NIM : 1702020015
Kelas : Akuntansi A
Mata Kuliah : Auditing
Pada pulan Juli 2017 mulai timbul masalah pada SNP finance dimana
terdapat perbedaan angka akuntansi antara SNP sebagai multifinance dengan bank
seperti Bank Mandiri yang terlihat dari CAPS yaitu suatu aplikasi connecting.
OJK kemudian meminta dilakukan pemeriksaan kepada pihak perbankan secara
internal dan oleh pengawas, setelah dilakukan pemeriksaan oleh investigator
internal bank mandiri ditemukan bahwa ternyata tidak pernah dilakukan
rekonsiliasi antara banking yang disebabkan adanya kesalahn system yang tidak
sempurna.
Terlepas dari kasus yang tengah bergulir ini, sejumlah pihak mensinyalir
adanya kelemahan bank dalam menjalankan prinsip kehati-hatian. Selain itu,
system pengawasan otoritas pun dinilai perlu dievaluasi. Pembobolan dana
perbankan melalui kredit fiktif biasanya terdeteksi setelah ada kasus gagal bayar.
Biasanya untuk debitur yang sudah lama, bank mengandalkan kepercayaan dan
rating korporasi. Nah ini menjadi satu kelemahan apabila kredit yang diberikan,
seperti channeling, dan bank tidak melakukan pengecakan ulang kepada nasabah.
Menurut pengakuan Bos BCA yang menjadi korban pembobolan oleh SNP
Finance, modus yang dilakukan diketahu dengan mengajukan kredit fiktif. Nilai
kredit yang diajukan ke bank di mark-up dari nilai sebenarnya. Awal mula
kerjasama antara SNP Finance dengan Bank BCA yaitu pada bulan Juni 2016
dimana SNP Finance mengajukan kredit. Besaran kredit berjenjang hingga
November 2017 nilainya mencapai Rp. 545 Miliar.
Semula SNP mengangsur secara rutin. Sisa kewajiban SNP Finance terus
berkurang hingga menjadi Rp. 210 Miliar. BCA memberikan kepercayaan untuk
menyalurkan kredit kepada SNP Finance karena memiliki kinerja keuangan yang
sehat. Menurut hasil audit Deloitte tahun 2017 dan rating Pefindo Maret 2018,
kondisi keuangan SNP Finance sehat. Bahkan pada Maret 2018, SNP Finance
masih menerbitkan Medium Term Notes (MTN). Pefindo juga menaikan peringkat
utang SNP Finance dari idA- menjadi idA. Pembayaran kredit mulai tersendat
setelah 18 April 2018.
Dampak besar dari kasus ini menurut Ketua Umum Asosiasi Perusahaan
Pembiayaan Indonesia Suwandi Wiratno menilai kasus yang melibatkan
multifinance dengan modus double financing hingga menggunakan piutang fiktif
sebagai jaminan untuk memperoleh kredit bank. Perbankan mulai memperketat
kredit ke multifinance, atau menyebabkan kesulitan bagi multifinance untuk
mendapatkan kredit dari bank.
Salah satu langkah bank untuk menghindari hal serupa, akan mengubah
sikap bank menjadi leih konservatif dan selektif dalam memberikan akses
financial kepada perusahaan pembiayaan atau multifinance. Selain itu bank akan
meminta multifinance untuk menyerahkan asset lebih besar untuk pinjamannya
guna menumbuhkan rasa kepercayaan dengan kreditur.
Ditengah kasus pidana terhadap pengurus SNP Finance, perusahaan
pembiyaan tersebut juga tengah menghadapi ancaman dicabutnya izin usaha
menyusul penetapan pembekuan kegiatan usaha (PKPU) sebagai rentetan kasus
gagal bayar bunga MTN sebesar Rp. 6,75 Miliar.
Mereka terancam pasal 263 KUHP, dan/atau Pasal 372 KUHP, dan/atau
Pasal 378 KUHP, dan/atau pasal 3, pasal 4, pasal 5 undang-undang nomor 8 tahun
2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Berdasarkan kasus diatas, menurut analisis saya, Pada kasus SNP ini telihat
bahwa cara yang digunakan oleh pihak manajemen untuk mendapatkan dana dari
pihak bank yaitu salah dengan melakukan manipulasi data kreditur, hal ini tentu
memberikan dampak negative bagi kelangsungan perusahaan. Perusahaan tidak
mempertimbangkan dampak untuk membayar kewajibannya diluar batas
kemampuan perusahaan itu sendiri.
SNP juga tidak bertindak sesuai dengan kewajibannya, tugas atau kegiatan
bisnis SNP yaitu memberikan pembiayaan kepada nasabah, namun dibalik itu
SNP juga memiliki kewajiban untuk melunasi hutangnya kepada pihak debitur.
Pada kenyataannya SNP tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap debitur,
SNP malah melakukan manipulasi untuk menghindarinya. Jadi disini karna pada
dasarnya sumber dana yang didapat SNP yaitu berasal dari pembiayaan Bank,
seharusnya SNP bukan hanya mementingkan seberapa banyak dana yang
diperoleh dari Bank yang akhirnya digunakan untuk pembiayaan kepada
nasabahnya. Tetapi harus memikirkan juga kewajiban pembayaran kepada pihak
debitur atas dana yang didapat.
Disini SNP dan auditor mengabaikan prisinsip keadilan, kaitanya dengan
kerja sama yang terjalin dengan pihak bank sebagai kreditur. Kerjasama yang
diharapkan kedua belah pihak yaitu untuk sama-sama mendapatkan keuntungan,
bank memberikan dana dalam bentuk piutang kepada SNP dan SNP mengakui
sebagai hutang kepada bank yang harus dibayar sesuai dengan jangka waktu yang
disepakati. Akan tetapi kenyataannya PT SNP malah melakukan tindak
kecurangan dengan memanipulasi data nasabah agar mendapatkan dana yang
lebih besar, namun pada akhirnya tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada
bank. Hal ini tentu merugikan pihak bank, dan untuk menuntut keadilan bank
dapat melaporkan hal ini kepada pihak yang berwenang dan diharapkan
mendapatkan ganti rugi dari pihak SNP atas kerugian yang dialami Bank.