Anda di halaman 1dari 31

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH STEROID ANABOLIK METHANDIENONE


TERHADAP KUANTITAS DAN KUALITAS
SPERMATOGENESIS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

Disusun oleh :

NURUL MARFU’AH
NIM 1292261011

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
PONOROGO
2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Steroid anabolik merupakan senyawa kimia derivat hormon testosteron
(Chudik, 2003). Senyawa ini dalam bidang medis digunakan untuk pengobatan
defisiensi testosteron, pubertas tertunda, anemia, kanker payudara, dan kerusakan
jaringan oleh virus HIV. Penggunaan steroid anabolik pada perkembangannya
banyak disalahgunakan oleh atlet, binaragawan, dan pengguna lainnya untuk
meningkatkan kemampuan atletik, kekuatan otot, dan memperbaiki penampilan.
Dosis yang disalahgunakan biasanya 10 sampai 100 kali lebih tinggi dari dosis yang
digunakan dalam kondisi medis (DEA, 2013). Penyalahgunaan ini sangat berbahaya
karena dapat mengakibatkan efek samping berupa maskulinisasi perempuan,
ginekomastia pada laki-laki, atrofi testis, stretch mark, gangguan musculoskeletal,
jerawat, gangguan hepar, gangguan kardiovaskular, gangguan perilaku dan
kepribadian, kerusakan jaringan, cedera saraf, kelumpuhan, dan bahkan sampai
kematian (Chudik, 2003).
Beberapa penelitian menggunakan steroid anabolik di antaranya adalah
penggunaan nandrolone decanoate dosis 0,4; 3 dan 10 mg/kg bb yang diberikan
selama 14 minggu pada tikus putih menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas
spermatozoa (Karbalay-Doust dkk., 2007). Nandrolone decanoate dosis 3 dan 10
mg/kg bb yang diberikan pada tikus putih menyebabkan penurunan jumlah sel
Sertoli, spermatogonia, spermatozoa, motilitas dan spermatozoa normal (Tahtamouni
dkk., 2010). Nandrolone decanoate dosis 0,5 mg/kg bb yang diberikan selama 4
minggu pada tikus putih menyebabkan penurunan jumlah spermatogonia,
spermatosit, dan spermatid (Foletto dkk., 2010). Nandrolone decanoate dosis 0,005
ppm dan 0,5 ppm yang diberikan selama 6 minggu pada tikus putih menyebabkan
penurunan berat testis dan jumlah spermatozoa (Lee dkk., 1990). Nandrolone
decanoate dosis 2,5 mg/minggu yang diberikan selama 13 minggu pada mencit
menyebabkan penurunan FSH, LH, dan testosteron (Purkayastha dan Mahanta,
2012).
Penelitian lain menggunakan steroid anabolik adalah penggunaan boldenone
undecylenate dosis 4,5 dan 9 mg/kg bb yang diberikan selama 3 minggu pada
kelinci menyebabkan penurunan berat testis, kadar testosteron, jumlah spermatozoa,
motilitas spermatozoa, dan jumlah spermatozoa normal (Thabet dkk., 2010).
Testoviron dosis 0,5 ml/hari yang diberikan selama 14 minggu pada tikus putih
menyebabkan penurunan tebal epitelium germinal, ukuran testis, jumlah sel Leydig,
spermatogonia, spermatosit, dan spermatid (Hijazi dkk., 2012).
Methandienone merupakan salah satu jenis steroid anabolik yang banyak
digunakan untuk mendapatkan efek anaboliknya. Efek anabolik senyawa ini dapat
meningkatkan pembentukan otot pada penggunanya, tetapi efek androgeniknya dapat
menekan sintesis hormon testosteron (Llewellyn, 2007). Rendahnya kadar hormon
testosteron dapat mengganggu proses spermatogenesis, menyebabkan atrofi testis,
hipertrofi prostat, berkurangnya jumlah spermatozoa, bentuk abnormal pada
spermatozoa, oligozoospermia, azoospermia, dan kelainan pada motilitas
spermatozoa (Stojanovic dan Ostojic, 2012; Moos dkk., 2013).
Berdasarkan hal di atas, pada penelitian ini diteliti pengaruh steroid anabolik
methandienone dosis 0; 1,5; 3; 6; dan 12 mg/kg bb terhadap kuantitas dan kualitas
spermatogenesis tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar yang dilakukan selama
50 hari. Kuantitas spermatozoa meliputi jumlah sel spermatogonia, spermatosit,
spermatid, dan spermatozoa epididimis kauda. Kualitas spermatozoa meliputi
kecepatan, motilitas, viabilitas, dan morfologi spermatozoa epididimis kauda.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah steroid anabolik
methandienone berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas spermatogenesis tikus
putih (Rattus norvegicus)?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh steroid anabolik
methandienone terhadap kuantitas dan kualitas spermatogenesis tikus putih (Rattus
norvegicus).
1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah steroid anabolik methandienone berpengaruh
terhadap kuantitas dan kualitas spermatogenesis tikus putih (Rattus norvegicus).

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian
selanjutnya.
1.5.2 Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan dan menambah wawasan pembaca khususnya para pemakai steroid
tentang pengaruh steroid anabolik methandienone terhadap spermatogenesis.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Steroid Anabolik


Steroid anabolik merupakan senyawa sintetik yang struktur kimianya mirip
dengan hormon testosteron sehingga dapat berinteraksi dengan reseptor pada sel
yang sama dan menghasilkan efek di semua organ serta jaringan seperti otak,
jantung, hati, kulit, otot, tulang, pembuluh darah, rambut, dan organ reproduksi
(Chudik, 2003). Steroid anabolik menghasilkan efek anabolik dan androgenik pada
penggunanya. Efek anabolik meliputi pertumbuhan otot rangka dan otot jantung,
pertumbuhan tulang, serta pembentukan sel darah merah. Efek androgenik meliputi
perkembangan karakteristik seksual sekunder laki-laki (DEA, 2013).
Steroid anabolik digunakan antara lain oleh olahragawan, petugas keamanan,
petugas penjara, polisi, penari, aktor, dan body image (McVeigh dan Brown, 2009).
Efek patogenesis steroid anabolik baik akut dan kronis dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu: jenis kelamin, usia, gaya hidup, genetik, jenis steroid anabolik yang
digunakan, jumlah yang digunakan, dan durasi penggunaan. Para pemakai steroid
anabolik biasanya menggunakan dua atau lebih jenis steroid anabolik pada saat
bersamaan untuk meningkatkan efektivitas dan meminimalkan efek samping
(McVeigh dan Brown, 2009; DEA, 2013).
Menurut Chudik (2003), efek samping penggunaan steroid anabolik adalah
sebagai berikut ini.
a. Maskulinisasi perempuan
Steroid anabolik memberi efek maskulin pada wajah, tubuh, alat kelamin, dan
suara perempuan. Secara khusus, terjadi peningkatan pertumbuhan rambut pada
wajah dan tubuh, penurunan ukuran payudara, membesarnya klitoris, dan
pendalaman suara.
b. Ginekomastia (perkembangan payudara) pada laki-laki
Steroid anabolik dapat dikonversi oleh tubuh manusia ke dalam beberapa
estrogen yang dapat mengakibatkan perkembangan permanen pada jaringan
payudara.
c. Atrofi testis
Kadar tinggi steroid anabolik dalam darah akan memberikan umpan balik
negatif pada hipofisis anterior agar menurunkan sintesis FSH (Follicle
Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone) menyebabkan produksi
hormon testosteron pada testis menurun. Menurunnya hormon testosteron akan
menyebabkan atrofi pada testis dan perubahan secara permanen dapat
menyebabkan infertilitas.
d. Stretch mark
Steroid anabolik dapat mengubah struktur kolagen pada kulit dan mengurangi
elastisitasnya sehingga jika kulit mengalami peregangan akan muncul guratan-
guratan pada permukaan kulit berwarna putih yang disebut stretch mark.
e. Gangguan hepar meliputi toksisitas, kegagalan kolestasis, dan kanker.
f. Jerawat
Steroid anabolik merangsang peningkatan produksi lemak dan minyak di kulit
sehingga menyebabkan pertumbuhan berlebih bakteri penyebab jerawat.
g. Gangguan muskuloskeletal meliputi pertumbuhan tulang terhambat dan
robeknya tendon.
h. Gangguan kardiovaskular meliputi tekanan darah tinggi, peningkatan resiko
serangan jantung, pembesaran otot jantung, denyut jantung tidak teratur, dan
penggumpalan darah.
i. Komplikasi meliputi kerusakan jaringan, cedera saraf, kelumpuhan, dan
kematian.
j. Gangguan perilaku dan kepribadian meliputi depresi, bunuh diri, ketagihan, gila,
emosi, dan minder.

Steroid anabolik mempunyai struktur dasar berupa molekul


siklopentanolperhidrofenantren yang terdiri atas 3 buah cincin dari 6 atom karbon
(sikloheksana) dan sebuah cincin dari 5 atom karbon (siklopentana). Cincin dasar ini
ditandai dengan huruf A, B, C, dan D, sedangkan atom karbon diberi angka. Struktur
kimia steroid anabolik ditunjukkan pada Gambar 2.1. (Ahmed, 2007).

Gambar 2.1 Struktur Kimia Steroid Anabolik (Ahmed, 2007)

Steroid anabolik memiliki molekul yang relatif kecil dan dapat berdifusi
secara pasif ke dalam sel jaringan. Steroid anabolik mengikat reseptor pada jaringan
target dan membentuk kompleks hormon-reseptor, kemudian mengikat kromatin dan
mempengaruhi aktivitas RNA polimerase II yang berakhir pada peningkatan
produksi mRNA dan tRNA. Secara umum, steroid anabolik dapat meningkatkan
aktivitas sintesis protein dalam sel (Yavari, 2009).
Steroid anabolik tersedia dalam bentuk injeksi, tablet, kapsul, gel, dan krim.
Internet merupakan sarana yang paling banyak digunakan untuk membeli dan
menjual steroid anabolik. Selain itu, terdapat pula peredaran melalui apoteker,
dokter, dan dokter hewan. The National Forensic Laboratory Information System
(NFLIS) dan System to Retrieve Information from Drug Evidence (STRIDE)
menunjukkan bahwa testosterone, methandrostenolone, trenbolone, dan stanozolol
adalah empat jenis steroid anabolik yang paling sering digunakan pada tahun 2012
dan 2013 (DEA, 2013).
Menurut Clark dan Henderson (2003), steroid anabolik dibagi menjadi 3
kelas. Kelas pertama, berasal dari esterifikasi kelompok 17β-hidroksil testosteron
meliputi testosterone propionat dan testosterone cypionate. Esterifikasi menghambat
degradasi dan memperpanjang durasi kerja setelah steroid anabolik diinjeksikan
dengan memperlambat masuknya ke dalam sirkulasi darah. Kelas kedua, merupakan
ester turunan androgen. Senyawa ini memiliki penambahan gugus hidrogen untuk
kelompok metil pada gugus C-19 meliputi nandrolone dekanoat. Kelas ketiga,
senyawa yang dialkilasi pada gugus C-17 meliputi 17α-metiltestosteron,
oxymetholone, methandrostenolone, dan stanozolol. Steroid anabolik kelas ketiga
paling berpengaruh terhadap kerusakan hati jika dibandingkan dengan dua kelas
lainnya.
Menurut Yavari (2009), macam-macam steroid ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Macam-Macam Steroid
No Struktur Kimia Nama Kimia Nama Dagang
1. Boldenone Boldane, Equipoise

2. Drostanolone Drolban, Methalone

3. Methandienone, Dianabol, Danabol


Methandrostenolone
4. Methyltestosterone Android, Metandren

5. Nandrolone Deca-Durabolin, Anabolicus

6. Norethandrolone Nilevar

7. Oxandrolone Anavar, Lonavar

8. Oxymetholone Anapolon, Adroyd

9. Stanozolol Stromba, Winstrol

10. Stenbolone Anatrolin, Stenobolone

11. Testosterone Primoteston, Testogel

12. Trenbolone Finajet, Parabolan

(Dikutip dari: Yavari, 2009)


2.2 Methandienone
Methandienone (Methandrostenolone) dibuat pertama kali pada tahun 1955.
Pada tahun 1956, John Ziegler dokter tim Olimpiade Amerika melakukan penelitian
menggunakan steroid anabolik ini terhadap atlet Amerika dibantu dengan perusahaan
obat CIBA yang hasilnya memberikan dampak positif yaitu dapat meningkatkan
kemampuan para atlet. Methandienone dijual bebas di Amerika oleh perusahaan obat
CIBA pada tahun 1958 dengan nama dagangnya yaitu Dianabol. Dosis yang
direkomendasikan oleh Dr. Ziegler adalah 5 – 15 mg/hari untuk para atletnya.
Penggunaan steroid anabolik ini mengalami perkembangan pada tahun 1960 sampai
1970. Namun pada tahun 1985, steroid anabolik ini ditarik dari pasaran dan
penggunaannya dalam kompetisi dilarang karena dianggap sebagai doping
(Llewellyn, 2007).
Methandienone merupakan jenis steroid anabolik oral yang mengandung 2.5
– 5 mg/tablet dan 5 – 10 mg/tablet pada methandienone produk baru. Methandienone
memiliki nama kimia 17α-methyl-17β-hydroxy-1,4-androstadien-3-one-1-dehidro-
17α-methyltestosterone. Steroid anabolik ini aktif dalam tubuh selama 3 – 5 jam dan
terdeteksi setelah pemakaian selama 6 minggu (Llewellyn, 2007).
Efek samping penggunaan methandienone adalah retensi air, darah tinggi,
munculnya jerawat, kulit berminyak, meningkatnya pertumbuhan rambut pada tubuh,
kebotakan, gagal jantung, kerusakan hati, dan menyebabkan maskulinisasi pada
wanita seperti suara membesar, kulit kasar, bahkan sampai tumbuhnya jakun. Steroid
anabolik ini juga berpengaruh terhadap psikologi seseorang yaitu meningkatkan
keagresifan, emosi dan temperamen (Llewellyn, 2007).

2.3 Sistem Reproduksi Tikus Jantan


Sistem reproduksi tikus jantan terdiri atas testis, epididimis, vas deferens,
kelenjar asesori, uretra, penis, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2 (Suckow dkk.,
2006).
Gambar 2.2 Sistem Reproduksi Tikus Jantan (Suckow dkk., 2006)

Testis merupakan gonad jantan yang berfungsi menghasilkan spermatozoa


dan hormon testosteron (Geneser, 1990). Berjumlah sepasang dan tersimpan dalam
suatu kantong pelindung yang disebut skrotum yang terdiri atas 2 jaringan. Jaringan
bagian luar tersusun atas selapis sel mesotelium yang disebut tunika vaginalis.
Lapisan kedua adalah tunika albugenia yang tersusun atas jaringan ikat dan sel otot
polos. Tunika albugenia yang menyelimuti testis memiliki sekat dan membagi setiap
testis menjadi 250 rongga yang disebut lobulus. Di dalam setiap lobulus terdapat 1 –
4 saluran yang menggulung disebut tubulus seminiferus. Tubulus ini berlanjut
menjadi saluran lurus yang disebut rete testis. Skrotum berfungsi melindungi testis
serta mengatur suhu yang sesuai untuk perkembangan spermatozoa (Geneser, 1990;
Darkuni, 1994; Handayani, 2001; Irianto, 2004).
Dinding tubulus seminiferus tersusun dari jaringan ikat, sel myoid, dan
jaringan epitelium germinal yang disebut spermatogonia. Spermatogonia terletak
pada dua sampai tiga lapisan luar sel-sel epitelium tubulus seminiferus.
Spermatogonia akan berkembang menjadi spermatosit primer, spermatosit sekunder,
spermatid, dan akhirnya berubah menjadi spermatozoa melalui proses
spermatogenesis. Macam-macam sel epitelium germinal terlihat pada Gambar 2.3
(Geneser, 1990; Ahmed dkk., 2013). Spermatogonia adalah sel dengan bentuk bulat,
ekat membran sel, inti berbentuk lonjong dengan kromatin tipis dan membran inti
tipis. Spermatosit adalah sel berbentuk bulat, besar, dan inti gelap dengan kromosom
terlihat jelas. Spermatid adalah sel berbentuk bulat, lebih kecil dari spermatosit, inti
bulat, pucat dan terang (Wahyuni, 2012).

Gambar 2.3 Penampang Melintang Testis Tikus (Ahmed dkk., 2013)


Keterangan Gambar: Spermatogonia (Sg), Spermatosit (Sp), Spermatid (Sd), Spermatozoa (ES), Sel
interstitial (IC)
Sel Sertoli adalah sel yang berada di antara sel germinal, berfungsi sebagai
pelindung sel germinal dari lingkungan luar selama proses meiosis (Nugroho dan
Soeradi, 2002). Menurut Guyton (1990), Gofur (2002), dan Ahmed dkk. (2013), sel
Sertoli berfungsi memberikan nutrisi, hormon dan kemungkinan enzim yang penting
bagi spermatozoa. Sel Sertoli juga berfungsi membuang kelebihan sitoplasma
sewaktu spermatid berubah menjadi spermatozoa. Jaringan interstisial yang berada di
antara tubulus seminiferus mengandung serat kolagen, pembuluh darah, limfe, saraf,
bermacam-macam sel termasuk fibroblas, makrofag, dan sel mesenkim. Sel yang
paling mencolok pada jaringan ini adalah sel Leydig (sel Interstitial) yang berfungsi
menghasilkan hormon testosteron (Gambar 2.3).
Epididimis berupa saluran berkelok-kelok yang membentuk gumpalan
memanjang menempel di belakang testis. Epididimis terdiri atas bagian kaput,
korpus, dan kauda. Bagian kaput adalah bagian paling depan yang terdiri atas
sebagian duktus eferens yang keluar dari rete testis. Bagian korpus adalah bagian
tengah dan bentuknya memanjang di sepanjang testis. Bagian kauda adalah bagian
ujung atau ekor, berbentuk huruf U yang ujungnya bertemu dengan vas deferens.
Duktus epididimis mempunyai epitelium berlapis semu bersilia. Fungsi epididimis
adalah sebagai tempat penyimpanan, pematangan, reabsorpsi, sekresi, dan
transportasi. Spermatozoa berada di dalam epididimis sekitar 1 bulan (Gofur, 2002;
Irianto, 2004). Spermatozoa yang meninggalkan testis belum sepenuhnya mampu
bergerak sehingga spermatozoa mengalami pematangan dan memperoleh
kemampuan motilitasnya sewaktu melintasi epididimis (Ganong, 2002).
Vas deferens berupa saluran memanjang, dindingnya relatif tebal, dan
lumennya sempit. Epiteliumnya berbentuk silindris bertingkat dan kebanyakan
selnya memiliki stereosilia. Dua kelenjar asesori yaitu vesika seminalis dan kelenjar
prostat bermuara di dalam saluran ini. Ujung vas deferens melebar membentuk
ampula dan terhubung dengan uretra yang berada di dalam penis. Penis memiliki 3
organ erektil berbentuk segitiga yaitu 1 korpus spongiosum dan 2 korpus
kavernosum (Gofur, 2002; Irianto, 2004).
Kelenjar asesori berfungsi mensekresikan cairan yang diperlukan sebagai
media gerak spermatozoa, mempertahankan kehidupan spermatozoa dan menetralisir
asam. Cairan ini bergabung dengan spermatozoa pada saat ejakulasi menghasilkan
air mani. Kelenjar asesori terdiri atas vesika seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar
bulbouretra/Cowper (Gofur, 2002; Irianto, 2004; Suckow dkk., 2006). Pada rodentia
misalnya tikus, terdapat 2 kelenjar tambahan yaitu kelenjar koagulasi dan kelenjar
preputial (Suckow dkk., 2006).
Vesika seminalis berjumlah sepasang, berbentuk kantung berkelok-kelok,
terletak di bagian posterior kelenjar prostat. Fungsinya mensekresikan cairan bersifat
alkalis yang mengandung fruktosa, globulin, asam askorbat, vitamin, prostaglandin,
dan fibrinogen. Kelenjar prostat terletak melingkar pada pangkal uretra dan berfungsi
mensekresikan cairan yang mengandung asam sitrat, asam fosfat, kalsium, fosfolipid,
dan garam alkalis. Kelenjar bulbouretra berjumlah sepasang, terdapat di bawah
kelenjar prostat, dan salurannya bermuara di uretra. Fungsinya menghasilkan lendir
yang alkalis. Cairan alkalis berguna untuk menetralisir asam pada uretra dan vagina.
(Geneser, 1990; Guyton, 1990; Gofur, 2002; Irianto, 2004).
2.4 Spermatogenesis
Spermatogenesis adalah proses pembentukan dan pematangan spermatozoa
yang terjadi di dalam tubulus seminiferus testis. Proses ini berlangsung melalui 3
tahap, yaitu: mitosis, meiosis, dan spermiogenesis (Darkuni, 1994; Johnson dan
Everitt, 2000; Hess dan Franca, 2008). Spermatogenesis pada manusia terjadi selama
74 hari, sedangkan pada tikus memerlukan waktu selama 48 – 60 hari (Nugroho dan
Soeradi, 2002).
Pada tahap mitosis, spermatogonia tipe A1 mengalami pembelahan beberapa
kali sehingga menghasilkan spermatogonia tipe A2, A3, dan A4. Dari tipe sel A4,
satu dari sel spermatogonianya akan kembali ke spermatogonia tipe A1 dan berperan
sebagai sumber kedua dari stem cell. Spermatogonia tipe A4 membelah dan
menghasilkan spermatogonia intermediet yang selanjutnya akan membelah
menghasilkan spermatogonia tipe B. Spermatogonia tipe B membelah lagi
membentuk spermatosit primer tahap istirahat (Gambar 2.4) (Geneser, 1990; Hess,
1999; Johnson dan Everitt, 2000; Handayani, 2001; Gofur, 2002).
Proses meiosis melibatkan 2 kali pembelahan yaitu meiosis I dan meiosis II.
Kedua pembelahan tersebut meliputi 4 fase, yaitu profase, metafase, anafase, dan
telofase. Profase meiosis I meliputi subtahap leptoten, zigoten, pakiten, diploten, dan
diakinesis. Hasil akhir meiosis I adalah spermatosit sekunder yang haploid.
Spermatosit sekunder ini akan memasuki meiosis II membentuk spermatid. Proses
meiosis terlihat pada Gambar 2.4 (Darkuni, 1994; Hess, 1999; Johnson dan Everitt,
2000; Handayani, 2001; Gofur, 2002; Hess dan Franca, 2008).
Gambar 2.4 Variasi Tipe Sel yang Terjadi Selama Spermatogenesis Tikus (Hess, 1999)
Keterangan Gambar: Spermatogonia tipe A (Al-A4), Spermatogonia intermediate (1), Spermatogonia
tipe B (B), Spermatosit preleptoten (PI), Spermatosit leptotene (L), Spermatosit zigoten (Z),
Spermatosit pakiten (eP, mP, LP), Spermatosit diploten (Dl), Meiosis I (M-1), Spermatosit sekunder
(ss), Meiosis II (M-2), Spermatid (1 -7), Spermiogenesis (8-19)

Spermiogenesis merupakan transformasi spermatid menjadi spermatozoa


(Gambar 2.5). Proses ini dimulai dengan Aparatus Golgi dari spermatid membentuk
granula yang kaya glikoprotein yaitu granula akrosom. Granula akrosom kemudian
melebar dan menutupi permukaan inti membentuk suatu tutup, kedua sentriol
menuju ke tempat yang berlawanan pada membran inti dan flagellum. Inti mulai
memanjang dan kromatin berkondensasi di bawah tudung akrosom, membentuk inti
yang spesifik spesies. Aparatus Golgi selesai membentuk tudung akrosom dan
berubah bentuk, sisa sitoplasma akan terlepas, dan terbentuklah spermatozoa
(Geneser, 1990; Darkuni, 1994; Johnson dan Everitt, 2000; Handayani, 2001; Gofur,
2002).
G

C
A

C
F

Gambar 2.5 Perubahan Bentuk Spermatid Selama Spermiogenesis (Johnson dan Everitt, 2000)
Keterangan Gambar: Akrosom (A), Sentriol (C), Flagellum (F), Aparatus Golgi (G)

Spermatozoa tikus terdiri dari bagian kepala, bagian tengah, dan ekor
(Gambar 2.6). Bagian kepala berisi nukleus dan mempunyai akrosom berbentuk kait
(Alias, 2009). Akrosom terbentuk dari Aparatus Golgi serta mengandung
hialuronidase dan protease yang memegang peranan penting saat masuknya
spermatozoa ke dalam ovum. Bagian tengah mengandung banyak mitokondria yang
menghasilkan ATP (Adenosine Triphosphate) untuk energi pergerakan. Struktur ekor
hampir sama dengan silia. Ekor mengandung 2 mikrotubul yang memanjang di
tengah dan 9 mikrotubul ganda yang tersusun di pinggiran. Spermatozoa normal
mampu bergerak 1 – 4 mm/menit dengan gerakan garis lurus bukan melingkar
(Guyton, 1990).
Kepala Bagian tengah

Ekor

Gambar 2.6 Morfologi Spermatozoa Normal Tikus (Alias, 2009)

Spermatozoa dapat mengalami bentuk yang tidak normal kemungkinan


karena adanya gangguan yang terjadi saat spermatozoa memasuki meiosis I tahap
profase terutama selama pakiten dan saat spermiogenesis (Johnson dan Everitt,
2000). Menurut Nugroho dan Soeradi (2002), sel spermatogenik sangat peka
terhadap senyawa toksik pada saat mitosis I dan meiosis I. Menurut Wahyuni (2012),
penurunan kadar FSH dan testosteron akan menyebabkan atrofi pada sel
spermatogenik.
Proses spermatogenesis dipengaruhi oleh kerja hormon GnRH (Gonadotropin
Releasing Hormone) yang disintesis oleh hipotalamus dan hormon yang dihasilkan
kelenjar hipofisis anterior yaitu FSH dan LH. GnRH merangsang pembentukan FSH
dan LH. FSH merangsang sel Sertoli untuk menghasilkan ABP (Androgen Binding
Protein) sedangkan LH merangsang sel Leydig untuk menghasilkan hormon
testosteron. Testosteron yang disekresikan akan diikat oleh ABP kemudian masuk ke
lumen tubulus seminiferus untuk proses spermatogenesis. Apabila kadar testosteron
dalam darah berlebih, sel Sertoli akan menghasilkan hormon inhibin untuk memberi
umpan balik negatif kepada hipofisis anterior agar menurunkan sekresi FSH dan LH.
Selain itu, testosteron juga akan menghambat sekresi FSH dan LH dengan
menghambat sekresi GnRH dari hipotalamus. Mekanisme umpan balik negatif
hormon testosteron dalam spermatogenesis ditunjukkan pada Gambar 2.7 (Ganong,
2002; Geneser, 1990; Guyton, 1990; Handayani, 2001; Wistuba dkk., 2007).

Gambar 2.7 Mekanisme Umpan Balik Negatif Hormon Testosteron dalam Spermatogenesis (Wistuba
dkk., 2007)

Kadar hormon testosteron akan mengalami penurunan jika metabolisme sel


Leydig terganggu. Gangguan spermatogenesis karena rendahnya kadar testosteron
akan menghasilkan konsentrasi spermatozoa yang rendah pula. Testis sangat rentan
terhadap proses oksidasi oleh radikal bebas (Astuti dkk., 2008). Gangguan pada
proses spermatogenesis juga akan menghasilkan spermatozoa abnormal (Kretser
dkk., 1998).
Menurut Khaidir (2006), faktor lingkungan yang mempengaruhi proses
spermatogenesis, yaitu: suhu, dataran tinggi, dan sinar Rontgen. Pada mamalia,
spermatozoa hanya dapat diproduksi apabila suhu testis lebih rendah daripada suhu
tubuh yaitu sekitar 29oC – 32oC. Kenaikan suhu dan dataran tinggi akan menghambat
proses spermatogenesis sebaliknya suhu rendah akan meningkatkan spermatogenesis.
Spermatogonia dan spermatosit sangat peka terhadap sinar Rontgen, sedangkan
spermatid dan sel Sertoli peka terhadap bahan kimia dan obat-obatan.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Perlakuan dilakukan di Kandang Pemeliharaan Hewan Laboratorium
Farmakognosi dan Fitofarmasi, Jurusan Farmasi, FMIPA, Universitas Udayana.
Pembuatan sediaan histologi testis dilakukan di Laboratorium Virologi dan Patologi
Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Pengamatan kuantitas
dan kualitas spermatozoa dilakukan di Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Udayana. Penelitian dilakukan selama 6 bulan, mulai dari bulan
September 2013 sampai Februari 2014.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian


Alat-alat yang digunakan adalah bak plastik, penutup kasa kawat, botol
plastik untuk tempat minum tikus volume 125 ml, timbangan digital (Idealife, max: 5
kg, d: 1 g) untuk menimbang berat badan tikus putih, timbangan digital (Kern ABJ,
max: 220 g, min: 10 mg, e: 1 mg, d: 0,1 mg) untuk menimbang testis dan epididimis,
syringe volume 1 dan 3 ml, kanul, Haemocytometer “Improved Naubaeur” (Quiling
02270113 XB.K.25, 0.10 mm, 1/400 mm2), hand counter, stop watch, gelas ukur
volume 10 dan 50 ml, cawan Petri, pipet tetes, gelas objek, gelas penutup, mikroskop
cahaya listrik (Olympus CX41), kamera (Optilab), scapel, pinset, labu ukur volume
10 ml, sonikator, timer, refrigerator, mikrotom (SLEE Germany), alat pengeblokan
(SLEE MPS/P1 dan SLEE MPS/C).
Bahan-bahan yang diperlukan adalah methandienone, sekam, air mineral,
pellet untuk anak babi tipe 551 produksi PT. Charoen Pokphand Indonesia, aquades,
eter, NaCl 0.9%, Eosine 1%, Neutral Buffered Formaline (NBF) 10%, alkohol 70%,
alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 96%, etanol, toluene, alkohol acid 1%, xylol,
parafin, Hematoxylin, dan perekat Entellan.
3.3 Rancangan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen dengan
rancangan percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan 5 perlakuan
dan 3 ulangan. Masing-masing ulangan terdiri atas 2 ekor tikus putih, sehingga
diperlukan 30 ekor tikus putih sebagai hewan percobaan. Perlakuan yang diberikan
meliputi:
K - : Kontrol negative (aquades)
P-1 : Methandienone dosis 1,5 mg/kg bb
P-2 : Methandienone dosis 3 mg/kg bb
P-3 : Methandienone dosis 6 mg/kg bb
P-4 : Methandienone dosis 12 mg/kg bb
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah steroid anabolik methandienone.
Methandienone yang digunakan berupa tablet dengan dosis 0; 1,5; 3; 6; dan 12
mg/kg bb. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah spermatogenesis tikus putih.
Kuantitas spermatozoa meliputi jumlah sel spermatogonia, spermatosit, spermatid,
dan spermatozoa epididimis kauda sedangkan kualitas spermatozoa meliputi
kecepatan, motilitas, viabilitas, dan morfologi spermatozoa.

3.4 Prosedur Penelitian


3.4.1 Penyiapan Hewan Coba
Penelitian ini dimulai dengan mengadaptasikan hewan coba dengan tempat
perlakuan selama 1 minggu. Hewan coba ditempatkan dalam 15 kandang (setiap
kandang berisi 2 ekor) yang terbuat dari bak plastik, ditutup dengan kasa kawat, dan
diberi alas sekam yang diganti setiap 4 hari sekali. Hewan coba diberi pakan berupa
pellet dan minuman air mineral yang diberikan secara ad libitum. Hewan coba
ditimbang setiap hari menggunakan timbangan digital untuk mengetahui berat
badannya sebelum diberi perlakuan.

3.4.2 Pemberian Methandienone


Methandienone dilarutkan menggunakan aquades di dalam labu ukur.
Campuran dibiarkan sekitar 1 menit kemudian dimasukkan sonikator selama 1 jam
dengan suhu 27oC. Methandienone diberikan secara oral (gavage) menggunakan
syringe yang ujungnya diberi kanul. Perlakuan dilakukan sekali sehari, setiap siang
hari, dan dilakukan selama 50 hari.

3.4.3 Pemeriksaan Kuantitas Spermatozoa


Hewan coba dibius di dalam toples dengan menambahkan kapas yang telah
ditetesi eter. Setelah itu hewan coba dibedah untuk diambil organ testis kanan dan
epididimis kanan bagian kauda. Testis dan epididimis ditimbang menggunakan
timbangan digital. Testis dimasukkan ke dalam botol vial yang berisi larutan NBF
10%, kemudian dibuat sediaan histologi yang dilakukan dengan metode parafin dan
teknik pewarnaan Hematoxylin-Eosine menurut Luna (1968).
Testis direndam di dalam alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol
96%, etanol 2 kali, toluene 2 kali dan parafin cair 2 kali (suhu 60 oC) masing-masing
selama 2 jam. Kemudian dilakukan pengeblokan dengan parafin dan disimpan di
dalam refrigerator. Pemotongan dilakukan menggunakan mikrotom kemudian hasil
sayatannya diletakkan di atas gelas objek dan diletakkan di atas alat pemanas dengan
suhu 60 oC. Pewarnaan dilakukan dengan merendam gelas objek di dalam xylol 3
kali dan etanol 2 kali masing-masing selama 5 menit. Kemudian direndam dalam
aquades 1 menit, Hematoxylin 15 menit, aquades 1 menit, alkohol acid 4-5 celupan,
aquades 1 menit, aquades lagi selama 15 menit, Eosine 1% 2 menit, alkohol 96% 3
kali masing-masing selama 3 menit, etanol 2 kali masing-masing selama 5 menit, dan
xylol 2 kali masing-masing selama 5 menit. Tahap akhir ditambahkan perekat
Entellan kemudian ditutup dengan gelas penutup.
Sediaan histologi testis dengan ketebalan 5 µm diamati menggunakan
mikroskop dengan perbesaran 400x dan dibuat foto. Pengamatan dilakukan pada
irisan melintang testis, dihitung pada 10 tubulus seminiferus untuk masing-masing
perlakuan dan ulangan, kemudian hasilnya dirata-rata. Menurut Syamrizal (1995),
parameter yang diamati meliputi pengukuran tebal epitelium germinal, penghitungan
jumlah sel spermatogonia, spermatosit, dan spermatid menggunakan alat bantu hand
counter. Pengukuran tebal epitelium germinal dilakukan dengan cara berikut:
(panjang x)+(panjang y)
Tebal epitelium germinal = x y
2

Penghitungan jumlah spermatozoa dilakukan berdasarkan prosedur WHO


dalam Syamrizal (1995) yang tertera pada Lampiran 2. Pengamatan dilakukan
menggunakan alat bantu hand counter dan diulangi sebanyak 5 kali untuk masing-
masing perlakuan dan ulangan, kemudian hasilnya dirata-rata.

3.4.4 Pemeriksaan Kualitas Spermatozoa


Epididimis kanan bagian kauda diletakkan pada cawan Petri berisi 10 ml
larutan NaCl 0.9% selanjutnya dicacah menggunakan scapel sampai terbentuk
suspensi (Nugraheni dkk., 2003). Pengamatan kecepatan gerak spermatozoa seperti
yang dilakukan oleh Partodihardjo dalam Nugraheni dkk. (2003). Suspensi
spermatozoa diambil menggunakan pipet untuk sel darah merah sampai skala 0,5
kemudian diteteskan pada pinggir Haemocytometer. Spermatozoa yang bergerak
lurus dan cepat (gerak progresif) dicatat lama waktunya untuk menempuh jarak
antara 2 sisi segi empat kecil pada Haemocytometer. Waktu yang diperlukan
spermatozoa untuk menempuh jarak tersebut kemudian dikonversikan ke dalam
satuan mikrometer/detik. Menurut Guyton (1990), spermatozoa dikategorikan
normal jika mampu bergerak dengan kecepatan 1 – 4 mm/menit dengan gerakan
garis lurus bukan melingkar. Pengamatan dilakukan menggunakan stop watch dan
diulangi sebanyak 5 kali untuk masing-masing perlakuan dan ulangan, kemudian
hasilnya dirata-rata.
Pengamatan motilitas spermatozoa dilakukan untuk mengetahui persentase
spermatozoa yang motil. Pengamatan dilakukan dengan cara mengambil suspensi
spermatozoa dengan pipet untuk sel darah merah sampai skala 0,5 kemudian
diteteskan pada pinggir Haemocytometer. Motilitas diklasifikasikan berdasarkan
Suripto dkk. (2000) yaitu: sperma yang tidak bergerak sama sekali (kategori 0),
sperma yang bergerak sangat lambat (kategori 1), sperma yang bergerak berkelok-
kelok (kategori 2), dan sperma yang bergerak lurus dan cepat (kategori 3). Persentase
spermatozoa yang motil ditentukan dengan cara menjumlahkan kategori 2 dan 3
dibagi dengan kategori 0+1+2+3 dikalikan 100%. Menurut WHO (1999), motilitas
spermatozoa dikategorikan normal jika persentase spermatozoa motil lebih dari 50%.
Jika persentase spermatozoa motil kurang dari 50% maka motilitas spermatozoa
dikategorikan tidak normal atau disebut astenozoospermi. Pengamatan motilitas
spermatozoa dilakukan pada 100 spermatozoa. Penghitungan menggunakan hand
counter dan diulangi sebanyak 5 kali untuk masing-masing perlakuan dan ulangan,
kemudian hasilnya dirata-rata.
Pengamatan viabilitas spermatozoa dilakukan untuk mengetahui persentase
spermatozoa yang hidup. Pengamatan berdasarkan Musfiroh dkk. (2012), dilakukan
dengan cara meneteskan suspensi spermatozoa di atas gelas objek, diwarnai dengan
Eosine 1% lalu ditutup dengan gelas penutup kemudian diamati. Spermatozoa yang
hidup tidak berwarna, sedangkan spermatozoa yang mati berwarna merah. Menurut
(Agarwal dkk., 2008), viabilitas spermatozoa dikategorikan normal jika persentase
spermatozoa hidup lebih dari 25%. Pengamatan viabilitas spermatozoa dilakukan
pada 100 spermatozoa. Penghitungan menggunakan hand counter dan diulangi
sebanyak 5 kali untuk masing-masing perlakuan dan ulangan, kemudian hasilnya
dirata-rata.
Pengamatan morfologi spermatozoa dilakukan dengan cara meneteskan
suspensi spermatozoa di atas gelas objek kemudian ditambahkan satu tetes Eosine
1%, selanjutnya ditutup dengan gelas penutup (Narayana dkk, 2002). Pengamatan
morfologi spermatozoa meliputi spermatozoa yang normal maupun abnormal.
Pengamatan morfologi abnormal spermatozoa dilakukan berdasarkan Oyeyemi dan
Adeniji (2009) serta Saba dkk. (2009) meliputi ekor menggulung, ekor mengganda,
ekor memutar, ekor menekuk, ekor rudimenter, bagian tengah memutar, bagian
tengah menekuk, bagian kepala normal tetapi tidak mempunyai ekor, dan bagian
ekor normal tetapi tidak mempunyai kepala. Menurut Harlis (2011), abnormalitas
spermatozoa dibagi menjadi dua, yaitu: primer dan sekunder. Abnormalitas primer
disebabkan oleh penurunan kadar testosteron dan terjadi di dalam testis.
Abnormalitas ini meliputi mikrocepali, kepala menekuk, kepala mengganda, kepala
pipih, kepala tanpa akrosom dan bagian tengah menebal. Abnormalitas sekunder
disebabkan adanya gangguan proses pematangan spermatozoa di dalam epididimis.
Abnormalitas ini meliputi ekor melingkar, ujung ekor patah, dan droplet sitoplasma
pada bagian kepala dan tengah. Menurut WHO (1999), morfologi spermatozoa
dikategorikan normal jika persentase spermatozoa normal lebih dari 50%. Jika
persentase spermatozoa normal kurang dari 50% maka morfologi spermatozoa
dikategorikan tidak normal atau disebut teratozoospermi. Pengamatan morfologi
spermatozoa dilakukan pada 100 spermatozoa. Penghitungan menggunakan hand
counter dan diulangi sebanyak 5 kali untuk masing-masing perlakuan dan ulangan,
kemudian hasilnya dirata-rata.
Seluruh pengamatan kualitas spermatozoa (kecepatan, motilitas, viabilitas
dan morfologi) dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x.
Morfologi dan viabilitas spermatozoa didokumentasikan menggunakan foto.
Kecepatan dan motilitas spermatozoa didokumentasikan menggunakan video.

3.5 Analisis Data


Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analysis of Variance (ANOVA)
satu arah dengan taraf signifikansi 5% (Irianto, 2010). Program statistik yang
digunakan untuk analisis adalah program Minitab 16.0.
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, A.; Bragais, F.M.; Sabanegh, E. 2008. Assessing Sperm Function. Urol.
Clin. N. Am., 35:157-171.

Ahmed, B. 2007. Chemistry of Natural Products. New Delhi: Faculty of Science.p.1-


26.

Ahmed, M.; Al-Daghri, N.; Alokail, M.S.; Hussain, T. 2013. Potential Changes in
Rat Spermatogenesis and Sperm Parameters after Inhalation of Boswellia
papyrifera and Boswellia carterii Incense. Int. J. Environ. Res. Public Health,
10:830-844.

Alias, M.F.B. 2009. Pengklasifikasian Sperma Normal dan Abnormal daripada


Suspensi Sperma Tikus Sprague Dawley (tesis). Malaysia: Universitas Sains
Malaysia.

Argente, J.; dan Chowen, J.A. 1993. Control of The Transcription of The Growth
Hormone Releasing Hormone and Somatostatin Genes by Sex Steroids.
Hormone Research, 40:48.

Astuti, S.; Muchtadi, D.; Astawan, M.; Purwantara, B.; Wresdiyati, T. 2008.
Pengaruh Pemberian Tepung Kedelai Kaya Isoflavon, Seng (Zn), dan
Vitamin E terhadap Kadar Hormon Testosteron Serum dan Jumlah Sel
Spermatogenik pada Tubuli Seminiferi Testis Tikus Jantan. JITV, 13(4):288-
294.

Bashandy, A.E.S. 2006. Effect of The Fixed Oil Nigella sativa on Male Fertility in
Normal and Hiperglipidemic. Intl. J. Pharmacol., 2(1):104-109.

Bento-Silva, M.T.; Martins, M.C.C.; Torres-Leal, F.L.; Barros, T.L.; Carvalho,


I.L.N.F.; Filho, H.A.C.; Almeida, F.R.C. 2010. Effect of Administering
Testosterone Undecanoate in Rats Subjected to Physical Exercise: Effect on
The Estrous Cycle, Motor Behavior and Morphology of The Liver and
Kidney. Brazilian Journal of Pharmaceutical Sciences, 46(1):79-87.

Chudik, S.C. 2003. Anabolic Steroid. (serial online), [cited 2013 Agust. 27].
Available from: http://www.hoasc.com/pdf/R03-literature.pdf.

Clark, A.S.; Harrold, E.V.; Fast, A.S. 1997. Anabolic-Androgenic Steroid Effects on
The Sexual Behavior of Intact Male Rats. Journal Horm. Behav., 31(1):35-
46.
Clark, A.S.; dan Henderson, L.P. 2003. Behavioral and Physiological Responses to
Anabolic-Androgenic Steroids. Journal Neuroscience and Behavioral
Reviews, 27:413-436.

Cunha , T.S.; Tanno, A.P.; Moura, M.J.C.S.; Marcondes, F.K. 2005. Influence of
High-Intensity Exercise Training and Anabolic Androgenic Steroid
Treatment on Rat Tissue Glycogen Content. Life Sci., 77(9):1030-1043.

Darkuni, M.N. 1994. Embriologi Hewan. Malang: Universitas Negeri Malang.p.22-


26.

DEA (Drug Enforcement Administration). 2013. Anabolic Steroids. (serial online),


[cited 2013 Sept. 15]. Available from: http://www.anabolic_steroids.pdf.]

Dehaan, K.C.L.L.; Berger, D.J.; Keler, F.K.; McKelth; Thomas, D.L. 1990. Effect of
Prenatal Testosterone Treatment on Nitrogen Utilization and Endocrine
Status of Ewe Lamb. J. Anim. Sci., 68:4100-4108.

Foletto, M.P.; Mareze-Costa, C.; Ferrari, F.; Franzoi-de-Moraes; Segatelli, T.M.


2010. Effect of The Nandrolone decanoate on The Efficiency of
Spermatogenesis of Sedentary Rats and Rats Subjected to Physical Training.
Maringa, 32(1):17-22.

Ganong, W.F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. (Dewi Irawati,
Minarma Siagian, Dangsina Moeloek, Brahm U. Pendit dan H.M Djauhari
Widjajakusumah, Pentj.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).p.408-
417.

Geneser, F. 1990. Buku Teks Histologi Jilid 2. (Arifin Gunawijaya, Pentj.). Jakarta:
Binarupa Aksara.p.310-341.

Gofur, A. 2002. Spermatogenesis. Malang: Universitas Negeri Malang.p.4-24.

Guyton, A.C. 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi 3. (Petrus
Andrianto, Pentj.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).p.729-739.

Handayani, N. 2001. Fisiologi Reproduksi. Malang: Universitas Negeri Malang.p.1-


29.

Harlis, W.O. 2011. Morfologi Spermatozoa Epididimis Tikus (Rattus norvegicus, L.)
Setelah Diperlakukan Ekstrak Herba Meniran (Phyllanthus niruri, L.). Jurnal
Paradigma, 15(1):39-44.
Hervey, G.R.; Knibbs, A.V.; Burkinshaw, L.; Morgan, D.B.; Jones, P.R.M.; Chettle,
D.R.; Vartsky, D. 1981. Effects of Methandienone on The Performance and
Body Composition of Men Undergoing Athletic Training. Clinical Science
(Lond.), 60(4):457-461.

Hess, R.A. 1999. Encyclopedia of Reproduction Vol. 4 : Spermatogenesis, overview.


University of Illinois at Urbona: Academic Press.p.539-545.

Hess, R.A.; dan Franca, L.R. 2008. Spermatogenesis and Cycle of the Seminiferus
Epithelium. University of Illinois: Landes Bioscience and Springer
Science+Business Media.p.1-15.

Hijazi, M.M.; Azmi, M.A.; Hussain, A.; Naqvi, S.N.H.; Perveen, R.; Safia. 2012.
Androgenic Anabolic Steroidal-Based Effect on The Morphology of
Testicular Structure of Albino Rats. Pakistan J. Zool., 44(6):1529-1537.

Holma, P.K. 1976. Effect of an Anabolic Steroid (Methandienone) on


Spermatogenesis. Journal Contraception, 15(2):151-162.

Huhtaniemi, I.; Koskimies, A.; Pelkonen, R.; Lamberg, B.A.; Koivisto, V.; Pelkonen,
R. 1992. Kivekset in Kliininen Endokrinologia. Duodecim Journal, 1:458-
478.

Irawati, O. 2008. “Indonesia Peringkat Empat Dunia Pasien Diabetes”. Kompas, 16


Oktober, hal.: 8, kol.: 4.

Irianto, K. 2004. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis. Bandung:
Yrama Widya.p.327-332.

Irianto, A. 2010. Statistik: Konsep Dasar, Aplikasi, dan Pengembangannya. Jakarta:


Kencana Prenada Media Group.p.217-240.

Isroli. 2001. Pengaruh Anabolik Steroid Testosteron Propionat dan Ransum yang
Berbeda terhadap Performans Karkas Domba Priangan Jantan. Jurnal
Pengembangan Peternakan Tropis, 1:102-109

Johson, H.M.; dan Everitt, B.J. 2000. Essential Reproduction 5th. United Kingdom:
Blackwell Science.p.53-67.

Johnson, L.C.; Fisher, G.; Silvester, J.L.; Hofheins, C.C. 1972. Anabolic Steroid:
Effects on Strength, Body Weight, Oxygen Uptake and Spermatogenesis
Upon Mature Males. Med. Sci. Sports, 4(1):43-45.

Karbalay-Doust, S.; Noorafshan, A.; Ardekani, F.M.; Mirkhani, H. 2007. The


Reversibility of Sperm Quality After Disccontinuing Nandrolone Decanoate
in Adult Male Rats. Asian J. Androl., 9(2):235-239.
Khaidir, M. 2006. Penilaian Tingkat Fertilitas dan Penatalaksanaannya pada Pria.
Studi Literatur. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1(1):30-34.

Kretser, D.M.; Loveland, K.L.; Meinhardt, A.; Simorangkir, D.; Wreford, N. 1998.
Spermatogenesis. Journal Human Reproduction, 13:1-8.

Lee, L.Y.; Henrick, D.M.; Skelley; Grimes, L.W. 1990. Growth and Hormonal
Responses of Intact and Castrate Male Cattle to Trenbolone Acetate and
Estradiol. Journal Animal Sciences, 68:26-82.

Llewellyn, W. 2007. Anabolic Edisi 6. (serial online), [cited 2013 Agust. 18].
Available from: Http://www.A2007_dianabol_profile.pdf (SECURED).

Luna, L.G. 1968. Manual of Histologic Staining Methods of the Armed Forces
Institute of Pathology Edisi ke-3. New York: The Blakiston Division
McGraw-Hill Book Company.p.245-302.

McLeod, J. 1951. Semen Quality in One Thousand Men of Known Fertility and in
Eight Hundred Cases of Infertile Marriages. Fertil and Steril, 2:115.

McVeigh, J.; dan Brown, M.E. 2009. Anabolic Steroids. Liverpool John Moores
University: Centre for Public Health.p.1-9.

Moos, J.L.; Crosnoe, L.E.; Kim, E.D. 2013. Effect of Rejuvenation Hormones on
Spermatogenesis. Journal of Fertility and Sterility, 5 (1):1-8.

Musfiroh, M.; Muslim, R.; Wijayahadi, N. 2012. Pengaruh Minyak Nigella sativa
terhadap Kualitas Spermatozoa Tikus Wistar yang Terpapar Asap Rokok.
Jurnal Indon. Med. Assoc., 62(5):178-182.

Narayana, K.; Souza, U.J.A D.; Rao, K.P.S. 2002. Ribavirin-Induced Sperm Shape
Abnormalities in Wistar Rat. Journal Mutation Research/Genetic Toxicology
and Environmental Mutagenesis, 513(1-2):193-196.

Nugraheni, T.; Astirin, O.P.; Widiyani, T. 2003. Pengaruh Vitamin C terhadap


Perbaikan Spermatogenesis dan Kualitas Spermatozoa Mencit (Mus musculus
L.) Setelah Pemberian Ekstrak Tembakau (Nicotiana tabacum L.). Jurnal
Biofarmasi, 1(1):13-19.

Nugroho, Y.A.; dan Soeradi, O. 2002. Toksisitas Akut dan Efek Pemberian Ekstrak
Etanol Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) terhadap Struktur Anatomi
Tubulus Seminiferus Testis Tikus Putih. Jurnal Bahan Alam Indonesia,
1(1):37-39.

O’Shea, J.P. 1971. The Effects of An Anabolic Steroid on Dynamic Strength Levels
of Weightlifters. Nutr. Rep. Int., 4:363–370.
Oyeyemi, M.O.; dan Adeniji, D.A. 2009. Morphological Characteristics and
Haematological Studies in Wistar Rats Subjected to Prolonged Treatment of
Chloramphenicol. Int. J. Morphol., 27(1):7-11.

Purkayastha, S.; dan Mahanta, R. 2012. Effect of Nandrolone Decanoate on Serum


FSH, LH and Testosterone Concentration in Male Albino Mice. World J. Life
Sci. and Medical Research, 2(3):123.

Rasul, K.H.; dan Aziz, F.M. 2012. The Effect of Sustanon (Testosterone Derivatives)
Taken by Athletes on The Testis of Rat. Jordan Journal of Biological
Sciences, 5(2):113-119.

Robaire, B.; Hinton, B.T.; Orgebin-Crist, M.C. 2006. Physiology of Reproduction


Third Edition. Canada: McGill University.p.1071-1148.

Rudiono, D. 2005. Pengaruh Hormon Testosteron dan Umur terhadap Perkembangan


Otot pada Kambing Kacang Betina. Animal Production, 9(2):59-66.

Saba, A.B.; Oridupa, O.A.; Oyeyemi, M.O.; Osanyigbe, O.D. 2009. Spermatozoa
Morphology and Characteristics of Male Wistar Rats Administered with
Ethanolic Extract of Lagenaria breviflora Roberts. African Journal of
Biotechnology, 8(7):1170-1175.

Stojanovic, M.D.; dan Ostojic, S.M. 2012. Limits of Anabolic Steroids Application
in Sport and Exercise. J. Intech., 1:169-186.

Suckow, M. A.; Weisbroth, S.H.; Franklin, C.L. 2006. The Laboratory Rat Second
Edition. USA: American College of Laboratory Animal Medicine
Series.p.93-125.

Suripto; Sutasurya, L.A.; Hasanuddin; Adi, D.A. 2000. Pengaruh Prostaglandin F2α
terhadap Fertilitas Tikus (Rattus norvegicus) Wistar Jantan. JMS, 5(2):69-81

Syamrizal. 1995. Pengaruh Asam Metoksiasetat terhadap Organ Reproduksi dan


Fertilitas Mencit (Mus musculus) Albino Swiss Webster Jantan (tesis).
Bandung: ITB.

Tahtamouni, L.H.; Mustafa, N.H.; Hassan, I.M.; Ahmad, I.M.; Yasin, S.R.; Abdalla,
M.Y. 2010. Nandrolone Decanoate Administration to Male Rats Induces
Oxidative Stress, seminiferus Tubules Abnormalities, and Sperm DNA
Fragmentation. Jordan Journal of Biological Sciences, 3(4):165-174.

Thabet, N.S.; Abdelrazek, E.M.; Ghazy, E.W.; Elballal, S.S. 2010. Effect of The
Anabolic Steroid, Boldenone Undecylenate on Reproductive Performance of
Male Rabbits. Journal of Reproduction and Infertility, 1(1):8-17.
Torres-Calleja, J.; Gonzalez-Unzaga, M.; DeCelis-Carrillo, R.; Calzada-Sanchez, L.;
Pedron, N. 2001. Effect og Androgenic Anabolic Steroids on Sperm Quality
and Serum Hormone Levels in Adult Male Bodybuilders. Live Sciences,
68:1769-1774.

Wahyuni, R.S. 2012. Pengaruh Isoflavon Kedelai terhadap Kadar Hormon


Testosteron, Berat Testis, Diameter Tubulus Seminiferus dan
Spermatogenesis Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus) (tesis). Sumatera
Barat: Universitas Andalas.

WHO (World Health Organization. 1999. WHO Laboratory Manual. United


Kingdom: Cambridge University Press.p.1-128.

Wistuba, J.; Stukenborg, J.B.; Luetjens, C.M. 2007. Mammalian Spermatogenesis.


Journal Functional Development and Embryology,1(2):99-117.

Yavari, A. 2009. Abuse of Anabolic Androgenic Steroids. Journal of Stress


Phisiology & Biochemistry, 5(3):22-32.

Zingg, W. 1965. The Effect of Methandrostenolone on Nitrogen Excretion Following


Open-Heart Surgery. Canad. Med. Ass. J., 93:816-818.
Lampiran 1. Surat Ethical Clearance
Lampiran 2. Penghitungan Jumlah Spermatozoa (WHO dalam Syamrizal,

1995)

Tata cara penghitungan jumlah spermatozoa pada petak hitung Haemocytometer

“Improved Neubauer” adalah sebagai berikut:

Faktor Pengenceran

Suspensi spermatozoa (spermatozoa epididimis kanan bagian kauda dalam 10

ml NaCl 0,9 %) diambil dengan pipet sel darah merah sampai skala 0,5 kemudian

diteteskan pada Haemocytometer dan diperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan

perbesaran 400x. Rata-rata jumlah spermatozoa dihitung per 25 segi empat besar.

Jumlah ini kemudian dikalikan dengan 106 (juta/ml). Faktor pengenceran suspensi

spermatozoa tertera pada Tabel 1.

Tabel 1
Faktor Pengenceran Suspensi Spermatozoa
Rata-rata jumlah spermatozoa Jumlah spermatozoa Faktor pengenceran
per 25 segi empat besar (juta/ml)
< 20 < 20 1:10
20 – 100 20 – 100 1:20
>100 >100 1:50

Faktor Koreksi

Penentuan jumlah segi empat yang harus dihitung dilakukan dengan

menentukan terlebih dahulu faktor koreksi yang berpedoman pada besarnya

pengenceran. Faktor koreksi yang digunakan tertera pada Tabel 2.


Tabel 2
Faktor Koreksi
Pengenceran Jumlah segi empat besar yang dicacah
25 10 5
1:10 10 4 2
1:20 5 2 1
1:50 2 0,8 0,4

Apabila suspensi yang sudah diencerkan mengandung kurang dari 10

spermatozoa setiap segi empat, maka seluruh segi empat yang jumlahnya 25 harus

dihitung. Apabila 10 – 40 spermatozoa setiap segi empat, maka harus dihitung

sebanyak 10 segi empat. Apabila mengandung lebih dari 40 spermatozoa setiap segi

empat, maka hanya 5 segi empat yang dihitung. Jumlah yang diperoleh dari hasil

penghitungan tersebut dibagi dengan faktor koreksi yang tercantum pada Tabel 2.

Hasilnya adalah jumlah spermatozoa dalam juta/ml. Sebagai contoh, jika suspensi

telah diencerkan 1:10 dan terhitung 2 spermatozoa dalam 25 segi empat, maka

jumlah spermatozoa dalam suspensi adalah 2/10 atau 0,2 juta/ml.

Anda mungkin juga menyukai