Anda di halaman 1dari 4

Gagal Bayar Bunga MTN SNP Finance:

Dimana Tanggung Jawab Pefindo dan


Deloitte
By Lulu Badriyah on May 18, 2018No Comment

Oleh Biro Riset Infobank

“Saya beli medium term notes (MTN) milik SNP Finance karena Rating Pefindo idA/Stable.
Itu diupdate terus sampai Maret 2018 tetap idA/Stable. Plus, akuntan publiknya dari Deloitte.
Siapa yang tidak percaya? Deloitte Bro “demikian kata seorang investor yang membeli MTN
Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) kepada InfoBank.

Diketahui, SNP Finance pada 9 Mei dan 14 Mei mengalami gagal bayar atas MTN yang
diterbitkan. Total kewajiban bunga utang yang belum dibayar adalah Rp6,75 miliar dari dua
seri MTN. Pertama MTN V SNP Tahap II senilai Rp5,25 miliar yang jatuh tempo 9 Mei 2018
dengan nilai pokok Rp200 miliar yang terbit Februari 2018 dengan Rating Pefindo idA/Stable
dengan kupon 10,5%. Kedua bunga MTN III seri B senilai Rp1,5 miliar yang diliris 13
November 2018 senilai Rp50 miliar dengan kupon 12,12% dengan Rating idA/Stable.

Menurut data dari KSEI, seluruh nilai MTN sebesar Rp1,852 triliun dengan jatuh tempo dan
seri yang berbeda. Nilai MTN yang jatuh tempo 2018 sebesar Rp725 miliar dengan 5 seri.
Sementara MTN yang jatuh tempo 2019 sebesar Rp817 miliar dengan 10 Seri dan yang jatuh
tempo 2020 sebesar Rp310 miliar dengan 4 seri. Semua dengan rating idA/Stable dari
Pefindo.

“Sekarang kita percaya siapa? Kalau hasil Rating idA/Stable saja begini? Lalu kita percaya
angka-angka siapa, jika hasil audit Kantor Akuntan Publik Depoitte yang caliber dunia saja
begini. Siapa yang harus bertanggung jawab,” lanjut cerita investor yang membeli MTN lebih
dari Rp75 miliar.

Pertanyaan lanjutan, apakah hanya SNP Finance saja yang hasil auditnya tidak sesuai
kenyataan? Apakah memang kualitas audit dari Kantor Akuntan Publik Depoitte demikian?
Sampai saat ini, belum ada konfirmasi dari pihak KAP Deloitte. Disebut-sebut hasil duit tidak
sesuai kondisi yang sebenarnya. Misalnya, jumlah account receivable tidak sesuai dengan
kenyataan. Tapi, Deloitte tidak melihatnya atau bertindak.

Saat ini belum diketahui secara pasti berapa bolongnya SNP Finance ini. Jumlah aktiva tidak
sesuai dengan pasiva. Ada kesan penggelembungan asset, atau tagihan fiktif – pura-pura
nasabahnya banyak. Seperti biasa, jika demikian ada double pledge atau lebih seperti kasus
Arjuna Finance dan saudaranya Bima Finance. Lalu, modusnya sama memasukan ke
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Sunprima (SNP) Finance ini merupakan grup dari Colombia yang sudah lebih dari 30 tahun
berbisnis barang-barang elektronik. Leo Chandra merupakan pendiri dari Colombia yang
mempunyai 358 outlet dan 27 mobile outlet. Pemegang saham SNP Finance 66,65% dimiliki
oleh Leo Chandra dan keluarga melalui PT Cipta Pratama Mandiri dan 33,35% melalui
kepemilikan langsung. Siapa yang tidak percaya dengan Columbia yang sudah lebih tiga
puluh tahunan di bisnis kredit barang elektronik.

Menurut dugaan, hasil “abal-abal” dari KAP ini bisa jadi yang dipakai oleh Pefindo
menentukan rating idA/Stable. Jadi, Pefindo sepertinya hanya membuat stampel saja. Atau,
juga Deloitte juga hanya menjadi stampel? Tentu tidak jika pernah di audit oleh Deloitte.
Tapi, bukan tidak mungkin ada negosisasi dari hasil temuan – atau ada management letter.

Siapa yang mengawasi KAP? Inilah satu-satunya pekerjaan Kementerian Keuangan yang
tidak pindah ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kantor akuntan publik masih di bawah
Kementerian Keuangan RI. Bagaimana pengawasannya? Jujur hampir tidak ada pengawasan
terhadap KAP di Indonesia. Jadi, karena tidak ada yang mengawasi dengan benar dan proper
maka sudah sepantasnya perilaku dari KAP sesukanya.

Apakah dalam hal ini Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) juga akan memeriksa akuntan dari
Deloitte yang memeriksa SNP Finance – yang diduga hasil audit tidak sama dengan
kenyataan hingga menyebabkan kreditur apes tak terbayarkan bunganya? Apalagi secara
bersamaan melakukan langkah PKPU.
Kisah Enron dan KAP Arthur Andersen tahun 2001 merupakan skandal Kantor Akuntan
dengan perusahaan yang diperiksanya. Waktu itu, Enron yang merugi dicatatkan laba besar,
sehingga merugikan investor. Hasil audit dan kenyataan yang berbeda. Oleh KAP Arthur
Anderson, Enron pada Oktober 2001 menerbitkan laporan keuangan tercatat laba US$393
juta atau naik US$100 juta, padahal sejatinya rugi US$644 juta. Enron perusahaan gas di
Amerika Serikat ini akhirnya mempensiunkan 5000 karyawannya dan KAP Andersen menuai
banyak tuntutan, dan akhirnya harus ditutup tahun 2002 karena moral hazard ini.

Sejumlah kalangan, seperti investor, dan pelaku serta otoritas keuangan, menunggu langkah
IAI dan Kantor Kementrian Keuangan yang mengawasi Kantor Akuntan. Jangan-jangan di
Depkeu tidak ada orang yang mengawasi karena tidak ada satu pun kantor akuntan yang
merasa diawasi.

Padahal, kantor akuntan itu awal dari semua moral hazard di dalam urusan debitur dengan
kreditur. Seperti penuturan beberapa bankir, banyak bank juga mengalami tertipu akibat
akuntan publik dari debitur yang sembarangan tapi dipoles oleh KAP menjadi layak kredit.

Akhirnya SNP Finance menimbulkan dampak berantai. Gagal bayarnya SNP Finance ini
akan merember ke industri multifinance semakin tidak dipercaya oleh bank. Apakah hanya
SNP Finance setelah Arjuna Finance dan Bima Finance, Mandiri Finance Indonesia, IBF dan
SAF? Lalu, bank-bank yang membeli MTN dan yang memberi kredit ke SNP Finance yang
beredar di pasar total mencapai Rp4,2 triliun – yang Rp1,8 triliun dari MTN.

Kasus gagal bayar ini telah membuat susah bank-bank yang membeli MTN maupun yang
memberikan kredit. Apakah sanksinya akan seperti kisah Enron dan KAP Arthur Andersen
di AS yang dicabut lisensinya? Apakah kebohongan ini hanya terjadi pada SNP Finance saja
dari ribuan perusahaan yang sudah di audit oleh KAP Deloitte & Partner? Pemerintah harus
bertindak jika trust level di kalangan investor kembali kuat.

Lalu, sekarang kita percaya siapa jika Rating Pefindo yang per Maret 2018 saja masih
idA/Stabel dengan reputasi global KAP Deloitte saja jebol begini? Harus ada penertiban
terhadap kantor-kantor KAP ini karena jujur saja merontokan kredibilitas pasar dan kreditur.
Hal yang sama juga harus dilakukan koreksi terhadap Rating Pefindo yang jujur saja
kecolongan seperti ini.

Akibat Rating Pefindo dan KAP Deloitte ini kini 17 bank kreditur harus menanggung beban
Rp4,2 triliun. Inilah efek berantainya, dan bukan tak mungkin akan menyeret sejumlah bank-
bank kecil yang membeli dan membiayai MTN dan memberikan kredit. Bikin susah
multifinance lain untuk memperoleh pembiayaan bank dan ini akan berantai membuat
kesulitan akibat salah beli akibat laporan keuangan yang dipoles habis.

Di mana tanggung jawab KAP Deloitte dan Pefindo?(*)

Gagal Bayar Bunga MTN SNP Finance: Dimana Tanggung Jawab Pefindo dan Deloitte
added by Lulu Badriyah on May 18, 2018
View all posts by Lulu Badriyah →
Share this:




Like this:

Anda mungkin juga menyukai