Anda di halaman 1dari 28

Nama: Syahrina Nurul Hikmah

NIM: 6411418112
Kelas: 3C
Mata Kuliah: Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
Dosen Pengampu: Dr. Arulita Ika Fibriana, M.Kes (Epid)

Penyakit Rematik (Osteoartritis, Artritis Rheumatoid, Gout),


Osteoporosis
Penyakit rematik bukan hal asing bagi masyarakat. Penyakit ini banyak diderita seiring
dengan bertambahnya umur yang disebabkan oleh adanya pengapuran sendi, sehingga orang dengan
jenis penyakit ini akan mengalami nyeri sendi dan keterbatasan gerak. Selain itu, Penyakit ini
menyebabkan inflamasi, kekakuan, pembengkakan, dan rasa sakit pada sendi, otot, tendon, ligamen,
dan tulang. Rematik atau arthritis adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di
sekitarnya. Rematik adalah penyakit inflamasi sistemik kronis, inflamasi sistemik yang dapat
mempengaruhi banyak jaringan dan organ, tetapi terutama menyerang fleksibel (sinovial) sendi.
Nyeri sendi sering disebut dengan rematik adalah penyakit yang sering ditemukan dan tersebar di
seluruh dunia.
Rematik merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal
monosodium urat (MSU) pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan
ekstraseluler merupakan pemicu utama terjadinya peradangan atau inflamasi kejadian rematik.
Gangguan metabolisme yang mendasarkan rematik adalah hiperurisemia yang didefinisikan sebagai
peninggian kadar urat lebih dari 7,0 ml/dl untuk pria dan 6,0 ml/dl untuk wanita, kejadian ini
meningkat pada lanjut usia.
Di Indonesia penyakit rematik yang paling banyak ditemukan dan dijumpai adalah
osteoarthritis. Osteoarthritis merupakan suatu penyakit degeneratif persendian yang disebabkan oleh
beberapa faktor.

1. Osteoarthritis

Osteoartitis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif, dimana keseluruhan struktur dari
sendi mengalami perubahan patologis. Ditandai dengan kerusakan tulang rawan (kartilago) hyalin
sendi, meningkatnya ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan osteofit pada tepian
sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan, dan melemahnya otot–otot yang
menghubungkan sendi.

Epidemiologi Osteoartritis
Osteoartritis merupakan sebagian besar bentuk arthritis dan penyebab utama disabilitas pada
lansia. Osteoartritis merupakan penyebab beban utama untuk pasien, pemberi pelayanan kesehatan,
dan masyarakat. WHO melaporkan 40% penduduk dunia yang lansia akan menderita OA, dari
jumlah tersebut 80% mengalami keterbatasan gerak sendi. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia
diatas 70 tahun. Bisa terjadi pada pria dan wanita, tetapi pria bisa terkena pada usia yang lebih muda.
Prevalensi Osteoartritis di Indonesia cukup tinggi yaitu 5% pada usia > 40 tahun, 30% pada usia 40-
60 tahun dan 65% pada usia > 61 tahun.7 Berdasarkan studi yang dilakukan di pedesaan Jawa
Tengah menemukan prevalensi untuk OA mencapai 52% pada pria dan wanita antara usia 40-60
tahun dimana 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita1,2.
Sebesar 32,6% penduduk Provinsi Bali mengalami gangguan persendian, dan angka ini lebih
tinggi dari prevalensi Nasional yaitu 22,6% dengan 60 < 4% kasus terjadi pada kelompok umur 55-
74 tahun yang umumnya dikeluhkan pada sendi lutut dan pergelangan kaki.

Gejala Osteoartritis
Menurut Australian Physiotherapy Association (APA) (2003) dalam Nur (2009) penyakit
osteoarthritis mempunyai gejala-gejala yang biasanya menyulitkan bagi kehidupan penderitanya.
Adapun gejala tersebut antara lain:
1. Nyeri sendi (recurring pain or tenderness in joint)
Keluhan nyeri merupakan keluhan utama yang sering-kali membawa
penderita ke dokter, walaupun mungkin sebelumnya sendi sudah kaku dan berubah bentuknya.
Biasanya nyeri sendi bertambah dikarenakan gerakan dan sedikit berkurang bila istirahat. Pada
gerakan tertentu (misal lutut digerakkan ke tengah) menimbulkan rasa nyeri. Nyeri pada
osteoarthritis dapat menjalar kebagian lain, misal osteoarthritis pinggang menimbulkan nyeri betis
yang disebut sebagai “claudicatio intermitten”. Korelasi antara nyeri dan tingkat perubahan struktur
pada osteoarthritis sering ditemukan pada panggul, lutut dan jarang pada tangan dan sendi apofise
spinalis.
2. Kekakuan (stiffness)
Pada beberapa penderita, kaku sendi dapat timbul setelah duduk lama di kursi, di mobil,
bahkan setelah bangun tidur. Kebanyakan penderita mengeluh kaku setelah berdiam pada posisi
tertentu. Kaku biasanya kurang dari 30 menit.
3. Hambatan gerakan sendi (inability to move a joint)
Kelainan ini biasanya ditemukan pada osteoarthritis sedang sampai berat. Hambatan gerak
ini disebabkan oleh nyeri, inflamasi, sendi membengkok, perubahan bentuk. Hambatan gerak sendi
biasanya dirasakan pada saat berdiri dari kursi, bangun dari tempat berbaring, menulis atau berjalan.
Semua gangguan aktivitas tergantung pada lokasi dan beratnya kelainan sendi yang terkena.
4. Bunyi gemeretak (krepitasi)
Sendinya terdengar berbunyi saat bergerak. Suaranya lebih kasar dibandingkan dengan
artritis reumatoid dimana gemeretaknya lebih halus. Gemeretak yang jelas terdengar dan kasar
merupakan tanda yang signifikan.
5. Pembengkakan sendi (swelling in a joint)
Sendi membengkak/membesar bisa disebabkan oleh radang sendi dan bertambahnya cairan
sendi atau keduanya.
6. Perubahan cara berjalan atau hambatan gerak
Hambatan gerak atau perubahan cara berjalan akan berkembang sesuai dengan beratnya
penyakit. Perubahan yang terjadi dapat konsentris atau seluruh arah gerakan maupun eksentris atau
salah satu gerakan saja (Sudoyono, 2009). Kemerahan pada daerah sendi (obvious redness or heat
in a joint) Kemerahan pada sendi merupakan salah satu tanda peradangan sendi. Hal ini mungkin
dijumpai pada osteoarthritis karena adanya sinovitis, dan biasanya tanda kemerahan ini tidak
menonjol dan timbul belakangan (Sudoyono, 2009)
7. Kemerahan pada daerah sendi (obvious redness or heat in a joint)
Kemerahan pada sendi merupakan salah satu tanda peradangan sendi. Hal ini mungkin
dijumpai pada osteoarthritis karena adanya sinovitis, dan biasanya tanda kemerahan ini tidak
menonjol dan timbul belakangan (Sudoyono, 2009)

Penyebab Osteoartritis

Pathogenesis terjadinya Osteoartritis.


Osteoartritis disebabkan oleh perubahan biomekanikal dan biokimia tulang rawan yang terjadi
oleh adanya penyebab multifaktorial antara lain karena faktor umur, stress mekanis, atau
penggunaan sendi yang berlebihan, defek anatomik, obesitas, genetik, humoral dan faktor
kebudayaan, dimana akan terjadi ketidakseimbangan antara degradasi dan sintesis tulang rawan.
Ketidakseimbangan ini menyebabkan pengeluaran enzim-enzim degradasi dan pengeluaran kolagen
yang akan mengakibatkan kerusakan tulang rawan sendi dan sinovium (sinuvitis sekunder) akibat
terjadinya perubahan matriks dan struktur. Selain itu juga akan terjadi pembentukan osteofit sebagai
suatu proses perbaikan untuk membentuk kembali persendian sehingga dipandang sebagai
kegagalan sendi yang progresif.
Dua keluarga enzim yang penting dalam degradasi matriks, baik dalam tulang rawan yang
sehat ataupun pada osteoarthritis adalah metaloproteinase dan aggrecanases. Metaloproteinase
(stromelysin, collagenase, gelatinase) akan memecah kolagen, gelatin, dan komponen protein lain
dari matriks. Enzim ini disekresi oleh sinovial sel dan khondrosit. Aggrecanases (ADAMTS) akan
mendegradasi aggrecan. Peningkatan degradasi aggrecans oleh enzim ADAMTS adalah salah satu
indikasi dari osteoarthritis awal, dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap hilangnya
struktur tulang rawan dan fungsi.
Pada tulang rawan yang sehat, aktivitas degradasi enzim diseimbangkan dan diregulasi oleh
faktor pertumbuhan dan inhibitor degradasi enzim. Faktor pertumbuhan ini menginduksi khondrosit
untuk mensistesis DNA dan protein seperti kolagen dan proteoglikan. Faktor pertumbuhan yang
berperan adalah insulin-like growth factor (IGF-1), growth hormone, transforming growth factor b
(TGF-b) dan coloni stimulating factors (CSFs). Tetapi pada keadaan inflamasi, sel menjadi kurang
sensitif terhadap efek IGF-1.1,2,3,4 Tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMP) dan plasminogen
activator inhibitor (PAI-1) adalah inhibitor-inhibitor enzim yang berfungsi untuk mendegradasi
collagenase dan aggrecanase.
Pembentukan dan perkembangan Osteoartritis sekarang dipercayai melibatkan keradangan bahkan
pada tahap awal penyakit. Keseimbangan aktivitas sendi terganggu melalui suatu degradative
cascade dan penyebab terpenting adalah IL- 1 dan TNF. Sekresi dari factor inflamasi seperti sitokin
merupakan mediator yang bisa menyebabkan terganggunya proses metabolisme dan meningkatkan
proses katabolik pada sendi. IL-1 dan TNF yang diproduksi oleh khondrosit, sel mononeuklear,
osteoblast dan tisu sinovial menstimulasi sintesis dan sekresi metalloproteinase dan tissue
plasminogen activator serta mensupresi sintesis proteoglikan di dalam sendi.

Faktor Risiko Osteoartritis


Secara garis besar, terdapat dua pembagian faktor risiko Osteoartritis yaitu faktor predisposisi
dan faktor biomekanis. Faktor predisposisi merupakan faktor yang memudahkan seseorang untuk
terserang Osteoartritis. Sedangkan faktor biomekanik lebih cenderung kepada faktor mekanis/gerak
tubuh yang memberikan beban atau tekanan pada sendi lutut sebagai alat gerak tubuh, sehingga
meningkatkan risiko terjadinya Osteoartritis.
Faktor Predisposisi
1. Usia
Proses penuaan dianggap sebagai penyebab peningkatan kelemahan di sekitar sendi, penurunan
kelenturan sendi kalsifikasi tulang rawa dan menurunkan fungsi kondrosit yang semuanya
mendukung terjadinya Osteoartritis.
2. Jenis Kelamin
Prevalensi Ostteoartritis pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Tetapi setelah usia lebih dari 50 tahun prevalensi perempuan lebih tinggi menderita
Osteoartritis dibandingkan laki-laki. Perbedaan tersebut menjadi semakin berkurang setelah
menginjak usia 50- 80 tahun. Hal trsebut diperkirakan karena pada masa usia 50-80 tahun wanita
mengalami pengurangan hormone estrogen yang signifikan.
3. Ras/Etnis
Prevalensi Osteoartritis lutut pada pasien di Negara Eropa dan Amerika tidak berbeda,
sedangkan suatu penelitian membuktikan bahwa ras Afrika- Amerika memiliki risiko menderita
Osteoartritis lutut 2 kali lebih besar dibandingkan ras Kaukasia.
4. Faktor genetik
Faktor genetik diduga juga berperan pada kejadian OA lutut, hal tersebut berhubungan dengan
abnormalitas kode genetik untuk sintesis kolagen yang bersifat diturunkan.
5. Faktor Gaya hidup Kebiasaan merokok
Banyaknya penelitian telah membuktikan bahwa ada hubungan positif antara merokok
meningkatkan kandungan racun dalam darah dan mematikan jaringan akibat kekurangan oksigen,
yang memungkinkan terjadinya kerusakan tulang rawan. Rokok juga dapat merusak sel tulang rawan
sendi. Hubungan anatara merokok dengan hilangnya tulang rawan pada OA dapat dijelaskan sebgai
berikut:
1. Merokok dapat merusak sel dan menghambat proliferasi sel tulang rawan sendi.
2. Merokok dapat meningkatkan tekanan oksidan yang mempengaruhi hilangnya tulang rawan.
3. Merokok dapat meningkatkan kandungan karbon monoksida dalam darah, menyebabkan jaringan
kekurangan oksigen dan dapat menghambat pembentukan tulang rawan.

6. Penyakit lain
OA lutut terbukti berhubungan dengan diabetes mellitus, hipertensi dan hiperurikemia, dengan
catatan pasien tidk mengalami obesitas
7. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko terkuat yang dapat di modifikasi. Selama berjalan, setengah
berat badan bertumpu pada sendi. Peningkatan berat badan akan melipat gandakan beban sendi saat
berjalan terutama sendi lutut.
Obesitas dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Obesitas berat adalah indeks masa tubuh (IMT) > 27 kg/m2
2. Obesitas ringan adalah IMT 25-27 kg/m2
Tidak obesitas adalah IMT ≤ 25 kg/m2
8. Osteoporosis
Osteoporosi merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan osteoartritis. Salah satu
faktor resiko osteopororsis adalah minum-minum alkohol. Sehingga semakin banyak orang
mengkonsumsi alkohol sehingga akan mudah menjadi osteoporosis dan osteoporosis akan
menyebabkan osteoartritis.

Faktor Biomekanis
1. Riwayat trauma lutut
Trauma lutut yang akut termasuk robekan pada ligament krusiatum dan meniscus merupakan
faktor risiko timbulnya OA lutut. Studi Framingham menemukan bahwa organ dengan riwayat
trauma lutut memiliki risiko 5-6 kali lipat lebih tinggi untuk menderita OA lutut. Hal tersebut
biasanya terjadi pada kelompok usia yang lebih muda serta dapat menyebabkan kecacatan yang lama
dan pengangguran.
2. Kelainan Anatomis
Faktor risiko timbulnya OA lutut antara lain kelainan local pada sendi lutut seperti genu varum,
genu valgus, legg-calve Perthes disease dan dysplasia asetubulum. Kelemahan otot quadrisep dan
laksiti ligamentum pada sendi lutut termasuk kelainan local yang juga menjadi faktor risiko OA
lutut.
3. Pekerjaan
Osteoartritis banyak ditemukan pada pekerja fisik berat terutama yang banyak menggunakan
kekuatan bertumpu pada lutut dan pinggang. Prevalensi lebih tinggi menderita OA lutut ditemukan
pada kuli pelabuhan, petani dan penambang dibandingkan pekerja yang tidak menggunakan
kekuatan lutut seperti pekerja administrasi. Terdapat hubungan signifikan anatara pekerjaan yang
menggunakan kekuatan lutut dan kejadian OA lutut.
4. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik berat seperti berdiri lama ( 2 jam atau lebih setiap hari), berjalan jauh ( 2 jam atau
lebih setiap hari), mengangkat barang berat (10kg-20 kg) selama 10 kali atau lebih setiap minggu),
naik turun tangga setia hari merupakan faktor risiko OA lutut.
Atlit olah raga benturan keras dan membebani lutut seperti sepak bola, lari marathon dan kung
fu memiliki risiko meningkatkan untuk menderita OA lutut. Kelemahan otot quadrisep primer
merupakan faktor risiko bagi terjadinya OA dengan proses menurunkan stabilitas sendi dan
mengurangi shock yang menyerap materi otot. Tetapi, disisi lain seseorang yang memliki aktivitas
minim sehari-hari juga berisiko mengalami OA. Ketika seseorang tidak mengalami gerakan, aliran
cairan sendi akan berkurang dan berakibat aliran makanan yang masuk ke sendi juga berkurang. Hal
tersebut akan menyebabkan proses degeneratif berlebihan.

Diagnosis Osteoartirits
1. Anamnesis
Dari anamnesis, pasien biasanya akan mengeluhkan gejala sebagai berikut sebagai tanda dari
serangan osteoartritis:
1. Persendiaan terasa kaku dan nyeri apabila digerakkan. Pada mulanya hanya terjadi pagi hari, tetapi
apabila dibiarkan akan bertambah buruk dan menimbulkan rasa sakit setiap melakuka gerakan
tertentu, terutama pada waktu menopang berat badan, namun bisa membaik bila diistirahatkan. Pada
beberapa pasien, nyeri sendi dapat timbul setelah istirahat lama, misalnya duduk dikursi atau di jok
mobil dalam perjalanan jauh. Kaku sendi pada OA tidak lebih dari 15-30 menit dan timbul istirahat
beberapa saat misalnya setelah bangun tidur.
2. Adanya pembengkakan/peradangan pada persendiaan. Pembengkakan bisa pada salah satu tulang
sendi atau lebih. Hal ini disebabkan karena reaksi radang yang menyebabkan pengumpulan cairan
dalam ruang sendi, biasanya teraba panas tanpa ada kemerahan.
3. Nyeri sendi terus-menerus atau hilang timbul, terutama apabila bergerak atau menanggung beban.
4. Persendian yang sakit berwarna kemerah-merahan.
5. Kelelahan yang menyertai rasa sakit pada persendiaan
6. Kesulitan menggunakan persendiaan
7. Bunyi pada setiap persendiaan (krepitus). Gejala ini tidak menimbulkan rasa nyeri, hanya rasa tidak
nyaman pada setiap persendiaan (umumnya tulang lutut)
8. Perubahan bentuk tulang. Ini akibat jaringan tulang rawan yang semakin rusak, tulang mulai berubah
bentuk dan meradang, menimbulakan rasa sait yang amat sangat.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dari osteoartritis dapat ditemukan ketegangan lokal dan pembengkakan
jaringan tulang atau jaringan lunak. Krepitus tulang (sensasi tulang bergesekan dengan tulang, yang
ditimbulkan gerakan sendi) merupakan karakteristik osteoartritis. Pada perabaan dapat dirasakan
peningkatan suhu pada sendi. Otot-otot sekitar sendi yang atrofi dapat terjadi karena tidak digunakan
atau karena hambatan reflek dari kontraksi otot. Pada tingkat lanjut osteoartritis, dapat terjadi
deformitas berat (misal pada osteoartritis lutut, kaki menjadi berbentuk O atau X), hipertrofi
(pembesaran) tulang, subluksasi, dan kehilangan pergerakan sendi (Range of Motion, ROM). Pada
saat melakukan gerakan aktif atau digerakkan secara pasif. Adapun predileksi osteoartritis adalah
pada sendi-sendi tertentu seperti carpometacarpal I, matatarsophalangeal I, sendi apofiseal tulang
belakang, lutut (tersering) dan paha.
3. Pemeriksaan Diagnostik
Pada pasien OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada sendi yang terkena sudah cukup
untuk memberikan suatu gambaran diagnostik. Gambaran Radiografi sendi yang menyokong
diagnosis OA adalah :
1. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung beban
seperti lutut).
2. Peningkatan densitas tulang subkondral (sklerosis).
3. Kista pada tulang
4. Osteofit pada pinggir sendi
5. Perubahan struktur anatomi sendi
Berdasarkan temuan-temuan radiografis diatas, maka OA dapat diberikan suatu derajat. Kriteria
OA berdasarkan temuan radiografis dikenal sebagai kriteria Kellgren dan Lawrence yang membagi
OA dimulai dari tingkat ringan hingga tingkat berat. Perlu diingat bahwa pada awal penyakit,
gambaran radiografis sendi masih terlihat normal. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan yaitu
darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah) dalam batas-batas normal. Pemeriksaan
imunologi (ANA, faktor rheumatoid dan komplemen) juga normal. Pada OA yang disertai
peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang,
peningkatan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein.

Pengobatan
Beberapa pilihan pengobatan untuk osteoarthritis adalah sebagai berikut:
1. Konsumsi obat-obatan
Gejala rasa sakit, nyeri, dan kekakuan akibat osteoartritis, bisa ditolong dengan pemberian obat-
obatan tertentu, seperti:
1. Acetaminophen
Acetaminophen, seperti Tylenol dan Paracetamol, telah terbukti efektif untuk mengobati gejala
pada orang dengan osteoarthritis. Penggunaan obat ini dipercaya bisa meredakan nyeri dalam taraf
ringan hingga sedang.
2. NSAID
Nonsteroid anti-inflammatory drugs, atau disingkat NSAID, adalah obat yang sering digunakan
untuk meringankan nyeri dan masalah pada muskuloskeletal. NSAID yang dijual bebas, seperti
ibuproven (Advil dan Motrin IB) dan naproxen sodium (Aleve), bisa meredakan nyeri osteoarthritis.
Jenis obat NSAID tersebut biasanya memiliki dosis yang sedang. Sementara untuk NSAID
dengan dosis yang lebih tinggi, tersedia berdasarkan resep dokter. Obat ini juga bisa membantu
meringankan peradangan sekaligus menghilangkan rasa sakit.
3. Duloxetione
Obat duloxetine (Cymbalta) biasanya digunakan sebagai obat untuk mengobati depresi dan
kecemasan. Di samping itu, duloxetine juga diminum untuk membantu meredakan nyeri kronis,
termasuk osteoarthritis.
2. Melakukan terapi
Bukan hanya dengan obat-obatan saja. Pasien bisa mempercepat pemulihan gejala dengan rutin
melakukan terapi, meliputi:
a. Terapi fisik
Terapi fisik adalah prosedur perawatan yang akan membantu Anda untuk melatih otot-otot
di sekitar persendian yang nyeri. Terapi ini juga dapat meningkatkan jangkauan gerak, sekaligus
meredakan rasa sakit. Dalam melakukan terapi ini, Anda akan dibantu oleh seorang terapis sehingga
mempermudah program latihan yang nantinya Anda jalani.
b. Terapi okupasi
Terapi okupasi adalah jenis perawatan yang biasanya ditujukan khusus untuk mengobati
orang dengan keterbatasan fisik dan mental. Namun, metode pengobatan ini juga tak kalah baik
untuk diterapkan jika Anda memiliki osteoarthritis lutut.
Seorang terapis okupasi yang akan bertugas membantu Anda dalam menemukan cara yang
paling tepat untuk beraktivitas sehari-hari. Khususnya karena keterbatasan Anda akibat serangan
rasa nyeri dan sakit karena adanya peradangan sendi.

3. Prosedur Operasi
Jika beberapa perawatan sebelumnya tidak cukup membantu, dokter mungkin akan
menyarankan prosedur seperti:
1. Suntikan kortikosteroid
Pemberian suntikan obat kortikosteroid bisa membantu meredakan nyeri pada persendian
Anda. Selama prosedur berlangsung, dokter akan membuat area di sekitar persendian Anda mati rasa
terlebih dahulu. Selanjutnya, barulah dokter akan menyuntikkan obat tersebut ke sendi sasaran.
2. Suntikan pelumas
Pemberian suntikan pelumas, misalnya asam hialuronat, disinyalir bisa mengurangi rasa
sakit pada sendi. Alasannya karena asam hialuronat memiliki kandungan komponen yang mirip
seperti cairan pelumas sendi. Alhasil, asam hialuronat bisa berperan menyerupai bantalan untuk
sendi.
3. Operasi penggantian sendi
Operasi penggantian sendi (artroplasti) bertujuan untuk mengangkat permukaan sendi yang
rusak, dan menggantinya dengan suatu bahan khusus. Bahan tersebut bisa terbuat dari plastik atau
logam khusus. Hanya saja, permukaan sendi buatan tersebut bisa kehilangan fungsinya sehingga
perlu diganti dengan yang baru.

2. Artritis Reumatoid
Sendi terdiri dari 2 tulang yang tertutup tulang rawan dan tendon yang menahan kedua tulang
agar tetap menyatu. Tulang rawan terdiri dari proteinyang memungkinkana tulang meluncur diatas
satu sama lain dan bertindak sebagai bantalan peredam kejut. Ketika tulang rawan menipis atau
rusak, tulang akan saling bergesekan tanpa bantalan yang akhirnya akan merusak sendi.
Rematik atau yang dalam bahasa medis disebut dengan rheumatoid arthritis (atau biasa
disingkat RA) adalah penyakit yang menyebabkan radang, dan kemudian mengakibatkan rasa nyeri,
kaku, dan bengkak pada sendi. Penyakit ini disebabkan oleh gangguan autoimun.
RA dapat memengaruhi kemampuan penderitanya dalam melakukan aktivitas harian, seperti
menulis, membuka botol, memakai baju, dan membawa barang. Peradangan sendi yang mengenai
pinggul, lutut atau kaki juga dapat membuat sulit berjalan, membungkuk, atau berdiri.

Epidemiologi Rheumatoid Arthritis


Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan lainnya, di
Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA sekitar 1% pada kaukasia dewasa,
Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di
Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara
mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000.
Rheumatoid arthritis adalah salah satu penyakit yang seringnya dialami oleh orang lanjut usia
(lansia). Akan tetapi, RA juga bisa dialami oleh orang dewasa muda, remaja, dan bahkan anak-anak.
Wanita diketahui 2-3 kali lebih berisiko mengalami rematik dibanding pria.
Tanda-Tanda & Gejala
Gejala paling khas dari rheumatoid arthritis adalah nyeri sendi dan kekakuan sendi yang
biasanya memburuk di pagi hari setelah bangun tidur atau duduk terlalu lama. Sendi yang terkena
dapat memerah, bengkak, dan terasa hangat ketika disentuh. Gejala lain rheumatoid arthritis adalah
mata gatal atau perih, lemas, lesu, tidak bertenaga, nafsu makan menurun drastis, dan demam.

Penyebab
Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun. Artinya, penyakit ini disebabkan oleh sistem
imun yang menyerang jaringan tubuh yang sehat.
Sistem imun yang keliru menyerang jaringan sehat di sekitar sendi menyebabkan lapisan
tipis sel, alias synovium, menutupi persendian menyebabkan sendi meradang dan
bengkak. Synovium juga melepaskan bahan kimia yang akan merusak tulang rawan dan tulang
dalam sendi Anda.
Jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa pengobatan yang tepat, synovium dapat menyebabkan
sendi kehilangan bentuknya dan pada akhirnya menghancurkan sendi Anda sepenuhnya.
Meski gangguan autoimun dipercaya sebagai penyebab utama rematik, namun sampai saat
ini para peneliti belum mengetahui faktor apa saja yang dapat memicu gangguan tersebut.

Faktor-Faktor Risiko
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko Anda terkena rheumatoid arthritis adalah:
31 Jenis kelamin. Wanita berisiko 2-3 kali lebih tinggi dibanding pria.
32 Usia. RA dapat terjadi pada usia berapa pun, namun lebih sering terjadi pada usia 40 sampai
60 tahun.
33 Riwayat keluarga. Jika orangtua, saudara kandung, paman, bibi, atau kakek dan nenek Anda
terkena penyakit rematik, Anda berisiko tinggi untuk mengalaminya juga.

Obat & Pengobatan


Cara terbaik untuk mengobati rheumatoid arthritis adalah dengan menggunakan obat-obatan,
terapi, olahraga, serta edukasi guna menghindari aktivitas fisik yang dapat memicu nyeri sendi.
Obat NSAID, seperti naproxen dan ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri dan
bengkak jika rematik Anda kambuh. Dokter juga dapat memberikan obat disease-modifying
antirheumatic drugs (DMARDs). Obat ini dapat memperlambat perkembangan RA dan
menyelamatkan sendi dan jaringan lain dari kerusakan permanen. DMARD yang sering diberikan
oleh dokter yaitu methotrexate (trexall), leflunomide (Arava), hydroxychloroquine (plaquenil)
dan sulfasalazine (Azulfidine).
Terapi yang mungkin disarankan dokter seperti berendam dengan air panas, menggunakan
lampu pemanas, kompresan panas, dan terapi whirlpool.
Dalam kasus yang parah, dokter bisa menganjurkan pasien untuk melakukan prosedur
operasi. Operasi pengobatan rematik mungkin akan melibatkan pembedahan. Pembedahan dapat
dibagi ke dalam beberapa prosedur berikut ini:
1. Total joint replacement. Saat operasi, dokter bedah akan mengangkat bagian sendi yang
rusak dan memasukkan alat buatan dari metal dan plastik.
2. Tendon repair. Sendi yang mengalami peradangan dan kerusakan dapat menyebabkan tendon
di sekitar sendi Anda melonggar atau sobek. Dokter bedah dapat memperbaiki tendon di
sekitar sendi Anda.
3. Fusi sendi. Operasi penyatuan sendi dianjurkan untuk menstabilkan sendi atau
meluruskannya kembali. Akan tetapi, metode ini hanya digunakan apabila kedua metode
lainnya tidak dapat dilakukan.

3. Gout
Menurut American College of Rheumatology, gout adalah suatu penyakit dan potensi
ketidakmampuan akibat radang sendi yang sudah dikenal sejak lama, gejalanya biasanya terdiri dari
episodik berat dari nyeri inflamasi satu sendi. Gout adalah bentuk inflamasi artritis kronis, bengkak
dan nyeri yang paling sering di sendi besar jempol kaki. Namun, gout tidak terbatas pada jempol
kaki, dapat juga mempengaruhi sendi lain termasuk kaki, pergelangan kaki, lutut, lengan,
pergelangan tangan, siku dan kadang di jaringan lunak dan tendon. Biasanya hanya mempengaruhi
satu sendi pada satu waktu, tapi bisa menjadi semakin parah dan dari waktu ke waktu dapat
mempengaruhi beberapa sendi. Gout merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan
metabolik yang ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Penyakit asam
urat atau gout merupakan penyakit akibat penimbunan kristal monosodium urat di dalam tubuh
sehingga menyebabkan nyeri sendi disebut Gout artritis.
Asam urat merupakan senyawa nitrogen yang dihasilkan dari proses katabolisme purin baik
dari diet maupun dari asam nukleat endogen (asam deoksiribonukleat). Gout dapat bersifat primer,
sekunder, maupun idiopatik. Gout primer merupakan akibat langsung pembentukan asam urat tubuh
yang berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat. Gout sekunder disebabkan karena
pembentukan asam urat yang berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang akibat proses
penyakit lain atau pemakaian obat-obatan tertentu sedangkan gout idiopatik adalah hiperurisemia
yang tidak jelas penyebab primer, kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologis atau anatomi yang
jelas.

Penyebab
Berdasarkan penyebabnya, penyakit asam urat digolongkan menjadi 2, yaitu:
1. Gout primer
Penyebab kebanyakan belum diketahui (idiopatik). Hal ini diduga berkaitan dengan
kombinasi faktor genetik dan faktor hormonal yang menyebabkan gangguan metabolisme yang
dapat mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat. Hiperurisemia atau berkurangnya
pengeluaran asam urat dari tubuh dikatakan dapat menyebabkan terjadinya gout primer.
Hiperurisemia primer adalah kelainan molekular yang masih belum jelas diketahui.
Berdasarkan data ditemukan bahwa 99% kasus adalah gout dan hiperurisemia primer. Gout primer
yang merupakan akibat dari hiperurisemia primer, terdiri dari hiperurisemia karena penurunan
ekskresi (80-90%) dan karena produksi yang berlebih (10-20%).
Hiperurisemia karena kelainan enzim spesifik diperkirakan hanya 1% yaitu karena
peningkatan aktivitas varian dari enzim phosporibosylpyrophosphatase (PRPP) synthetase, dan
kekurangan sebagian dari enzim hypoxantine phosporibosyltransferase (HPRT). Hiperurisemia
primer karena penurunan ekskresi kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik dan menyebabkan
gangguan pengeluaran asam urat yang menyebabkan hiperurisemia. Hiperurisemia akibat produksi
asam urat yang berlebihan diperkirakan terdapat 3 mekanisme.
1. Pertama, kekurangan enzim menyebabkan kekurangan inosine monopospate (IMP) atau
purine nucleotide yang mempunyai efek feedback inhibition proses biosintesis de novo.
2. Kedua, penurunan pemakaian ulang menyebabkan peningkatan jumlah PRPP yang tidak
dipergunakan. Peningkatan jumlah PRPP menyebabkan biosintesis de novo meningkat.
3. Ketiga, kekurangan enzim HPRT menyebabkan hipoxantine tidak bisa diubah kembali
menjadi IMP, sehingga terjadi peningkatan oksidasi hipoxantine menjadi asam urat

2. Gout sekunder
Gout sekunder dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu kelainan yang menyebabkan
peningkatan biosintesis de novo, kelainan yang menyebabkan peningkatan degradasi ATP atau
pemecahan asam nukleat dan kelainan yang menyebabkan sekresi menurun. Hiperurisemia sekunder
karena peningkatan biosintesis de novo terdiri dari kelainan karena kekurangan menyeluruh enzim
HPRT pada syndome Lesh-Nyhan, kekurangan enzim glukosa-6 phosphate pada glycogen storage
disease dan kelainan karena kekurangan enzim fructose-1 phosphate aldolase melalui glikolisis
anaerob. Hiperurisemia sekunder karena produksi berlebih dapat disebabkan karena keadaanyang
menyebabkan peningkatan pemecahan ATP atau pemecahan asam nukleat dari dari intisel.
Peningkatan pemecahan ATP akan membentuk AMP dan berlanjut membentuk IMP atau purine
nucleotide dalam metabolisme purin, sedangkan hiperurisemia akibat penurunan ekskresi
dikelompokkan dalam beberapa kelompok yaitu karena penurunan masa ginjal, penurunan filtrasi
glomerulus, penurunan fractional uric acid clearence dan pemakaian obat- obatan.

Faktor Risiko
Berikut ini yang merupakan faktor resiko dari gout:
 Suku bangsa /ras
Suku bangsa yang paling tinggi prevalensi nya pada suku Maori di Australia. Prevalensi suku
Maori terserang penyakit asam urat tinggi sekali sedangkan Indonesia prevalensi yang paling tinggi
pada penduduk pantai dan yang paling tinggi di daerah Manado-Minahasa karena kebiasaan atau
pola makan dan konsumsi alkohol.
 Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol menyebabkan serangan gout karena alkohol meningkatkan produksi asam
urat. Kadar laktat darah meningkat sebagai akibat produk sampingan dari metabolisme normal
alkohol. Asam laktat menghambat ekskresi asam urat oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan
kadarnya dalam serum.
 Konsumsi ikan laut
Ikan laut merupakan makanan yang memiliki kadar purin yang tinggi. Konsumsi ikan laut
yang tinggi mengakibatkan asam urat.
 Penyakit
Penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan hiperurisemia. Misalnya Obesitas,
diabetes melitus, penyakit ginjal, hipertensi, dislipidemia, dsb. Adipositas tinggi dan berat badan
merupakan faktor resiko yang kuat untuk gout pada laki-laki, sedangkan penurunan berat badan
adalah faktor pelindung.
 Obat-obatan
Beberapa obat-obat yang turut mempengaruhi terjadinya hiperurisemia. Misalnya Diuretik,
antihipertensi, aspirin, dsb. Obat-obatan juga mungkin untuk memperparah keadaan. Diuretik sering
digunakan untuk menurunkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, tetapi hal tersebut juga
dapat menurunkan kemampuan ginjal untuk membuang asam urat. Hal ini pada gilirannya, dapat
meningkatkan kadar asam urat dalam darah dan menyebabkan serangan gout. Gout yang disebabkan
oleh pemakaian diuretik dapat "disembuhkan" dengan menyesuaikan dosis. Serangan Gout juga bisa
dipicu oleh kondisi seperti cedera dan infeksi, hal tersebut dapat menjadi potensi memicu asam urat.
Hipertensi dan penggunaan diuretik juga merupakan faktor risiko penting independen untuk gout.
Aspirin memiliki 2 mekanisme kerja pada asam urat, yaitu: dosis rendah menghambat ekskresi asam
urat dan meningkatkan kadar asam urat, sedangkan dosis tinggi (> 3000 mg / hari) adalah uricosurik.
 Jenis Kelamin
Pria memiliki resiko lebih besar terkena nyeri sendi dibandingkan perempuan pada semua
kelompok umur, meskipun rasio jenis kelamin laki-laki dan perempuan sama pada usia lanjut. Dalam
Kesehatan dan Gizi Ujian Nasional Survey III, perbandingan laki-laki dengan perempuan secara
keseluruhan berkisar antara 7:1 dan 9:1. Dalam populasi managed care di Amerika Serikat, rasio
jenis kelamin pasien laki-laki dan perempuan dengan gout adalah 4:1 pada mereka yang lebih muda
dari 65 tahun, dan 3:1 pada mereka lima puluh persen lebih dari 65 tahun. Pada pasien perempuan
yang lebih tua dari 60 tahun dengan keluhan sendi datang ke dokter didiagnosa sebagai gout, dan
proporsi dapat melebihi 50% pada mereka yang lebih tua dari 80 tahun.
 Diet tinggi purin
Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa HDL yang merupakan bagian dari kolesterol,
trigliserida dan LDL disebabkan oleh asupan makanan dengan purin tinggi.

Patofisiologi
Dalam keadaan normal, kadar asam urat di dalam darah pada pria dewasa kurang dari 7
mg/dl, dan pada wanita kurang dari 6 mg/dl. Apabila konsentrasi asam urat dalam serum lebih besar
dari 7 mg/dl dapat menyebabkan penumpukan kristal monosodium urat.
Serangan gout tampaknya berhubungan dengan peningkatan atau penurunan secara
mendadak kadar asam urat dalam serum. Jika kristal asam urat mengendap dalam sendi, akan terjadi
respon inflamasi dan diteruskan dengan terjadinya serangan gout. Dengan adanya serangan yang
berulang – ulang, penumpukan kristal monosodium urat yang dinamakan thopi akan mengendap
dibagian perifer tubuh seperti ibu jari kaki, tangan dan telinga. Akibat penumpukan Nefrolitiasis urat
(batu ginjal) dengan disertai penyakit ginjal kronis.
Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal monosodium urat dari depositnya
dalam tofi (crystals shedding). Pada beberapa pasien gout atau dengan hiperurisemia asimptomatik
kristal urat ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan patella yang sebelumnya tidak pernah
mendapat serangan akut. Dengan demikian, gout ataupun pseudogout dapat timbul pada keadaan
asimptomatik. Pada penelitian penulis didapat 21% pasien gout dengan asam urat normal. Terdapat
peranan temperatur, pH, dan kelarutan urat untuk timbul serangan gout. Menurunnya kelarutan
sodium urat pada temperatur lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat
menjelaskan mengapa kristal monosodium urat diendapkan pada kedua tempat tersebut. Predileksi
untuk pengendapan kristal monosodium urat pada metatarsofalangeal-1 (MTP-1) berhubungan juga
dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada daerah tersebut.

Manifestasi Klinis
Gout terjadi dalam empat tahap. Tidak semua kasus berkembang menjadi tahap akhir.
Perjalanan penyakit asam urat mempunyai 4 tahapan, yaitu:
1. Tahap 1 (Tahap Gout Artritis akut)
Serangan pertama biasanya terjadi antara umur 40-60 tahun pada laki-laki, dan setelah 60
tahun pada perempuan. Onset sebelum 25 tahun merupakan bentuk tidak lazim artritis gout, yang
mungkin merupakan manifestasi adanya gangguan enzimatik spesifik, penyakit ginjal atau
penggunaan siklosporin. Pada 85-90% kasus, serangan berupa artritis monoartikuler dengan
predileksi MTP-1 yang biasa disebut podagra.
Gejala yang muncul sangat khas, yaitu radang sendi yang sangat akut dan timbul sangat cepat
dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apapun, kemudian bangun tidur terasa sakit yang
hebat dan tidak dapat berjalan. Keluhan monoartikuler berupa nyeri, bengkak, merah dan hangat,
disertai keluhan sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah, disertai lekositosis dan
peningkatan endap darah. Sedangkan gambaran radiologis hanya didapatkan pembengkakan pada
jaringan lunak periartikuler. Keluhan cepat membaik setelah beberapa jam bahkan tanpa terapi
sekalipun.

Pada perjalanan penyakit selanjutnya, terutama jika tanpa terapi yang adekuat, serangan
dapat mengenai sendi-sendi yang lain seperti pergelangan tangan/kaki, jari tangan/kaki, lutut dan
siku, atau bahkan beberapa sendi sekaligus. Serangan menjadi lebih lama durasinya, dengan interval
serangan yang lebih singkat, dan masa penyembuhan yang lama. Diagnosis yang definitive/gold
standard, yaitu ditemukannya Kristal urat (MSU) di cairan sendi atau tofus.
2. Tahap 2 (Tahap Gout interkritikal)
Pada tahap ini penderita dalam keadaan sehat selama rentang waktu tertentu. Rentang waktu
setiap penderita berbeda-beda. Dari rentang waktu 1-10 tahun. Namun rata-rata rentang waktunya
antara 1-2 tahun. Panjangnya rentang waktu pada tahap ini menyebabkan seseorang lupa bahwa
dirinya pernah menderita serangan gout Artritis akut. Atau menyangka serangan pertama kali yang
dialami tidak ada hubungannya dengan penyakit Gout Artritis.
3. Tahap 3 (Tahap Gout Artritis Akut Intermitten)
Setelah melewati masa Gout Interkritikal selama bertahun-tahun tanpa gejala, maka
penderita akan memasuki tahap ini yang ditandai dengan serangan artritis yang khas seperti diatas.
Selanjutnya penderita akan sering mendapat serangan (kambuh) yang jarak antara serangan yang
satu dengan serangan berikutnya makin lama makin rapat dan lama serangan makin lama makin
panjang, dan jumlah sendi yang terserang makin banyak. Misalnya seseorang yang semula hanya
kambuh setiap setahun sekali, namun bila tidak berobat dengan benar dan teratur, maka serangan
akan makin sering terjadi biasanya tiap 6 bulan, tiap 3 bulan dan seterusnya, hingga pada suatu saat
penderita akan mendapat serangan setiap hari dan semakin banyak sendi yang terserang.
4. Tahap 4 (tahap Gout Artritis Kronik Tofaceous)
Tahap ini terjadi bila penderita telah menderita sakit selama 10 tahun atau lebih. Pada tahap
ini akan terbentuk benjolan-benjolan disekitar sendi yang sering meradang yang disebut sebagai
Thopi. Thopi ini berupa benjolan keras yang berisi serbuk seperti kapur yang merupakan deposit
dari kristal monosodium urat. Thopi ini akan mengakibatkan kerusakan pada sendi dan tulang
disekitarnya. Bila ukuran thopi semakin besar dan banyak akan mengakibatkan penderita tidak dapat
menggunakana sepatu lagi.

Diagnosis
Diagnosa asam urat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik serta dapat dilakukan
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis, dan cairan sendi.
1. Pemeriksaan Laboratorium
Seseorang dikatakan menderita asam urat ialah apabila pemeriksaan laboratorium
menunjukkan kadar asam urat dalam darah diatas 7 mg/dL untuk pria dan lebih dari 6 mg/dL untuk
wanita. Bukti adanya kristal urat dari cairan sinovial atau dari topus melalui mikroskop polarisasi
sudah membuktikan, bagaimanapun juga pembentukan topus hanya setengah dari semua pasien
dengan gout.

Pemeriksaan gula darah dilakukan untuk mendeteksi ada dan tidaknya penyakit diabetes
mellitus. Ureum dan kreatinin diperiksa untuk mengetahui normal dan tidaknya fungsi ginjal.
Sementara itu pemeriksaan profil lemak darah dijadikan penanda ada dan tidaknya gejala
aterosklerosis.
2. Pemeriksaan Cairan Sendi
Pemeriksaan cairan sendi dilakukan di bawah mikroskop. Tujuannya ialah untuk melihat
kristal urat atau monosodium urate (kristal MSU) dalam cairan sendi. Untuk melihat perbedaan jenis
artritis yang terjadi perlu dilakukan kultur cairan sendi.
Dengan mengeluarkan cairan sendi yang meradang maka pasien akan merasakan nyeri sendi
yang berkurang. Dengan memasukkan obat ke dalam sendi, selain menyedot cairan sendi tentunya,
maka pasien akan lebih cepat sembuh. Mengenai metode penyedotan cairan sendi ini, ketria
mengatakan bahwa titik dimana jarum akan ditusukkan harus dipastikan terlebih dahulu oleh seorang
dokter. Tempat penyedotan harus disterilkan terlebih dahulu, lalu jarum tersebut disuntikkan dan
cairan disedot dengan spuite.
Pada umunya, sehabis penyedotan dilakukan, dimasukkan obat anti-radang ke dalam sendi.
Jika penyedotan ini dilakukan dengan cara yang tepat maka pasien tidak akan merasa sakit. Jarum
yang dipilih juga harus sesuai kebutuhan injeksi saat itu dan lebih baik dilakukan pembiusan pada
pasien terlebih dahulu. Jika lokasi penyuntikan tidak steril maka akan mengakibatkan infeksi sendi.
Perdarahan bisa juga terjadi jika tempat suntikan tidak tepat dan nyeri hebat pun bisa terjadi
jika teknik penyuntikan tidak tepat. Selain memeriksa keadaan sendi yang mengalami peradangan,
dokter biasanya akan memeriksa kadar asam urat dalam darah. Kadar asam urat yang tinggi adalah
sangat sugestif untuk diagnosis gout artritis. Namun, tidak jarang kadar asam urat ditemukan dalam
kondisi normal. Keadaan ini biasanya ditemukan pada pasien dengan pengobatan asam urat tinggi
sebelumnya. Karena, kadar asam urat sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh pengobatan maka kadar
standar atau kadar normal di dalam darah adalah berkisar dari 3,5 – 7 mg/dL.
Pemeriksaan cairan sendi ini merupakan pemeriksaan yang terbaik. Cairan hasil aspirasi
jarum yang dilakukan pada sendi yang mengalami peradangan akan tampak keruh karena
mengandung kristal dan sel-sel radang. Seringkali cairan memiliki konsistensi seperti pasta dan
berkapur. Agar mendapatkan gambaran yang jelas jenis kristal yang terkandung maka harus
diperiksa di bawah mikroskop khusus yang berpolarisasi. Kristal-kristal asam urat berbentuk jarum
atau batangan ini bisa ditemukan di dalam atau di luar sel. Kadang bisa juga ditemukan bakteri bila
terjadi septic artritis.
3. Pemeriksaan dengan Roentgen
Pemeriksaan ini baiknya dilakukan pada awal setiap kali pemeriksaan sendi. Dan jauh lebih
efektif jika pemeriksaan roentgen ini dilakukan pada penyakit sendi yang sudah berlangsung kronis.
Pemeriksaan roentgen perlu dilakukan untuk melihat kelainan baik pada sendi maupun pada tulang
dan jaringan di sekitar sendi.
Seberapa sering penderita asam urat untuk melakukan pemeriksaan roentgen tergantung
perkembangan penyakitnya. Jika sering kumat, sebaiknya dilakukan pemeriksaan roentgen ulang.
Bahkan kalau memang tidak kunjung membaik, kita pun dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
magnetic resonance imaging (MRI).
Tetapi demikian, dalam melakukan pemeriksaan roentgen, kita jangan terlalu sering. Sebab,
pemeriksaan roentgen yang terlalu sering mempunyai risiko terkena radiasi semakin meningkat.
Pengaruh radiasi yang berlebihan bisa mengakibatkan kanker, kemandulan, atau kelainan janin
dalam kandungan pada perempuan. Oleh karena itu, kita harus ekstra hati-hati dan harus bisa
meminimalisasi dalam melakukan pemeriksaan roentgen ini untuk menghindari kemungkinan
terjadinya berbagai risiko tersebut.
Gold standard dalam menegakkan gout artritis adalah menggunakan mikroskop terpolarisasi,
yaitu dengan ditemukannya kristal urat MSU (Monosodium Urat) di cairan sendi atau tofus. Untuk
memudahkan diagnosis gout artritis akut, dapat digunakan kriteria dari ARA (American
Rheumatism Association) tahun 1997 sebagai berikut:
1. Ditemukannya kristal urat di cairan sendi, atau
2. Adanya tofus yang berisi Kristal urat, atau
Terdapat 6 dari 12 kriteria klinis, laboratoris, dan radiologis sebagai berikut:
1. Terdapat lebih dari satu kali serangan arthritis akut
2. Inflamasi maksimal terjadi pada hari pertama gejala atau serangan datang
3. Artritis monoartikuler (hanya terjadi di satu sisi persendian)
4. Kemerahan pada sendi yang terserang
5. Bengkak dan nyeri pada sendi MTP-1 (ibu jari kaki)
6. Artritis unilateral yang melibatkan MTP-1 (di salah satu sisi)
7. Artritis unilateral yang melibatkan sendi tarsal
8. Adanya tofus di artilago articular dan kapula sendi
9. Terjadinya peningkatan kadar asam urat dalam darah ( > 7.5mg/dL)
10. Pembengkakan sendi yang asimetris (radiologis)
11. Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)
12. Kultur mikroorganisme cairan sendi menunjukkan hasil negatif
Yang harus dicatat adalah diagnosis gout tidak bisa digugurkan meskipun kadar asam urat normal.

Pengobatan
Penanganan penyakit asam urat adalah dengan pemberian obat-obatan, untuk meringankan
gejalanya dan mencegah penyakit kambuh kembali. Jenis obat yang biasanya diresepkan dokter
untuk menangani penyakit asam urat adalah colchicine dan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS).
Pada pasien yang tidak bisa mengonsumsi kedua obat tersebut, dokter akan meresepkan
kortikosteoid.
Pada pasien yang mengalami beberapa kali serangan asam urat dalam setahun, atau
mengalami nyeri hebat akibat penyakit ini, dokter akan meresepkan obat lain untuk mencegah
komplikasi. Jenis obat yang digunakan pada kasus di atas adalah allopurinol. Obat ini bekerja dengan
menghambat produksi asam urat di tubuh. Jenis obat lain yang juga dapat diberikan adalah obat
untuk meningkatkan pembuangan asam urat berlebih dari tubuh seperti probenecid.
Untuk mencegah serangan asam urat kembali terjadi, pasien akan disarankan untuk
menghindari makanan berkadar purin tinggi, dan mengurangi minuman tinggi gula serta minuman
beralkohol. Pasien juga akan dianjurkan untuk memenuhi asupan protein dengan mengonsumsi susu
rendah lemak, serta rutin berolahraga untuk mencapai dan menjaga berat badan ideal.

Komplikasi
Penderita penyakit asam urat harus mewaspadai komplikasi yang mungkin timbul dari penyakit ini,
di antaranya:
Munculnya benjolan keras (tofi). Tofi terbentuk akibat penumpukan kristal asam urat di
bawah kulit, dan dapat muncul di beberapa area tubuh, seperti jari, tangan, siku, kaki, dan di sekitar
mata kaki. Meski tidak menimbulkan rasa sakit, tofi bisa membengkak dan mengeras saat serangan
asam urat terjadi.
Asam urat kambuh. Pada sejumlah kasus, serangan asam urat bisa terjadi beberapa kali dalam
setahun. Bila dibiarkan tidak tertangani, kondisi tersebut dapat menyebabkan pengeroposan dan
kerusakan pada sendi.
Penyakit batu ginjal. Kristal asam urat bisa menumpuk di saluran kemih, dan menyebabkan batu
ginjal.

4. Osteoporosis
Osteoporosis adalah kondisi berkurangnya massa tulang dan gangguan struktur tulang
(perubahan mikroarsitektur jaringan tulang) sehingga menyebabkan tulang menjadi mudah patah.
(Duque and Troen, 2006 dan Hughes, 2006)
Secara tidak langsung massa tulang yang dimiliki sedikit lebih rendah dari orang normal.
Sehingga untuk terjadinya patah tulang akan lebih rendah dibandingkan dengan osteoporosis. Dari
kejadian osteopenia ini lama kelamaan akan menjadi osteoporosis. (Cosman, 2009)
Penyakit osteoporosis menjadi salah satu penyakit yang mempunyai pengaruh di Amerika
yaitu sebesar 10 juta dan bertambah menjadi 18 juta akibat dari rendahnya massa tulang.(Mccabe,
2004) Menurut Yi-Hsiang Hsu, et al (2006), osteoporosis dengan patah tulang menjadi masalah
utama pada populasi lanjut usia.
Osteoporosis sering disebut juga dengan ”silent disease”, karena penyakit ini datang secara
tiba-tiba, tidak memiliki gejala yang jelas dan tidak terdeteksi hingga orang tersebut mengalami
patah tulang.(Nuhonni, 2000) Akan tetapi, menurut yatim (2003), biasanya seseorang yang
mengalami osteoporosis akan merasa sakit/pegal-pegal di bagian punggung atau daerah tulang
tersebut.Dalam beberapa hari/minggu, rasa sakit tersebut dapat hilang dengan sendiri dan tidak akan
bertambah sakit dan menyebar jika mendapatkan beban yang berat. Biasanya postur tubuh penderita
osteoporosis akan terlihat membungkuk dan terasa nyeri pada tulang yang mengalami kelainan
tersebut (ruas tulang belakang). (Yatim, 2003)
Osteoporosis terbagi menjadi 2 tipe, yaitu primer dan sekunder. Osetoporosis primer terbagi
lagi menjadi 2 yaitu tipe 1 (postmenopausal) dan tipe 2 (senile). Penyebab terjadinya osteoporosis
tipe 1 erat kaitannya dengan hormon estrogen dan kejadian menopause pada wanita. Tipe ini
biasanya terjadi selama 15 – 20 tahun setelah masa menopause atau pada wanita sekitar 51 – 75
tahun (Putri, 2009) Dan pada tipe ini tulang trabekular menjadi sangat rapuh sehingga memiliki
kecepatan fraktur 3 kali lebih cepat dari biasanya. (Riggs et al, 1982 dalam National Research
Council, 1989) Sedangkan tipe 2 biasanya terjadi diatas usia 70 tahun dan 2 kali lebih sering
menyerang wanita. Penyebab terjadinya senile osteoporosis yaitu karena kekurangan kalsium dan
kurangnya sel-sel perangsang pembentuk vitamin D. Dan terjadinya tulang pecah dekat sendi lutut
dan paha dekat sendi panggul. (Yatim, 2003)
Tipe osteoporosis sekunder, terjadi karena adanya gngguan kelainan hormon, penggunaan
obat-obatan dan gaya hidup yang kurang baik seperti konsumsi alkohol yang berlebihan dan
kebiasaan merokok. (Hartono, 2004)

Mekanisme Terjadinya Osteoporosis


Didalam kehidupan, tulang akan selalu mengalami proses perbaharuan. Tulang memiliki 2
sel, yaitu osteoklas (bekerja untuk menyerap dan menghancurkan/merusak tulang) dan osteoblas (sel
yang bekerja untuk membentuk tulang). (Compston, 2002)
Tulang yang sudah tua dan pernah mengalami keretakan, akan dibentuk kembali. Tulang
yang sudah rusak tersebut akan diidentifikasi oleh sel osteosit (sel osteoblas menyatu dengan matriks
tulang). (Cosman, 2009) Kemudian terjadi penyerapan kembali yang dilakukan oleh sel osteoklas
dan nantinya akan menghancurkan kolagen dan mengeluarkan asam. (Tandra, 2009) Dengan
demikian, tulang yang sudah diserap osteoklas akan dibentuk bagian tulang yang baru yang
dilakukan oleh osteoblas yang berasal dari sel prekursor di sumsum tulang belakang setelah sel
osteoklas hilang.
Menurut Ganong, ternyata endokrin mengendalikan proses remodeling tersebut. Dan hormon
yang mempengaruhi yaitu hormon paratiroid (resorpsi tulang menjadi lebih cepat) dan estrogen
(resorpsi tulang akan menjadi lama). Sedangkan pada osteoporosis, terjadi gangguan pada osteoklas,
sehingga timbul ketidakseimbangan antara kerja osteoklas dengan osteoblas. Aktivitas sel osteoclas
lebih besar daripada osteoblas. Dan secara menyeluruh massa tulang pun akan menurun, yang
akhirnya terjadilah pengeroposan tulang pada penderita osteoporosis.

Diagnosis
Seseorang yang ingin menentukan terjadinya osteoporosis atau tidak, biasanya diagnosis
yang digunakan yaitu dengan pemeriksaan densitas mineral tulang (DMT) agar mengetahui
kepadatan tulang pada orang tersebut. (Hartono, 2004)
Untuk menentukan kepadatan tulang tersebut, ada 3 teknik yang biasa digunakan di Indonesia, antara
lain :
1. Densitometri DXA (dual-energy x-ray absorptiometry)
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang paling tepat dan mahal. Orang yang
melakukan pemeriksaan ini tidak akan merasakan nyeri dan hanya dilakukan sekitar 5 – 15 menit.
Menurut Putri, DXA dapat digunakan pada wanita yang mempunyai peluang untuk mengalami
osteoporosis, seseorang yang memiliki ketidakpastian dalam diagnosa, dan penderita yang
memerlukan keakuratan dalam hasil pengobatan osteoporosis. (Putri, 2009)
Keuntungan yang didapatkan jika melakukan pemeriksaan ini yaitu dapat menentukan
kepadatan tulang dengan baik (memprediksi resiko patah tulang pinggul) dan mempunyai paparan
radiasi yang sangat rendah. Akan tetapi alat ini memiliki kelemahan yaitu membutuhkan koreksi
berdasarkan volume tulang (secara bersamaan hanya menghitung 2 dimensi yaitu tinggi dan lebar)
dan jika pada saat seseorang melakukan pengukuran dalam posisi yang tidak benar, maka akan
mempengaruhi hasil pemeriksaan tersebut. (Cosman, 2009)
Hasil dari DXA dapat dinyatakan dengan T-score, yang dinilai dengan melihat perbedaan
BMD dari hasil pengukuran dengan nilai rata-rata BMD puncak.
Menurut WHO, kriteria T-score dibagi menjadi 3, yaitu T-score > -1 SD yang menunjukkan bahwa
seseorang masih dalam kategori normal. T-score <- 1 sampai -2,5 dikategorikan osteopenia, dan < -
2,5 termasuk dalam kategori osteoporosis, apabila disertai fraktur, maka orang tersebut termasuk
dalam osteoporosis berat. (WHO, 1994)
2. Densitometri US (ultrasound)
Kerusakan yang terjadi pada tulang dapat didiagnosis dengan pengukuran ultrsound, yaitu
dengan mengunakan alat quantitative ultrasound (QUS). Hasil pemeriksaan ini ditentukan dengan
gelombang suara, karena cepat atau tidaknya gelombang suara yang bergerak pada tulang dapat
terdeteksi dengan alat QUS. Jika suara terasa lambat, berarti tulang yang dimiliki padat. Akan tetapi,
jika suara cepat, maka tulang kortikal luar dan trabekular interior tipis. Pada beberapa
penelitian,menyatakan bahwa dengan QUS dapat mengetahui kualitas tulang, akan tetapi QUS dan
DXA sama-sama dapat memperkirakan patah tulang . (Lane, 2003)
Dengan alat ini, seseorang tidak akan terpapar radiasi karena tidak menggunakan sinar X.
Kelemahan alat ini, yaitu tidak memiliki ketelitian yang baik (saat dilakukan pengukuran ulang
sering terjadi kesalahan), tidak baik dalam mengawasi pengobatan (perubahan massa tulang).
(Cosman, 2009)
3. Pemeriksaan CT (computed tomography)
Pemeriksaan CT merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium yang dilakukan dengan
memeriksa biokimia CTx (C-Telopeptide). Dengan pemeriksaan ini dapat menilai kecepatan pada
proses pengeroposan tulang dan pengobatan antiesorpsi oral pun dapat dipantau. (Putri, 2009)
Kelebihan yang didapatkan jika menggunakan alat ini yaitu kepadatan tulang belakang dan
tempat biasanya terjadi patah tulang dapat diukur dengan akurat. Akan tetapi pada tulang yang lain
sulit diukur kepadatannya dan ketelitian yang dimiliki tidak baik serta tingginya paparan radiasi.
(Cosman, 2009).

Faktor Resiko Terjadinya Osteoporosis dan Osteopenia


1. Umur
Semakin bertambahnya umur, fungsi organ akan semakin menurun dan peluang untuk
kehilangan tulang semakin meningkat. Sekitar 0,5 -1% pada wanita pasca menopause dan laki-laki
berusia >80 tahun kehilangan massa tulang setiap tahunnya, sehingga lebih besar untuk berisiko
osteoporosis dan osteopenia. (Peck dalam Martono, 2006) Dan dengan bertambahnya umur, sel
osteoblas akan lebih cepat mati karena adanya sel osteoklas yang menjadi lebih aktif, sehingga tulang
tidak dapat digantikan dengan baik dan massatulang akan terus menurun. (Cosman, 2009 dan
Tandra, 2009)
Menurut Hartono, biasanya pada usia 60 tahun atau 70 tahun lebih rentan untuk munculnya
penyakit ini. Karena sejak usia 35 tahun terjadi peak bone mass (puncak massa tulang), dan biasanya
pada usia diatas usia 40 tahun penyerapan tulang lebih cepat daripada pembentukkan tulang baru
dan massa tulang akan semakin berkurang 0,5 – 1% per tahunnya, sehingga kepadatan tulang pun
semakin lama akan berkurang dan terjadilah osteopenia kemudian akhirnya terjadi osteoporosis.
(Hartono, 2000, Padang, 2004 dan Barker, 2002)
Ketika sudah memasuki usia lanjut, baik perempuan maupun laki-laki akan mengalami
osteoporosis. (Nuhonni, 2000) Di Amerika Serikat, diperkirakan setengah dari penduduk yang
berumur diatas 50 tahun akan mengalami fraktur akibat osteoporosis. (Tandra, 2009) New Susan
memperkirakan 1 dari 3 wanita dan 1 dari 10 laki-laki berumur ≥ 55 tahun akan berisiko terjadinya
osteoporosis. (New, Susan A L, 2006)
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan Karakteristik biologik yang dikenali dari penampilan fisik, yaitu
laki-laki dan perempuan. Osteoporosis lebih sering terjadi pada wanita sekitar 80 % daripada laki-
laki 20%. Hal ini terjadi karena laki-laki mempunyai tubuh yang besar, tulang yang lebih padat
daripada wanita. Dengan kata lain wanita memiliki massa tulang yang lebih rendah karena
mengalami menopause, sehingga lebih cepat mengalami kehilangan massa tulang. (Krinke, 2005)
Berdasarkan data dari Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (PEROSI) yang terdapat dalam
“Indonesia White Paper”, prevalensi osteoporosis di Indonesia pada tahun 2007, sebesar 28,8% pada
laki-laki dan 32,3% pada wanita. (www.kompas.com) Selain itu juga ternyata berdasarkan penelitian
Wahyuni, terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian osteopenia,
sehingga dari kejadian osteopenia akan memicu untuk terjadinya osteoporosis. (Wahyuni, 2008)
Akan tetapi seharusnya, adanya perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi terjadinya
osteoporosis dan osteopenia. Menurut Purwoastuti, massa tulang pada wanita lebih cepat berkurang
daripada laki-laki. Karena pada wanita mengalami menopause, sehingga terjadi penurunan hormon
estrogen yang menyebabkan aktivitas sel osteoblas menurun sedangkan osteoklas meningkat.
(Purwoastuti, 2008)
3. Ras/Suku
Ras/suku menjadi salah satu faktor resiko terjadinya osteoporosis. Biasanya ras/suku yang
rentan terkena osteoporosis yaitu dari kewarganegaraan Eropa Utara, Jepang dan Cina (Asia dan
Kaukasia) dibandingkan dengan kewarganegaraan Afrika-Amerika. Hal ini dapat terjadi, karena ras
dari Afrika-Amerika memiliki masa tulang lebih besar. Dengan besarnya masa tulang dan otot, maka
tulang akan semakin besar dan tekanan akan meningkat. Dan akan memperlambat turunnya masa
tulang. (Lane, 2003)
4. Keturunan (riwayat keluarga/genetik)
Seperti halnya dengan penyakit yang lain, osteoporosis juga berhubungan dengan adanya
keturunan. Jika memiliki riwayat keluarga yang menderita osteoporosis, diperkirakan 60 – 80%
salah satu anggota keluarga akan lebih mudah mengalami osteoporosis. Dan pada ibu yang pernah
mengalami patah tulang belakang, maka anak wanitanya akan lebih mudah untuk mengalami
pengurangan masa tulang lebih cepat dan lebih berisiko mengalami osteoporosis.
(Mangoenprasodjo, 2005)
Menurut Ardiansyah, ukuran dan densitas tulang dipengaruhi oleh adanya genetik. Selain itu,
keluarga juga mempunyai pengaruh dalam melakukan aktivitas fisik dan kebiasaan makan
seseorang. Sehingga dengan aktivitas fisik yang kurang, kebiasaan makan yang tidak baik dan
densitas tulang yang rendah akan lebih berpeluang untuk terjadinya osteoporosis dan
osteopenia.(Ardiansyah, 2007)
5. Gaya hidup
a. Aktivitas fisik
Aktivitas yang dilakukan setiap orang berberbeda-beda. Dengan aktivitas fisik, berarti otot
tubuh bergerak dan menghasilkan energi. (Sutarina, 2008) Menurut Baecke, aktivitas fisik dibagi
menjadi 3, yaitu waktu bekerja, waktu olahraga, dan waktu luang. (Baecke, dalam Kamso, 2000)
Seseorang yang jarang melakukan aktivitas fisik akan mengakibatkan turunnya massa tulang
dan dengan bertambahnya usia terutama pada usia lanjut, otot pun akan menjadi lemah, sehingga
akan berpeluang untuk timbulnya patah tulang. (Compston, 2002) Hal tersebut juga telah dibuktikan
bahwa peluang terjadinya patah tulang 2 kali lebih besar pada wanita usia lanjut yang jarang
melakukan aktivitas fisik (berdiri < 5 jam) daripada yang sering melakukan aktivitas fisik. (Lane,
2003)
Adapun studi yang mendukung bahwa aktivitas mempunyai pengaruh terhadap massa tulang.
Studi tersebut menyatakan bahwa massa tulang dapat ditingkatkan dari aktivitas yang dapat menahan
beban. Misalnya saja pada orang yang suka melakukan olahraga tennis, tulang lengan yang
digunakan akan lebih tebal dan kuat dibandingkan dengan yang tidak melakukan olahraga tenis.
(Ridjab, D A dan Maria, R, 2004)
Pada penelitian Chandra, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara aktivitas
olahraga dengan kejadian osteopenia. (Chandra, 2008) Dengan olahraga yang dilakukan secara
teratur, maka kesehatan pun akan menjadi lebih baik. Olahraga yang baik untuk dilakukan, yaitu
jalan, aerobik, jogging, renang, dan bersepeda. Akan tetapi jika melakukan aktivitas fisik secara
berlebih justru akan mengurangi massa tulang. (Nuhonni, 2000)
b. Kebiasaan merokok
Saat ini, di negara maju seperti Amerika, laki-laki maupun wanita sama banyak mempunyai
kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok ini rata-rata dimulai sejak usia 18 tahun. Padahal sudah ada
bukti bahwa merokok berhubungan erat dengan berbagai macam penyakit, bahkan setiap tahunnya
menimbulkan kematian sebanyak 2,5 juta. Hal ini berasal dari zat-zat kimia yang terdapat dalam
rokok. Salah satu penyakit yang dapat timbul akibat dari merokok yaitu osteoporosis. (Aditama,
1997)
Dengan merokok, hormon estrogen dalam tubuh akan menurun dan akan mudah kehilangan
masa tulang (BMD rendah/terjadi osteoporosis), sehingga lebih besar untuk mengalami fraktur
tulang. (Hughes, 2006)
Kebiasaan merokok sejak dini pada wanita akan lebih awal untuk mengalami menopause,
sehingga kadar estrogen akan lebih cepat menurun dan lebih berisiko untuk mengalami osteporosis.
(Compston, 2002)
Dalam buku ”Hidup Sehat, Stop Rokok”, mengatakan bahwa seseorang yang berhenti
merokok, setelah 1 jam pertama zat kimia seperti nikotin dan karbon monoksida akan hilang dari
tubuh. Dan setelah 5 tahun berhenti merokok, akan menurunkan setengah resiko terjadinya stroke,
kanker mulut, tenggorokan dan esofagus daripada orang yang masih memiliki kebiasaan merokok.
(Sugito, 2008)
c. Kebiasaan konsumsi kafein
Kebiasaan mengkonsumsi kafein dalam jumlah banyak, sekitar 6 cangkir atau lebih dalam
sehari, akan lebih besar untuk berisiko terkena osteoporosis. (Lane, 2003) Akan tetapi, dalam buku
concept andcontroversies, pada orang yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi 2 gelas/hari peluang
kehilangan kalsium pun akan meningkat. (Sizer dan Whitney, 2006) Karena ada penelitian yang
mengatakan bahwa berkurangnya masa tulang diakibatkan dari konsumsi kafein yang berlebihan,
tetapi jika dalam jumlah yang normal tidak akan membuat massa tulang berkurang. (Lane, 2003)
Menurut Devine, asupan kafein memiliki hubungannya pengurangan BMD dan dapat
meningkatkan resiko terjadinya fraktur. Biasanya kandungan kafein dalam kopi lebih banyak
daripada teh. Selama lebih dari 4 tahun orang yang sering minum teh akan kehilangan 3 – 4,5%
densitas tulang. (Devine, 2007)
Dan dari hasil penelitian Hasye ternyata ada hubungan yang bermakna antara konsumsi
kafein dengan kejadian osteopenia. (Hasye, 2008)
d. Kebiasaan Konsumsi Alkohol
Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan, akan meningkatkan terjadinya resiko patah tulang.
Hal ini disebabkan alkohol dapat mengurangi masa tulang, mengganggu metabolisme vitamin D dan
menghambat penyerapan kalsium. Sehingga terjadinya osteoporosis pun lebih besar pada orang yang
mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah banyak daripada orang yang tidak
mengkonsumsi alkohol. (Nuhonni, 2000 dan Compston, 2002)
6. Menopause dini
Menopause merupakan akhir dari masa reproduktif karena telah berhentinya masa haid,
biasanya terjadi usia 50 – 51 tahun. Biasanya pada wanita yang merokok akan mengalami
menopause 1 tahun lebih cepat dari wanita yang bukan perokok. Seseorang yang mengalami
menopause akan mengalami fase klimaksterium, yaitu terjadinya peralihan dari reproduktif akhir ke
masa menopause. Fase klimaksterium memiliki 3 masa yaitu premenopause yang terjadi sekitar 4 –
5 tahun sebelum menopause, masa menopause, dan pascamenopause yang terjadi sekitar 3 – 5 tahun
setelah menopause. (Purwoastuti, 2008)
Pada masa pramenopause, biasanya ditandai dengan haid yang mulai tidak teratur dan rasa
nyari saat haid, sampai akhirnya haid tersebut berhenti. (Baziad, 2003) Saat menopause, terjadi
penurunan estrogen yang akan menyebabkan homon PTH (parathyroid hormon) dan penyerapan
vitamin D berkurang, sehingga pembentukan tulang (osteoblast) pun akan terhambat dan kadar
mineral akan berkurang. Jika kadar mineral tulang terus menerus berkurang, maka akan terjadilah
osteoporosis. (Purwoastuti, 2008)
Menurut Compston, seseorang yang menggunakan kontrasepsi hormonal (estrogen) akan
meningkatkan massa tulang. Tetapi dalam waktu jangka panjang, akan memberikan efek untuk
memicu terjadinya penyakit lain seperti kanker payudara dan lain sebagainya. (Compston, 2009)
Berdasarkan hasil penelitian Tsania mengatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
status menopause dengan kejadian osteoporosis. (Tsania, 2008)
7. Status gizi
Beberapa penelitian, menunjukkan bahwa berat badan dapat massa tulang. Dengan berat
badan yang lebih, maka tubuh akan menopang beban dan akan memberikan tekanan pada tulang,
sehingga tulang menjadi lebih kuat dan dapat meningkatkan massa tulang. Oleh karena itu, biasanya
seseorang memiliki berat badan lebih jarang berpeluang untuk menderita osteoporosis. Dengan berat
badan yang cukup dan sesuai dengan tinggi badan maka akan memiliki status gizi (IMT) yang baik
pula. (Lane, 2003)
8. Konsumsi obat
Mengkonsumsi obat-obatan tertentu dengan frekuensi sering, seperti kortikosteroid, akan
mempunyai peluang untuk terkena osteoporosis lebih besar. Karena mengkonsumsi obat tersebut
dalam jumlah yang tinggi/sering, akan menghambat kerja pembentukkan tulang dan dapat
menurunkan masa tulang. (Putri, 2009)

Pengobatan
Penanganan osteoporosis mengutamakan langkah-langkah untuk menghindari penderita
jatuh maupun mengalami keretakan. Berikut ini adalah langkah-langkah awal yang disarankan bagi
penderita osteoporosis, serta orang-orang lanjut usia, atau berisiko terhadap kondisi berikut ini.
1. Jaga tubuh Anda tetap bugar dan sehat dengan olahraga dan mengatur pola makan. Tubuh
yang aktif dapat membantu Anda tetap bebas bergerak dan mengurangi risiko terjatuh serta
mengalami keretakan tulang.
2. Berkonsultasilah dengan dokter jika Anda mulai sulit berjalan atau sulit berdiri dengan tegap.
Dokter akan mendiskusikan tindakan pencegahan agar Anda tidak cedera saat beraktivitas.
Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan meminimalkan penyebab cedera seperti
kualitas penglihatan, penggunaan obat-obatan, serta kekuatan otot dan keseimbangan.
3. Mengalami keretakan tulang karena jatuh adalah risiko yang akan terjadi ketika Anda menua.
Meski demikian, kondisi ini bukan tidak bisa dihindari. Ada hal-hal yang dapat dilakukan
untuk mencegah atau mengurangi risiko retak tulang yang dapat terjadi akibat jatuh.
Pengobatan yang dijalani pasien osteoporosis secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu
pengobatan yang bersifat nonhormon dan hormon.
1. Obat-obatan yang Bersifat Nonhormon
Pengobatan nonhormon meliputi pemberian kalsium dan suplemen vitamin D,
bisphosphomate, dan strontium ranelate.
 Kalsium dan suplemen vitamin D
Kalsium dan suplemen vitamin D bermanfaat mengurangi risiko patah tulang pangkal paha.
Usahakan mengonsumsi kalsium sebagai berikut:
a. 600 IU atau 15 mikrogram untuk orang dewasa di atas 20 tahun.
b. 800 IU atau 20 mikrogram untuk manula di atas 70 tahun.
Jika Anda tidak mendapat cukup kalsium dalam pola makan Anda, tanyakan tentang
kemungkinan konsumsi suplemen kalsium. Untuk mencegah keretakan tulang atau pengobatan
osteoporosis, Anda memerlukan dosis kalsium sebanyak 1,2 gram per hari dan vitamin D sebanyak
20 mikrogram. Dosis ini hanya bisa didapatkan terutama dari obat-obatan yang diformulasikan
dalam resep dokter.
 Bisphosphonate
Obat yang menjaga kepadatan tulang dan mengurangi risiko keretakan ini biasa diberikan
dalam bentuk tablet atau suntikan. Bisphosphonate bekerja dengan memperlambat laju sel-sel yang
meluruhkan tulang (osteoclast). Ada beberapa bisphosphonate berbeda seperti alendronate,
etidronate, ibandronate, risedronate, dan asam zolendronic. Selalu ikuti petunjuk penggunaan obat
yang diberikan dokter mengenai dosis dan cara konsumsi yang benar.
Iritasi pada kerongkongan, kesulitan menelan, dan sakit perut bisa menjadi efek samping
yang timbul dari mengonsumsi bisphosphonate meski belum tentu terjadi pada setiap orang. Efek
samping lain yang sangat jarang terjadi adalah nekrosis pada rahang.
 Strontium ranelate
Strontium ranelate dikonsumsi dalam bentuk bubuk yang dilarutkan dalam air. Obat ini bisa
menjadi alternatif jika penggunaan bisphosphonate dirasa tidak cocok. Strontium ranelate memicu
sel-sel yang membentuk jaringan tulang yang baru (osteoblasts) dan menekan kinerja sel-sel peluruh
tulang. Efek samping yang mungkin timbul pada konsumsi strontium ranelate adalah mual dan diare.
2. Obat-obatan yang Bersifat Hormon
Pengobatan hormon meliputi pemberian SERMs, terapi penggantian hormon, testosteron,
hormon paratiroid, dan kalsitonin.
 Selective estrogen receptor modulators (SERMs)
SERMs adalah obat yang menjaga kepadatan tulang dan mengurangi risiko retak, terutama
pada tulang punggung. Satu-satunya bentuk SERMs yang tersedia untuk pengobatan osteoporosis
adalah raloxifene, garam hidroklorida. Raloxifene dikonsumsi tiap hari dalam bentuk tablet. Efek
samping penggunaan raloxifene adalah:
1. rasa panas/berkeringat di malam hari
2. kram kaki
3. meningkatkan risiko terjadinya gumpalan darah
 Terapi penggantian hormon
Terapi berupa hormon estrogen ini ditujukan bagi wanita pada masa menopause untuk
menjaga kepadatan tulang dan mengurangi risiko keretakan selama pengobatan. Meski begitu terapi
ini tidak secara spesifik direkomendasikan untuk pengobatan osteoporosis. Bahkan saat ini hampir
tidak lagi digunakan karena berisiko memicu timbulnya beberapa penyakit lain seperti kanker
payudara, kanker endometrium, kanker ovarium dan stroke. Sebaiknya diskusikan lebih lanjut
mengenai pengaruh dari terapi ini bersama dokter Anda.
 Pengobatan testosteron
Pengobatan testosteron khususnya diterapkan kepada para pria pengidap Hipogonadisme
atau ketidakmampuan memroduksi hormon seks dengan normal.
 Hormon paratiroid (PTH) (Teriparetida)
Sementara obat-obatan lain lebih memperlambat tingkat penipisan tulang, PTH dapat
meningkatkan kepadatan tulang. Namun pengobatan ini hanya digunakan untuk sebagian orang yang
kepadatan tulangnya sangat rendah dan jika pengobatan lain tidak membawa manfaat. Hormon
paratiroid diberikan dalam bentuk suntikan. Efek samping yang biasa terjadi adalah mual dan
muntah.
 Kalsitonin
Kalsitonin adalah hormon yang diproduksi secara alami oleh kelenjar tiroid. Hormon ini
memperkuat kepadatan tulang dengan menghambat sel-sel yang meluruhkan tulang.
Kalsitonin atau salcatonin dikonsumsi tiap hari dalam bentuk semprotan yang dihirup atau
suntikan. Efek samping yang umum dari pengobatan ini adalah mual, muntah, dan diare.

Pencegahan
Kekuatan tulang dan tingkat potensi risiko terhadap osteoporosis ditentukan oleh gen
Anda. Namun faktor gaya hidup seperti pola makan dan olahraga juga dapat berdampak kepada
seberapa sehat kualitas tulang Anda. Pencegahan osteoporosis akan memberikan Anda infomasi
tentang olahraga-olahraga sederhana yang dapat Anda lakukan.
1. Olahraga 2–3 jam tiap pekan
Penderita osteoporosis sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter atau ahli
kesehatan sebelum melakukan olahraga untuk memastikan apakah aktivitas tersebut tepat untuk
dilakukan. Setiap pekan, orang dewasa harus melakukan setidaknya sekitar 2- 3 jam olahraga dengan
intensitas menengah, seperti bersepeda atau jalan cepat. Peregangan otot hendaknya dilakukan
paling tidak 2-3 hari dalam seminggu, termasuk pada bahu, lengan, pinggang, tungkai, punggung,
perut, dan dada.
2. Melatih kaki dan lutut
Latihan menggunakan beban dalam berat yang tidak berlebihan sangat penting untuk
meningkatkan kepadatan tulang dan membantu mencegah osteoporosis. Aktivitas menyangga beban
adalah olahraga yang melatih kaki dan lutut Anda untuk menopang massa tubuh. Olahraga seperti
lari, melompat, menari, dan aerobik bermanfaat menguatkan otot, ligamen, dan sendi. Orang yang
berusia di atas 60 tahun juga dapat memperkuat tulang mereka dengan olahraga, seperti jalan cepat
atau bermain badminton berdurasi pendek. Saat berolahraga, gunakan sepatu yang mampu
meminimalkan risiko cedera pada pergelangan kaki.
3. Latihan kekuatan tulang
Latihan ketahanan meliputi gerakan-gerakan seperti push-up, angkat berat, atau latihan
angkat beban menggunakan peralatan di pusat kebugaran. Tarikan yang dilakukan otot tendon
terhadap tulang dapat meningkatkan kekuatan tulang. Tanyakan cara penggunaan alat-alat tersebut
kepada instruktur untuk menghindari cedera.
4. Menerapkan pola makan sehat
Jika gaya hidup atau pola makan membuat Anda kekurangan vitamin D, Anda dapat
mengonsumsi suplemen vitamin D. Vitamin D penting untuk penyerapan kalsium yang diperlukan
untuk memperkuat tulang dan gigi. Vitamin D dapat ditemukan dalam kuning telur, susu kedelai,
dan hati sapi.
Untuk orang dewasa, direkomendasikan untuk mengonsumsi 15 mikrogram vitamin D tiap
hari.
Kalsium juga penting untuk menjaga kekuatan tulang. Kadar konsumsi minimal kalsium
yang direkomendasikan tiap hari adalah 1000 miligram. Kalsium juga dapat ditemukan pada
beberapa makanan, seperti tahu, tempe, kacang merah, dan ikan sardin.
Menjaga pola makan yang seimbang dapat menjauhkan Anda, tidak hanya dari risiko
osteoporosis, namun juga penyakit jantung, diabetes, hingga berbagai jenis kanker.
5. Bersahabat dengan sinar matahari pagi
Paparan sinar matahari yang cukup dapat membantu tubuh memproduksi vitamin D secara
alami. Usahakan agar kulit terkena sinar matahari selama paling tidak 10 menit sebelum
menggunakan tabir surya. Lakukan ini di pagi hari sebelum jam 9. Vitamin D diperlukan untuk
penyerapan kalsium di dalam tubuh. Proses tersebut membantu memperkuat gigi dan tulang yang
pada akhirnya dapat mencegah osteoporosis.
6. Menghentikan kebiasaan buruk
Berhenti merokok dan membatasi konsumsi minuman beralkohol juga dapat melindungi
Anda dari osteoporosis. Rekomendasi maksimal mengenai konsumsi alkohol oleh wanita adalah 2
kaleng bir dan oleh pria sebanyak 2,5 kaleng bir dengan kadar alkohol 4,7 persen.
Referensi
Adhiputra, I. K. (2017). OSTEOARTRITIS. Universitas Udayana

Masyeni, K. A. (2018). RHEUMATOID ARTHRITIS. Universitas Udayana

Widyanto, F. W. (2014). ARTRITIS GOUT DAN PENGEMBANGANNYA. Universitas Udayana

Wiraputra, I. B. (2017). GOUT ARTHRITIS. Universitas Udayana

https://www.alodokter.com/osteoporosis (diakses pada tanggal 15 september 2019)


https://www.alodokter.com/rematik-asam-urat (diakses pada tanggal 15 september 2019)
https://stifibp.academia.edu/priscaanggela (diakses pada tanggal 15 september 2019)
https://hellosehat.com/penyakit/rematik-rheumatoid-arthritis-ra/ (diakses pada tanggal 15 september
2019)
http://eprints.ums.ac.id/51936/3/BAB%20I.pdf (diakses pada tanggal 15 september 2019)
https://hellosehat.com/penyakit/oa-osteoarthritis-pengapuran-sendi/ (diakses pada tanggal 15
september 2019)
file:///C:/Users/NOTEBOOK/Downloads/3995-11527-1-PB.pdf (diakses pada tanggal 15
september 2019)
http://eprints.ums.ac.id/70979/13/NASKAH%20PUBLIKASI%20ANNISA%20FAJRI.pdf
(diakses pada tanggal 15 september 2019)
https://www.academia.edu/37649985/Osteoporosis (diakses pada tanggal 15 september 2019)

Anda mungkin juga menyukai