Anda di halaman 1dari 7

Nama: Annisa Fauzia

Kelas: XI IPA 1
No. Absen: 06

Analisis Teks Drama

MALING
Malam hari itu Lurah sedang berbincang-bincang dengan Jagabaya dan Carik.

Pak Lurah : Saya mesti tetap memikirkannya, Pak Jagabaya. Sebagai seorang lurah,
saya tidak akan berdiam diri menghadapi persoalan ini.
Jagabaya: Tapi, maaf, Pak Lurah, saya rasa tindakan Pak Lurah dalam menghadapi
persoalan ini kurang tegas. Maaf, Pak Lurah kurang cak-cek,kurang cepat.
Pak Lurah : Memang, saya sadari saya kurang tegas dalam hal ini, ini saya sadari betul,
Pak Jagabaya. Tapi tindakan saya yang kurang cepat ini sebetulnya bukan
berarti apa-apa. Terus terang dalam menghadapi persoalan ini saya tidak
mau grasa-grusu.
Jagabaya : Memang tidak perlu grusa-grusu, Pak Lurah. Tapi tidak grusa-grusu bukan
pula berarti diam saja hanya plompang-plompong menunggu berita. Pak
Lurah kan tinggal memberikan perintah atau izin kepada saya untuk
mengerahkan pemuda desa kita untuk mengadakan ronda kampung tiap
malam
Pak Lurah : Iya, saya tahu, Dik, eh, Pak Jagabaya. Tapi dalam saat-saat terakhir ini
pemuda desa kita sedang saya gembleng dalam mendalami kesenian. Pak
Jagabaya tahu, dalam tempo satu bulan lagi Bapak Bupati akan meninjau
desa kita. Saya sedang mempersiapkan pemuda-pemuda desa kita untuk
menyambut dengan acara-acara kesenian. Saya mengerti benar tentang
selera Pak Bupati. Dia adalah seorang pencinta kesenian dan ia akan
bangga sekali jika tahu rombongan kesenian yang menyambutnya adalah
pemuda dari desa kita. Kita akan mendapat pujian yang tinggi dan Pak
Bupati akan selalu memperhatikan desa kita.
Jagabaya : Tapi apa artinya kita dapat pujian Pak Bupati, jika kenyataannya desa kita
sendiri malahan tidak aman? Walaupun Pak Bupati tidak tahu, tapi yang
merasakan terganggunya keamanan adalah penduduk desa kita, rakyat kita
sendiri, Pak Lurah.
Pak Lurah : Berapa banyak penduduk yang menderita kerugian akibat gangguan
maling itu? Dan bandingkan dengan pujian yang bakal kita terima.
Bayangkan, Pak Jagabaya, seluruh penduduk desa kita akan ikut bangga
dipuji oleh Bapak Bupati karena maju dalam dunia kesenian.
Jagabaya : Kalau Pak Lurah punya cita-cita semacam itu, ya, sudah. Akan lebih baik
lagi kalau semua rakyat di desa ini baik tua-muda, anak laki-laki dan
perempuan dilatih saja karawitan, dilatih ketoprak. Semuanya dilatih
kesenian! Jangan cuma pemuda-pemudanya tok, tapi semuanya,
semuanya! Nggak usah mengurusi sawah dan ladang atau ternak-ternak
mereka...Jadikan saja desa ini desa kesenian!
Mau pergi saking marahnya, tapi dicegah oleh Pak Lurah dan Pak Carik.
Pak Lurah : Lho...lho...kok terus begitu, Pak Jagabaya? Sabar toh, sabar, kalau memang
Pak Jagabaya tidak setuju ya mari kita rembug secara baik-baik. Sekarang
duduk dulu, Pak Jagabaya, mari duduk dulu. Nah, sekarang maunya Pak
Jagabaya bagaimana? Coba katakan dengan sabar. Dik carik mbok coba
Dik Carik memberikan pendapatnya! Katakan, Dik carik bagaimana?
Carik : (gugup) Wah, anu, eh, saya kira usul dari Mas Jagabaya untuk mengadakan
ronda kampung memang perlu juga sebab...eh...si maling yang tiap malam
mengacau itu memang perlu dirondai! Eh, kita perlu meronda untuk
mengatasi nekadnya si maling yang kurang ajar itu.
Pak Lurah: Jadi Pak Carik tidak setuju dengan adanya kegiatan kesenian yang tiap
malam diajarkan di Balai Kelurahan?
Carik : Welah, ya, setuju banget! Akur saja, Pak Lurah. Tapi memang maling itu
nekad banget kok, Pak Lurah!
Pak Lurah: Malingnya nekad bagaimana? Nyatanya rumah saya belum pernah
kemalingan kok, Pak Carik.
Jagabaya : Malingnya tidak akan mungkin mencuri di rumah Pak Lurah. Karena rumah
Pak Lurah berdekatan dengan Balai Kelurahan yang tiap malam selalu
ramai dengan pemuda-pemuda yang sedang belajar kesenian. Tapi rumah
penduduk yang di pojok-pojok desa itu?
Carik : Benar, Pak Lurah, rumah Pak Wongso Kariyo yang berada di pojok desa
sebelah selatan ini...wah...hampir setiap malam mosok ada maling masuk.
Pak Lurah sudah mendapat laporan yang lebih jelas bukan?
Pak Lurah: Laporan tentang kemalingan di rumah Pak Wongso Kariyo memang tiap
hari saya dengar, Dik Carik. Tetapi secara terperinci belum saya ketahui.
Maklum, Dik Carik, saya terlalu sibuk. Coba seritakan bagaimana.
Carik : Kemalingannya memang seperti kemalingan yang terjadi di beberapa rumah
yang lain, Pak Lurah. Tapi ini yang saya katakan maling nekad, ya ini.
Maling itu memang menjadi langganan maling di rumah Pak Wongso
Kariyo karena setiap malam minggu dia secara rutin datang dua kali dan
sampai-sampai Pak Wongso Kariyo itu hafal benar dengan maling itu. Pak
Wongso Kariyo selalu menyediakan nasi serta lauk pauknya kalau maling
itu datang.
Pak Lurah : kenapa Pak Wongso Kariyo tidak melapor pada Pak Jagabaya?
Jagabaya : Dia sudah melapor pada Pak Jagabaya!
Pak Lurah : Kenapa Pak Jagabaya diam saja?
Jagabaya : Edan! Diam saja atau telinga Pak Lurah yang sudah budeg! Tipa hari saya
datang ke mari. Tiap hari saya ribut dengan Pak Lurah. Tiap hari saya teriak
otot-ototan dengan Pak Lurah tapi Pak Lurah cuma diam saja.
Cuma plonga-plongo.
Pak Lurah: Lho, meangkap maling toh tidak perlu dengan pemuda desa. Sebagai
seorang Jagabaya, Pak Jagabaya mesti bisa menangkap maling itu sendiri.
Jagabaya : Edan! Apakah Pak Lurah tidak pernah dengar kabar bahwa maling itu
badannya tinggi besar?
Pak Lurah: Lho, biarpun malingnya tinggi besar apa Pak Jagabaya tidak bisa
menangkap sendiri? Pak Jagabaya kan pernah belajar pencak di Kelurahan?
Pak Jagabaya pernah jadi jagoan pencak di desa ini.
Jagabaya : Tapi...anu...Pak Lurah kabarnya maling itu bisa main karate dan kungfu.
Pak Lurah: Apa kau kira pencak akan kalah, kalau bertanding dengan karate dan
kungfu?
Jagabaya : Saya tidak mau membuktikan apakah pencak akan kalah dengan karate atau
kungfu. Tapi kalau Pak Lurah mau membuktikan, kami persilakan Pak
Lurah sekali-kali bertanding dengan maling itu.
Wongso : (terdengar teriakannya, kemudian muncul berlari tergesa-gesa; bingung
tetapi gembira). Pak Luraaaaahhh.., Pak Luraaahhh, saya telah membunuh
oraaaaang! Pak Lurah, saya telah membunuh orang! Hebat, Pak Lurah,
orang itu bisa saya bunuh.
Pak Lurah / Jagabaya / Carik : Apa? Kau telah membunuh orang?
Wongso : Edan saya telah membunuh orang! Edan! Orang itu bisa saya bunuh sendiri,
tanpa bantuan siapapun juga.
Pak Lurah : Tenang! Tenang! Coba ceritakan dengan jelas.
Wongso : Edan! Orang itu berhasil saya bunuh sendiri. Orang itu bisa, saya bunuh
sendiri, edan!
Pak Lurah : Sabar! Sabar! Sabar! Kang! Ada apa?
Wongso : Anu, Pak Lurah, saya telah berhasil membunuh orang. Eh...anu...saya telah
membunuh maling itu.
Jagabaya : Maling itu kau bunuh?
Wongso : Maling itu telah saya bunuh! Seperti biasanya maling itu datang ke rumah
saya sore ini, tapi saya bukan orang yang bodoh lagi. Sudah sejak siang aku
persiapkan perangkap untuk menangkap maling itu. Siang tadi aku sudah
membeli racun tikus. Dan sore ini waktu maling itu datang seperti biasanya
langsung makan malam di rumah saya. Dia tidak tahu bahwa makanan itu
telah saya campuri dengan racun tikus. Eeee, saya Cuma mengharapkan
maling itu klenger. Tapi, malahan mati. Ya, sudah saya mesti dihukum Pak
Polisi, tidak apa-apa. Sebab sekarang saya telah menjadi orang yang hebat,
bisa menangkap maling hingga mati.
Pak Lurah : Jadi maling itu mati?
Wongso : Mati, Pak Lurah! Mati!
Pak Lurah: Kenapa maling itu tidak kaubawa kemari?
Wongso : Saya nggak kuat membawanya sendirian Pak Lurah. Dan untuk meminta
bantuan dari tetangga saya tidak mau, sebab saya tidak berani lancang
sebelum Pak Lurah melihat sendiri siapa maling itu.
Pak Lurah: Bawa kemari maling itu, lekas!
Wongso : Tapi Pak Lurah apa nanti tidak malu?
Pak Lurah: Kenapa mesti malu?
Wongso : Karena maling itu ternyata adalah ...ternyata adalah adik lelaki Pak Lurah
sendiri.

**

A. Alur
Adapun alur yang terdapat dalam tekd drama Maling adalah alur maju ( progresif),
hal ini dikarenakan cerita menceritakan kejadian dari awal sampai akhir tanpa adanya
unsur kejadian masa lampau. Secara rinci tahap alur cerita dapat diuraikan sebagai
berikut :
1) Pengenalan cerita
Adanya maling yang meresahkan warga desa di mana Pak Lurah, Pak Jagabaya,
Pak Carik, dan Pak Wongso Kariyo tinggal.

2) Munculnya Konflik
Pak Jagabaya mengeluhkan skap Pak Lurah yang tenang dan diam saja
sehingga terkesan tidak memperhatikan masalah waganya yang kerap diganggu ulah si
maling.

3) Konflik Memuncak (Klimaks)


Pak Lurah menolak permintaan Pak Jagabaya supaya mengerahkan pemuda
desa untuk melakukan ronda setiap malam, mengantisipasi munculnya maling kembali.
Karena Pak Lurah lebih menginginkan pemuda desa dilatih kesenian saja, sehingga hal
itu menyulut api kemarahan Pak Jagabaya.

4) Konflik Menurun (Anti-klimaks)


Pak Lurah bersikukuh menolak keinginan Pak Jagabaya dan lebih menyuruh
Pak Jagabaya sendiri yang mengurus perihal adanya maling. Tetapi Pak Jagabaya
justru ketakutan kerena menurut cerita maling sangat menakutkan.

5) Penyelesaian
Maling terbunuh oleh Pak Wongso. Rahasia terbongkar. Maling justru adik
lelaki Pak Lurah sendiri.

B. Tokoh dan Penokohan (Karakterisasi)


Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam
cerita. Sedangkan watak tokoh dan penciptaan citra tokoh disebut penokohan. Tokoh
–tokoh utama dalam tekas drama yang berjudul Maling adalah Pak Lurah, Pak
Jagabaya, Pak Carik, dan Pak Wongso Kariyo. Adapun tokoh serta penokohan yang
terdapat teks drama yang berjudul Maling adalah sebagai berikut :

1) Pak Lurah, adapun karakterisasinya adalah sebagai berikut :


 Tidak Tegas, dibuktikan pada cuplikan dialog di bawah ini.
“… saya rasa tindakan Pak Lurah dalam menghadapi persoalan ini kurang
tegas”
 Tidak Cekatan, dibuktikan pada cuplikan dialog di bawah ini.
“Maaf, Pak Lurah kurang cak-cek, kurang cepat”
 Haus akan pujian, dibuktikan pada cuplikan dialog di bawah ini.
“Kita akan mendapat pujian yang tinggi dan Pak Bupati akan selalu
memerhatikan desa kita”

2) Pak Jagabaya, adapun karakterisasinya adalah sebagai berikut :


 Mudah emosi, dibuktikan pada cuplikan dialog di bawah ini.
“… semuanya dilatih kesenian! Jangan Cuma pemudanya tok, tapi semuanya,
semuanya! nggak usah mengurusi sawah dan ladang….”
 Tidak sopan, dibuktikan pada cuplikan dialog di bawah ini.
“Edan! Diam saja atau telinga pak Lurah yang sudah budeg!”
 Penakut, dibuktikan pada cuplikan dialog di bawah ini.
“Tapi…anu…Pak Lurah kabar-kabarnya maling itu bisa main karate dan kungfu”

3) Pak Carik, adapun karakterisasinya adalah sebagai berikut :


 Suka mengikut alias tidak punya pendapat sendiri,dibuktikan pada
cuplikan dialog dibawah ini.
“Weleh, ya setuju banget!Akur saja, Pak Lurah. Tapi memang maling itu
nekat banget kok, Pak Lurah!”
4) Pak Wongso Kariyo, adapun karakterisasinya adalah sebagai berikut :
 Pemberani, dibuktikan pada cuplikan dialog di bawah ini.
“Anu, Pak Lurah, saya telah berhasil membunuh orang. Eh…anu…saya telah
membunuh maling itu”
 Jujur, dibuktikan pada cuplikan dialog di bawah ini.
“Karena maling itu ternyata adalah … ternyata adalah adik lelaki Pak Lurah
sendiri”

C. Latar (Setting)
Latar adalah waktu, tempat, dan suasana ketika suatu cerita yang dialami oleh
seseorang terlukis atau terjadi.
1. Latar waktu
 Sore hari, tampak pada cuplikan dialog di bawah ini.
“…seperti biasanya maling itu datang ke rumah sore ini…”
 Malam minggu, tampak pada cuplikan dialog di bawah ini.

“Setiap malam Minggu dia secara rutin datang dua kali dan sampai-sampai
Pak Wongso Kariyo itu hafal hafal benar dengan maling itu”.
 Siang hari, tampak pada cuplikan dialog di bawah ini.

“Siang tadi aku sudah membeli racun tikus”.

2. Latar tempat
 Di pendopo kelurahan, tampak pada awal bagian cerita seperti di bawah ini.
Suatu malam di pendopo kelurahan terjadilah obrolan yang agaknya serius
antara Pak Lurah, Pak Jagabaya, dan Pak Carik….

3. Latar suasana
 Menegangkan, tampak pada cuplikan dialog di bawah ini.
“… Nggak usah mengurusi sawah dan ladang atau ternak mereka.. Jadikan
saja desa ini desa kesenian!”
 Gembira, tampak pada kutipan dialog di bawah ini.
“…Pak Lurah, saya telah membunuh orang! Hebat Pak Lurah, orang itubbisa
saya bunuh!”

D. Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view merupakan cara pandang yang digunakan
pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai yang
membentuk cerita. Adapun sudut pandang yang digunakan dalam teks drama yang
berjudul Malingadalah sudut pandang orang ketiga. Hal ini dikarenakan dalam
kisahannya pengarang mengacu pada tokoh-tokoh cerita dengan menggunakan kata
ganti orang ketiga (ia, dia), atau menyebut nama tokoh.

E. Gaya Pengarang
Gaya adalah cara pengungkapan khas seorang pengarang yang membedakannya
dengan pengarang lain. Sementara nada adalah suatu hal yang dapat terbaca dan
terasakan melalui penyajian fakta cerita dan sarana sastra yang terpadu dan koheren.
Adapun gaya yang digunakan dalam teks drama yang berjudul Maling adalah bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa.

Anda mungkin juga menyukai