Anda di halaman 1dari 16

Satu lagi kasus di sektor keuangan yang menyedot perhatian masyarakat.

Perusahaan multifinance PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) diketahui


merugikan 14 bank di Indonesia hingga triliunan rupiah.

SNP Finance merupakan bagian dari Columbia, toko yang menyediakan pembelian barang
secara kredit. Dalam kegiatannya SNP Finance mendapatkan dukungan pembiayaan
pembelian barang yang bersumber dari kredit perbankan.

Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Slamet Edy
Purnomo mengungkapkan jika permasalahan pada SNP Finance sudah tercium sejak Juli
2017.

"Jadi yang membongkar awal adalah pengawas. Jadi di 2017 sudah tertangkap ada angka
CAPS itu suatu aplikasi connecting antara SNP sebagai multifinance dengan bank seperti
Bank Mandiri yang paling besar. Jadi ada beda itu (angka)," jelas dia di Jakarta, Rabu
(26/9/2018).

BACA JUGA

 Nilai Pembobolan Dana 14 Bank oleh SNP Senilai Rp 2,4 Triliun versi OJK
 OJK Pastikan Terus Monitor Kasus Sunprima Nusantara Pembiayaan
 Terkuak, SNP Finance Rekayasa Laporan Keuangan Buat Bobol 14 Bank

OJK kemudian meminta dilakukan pemeriksaan kepada pihak perbankan secara internal
dan oleh pengawas.

Pada 2018, OJK kembali melakukan evaluasi. Lembaga ini dikatakan terlebih dulu memberi
kesempatan kepada internal perbankan untuk menyelesaikan saat diketahui terjadi
masalah.

"Jadi dilakukan oleh investigator internal Bank Mandiri dan ditemukan memang terrnyata
tidak pernah dilakukan reconcile antara banking dan dari situ kita dalami lagi prosesnya dan
ternyata ada kesalahan di sistem yang tidak sempurna," jelas dia.

Slamet Edy menuturkan, terlepas dari kesalahan sistem yang bisa diperbaiki, tim kemudian
berkoordinasi dengan pengawas SNP di Industri Keuangan Non Bank (IKNB).
"Lalu muncul akhirnya hasil seperti itu dan akhirnya ketemu lagi sampai masalah
MTN. Semua dipanggil Pefindo, semuanya dipanggil. Dan dari hasil pemeriksaan saya
lihat semua pengawasan jalan baik dari Bank Mandiri," tegas dia.

Dia menuturkan, jika permasalahan ada terkait data yang diberikan SNP. Adapun
mekanisme pemberian pinjaman kepada SNP Finance yang dilakukan dengan
sistem executing.

Bank memberikan kredit berupa joint financing atau memberikan langsung ke perusahaan
pembiayaan tersebut. Kemudian SNP Finance yang meneruskannya kepada pengguna.

Untuk mendapatkan kredit ini, terlebih dulu ditunjuk auditor publik yang bertugas memeriksa
laporan keuangan. Auditor yang ditunjuk adalah Kantor Akuntan Publik (KAP) Deloitte yang
menilai kondisi keuangan SNP Finance.

"Kalau laporan keuangan dia bagus harus diaudit eksternal dan biasanya menunjuk standar
internasional," tutur Slamet Edy.

Kemudian seiring dengan turunnya bisnis toko Columbia, kredit perbankan tersebut
mengalami permasalahan menjadi Non Performing Loan (NPL).

Kondisi tersebut telah diantisipasi perbankan dengan melakukan pencadangan (PPAP)


pada tahun yang sudah lewat, sehingga perbankan dapat meng-absorb risiko gagal bayar.

Salah satu tindakan yang dilakukan oleh SNP Finance untuk mengatasi kredit bermasalah
tersebut adalah melalui penerbitan Medium Term Note (MTN), yang diperingkat oleh
Pefindo berdasarkan laporan keuangan SNP yang diaudit DeLoitte.

Slamet Edy mengatakan jika penerbitan MTN tidak melalui proses di OJK. Ini mengingat
MTN adalah perjanjian yang bersifat private, namun memerlukan pemeringkatan karena
dapat diperjualbelikan.

Sebelumnya diketahui jika SNP Finance mendapatkan peringkat efek periode Desember
2015-2017 idA-/stable dari Pefindo. Kemudian pada Maret 2018, rating SNP Finance naik
menjadi idA/stable.

Namun Pefindo kembali menurunkan rating SNP Finance sebanyak 2 kali. Pertama pada
bulan Mei 2018, diturunkan menjadi idCCC/credit watch negative dan pada bulan yang
sama menurunkan lagi ke peringkat idSD/selective default.
Akhirnya, saat terjadi permasalahan, SNP Finance mengajukan penundaan kewajiban
pembayaran utang (PKPU) terhadap kewajibannya sebesar kurang lebih Rp 4,07 triliun,
yang terdiri dari kredit perbankan Rp 2,22 triliun dan MTN sebesar Rp 1,85 triliun.

2 dari 2 halaman

SNP Finance Rekayasa Laporan Keuangan Buat Bobol


14 Bank
Wakil Dittipideksus Bareskrim Mabes Polri, Kombes Pol Daniel Tahi Monang dan Karo
Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo saat rilis pengungkapan pembobolan
dana nasabah di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (24/9). (Merdeka.com/Arie Basuki)
PT Bank Mandiri Tbk angkat bicara mengenai kasus pembobolan dana di 14 bank oleh
Lembaga pembiayaan PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) yang
merupakan anak usaha Columbia. Bank Mandiri termasuk salah satu bank tersebut.

Corporate Secretary Bank Mandiri Rohan Hafas menjelaskan, SNP Finance adalah
perusahaan pembiayaan yang menjadi debitur Bank Mandiri sejak 2004. Selama belasan
tahun menjadi debitur Bank Mandiri, SNP Finance memiliki catatan yang baik dengan
kualitas kredit yang lancar. Hal ini juga yang membuat banyak bank kemudian ikut
memberikan pembiayaan kepada SNP Finance.

BACA JUGA

 Nilai Pembobolan Dana 14 Bank oleh SNP Senilai Rp 2,4 Triliun versi OJK
 OJK Pastikan Terus Monitor Kasus Sunprima Nusantara Pembiayaan
 Bareskrim Beberkan Pembobolan 14 Bank oleh SNP, Ini Respons BCA

Atas hal tersebut, Bank Mandiri melihat permasalahan di SNP Finance saat ini bukan
semata-mata disebabkan oleh ketidak hati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit.
Apalagi saat ini regulator telah menetapkan rambu-rambu yang sangat ketat bagi
perbankan.
"Kekisruhan di SNP Finance justru disebabkan itikad tidak baik pengurus perseroan untuk
menghindari kewajiban mereka," jelas Rohan seperti dikutip dari keterangan tertulis, Rabu
(26/9/2018).

Buktinya, SNP Finance langsung mengajukan PKPU Sukarela, setelah kualitas kredit turun
menjadi kol. 2. Modus ini sering dilakukan dengan memanfaatkan celah dari ketentuan
hukum terkait Kepailitan.

https://www.liputan6.com/bisnis/read/3653257/begini-awal-mula-kasus-snp-finance-yang-rugikan-14-
bank

Lima orang direksi dan manajer PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) diamankan
pihak berwajib terkait kasus dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen, penggelapan, penipuan,
dan pencucian uang dalam aktivitas usahanya sebagai perusahaan pembiayaan (multifinance).

SNP Finance merupakan bagian usaha Columbia, jaringan ritel yang menawarkan pembelian
barang rumah tangga secara kredit atau cicil. Dalam kegiatannya, SNP lah yang menyokong
pembelian barang yang dilakukan oleh Columbia dengan sumber pendanaan dari perbankan atau
surat utang.

Di industri multifinance, SNP Finance boleh dibilang pemain kelas menengah ke bawah. Lihatlah,
total pembiayaan yang disalurkannya pun tidak lebih dari Rp5 triliun per tahun. Maklum, barang
yang dibiayainya hanya kasur, lemari, sofa, dan perabot rumah tangga lainnya.

Berbeda dengan multifinance sekaliber BCA Finance, Astra Sedaya Finance, FIF, dan Adira
Finance yang membiayai kendaraan roda empat dan sepeda motor. Tak heran, pembiayaan yang
mereka salurkan selalu berkisar puluhan triliun per tahun. Wajarlah, teman-teman seprofesi SNP
Finance itu berinduk usaha pada bank umum.

Lihat juga:
Bank Mandiri: Itikad Tak Baik, SNP Finance Ajukan Pailit

Namun, Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anto
Prabowo mengungkapkan seiring dengan turunnya bisnis ritel Columbia, kredit perbankan yang
ditarik SNP Finance pun bermasalah. "Dan menjadi NPL," ujarnya kepada CNNIndonesia.com,
Rabu (26/9).

SNP Finance diketahui menerima fasilitas kredit modal kerja dari 14 bank. Salah satu dan yang
paling besar berasal dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. SNP Finance sendiri telah 20 tahun
menjadi nasabah Bank Mandiri. Namun, pada 2016, perusahaan mengajukan restrukturisasi kredit.

Saat itu, Bank Mandiri memasukkan SNP Finance dalam kelompok kolektibilitas 2 (kol 2) atau dalam
perhatian khusus. Restrukturisasi kredit diperlukan bukan karena perusahaan menunggak
pembayaran, melainkan agar perusahaan bisa mendapat kucuran dana dari bank lain.

Alih-alih membaik, Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rohan Hafas mengatakan SNP Finance
malah menunjukkan itikad buruk. Dalam beberapa bulan terakhir, kreditnya mulai macet dan
manajemen perusahaan mengajukan pailit sukarela. Padahal, kredit macetnya saat itu mencapai
Rp1,2 triliun.

Lihat juga:
Kena 'Getah' SNP Finance, Multifinance Kesulitan Cari Modal

"Mereka sebanarnya sudah jadi nasabah kami 20 tahun dan reputasinya baik. Tapi tiba-tiba berubah
hanya dalam beberapa bulan terakhir kreditnya macet (Rp1,2 triliun). Jumlah itu termasuk pokok
dan bunga yang diakumulasi sejak beberapa tahun terakhir. Sekarang sudah jadi kredit macet,"
jelas dia.

Sekretaris Perusahaan SNP Finance Ongko Purba Dasuha menyatakan bahwa nilai pinjaman yang
mereka ambil secara total tak lebih dari Rp4 triliun. Hal itu juga tertuang dalam Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). "Ada dalam pengakuan utang di PKPU," katanya.

PKPU itu terbit pada 4 Mei 2018, setelah dikabulkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Dalam PKPU disebutkan total tagihan SNP Finance mencapai Rp4,07 triliun dari 14 bank
sebagai kreditur dengan jaminan Rp2,2 triliun, serta 336 pemegang MTN senilai Rp1,85 triliun.

Pada Desember 2017, menurut Sistem Informasi Debitur (SID) Bank Indonesia kategori SNP
Finance sebetulnya masih ada di kol 1 dengan status lancar. Tapi, Januari 2018, terjadi peralihan
dan di bawah kontrol OJK, yakni Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang kemudian
statusnya berubah menjadi kol 2.

Lihat juga:
Anak Grup Columbia Heran atas Angka Dugaan Pembobolan Rp14 T

Hal itu berimbas pada timbulnya pertanyaan bank-bank yang mengucurkan dana mereka ke SNP
Finance dan berbuntut pada seretnya aliran kredit dari bank-bank lain. Di sisi lain, sistem
manajemen penagihan di kantor-kantor cabang SNP Finance semakin lemah.

Gali Lubang Tutup Lubang

Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Besar
Daniel Tahi Monang Silitong mengatakan pengungkapan kasus ini berawal dari laporan Bank Panin
pada awal Agustus 2018 lalu.

Menurutnya, SNP Finance mengajukan pinjaman fasilitas kredit modal kerja dan rekening koran
kepada Bank Panin periode Mei 2016 sampai 2017 dengan plafon kepada debitur sebesar Rp425
miliar.

Salah satu tindakan yang dilakukan oleh SNP Finance untuk mengatasi kredit macetnya adalah
menerbitkan surat utang berbentuk Medium Term Notes (MTN), yang diperingkat oleh Pefindo,
lembaga pemeringkat, berdasarkan laporan keuangan yang diaudit oleh KAP DeLoitte.

Lihat juga:
Sebelum Dibekukan, Pefindo 'Teropong' SNP Finance Stabil

"Dapat disampaikan bahwa penerbitan MTN tidak melalui proses di OJK, mengingat MTN adalah
perjanjian yang bersifat private, namun memerlukan pemeringkatan karena dapat diperjual-belikan,"
terang Anto.

Mengutip siaran pers Pefindo, biro kredit independen tersebut mendapuk SNP Finance dengan
peringkat idA- (single A minus) sejak Desember 2015-November 2017. Lalu, peringkat itu dinaikkan
menjadi idA (single A) pada Maret 2018. Padahal, saat itu, keuangan SNP Finance mulai
bermasalah.

Dua bulan setelahnya, yakni Mei 2018, OJK mengeluarkan sanksi Pembekuan Kegiatan Usaha
(PKU) terhadap SNP Finance melalui Surat Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Nomor S-
247/NB.2/2018.

Pefindo pun buru-buru menyematkan peringkat idCCC (triple C) atau credit watch negative sebelum
akhirnya menarik peringkat terhadap SNP Finance. Namun, sampai berita ini diturunkan, pihak
Pefindo belum merespons pertanyaan.

Lihat juga:
November, OJK Bisa Cabut Izin Usaha SNP Finance

Dengan diberlakukannya PKU, maka SNP Finance dilarang melakukan kegiatan usaha
pembiayaan. Jika mangkir dari hal itu, maka OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan
izin usaha.

Tak cuma itu, selama masa sanksi PKU, SNP Finance juga wajib menyampaikan dan melakukan
tindakan korektif. "Dalam jangka waktu 6 bulan sejak PKU, SNP Finance tidak memenuhi tindakan
tersebut, maka dapat dikenakan sanksi pencabutan izin usaha," imbuhnya.

Dengan kondisi itu, Anto menambahkan, OJK akan terus memonitor perkembangan kasus SNP
Finance, serta memantau tim audit internal bank yang melakukan investigasi internal dan akan
memberikan sanksi jika ada pegawai bank yang terlibat.

OJK akan terus berkoordinasi dengan instansi terkait, seperti Kepolisian dan Kementerian
Keuangan untuk penindakan yang diperlukan. OJK juga melarang penerbitan MTN tanpa seizin OJK
dan menyiapkan langkah koordinasi dengan Kemenkeu berkaitan dengan kerja Kantor Akuntan
Publik

Lihat juga:
Kasus SNP Finance, Bank Mandiri Pidanakan Deloitte Indonesia

Langgar Standar Audit

Kemenkeu menyebut dua akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan SNP Finance, yakni
Akuntan Publik Marlinna dan Merliyana Syamsul melanggar standar audit profesional.

Mengutip data resmi Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK), dalam mengaudit SNP Finance
tahun buku 2012 - 2016, mereka belum sepenuhnya menerapkan pengendalian sistem informasi
terkait data nasabah dan akurasi jurnal piutang pembiayaan.

Akuntan publik tersebut juga belum menerapkan pemerolehan bukti audit yang cukup dan tepat atas
akun piutang pembiayaan konsumen dan melaksanakan prosedur memadai terkait proses deteksi
risiko kecurangan, serta respons atas risiko kecurangan.

Lihat juga:
Kasus SNP Finance, Dua Kantor Akuntan Publik Diduga Bersalah

Selain dua akuntan publik di atas, Kemenkeu juga menyoroti DeLoitte Indonesia. Mereka diberi
sanksi berupa rekomendasi untuk membuat kebijakan dan prosedur dalam sistem pengendalian
mutu akuntan publik terkait ancaman kedekatan anggota tim perikatan senior.

Sekretaris Jenderal Kemenkeu Hadiyanto menuturkan bahwa sanksi diberikan untuk memperbaiki
mereka. "Sanksi administratif diberikan untuk membuat kebijakan dan prosedur dalam sistem
pengendalian mutu akuntan publik yang lebih baik," katanya.

Clients and Market Leader DeLoitte Indonesia Steve Aditya ketika dikonfirmasi masih belum
menjelaskan sanksi yang diterimanya tersebut. "Kami sedang menyiapkan tanggapan terhadap
pemberitaan Anda. Kami akan segera respons," ucapnya. (bir/asa)

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180926143029-78-333372/kronologi-snp-finance-dari-
tukang-kredit-ke-tukang-bobol
Deloitte Indonesia mengatakan telah berdiskusi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pasca
OJK memberikan sanksi berupa pembatalan pendaftaran kepada salah satu mitra Deloitte, yakni
Kantor Akuntan Publik (KAP) Satrio Bing Eny & Rekan.

“Kami mencoba menemukan jalan keluar yang terbaik berdasarkan fakta-fakta yang sudah kami
sampaikan ke OJK,” kata Chief & Market Director Deloitte Indonesia Steve Aditya kepada
Kontan.co.id, Kamis (28/3).

BACA JUGA

Strategi Perusahaan Start Up Berebut Menjaring
Masyarakat Unbanked

Kasus korupsi Pertamina, Kejaksaan seharusnya
memeriksa ROC Oil Company
Ia mengatakan, pihaknya telah mengaudit laporan keuangan tahunan SNP Finance sesuai dengan
tujuan, yakni general audit dan berdasarkan standar akuntansi yang berlaku.

“Kita mengeluarkan suatu laporan dan menelaah suatu dokumen itu berdasarkan apa yang
mereka (SNP Finance) berikan ke kita,” kata dia. Hal-hal tersebut juga sudah disampaikan dalam
diskusinya dengan OJK.

Meskipun turut terseret ke dalam kasus gagal bayar SNP Finance, menurut Steve, masalah ini
tidak memberikan dampak signifikan pada bisnis Deloitte Indonesia.

Pada awal kasus SNP Finance ini mencuat, Steve bilang memang banyak klien yang meminta
penjelasan dan mempertanyakan apakah kasus ini bakal memengaruhi kewajiban Deloitte
terhadap mereka.

Akan tetapi, setelah mendapat penjelasan, klien-klien tersebut bisa menerima dan tetap percaya
untuk menggunakan jasa Deloitte Indonesia.

Belakangan ini, ia mengatakan pihaknya tengah mengejar tenggat waktu untuk menyelesaikan
LKTA 2018 para kliennya. Sesuai ketentuan OJK, LKTA 2018 tersebut harus selesai pada akhir
Maret 2019.

Setelah itu, Deloitte Indonesia tidak boleh lagi menerima pekerjaan untuk mengaudit dari klien
baru yang berasal dari perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank.

Deloitte Indonesia dalam praktiknya diwakili oleh Akuntan Publik Terdaftar Satrio Bing Eny &
Rekan, Konsultan Pajak Deloitte Touche Solutions, Penasihat Keuangan & Bisnis PT Deloitte
Konsultan Indonesia, Penasihat Valuasi KJPP Lauw & Rekan, Pengacara Hermawan Juniarto &
Partners, dan Penasihat Strategi dan Operasi PT Deloitte Consulting.
Klien Deloitte Indonesia yang berupa lembaga keuangan mencakup 2% dari total kliennya.

Sebelumnya, OJK menjatuhkan sanksi administratif kepada KAP Satrio Bing Eny & Rekan serta
dua akuntan publiknya terkait hasil pemeriksaan OJK terhadap PT Sunprima Nusantara
Pembiayaan (SNP Finance).

Sanksi ini berlaku efektif setelah KAP tersebut menyelesaikan audit Laporan Keuangan Tahunan
Audit (LKTA) tahun 2018 atas klien yang memiliki kontrak. Setelah itu, KAP ini dilarang
menambah klien baru.

Sanksi ini hanya berlaku di sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank
(IKNB).

Pengenaan sanksi ini mengingat LKTA yang telah diaudit tersebut digunakan SNP Finance
untuk mendapatkan kredit dari perbankan dan menerbitkan MTN yang berpotensi mengalami
gagal bayar atau menjadi kredit bermasalah. Laporan keuangan tahunan SNP Finance yang telah
diaudit oleh dua akuntan publik dari KAP tersebut mendapatkan opini Wajar Tanpa
Pengecualian.

Akan tetapi, berdasarkan hasil pemeriksaan OJK, SNP Finance terindikasi menyajikan laporan
keuangan yang tidak sesuai dengan kondisi keuangan yang sebenarnya sehingga menyebabkan
kerugian banyak pihak.

https://keuangan.kontan.co.id/news/terseret-kasus-snp-finance-deloitte-indonesia-berupaya-cari-jalan-
keluar

Nama PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) belakangan menjadi


perbincangan yang hangat. Perusahaan pembiayaan tersebut merupakan bagian dari
usaha Columbia, toko yang menyediakan pembelian barang secara kredit.

Dalam kegiatannya SNP Finance mendukung pembiayaan pembelian barang yang


dilakukan oleh Columbia tersebut, yang bersumber dari kredit perbankan.

Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Slamet Edy
Purnomo menjelaskan bahwa anomali pada SNP Finance sudah tercium sejak Juli
2017 lalu.

"Yang bongkar ini awalnya pengawas di 2017 tertangkap angka beda antara CAPS itu
suatu aplikasi connecting SNP," katanya di bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu
(26/9/2018).

OJK kemudian melakukan pemeriksaan kepada Bank Mandiri yang menyalurkan kredit
terbesar ke SNP Finance. SNP Finance tercatat memiliki kredit macet di Bank Mandiri
sebesar Rp 1,4 triliun.

Pihaknya menambahkan, pemberian pinjaman ke SNP Finance dilakukan dengan


sistem executing atau memberikan langsung pembiayaan ke perusahaan pembiayaan
tersebut.

"Ini mekanisme executing, bank berikan joint financing ke lembaga pembiayaan,"


ujarnya.

Dalam perjalanannya, Kantor Akuntan Publik (KAP) Deloitte menjadi auditor dan
memeriksa laporan keuangan perusahaan. Deloitte merilis laporan keuangan SNP
Finance terbilang apik.

"Itu terus dilakukan dan selama laporan keuangan bagus, bank kan kaya berikan modal
kerja," tuturnya.

Baca juga: Cegah Kasus SNP Finance Terulang, OJK Kaji Penerbitan MTN Lewat
Bursa

Seiring dengan turunnya bisnis toko Columbia, kredit perbankan tersebut mengalami
permasalahan dan menjadi kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Salah satu
tindakan yang dilakukan oleh SNP Finance untuk mengatasi kredit bermasalah tersebut
adalah melalui penerbitan MTN.

Penerbitan MTN memerlukan rating dalam hal ini dilakukan oleh Pefindo berdasarkan
laporan keuangan yang diaudit oleh KAP Deloitte. Penerbitan MTN tersebut tidak
melalui proses di OJK, mengingat MTN adalah perjanjian yang bersifat privat, namun
memerlukan pemeringkatan karena dapat diperjualbelikan.

"MTN muncul manakala kredit disetop oleh Bank Mandiri," ujarnya.

SNP Finance mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap


kewajibannya sebesar ± Rp 4,07 triliun, yang terdiri dari kredit perbankan sebesar ± Rp
2,22 triliun dan MTN sebesar ± Rp 1,85 triliun.

Sebelumnya diketahui peringkat efek SNP Finance periode Desember 2015-2017 idA-
/stable, kemudian Maret 2018 rating SNP Finance naik menjadi idA/stable. Lalu Pefindo
menurunkan rating sebanyak 2 kali, yakni bulan Mei 2018 diturunkan menjadi
idCCC/credit watch negative dan pada bulan yang sama menurunkan lagi ke peringkat
idSD/selective default.

Saat ini, SNP Finance dalam status dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha oleh
OJK sejak bulan Mei 2018. Hal ini dilakukan karena perusahaan pembiayaan tersebut
belum menyampaikan keterbukaan informasi kepada seluruh kreditur dan pemegang
MTN sampai batas waktu sanksi peringatan ketiga, sesuai pasal 53 POJK nomor
29/2014.

Dengan dibekukannya kegiatan usaha, maka SNP Finance dilarang melakukan


kegiatan usaha pembiayaan. Apabila SNP finance tetap melakukan kegiatan usaha
pembiayaan, maka OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha.

https://finance.detik.com/moneter/d-4230267/ojk-beberkan-awal-perjalanan-kasus-snp-finance

MERUNUT KASUS SNP FINANCE & AUDITOR


DELOITTE INDONESIA (1)

Oleh:
Bambang Leo Handoko dan Gatot Soepriyanto – Dosen Pengajar Program Studi Akuntansi dan
Keuangan Bina Nusantara (BINUS) University.
Catatan: Tulisan adalah pendapat pribadi kedua penulis, tidak serta merta mewakili pendapat institusi.
Belakangan ini sering dibahas di media cetak maupun di media elektronik, mengenai kasus
yang cukup menghebohkan masyarakat dan praktisi keuangan di tanah air, yaitu kasus SNP
Finance. Di seri pertama dari dua tulisan ini, kami ingin merunut kasus ini dari awal, mulai dari
keberadaan SNP Finance, hubungannya dengan perusahaan induknya, sampai kemunduran bisnis
yang memaksa SNP Finance memanipulasi laporan keuangannya. Selamat menyimak!

Siapa SNP Finance?


Sun Prima Nusantara Pembiayaan (SNP) Finance merupakan perusahaan multi finance, anak
perusahaan dari grup bisnis Columbia. Siapa yang tak kenal Columbia? Tentunya Anda
mengetahui, Columbia adalah perusahaan retail yang menjual produk perabotan rumah tangga
seperti alat-alat elektronik dan furnitur. Dalam menjual produknya, Columbia memberikan opsi
pembelian dengan cara tunai atau kredit cicilan kepada customernya. Nah, SNP Finance inilah
yang menjadi partner Columbia dalam memfasilitasi kredit dan cicilan bagi customer Columbia.
Columbia sendiri mempunyai jumlah outlet yang sangat banyak, tersebar hampir di seluruh
wilayah Indonesia, melihat kondisi seperti itu, tentu SNP Finance harus memiliki modal kerja
(working capital) dalam jumlah yang besar untuk menutup kredit para customer Columbia.
Lalu dari mana SNP Finance memperoleh dana untuk mencukupi modal kerja yang
dibutuhkan? SNP Finance menghimpun dana melalui pinjaman Bank. Kredit yang diberikan
bank kepada SNP Finance terdiri dari dua jalur, yang pertama melalui joint financing, dimana
beberapa bank bergabung dan memberikan pinjaman, dan yang kedua adalah secara langsung,
dari sebuah bank kepada SNP Finance. Bank Mandiri tercatat sebagai pemberi pijaman terbesar
kepada SNP Finance. Bank-bank yang memberikan pinjaman tersebut adalah kreditor, mereka
punya kepentingan untuk mengetahui bagaimana dana yang mereka pinjamakan ke SNP Finance.
Apakah dana tersebut dikelola dengan benar, karena tentunya bank juga mengharapkan
keuntungan berupa bunga/interest, dan pengembalian pokok pinjaman. Dalam hal ini bank
bergantung pada informasi keuangan yang tertuang dalam laporan keuangan yang dibuat oleh
manajemen SNP Finance. Untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang disusun tersebut
terbebas dari kesalahan atau manipulasi, maka laporan keuangan tersebut diaudit. SNP Finance
menggunakan jasa Kantor Akuntan Publik (KAP) Deloitte Indonesia yang merupakan salah satu
Kantor Akuntan Publik (KAP) asing elit (disebut the Big Four) untuk mengaudit laporan
keuangannya.
Kegagalan Bisnis dan Manipulasi oleh SNP Finance
Pada dasarnya perjanjian utang piutang antara SNP Finance dengan para kreditornya (bank)
tersebut adalah kerjasama yang sifatnya mutualistik. SNP Finance membutuhkan dana, bank juga
butuh menyalurkan kredit. Namun dalam perjalanan waktu, ternyata bisnis retail Columbia yang
merupakan induk dari SNP Finance mengalami kemunduran. Apa penyebabnya? Kita bisa
melihat bahwa perilaku pembelian customer telah berubah, konsumen saat ini tidak lagi belanja
produk furniture dan elektronik dengan datang ke toko, melainkan mereka lebih suka membeli
secara online melalui perangkat gadgetnya. Mulai dari survey harga, survey spesifikasi produk,
sampai dengan pembelian, semua dilakukan secara online. Bahkan para online shop tersebut juga
memberikan fasilitas kredit tanpa bunga (bunga 0%) untuk tenor yang bahkan sampai 12 bulan.
Kondisi perubahan perilaku pembelian customer inilah yang memukul pangsa pasar dari
Columbia, dan tentunya juga berdampak pada SNP Finance. Buntutnya adalah kredit SNP
Finance kepada para bank – bank/krediturnya tersebut menjadi bermasalah, dalam istilah
keuangan disebut Non Performing Loan (NPL).
Apa yang dilakukan SNP Finance untuk mengatasi utangnya kepada bank tersebut? SNP
finance membuka keran pendanaan baru melalui penjualan surat utang jangka menengah, disebut
dengan MTN (Medium Term Notes). MTN ini sifatnya hampir mirip dengan obligasi, hanya saja
jangka waktunya adalah menengah, sedangkan obligasi jangka waktunya panjang. MTN ini
diperingkat oleh Pefindo (Pemeringkat Efek Indonesia) dan kembali lagi bahwa Pefindo juga
memberikan peringkat salah satunya adalah berdasarkan laporan keuangan SNP Finance yang
diaudit oleh Deloitte. Awalnya peringkat efek SNP Finance sejak Desember 2015 – 2017 adalah
A-, bahkan kemudian naik menjadi A di Maret 2018. Namun tidak lama kemudian, di bulan Mei
2018 ketika kasus ini mulai terkuak, perikat efek SNP Finance turun menjadi CCC bahkan di
bulan yang sama tersebut turun lagi menjadi SD (Selective Default). Default dalam bahasa
sederhananya adalah gagal bayar. Berikutnya SNP Finance mengajukan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU), sebesar kurang lebih Rp 4,07 Trilyun yang terdiri dari kredit
perbankan 2,22 Trilyun dan MTN 1,85 Trilyun. Mengapa debitur dan pemegang MTN mau
percaya dan menyalurkan kredit kepada SNP Finance? Karena awalnya pembayaran dari SNP
Finance lancar, dan para kreditur tersebut juga menganalisis kesehatan keuangan SNP Finance
melalui laporan keuangannya, yang diaudit oleh kantor akuntan publik ternama, yaitu Deloitte.
Namun ternyata terjadi pemalsuan data dan manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh
manajemen SNP Finance. Diantaranya adalah membuat piutang fiktif melalui penjualan fiktif.
Piutang itulah yang dijaminkan kepada para krediturnya, sebagai alasan bahwa nanti ketika
piutang tersebut ditagih uangnya akan digunakan untuk membayar utang kepada kreditor. Untuk
mendukung aksinya tersebut, SNP Finance memberikan dokumen fiktif yang berisi data
customer Columbia. Sangat disayangkan bahwa Deloitte sebagai auditornya gagal mendeteksi
adanya skema kecurangan pada laporan keuangan SNP Finance tersebut. Deloitte malah
memberikan opini wajar tanpa pengecualian pada laporan keuangan SNP Finance.

Sanksi atas Kecurangan Laporan Keuangan


Untuk manajemen dari SNP Finance sendiri saat ini kasusnya telah ditangani oleh Bareskrim Polri.
Mereka diduga melanggar pasal berlapis, yaitu KUHP 362 tentang pemalsuan surat, KUHP 362
tentang penggelapan dan KUHP 378 tentang penipuan. Sementara apa sanksi untuk Deloitte
sebagai auditornya? Sanksi kepada Deloitte diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), melalui
siaran pers tertanggal 1 Oktober 2018, OJK memberikan sanksi kepada Akuntan Publik (AP)
Marlina dan AP Merliyana Syamsul, keduanya dari KAP Satrio Bing Eni dan rekan (pemegang
afiliasi Deloitte di Indonesia), dan juga KAP Satrio Bing Eny dan rekan sendiri. Sanksi yang
diberikan adalah pembatalan hasil audit terhadap kliennya yaitu SNP Finance dan pelarangan untuk
mengaudit sektor perbankan, pasar modal dan Industri Keuangan Non Bank (IKNB).

Apa yang menjadi dasar dari OJK untuk pemberian sanksi tersebut? Bahwa AP Marlinna, AP
Merliyana Syamsul dan Deloitte telah melakukan pelanggaran berat yaitu melanggar POJK Nomor
13/POJK.03/2017 tentang Penggunaan Jasa Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik.
Pertimbangannya antara lain adalah sebagai berikut:

1. Telah memberikan opini yang tidak mencerminkan kondisi keuangan yang sebenarnya
2. Besarnya kerugian terhadap industri jasa keuangan dan masyarakat yang ditimbulkan atas opini
kedua AP tersebut atas Laporan Keuangan Tahunan Audit (LKTA) SNP Finance
3. Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan akibat dari kualitas penyajian
oleh akuntan publik.
Auditor di Pusaran Kecurangan Laporan Keuangan
Apa yang seharusnya dilakukan oleh Deloitte? Apa yang menjadi kewajiban bagi auditor? Dalam
hal ini seharusnya auditor mengetahui betapa pentingnya laporan keuangan yang diaudit. Auditor
mengetahui persis siapa saja yang menjadi para pengguna utama (primary beneficiary) dari laporan
keuangan yang diaudit tersebut, pihak – pihak yang akan melakukan pengambilan keputusan dari
laporan keuangan tersebut. Apalagi bukan setahun dua tahun Deloitte mengaudit SNP Finance,
tetapi dalam kurun waktu yang cukup lama. Deloitte yang merupakan KAP big four melakukan
kelalaian (negligence), yaitu dengan kurang menerapkan prinsip kehati – hatian (professional
skepticism) dalam mengaudit kliennya tersebut. Ketika terjadi peningkatan hutang dan hutang yang
menjadi non performing loan, harusnya ini sudah menjadi lampu kuning bagi Deloitte untuk
memberikan opini going concern atas laporan keuangan SNP Finance. Opini going concern adalah
informasi tambahan yang diberikan auditor di paragraph penjelas dalam laporan auditor independen
yang berfungsi untuk menyatakan bahwa perusahaan dalam kondisi beresiko mengalami
kebangkrutan. Dengan adanya opini tersebut, akan menjadi warning bagi para kreditornya untuk
berhati – hati dalam menyalurkan pinjaman. Selain itu dengan adanya kondisi kesulitan keuangan
yang dialami oleh SNP Finance, seharusnya Deloitte juga mengetahui bahwa hal ini menjadi faktor
tekanan/pressure bagi perusahaan untuk melakukan kecurangan/fraud,yaitu dengan memanipulasi
laporan keuangan agar tampak baik. Deloitte seharusnya mengkategorikan kliennya tersebut
sebagai high risk, atau beresiko tinggi melakukan fraud. Dengan adanya kondisi high risk tersebut,
mengacu pada standar audit yang dikeluarkan oleh International Standard on Auditing (ISA) no 330
tentang respon auditor terhadap resiko kecurangan klien, Deloitte seharusnya menambah porsi
pengujian substantive pada test of details, seperti menambah sampel untuk konfirmasi piutang
pelanggan. Sehingga dari prosedur audit tersebut akan terungkap apabila ternyata banyak piutang
fiktif yang sengaja dibuat oleh kliennya.
Kasus SNP Finance dan Deloitte ini hendaknya menjadi pelajaran bagi para pelaku bisnis dan
auditor. Pelaku bisnis yang ingin melakukan kecurangan, atau manipulasi laporan keuangan juga
berpikir dua kali, karena saat ini OJK telah bersikap kritis untuk menyelidiki kasus kecurangan
manajemen (white collar crime). Auditor dan Kantor Akuntan Publik juga harus berhati-hati dalam
memberikan opini audit, jangan sampai opini yang diberikan menjadi menyesatkan bagi para
pengguna laporan keuangan, sehingga dampaknya jadi mengakibatkan kerugian material dalam
jumlah besar.
https://accounting.binus.ac.id/2018/12/03/merunut-kasus-snp-finance-auditor-deloitte-indonesia-1/
Terkait dengan kasus pembobolan 14 bank oleh PT Sunprima Nusantara
Pembiayaan atau SNP Finance, Kementerian Keuangan telah menjatuhkan
sanksi kepada tiga akuntan publik terkait. Sanksi itu diberikan setelah ada
pengaduan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai pelanggaran prosedur
audit oleh kantor akuntan publik itu.
Baca: Pembobolan 14 Bank oleh SNP Finance, Ini Tanggapan Sri Mulyani
"Sudah kami jatuhkan sejak Agustus lalu," ujar Kepala Biro Komunikasi dan
Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti
kepada Tempo, Jumat, 28 September 2018. Tiga akuntan publik yang diberi
sanksi itu adalah Akuntan Publik Marlinna, Akuntan Publik Merliyana
Syamsul, dan Kantor Akuntan Publik Satrio Bing Eny dan Rekan. KAP
Satrio Bing Eny atau KAP SBE merupakan salah satu entitas Deloitte
Indonesia.
Ads by Kiosked

Seperti diketahui, SNP Finance merupakan anak usaha Grup Columbia,


yang selama ini dikenal bergerak di bidang pembiayaan untuk pembelian
alat-alat rumah tangga. Pada Senin lalu, Badan Reserse Kriminal Markas
Besar Kepolisian RI menindaklanjuti laporan PT Bank Panin Tbk atas
dugaan jaminan piutang fiktif SNP dan menetapkan lima pimpinan SNP
sebagai tersangka. Laporan keuangan hasil audit dari akuntan pubik itu yang
kemudian dijadikan dasar bagi SNP untuk meraup kredit dari bank lain.

Menurut data Bareskrim Polri, yang diperoleh dari dokumen pencairan kredit
yang pernah diterima SNP, total penggelapan mencapai Rp 14
triliun. Namun OJK menyebutkan kredit yang disalurkan perbankan kepada
SNP Finance tidak mencapai Rp 14 triliun. Sebanyak 14 bank yang terlibat
dalam kasus ini hanya menyalurkan pendanaan sekitar Rp 2,2 triliun.

Lebih jauh, Nufransa berujar kementeriannya memberikan sanksi


administratif kepada Akuntan Publik Marlinna dan Akuntan Publik Merliyana
Syamsul berupa pembatasan pemberian jasa audit terhadap entitas jasa
keuangan, semisal jasa pembiayaan dan jasa asuransi, selama 12 bulan,
yang mulai berlaku pada 16 September 2018 hingga 15 September 2019.

Adapun KAP SBE dan Rekan dikenakan sanksi berupa rekomendasi


untuk membuat kebijakan dan prosedur dalam sistem pengendalian mutu
KAP terkait dengan ancaman kedekatan anggota tim perikatan senior. "KAP
juga diwajibkan mengimplementasikan kebijakan dan prosedur dimaksud
dan melaporkan pelaksanaannya paling lambat 2 Februari 2019," ujar
Nufransa.

Berdasarkan keterangan resmi di situs www.pppk.kemenkeu.go.id,


Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) Kementerian Keuangan
telah melakukan analisis pokok permasalahan. Lembaga itu kemudian
menyimpulkan bahwa terdapat indikasi pelanggaran terhadap standar
profesi dalam audit yang dilakukan para akuntan publik dalam pelaksanaan
audit umum atas laporan keuangan SNP Finance selama tahun buku 2012-
2016.

Untuk memastikan hal tersebut, PPPK memeriksa KAP dan dua akuntan
publik yang dimaksud. Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa akuntan
publik Marlinna dan Merliyana Syamsul belum sepenuhnya mematuhi
Standar Audit-Standar Profesional Akuntan Publik dalam pelaksanaan audit
umum atas laporan keuangan SNP Finance.

Hal-hal yang belum sepenuhnya terpenuhi antara lain pemahaman


pengendalian sistem informasi terkait dengan data nasabah dan akurasi
jurnal piutang pembiayaan serta pemerolehan bukti audit yang cukup dan
tepat atas akun Piutang Pembiayaan Konsumen. Selain itu, dalam meyakini
kewajaran asersi keterjadian dan asersi pisah batas akun Pendapatan
Pembiayaan, pelaksanaan prosedur yang memadai terkait dengan proses
deteksi risiko kecurangan, serta respons atas risiko kecurangan, serta
skeptisisme profesional dalam perencanaan dan pelaksanaan audit.

ADVERTISEMENT

Selain hal tersebut, sistem pengendalian mutu yang dimiliki KAP


mengandung kelemahan karena belum dapat melakukan pencegahan yang
tepat atas ancaman kedekatan berupa keterkaitan yang cukup lama di
antara personel senior, yakni manajer tim audit dalam perikatan audit pada
klien yang sama untuk suatu periode yang cukup lama. Kementerian
Keuangan menilai hal tersebut berdampak pada berkurangnya skeptisisme
profesional.

Baca: Tak Hanya Bank Mandiri, BCA Jadi Korban Pembobolan SNP Finance

Ketika dikonfirmasi, Clients and Market Leader Deloitte Indonesia Steve


Aditya mengatakan perusahaannya tengah melakukan konsolidasi internal.
"Karena soal tindak pidana yang disebutkan punya implikasi legal yang perlu
disikapi lebih hati-hati," ujarnya.
https://bisnis.tempo.co/read/1130928/kasus-snp-finance-kemenkeu-jatuhkan-sanksi-ke-deloitte-
indonesia/full&view=ok

Anda mungkin juga menyukai