Anda di halaman 1dari 13

Artikel Review

Efek Penuaan pada Sistem Endokrin Reproduksi Laki-Laki

Disusun oleh :
Elvira Rahma Karmeilia (18711107)
Fadila Natasya Tahir (18711138)
Kelompok Tutorial 5
Tutor : dr. Anisa Rachmawati

Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Indonesia
2018/2019
PENDAHULUAN

Proses penuaan adalah akumulasi progresif perubahan irreversible seiring


dengan bertambahnya usia pada semua organisme eukariotik di tingkat sel, molekul,
jaringan, organ, dan sistem organ. Penuaan juga mempengaruhi kapasitas reproduksi
pada wanita dan pria yang menurun seiring bertambahnya usia. Dibandingkan dengan
wanita, penurunan kapasitas reproduksi pria pada usia lanjut lebih rendah dan mampu
memiliki anak sepanjang umur mereka (Gunes et al., 2019).

Andropause atau sindrom kekurangan testosteron (TDS) adalah salah satu


masalah yang sering terjadi pada pria usia lanjut. Manifestasi klinis akibat penurunan
kadar testosteron mempengaruhi kinerja banyak sistem tubuh (Abootalebi, Kargar &
Sharifi, 2019). Selain penurunan kadar testosteron, perubahan morfologi testis juga
merupakan salah satu efek penuaan pada sistem reproduksi pria. Namun, perubahan
struktur dan fisiologis sistem reproduksi pada pria usia lanjut belum dapat dipahami
dengan baik bagaimana meningkatnya usia seorang pria dapat memengaruhi
kemungkinan kehamilan atau risiko bayi lahir mengalami kelainan (Gunes et al.,
2019).

Artikel ini bertujuan untuk membahas mengenai efek penuaan pada sistem
reproduksi pria. Sistematika pembahasan akan dimulai dengan memaparkan ulasan
ulasan singkat mengenai sistem reproduksi pria dan funginya, ulasan singkat
mengenai penuaan pada sistem reproduksi pria, dan terakhir membahas mengenai
kaitan antara keduanya.
ISI

1. Proses Penuaan

Penuaan pada manusia menyebabkan hilangnya kompleksitas dalam berbagai


proses fisiologis dan struktur anatomi yang pada akhirnya menyebabkan penurunan
fungsi tubuh, rentan terhadap penyakit dan kematian. Proses penuaan berlangsung
tidak hanya pada tingkat seluler dan molekuler, tetapi juga pada jaringan dan sistem
organ (Gunes et al., 2019). Terdapat banyak teori mengenai proses penuaan yang
terjadi pada manusia. Beberapa teori tersebut adalah teori “pakai dan rusak” (wear
and tear theory), teori radikal bebas dan teori neuroendokrin.

Wear and tear theory menjelaskan bahwa proses penuaan adalah akumulasi
kerusakan akibat pembersihan tidak sempurna dari bahan yang rusak secara oksidatif
didalam tubuh manusia. Akumulasi tersebut akhirnya menghambat fungsi katabolik
dan anabolik seluler. Misalnya akumulasi lipofuscin pada lisosom (De & Ghosh,
2017).

Teori radikal bebas menjelaskan bahwa penuaan terjadi karena akumulasi


radikal bebas yang menyebabkan kerusakan pada sel-sel tubuh. Species oxygen
reactive (ROS) dihasilkan oleh mitokondria sebagai produk sampingan selama proses
transpor elektron. ROS terdiri dari superoxide ( O2-), hidrogen peroksida (H2O2), dan
radikal hidroksil (OH). Radikal bebas ini dapat merusak mitokondria dan selanjutnya
mengurangi efisiensi rantai transpor elektron dan menghasilkan kerusakan oksidatif
mitokondria. Molekul didalam tubuh yang dapat dirusak oleh radikal bebas ini ialah
DNA, lemak, dan protein. Dengan bertambahnya usia, maka akumulasi kerusakan sel
akibat radikal bebas semakin bertambah, sehingga menggangu metabolisme sel,
merangsang mutasi sel yang pada akhirnya menyebabkan kanker dan kematian
(Ziegler & Wiley, 2019).
Sistem neuroendokrin mengacu pada hubungan antara struktur kompleks di
otak, sistem saraf dan kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon. Hipotalamus
menghasilkan hormon yang akan menstimulasi dan menghambat kelenjar hipofisis.
Setelah dirangsang, sel-sel pada kelenjar hipofisis akan mengeluarkan hormon ke
dalam sirkulasi. Hormon yang dilepas akan menuju ke sel target di hati, ovarium,
testis, kelenjar adrenal, dan kelenjar tiroid. Sel-sel terget tersebut akan menghasilkan
hormon yang pada akhirnya mempengaruhi proses fisiologis tubuh. Seiring
bertambahnya usia, sistem ini menjadi kurang fungsional, hal tersebut dapat
menyebabkan perubahan fisiologis tubuh (De & Ghosh, 2017).

Perubahan yang terjadi seiring bertambahnya usia diantaranya adalah


pankreas melepaskan insulin lebih lambat, dan sensitivitas reseptor terhadap glukosa
menurun. Akibatnya kadar glukosa darah pada orang tua meningkat lebih cepat dan
kembali ke normal lebih lambat daripada orang yang lebih mudah. Selain menurunya
produksi hormon pankreas, terjadi penurunan juga pada produksi human growth
hormone oleh kelenjar hypofisis anterior. Hal tersebut merupakan salah satu
penyebab atrofi otot karena proses penuaan (Tortora & Derrickson, 2011)

2. Sistem Reproduksi pria

Organ-organ sistem reproduksi pria mencakup testis, sistem duktus (termasuk


epididimis, duktus deferens, duktus ejakulatorius, dan uretra), kelenjar seks
aksesorius (vesikula seminalis, prostat, dan kelenjar bulbouretra), dan beberapa
struktur penunjang, termasuk skrotum dan penis. Testis menghasilkan sperma dan
menyekresikan hormon. Sistem duktus mengangkut dan menyimpan sperma,
membantu pematangannya, dan menyalurkan sperma ke ekterior. Semen (air mani)
mengandung sperma dan berbagai sekresi yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar seks
aksesorius. Struktur penunjang memiliki beragam fungsi. Penis menyalurkan sperma
ke saluran reproduksi wanita dan skrotum menunjang testis (Tortora & Derrickson,
2011)
Testis sebagai organ penghasil sperma, tergantung di luar rongga abdomen
dalam suatu kantong berlapis kulit yang disebut skrotum. Skrotum berada di dalam
sudut antara kedua tungkai. Penyaluran sperma ke saluran reproduksi wanita bersama
suatu cairan pembawa yang disebut semen yang disekresikan oleh kelenjar seks
tambahan pria yang terdiri dari vesikula seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar
bulbouretra (Sherwood, 2010).

Sperma yang dihasilkan kemudian dialirkan ke epididimis. Epididimis


bermuara ke dalam duktus (vas) deferens, yang membesar menjadi ampula vas
deferens tepat sebelum vas deferens memasuki korpus kelenjar prostat. Dua vesikula
seminalis yang terletak di sebelah prostat bermuara ke dalam ujung prostat ampula
kemudian dari ampula masuk ke duktus ejakulatorius menuju korpus kelenjar prostat
dan bermuara ke dalam uretra pars interna. Duktus ejakulatorius juga merupakan
muara dari kelenjar prostat dan kemudian ke uretra pars prostatika. Uretra adalah
saluran penghubung terakhir testis dengan dunia luar yang disuplai dengan mukus.
Mukus tersebut berasal dari sejumlah besar kelenjar yang terletak di sepanjang uretra.
saluran uretra berjalan di sepanjang penis mengosongkan isinya ke ekterior (Guyton,
2011).

Gambar 1. Organ reproduksi pada pria (Tortora & Derrickson, 2011)


3. Penuaan pada Sistem Reproduksi Pria

Penuaan pada organ reproduksi pria tidak lepas dari pengaruh penurunan
kadar hormon yang salah satunya adalah penurunan kadar growth hormone (GH)
sebagai akibat penurunan fungsi aksis hipothalamus-hypofisis-testis yang
menyebabkan yaitu penurunan jumlah sel spermatogenesis, sel leydig dan sel sertoli.
Penurunan kadar GH pada lansia memberikan efek pada aksis hipotalamus-hipofisis,
sehingga testis mengalami perubahan histologi dan munculnya gangguan lain terkait
reproduksi yaitu penurunan jumlah sel spermatogenesis, sel leydig dan sel sertoli
(Bartke, 2018)

Seiring bertambahnya usia, terjadi perubahan degeneratif pada


hipothalamus dan testis yang menyebabkan terjadinya hipogonadisme pada pria.
Respon regulasi meningkatnya kadar LH yang akan diikuti dengan menurunnya kadar
testosteron (Gunes et al., 2019). Meningkatnya kadar LH membuat jumlah reseptor
LH berkurang. Fenomena ini disebut regulasi turun yang membuat sel target kurang
sensitif terhadap hormon (Tortora & Derrickson, 2011). Penurunan kadar hormon
testosteron juga disebabkan karena berkurangnya sejumlah besar sel leydig,
penurunan perfusi testis dan penurunan sekresi GnRH (Gunes et al., 2019)

Perubahan morfologi testis adalah salah satu efek penuaan pada sistem
reproduksi pria. Volume testis cenderung meningkat antara 11 sampai 30 tahun, tetap
konstan pada usia 30 sampai 60 tahun, dan menurun secara bertahap setiap tahun
setelah usia 60 tahun. Metabolisme testis meningkat antara 11 sampai 40 tahun, dan
secara bertahap menurun antara usia 40 sampai 90 tahun. Selama proses penuaan,
ketebalan tunika propria basal membran tubuli seminiferus meningkat sedangkan
epitel seminiferus berkurang yang mengakibatkan tubulus menyempit. Penurunan
tubulus seminiferus ditandai dengan penurunan jumlah sel sertoli dan sel germinal.
Sel-sel germinal yang abnormal difagositasi oleh sel sertoli yang menyebabkan
vakuolisasi di sitoplasma sel sertoli. Perubahan ini memicu fibrosis testis.
Perkembangan fibrosis testis seiring dengan bertambahnya usia menyebabkan
gangguan suplai darah yang dapat memicu atrofi testis (Gunes et al., 2019)

Terdapat berbagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan penuaan


pada pria yaitu menopause pria, klimaterik pria, viropause, defisiensi androgen pada
pria menua (ADAM) defisiensi androgen parsial pada pria yang menua (PADAM),
hipogonadisme onset lambat (LOH), hipogonadisme onset lambat gejala (SLOH) dan
sindrom kekurangan testosteron (TDS). Testosteron adalah hormon androgen yang
bertanggung jawab terhadap karakteristik primer dan sekunder seorang pria.
Penurunan kadar testosteron menyebabkan perubahan seksual, fungsi psikologis dan
komposisi tubuh. Perubahan-perubahan tersebut mencakup perubahan suasana hati,
depresi, ingatan dan konsentrasi yang buruk, mudah marah, kesulitan tidur, hilangnya
libido, disfungsi ereksi, berkurangnya massa dan kekuatan otot, muka memerah, dan
keringat berlebih. Beberapa penelitian menunjukan bahwa perubahan tersebut
berhubungan dengan osteoporosis, penyakit kardovaskular dan andropause
(Abootalebi, Kargar & Sharifi, 2019).

Sekresi testosteron dan spermatogenesis dimulai saat pubertas dan akan


berlanjut seumur hidup, meskipun efisiensi testis secara bertahap turun setelah usia
45 hingga 50 tahun. Namun, pria pada usia 70-an dan sesudahnya dapat terus
menikmati kehidupan seks aktif, dan sebagian bahkan menjadi ayah pada usia setua
ini. Penurunan gradual kadar testosteron dalam darah dan produksi sperma tidak
disebabkan oleh penurunan stimulasi testis, tetapi mungkin karena perubahan
degeneratif yang berkaitan dengan penuaan yang terjadi di pembuluh-pembuluh darah
testis. Penurunan bertahap ini sering disebut "menopause pria" atau "andro-pause",
meskipun tidak sama dengan menopause pada wanita, yang telah diprogramkan
sebelumnya dan menyebabkan berakhirnya kemampuan reproduksi secara utuh dan
mendadak. Istilah terkini yang lebih tepat untuk menggambarkan penurunan
androgen pada pria adalah androgen deficiency in aging males (ADAM) (Sherwood,
2010)

Andropause adalah sindrom kekurangan hormon testosteron (TDS) yang


mempengaruhi banyak kinerja tubuh. Penurunan kadar testosteron bervariasi antara
satu individu dengan individu lainnya dan biasanya tidak sampai menimbulkan
hipogonadisme berat. Andropause dapat terjadi karena dua faktor yaitu faktor internal
yang mencakup perubahan hormonal, genetik maupun karena penyakit tertentu dan
faktor eksternal yang berasal dari lingkungan dan gaya hidup misalnya merokok dan
pola makan yang tidak seimbang (Abootalebi, Kargar & Sharifi, 2019). Pada pria
yang mengalami obesitas, menderita penyakit kronis, dan mengonsumsi obat-obatan,
penurunan konsentrasi testosteron ini lebih besar dibandingkan dengan pria yang
sehat. Tingkat penururunan testosteron pada usia tua bergantung pada level kerusakan
aksis hipotalamus-pitutitari-testis yaitu sekresi dari GnRH dilemahkan, respon LH
terhadap GnRH berkurang, dan respon testis terhadap LH terganggu. kenaikan LH
secara bertahap pada penuaan menunjukkan bahwa disfungsi testis merupakan
penyebab utama penurunan kadar androgen, karena bila sel testis terpajan konsentrasi
tinggi luteinizing hormone (LH), jumlah reseptor LH berkurang. (Jameson, 2010).

Survei epidemiologi menunjukkan kadar rendah testosteron yang tersedia


berkaitan dengan penurunan massa dan kekuatan otot rangka appendicular,
penurunan fungsi fisiologis tubuh, massa lemak visceral yang lebih tinggi, resistensi
insulin (keadaan dimana sel-sel tubuh tidak dapat menggunakan gula darah dengan
baik karena terganggunya respon sel tubuh terhadap insulin), dan peningkatan resiko
terkana penyakit arteri koroner, bahkan kematian, walaupun kaitannya lemah.
Analisis pada tanda-tanda dan gejala pada pria lansia di European Male Aging Study
mengungkapkan asosiasi sindrom pada gejala seksual terbukti dengan kadar
testosteron dibawah 320 ng/dL dan testosteron yang beredar dalam darah dibawah 64
pg/mL. Diperkirakan 7% pria berusia 40-60 tahun hadir dengan konsentrasi
testosteron total serum kurang dari 12 nmol / l (3,5 ng / ml), meningkat menjadi 21%
pada usia 60-80 tahun dan 35% pria berusia 80 tahun atau lebih (Jameson, 2010).

Setelah pubertas, hormon gonadotropin dihasilkan oleh kelenjar hipofisis laki-


laki seumur hidup, dan setidaknya sebagian spermatogenesis biasanya berlanjut
sampai ajal tiba. Akan tetapi, kebanyakan laki-laki mulai menunjukkan penurunan
lambat fungsi seks pada akhir usia 50-an atau 60-an, dan suatu penelitian
menunjukkan bahwa usia rata-rata berakhirnya hubungan seks adalah 68 tahun,
walaupun terdapat variasi yang sangat besar. Penurunan fungsi seks yang disebut
klimakterium laki-laki. Kadang-kadang, klimakterium pada laki-laki berkaitan dengan
gejala rasa kepanasan, rasa tercekik, dan gangguan psikis yang serupa dengan gejala
menopause pada perempuan . Gejala-gejala ini dapat dihilangkan dengan pemberian
testosteron, androgen sintetik, atau bahkan estrogen yang digunakan untuk mengobati
gejala-gejala menopause pada perempuan (Guyton, 2011).

Pembesaran prostat terjadi pada sebagian besar pria berusia di atas 60 tahun.
Keadaan ini disebut benign prostatic hyperplasia (BPH). BPH mengurangi ukuran
uretra pars prostatika dan ditandai oleh sering berkemih, nukturia (mengompol), urine
tersendat, berkurangnya kekuatan semburan urine dan perasaan tidak lampias
(Tortora & Derrickson, 2011).

BPH adalah suatu kondisi yang sangat lazim pada pria dewasa dan penuaan,
yang mempengaruhi 42% pria pada dekade kelima hingga hampir 90% pada pria
yang lebih tua dari 80 tahun (Corona et al., 2014).

Hipogonadisme onset lambat (LOH) merupakan entitas klinis yang umum di


kalangan pria lanjut usia. Gejala seksual yang khas ini menunjukkan kekurangan
androgen terdiri dari hilangnya libido, penurunan ereksi spontan dan disfungsi ereksi.
LOH mungkin dikaitkan dengan sejumlah penyebab, diantaranya penurunan jumlah
sel leydig, berkurangnya respons sel leydig terhadap gonadotropin (LH, FSH),
penurunan aliran darah testis, kelelahan hipotalamus-hipofisis yang menyebabkan
perubahan pola pelepasan LH, serta faktor eksternal seperti gangguan sistemik, obat-
obatan, lingkungan, dan gaya hidup (Dimopoulou et al., 2016).

Androgen memainkan peran penting dalam pengembangan dan pertumbuhan


seluruh saluran genital pria dan khususnya prostat, merangsang diferensiasi dan
proliferasi baik dari kompartemen epitel dan stroma kelenjar. Androgen bertindak
melalui aktivasi reseptor androgen yang terdapat dalam sel stroma dan sel epitel.
Laki-laki yang kekurangan androgen menunjukkan hemoglobin yang lebih rendah,
kecepatan berjalan yang lebih lambat dan kesehatan umum yang lebih buruk,
sedangkan LOH parah dikaitkan dengan lingkar pinggang yang lebih besar, resistensi
insulin dan sindrom metabolik. Kehilangan libido merupakan gejala hipogonadisme
pria yang paling spesifik, sebagian besar terjadi di bawah 15 atau 12 nmol / l (4,3-3,5
ng / ml), sementara gejala lainnya (misalnya, kelemahan dan / atau hilangnya massa
otot) berhubungan dengan konsentrasi testosteron total sirkulasi yang jauh lebih
rendah (<5,2-6,9 nmol / l atau <1,5-2,0 ng / ml) (Dimopoulou et al., 2016).

Penuaan juga berdampak pada volume semen yang secara bertahap


berkurang setelah usia 45 tahun karena penurunan fungsional kelenjar sekretoris.
Selain itu, morfologi sperma, volume sperma dan molilitas sperma juga berkurang
seiring bertambahnya usia. Selain penurunan tersebut, penuaan juga menyebabkan
stres oksidatif karena akumulasi ROS dalam sel germinal dari waktu ke waktu. Stres
oksidatif pada spermatozoa menginduksi peroksidasi lipid dan menghasilkan ROS
lebih lanjut. Jumlah berlebihan ROS menyebabkan penurunan kapasitas antioksidan
dalam proses penuaan sehingga menyebabkan kerusakan oksidatif untuk DNA. Jika
tidak diperbaiki, DNA ayah yang rusak secara oksidatif tersebut dapat menyebabkan
penyakit pada keturuanannya (Gunes et al., 2019).
KESIMPULAN

Penuaan adalah proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk


memperbaiki dan mengganti sel yang rusak serta mempertahankan struktur dan
fungsi normalnya. Penuaan memberikan banyak efek bagi tubuh, salah satunya
adalah pada sistem reproduksi pria. Penuaan pada sistem reproduksi pria lebih samar
dibandingkan pada sistem reproduksi wanita, karena pria mampu menghasilkan
sperma ketika menua walaupun terjadi perubahan dan penurunan struktur pada organ
reproduksinya. Penurunan tersebut dintaranya adalah penurunan jumlah sel
spermatogenesis, sel leyding dan sel sertoli. Penuaan pada organ reproduksi pria juga
tidak lepas dari pengaruh penurunan kadar hormon, salah satunya pada aksis
hipothalamus-hypofisis-testis yang menyebabkan menurunnya sekresi GnRH,
meningkatnya sekresi LH dan menurunnya kadar testosteron yang dapat
menyebabkan timbulnya berbagai penyakit. Hal ini dapat diatasi dengan terapi
penggantian testosteron yang menurut penelitian telah terbukti memberikan manfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Abootalebi, Maliheh, Marzieh Kargar, and Alireza Amin Sharifi. 2019. “Knowledge
and Attitude about Andropause Among General Physicians in Shiraz , Iran
2014.” 4(1):27–35.

Bartke, Andrzej. 2018. “Growth Hormone and Aging: Updated Review.” The World
Journal of Men’s Health 37(1):19.

Corona, Giovanni, Linda Vignozzi, Giulia Rastrelli, Francesco Lotti, Sarah Cipriani,
and Mario Maggi. 2014. “Benign Prostatic Hyperplasia: A New Metabolic
Disease of the Aging Male and Its Correlation with Sexual Dysfunctions.”
International Journal of Endocrinology 2014:1–14.

De, Abhijit and Chandan Ghosh. 2017. “Basics of Aging Theories and Disease
Related Aging-an Overview.” Abhijit De, Chandan Ghosh 5(2):16–23.

Dimopoulou, Christina, Iuliana Ceausu, Herman Depypere, Irene Lambrinoudaki,


Alfred Mueck, Faustino R. Pérez-lópez, Margaret Rees, Yvonne T. Van Der
Schouw, Levent M. Senturk, Tommaso Simonsini, John C. Stevenson, Petra
Stute, and Dimitrios G. Goulis. 2016. “Maturitas EMAS Position Statement :
Testosterone Replacement Therapy in the Aging Male.” 84:94–99.

Gunes, Sezgin, Gulgez Neslihan, Taskurt Hekim, Mehmet Alper Arslan, and
Ramazan Asci. 2019. “Effects of Aging on the Male Reproductive System The
Effect of Aging on Sexual Organs.” 33(4):441–54.

Guyton, A. C., Hall, J. E. 2011. Textbook of Medical Physiology (12th ed.).


Philadelphia : WB Saunders Company.

Jameson, J. L., 2010. HARRISON’S Endocrinology(2nd ed.). New York: McGraw-


Hill Medical.
Mescher AL. 2012. Junqueira’s Basic Histology Book & Atlas 12th.

Sherwood, Lauralee. 2010. S EVEN TH ED I TI O N From Cells to System.

Tortora, G. J., Derrickson, B. 2011. Principles of Anatomy & Physiology:


Organization, Support and Movement, and Control Systems of The Human Body
(13th ed.) Brahm, 0. 2014 (Alih Bahasa). Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai