Anda di halaman 1dari 19

DESAIN INOVATIF KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

STUDI KASUS : IMPLEMENTASI FOOT MASSAGE DALAM


PENATALAKSANAAN TEKANAN DARAH TINGGI PADA PASIEN DENGAN
HIPERTENSI EMERGENCY

NAMA : VINDY ADESTYA PUTRI

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit hipertensi emergency merupakan penyakit yang tidak menunjukkan
tanda dan gejala sehingga menjadi pembunuh diam-diam (the silent killer of death)
dan menjadi pencetus utama timbulnya penyakit jantung, stroke dan ginjal (Sutanto,
2010). Pada penyakit ini, tekanan darah melonjak terlalu tinggi dan terjadi secara
tiba-tiba.
Studi di Amerika berdasarkan data kunjungan di IGD pasien dewasa tahun
2006-2013 didapatkan sebanyak 809 juta kasus emergensi. Dari 809 juta, ternyata
sebanyak 2.4 juta merupakan hipertensi akut. Dari 2.4 juta hipertensi akut diperoleh
sebanyak 900 ribu mengalami kerusakan organ target (hipertensi emergensi).
Berdasarkan studi ini diperoleh bahwa prevalensi hipertensi emergensi jarang
terjadi (Janke et al., 2016). Insiden hipertensi emergensi di Amerika Serikat
menurun dari 7% menjadi 1%. Tingkat kelangsungan hidup 1 tahun (survival rate)
meningkat dari 20% tahun 1950 menjadi 90% dengan perawatan yang bagus
(Hopkins, 2018). Walaupun demikian kunjungan hipertensi emergensi meningkat
lebih dari 2 kali lipat dari 2006 sampai 2013 (Janke et al., 2016).
Secara global, hipertensi diperkirakan menjadi penyebab 7,5 juta kematian,
sekitar 12,8% dari total seluruh kematian. Tekanan darah tinggi merupakan faktor
risiko utama pada penyakit jantung koroner dan stroke iskemik serta hemoragik.
Tingkat tekanan darah telah terbukti positif dan terus berhubungan dengan risiko
stroke dan penyakit jantung koroner. Selain penyakit jantung koroner dan stroke,
komplikasi hipertensi termasuk gagal jantung, penyakit pembuluh darah perifer,
gangguan ginjal, perdarahan retina dan gangguan penglihatan (WHO, 2014).
Prevalensi keseluruhan tekanan darah tinggi pada orang dewasa berusia ≥25 tahun
sekitar 40% pada tahun 2008. Prevalensi hipertensi tertinggi berada di Afrika yaitu
sebesar 46% pada pria dan wanita (WHO, 2014). Di Inggris, 34% pria dan 30%
wanita menderita hipertensi (diatas 140/90 mmHg) atau sedang mendapatkan
pengobatan hipertensi. Prevalensi hipertensi di dunia hampir satu miliar orang dan
diperkirakan pada tahun 2025, jumlahnya mencapai 1,6 miliar orang (Palmer dan
William, 2007).
Morbiditas dan mortalitas yang terjadi pada pasien hipertensi dapat dicegah
dengan intervensi yang mempertahankan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg.
Intervesi yang dilakukan salah satunya dengan tehnik nonfarmakologis. Tehnik
nonfarmakologis yaitu intervensi dengan selain obat-obatan, dimana salah satunya
yaitu dengan teknik relaksasi.Teknik relaksasi dapat menurunkan denyut jantung
dan TPR dengan cara menghambat respons stres saraf simpatis (Corwin, 2009).
Teknik relaksasi memiliki pengaruh yang sama dengan obat antihipertensi dalam
menurunkan tekanan darah. Prosesnya yaitu dimulai dengan membuat otot-otot
polos pembuluh darah arteri dan vena menjadi rileks bersama dengan otot-otot lain
dalam tubuh. Efek dari relaksasi otot-otot dalam tubuh ini akan menyebabkan kadar
norepinefrin dalam darah menurun (Mills, 2012). Berkenaan dengan
penatalaksanaan hipertensi di atas, terapi konservatif dengan terapi komplementer
merupakan pilihan yang bisa dipertimbangkan untuk meminimalkan efek samping
yang ditimbulkan dari terapi farmakologis. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 1109 tahun 2007 menyebutkan pengobatan komplementer
merupakan pengobatan meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan keamanan dan efektifitas tinggi salah satu
terapi kompelementer tersebut adalah terapi pijat refleksi.
Pijat refleksi merupakan suatu metode memijat titik-titik tertentu pada tangan
dan kaki. Manfaat pijat refleksi untuk kesehatan sudah tidak perlu diragukan lagi.
Salah satu khasiatnya yang paling populer adalah untuk mengurangi rasa sakit pada
tubuh. Manfaat lainnya adalah mencegah berbagai penyakit, meningkatkan daya
tahan tubuh, membantu mengatasi stress, meringankan gejala migrain, membantu
penyembuhan penyakit kronis, dan mengurangi ketergantungan terhadap obat
obatan. Teknik-teknik dasar yang sering dipakai dalam pijat refleksi diantaranya:
teknik merambatkan ibu jari, memutar tangan dan kaki pada satu titik, serta teknik
menekan dan menahan. Rangsangan rangsangan berupa tekanan pada tangan dan
kaki dapat memancarkan gelombang gelombang relaksasi ke seluruh tubuh
(Wahyuni, 2014).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Rezki, Hasneli, dan Hasanah (2015) tentang
pengaruh terapi pijat refleksi kaki terhadap tekanan darah pada penderita hipertensi
primer yang dilakukan Pada kedua kelompok tekanan darah sistolik dan diastolik
dihitung dengan menggunakan alat sphygmomanometer digital. Penelitian
dilakukan pada jam yang sama, dimana peneliti telah menentukan rentang waktu
pengambilan data untuk setiap responden yaitu dari jam 15.00 – 17.00 WIB
menunjukan pijat refleksi dapat menurunkan tekanan darah, namun reponden masih
dalam kategori hipertensi.
Berdasarkan hal tersebut, Saya tertarik untuk membuat Evidence Based Practice
tentang “Studi Kasus : Implementasi Foot Massage Dalam Penatalaksanaan
Tekanan Darah Tinggi Pada Pasien Dengan Hipertensi Emergency”
B. Tujuan
1. Umum
Tujuan umum adalah untuk mengidentifikasi respon klien dengan
implementasi foot massage pada klien hipertensi emergency selama diberikan
intervensi berdasar Evidence Based Practice di Ruang IGD RS Kensaras
Kabupaten Semarang.
2. Khusus
a. Mengidentifikasi gambaran respon klien sebelum diberikan foot massage
b. Mengidentifikasi gambaran respon klien setelah diberikan foot massage
C. Manfaat
1. Sebagai bahan kajian untuk meningkatkan pelayanan keperawatan hipertensi
emergency di IGD.
2. Sebagai salah satu bacaan ilmiah penerapan evidence based nursing pada
keperawatan gawat darurat di IGD
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Hipertensi emergency

a. Pengertian hipertensi emergensi

Hipertensi emergensi adalah keadaan gawat medis ditandai dengan

tekanan darah sistolik > 180 mmHg dan atau diastolik > 120 mmHg,

disertai kerusakan organ target akut (Aronow, 2017). Hipertensi emergensi

juga didefinisikan sebagai peningkatan berat pada tekanan darah (> 180/120

mmHg) yang terkait dengan bukti kerusakan organ target yang baru atau

memburuk (Whelton et al., 2017). Hipertensi emergensi ditandai oleh

peningkatan tekanan darah sistolik atau diastolik atau keduanya, yang

terkait dengan tanda atau gejala kerusakan organ akut (yaitu sistem saraf,

kardiovaskular, ginjal). Kondisi ini memerlukan pengurangan tekanan darah

segera (tidak harus normalisasi), untuk melindungi fungsi organ vital

dengan pemberian obat antihipertensi secara intravena (Cuspidi and

Pessina, 2014). Hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah

utama dan sering mendadak, terkait dengan disfungsi organ target progresif

dan akut. Hal ini dapat terjadi sebagai kejadian serebrovaskular akut atau

fungsi serebral yang tidak teratur, sindrom koroner akut dengan iskemia

atau infark, edema paru akut, atau disfungsi ginjal akut. Tekanan darah

sangat tinggi pada pasien dengan kerusakan organ target akut yang sedang

berlangsung, dan merupakan keadaan gawat medis yang sebenarnya, yang

memerlukan penurunan tekanan darah segera (walaupun jarang ke kisaran

normal) (Elliott et al., 2013). Hipertensi emergensi merupakan kenaikan


tekanan darah mendadak yang disertai kerusakan organ target akut yang

progresif. Pada keadaan ini diperlukan tindakan penurunan tekanan darah

yang segera dalam kurun waktu menit-jam. (Turana et al., 2017).

b. Karakteristik Hipertensi Emergensi

1) Tekanan darah Tekanan hipertensi emergensi sangat tinggi, biasanya

mencapai > 220/140 mmHg (Alwi et al., 2016), ada pula yang

menyebutkan > 180/120 mmHg sudah termasuk hipertensi emergensi

(Aronow, 2017). Hipertensi emergensi bukan hanya tergantung tingginya

tekanan darah tetapi juga kecepatan peningkatan tekanan darah (Sowers,

2001). Biasanya pasien dengan hipertensi kronis dapat mentolerir tingkat

tekanan darah yang lebih tinggi daripada individu normotensi (Elliott et

al., 2013; Whelton et al., 2017).

2) Temuan funduscopy Pada hipertensi emergensi dapat ditemukan

pendarahan, eksudat dan edema papil (Alwi et al., 2016).

3) Status neurologi Status neurologis pada hipertensi emergensi adalah rasa

sakit di kepala, terjadi kebingungan, mengantuk, pingsan, gangguan pada

penglihatan, kejang, gangguan neurologi fokal, koma (Vidt, 2004; Alwi

et al., 2016).

4) Gejala ginjal Terdapat gejala gangguan ginjal pada hipertensi emergensi

seperti azotemia, proteinuria, oliguria, AKI (Alwi et al., 2016).

5) Gejala saluran cerna Terjadi gejala saluran cerna sepert mual, muntah

pada pasien dengan tekanan darah tinggi merupakan karakteristik dari

hipertensi emergensi (Alwi et al., 2016). Hipertensi emergensi termasuk


salah satu kelompok krisis hipertensi. Sindroma klinis krisis hipertensi

meliputi (Alwi et al., 2016):

1. Hipertensi gawat (hypertensive emergency): peningkatan tekanan

darah yang disertai kerusakan organ akut.

2. Hipertensi mendesak (hypertensive urgency): peningkatan tekanan

darah tanpa disertai kerusakan organ akut.

3. Hipertensi akselerasi (accelerated hypertension): peningkatan

tekanan darah yang berhubungan dengan pendarahan retina atau

eksudat.

4. Hipertensi maligna (malignant hypertension): peningkatan tekanan

darah yang berkaitan dengan edema papil. Dari klasifikasi di atas,

jelas terlihat bahwa tidak ada batasan yang tajam antara hipertensi

gawat dan mendesak, selain tergantung penilaian klinis. Hipertensi

gawat (hypertensive emergency) selalu berkaitan dengan

kerusakan organ, tidak dengan level spesifik tekanan darah.

Manifestasi klinisnya berupa peningkatan tekanan darah

mendadak sistolik > 180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg

dengan adanya atau berlangsungnya kerusakan target organ yang

bersifat progresif seperti perubahan status neurologis, hipertensif

ensefalopati, infark serebri, pendarahan intrakranial, iskemi

miokard atau infark, disfungsi ventrikel kiri akut, edema paru

akut, diseksi aorta, insufisiensi renal, atau eklampsia. Istilah

hipertensi akselerasi dan hipertensi maligna sering dipakai pada


hipertensi mendesak (Alwi et al., 2016). Beratnya hipertensi

emergensi bukan hanya tergantung tingginya tekanan darah tetapi

juga kecepatan peningkatan tekanan darah karena sistem 10

autoregulasinya tidak berjalan. Seperti pada peningkatan tekanan

darah yang berkaitan dengan glomerulonefritis pada anak atau pre-

eklamsia/eklamsia wanita muda sudah terjadi gangguan mental

walaupun tekanan diastoliknya baru 110 mmHg (Sowers, 2001).

c. Foot Massage

a. Pengertian

Massage (pijat) adalah suatu tindakan penekanan oleh tangan

pada jaringan lunak, biasanya pada otot tendon atau ligamen, tanpa

menyebabkan pergeseran atau perubahan posisi sendi yang bertujuan untuk

menurunkan nyeri, menghasilkan relaksasi,serta meningkatkan

sirkulasi.Gerakan-gerakan dasar foot massage meliputi gerakan memutar,

gerakan menekan, mendorong kedepan dan kebelakang,menepuk-

nepuk,memotong-motong,meremas-remas, dan gerakan meliuk-liuk

(Henderson, 2006). Foot-massage atau refleksi kaki merupakan terapi yang

berasal dari Cina. Prinsip foot-massage terletak pada jaringan yang

menghubungkan semua jaringan, organ dan sel-sel dalam tubuh kita. Setiap

organ dalam tubuh terhubung ke titik refleksi tertentu pada kaki melalui

perantara 300 saraf. Gerakan foot massage ini terdiri dari 5 teknik dasar

yaitu effleurage (gosokan), petrissage (pijatan), tapotement (pukulan),

friction (gerusan), dan vibration (getaran) (Haakana, 2008).


Foot-massage dapat merangsang organ-organ dan kelenjar yang

terkait dengan saraf. Foot-massage dapat dilakukan sendiri di rumah baik

menggunakan ibu jari atau ruas jari telunjuk untuk menekan dan

menggosok dengan dalam secara berirama di berbagai titik kaki yang

penting. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Chulay dan Burns

(2006) mengemukakan bahwa kondisi yang sering terjadi pada pasien di

ICU adalah hemodinamik yang tidak stabil yang ditandai dengan

peningkatan MAP, denyut jantung, dan frekuensi pernafasan serta

penurunan saturasi oksigen. Peningkatan MAP pada pasien di ICU

disebabkan karena peningkatan aktivitas vasomotor di medula yang

menyebabkan vasokonstriksi arterial dan meningkatkan resistensi perifer

(Jevon & Ewens, 2009).

Sementara peningkatan denyut jantung dipengaruhi oleh stres,

kecemasan, nyeri, kondisi yang menghasilkan kompensasi pelepasan

katekolamin endogen seperti hipovolemia, demam, anemia, dan

hipotensi(Chulay & Burns, 2006).Pada kondisi disfungsi jantung,

peningkatan denyut jantung dapat mengurangi waktu pengisian ventrikel

yang menghasilkan penurunan volume sekuncup dan pada akhirnya

membuat penurunan curah jantung. Penurunan curah jantung tersebut dapat

mengakibatkan pengiriman dan penggunaan oksigen ke dalam jaringan

tidak mencukupi sehingga terjadi hipoksia jaringan (Morton & Fontaine,

2009).
Apabila kondisi hipoksia jaringan berlangsung terus-menerus,

maka dapat menyebabkan disfungsi sel dan organ yang pada akhirnya

menyebabkan kematian sel atau kegagalan organ (Morton & Fontaine,

2009). Oleh karena itu, sebagai bagian dari interdisiplin di ICU, perawat

dituntut agar dapat memberikan perawatan non farmakologi yang tidak

memiliki pengaruh negatif dan dapat melengkapi terapi farmakologi yang

selama ini sudah diberikan dalam pengelolaan pasien di ICU (Morton &

Fontaine, 2009). Sehingga sebagai tim medis di Ruang ICU khususnya

perawat bisa mengimplimentasikan tindakan foot massage yang secara

fisiologis dapat berpengaruh terhadap sirkulasi darah.

b. Manfaat foot-massage

1. Melancarkan Sirkulasi

Gaya hidup sebagian besar orang-orang saat ini memungkinkan

orang-orang utuk selalu melakukan mobilisasi dengan cepat. Otot-otot

dikaki hampir setiap hari digunakan, namun sirkulasi perdarahannya

sering kali mengalami masalah. Suatu tindakan Foot-massage dapat

meningkatkan sirkulasi di ekstremitas bawah

2. Membantu mencegah cedera kaki dan pergelangan tangan

Massage pada kaki dapat membantu nyeri sendi dan membantu

pemulihan setelah mengalami cedera serta mengurangi nyeri otot.

Namun, ketika foot-massage dikombinasikan dengan pergelangan kaki

seperti latihan, penguatan dan peregangan dapat mencegah dan


meminimalkan resiko cedera dimasa yang akan datang dan

mempercepat pemulihan cedera yang ada.

3. Mengurangi efek depresi dan kecemasan

Beberapa studi tentang foot-massage yang telah dilakukan,

menyimpulkan bahwa foot-massage dalam menempatkan orang dalam

keadaan santai dan rileks selama pemijatan. Salah satu bukti yang

signifikan adalah mengurangi kecemasan pada pasien kanker. Teknik-

teknik yang diajarkan cukup cepat dan dapat berfungsi secara efektif

untuk mengatasi depresi dan kecemasan.

4. Mengobati sakit kepala dan migrain

Sebuah studi yang dilakukan di Denmark menunjukkan bahwa

orang yang menderita sakit kepala dan migrain menunjukkan perbaikan

yang besar setelah melakukan terapi ini. Para subjek penelitian berhenti

minum obat mereka dan mulai menggunakan foot-massage. Setelah 3

bulan, 65% penderita telah mengatakan bahwa gejala sakit kepala dan

migrain mereka berkurang. Mereka juga menyatakan mengalami

perubahan gaya hidup yang lebih baik sehingga berkontribusi dalam

hasil penyembuhan.

5. Menurunkan tekanan darah tinggi

Tekanan darah tinggi (hipertensi) saat ini sudah menjadi masalah

bagi seorang wanita maupun pria disegala usia. Hal ini disebabkan oleh

beberapa hal seperti stres dan diet yang tidak sehat. Beberapa kasus

ditemukan bahwa penderita tekanan darah tinggi ini bukan merupakan


hasil genetik dan lingkungan. Dalam hal ini Foot-massage dapat

meningkatkan suasana hati, mengurangi kecemasan dan menurunkan

tekanan darah tinggi.

6. Membantu orang dengan kaki datar dan plantar fascitis

Orang-orang dengan kaki datar tidak memiliki lengkungan seperti

kaki normal karena kelemahan ligamen yang menyebabkan lengkungan

runtuh. Hal ini dapat menyebabkan efek besar bagi penderitanya,

seperti akan merasa sakit kaki setelah melakukan aktivitas ringan. Nyeri

tumit kronis dapat disebabkan oleh peradangan atau kerusakan plantar

fascitis (jaringan ikat yang mendukung lengkungan kaki). Foot-

massage yang ditambah dengan pijat yang mendalam dengan

memberikan tekanan yang kuat pada lengkungan dapat membantu

secara signifikan dalam mengurangi sakit bahkan bisa menyembuhkan

juga.

7. Membantu meringankan gejala PMS dan menopause

Gejala paling umum yang sering diderita selama PMS adalah

perasaan sedih, tidak bahagia, cepat marah, cemas, tegang, insomia,

cepat lelah, sakit kepala, dan perubahan suasana hati. Menopause juga

memiliki gejala yang hampir sama, namun ditambah dengan mengalami

hot flashes (gejala umum yang dirasakan oleh wanita di masa

premenopause atau setelah memasuki masa menopause seperti rasa

panas di dalam tubuh, diikuti dengan keluarnya keringat, serta jantung

yang berdebar-debar. Sensasi panas karena perubahan hormonal. Saat


kadar estrogen berkurang, berpengaruh langsung pada hypothalamus)

dan depresi. Gejala-gejala ini dapat diatasi dengan melakukan foot-

massage secara rutin ketika mengalami periode tersebut.

8. Mengurangi efek edema pada ibu hamil

Edema adalah pembengkakan akibat retensi cairan di kaki dan

pergelangan kaki. Hal ini sangat umum pada wanita hamil, terutama

pada trimester terakhir. Kondisi ini dapat diatasi dengan foot-massage

setiap hari, ditambah dengan banyak istirahat dan diet yang tepat.

9. Indikasi Foot Massage

a. Pasien stroke ringan

b. Pasien dengan reumatik

c. Ibu post natal untuk melancarkan asi

10. Kontraindikasi Foot Massage

Tekanan dan gesekan harus dihindari pada luka dan memar serta

pada kondisi kulit seperti ruam, luka bakar, dan sengatan matahari.

Gerakan menekan di sekitar pergelangan kaki dan cedera tulang lainnya

harus dibatasi.Tindakan foot-massage digunakan untuk membantu

menormalkan jaringan tubuh dan organ, oleh karena itu hal-hal yang

menjadi kontraindikasi harus dihindari sehingga tidak menyebabakan

potensi bahaya ke daerah tubuh yang lain.


BAB III
METODE PENULISAN
A. Rancangan solusi yang ditawarkan
Step 0: Menumbuhkan semangat berpikir kritis (bertanya dan menyelidiki)
Perancang mengobservasi tatalaksana nonfarmakologi hipertensi emergency di
ruang IGD.
Step 1: Menanyakan pertanyaan klinik dengan menggunakan PICO/PICOT format
P : tatalaksana non farmakologi pada pasien dengan tekanan darah tinggi
I : Foot massage
C:-
O : Menstabilkan tekanan darah
T:-
Step 2: Mencari dan mengumpulkan bukti-bukti (artikel penelititan) yang paling
relevan dengan PICO/PICOT
Perancang mencari artikel mengenai tatalaksana non farmakologi tekanan darah
tinggi dari jurnal dan buku
Step 3: Melakukan penilaian kritis terhadap bukti-bukti (artikel penelititan)
Menerapkan kritisi jurnal dengan prinsip validity, reability, importance pada format
critical appraisal yang terlampir dengan yes 9.
Step 4: Mengintegrasikan bukti-bukti (artikel penelititan) terbaik dengan
pandangan ahli di klinik serta memperhatikan keinginan dan manfaatnya bagi
pasien dalam membuat keputusan atau perubahan
Perancang menentukan keputusan dengan konsultasi bersama pembimbing klinik,
sesuai kebutuhan pasien dan artikel penelitian yang terbaik.
Step 5: Mengevaluasi outcome dari perubahan yang telah diputuskan berdasarkan
bukti-bukti.
Perancang melakukan evaluasi intervensi dan mengkaji ulang manfaat intervensi
dalam perubahan pelayanan berdasar EBP dengan kualitas baik.
Step 6: Menyebarluaskan hasil dari EBP
Perancang menyusun proposal hingga presentasi laporan hasil dari intervensi yang
telah dilakukan sebagai penerapan EBP
B. Target dan luaran
Target ditujukan pada klien yang mengalami tekanan darah tinggi lebih dari
140/90 mmHg. Luaran dengan (kriteria hasil) adalah aliran darah lancar sehingga
menstabilkan tekanan darah.
C. Prosedur pelaksanaan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
1. Pengkajian
2. Analisis Keperawatan
3. Diagnosis Keperawatan
4. Intervensi Keperawatan
5. Implementasi Keperawatan
6. Evaluasi
B. PEMBAHASAN
BAB V
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Hayati, T., Nur, B. M., Rayasari, F., Sofiani, Y., & Irawati, D. (2019). Perbandingan
Pemberian Hiperoksigenasi Satu Menit Dab Dua Menit Pada Proses Suction
Terhadap Saturasi Oksigen Pasien Terpasang Ventilator. Journal of Telenursing
(JOTING), 1(1), 67–79.
Muhaji, Santoso, B., & Putrono. (2017). Comparison Of The Effectiveness Of Two
Levels Of Suction Pressure On Oxygen Saturation In Patients With Endotracheal
Tube. Belitung Nursing Journal, 3(6), 693–696.
Rodrigues, J., Amorim, V., Lourenc¸o, M. M., & Jamami, M. (2017). Comparing the
Effects of Two Different Levels of Hyperoxygenation on Gas Exchange During
Open Endotracheal Suctioning : A Randomized Crossover Study. Respiratory
Care, 62(1), 92–101. https://doi.org/10.4187/respcare.04665
Smeltzer, S. C. (2013). Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner & Suddarth (8th
ed.). Jakarta: EGC.
Stilwell, S. B. (2011). Pedoman keperawatan kritis. Jakarta: EGC.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai