Anda di halaman 1dari 17

TESTOSTERON REPLACEMENT THERAPY PADA DISFUNGSI EREKSI

OLEH KARENA DIABETES MELITUS

Ni Luh Kadek Alit Arsani

Jurusan Ilmu Keolahragaan, Fakultas Olahraga dan Kesehatan


Universitas Pendidikan Ganesha
e-mail : alit_arsani@yahoo.com

Abstrak

Disfungsi seksual banyak terjadi di masyarakat, baik pada pria maupun wanita,
walaupun belum ada data yang pasti tentang insidennya. Salah satu disfungsi seksual
pada pria yang sering dijumpai adalah disfungsi ereksi. Diduga tidak kurang dari
10% pria menikah di Indonesia mengalami disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi lebih
sering terjadi pada penderita diabetes melitus dibandingkan dengan populasi umum.
Sekitar 30%-90% pria dengan diabetes melitus akan menderita disfungsi ereksi.
Sejak ditemukannya PDE-5 (Phosphodiesterase type 5) inhibitors untuk terapi
disfungsi ereksi testosteron telah dikesampingkan sebagai terapi pilihan pada
disfungsi ereksi. Tetapi sebesar 50% pria yang diterapi dengan PDE-5 inhibitors
menunjukkan kegagalan. Hal ini menimbulkan ketertarikan pada terapi disfungsi
ereksi dengan hormon testosterone. Hormon testosteron mempunyai peranan yang
besar pada jaringan penis termasuk dalam mekanisme ereksi, memelihara dan
mempertahankan integritas struktur jaringan erektil. Kekurangan testosteron akan
menyebabkan gangguan pada anatomi dan fisiologi jaringan erektil, gangguan pada
serabut saraf kavernosal. Secara histologis, gangguan yang nampak pada jaringan
erektil penis adalah kehilangan serat-serat elastin pada tunika albuginea dan otot
polos korpus kavernosum, digantikan oleh jaringan kolagen pada kedua struktur
tersebut, terjadinya kebocoran pada vena (venous leakage) sehingga menyebabkan
terjadinya venous reflux dan terjadilah gangguan ereksi. Penurunan 50% testosteron
pada sirkulasi akan menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah
intrakavernosal. Pada penderita diabetes melitus dengan disfungsi ereksi, pemberian
testosteron akan dapat meningkatkan ketebalan otot polos korpus kavernosum
sehingga dapat memperbaiki fungsi ereksi.

Kata kunci: testosteron replacement therapy, diabetes mellitus, disfungsi ereksi

61
PENDAHULUAN mencapai hampir 70%. Pada tahun
Perubahan persepsi dan 2005 diduga terdapat 322 juta pria
perilaku seksual yang terjadi sejak yang mengalami disfungsi ereksi di
lebih dari dua dekade yang lalu seluruh dunia. Di Indonesia, belum
menyebabkan masyarakat lebih ada data yang pasti berapa banyak pria
terbuka menyampaikan keluhan mengalami DE (Pangkahila, 2005;
seksual yang dialaminya. Disfungsi Agarwal et al., 2006).
seksual banyak terjadi di masyarakat, Disfungsi ereksi bisa
baik pada pria maupun wanita, disebabkan oleh faktor fisik dan faktor
walaupun belum ada data yang pasti psikis. Faktor fisik dapat
tentang insidennya. Salah satu dikelompokkan menjadi faktor
disfungsi seksual pada pria yang endokrin, neurogenik, vaskulogenik
sering dijumpai adalah disfungsi dan iatrogenik (Pangkahila, 2005).
ereksi. Diduga tidak kurang dari 10% Faktor risiko utama yang berpengaruh
pria menikah di Indonesia mengalami terhadap terjadinya disfungsi ereksi
disfungsi ereksi (Pangkahila, 2005). adalah diabetes melitus (DM),
Di Amerika Serikat, the hiperkolesterolemia, merokok, dan
Massachusetts Male Aging Studi penyakit kronis. Faktor-faktor ini
(MMAS) melakukan survei pada meningkatkan risiko untuk terjadinya
1.290 pria berumur 40-70 tahun dari aterosklerosis yang merupakan faktor
tahun 1987-1989 mendapatkan predominan untuk terjadinya disfungsi
prevalensi disfungsi ereksi (DE) ereksi vaskulogenik (Agarwal et al.,
sebesar 52%. Prevalensi DE 2006).
meningkat sesuai dengan umur. Pada Disfungsi ereksi lebih sering
umur 40 tahun prevalensinya sebesar terjadi pada penderita diabetes melitus
40% dan pada umur 70 tahun dibandingkan dengan populasi umum.

62
Sekitar 30%-90% pria dengan dan aktivitas nitrit oksida. Sebagai
diabetes melitus akan menderita akibat dari diabetes melitus maka akan
disfungsi ereksi (Cho et al., 2005; terjadi kehilangan yang progresif dari
Kapoor et al., 2007). Studi-studi otot polos dan endotel yang normal
sebelumnya melaporkan prevalensi dari korpus kavernosum diganti
berkisar antara 20-70% (Penson et al., dengan jaringan fibrotik sehingga
2004). Terjadinya hipogonadisme, menyebabkan terjadinya disfungsi
autonomic neuropathy, dan arterial ereksi yang komplit (Penson et al.,
insuficiency dihubungkan dengan 2004; Brown et al., 2005; Sakka dan
tingginya kejadian disfungsi ereksi Yassin, 2010).
pada diabetes melitus. Studi-studi epidemiologis
Relaksasi jaringan erektil pada selama 2 dekade terakhir
korpus kavernosum memerlukan nitrit menunjukkan pria dengan DM tipe 2
oksida (Nitric Oxide/NO) dari neuron mempunyai kadar hormon testosteron
nonadrenergik-nonkolinergik dan yang rendah. Dhindsa et al. (2004)
endotel. Jaringan penis penderita melakukan penelitian pada pria
diabetes melitus menunjukkan dengan DM tipe 2 yang berumur
gangguan relaksasi dari otot polos antara 31-75 tahun, sepertiga
yang dimediasi oleh faktor neurogenik diantaranya mempunyai kadar free
dan endotel, peningkatan advanced testosterone yang rendah. Hal ini
glication end products (AGEs), dan berhubungan dengan tidak cukupnya
upregulation arginase yang kadar luteinizing hormone (LH) dan
merupakan kompetitor dari nitrat follicle-stimulating hormone (FSH),
oksida sintase (NOS) dengan menyebabkan terjadinya
substratnya yaitu L-arginin, sehingga hypogonadotrophic hypogonadism.
terjadi penurunan sintesis, pelepasan, Hasil penelitian ini juga sesuai dengan

63
penelitian yang dilakukan di United Berdasarkan studi yang dilakukan
Kingdom, Italia, Australia, dan Brazil. pada binatang menyatakan bahwa
Chandel et al. (2007) juga melaporkan insulin diperlukan oleh otak untuk
tingginya prevalensi fungsi yang normal dari hypothalamo-
hypogonadotrophic hypogonadism hypophyseal-testis axis. Insensitivitas
pada pria muda (18-35 tahun) dengan insulin pada level hipotalamus
DM tipe 2 yaitu sebesar 58%. menyebabkan terjadinya
Testosteron yang rendah hipogonadotropik hipogonadisme
dihubungkan dengan penurunan sehingga terjadi penurunan fungsi
libido, disfungsi ereksi, peningkatan testis dan menyebabkan terjadi
masa lemak, penurunan masa otot dan penurunan produksi hormon
tulang, serta penurunan energi, testosteron (Dandona et al., 2009).
depresi, dan anemia (Dandona et al., Pada pria dengan gejala-gejala
2009). Investigasi yang dilakukan hipogonad, maka pemberian hormon
pada binatang menunjukkan bahwa sulih testosteron (testosterone
kekurangan hormon testoteron replacement therapy) dapat
menyebabkan atropi jaringan penis, meningkatkan fungsi seksual dan
perubahan struktur nervus dorsalis, memelihara karakteristik seks
perubahan morfologi endotel, sekunder (Dandona et al., 2009).
penurunan otot polos trabekular, dan Synder et al. (2000) menyatakan
akumulasi jaringan lemak pada daerah bahwa terapi dengan testosteron pada
subtunika korpus kavernosum (Sakka pria hipogonad dapat meningkatkan
dan Yassin, 2010). fungsi seksual, libido, masa otot,
Mekanisme terjadinya kekuatan fisik, densitas tulang, dan
hipogonadotropik hipogonadisme pada perasaan senang. Lazarou dan
pria dengan DM tipe 2 belum jelas. Morgentaler (2005) menyatakan

64
bahwa pemberian hormon testosteron obesitas, dan kombinasi dari penyakit
merupakan terapi terbaik pada pria ini, dimana dengan terapi PDE-5
hipogonad dengan disfungsi ereksi. inhibitor telah gagal untuk
Sejak ditemukannya PDE-5 mengembalikan fungsi ereksinya.
(Phosphodiesterase type 5) inhibitors Dilaporkan bahwa terjadi peningkatan
untuk terapi disfungsi ereksi dalam fungsi ereksi setelah 12-20
testosteron telah dikesampingkan minggu diterapi dengan testosteron.
sebagai terapi pilihan pada disfungsi Greenstein et al. (2003) juga
ereksi. Tetapi sebesar 50% pria yang melaporkan bahwa 63% dari pria
diterapi dengan PDE-5 inhibitors hipogonad dengan disfungsi ereksi
menunjukkan kegagalan (Park et al., yang diberikan terapi dengan
2005). Hal ini menimbulkan testosteron saja mendapatkan kembali
ketertarikan pada terapi disfungsi fungsi ereksi yang normal dan
ereksi dengan hormon testosteron peningkatan sexual desire.
(Hesle et al., 2005).
Pada penderita diabetes KAJIAN PUSTAKA
melitus dengan disfungsi ereksi, maka Fungsi Seksual Pria
pemberian testosteron akan dapat Fungsi seksual pria terdiri dari
mengembalikan fungsi ereksinya. Hal 4 komponen, yaitu: dorongan seksual,
ini sesuai dengan penelitian yang bangkitan seksual, orgasme, dan
dilakukan oleh Yassin et al. (2006); ejakulasi. Bangkitan seksual terutama
Yassin & Saad (2006; 2007 b) berupa ereksi penis. Setiap gangguan
terhadap peran hormon testosteron pada salah satu komponen itu dapat
pada disfungsi ereksi dengan penyakit menimbulkan disfungsi seksual.
penyerta seperti diabetes melitus, Disfungsi seksual pria dikelompokkan
sindrom metabolik, dislipidemia, menjadi: 1) Gangguan dorongan

65
seksual yang meliputi dorongan dan 3) restriksi aliran keluar vena
seksual hipoaktif dan gangguan aversi penis (Bivalacqua et al., 2003).
seksual; 2) Disfungsi ereksi; 3) Telah lama diketahui bahwa
Gangguan ejakulasi yang meliputi NO memegang peranan yang penting
ejakulasi dini (rapid ejaculation) dan dalam regulasi ereksi penis dalam
ejakulasi terhambat (retarded keadaan fisiologis dan patologis
ejaculation); 4) Gangguan orgasme. (Bivalacqua et al., 2003). NO
Ejakulasi sebenarnya lebih banyak merupakan mediator yang sangat
berfungsi reproduksi. Tetapi karena penting dalam proses relaksasi otot
pada pria normal ejakulasi terjadi pada polos kavernosa yang menyebabkan
saat orgasme, maka gangguan ereksi. Relaksasi ini disebabkan oleh
ejakulasi seringkali juga mengganggu adanya guanetidin dan atropin pada
sensasi orgasme (Pangkahila, 2005). lapisan otot dan diduga merupakan
mediator saraf nonadrenergik-
Ereksi nonkolinergik. Relaksasi otot polos
Ereksi penis adalah suatu yang disebabkan oleh NO terjadi
fenomena neurovaskular, yang melalui peningkatan siklus GMP
tergantung dari integritas saraf, fungsi (guanosin monophosphate) (Tendean,
dari sistem vaskular, dan jaringan 2004).
kavernosal yang sehat. Fungsi ereksi
yang normal meliputi tiga proses Mekanisme Ereksi
sinergis dan simultan yaitu: 1) Ereksi penis adalah manifestasi
peningkatan arterial inflow yang bangkitan seksual yang terjadi bila
dimediasi secara neurologis, 2) pria normal menerima rangsangan
relaksasi dari otot polos kavernosal, seksual yang cukup. Ereksi penis
tergantung pada interaksi yang

66
kompleks antara faktor psikis, otot polos korpus kavernosum yang
neurogenik, vaskuler, dan hormon. menimbulkan detumesensi dan fleksid
Hormon testosteron mempunyai peran penis. Ketika mengalami rangsangan
penting baik di tingkat pusat maupun seksual, impuls saraf menyebabkan
perifer pada proses ereksi. Proses pelepasan NO dari neuron
ereksi juga tergantung pada parasymphatetic nonadrenergic non
keseimbangan antara aliran darah yang cholinergic (NANC) dan sel endotel
masuk dan keluar dari korpus korpus kavernosum. NO merupakan
kavernosum. Bila terjadi mediator kimia yang terpenting untuk
keseimbangan antara aliran darah menimbulkan relaksasi otot polos
masuk dan keluar, maka penis menjadi korpus kavernosum.
flaccid (fleksid=lemas). Bila aliran Peristiwa ereksi berlangsung
masuk ke arteri korpus kavernosum melalui rangkaian delapan fase
meningkat, sedangkan aliran keluar sebagai berikut:
vena terhambat, maka penis Fase 0: fase fleksid
mengalami tumescence (tumesensi= Dalam keadaan fleksid, penis berada
membesar dan memanjang) di bawah pengaruh saraf simpatetik.
(Pangkahila, 2006). Aliran masuk arteri lambat, hanya
Faktor saraf yang kurang dari 15 cm per detik, dan otot
mempengaruhi mekanisme ereksi polos trabekula mengalami kontraksi.
adalah stimulasi saraf parasimpatetik
Fase 1: fase pengisian (filling phase)
S2-S4 yang menimbulkan dilatasi
arteriol dan relaksasi otot polos Rangsangan parasimpatetik
trabekula penis. Di pihak lain, menyebabkan dilatasi arteriol yang
stimulasi saraf simpatetik Th12-L2 menyebabkan aliran arteri meningkat
mengakibatkan konstriksi arteriol dan sampai 30 cm per detik. Relaksasi

67
trabekula menyebabkan terjadi menekan pleksus vena subtunika, yang
pengisian sinusoid tanpa peningkatan menyebabkan berkurangnya aliran
yang bermakna pada tekanan darah ke dalam vena emissaria. Pada
intrakavernosa. saat ini, tekanan gas darah sama
dengan di darah arteri.
Fase 2: fase tumesensi
Pada fase ini, tekanan intrakavernosa Fase 4: fase ereksi rigid
mulai meningkat, yang menyebabkan Karena pengaruh nervus pudendus,
penurunan relatif pada aliran masuk muskulus ishiokavernosus
arteri. Karena tekanan meningkat di berkontraksi sehingga menekan crura
atas tekanan diastolik, maka aliran dan meningkatkan tekanan darah
hanya terjadi pada saat tekanan intrakavernosa di atas tekanan darah
sistolik. Selanjutnya, karena sinusoid sistolik. Maka penis mengalami ereksi
melebar, terjadilah kompresi pada atau rigiditas yang sempurna.
pleksus vena subtunika. Akibatnya Muskulus ishiokavernosus dapat
penis memanjang dan membesar ke dibuat berkontraksi atau di bawah
kapasitas maksimalnya. pengaruh refleks bulbokavernosus,
yang mampu mempertahankan
Fase 3: fase ereksi sempura (full
rigiditas selama penetrasi. Aliran
erection phase)
masuk arteri berhenti dan vena
Pada fase ini tekanan intrakavernosa
emissaria tertutup rapat sehingga penis
meningkat sampai 90% dari tekanan
menjadi sebuah ruangan tertutup.
darah sistolik. Aliran darah arteri ke
Mekanisme yang menyebabkan aliran
dalam penis terus menurun, tetapi
keluar vena dari penis tertutup, disebut
masih lebih besar daripada selama fase
veno-occlusive mechanism.
fleksid. Sinusoid yang melebar

68
Fase 5: fase detumesensi awal Disfungsi Ereksi
Pada fase ini terjadi sedikit Disfungsi ereksi berarti
peningkatan tekanan intrakavernosa, ketidakmampuan mencapai atau
yang bersifat sesaat. Peningkatan ini mempertahankan ereksi penis yang
mungkin dipengaruhi oleh rangsangan cukup untuk melakukan hubungan
simpatetik terhadap aliran keluar vena seksual dengan baik. Pada dasarnya
yang tertutup. disfungsi ereksi disebabkan oleh
faktor fisik dan faktor psikis.
Fase 6: fase detumesensi lambat Penyebab fisik dapat dikelompokkan
Pada saat ini terjadi kontraksi otot menjadi faktor hormonal, faktor
polos trabekula, konstriksi arteriola vaskulogenik, faktor neurogenik, dan
helicinae, dan menurunnya tekanan faktor iatrogenik (Pangkahila, 2005).
darah intrakavernosa. Reaksi ini Beberapa gangguan hormonal
menyebabkan kompresi vena yang berkaitan dengan disfungsi ereksi
subtunika berkurang dan aliran keluar adalah hipogonadisme,
vena meningkat. hiperprolaktinemia, hipertiroidisme,
dan hipotiroidisme. Penyebab
Fase 7: fase detumesensi cepat neurogenik disfungsi ereksi meliputi
Pada fase ini terjadi rangsangan setiap penyakit atau trauma yang
simpatetik yang menyebabkan aliran mempengaruhi susunan saraf pusat,
masuk arteri dan tekanan darah korda spinalis, dan susunan saraf
intrakavernosa menurun cepat. perifer. Disfungsi ereksi vaskulogenik
Perubahan ini diikuti peningkatan adalah faktor penyebab tersering
aliran keluar vena dan detumesensi disfungsi ereksi pada pria tua. Faktor
yang cepat. resiko terhadap disfungsi ereksi
vaskulogenik adalah: overweight,

69
hipertensi, diabetes melitus, dan Faktor psikis meliputi semua
merokok. Faktor arterial berupa faktor yang dapat menghambat
penyakit atau gangguan yang mekanisme ereksi, meliputi semua
menghambat aliran darah ke dalam faktor dalam semua periode kehidupan
korpus kavernosum. Penyebab yaitu periode anak-anak, remaja, dan
tersering faktor arteri adalah dewasa. Faktor psikis dapat
aterosklerosis. Aliran darah yang dikelompokkan menjadi faktor
terhambat ke penis mengakibatkan predisposisi, faktor presipitasi, dan
iskemia dan oksigenasi korpus faktor pembinaan. Faktor predisposisi
kavernosum terganggu. Keadaan ini misalnya pandangan yang negatif
mengakibatkan disfungsi otot polos tentang seks, trauma seksual,
yang menimbulkan disfungsi veno- pendidikan seks kurang, percaya
oklusif. Beberapa cara operasi, obat- mitos, hubungan keluarga terganggu.
obatan, dan radioterapi dapat Faktor presipitasi misalnya hambatan
mengakibatkan disfungsi ereksi. psikis karena penyakit atau gangguan
Kerusakan saraf atau arteri yang fisik, proses penuaan, ketidaksetiaan
berkaitan dengan fungsi ereksi yang terhadap pasangan, harapan yang
terjadi selama operasi dapat berlebihan, depresi, dan kecemasan.
mengakibatkan disfungsi ereksi. Faktor pembinaan misalnya karena
Beberapa obat yang mengakibatkan pengalaman sebelumnya, hilangnya
disfungsi ereksi misalnya obat daya tarik pasangan, komunikasi tidak
psikotropik, antidepresan, baik, takut yang berkaitan dengan
antihipertensi, obat hormon, keintiman, dan pendidikan seks
antikolinergik (Pangkahila, 2005; kurang. Faktor psikis tersebut pada
Hargreave, 2006). akhirnya mengakibatkan peningkatan
kadar norepinefrin, baik di sirkulasi

70
maupun penis mengakibatkan ereksi adiponektin yang menurun pada
terhambat (Pangkahila, 2005). obesitas.
Bukti dari beberapa populasi
Diabetes Melitus, Sindrom
studi longitudinal menunjukkan bahwa
Metabolik, dan Hormon Testosteron
testosteron rendah adalah faktor risiko
Resistensi insulin yang independen untuk terjadinya obesitas,
terutama disebabkan oleh adipositas sindrom metabolik, dan diabetes tipe
abdominal, terbukti sebagai 2. Data penelitian menunjukkan
abnormalitas patologis utama dalam terdapat hubungan antara kadar
terjadinya sindrom metabolik dan testosteron rendah dengan akumulasi
diabetes. Jaringan adiposa sangat aktif lemak sentral, dimana kadar
secara metabolik dan menghasilkan testosteron berkorelasi negatif dengan
berbagai zat yang memperantarai akumulasi lemak sentral (Tsai and
hubungan antara obesitas, resistensi Boyko, 2000).
insulin, diabetes, dan penyakit Obesitas berhubungan dengan
vaskuler serta kondisi lainnya. kadar sex hormon binding globulin
Hormon-hormon yang berasal dari sel (SHBG) yang rendah yang
adiposit secara kolektif dikenal mengakibatkan penurunan kadar total
sebagai adipositokin dan telah kolesterol dan kadar testosteron bebas
mengubah paradigma dari sel lemak pada pria obesitas. Dari penelitian
sebagai tempat penyimpanan energi HERITAGE family, dalam sekelompok
menjadi jaringan adiposa sebagai 217 pria sehat yang dilakukan
komponen penting dari sistem pemeriksaan kadar testosteron dan
endokrin. Adipositokin yang paling juga dilakukan CT scan, bahwa
banyak pada manusia adalah leptin penurunan total testosteron dan SHBG
yang meningkat pada obesitas dan merupakan prediktor untuk terjadinya

71
peningkatan timbulnya obesitas dan penurunan sensitivitas insulin dan
kadar lemak sentral (Couillard, et al., gangguan metabolisme karbohidrat,
2000). peningkatan kerusakan tulang,
Penurunan kadar testosteron gangguan fungsi kognitif, kehilangan
juga terkait dengan abnormalitas motivasi, kelelahan, dan kelemahan
dalam metabolisme glukosa. Dalam (Jones, 2008).
studi terhadap 1.292 orang non- Kadar hormon testosteron yang
diabetes, didapatkan adanya korelasi rendah, baik bioavailable testosterone
terbalik antara kadar total kolesterol dan free testosterone secara bermakna
dengan kadar insulin yang tetap lebih rendah pada pria diabetes
signifikan setelah pengendalian faktor melitus dengan disfungsi ereksi.
umur dan obesitas (Hardiman, 2010). Kapoor et al. (2007) melaporkan
bahwa dari populasi di Inggris
Diabetes Melitus, Testosteron, dan
sebanyak 355 orang ditemukan 50%
Korpus Kavernosum Penis
diantaranya mengalami penurunan
Selama beberapa tahun
kadar testosteron bebas atau
terakhir, testosteron telah diketahui
boiavailabilitas testosteron. Sedangkan
oleh sebagian besar klinisi terutama
penelitian Selvin et al. (2007) dalam
sebagai hormon seks. Tetapi studi-
Third National Health and Nutrition
studi yang dilakukan baru-baru ini
Survey (NHANES III) pada 1.413
menunjukkan bahwa testosteron
pria, dilaporkan bahwa pria pada
mempunyai efek biologis yang
tertile bawah untuk kadar testosteron
penting, khususnya terhadap
bebas dan bioavailabilitas testosteron
metabolisme, tulang, otot, sistem
adalah sekitar 4 (empat) kali lebih
kardiovaskular dan otak. Kekurangan
besar risikonya untuk menderita
testosteron dapat menyebabkan
diabetes daripada mereka yang berada

72
di tertile atas setelah pengendalian diabetes melitus antara lain: penelitian
faktor usia, obesitas, dan etnis. Yassin et al. (2006); Yassin & Saad
Sensitivitas insulin, obesitas, dan (2006; 2007 b), terhadap peran
testosteron saling terkait satu sama hormon testosteron pada disfungsi
lain, dimana testosteron dapat ereksi dengan penyakit penyerta
menurunkan obesitas dan resistensi seperti diabetes melitus, sindrom
insulin. Mekanisme kerja dari metabolik, dislipidemia, obesitas, dan
testosteron terhadap fungsi ereksi pada kombinasi dari penyakit ini, dimana
studi yang dilakukan pada tikus adalah dengan terapi PDE-5 inhibitor telah
melalui stimulasi sintesis NO dan gagal untuk mengembalikan fungsi
sebagai vasodilator pada penis (Yassin ereksinya. Dilaporkan bahwa terjadi
and Saad, 2008). peningkatan dalam fungsi ereksi
Sebagai akibat dari diabetes setelah 12-20 minggu diterapi dengan
melitus maka akan terjadi kehilangan testosteron. Penelitian Greenstein et
yang progresif dari otot polos dan al. (2003), dilaporkan bahwa 63% dari
endotel yang normal dari korpus pria hipogonad dengan disfungsi
kavernosum diganti dengan jaringan ereksi yang diberikan terapi dengan
fibrotik sehingga menyebabkan testosteron saja mendapatkan kembali
terjadinya disfungsi ereksi yang fungsi ereksi yang normal dan
komplit (Penson et al., 2004; Brown peningkatan sexual desire.
et al., 2005; Sakka dan Yassin, 2010). Ereksi penis adalah suatu
fenomena neurovaskular, yang
Terapi Sulih Testosteron dan Fungsi tergantung dari integritas saraf, fungsi
Ereksi
dari sistem vaskular, hormonal, dan
Hasil-hasil penelitian jaringan kavernosal yang sehat. Fungsi
mengenai terapi sulih testosteron pada ereksi yang normal meliputi tiga

73
proses sinergis dan simultan yaitu: 1) (venous leakage) sehingga
peningkatan arterial inflow yang menyebabkan terjadinya venous reflux
dimediasi secara neurologis, 2) dan terjadilah gangguan ereksi.
relaksasi dari otot polos kavernosal, Penurunan 50% testosteron pada
dan 3) restriksi aliran keluar vena sirkulasi akan menyebabkan terjadinya
penis (Bivalacqua et al., 2003). Setiap penurunan tekanan darah
gangguan pada salah satu komponen intrakavernosal. Pada penderita
itu dapat menyebabkan disfungsi diabetes melitus dengan disfungsi
seksual. ereksi, maka pemberian testosteron
Hormon testosteron akan dapat meningkatkan ketebalan
mempunyai peranan yang besar pada otot polos korpus kavernosum
jaringan penis termasuk dalam sehingga dapat memperbaiki fungsi
mekanisme ereksi, memelihara dan ereksi.
mempertahankan integritas struktur
jaringan erektil. Kekurangan SIMPULAN
testosteron akan menyebabkan Berdasarkan paparan di atas, maka
gangguan pada anatomi dan fisiologi dapat disimpulkan bahwa: hormon
jaringan erektil, gangguan pada testosteron mempunyai peranan yang
serabut saraf kavernosal. Secara besar pada jaringan penis termasuk
histologis, gangguan yang nampak dalam mekanisme ereksi, memelihara
pada jaringan erektil penis adalah dan mempertahankan integritas
kehilangan serat-serat elastin pada struktur jaringan erektil. Kekurangan
tunika albuginea dan otot polos korpus testosteron akan menyebabkan
kavernosum, digantikan oleh jaringan gangguan pada anatomi dan fisiologi
kolagen pada kedua struktur tersebut, jaringan erektil, gangguan pada
terjadinya kebocoran pada vena serabut saraf kavernosal. Pada

74
penderita diabetes melitus dengan Physiology and Disease.
Journal of Andrology; 24: 19-
disfungsi ereksi, maka pemberian
37.
testosteron akan dapat meningkatkan Brown, J.S., Wessel, H., Chancellor,
M.B., Howards, S.S., Stamm,
ketebalan otot polos korpus
W.E., Stapleton, A.E., Steers,
kavernosum sehingga dapat W.D., Eeden, S.K., McVary,
K.T. 2005. Urologic
memperbaiki fungsi ereksi.
Complications of Diabetes.
Disarankan perlu dilakukan penelitian Diabetes Care; 28: 177-185.
Chandel, A., Dhindsa, S., Topiwala, S.
lebih lanjut terhadap peranan
2008. Testosterone
testosteron dalam memperbaiki Concentrarion in Young Patiens
with Diabetes. Diabetes Care;
disfungsi ereksi yang disebabkan oleh
31: 2013-2017.
karena kerusakan yang terjadi pada Cho, N. H., Ahn, C.W., Park, J.Y.,
Lee H.W., Park, T.S., Kim, I.J.,
korpus kavernosum penis. Pemberian
Pomerauntz, K., Park, C.,
terapi sulih testosteron selalu Kimm, K.C., Choi, D.S. 2005.
Elevated Homocysteine as a
memperhatikan indikasi,
Risk Factor for the
kontraindikasi, dan follow up secara Development of Diabetes in
Women with a Previous History
teratur.
of Gestational Diabetes
Mellitus: a 4-year Prospective
Study. Diabetes Care; 28:
DAFTAR PUSTAKA
2750–2755.
Arver, S. and Lehtihet, M. 2008. Couillard, C., Gagnon, J. 2000.
Testosterone Replacement Contribution of Body Fatness
Therapy. In: Jones,T.H. editor. and Adipose Tissue Distribution
Testosterone Deficiency in Men. to the Age Variation in Plasma
New York: Oxford University Steroid Hormone
Press. p. 71-77. Concentrations in Men: The
Bivalacqua, T.J., Usta, M.F., HERITAGE Family Study. J
Champion, H.C., Kadowitz, Clin Endocrinol Metab; 85:
P.J., Hellstom, W.J.G. 2003. 1026-1031.
Endothelial Dysfunction in
Erectile Dysfunction: Role of Dandona, P., Dhindsa, S., Chandel, A.,
the Endothelium in Erectile Topiwala., S. 2009. Low

75
Testosterone in Men with Type- Kapoor, D., Aldred H., Clarke, S.,
2 Diabetes-a Growing Public Channer, K.S., Jones, T.H.
Health Concern. Diabetes 2007. Clinical and Biochemical
Voice; 54: 27-29. Assessment of Hypogonadism
Greenstein, A., Mabjeesh, N.J., Safer, in Men with Type 2 Diabetes.
M., Kaver, I., Matzkin, H., Diabetes Care; 30: 911–917.
Chen, J. 2003. Does Sildenafil
Combined with Testosterone Kapoor, D., Goodwin, E., Channer,
Gel Improve Erectile K.S., Jones, T.H. 2006.
Dysfunction in Hypogonadal Testosterone Replacement
Men in Whom Testosterone Therapy Improves Insulin
Therapy Alone Failed? J Urol; Resistance, Glycaemic Control,
173: 530–532. Visceral Adiposity and
Guyton, A.C., and Hall, J.E. 2002. Hypercholesterolemia in
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Hypogonadal Men with Tipe-2
(Text Book of Medical Diabetes. European Journal of
Physiology). Alih Bahasa: Endocrinology; 154: 899-906.
Irawati, Tengadi L.M.A.K., Klingmuller, D., Bliesener, N., Haidl,
Santosa, A. Editor Bahasa G. 2006. Hormonal Evaluatio in
Indonesia: Irawati. Edisi 9. Infertility and Sexual
Jakarta: EGC. Dysfunction. In: Schill, W-B.,
Hardiman, D. 2010. Testosteron, Comhaire, F.H., Hargreave,
Obesitas, Sindrom Metabolik, T.B., editors. Andrology for the
dan DM tipe-2. Naskah Clinician. Berlin: Springer-
Lengkap Pertemuan Ilmiah Verlag Berlin Heidelberg. p.
Tahunan Persandi-Pandi. Solo 408-413.
21-24 April. Pangkahila, W. 2005. Disfungsi
Hargreave, T.B. 2006. Problem: Seksual Pria. Jakarta: Yayasan
Sexual Dysfunction. In: Schill, Penerbitan Ikatan Dokter
W-B., Comhaire, F.H., Indonesia.
Hargreave, T.B. editors. Pangkahila, W. 2006. Disfungsi
Andrology for the Clinician. Ereksi. Jakarta: Yayasan
Berlin: Springer-Verlag Berlin Penerbitan Ikatan Dokter
Heidelberg. p 85-113. Indonesia.
Jones, T.H. 2008. Clinical Physiology Park, K., Ku, J.H., Kim, S.W., Paick,
of Testosterone. In: Jones, T.H. J.S. 2005. Risk Factors in
editor. Testosterone Deficiency Predicting a Poor Response to
in Men. New York: Oxford Sildenafil Citrate in Elderly
University Press. p 9-21.

76
Men with Erectile Dysfunction. Yassin, A.A., et al. 2006a. Long-
BJU Int; 95: 366–370. acting Testosterone
Undecanoate for Parenteral
Penson, D.F. and Wessells, H. 2004. Testosterone Therapy. Therapy;
Erectile Dysfunction in Diabetic 3: 709–721.
Patiens. Diabetes Spectrum; 17:
225-230.
Sakka, A.I. and Yassin, A.A. 2010.
Amelioration of Penile Fibrosis:
Myth or Reality. Journal of
Andrology; 31: 324-334.
Selvin, E., Feinleib, N. 2007.
Androgens and Diabetes in
Men: Result from The Third
National Health and Nutrition
Examination Survey (NHNES
III). Diabetes care; 30: 234-
238.
Tsai, E.C., Boyke, E.J. 2000. Low
Serum Testosterone Level as a
Predictor of Increased Visceral
Fat in Javanese-American Men.
Int J Obes Relat Metab Disord;
24: 485-491.

Yassin, A.A. and Saad F. 2007.


Improvement of Sexual
Function in Men with Late
Onset Hypogonadism Treated
with Testosterone Only. J Sex
Med; 4: 497–501.
Yassin, A.A., Saad, F., Deide, H.E.
2006b. Testosterone and
Erectile Function in
Hypogonadal Men
Unresponsive to Tadalafil:
Results from an Openlabel
Uncontrolled Study.
Andrologia; 38: 61–68.

77

Anda mungkin juga menyukai