Anda di halaman 1dari 37

ETIKA PELAYANAN PUBLIK

Materi Perkuliahan Ke 3
Manajemen Pelayanan Publik

Oleh:
Dian Herdiana, S.IP., M.AP

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Cimahi


2014
Urgensi Etika Pelayanan Publik
Dalam kajian tentang pelayanan publik, etika merupakan salah
satu elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang
dilayani, sekaligus keberhasilan organisasi pelayanan publik itu
sendiri.

Elemen etika harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan


publik mulai dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur
organisasi pelayanan, sampai pada manajemen pelayanan untuk
mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut.
Lanjutan
Filsuf besar Aristoteles (dalam Bertens, 2000) telah
menggunakan kata etika dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu
ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan. Bertens mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, karangan Purwadarminta, etika dirumuskan sebagai
ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral;
(2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3)
nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Lanjutan
Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens
berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu:

(1) Etika sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang


menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”.
(2) Etika sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal
dengan “kode etik”.
(3) Sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut
“filsafat moral”.
Hakikat Pelayanan Publik dan Etika
Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu
tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh
pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik
diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta
dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan
masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service)
identik dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang
lain dalam mencapai kepentingan publik (Perry, 1989). Dalam konteks
ini pelayanan publik lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemen-
elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi,
dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian
pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak provider yang
diberi tanggung jawab.
Hakikat Pelayanan Publik dan Etika
(lanjutan)
Dalam studi pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat dan
profesional standards (kode etik), atau moral atau right rules of conduct
(aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh
pemberi pelayanan publik atau administrator publik.

Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik di atas, maka yang


dimaksudkan dengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek
administrasi publik dan atau pemberian pelayanan publik (delivery
system) yang didasarkan atas serangkaian tuntunan perilaku (rules of
conduct) atau kode etik yang mengatur hal-hal yang “baik” yang harus
dilakukan atau sebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan.
Etika Birokrasi dalam Pelayanan Publik
Etika sangat diperlukan dalam praktek administrasi publik
untuk dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang
harus dilakukan oleh administrasi publik.
Etika mempunyai dua fungsi dalam organisasi pemerintahan,
yaitu :

Pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara


(birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar
tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji dan tidak tercela.

Kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku


dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.
Etika Birokrasi dalam Pelayanan Publik
(lanjutan)
Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan
sebagai acuan, referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain adalah :
(1) efisiensi, artinya tidak boros, sikap, perilaku dan perbuatan
birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien.
(2) accountable,membedakan milik pribadi dengan milik kantor, artinya
milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.
(3) impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan
kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya secara kolektif
diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal, maksudnya
hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari urusan
perasaan dari pada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam
organisasi. Siapa yang salah harus diberi sanksi dan yang
berprestasi selayaknya mendapatkan penghargaan;
Etika Birokrasi dalam Pelayanan Publik
(lanjutan)
(4) merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen dan promosi
pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai
tidak di dasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan
(knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude), kemampuan
(capable), dan pengalaman (experience), sehingga menjadikan yang
bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya dan bukan spoil system (adalah sebaliknya).

(5) responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban


birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Etika Birokrasi dalam Pelayanan Publik
(lanjutan)
(6) accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat
obyektif, sebab birokrasi dikatakan akun bilamana mereka dinilai
obyektif oleh masyarakat karena dapat mempertanggungjawabkan
segala macam perbuatan, sikap dan sepak terjangnya kepada pihak
mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal dan mereka
dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik
yang profesional dan dapat memberikan kepuasan publik).

(7) responsiveness, artinya birokrasi publik memiliki daya tanggap


terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat dengan cepat
dipahami dan berusaha memenuhi, tidak suka menunda-nunda waktu
atau memperpanjang alur pelayanan.
Buku Rujukan:

 Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama.
 Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport,
Connecticut: Greenwood Press.
 Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth
Edition. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall International, Inc.
 Perry, James L. 1989. Handbook of Public Administration. San
Fransisca, CA: Jossey- Bass Limited.
 Shafritz, Jay.M. dan E.W.Russell. 1997. Introducing Public
Administration. New York, N.Y.:
Longman.http://budiutomo79.blogspot.com/2007/11/etika-dalam-
pelayanan-publik.html
Terima Kasih
PELAYANAN PUBLIK DAN
GOOD GOVERNANCE
Materi Perkuliahan Ke 4
Manajemen Pelayanan Publik

Oleh:
Dian Herdiana, S.IP., M.AP

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Cimahi


2014
Pengantar

Reformasi pelayanan publik (public service reform) menjadi hal


penting saat ini karena, pertama, bahwa masyarakat di segala
penjuru dunia (di Negara Industri dan di Dunia Ketiga) sedang
mengalami perubahan besar-besaran akibat proses globalisasi atau
internasionalisasi di bidang politik, ekonomi dan teknologi.
Lanjutan
Kedua, ramifikasi persoalan sosial, ekonomi dan politik yang
dihadapi di masa depan menyebabkan pilihan kita dalam
penyelenggaraan pemerintahan bukan lagi pemerintah yang "banyak
memerintah" atau pemerintah yang "sedikit memerintah" atau sekedar
"pemerintahan yang baik (better government) sebagaimana pernah
dikatakan oleh dua tokoh Reinventing Government, Osborne dan
Gaebler (1992). Yang kita butuhkan di masa depan adalah pemerintah
yang benar-benar mampu memerintah (capable government).
Lanjutan
Dengan mempertimbangkan isu-isu sentral tadi, maka kata
kuncinya ialah kemampuan pemerintah mengatur penyediaan beragam
pelayanan publik yang responsif, kompetitif dan berkualitas kepada
rakyatnya (Abdul Wahab, 1998: 4). Karena itu diperlukan refleksi kritis
untuk mencari alternatif solusi yang dianggap cocok dan mampu
memenuhi berbagai kebutuhan baru akan pelayanan publik yang
efisien dan berkualitas.
Lanjutan
Di sinilah relevansi teori Governance dengan salah satu
pendekatannya yang disebut sociocybernetics approach (Rhodes,
1996). Inti dari pendekatan ini ialah bahwa sejalan dengan pesatnya
perkembangan masyarakat dan kian kompleknya isu yang harus
segera diputuskan, beragamnya institusi pemerintah serta kekuatan
masyarakat madani (civil society) yang berpartisipasi dalam proses
pembuatan kebijakan (policy making), maka hasil akhir (outcome) yang
memuaskan dari kebijakan publik tidak mungkin dicapai jika hanya
mengandalkan sektor pemerintah. Kebijakan publik yang efektif dari
sudut pandang teori Governance adalah produk sinergi interaksional
dari beragam aktor atau institusi.
Lanjutan
Para pakar teori Governance membuktikan bahwa negara/
pemerintah kini tidak lagi diyakini sebagai satu-satunya institusi/aktor
yang mampu secara efisien, ekonomis dan adil menyediakan berbagai
bentuk pelayanan tadi. Karena itu dipandang dari perspektif teori ini
tidaklah beralasan jika proses perumusan dan implementasi kebijakan
dalam beragam pelayanan publik itu harus selalu didesain oleh
pemerintah sendiri, menurut selera pemerintah dan dikendalikan
melalui lewat mekanisme politik-birokrasi (direct service provision).
Lanjutan
Bagi policy-makers, terbentang cukup luas spektrum pilihan-
pilihan politik dan strategi implementasi kebijakan yang dapat ditempuh
dalam hal pengaturan, penyediaaan dan pembiayaan berbagai jenis
pelayanan publik. Oleh karenanya dalam menjalankan misi pelayanan
publiknya, pilihan politiknya haruslah dikembangkan secara cerdas
dengan bersandar pada paradigma pilihan-pilihan publik/public choice.
Artinya, pilihan-pilihan itu senantiasa mempertimbangkan secara kritis
interaksi diantara kekuatan-kekuatan pasar, masyarakat madani, dan
kemampuan nyata dari dinas-dinas pemerintah itu sendiri. Dengan kata
lain, selain pemerintah, menurut Gerald E. Eaiden (1999), 'the private
sector, non governmental organizations (NGOs), and volunteensm all
had their different roles to play..."
Lanjutan
Rasionalitas dibalik pilihan-pilihan politik ini ialah agar dalam
menjalankan peran pelayanan publiknya pemerintah sanggup bermain
dalam arena yang kompetitif, sekaligus dapat bertindak arif, sejalan
dengan bingkai fleksibilitas yang berlaku di aras global. Dalam
peraturan di aras global, fleksibilitas itu, meminjam konsep Dahrendorf
(1995:137), berarti the ability to move in wherever an opportunity offers
itself, and also to move out when opportunities lose. Dengan demikian,
dilihat dari perspektif governance, reformasi di sektor pelayanan publik
itu dapat kita pandang sebagai upaya mengubah paradigms atau
model yang selama ini dipakai dalam memerintah masyarakat (modes
of goverming society). Hal ini dimaksudkan agar dalam lingkungan
yang cenderung terus berubah organisasi pelayanan publik itu tetap
relevan, memiliki kinerja yang tinggi, efisien dan mampu menjawab
beragam tantangan baru yang semakin banyak.
Lanjutan
Dengan demikian, dilihat dari perspektif governance, reformasi
di sektor pelayanan publik itu dapat kita pandang sebagai upaya
mengubah paradigma atau model yang selama ini dipakai dalam
memerintah masyarakat (modes of goverming society). Hal ini
dimaksudkan agar dalam lingkungan yang cenderung terus berubah
organisasi pelayanan publik itu tetap relevan, memiliki kinerja yang
tinggi, efisien dan mampu menjawab beragam tantangan baru yang
semakin banyak.
Bahan Bacaan
 Abdul Wahab, Solichin, 1998. Reformasi Pelayanan Publik Menuju
Sistem Pelayanan Yang Responsif Dan Berkualitas, Program
Pascasarjana Universitas Brawijaya
 Abdul Wahab, Solichin, 1999. Ekonomi Politik Pembangunan; Bisnis
Indonesia Era Orde Baru dan Di tengah Krisis Moneter, PT Danar
Wijaya Brawijaya University Press
 Osborne, David and Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government. How
the Entrepreneural Spirit Is Transforming the Public Sector from
Schoolhouse to Statehouse, City hall to Pentagon. Reading, MA: Addison
Wesley
 Osborne, Davis and peter Palstrik, 1996. Banishing Bureaucracy: The
Five Stategy For Reinventing Government, Addison Wesley Publishing
Company, Inc., New York
Bahan Bacaan
 Savas, E.S., 1987. Privatizatiom : The Key to Better Government.
Chatham House Publisher, Inc., New Jersey
 Stver. J.A., 1998. The End of Public Administration. Dobbs Ferry, NY
Transnational Publisher, Inc
 Smith, B.C., 1985. Decentralization : The Teritorial Dimension of the
State. George Allen & Unwin. London
Terima Kasih
PEMBERDAYAAN PENGGUNA
PELAYANAN PUBLIK
Materi Perkuliahan Ke 5
Manajemen Pelayanan Publik

Oleh:
Dian Herdiana, S.IP., M.AP

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Cimahi


2014
Pengantar
Di negara-negara maju, konsep pemberdayaan (empowering)
terhadap para pengguna pelayanan publik telah cukup lama menjadi tema
sentral dari gerakan-gerakan penyadaran hak-hak konsumen (consumerism)
atau gerakan yang memperjuangkan pelayanan publik yang berkualitas
(Abdul Wahab, 1997; 1998). Bentuk-bentuk penyadaran hak-hak konsumen
itu, menurut Pollitt (1988) bervariasi, mulai dari yang sekedar bersifat
"kosmetik” seperti yang dilakukan oleh banyak instansi pemerintah (di Pusat
dan daerah) dengan cara menyediakan informasi kepada para konsumen
atau menyediakan kotak saran, hingga partisipasi langsung konsumen
dalam proses pembuatan keputusan yang menyangkut konteks dan konten
pelayanan itu sendiri.
Lanjutan
Penggunaan nomenklatur pelanggan atau konsumen dalam konteks
pelayanan publik mengandung makna bahwa hakikat dan pendekatan
dalam pemberian pelayanan publik yang semua berkiblat pada
kepentingan birokrasi (bureacratic-oriented) atau berorientasi pada
produsen (producer-oriented) berubah menjadi berorientasi pada
konsumen (consumer-driven approach). Pollitt (1988:86), menegaskan
bahwa tujuan utamanya bukan sekedar untuk menyenangkan hati para
penerima pelayanan publik, melainkan untuk memberdayakan mereka.
Sebab, orientasi kearah pelayanan publik yang lebih baik (better public
service delivery) juga mencerminkan penegasan akan arti penting
posisi dan perspektif para pengguna dalam sistem pelayanan publik
tersebut. publik tidak hanya diperlakukan sebagai obyek (sebagai klien
jasa pelayanan semata), tetapi juga sebagai warganegara yang aktif
(active citizen).
Lanjutan
Menurut Clarke dan Steward (1987), para pengguna jasa
pelayanan publik sesungguhnya memiliki sejumlah hak-hak untuk
memperoleh pelayanan yang baik, hak untuk mengetahui bagaimana
keputusan-keputusan kebijakan mengenai jenis pelayanan tertentu
dibuat dan, yang tak kalah penting, hak untuk didengar dan
diperhatikan pendapat-pendapatnya. Namun, amat disayangkan
sejumlah hak penting ini, sering hanya ada di atas kertas. Di
kebanyakan negara sedang berkembang (tak terkecuali Indonesia)
hak-hak itu justru kerap ditelikung oleh birokrasi, bahkan dikebiri.
Karena posisinya yang monopolistik dan meluasnya kekuasaan
administrasi serta diskresi, maka oleh para pejabat birokrasi setiap
jengkat prosedur administrasi pada mata rantai birokrasi pelayanan
publik itu (terutama di bidang perijinan dan pekerjaan umum) sering
dijadikan sebagai lahan subur untuk mencari tambahan penghasilan
Lanjutan
Kecenderungan ekonomi-politik global sekarang mengarah
pada ideologi neo liberal (penggunaan mekanisme pasar) dalam sistem
manajemen pelayanan publik yang salah bentuk implementasinya
adalah berupa privatisasi. Konsekuensinya dari privatisasi itu memang
mengurangi peran birokrasi pemerintah, sebaliknya meningkatkan
peran sektor swasta (Savas, 1987). Model pelayanan publik yang
dianjurkan. salah satunya adalah menggunakan pola pelayanan yang
telah lama berlangsung disektor bisnis/swasta (marked-like modes).
Pada titik inilah manajemen publik konvensional dituntut
menyesuaikan diri, mengubah wajah, perilaku dan orientasinya
sehingga mirip dengan manajemen kewirausahaan yang biasa berlaku
pada sektor swasta (private-sector-like entrepreneurial management).
Lanjutan

Argumen yang mendasari perlunya pengadaptasian model ini


bukan hanya karena sektor bisnis selalu lebih efisien ketimbang sektor
pemerintah melainkan juga karena, pada kebanyakan kasus, di sektor
pemerintah itu karakter pelayanannya cenderung terlalu birokratik,
bersifat monopolistik. Manajemen publik seperti ini jelas kurang
trengginas dalam menjemput peluang-peluang dan mengatasi berbagai
persoalan, serta merespon dengan cepat tuntutan-tuntutan baru yang
muncul. Dengan demikian, ia tidak kondusif bagi penciptaan suasana
pelayanan publik yang transparan, kompetitif dan berkualitas.
Lanjutan

Painther (1994), misalnya, menjelaskan perlunya perubahan


orientasinya dan perilaku itu sebagai berikut :

Only by devising radically different ways on doing business


could contemporary governments respond to the deep trouble in which
they found themselves. In particular, resources would have to be
deployed more creatively to increase productivity and effectiveness,
and something that required opportunity seeking rather than risk
avoiding behaviour.
Lanjutan

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang mengadaptasi


model pelayanan di sektor bisnis itu, maka para pengguna, bahkan
calon pengguna jasa pelayanan publik, yang selama ini dianggap
sekedar sebagai obyek atau penerima yang pasif (pasive recipient),
harus menjadi pusat orientasi. Karena itu, mereka menempati posisi
sentral.
Lanjutan

Implikasinya ialah perlunya dilakukan transparansi dalam


proses pembuatan keputusan (transparency in decision making),
reorientasi, restrukturisasi dan reengineering terhadap model
manajemen pelayanan publik konvensional yang ada selama ini
dianggap terlalu berorientasi pada kepentingan-kepentingan internal
birokrasi.
Bahan Bacaan
 Abdul Wahab, Solichin, 1998. Reformasi Pelayanan Publik Menuju
Sistem Pelayanan Yang Responsif Dan Berkualitas, Program
Pascasarjana Universitas Brawijaya
 Abdul Wahab, Solichin, 1999. Ekonomi Politik Pembangunan; Bisnis
Indonesia Era Orde Baru dan Di tengah Krisis Moneter, PT Danar
Wijaya Brawijaya University Press
 Dwivedi, O.P, 1999. Gevernance and Administration in South Asia.
Dalam Bureucracy and The Alternatives in World Perspective, Keith
Henderson, O.P. Dwivedi (eds), Macmillan Press Ltd., London
Bahan Bacaan
 Jackson, P.M. and B. Palmer, 1992. Developing performance monitoring
in public sector organizations; a management guide. The Management
Centre, University of Leicester.
 Osborne, David and Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government. How
the Entrepreneural Spirit Is Transforming the Public Sector from
Schoolhouse to Statehouse, City hall to Pentagon. Reading, MA: Addison
Wesley
 Osborne, Davis and peter Palstrik, 1996. Banishing Bureaucracy: The
Five Stategy For Reinventing Government, Addison Wesley Publishing
Company, Inc., New York
Bahan Bacaan
 Savas, E.S., 1987. Privatizatiom : The Key to Better Government.
Chatham House Publisher, Inc., New Jersey
 Stver. J.A., 1998. The End of Public Administration. Dobbs Ferry, NY
Transnational Publisher, Inc
 Smith, B.C., 1985. Decentralization : The Teritorial Dimension of the
State. George Allen & Unwin. London
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai