OLEH :
KELOMPOK 12
B. Deskripsi Kasus
Kasus Kebobolan Rp 1,4 Triliun, Seharusnya Bank Mandiri Bisa Tekan Risiko
INDOPOS yang coba menghubungi melalui telepon selularnya belum direspon. Demikian
pula halnya pertanyaan yang disampaikan melalui pesan singkat dan WA (whatsapp).
INDOPOS kemudian pada Selasa (3/4) menghubungi Eko Nopiansyah, salah satu tim humas
di Bank Mandiri.
Menurutnya, Bank Mandiri melalui Corporate Secretary, Rohan Hafas beberapa waktu
lalu sudah pernah menjelaskan soal itu. Kemudian kembali disampaikan Eko kepada
INDOPOS, Selasa (3/4). "Bank Mandiri terus berkoordinasi dengan Kejagung terkait
penyelesaian debitur-debitur nakal. Salah satunya PT Tirta Amarta Bottling (TAB)," ujarnya.
Salah satu hasil kerja sama dengan Kejagung dalam menindak tegas debitur nakal Bank
Mandiri adalah penahanan Direktur Utama dan Head Accounting PT TAB. "Dan jika dalam
prosesnya terdapat pegawai kami yang terbukti bersalah, maka kami akan mengambil
tindakan sesuai ketentuan yang berlaku," jelasnya.
Sementara itu, terkait kasus yang membelit bank BUMN tersebut, Pengamat Perbankan
Paul Sutaryono mengatakan, seharusnya setiap bank masing-masing memiliki potensi kredit
macet. "Masalahnya bagaimana bank itu dapat menekan potensi risiko itu serendah
mungkin," ujarnya kepada INDOPOS, Senin (2/4).
Paul menambahkan, jika bank terkena risiko tentu saja bank harus membuat cadangan
kredit macet minimum 100 persen dari nilai risikonya. Jika cadangan ini makin tinggi akan
menggerus modal. "Maka ke depan bank apa saja harus mampu mematuhi aturan pemberian
kredit (complience)," pungkasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kejagung membidik pihak Bank Mandiri Pusat atas
kasus dugaan korupsi Rp 1,4 Trliun. Ini setelah adanya dugaan bobolnya bank BUMN
tersebut melibatkan banyak pihak, termasuk pejabat di Bank Mandiri Pusat. Kejagung masih
terus melakukan pengembangan penyidikan kasus dugaan korupsi melalui kredit Bank
Mandiri Cabang Bandung kepada PT Tirta Amarta Bottling Company (TAB) pada 2015. ”Ini
masih proses penyidikan, tentu semua masih harus berjalan," kata Jaksa Agung Muda Pidana
Khusus M. Adi Toegarisman, (1/4).
Menurut dia, kasus ini masih dikembangkan lantaran diduga melibatkan banyak pihak.
Namun, Adi belum bisa memastikan pihak-pihak mana yang nantinya akan dibidik terkait
pengembangan kasus ini. "Kita tidak bisa andai-andai fakta apa yang akan berkembang
nantinya," tandasnya.
Namun, Adi tidak memungkiri jika pengembangan kasus ini dapat menyasar kepada
pihak Bank Mandiri Pusat. Sebab, sejauh ini, pihaknya baru menyentuh pihak Bank Mandiri
Cabang Bandung dan PT TAB. Ini sesuai penetapan dan penahanan tersangka dari Bank
Mandiri Cabang Bandung antara lain Surya Baruna Semenguk, commercial banking
manager; Frans Eduard Zandra, relationship manager; dan Teguh Kartika Wibowo, senior
credit risk manager. Selain itu, Totok Sugiharto, head of commercial banking dan Purwito
Wahyono, head of wholesale credit. Sedangkan dari PT TAB, tersangka adalah Rony Tedi,
direktur dan Juventius, head of accounting.
"Itu nanti bicara mekanisme kerja, yang jelas ini operasional di lapangan. Kegiatan secara
administrasi iya, tapi ketika bicara di sisi lain tergantung fakta penyidikan yang berkembang
nantinya," tandas Adi.
Kasus ini berawal pada 15 Juni 2015 saat mengajukan perpanjangan dan tambahan
fasilitas kredit kepada Bank Mandiri sebesar Rp 880,6 miliar. Selain itu juga minta fasilitas
perpanjangan dan tambahan plafon LC sebesar Rp 40 miliar, sehingga total plafon LC
menjadi Rp 50 miliar. Kemudian, fasilitas kredit investasi yang kelima (baru) sebesar Rp 250
miliar selama 72 bulan. Permohonan kredit itu diduga menggunakan dokumen yang
dipalsukan dan mark up aset yang senyatanya. Selain itu, PT TAB juga diduga menggunakan
uang fasilitas kredit senilai Rp 73 miliar. Uang itu digunakan untuk kredit investasi, tetapi
digunakan untuk hal lainnya. (dai/ydh)
Sumber : Indopos
C. Analisis Kasus
Kasus di atas dapat dikategorikan sebagai kasus penggelapan berencana yang dilakukan
oleh beberapa pihak guna melancarkan satu pengajuan kredit dari calon debitur. Dalam hal
ini, pihak debitur yang dipermasalahkan adalah PT Tirta Amarta Bootling. Setelah dilakukan
auditing dari laporan keuangan perusahaan tersebut, ternyata ditemukan bahwa terdapat
penggelembungan jumlah total aktiva yang tidak sesuai, hal inilah yang membuat penilaian
kredit yang dilakukan oleh pihak Mandiri menjadi bias. Lebih dari itu, ternyata ditemukan
juga bahwa kesepakatan gelap ini melibatkan pegawai internal Mandiri yang bertugas untuk
melakukan penilaian kelayakan pemberian kredit terhadap satu usaha. Dari kasus ini, dapat
dianalisis beberapa poin pembahasan berikut :
1. Adanya Pelanggaran Etika Profesi yang Dilakukan oleh Pegawai Internal Mandiri
Etika profesi (professional ethics) adalah suatu sikap etis yang dimiliki seorang
profesional sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam mengembang tugasnya serta
menerapkan norma-norma etis umum pada bidang-bidang khusus (profesi) dalam
kehidupan manusia. Etika profesi atau kode etik profesi sangat berhubungan dengan
bidang pekerjaan tertentu yang berhubungan langsung dengan masyarakat atau konsumen.
Konsep etika tersebut harus disepakati bersama oleh pihak-pihak yang berada di lingkup
kerja tertentu. Kode etik profesi ini berperan sebagai sistem norma, nilai, dan aturan
profesional secara tertulis yang dengan tegas menyatakan apa yang benar/ baik, dan apa
yang tidak benar/ tidak baik bagi seorang profesional. Dengan kata lain, kode etik profesi
dibuat agar seorang profesional bertindak sesuai dengan aturan dan menghindari tindakan
yang tidak sesuai dengan kode etik profesi.
Dalam kasus ini, beberapa pegawai Bank Mandiri yang terlibat dalam penggelapan
data penilaian kualitas kredit dari PT Tirta Amarta Bootling dapat dikatakan secara jelas
telah melanggar etika profesi mereka dalam bidang perbankan. Sebagai pihak yang
melakukan analisis terhadap kualitas usaha yang diajukan oleh debitur, seharusnya mereka
menjalankan tugas yang diberikan secara profesional dan tidak mementingkan
kepentingan satu pihak manapun. Hal ini merupakan salah satu tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena menimbulkan kerugian bagi
Bank Mandiri sebagai BUMN, dan akhirnya juga akan merugikan negara lebih lanjutnya
nanti.
2. Adanya Dugaan Pemalsuan Laporan yang Dilakukan oleh Pihak PT Tirta Amarta
Bootling untuk Maksud dan Tujuan Tertentu
Dalam kasus ini ditemukan bahwa PT Tirta Amarta senagaja melakukan pemalsuan
data keuangan mereka dengan tujuan agar data tersebut terlihat baik dan dapat lolos dalam
penilaian kredit dari Bank Mandiri, seperti yang dijelaskan pada poin satu. Perbuatan
semacam ini dapat dikategorikan sebagai kecurangan atau fraud. Menurut James Hall
(2011), fraud atau kecurangan merupakan kesalahan penyajian dari fakta material yang
dibuat oleh salah satu pihak ke pihak yang lain dengan niatan untuk menipu dan
menyebabkan pihak lain yang mengandalkan fakta tersebut mengalami kerugian. Secara
umum aktivitas fraud mencakup lima kondisi berikut :
A. Penyajian yang keliru (false representation), pasti ada penyajian yang keliru atau
kurang lengkap dalam pengungkapan
B. Fakta material (material fact), fakta merupakan hal yang substansial yang mendorong
seseorang untuk berbuat
C. Niat (intent), selalu ada niat untuk mengarahkan ke hal yang keliru (deceive)
D. Pengkhianatan kepercayaan (justifiable reliance), penyajian yang salah terhadap
faktor substansial yang diandalkan oleh pihak yang dirugikan
E. Kerugian (injury or loss), penipuan yang telah dilakukan mengakibatkan kerugian
pada korban
Jika dianalisis lebih dalam lagi, data keuangan yang dimanipulasi adalah di bagian
total aktiva perusahaan PT Tirta Amarta yang sengaja digelembungkan. Apabila kita lihat
disini, dengan menaikkan jumlah total aktiva dalam laporan keuangannya, ini akan
membuat perusahaan seakan-akan memiliki kinerja keuangan yang cukup bagus jika
dilihat dari rasio ROA-nya. Dengan melakukan manipulasi ini, maka para pegawai yang
bertugas melakukan analisis kredit PT Tirta Amarta akan cenderung berpikir bahwa
perusahaan ini masih dapat dikatakan memiliki kelayakan dari segi bisnisnya jika
diberikan pembiayaan kredit.
D. Dampak
Adapun dampak yang ditimbulkan dari kasus bobolnya kredit Bank Mandiri sebesar 1,4 T
ini, antara lain sebagai berikut :
1. Bagi PT Tirta Amarta yang memiliki beberapa anak perusahaan yang cukup besar,
peristiwa ini membuat nama baik dan citra perusahaan mereka menjadi buruk di
muka publik. Kasus penggelapan data keuangan ini dapat dikatakan sebagai satu
kasus yang cukup serius dan berat di kalangan bisnis, apalagi bagi perusahaan yang
sudah berbentuk perseroan terbatas.
2. Bagi Mandiri, karena kasus ini mereka mengalami kerugian yang cukup besar juga.
Pihak internal perbankan harus mengatur strategi ke depannya untuk menanggulangi
kasus ini, misalnya dengan melakukan evaluasi perencanaan cadangan penghapusan
piutang kredit macet atau provision for bad debt.
3. Bagi negara sendiri, karena status Bank Mandiri juga yang merupakan Badan Usaha
Milik Negara, maka Indonesia secara tidak langsung juga ikut mengalami kerugian
atas kasus yang dialami oleh Bank Mandiri ini.
E. Solusi
Berdasarkan kasus diatas, adanya pembobolan program kredit bank seperti yang terjadi
kepada PT Bank Mandiri Tbk (Persero), bisa terjadi akibat pengawasan kurang tajam dan
tidak memenuhi asas kepatuhan (compliance). Seperti diketahui, Bank Mandiri mengalami
pembobolan program kredit mereka oleh PT Tirta Amarta Bottling senilai Rp 1,8 triliun.
Secara umum, apabila melihat lebih dalam mengenai pembobolan kredit bank ini
diketahui bahwa kasus visual basic atau VB perbankan bisa terjadi ketika pengawasan kurang
tajam dan tidak memenuhi asas kepatuhan (compliance). Apalagi ketika ada main mata antara
orang luar dan orang dalam bank, ditambah kesempatan yang ada.
Selain beberapa prinsip perbankan yang terdapat dalam UU Perbankan yaitu, prinsip
kepercayaan (fiduciary relation principle), prinsip kehati-hatian (prudential principle),
prinsip kerahasiaan (secrecy principle), dan prinsip mengenal nasabah (know how costumer
principle), Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/2/PBI/2011 Tentang Pelaksanaan Fungsi
Kepatuhan Bank Umum menyebutkan bahwa prinsip kepatuhan merupakan prinsip yang
sangat erat kaitannya dalam upaya mitigasi risiko yang akan dihadapi oleh perbankan. Dalam
hal ini tidak luput dengan risiko dan kerugian yang dihadapi oleh Bank Mandiri.
Melihat perkembangan tantangan dan risiko usaha bank yang semakin besar, dan dalam
hal ini pada kasus Bank Mandiri, maka diperlukan berbagai macam upaya untuk memitigasi
risiko tersebut. Upaya-upaya tersebut dapat bersifat ex-ante maupun ex-post. Upaya yang
bersifat ex-ante sangat diperlukan untuk mengurangi atau memperkecil potensi risiko
kegiatan usaha bank yang diperkirakan akan terjadi. Oleh karena itu diperlukan adanya
peningkatan peran dan Fungsi Kepatuhan serta satuan kerja kepatuhan dalam pengelolaan
Risiko Kepatuhan.
Pengelolaan Risiko Kepatuhan yang baik dan tepat waktu diharapkan dapat
meminimalisir dampak risiko sedini mungkin. Dengan demikian peran dan Fungsi Kepatuhan
maupun satuan kerja kepatuhan ke depan tidak hanya melihat suatu kejadian yang bersifat ex-
ante melainkan juga harus mampu mengelola Risiko Kepatuhan agar sejalan dengan
penerapan manajemen risiko yang telah berjalan di bank secara keseluruhan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dianggap perlu adanya pengaturan tersendiri
yang lebih luas dan spesifik mengenai peran dan Fungsi Kepatuhan serta satuan kerja
kepatuhan yang terpisah dari ketentuan tentang fungsi audit intern. Disamping itu, pengaturan
ini nantinya diharapkan akan mengubah peran dan Fungsi Kepatuhan maupun satuan kerja
kepatuhan menjadi lebih forward looking dan lebih sensitif terhadap dinamika perubahan
yang terjadi. Dengan demikian, terjadi transformasi mengenai peran dan Fungsi Kepatuhan
serta satuan kerja kepatuhan menuju kearah yang lebih strategis dan lebih berperan dalam
mendukung kinerja bank yang lebih baik.
Fungsi Kepatuhan adalah serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang bersifat ex-
ante (preventif) untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta
kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk sesuai dengan Prinsip Syariah (bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah), serta memastikan kepatuhan Bank terhadap
komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas pengawas lain
yang berwenang.
Penerapan prinsip kepatuhan (compliance) dapat menjadi solusi yang sangat baik yang
dapat diterapkan oleh bank-bank yang memiliki risiko dan permasalahan seperti Bank
Mandiri. Karena setiap kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang
dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sehingga bentuk pengawasan dari Bank Indonesia dan Otoritas Jasa
Keuangan menjadi lebih mudah. Hanya saja prinsip ini dilakukan sebagai upaya preventif
atau pencegahan terjadinya risiko yang akan dihadapi. Adapun dalam penerapannya dapat
dibentuk suatu direktur kepatuhan yang memiliki tugas untuk melaksanakan dan mengawasi
asas kepatuhan didalam setiap bank untuk menghindari risiko yang tidak diinginkan oleh
setiap perbankan.
Bank Indonesia telah memberikan solusi yang sangat baik dalam kaitannya dengan risiko,
selain upaya manajemen risiko bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/25/PBI/2010 mengenai Perubahan atas PBI Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko, hal penting yang untuk mengatasi risiko perbankan juga diatur dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/2/PBI/2011 Tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan
Bank Umum sebagai upaya ex-ante manajemen risiko bank umum di Indonesia.
F. Saran
Adapun saran yang kami usulkan dalam menghadapi permasalahan pembobolan program
kredit bank pada PT Bank Mandiri Tbk (Persero) antara lain:
1. Adanya penerapan fungsi kepatuhan didalam internal Bank Mandiri sebagai solusi
awal terakit mitigasi risiko yang akan dihadapi oleh bank. Dengan diterapkannya
fungsi ini dapat memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta
kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank Mandiri telah sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta memastikan
kepatuhan Bank Mandiri terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank
Indonesia dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang.
2. Peran internal audit Bank Mandiri yang seharusnya mampu menjadi benteng pertama
pengawasan perbankan sehingga adanya bentuk pengawasan secara internal terkait
mengidentifikasi dan mengukur secara objektif dan independen mengenai keselarasan
antara pelaksanaan aktivitas dengan rencana, kebijakan, berbagai peraturan dan
ketentuan, serta sistem pencatatan dan pelaporan Bank Mandiri
3. Meneguhkan kembali kode etik kepada seluruh pegawai Bank Mandiri mulai dari
tingkatan yang paling atas hingga paling bawah sehingga dalam melakukan pekerjaan,
kode etik profesi dapat berperan sebagai sistem norma, nilai, dan aturan profesional
secara tertulis yang dengan tegas menyatakan apa yang benar/ baik, dan apa yang
tidak benar/ tidak baik bagi seorang profesional.
4. Pengawasan berkala oleh OJK terhadap Bank Mandiri dimana manajemen harus
melakukan pemantauan secara internal terhadap konsentrasi penyediaan dana dengan
memperhatikan pemenuhan BMPK, baik untuk penyediaan dana dari Bank secara
individu maupun penyediaan dana dari Bank dan Perusahaan Anak secara
konsolidasi. BMPK secara konsolidasi adalah persentase maksimum total penyediaan
dana Bank dan Perusahaan Anak yang diperkenankan terhadap modal Bank secara
konsolidasi. Sehingga dalam ini, dapat ditekan kerugian yang mencapai lebih dari 1
triliun rupiah.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2010 mengenai Perubahan atas PBI Nomor
5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko
Rose, Peter S and Sylvia C. Hudgins, Bank Management & Financial Services, Ninth Edition,
Mc Graw-Hill.
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/2/DPNP/2003 tentang Pengelolaan Profil Risiko