, 2017). Gejala ini
tampak menyerupai fase yang akan menandai berakhirnya euforia penerapan
konsep one stop service di Indonesia dan mulainya gelagat perkembangan konsep
OSS.
Terdapat dua model pelayanan terpadu yang merujuk konsep one stop
service dan telah lama dipraktekkan di Indonesia. Model pertama disebut sebagai
penyelenggaraan “Pelayanan Terpadu Satu Atap” (PTSA); Pola pelayanan terpadu
satu atap ini diselenggarakan pada satu tempat, menyediakan berbagai jenis
pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui
beberapa pintu. Terhadap jenis pelayanan yang sudah dekat dengan masyarakat
tidak perlu disatuatapkan. Model kedua, penyelenggaraan “Pelayanan Terpadu
Satu Pintu” (PTSP). Pola pelayanan terpadu satu pintu ini diselenggarakan pada
satu tempat, menyediakan berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan
proses dan dilayani melalui satu pintu. Kedua model pemberian layanan itu
berlangsung hingga kini, namun masyarakat mulai menyadari bahwa
sesungguhnya pelayanan yang didapatkan itu masih menyisakan permasalahan
sehingga belum secara presisi memenuhi espektasi (Purnomo dan Wulandari,
2017).
2
Sesungguhnya, terjemahan aksesibilitas pelayanan publik tersebut di atas
relevan dengan konteks amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Undang-undang tersebut mengamanatkan wewenang
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan
perundang-undangan. Melalui otonomi daerah, telah didelegasikan sebagian besar
kewenangan yang tadinya berada pada pemerintah pusat kepada pemerintah
kabupaten dan kota sebagai daerah otonom, sehingga dapat lebih cepat dalam
merespon tuntutan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Mendekatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga dapat lebih berkualitas.
Aksesibilitas pelayanan publik dalam konteks Undang-undang tersebut,
mengandung terjemahan yang sama dengan sejumlah tesis pemikiran di atas yakni
derajad kemudahan pelayanan yang disediakan untuk dijangkau oleh warga
masyarakat.
Karena masyarakat telah mulai menyadarinya, maka dapat dikatakan, tren
permasalahan pelayanan publik di Indonesia pasca penerapan konsep one stop
service, mulai berkembang dari isu kualitas pelayanan kepada isu kenyamanan
warga masyarakat dalam menjangkau pusat-pusat pelayanan publik (Purnomo dan
Wulandari, 2017). Praktek kedua model pelayanan yang dimaksudkan sebagai
hasil rujukan konsep one stop service tersebut, belum mampu menghadirkan
pelayanan yang secara nyata dekat dan tidak berimplikasi biaya baru diluar biaya
pelayanan. Betapa tidak, warga yang berdomisili jauh dari pusat kota, baik
kabupaten maupun provinsi, harus menempuh jarak ratusan kilometer untuk
mendapatkan pelayanan perizinan dan non perizinan. Situasi ini sangat khas bagi
masalah pelayanan di Indonesia sebagai negara dengan wilayah administrasi
daratan dan pulau-pulau yang luas.
Implikasi biaya baru diluar biaya pelayanan tersebut bisa berbentuk biaya
transportasi dari tempat domisili warga menuju pusat kota pemerintahan, dimana
kantor pelayanan berkedudukan. Apabila proses mendapatkan pelayanan publik
ini tidak dapat diselesaikan dalam waktu satu hari, maka konsekwensi yang harus
ditanggung oleh warga adalah mengeluarkan biaya lain yaitu, biaya akomodasi
penginapan, guna menghemat waktu dan tenaga. Bahkan dimungkinkan pula
biaya transportasi berganda apabila, ternyata kelengkapan dokumen yang dibawa
warga belum memenuhi persyaratan. Dengan demikian, warga harus pulang untuk
mencukupinya, lalu kembali lagi ke tempat pelayanan.
Dalam berbagai penelitian terkini, penanganan masalah seperti itu lazim
diatasi menggunakan pelayanan berbasis online. Dengan pelayanan berbasis
online, warga masyarakat dimanapun tentu dapat mengakses layanan dengan
mudah. (Aritonang, 2017; Anshari and Lim, 2016; Chatzoglou, Chatzoudes and
Symeonidis, 2015; Alshehri, Drew and Al Ghamdi, 2012; Brown, 2005). Namun
solusi seperti itu belum dapat diterapkan secara menyeluruh di Indonesia.
Kapasitas dan kemampuan warga masyarakat di seluruh pelosok wilayah
Indonesia dalam merespon fasilitas layanan publik online terhambat kemampuan
literasi teknologi informasi. Meskipun demikian, kemampuan institusi pemerintah
menyediakan layanan berbasis online sudah cukup memadai, bahkan telah sampai
pada tersedianya aplikasi khusus untuk smartphone. Layanan publik berbasis
3
online hanya lazim diakses oleh kalangan bisnis (goverment to business) dan
kalangan tertentu di perkotaan, belum termasuk kalangan masyarakat di luar
perkotaan yang pada umumnya bekerja sebagai petani dan jumlahnya justru jauh
lebih banyak (Aritonang, 2017).
Oleh karena itu, model konseptual Super service delivery ini berupaya
mengambil posisi mendekatkan pelayanan kepada sebagian besar masyarakat
yang berdomisili di wilayah pelosok negeri dengan memberi respek terhadap
kapasitas keuangan dan posisi periferalnya. Disamping mencoba menggagas
model public service delivery yang sebangun dengan amanat aturan perundangan
yang berlaku agar sejatinya pelayanan publik yang disediakan tidak lagi memberi
beban biaya tambahan kepada warga masyarakat pada saat akan mengakses
pelayanan publik.
Kondisi yang digambarkan di atas adalah ciri permasalahan aksisibilitas
pelayanan publik pada latar wilayah administrasi daratan dan pulau-pulau luas di
Indonesia yang membebani masyarakat. Kebijakan pemekaran wilayah atau
pembentukan daerah otonomi baru yang semarak sejak disahkannya UU No 22
Tahun 1999, tidak mampu memutus mata rantai permasalahan tersebut. Meskipun
pemekaran wilayah memang lebih berorientasi politik kekuasaan dibanding
pertimbangan implementasi manajemen teknokratik, namun basis persoalan
sesungguhnya memang karena luasnya wilayah administrasi pemerintahan daerah-
daerah di seluruh Indonesia. Namun, meski administrasi wilayah daerah-daerah
pemerintahan baru telah terbentuk hingga mencapai 215 daerah otonom baru yang
terdiri dari tujuh provinsi, 173 kabupaten, dan 35 kota, akan tetapi simpul-simpul
pelayanan publik (PTSP) tetap berkedudukan di pusat kota, kabupaten dan
provinsi, dan belum juga menghampiri atau mendekati warga di wilayah pelosok.
Faktor yang secara langsung mempengaruhi kondisi tersebut berawal dari
model pelayanan yang diterapkan sebagai hasil interpretasi konsep one stop
service (PTSP) dengan format kelembagaan tunggal dan mandiri yang
mengintegrasikan beragam varian produk layanan perizinan dan non perizinan.
PTSP adalah model pelayanan yang dahulu diterima sebagai hasil inovasi,
kemudian kini disadari menciptakan beban tambahan diluar pelayanan pada pihak
warga masyarakat di wilayah pelosok. Perangkat e-goverment yang terus
berkembang terbukti belum juga mampu mengatasi permasalahan ini. Bukan
karena inovasi e-goverment, melainkan karena masyarakat secara umum, belum
melek IT.
Faktor berikutnya yang secara tidak langsung turut serta mencetus
permasalahan aksesibilitas pelayanan tersebut adalah tidak dijalankannya hingga
kini amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,
yang mengamanatkan agar dilakukan pelimpahan sebagian kewenangan Bupati
dan Walikota kepada para Camat pada setiap daerah kabupaten dan kota guna
mendukung penerapan konsep PTSP. Bahkan seluruh pemerintahan daerah,
melalui asosiasinya telah menyepakati pelaksanaan program Pelayanan
Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) sebagaimana diatur dalam
Permendagri No 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan, dimana seluruh Kecamatan sudah harus menerapkan program tersebut
4
pada tahun 2015. Namun hingga kini, program Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan (PATEN) tersebut belum memiliki model konseptual/empiris sehingga
PATEN ini dinilai sekedar monumen politis belaka.
2. Review of Literature
Penulis menyadari bahwa pembahasan teoritis tentang aksesibilitas
pelayanan publik cenderung multi perspektif, bahkan hingga multi disiplin. Hal
mana penulis contohkan pada interpretasi makna aksesibilitas pelayanan publik
pada paragraf pendahuluan di atas. Guna mendukung interpretasi aksesibilitas
layanan publik sebagai formasi jarak dan tempat, penulis merujuk Trevo et al.
(2013), yang mengkaji penggunaan sistem informasi geografis (GIS) untuk
menganalisis aksesibilitas spasial layanan publik. Hal itu penulis maksudkan
untuk memberi posisi pada pengertian aksesibilitas sebagai fenomena jarak dan
waktu tempuh menuju pusat layanan publik.
Namun dengan cukup yakin, penulis mengadaptasi gagasan Ghobadian et
al. (1994) dan meramunya bersama dengan gagasan Parasuraman, Zeithaml &
Berry (1985, 1988 dan 1994) guna mendapatkan penjelasan ilmiah tentang ciri,
sifat dan dimensi aksesibilitas pelayanan yang akurat secara ontologik dengan
fakta penelitian ini.
5
(2) menuangkan hasil identifikasi espektasi masyarakat tersebut ke dalam
spesifikasi kualitas jasa, yang dalam prakteknya, lazim disamakan dengan SOP
pelayanan; (3) pemberian layanan harus seakurat mungkin sesuai dengan SOP
pelayanan; dan (4) janji pelayanan kepada masyarakat harus riliable, mampu
dipenuhi (Parasuraman, Zeithaml & Berry: 1985, 1988 dan 1994). Pada keempat
faktor itulah, berbagai macam keluhan masyarakat terkait pelayanan yang
diterimanya, bersumber.
Karena itu pula, kompleksitas manajemen pelayanan publik, tidak serta-
merta dapat dikuasai dengan mudah oleh provider layanan sehingga inovasi dan
pengembangannya relatif lebih lamban dibanding dengan laju perkembangan
model konseptual pelayanan publik dewasa ini. Namun tanpa mengesampingkan
faktor lain, salah satu faktor penting dalam proses manajemen pelayanan publik
adalah fase service delivery yakni, tahap dimana layanan diberikan kepada
pengguna layanan.
Secara khusus, service delivery merupakan fase prosesual ketiga menurut
konsep manajemen kualitas pelayanan (Parasuraman, Zeithaml & Berry: 1985,
1988 dan 1994). Pada proses service delivery, spesifikasi kualitas jasa
diimplementasikan (lazim disamakan secara relatif dengan SOP pelayanan).
Penyusunan SOP merupakan fase kedua, yang diperoleh dari hasil interpretasi
manajemen terhadap espektasi pelanggan (fase pertama).
3. Research Method
The research question is how the potential gap of service delivery process
at the Office of Population and Civil Registration in Indonesia caused by
regulation? Control of such research questions is intended to discover the barriers
of a basic public service. This is done because imperative model of service
delivery concept only reaches the structural factor, human factor and facilities and
physical infrastructure factor.
Data was collected through observation, interviews and document review.
Primary data was obtained from 5 personnel at the service counter, with their 5
partners, that was not directly in contact, but they handled the same task of service
provision, 2 data base officers, and 1 counter clerk of customer care. Regular
informant set among them were 3 Heads of Division and 5 Section Chiefs
according to the existing service variants.
To the ten key informants submitted six related questions: (1) Structural
factors include ambiguity and role conflict in tasks: (2) Human factors include
work team weakness, supervisory and employee job fit: and (3) Facilities &
infrastructure factors covering job fit technology. The same question was
addressed to 2 data base officers, and 1 counter clerk of customer care and 3
Heads of Division and 5 Section Chiefs.
The hypothetical argument proposed is the two empirical aspects derived
from the implementation of the regulation, continuously creating mechanisms that
inhibit the service delivery process. These two empirical aspects do not
correspond to the aspects of the three conceptual factors.
6
4. Results and Discussion
Studi yang dilakukan oleh ini juga menunjukkan bahwa OSS harus dilihat
sebagai sarana termasuk masyarakat lokal dalam penyampaian layanan,
daripada sebagai sarana untuk memusatkan layanan.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pada Pasal 9 ayat
(1) ditetapkan bahwa dalam rangka
7
mempermudah penyelenggaraan berbagai bentuk pelayanan publik, dapat dilakukan
penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu. Sistem pelayanan terpadu sesungguhnya
merupakan inovasi manajemen dalam rangka mendekatkan, mempermudah, dan
mempercepat pelayanan terhadap publik/masyarakat.
Pelimpahan sebagian kewenangan Bupati dan Walikota kepada para Camat di setiap
daerah sesungguhnya merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan agar
pelaksanaan pembangunan dapat berjalan dengan baik. Apalagi jika hal tersebut
dikaitkan dengan pelaksanaan program PATEN (Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan) seperti diatur dalam Permendagri No 4 Tahun 2010 tentang Pedoman
Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan, di mana seluruh Kecamatan sudah harus
menerapkan program tersebut pada tahun 2015. Terwujudnya pelayanan publik yang
berkualitas (prima) menjadi salah satu ciri tata pemerintahan yang baik (good
governance). Kinerja pelayanan publik sangat besar pengaruhnya terhadap kualitas
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu membangun sistem manajemen pelayanan
publik yang handal adalah keniscayaan bagi Daerah kalau mereka ingin
meningkatkan kesejahteraan warganya. Tidak mengherankan kalau perbaikan kualitas
pelayanan publik menjadi salah satu alasan mengapa Pemerintah
mendesentralisasikan kewenangan penyelenggaraan pelayanan publik kepada Daerah.
Dengan menyerahkan kewenangan penyelenggaraan pelayanan kepada Daerah,
Pemerintah berharap pelayanan publik akan menjadi lebih responsif atau tanggap
terhadap dinamika masyarakat di daerahnya. Ketika manajemen pelayanan
diserahkan ke Daerah, kesempatan warga untuk ikut berpartisipasi 29
Gambar 2.1
Rekonstruksi Inovasi Pelayanan Publik Nasional
8
Jasa
Proses Pelayanan
Jasa
Proses Pelayanan
Barang
Barang Publik
Publik
Publik
Publik
9
Dengan demikian pelayanan memegang peranan yang sangat penting dalam
menjaga loyalitas konsumen, demikian pula halnya pelayanan yang diberikan oleh
pemda kepada para pelaku bisnis. Bila merasa tidak mendapat pelayanan yang
memuaskan maka mereka akan dengan segera mencari daerah lain yang lebih
kompetitif untuk memindahkan usahanya.
Emphaty: sikap tegas tetapi ramah dalam memberikan payanan kepada konsumen.
5. Conclusion
5.1 Aspects of the Research Findings
Referensi
Anshari, Muhammad and Lim, Syamimi Arif, 2016; E-Government with Big Data
Enabled through Smartphone for Public Services: Possibilities and
Challenges, , Volume 40, 2017 - Issue 13, Pages 1143-1158.
10
Aritonang, Dinoroy Marganda, 2017. The Impact of E-Government System on
Public Service Quality in Indonesia, European Scientific Journal
December 2017 edition Vol.13, No.35 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e -
ISSN 1857- 7431. Doi: 10.19044/esj.2017.v13n35p99
URL:http://dx.doi.org/10.19044/esj.2017.v13n35p99.
Mc Gregor, Eugene B.,, Jr, Campbell, A. K., Macy, John W.,, Jr, & Cleveland, H.,
1982. Symposium: The public service as institution. Public
Administration Review, 42(4), 304. Retrieved
from http://search.proquest.com/docview/197199863
Moseley, M. J., 1997. Accessibility: The Rural Challenge. Methuen & CO LTD.
London.
11
___________, 1994. A Conceptual Model of Service Quality and its Implications
for Future Research, Journal of Marketing
Tervo Mikko, Kotavaara Ossi, Antikainen Harri and Rusanen Jarmo, 2013.
Accessibility analysis of public services in rural areas under
restructuring, Nordia Geographical Publications 42: 2, 39–52.
12