Anda di halaman 1dari 18

CSS KOLESTEATOMA

Disusun oleh:
M. Ozza Alhuda Eusman 1815133
Adra Taufiqah 1815163
Hanan Aulalia 1815164
Imam Godly Alam 1815157
Elisabeth Duwi Putri S. 1815132

Pembimbing:
dr. Hiro Salomo Mangape, Sp. THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA


SMF THT-KL RUMAH SAKIT IMMANUEL
BANDUNG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Kolesteatoma telah diakui selama puluhan tahun sebagai lesi destruktif dasar tengkorak
yang bisa mengikis dan menghancurkan struktur penting dalam tulang temporal. Kolesteatoma
berpotensi untuk menyebabkan komplikasi pada sistem saraf pusat (misalnya, abses
otak,meningitis) membuat lesi ini bersifat fatal.
Kolesteatoma pertama kali dijelaskan pada tahun 1829 oleh Cruveilhier, tetapi
dinamakan pertama kali oleh Muller pada tahun 1858. Sepanjang paruh awal abad ke-20,
kolesteatoma dikelola dengan eksteriorasi. Sel pneumatisasi mastoid dieksenterasi, dinding
posterior kanalis akustikus eksternus dihilangkan, dan membuka saluran telinga sehingga
menghasilkan rongga yang diperbesar untuk menjamin pertukaran udara yang memadai dan
untuk memudahkan melakukan inspeksi visual.1
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, sebuah pendekatan baru diperkenalkan oleh William
dan Howard Otologic DPR Medical Group . Bedah anatomi wajah digambarkan dan dijelaskan
oleh William House, MD, seorang perintis ahli penyakit telinga dari abad ke-20. Operasi
melalui reses wajah menghasilkan akses ke telinga tengah melalui tulang mastoid tanpa
menghapus dinding kanal posterior. Dengan teknik ini, kolesteatoma dapat dihilangkan tanpa
menghancurkan dinding kanal posterior.1
Seiring waktu, semakin banyak ahli bedah berusaha untuk membiarkan dasar-dasar
struktur anatomi telinga dan tulang temporal tetap utuh dengan menjaga keutuhan dinding
kanal. Paham yang berupaya untuk menjaga anatomi di dekat telinga tetap normal mengundang
kontroversi besar. Para ahli bedah cenderung untuk memilih antara teknik lama canal wall-
down atau filosofi baru yaitu, canal wall-up.
Selama dua dekade terakhir, sebagian besar ahli bedah otologi mengambil jalan tengah.
Kebanyakan ahli bedah otologi di Amerika Serikat sekarang melakukan kedua teknik tersebut,
memilih satu atau yang lain dari operasi ini tergantung pada keadaan individual pasien masing-
masing.
BAB II

ANATOMI TELINGA

Auris (telinga) dibedakan atas bagian luar, tengah, dan dalam. Auris berfungsi ganda :
untuk keseimbangan dan untuk pendengaran. Membrana tymphanica memisahkan auris
externa dari auris media atau cavum tymphani. Tuba auditiva (tuba Eustachius)
menghubungkan auris dengan nasopharynx.

Gambar 1. Anatomi Telinga

Telinga Tengah

Auris media terletak di dalam pars petrosa ossis temporalis. Auris media terdiri dari
cavitas tymphanica, yakni rongga yang terletak langsung di sebelah dalam membrana
tymphanica, dan recessuss epitymphanicus. Ke depan auris media berhubungan dengan
nasopharynx melalui tuba auditiva. Ke arah poterosuperior cavitas tympanica berhubungan
dengan cellulae mastoidea melalui antrum mastoideum. Cavitas tympanica dilapisi membran
mukosa yang bersinambungan dengan membran mukosa pelapis tuba auditiva, cellulae
mastoidea, dan antrum mastoideum. Di dalam auris media terdapat :

 Ossicula auditoris (malleus, incus, stapes)


 Musculus stapedius dan musculus tensor tympani

3
 Chorda tympani, cabang nervus cranialis VII
 Plexus tympanicus pada promontorium

Dinding-dinding Auris Media (Cavum Tympanica)


Auris media yang berbentuk seperti kotak sempit, memiliki sebuah atap, sebuah dasar,
dan empat dinding. Atapnya (dinding tegmental) dibentuk oleh selembar tulang yang tipis,
yaitu tegmen tympani, yang memisahkan
cavum tympanica dari dura pada dasar fossa
cranii media. Dasarnya (dinding jugular)
dibentuk oleh selapis tulang yang
memisahkan cavum tympanica dari bulbus
superior vena jugularis interna. Dinding
lateral (bagian berupa selaput) dibentuk
hampir seluruhnya oleh membrana
tympanica; di sebelah superior, dinding ini
dibentuk oleh dinding lateral recessus
epitympanicus yang berupa tulang
(manubrium mallei terbaur dalam membrana
tympanica, dan caput mallei menonjol ke
dalam recessus epitympanicus).
Gambar 2. Kavum Tympani
Dinding medial atau dinding
labirintal memisahkan cavitas tympanica dari auris interna. Dinding anterior (dinding karotid)
memisahkan cavitas tympanica dari canalis carotis, pada bagian superior dinding ini terdapat
ostium pharyngeum tubae auditoriae dan terusan musculus tensor tympani. Dinding posterior
(dinding mastoid) dihubungkan dengan antrum mastoid melalui aditus dan selanjutnya dengan
cellulae mastoideus; ke arah anteroinferior antrum mastoideum berhubungan dengan canalis
facialis.
Tuba Auditiva (tuba Eustachius)
Tuba auditiva menghubungkan cavitas tympanica dengan nasopharynx; muaranya
disini terdapat di bagian belakang meatus nasalis inferior pada cavum nasi. Bagian sepertiga
posterior tuba auditiva terdiri dari tulang dan sisanya berupa tulang rawan. Tuba auditiva
dilapisi membran mukosa yang ke posterior sinambung dengan membran mukosa
nasopharynx. Tuba auditiva berfungsi sebagai pemerata tekanan dalam auris media dan
tekanan udara lingkungan, dan dengan demikian menjamin bahwa membran tympani dapat

4
bergerak secara bebas. Dengan memungkinkan udara memasuki dan meninggalkan cavum
tympani, tekanan di kedua sisi membran tympani disamakan.
Ossicula Auditoria
Ossicula auditoria (malleus, incus, dan stapes) membentuk sebuah rangkaian tulang
yang teratur melintang di dalam cavitas tympanica, dari membranan tympanica ke fenestra
vestibuli. Malleus melekat pada membran tympani, dan stapes menempati fenestra vestibuli.
Incus terdapat di antara dua tulang tersebut dan bersendi dengan keduanya. Ossicula auditoria
dilapisi membran mukosa yang juga melapisi cavum tympani.
Bagian superior malleus yang agak membulat, yakni caput mallei, terletak di dalam
recessus epitympanicus. Collum mallei terdapat pada bagian membran tympani yang kendur,
dan manubrium mallei tertanam di dalam membran tympani dan bergerak bersamanya. Caput
mallei bersendi dengan incus, dan tendo musculus tensor tympani berinsersi pada manubrium
mallei. Chorda tympani menyilang permukaan medial collum mallei.
Corpus incudis yang besar, terletak di dalam recessus epitympanicus dan disini bersendi
dengan caput mallei. Crus longum incudis bersendi dengan stapes, dan crus breve incudis
berhubungan dengan dinding posterior cavum tympani melalui sebuah ligamentum. Basis
stapedis, tulang pendengar terkecil, menempati fenestra vestibuli pada dinding medial cavum
tympani. Capur stapedis yang mengarah ke lateral, bersendi dengan incus.
Malleus berfungsi sebagai pengungkit yang lengan panjangnya melekat pada membran
tympani. Basis stapedis berukuran jauh lebih kecil daripada membran tympani. Akibatnya ialah
bahwa gaya getar stapes 10 kali gaya getar membran tympani. Maka, ossicula auditoris
meningkatkan gaya getaran, tetapi menurunkan amplitudi getaran yang disalurkan dari
membran tympani.
Terdapat dua otot menggerakkan ossicula auditoris dan dengan demikian
mempengaruhi membran tympani, yaitu : musculus tensor tympani dan musculus stapedius.
Musculus tensor tympani berinsersi di manubrium mallei dipersarafi oleh nervus
mandibullaris, menarik manubrium mallei ke medial, menegangkan membran tympani, dan
mempersempit amplitudo getarannya. Ini cenderung mencegah terjadinya kerusakan pada auris
interna sewaktu harus menerima bunyi yang keras. Musculus stapedius berinsersi di collum
stapedis dipersarafi oleh nervus cranialis VII, menarik stapes ke posterior dan menjungkitkan
basis stapedis pada fenestra vestibuli, dan dengan demikian menarik ketat ligamentum annulare
stapediale dan memperkecil amplitudo getaran. Otot ini juga mencegah terjadinya gerak stapes
yang berlebih.

5
BAB III

KOLESTEATOMA

Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma bertambah besar. Istilah
kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johannes Muller pada tahun 1838 karena disangka
kolesteatoma merupakan suatu tumor, yang kemudian ternyata bukan. Beberapa istilah lain
yang diperkenalkan oleh para ahli antara lain : keratoma (Schucknecht), squamos eipteliosis
(Birrel, 1958), kolesteatosis (Birrel, 1958), epidermoid kolesteatoma (Friedman, 1959), kista
epidermoid (Ferlito, 1970), epidermosis (Sumarkin, 1988).3
Kolesteatoma terdiri dari epitel skuamosa yang terperangkap di dalam basis cranii.
Epitel skuamosa yang terperangkap di dalam tulang temporal, telinga tengah, atau tulang
mastoid hanya dapat memperluas diri dengan mengorbankan tulang yang mengelilinginya.
Akibatnya, komplikasi yang terkait dengan semakin membesarnya kolesteatoma adalah
termasuk cedera dari struktur-struktur yang terdapat di dalam tulang temporal. Kadang-kadang,
kolesteatomas juga dapat keluar dari batas-batas tulang temporal dan basis cranii. Komplikasi
ekstrarempotal dapat terjadi di leher, sistem saraf pusat, atau keduanya. Kolesteatomas kadang-
kadang menjadi cukup besar untuk mendistorsi otak normal dan menghasilkan disfungsi otak
akibat desakan massa.1
Erosi tulang terjadi oleh dua mekanisme utama. Pertama, efek tekanan yang
menyebabkan remodelling tulang, seperti yang biasa terjadi di seluruh kerangka apabila
mendapat tekanan (desakan) secara konsisten dari waktu ke waktu. Kedua, aktivitas enzim
pada kolesteatoma dapat meningkatkan proses osteoklastik pada tulang, yang nantinya akan
meningkatkan kecepatan resorpsi tulang. Kerja enzim osteolitik ini tampaknya meningkat
apabila kolesteatoma terinfeksi.

Epidemiologi
Insiden kolesteatoma tidak diketahui, tetapi kolesteatoma merupakan indikasi yang
relatif sering pada pembedahan otologi (kira-kira setiap minggu di praktek otologi tersier).
Kematian akibat komplikasi intrakranial dari kolesteatoma sekarang jarang terjadi, yang
berkaitan dengan diagnosis dini, intervensi bedah tepat waktu, dan terapi antibiotik yang

6
adekuat. Akan tetapi kolesteatomas tetap menjadi penyebab umum relatif tuli konduktif sedang
pada anak-anak dan orang dewasa.1

Patogenesis dan Klasifikasi


Banyak teori dikemukakan oleh para ahli tentang patogenesis kolesteatoma, antara lain
adalah : teori invaginasi, teori migrasi, teori metaplasi dan teori implantasi. Teori tersebut akan
lebih mudah dipahami bila diperhatikan definisi kolesteatoma menurut Gray (1964) yang
mengatakan : kolesteatoma adalah epitel kulit yang berada pada tempat yang salah. Epitel kulit
liang telinga merupakan suatu daerah cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat di
liang telinga dalam waktu yang lama, maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen
tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.3
Kolesteatoma dapat dibagi atas dua jenis menurut etiologinya :

1. Kolesteatoma kongenital1,3
Kolesteatoma kongenital terbentuk sebagai akibat dari epitel skuamosa
terperangkap di dalam tulang temporal selama embriogenesis, ditemukan pada telinga
dengan membran tympani utuh tanpa ada tanda-tanda infeksi. Lokasi kolesteatoma
biasanya di mesotimpanum anterior, daerah petrosus mastoid atau di cerebellopontin
angle. Kolesteatoma di cerebellopontin angle sering ditemukan secara tidak sengaja
oleh ahli bedah saraf.
Penderita sering tidak memiliki riwayat
otitis media supuratif kronis yang
berulang, riwayat pembedahan otologi
sebelumnya, atau perforasi membran
timpani. Kolesteatoma kongenital paling
sering diidentifikasi pada anak usia dini (6
bulan – 5 tahun). Saat berkembang,
kolesteatom dapat menghalangi tuba
Gambar 3. Kolesteatoma kongenital. Tampak massa
putih di belakang membran tympani yang intak estachius dan menyebabkan cairan telinga
tengah kronis dan gangguan pendengaran
konduktif. Kolesteatom juga dapat meluas ke posterior hingga meliputi tulang-tulang
pendengaran dan, dengan mekanisme ini,
menyebabkan tuli konduktif.

7
2. Kolesteatoma akuisital, jenis ini terbagi dua :
a. Kolesteatoma akuisital primer
Kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membrana
tymphani. Kolesteatoma timbul akibat proses invaginasi dari membran
tymphani pars flaksida karena adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat
gangguan tuba (Teori Invaginasi).
Kolesteatoma akuisital primer
timbul sebagai akibat dari retraksi membran timpani. Kolesteatoma akuisital
primer klasik berawal dari retraksi pars flaksida di bagian medial membran
timpani yang terlalu dalam sehingga mencapai epitimpanum. Saat proses ini
berlanjut, dinding lateral dari
epitympanum (disebut juga skutum)
secara perlahan terkikis,
menghasilkan defek pada dinding
lateral epitympanum yang perlahan
meluas. Membran timpani terus yang
mengalami retraksi di bagian medial
sampai melewati pangkal dari tulang-
Gambar 4. Kolesteatoma pada daerah atik.
tulang pendengaran hingga ke Merupakan kolesteatoma akuisital primer
pada stadium paling awal
epitympanum posterior. Destruksi
tulang-tulang pendengaran umum terjadi. Jika kolesteatoma meluas ke posterior
sampai ke aditus ad antrum dan tulang mastoid itu sendiri, erosi tegmen mastoid
dengan eksposur dura dan/atau erosi kanalis semisirkularis lateralis dapat terjadi
dan mengakibatkan ketulian dan vertigo.
Kolesteatoma akuisital primer tipe kedua terjadi apabila kuadran
posterior dari membran timpani mengalami retraksi ke bagian posterior telinga
tengah. Apabila retraksi meluas ke medial dan posterior, epitel skuamosa akan
menyelubungi bangunan-atas stapes dan membran tympani terteraik hingga ke
dalam sinus timpani. Kolesteatoma primer yang berasal dari membran timpani
posterior cenderung mengakibatkan eksposur saraf wajah (dan kadang-kadang
kelumpuhan) dan kehancuran struktur stapes.

b. Kolesteatoma akuisital sekunder3,4

8
Merupakan kolesteatoma yang terbentuk setelah adanya perforasi
membran tympani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat masuknya epitel kulit
dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran tympani ke telinga tengah
(Teori Migrasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum tymphani karena
iritasi infeksi yang berlangsung lama ( Teori Implantasi).
Kolesteatoma akuisital sekunder terjadi sebagai akibat langsung dari
beberapa jenis cedera pada membran timpani. Cedera ini dapat berupa perforasi
yang timbul sebagai akibat dari otitis media akut atau trauma, atau mungkin
karena manipulasi bedah pada gendang telinga. Suatu prosedur yang sederhana
seperti insersi tympanostomy tube dapat mengimplan epitel skuamosa ke telinga
tengah, yang akhirnya menghasilkan kolesteatoma. Perforasi marginal di bagian
posterior adalah yang paling mungkin menyebabkan pembentukan
kolesteatoma. Retraksi yang mendalam dapat menghasilkan pembentukan
kolesteatoma jika retraksi menjadi cukup dalam sehingga menjebak epitel
deskuamasi.

Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan kuman (infeksi),
yang paling sering adalah Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Sebaliknya infeksi dapat
memicu respons imun lokal yang mengakibatkan produksi berbagai mediator inflamasi dan
berbagai sitokin. Sitokin yang diidentifikasi terdapat pada matriks kolesteatoma adalah
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor-α (TNF-α), tumor growth
factor (TGF). Zat-zat ini dapat menstimulasi sel-sel keratinosit matriks kolesteatoma bersifat
hiperproliferatif, destruktif, dan mampu berangiogenesis.
Tabel 1. Distribusi kuman dari kavum tympani pada Otitis Media Supuratif Kronis dengan Kolesteatoma 5
Jenis Kuman Jumlah temuan
Pseudomonas aeruginosa 9 31,5%
Proteus mirabilis 17 58,5%
Difteroid 1 3,3%
Streptococcus β-hemolyticus 1 3,3%
Enterobacter sp. 1 3,3%

Massa kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ di sekitarnya serta
menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang diperhebat
oleh karena pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini
mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirintitis, meningitis, dan abses otak.

9
Granuloma Kolesterol9
Granuloma kolesterol adalah kista jinak yang terdapat pada ujung pars petrosus, yang
merupakan bagian dari tulang tengkorak dan berdekatan dengan telinga tengah. Granuloma ini
merupakan massa yang berisi cairan, lipid, dan kristal-kristal kolesterol yang dikelilingi oleh
lapisan fibrosa.
Didalam tulang tengkorak, terdapat banyak ruang-ruang yang berisi udara yang disebut
juga air cells. Selama ini dipercaya bahwa granuloma kolesterol terbentuk apabila air cells
yang terdapat di pars petrosus mengalami obstruksi. Obstruksi akan membentuk suatu ruangan
yang hampa udara sehingga menyebabkan darah akan mengalir ke dalam air cells tersebut.
Sel-sel darah merah ini akan memecah, sehingga kolesterol yang terkandung di dalam
hemoglobin akan terbebas. Sistem imun tubuh akan bereaksi terhadap kolesterol ini sebagai
benda asing, sehingga menimbulkan reaksi inflamasi. Pembuluh-pembuluh darah kecil
disekitarnya akan mengalami ruptur sebagai akibat dari reaksi inflamasi. Perdarahan yang
berulang akan menyebabkan massa granuloma semakin mudah meluas.
Granuloma dapat terbentuk dimana saja di dalam tubuh kita apabila ada reaksi terhadap
benda asing, dan pada sebagian besar kasus biasanya tidak menimbulkan gejala ataupun efek
yang serius. Meskipun begitu, granuloma kolesterol pada pars petrosus berbahaya karena
kedekatannya dengan telinga dan beberapa saraf kranial. Apabila massa ini dibiarkan tanpa
diterapi dan semakin meluas, tuli permanen dan/atau kerusakan saraf dapat terjadi, begitu juga
destruksi tulang.
Faktor Risiko
Granuloma kolesterol timbul sekunder dari kondisi-kondisi yang menyebabkan
obstruksi dari air cells. Beberapa kondisi tersebut termasuk infeksi telinga kronis,
kolesteatoma, atau trauma kepala yang menyebabkan perdarahan pada area apex pars petrosus.
Gejala klinis
Gejala klinis dari granuloma kolesterol antara lain gangguan pendengaran unilateral,
tinnitus, facial twitching, vertigo, dan facial numbness.
Diagnosis
Pada pemeriksaan telinga dengan otoskop, ditemukan membran tympani berwarna
kebiruan atau terdapat bayangan kecoklatan di belakangnya. Pemeriksaan pencitraan (MRI ,
CT) dapat membantu membedakan granuloma kolesterol dengan lesi lainnya, khususnya
dengan kolesteatoma. Audiogram digunakan untuk mengevaluasi gangguan pendengaran.

10
Presentasi Klinis1,3,4,6
Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri, yang terus-menerus
atau sering berulang. Ketika kolesteatoma terinfeksi, kemungkinan besar infeksi tersebut sulit
dihilangkan. Karena kolesteatoma tidak memiliki suplai darah (vaskularisasi), maka antibiotik
sistemik tidak dapat sampai ke pusat infeksi pada kolesteatoma. Antibiotik topikal biasanya
dapat diletakkan mengelilingi kolesteatoma sehingga menekan infeksi dan menembus
beberapa milimeter menuju pusatnya, akan tetapi, pada kolestatoma terinfeksi yang besar
biasanya resisten terhadap semua jenis terapi antimikroba. Akibatnya, otorrhea akan tetap
timbul ataupun berulang meskipun dengan pengobatan antibiotik yang agresif.
Gangguan pendengaran juga merupakan gejala yang umum pada kolesteatoma.
Kolesteatoma yang besar akan mengisi ruang telinga tengah dengan epitel deskuamasi dengan
atau tanpa sekret mukopurulen sehingga menyebabkan kerusakan osikular yang akhirnya
menyebabkan terjadinya tuli konduktif yang berat.
Pusing adalah gejala umum relatif pada kolesteatoma, tetapi tidak akan terjadi apabila
tidak ada fistula labirin akibat erosi tulang atau jika kolesteatoma mendesak langsung pada
stapes footplate. Pusing adalah gejala yang mengkhawatirkan karena merupakan pertanda dari
perkembangan komplikasi yang lebih serius.
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang paling umum dari kolesteatoma adalah drainase dan
jaringan granulasi di liang telinga dan telinga tengah tidak responsif terhadap terapi
antimikroba. Suatu perforasi membran timpani ditemukan pada lebih dari 90% kasus.
Kolesteatoma kongenital merupakan pengecualian, karena seringkali gendang telinga tetap
utuh sampai komponen telinga tengah cukup besar. Kolesteatoma yang berasal dari implantasi
epitel skuamosa kadangkala bermanifestasi sebelum adanya gangguan pada membran tympani.
Akan tetapi, pada kasus-kasus seperti ini, (kolesteatoma kongenital, kolesteatoma implantasi)
pada akhirnya kolesteatoma tetap saja akan menyebabkan perforasi pada membran tympani.
Seringkali satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik adalah sebuah kanalis akustikus
eksternus yang penuh terisi pus mukopurulen dan jaringan granulasi. Kadangkala
menghilangkan infeksi dan perbaikan jaringan granulasi baik dengan antibiotik sistemik
maupun tetes antibiotik ototopikal sangat sulit dilakukan. Apabila terapi ototopikal berhasil,
maka akan tampak retraksi pada membran tympani pada pars flaksida atau kuadaran posterior.
Pada kasus yang amat jarang, kolesteatoma diidentifikasi berdasarkan salah satu
komlikasinya, hal ini kadangkala ditemukan pada anak-anak. Infeksi yang terkait dengan

11
kolesteatoma dapat menembus korteks mastoid inferior dan bermanifestasi sebagai abses di
leher. Kadangkala, kolesteatoma bermanifestasi pertama kali dengan tanda-tanda dan gejala
komplikasi pada susunan saraf pusat, yaitu : trombosis sinus sigmoid, abses epidural, atau
meningitis.
Indikasi Pembedahan1
Hampir semua kolesteatoma harus dibersihkan. Kadangkala dilakukan pengecualian
apabial keadaan umum pasien sangat buruk sehingga membuat prosedur pembedahan terlalu
berisiko. Beberapa pasien yang memiliki kolesteatoma di satu-satunya telinga yang dapat
mendengar, dengan alasan yang rasional, enggan untuk menjalani operasi. Risiko kehilangan
pendengaran akibat dari operasi pengangkatan umumnya lebih kecil daripada risiko yang
berhubungan dengan membiarkan kolesteatoma in situ.
Kontraindikasi Pembedahan1
Gangguan pendengaran di telinga kontralateral adalah kontraindikasi relatif untuk
pembedahan. Seringkali, kolesteatoma menyebabkan risiko lebih besar untuk sisa pendengaran
daripada pembedahan itu sendiri, dan, lebih sering daripada tidak, operasi pengangkatan adalah
pilihan yang baik bahkan ketika kolesteatoma berada di satu-satunya telinga yang dapat
mendengar.

Pemeriksaan Pencitraan
CT scan merupakan modalitas pencitraan pilihan karena CT scan dapat mendeteksi
cacat tulang yang halus sekalipun. Namun, CT scan tidak selalu bisa membedakan antara
jaringan granulasi dan kolesteatoma. Densitas kolesteatoma dengan cairan serebrospinal
hampir sama, yaitu kurang-lebih -2 sampai +10 Hounsfield Unit, sehingga efek dari desakan
massa itu sendirilah yang lebih penting dalam mendiagnosis kolesteatoma.7 Gaurano (2004)
telah menunjukkan bahwa perluasan antrum mastoid dapat dilihat pada 92% dari kolesteatoma
telinga tengah dan 92% pulalah hasil CT scan yang membuktikan erosi halus tulang-tulang
pendengaran. Defek yang dapat dideteksi dengan menggunakan CT scan adalah sebagai
berikut4:

a. erosi skutum
b. fistula labirin
c. cacat di tegmen
d. keterlibatan tulang-tulang pendengaran

12
e. erosi tulang-tulang pendengaran atau diskontinuitas
f. anomali atau invasi dari saluran tuba

Gambar 5. CT scan yang menggambarkan erosi tulang dan kolesteatoma

MRI digunakan apabila ada masalah sangat spesifik yang diperkiraka dapat melibatkan
jaringan lunak sekitarnya. Masalah-masalah ini termasuk yang berikut:

a. keterlibatan atau invasi dural


b. abses epidural atau subdural
c. Herniasi otak ke rongga mastoid
d. Peradangan pada labirin membran atau saraf fasialis
e. trombosis sinus sigmoid

Penatalaksanaan
Terapi Medis
Terapi medis bukanlah pengobatan yang sesuai untuk kolesteatoma. Pasien yang
menolak pembedahan atau karena kondisi medis yang tidak memungkinkan untuk anestesi
umum harus membersihkan telinga mereka secara teratur. Pembersihan secara teratur dapat
membantu mengontrol infeksi dan dapat memperlambat pertumbuhan kolesteatom, tapi tidak
dapat menghentikan ekspansi lebih lanjut dan tidak menghilangkan risiko komplikasi. Terapi
antimikroba yang utama adalah terapi topikal, akan tetapi terapi sistemik juga dapat membantu
sebagai terapi tambahan.4,7
Antibiotik oral bersama pembersihan telinga atau bersama dengan tetes telinga lebih
baik hasilnya daripada masing-masing diberikan tersendiri. Diperlukan antibiotik pada setiap

13
fase aktif dan dapat disesuaikan dengan kuman penyebab. Antibiotik sistemik pertama dapat
langsung dipilih yang sesuai dengan keadaan klinis, penampilan sekret yang keluar serta
riwayat pengobatan sebelumnya. Sekret hijau kebiruan menandakan Pseudomonas , sekret
kuning pekat seringkali disebabkan oleh Staphylococcus, sekret berbau busuk seringkali
disebabkan oleh golongan anaerob.5
Kotrimokasazol, Siprofloksasin atau ampisilin-sulbaktam dapat dipakai apabila curiga
Pseudomonas sebagai kuman penyebab. Bila ada kecurigaan terhadap kuman anaerob, dapat
dipakai metronidazol, klindamisin, atau kloramfenikol. Bila sukar mentukan kuman penyebab,
dapat dipakai campuran trimetoprim-sulfametoksazol atau amoksisillin-klavulanat. Antibitotik
topikal yang aman dipakai adalah golongan quinolon. Karena efek samping terhadap
pertumbuhan tulang usia anak belum dapat disingkirkan, penggunaan ofloksasin harus sangat
hati-hati pada anak kurang dari 12 tahun.5
Pembersihan liang telinga dapat menggunakan larutan antiseptik seperti Asam Asetat
1-2%, hidrogen peroksisa 3%, povidon-iodine 5%, atau larutan garam fisiologis. Larutan harus
dihangatkan dulu sesuai dengan suhu tubuh agar tidak mengiritasi labirin setelah itu
dikeringkan dengan lidi kapas.5
Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan bertujuan untuk mengeluarkan kolesteatoma. Dalam keadaan
tertentu, ahli bedah dapat membuat keputusan untuk menggunakan teknik canal wall up atau
canal wall down. Jika pasien
memiliki beberapa episode
kekambuhan dari kolesteatoma dan
keinginan untuk menghindari
operasi masa depan, teknik canal
wall down adalah yang paling
sesuai.
Beberapa pasien tidak dapat
menerima tindakan canal-wall
down.Pasien tersebut dapat diobati
dengan tertutup (canal wall-up),
asalkan mereka memahami bahwa
penyakit lebih mungkin kambuh
dan mereka mungkin membutuhkan

14
beberapa serial prosedur pembedahan.8
Meskipun semua kelebihan dan kekurangan kedua teknik operasi itu menjadi relatif di
tangan ahli bedah yang berpengalaman, tiap ahli bedah telinga mempunyai alasan sendiri
mengapa memilih satu teknik dari teknik yang lain. Hal yang jelas berbeda adalah bahwa
timpanoplasti dinding utuh (canal wall-up) berusaha maksimal mempertahankan bentuk
fisiologis liang telinga dan telinga tengah.5
Mastoidektomi radikal dengan timpanoplasti dinding runtuh
Mastoidektomi radikal klasik adalah tindakan membuang seluruh sel-sel mastoid di
rongga mastoid, meruntuhkan seluruh dinding kanalis akustikus eksternus posterior,
pembersihan total sel-sel mastoid yang memiliki drainase ke kavum timpani. Inkus dan malleus
dibuang, hanya stapes yang dipertahankan. Begitu pula seluruh mukosa kavum tympani.
Timpanoplasti dinding runtuh merupakan modifikasi dari mastoidektomi radikal,
bedanya adalah mukosa kavum timpani dan sisa tulang-tulang pendengaran dipertahankan
setelah proses patologis dibersihkan. Tuba eustachius tetap dipertahankan dan dibersihkan agar
terbuka. Kemudian kavitas operasi ditutup dengan fasia m.temporalis baik berupa free fascia
graft maupun berupa jabir fasia m.temporalis, dilakukan juga rekonstruksi tulang-tulang
pendengaran.
Tabel 2. Keunggulan dan kelemahan timpanoplasti dinding utuh dan dinding runtuh 5

Teknik Operasi Timpanoplasti Dinding Utuh Dinding Runtuh


Fisiologik Lebih fisiologik Kurang fisiologik
Residivitas Lebih tinggi Lebih rendah
Kesulitan Lebih tinggi Lebih rendah
Komplikasi (iatrogenik) Lebih tinggi Lebih rendah
Perbaikan pendengaran Lebih tinggi Lebih rendah
Keperluan operasi kedua Ya Tidak
Pembersihan spontan rongga Lebih baik Memerlukan lebih sering
ooperasi (self cleansing) kontrol
Hearing aid Lebih mudah Sukar

Komplikasi5

Komplikasi operasi pada mastoidektomi dan timpanoplasti dibagi berdasarkan


komplikasi segera dan komplikasi lambat. Komplikasi segera termasuk parese nervus fasialis,
kerusakan korda timpani, tuli saraf, gangguan keseimbangan, fistel labirin, trauma pada sinus

15
sigmoid, bulbus jugularis, likuor serebrospinal. Infeksi pasca-operasi juga dapat dimasukkan
sebagai komplikasi segera.
Komplikasi lambat termasuk kolesteatoma rekuren, reperforasi, lateralisasi tandur,
stenosis liangg telinga luar, displasi atau lepasnya prostesis tulang pendengaran yang dipasang.
Pada kebanyakan, kasus trauma nervus fasialis tidak disadari pada waktu operasi. Trauma
nervus fasialis yang paling sering terjadi adalah pada pars vertikalis waktu melakukan
mastoidektomi, bisa juga terjadi pada pars horizontal waktu manipulasi daerah di dekat stapes
atau mengorek daerah bawah inkus baik dari arah mastoid ataupun dari arah kavum timpani.
Trauma dapat lebih mudah terjadi bila tpografi daerah sekitarnya sudah tidak dikenali dengan
baik, misalnya pada kelainan letak kongenital, jaringan parut karena operasi sebelumnya,
destruksi kanalis fasialis karean kolesteatoma.
Derajat parese harus ditentukan, paling sederhana adalah menurut klasifikasi House-
Bregmann. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan EMG untuk melihat derajat kerusakan pada saraf
dan menentukan prognosis penyembuhan spontan.
Trauma operasi terhadap labirin sukar diketahui dengan segera, sebab vertigo pasca-
operasi dapat terjadi hanya karena iritasi selam operasi, belum tentu karena cedera operasi.
Trauma terhadap labirin bisa menyebabkan tuli saraf total. Manipulasi di daerah aditus ad
antrum dan sekitarnya pada lapangan operasi yang ditutupi oleh jaringa kolesteatoma dan
matriks koleteatoma dapat menyebabkan fistel labirin.
Trauma terhadap tulang pendengaran diperkirakan akan memperbuuk sistem konduksi
telinga tengah sedapat mungkin langsung rekonstruksi. Trauma terhadap dinding sinus dan
duramater sehingga terjadi perdarahan dan bocornya cairan otak, bila tidak luas dapat
ditungggu sebentar dan langsung ditutup dengan tandu komposit sampai kebocoran berhenti.
Trauma pada sinus lateralis, sinus sigmoid, bulbus jugularis, dan vena emissari dapat
menyebabkan perdarahan besar.
Prognosis1,4,7
Mengeliminasi kolesteatoma hampir selalu berhasil, namun mungkin memerlukan
beberapa kali pembedahan. Karena pada umumnya pembedahan berhasil, komplikasi dari
pertumbuhan tidak terkendali dari kolesteatoma sekarang ini jarang terjadi.
Timpanoplasti dinding runtuh menjanjikan tingkat kekambuhan yang sangat rendah
dari kolesteatoma. Pembedahan ulang pada kolesteatoma terjadi pada 5% kasus, yang cukup
menguntungkan bila dibandingkan tingkat kekambuhan timpanoplasti dinding utuh yang 20-
40%.

16
Meskipun demikian, karena rantai osikular dan/atau membran tympani tidak selalu
dapat sepenuhnya direstorasi kembali normal, maka kolesteatoma tetaplah menjadi penyebab
umum relatif tuli konduktif permanen.

BAB IV

KESIMPULAN

Dari semua penjabaran mengenai kolesteatom pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :

 Bahwa meskipun banyak teori yang berusaha menjelaskan mengenai terbentuknya


kolesteatoma, patogenesis dari terbentuknya kolesteatoma sebenarnya masih belum
pasti hingga saat ini.
 Sangat penting untuk memiliki pengetahuan dasar yang memadai mengenai karkteristik
anatomi dan fungsional dari telinga tengah untuk mencapai penatalaksanaan yang
memuaskan untuk kolesteatoma
 Kunci dari didapatkannya diagnosis dini dan penatalaksanaan segera yang tepat untuk
kolestatoma adalah evaluai yang hati-hati dan menyeluruh mengenai presentasi klinis
hingga ke pencitraannya.
 Penatalaksanaan yang paling sesuai adalah pembedahan dengan tujuan untuk
mengeradikasi penyakit dan untuk mencapai kondisi telinga yang kering dan aman dari
infeksi berulang.
 Pendekatan secara bedah harus disesuaikan pada masing-masing pasien sesuai dengan
keadaan umum dan luasnya penyebaran kolesteatoma itu sendiri.
 Ahli bedah harus sangat waspada terhadap komplikasi pasca-pembedahan yang
mengancam nyawa ataupun menyebabkan kondisi serius terhadap pasien seperti cedera
nervus fasialis.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Emedicine. June 29, 2009 (cited August 25,
2009). Available at http://emedicine.medscape.com/article/860080-overview.

2. Moore K, Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Edisi Pertama. Jakarta : Penerbit
Hipokrates; 2002

3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;
2008

4. Waizel S. Temporal Bone, Aquired Cholesteatoma. Emedicine. May 1, 2007 (cited


August 27, 2009). Available at http://emedicine.medscape.com/article/384879-
overview

5. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;
2005

6. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997

7. DeSouza CE, Menezes CO, DeSouza RA, Ogale SB, Morris MM, Desai AP. Profile of
congenital cholesteatomas of the petrous apex. J Postgrad Med [serial online] 1989
[cited 2009 Sep 5];35:93. Available from:
http://www.jpgmonline.com/text.asp?1989/35/2/93/5702

8. Makishima T, Hauptman G. Cholesteatoma. University of Texas Medical Branch


Department of Otolaryngology. January 25, 2006 (cited August 25, 2009). Available at
www.utmb.edu/otoref/grnds/Cholest.../Cholest-slides-060125.pdf

18

Anda mungkin juga menyukai