Anda di halaman 1dari 16

BAB II

MENGAPA AKUNTANSI FORENSIK ?

2.1 PENGANTAR

Seorang auditor dapat disebut sebagai akuntan yang berspesialisasi dalam


auditing, maka akuntan forensik menjadi spesialis yang lebih khusus dalam bidang
fraud. Association of Certified Fraud Examiners mengelompokkan fraud dalam tiga
kelompok besar yakni corruption (korupsi), asset misappropriation (penjarahan aset),
dan fraudulent financial statements (laporan keuangan yang dengan sengaja dibuat
meyesatkan).

Mengapa akuntansi forensik ? karena ada fraud, baik berupa potensi fraud
maupun nyata-nyata ada fraud. Fraud menghancurkan pemerintahan maupun bisnis.
Fraud berupa korupsi lebih luas daya penghancurnya. Akuntan forensik mengamati
dan memahami gejala fraud secara makro pada tingkat perekonomian negara. Ada
banyak kajian global yang dapat dimanfaatkan.

2.2 CORPORATE GOVERNANCE

Bagi para pemegang saham, penerapan Corporate Governance yang baik dengan
sendirinya akan dapat meningkatkan nilai saham, yang berarti akan ada kenaikan
jumlah deviden yang dibayarkan. Kerangka yang dibangun dalam Corporate
Governance harus mampu melindungi hak-hak para pemegang saham. Hak-hak
tersebut meliputi hak-hak dasar pemegang saham, yaitu hak untuk menjamin keamanan
cara pendaftaran atas kepemilikan, hak untuk mengalihkan saham atau menyerahkan
saham, hak untuk memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara
teratur dan tepat waktu, hak untuk berperan dalam memberikan hak suara dalam RUPS,
hak untuk memilih anggota pengurus, serta hak untuk memperoleh hak pembagian
keuntungan perusahaan.
Mengenai dampak kelemahan governance di korporasi secara teoritis dapat
dijelaskan bahwa perusahaan yang lemah governancenya, akan dihukum oleh pasar
modal berupa lebih rendahnya harga saham mereka. Dengan perkataan lain, saham
mereka seharusnya mempunyai nilai yang lebih tinggi kalau mereka mempunyai good
corporate governance. Konsultan manajemen McKinsey melakukan kajian global
dalam hal ini mengenai hal ini pada tahun 2002. Hal yang dilihat adalah substansi dari
penerapan corporate governance, dan bukan bentuk luarnya. Syarat adanya Dewan
Komisaris dan ada Direksi mungkin saja seolah-oleh terpenuhi, namun para komisaris
dan direktur adalah anggota keluarga. Atau ada komisaris “Independen”, tetapi
pemegang saham mayoritas sangat dominan dalam pengambilan keputusan.

Dalam kajian Mckinsey, salah satu pertanyaan diajukan kepada institutional


investors adalah apakah anda bersedia membayar lebih untuk saham-saham dari
perusahaan yang melaksanakan praktik dewan yang sehat ? jawabannya bervariasi dari
berbagai kawasan (lihat bagan 2.1).

Bagan 2.1
Kesediaan Untuk Membayar Premium jika Ada Praktik Sehat

YES
83 81
89

17 19 NO
11
LATIN AMERICA ASIA EUPORPE/US

Pertanyaan selanjutnya adalah berapa persen anda bersedia membayar lebih untuk
saham-saham dari perusahaan yang melaksanakan praktik dewan yang sehat ? (lihat
bagan 2.2)
Bagan 2.2
Premium untuk Praktik Dewan yang Sehat
35

30

25

20

15
Latin America Asia Cotimental US/UK
Europe

Bagan 2.2 menunjukkan bahwa semakin lemah corporate governance dalam hal
praktik tidak sehatnya dewan, semakin besar premium atau kelebihan yang investor
bersedia bayar, jika memang ada perbaikan.

Korelasi antara Corporate Governance dengan Kinerja Keuangan

CLSA telah membuat kajian mengenai korelasi antara Corporate Governance


dengan kinerja keuangan. CLSA adalah kelompok independent dan investasi yang
menyediakan jasa – jasa pasar modal seperti equity broking, merger and acquisition
dan asset management services kepada korporasi global dan klien – klien institusional.
CLSA menyebutkan bahwa korelasi yang hampir sempurna antara Corporate
Governance di lapisan teratas dan lapisan terbawah, dengan kinerja keuangan yang
diukur berdasarkan ROCE (return on capital employed) dan ROE (return on equity).
CLSA menyimpulkan adanya korelasi yang kuat antara skor Corporate Governance
dengan kinerja harga saham.

Enforcement sangat penting. Kelemahan dalam bidang penegakan hukum,


standar akuntansi, dan lain – lain konsisten dengan tingkat korupsi dan kelemahan
dalam penyelenggaraan Negara.
2.3 CORRUPTION PERCEPTIONS INDEX

Indeks persepsi korupsi (corruption perceptions index-CPI) sangat dikenal di


Indonesia, dengan atau tanpa pemahaman yang benar. CPI adalah indeks mengenai
persepsi korupsi di suatu Negara. Indeks ini diumumkan setiap tahunnya oleh
Transparency International (TI).
TI adalah organisasi masyarakat madani global (global civil society) yang
memelopori pemberantasan korupsi. TI mempertemukan bangsa-bangsa dalam suatu
koalisi untuk mengakhiri dampak buruk yang dahsyat dari korupsi terhadap manusia
di seluruh dunia. Misi TI adalah menciptakan perubahan menuju dunia yang bebas
korupsi.
Sejak pendiriannya tahun 1993, TI memegang peran utama dalam memperbaiki
kehidupan jutaan manusia di seluruh dunia dengan membangun momentum bagi
gerakan pemberantasan korupsi. TI meningkatkan kesadaran dan menekan rasa apatis
dan toleransi terhadap korupsi, serta merancang dan melancarkan tindakan-tindakan
praktis memberantas korupsi
Tabel 2.1 menunjukan CPI dari Negara-negara peringkat atas. Tabel 2.2
menunjukan CPI dari Negara-negara dengan peringkat terendah. Tabel 2.3 CPI
Indonesia dengan Negara tetangga. Tabel 2.4 menunjukan perubahan indikator korupsi
di Indonesia dengan menggunakan CPI dari tahun 2001-2008.

Tabel 2.1
CPI 2009 Negara Peringkat Teratas

Survei
Keandalan
Peringkat Negara Skor yang
Data
Digunakan
1 Selandia Baru 9,4 6 9,1-9,5
2 Denmark 9,3 6 9,1-9,5
3 Singapura 9,2 9 9,0-9,4
4 Swedia 9,2 6 9,0-9,3
5 Swiss 9,0 6 8,9-9,1
6 Finlandia 8,9 6 8,4-9,4
7 Belanda 8,9 6 8,7-9,0
8 Australia 8,7 8 8,3-9,0
9 kanada 8,7 6 8,5-9,0
10 islandia 8,7 4 7,5-9,4
11 Norwegia 8,6 6 8,2-9,1
12 hing Kong 8,2 8 7,9-8,5
13 Luksemburg 8,2 6 7,6-8,8
14 jerman 8,0 6 7,7-8,3
15 Irlandia 8,0 6 7,8-8,4
16 Austria 7,9 6 7,4-8,3
17 Jepang 7,7 8 7,4-8,0
18 Inggris 7,7 6 7,3-8,2
19 Amerika Serikat 7,5 8 6,9-8,0
20 Barbados 7,4 4 6,6-8,2
Sumber : www.transparency.org.

Tabel 2.2
CPI 2009-Negara-negara Peringkat Terendah

Survei yang Keandalan


Peringkat Negara Skor
Digunakan Data
168 Burundi 1,8 6 1,6-2,0
168 Guinea ekuatorial 1,8 3 1,6-1,9
168 Guinea 1,8 5 1,7-1,8
168 Haiti 1,8 3 1,4-2,3
168 Iran 1,8 3 1,7-1,9
168 Turkmenistan 1,8 4 1,7-1,9
174 Uzbekistan 1,8 4 1,7-1,9
175 Cad 1,6 6 1,5-1,7
176 Irak 1,5 3 1,2-1,8
176 Sudan 1,5 5 1,4-1,7
178 Myanmar 1,4 3 0,9-1,8
179 Afganistan 1,3 4 1,0-1,5
180 Somalia 1,1 3 0,9-1,4
Sumber : www.transparency.org.
Tabel 2.3
CPI Indonesia dengan Negara tetangga

Survei yang Keandalan


Peringkat Negara Skor
Digunakan Data
56 Malasia 4,5 9 4,0-5,1
111 Indonesia 2,8 9 2,4-3,2
120 Vietnam 2,7 9 2,4-3,1
139 Filipina 2,4 9 2,1-2,7
146 Timor Leste 2,2 5 1,8-2,6
Sumber : www.transparency.org.

Tabel 2.4
CPI Indonesia Tahun 2001-2009

Negara yang Survei yang


Tahun Peringkat Skor
Disurvei Digunakan
2001 88 91 1,9 12
2002 96 102 1,9 12
2003 122 133 1,9 13
2004 137 146 2 14
2005 140 159 2,2 13
2006 130 163 2,4 10
2007 143 180 2,3 11
2008 126 180 2,6 10
2009 111 180 2,8 9
Sumber : www.transparency.org.

Beberapa hal yang perlu dipahami dalam membaca tabel-tabel tersebut :

1. Indeks ini menunjukan urut-urutan negara sesuai dengan persepsi urut-urutan


tingkat korupsi yang dilakukan pegawai negeri dan kaum politisi. Hal yang perlu
digarisbawahi adalah kata persepsi (perception). Survei ini mencerminkan persepsi
dan pandangan para pengusaha dan analis dari seluruh dunia.
2. Indeks ini merupakan indeks gabungan (composite index) yang berasal dari data
yang berkaitan dengan korupsi dari berbagai expert surveys oleh lembaga-lembaga
bereputasi.
3. Definisi korupsi yang digunakan dalam survei ini adalah penyalahgunaan jabatan
oleh pegawai dan kaum politisi untuk kepentingan pribadi, seperti penyuapan dalam
proses pengadaan barang dan jasa di pemerintahan (sektor publik). Survei ini tidak
membedakan korupsi yang bersifat administratif atau politis, atau antara korupsi
besar dan korupsi kecil
4. Apakah hasil survei handal, dapat dipercaya? Ya, untuk persepsi mengenai tingkat
korupsi, mengenai tingkat keandalan antar negara, kita perlu memperhatikan jumlah
kajian yang digunakan, standar deviasi dan lebarnya confidence intervals.
5. Skor lebih penting dari peringkat, peringkat dipengaruhi oleh jumlah negara yang
disurvei.
6. Apakah Indonesia Negara terkorup? Ada kesan bahwa data CPI menunjukan
Indonesia sebagai Negara terkorup di dunia. Tabel 2.2 tidak memasukan Indonesia
dalam peringkat Negara-negara terkorup.
7. Apakah mudah atau sulit mengubah skor dalam CPI? Mengapa skor kita tidak
banyak berubah, padahal sudah ada undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi, sudah ada Gubernur yang dipenjara karena korupsi dan lain-lain. Seperti
disebutkan diatas, CPI merekan persepsi. Meskipun sudah ada Undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi dan sudah ada yang dihukum, juga ada cukup
banyak yang bebas, ada dugaan polisi, jaksa, hakim, panitera, pemeriksa, dan lain-
lain yang disuap
8. Skor CPI juga tidak mudah diubah karena didasarkan atas rata-rata bergerak selama
tiga tahun terakhir. jadi untuk Presiden suatu Negara yang masa pemerintahannya
lima tahun, penilaian kinerja CPI nya tercermin secara utuh untuk penghujung tahun
ketiga, keempat dan kelima.
9. Diatas digunakan istilah expert survey atau survei atas dasar pandangan para pakar,
mengapa bukan persepsi orang banyak atau public opinion survey yang dipakai ?
CPI memang pernah menggunakan public opinion survey. Cara ini ditinggalkan
karena survey tidak membedakan kadar korupsi, karena itu pakar bisnis dianggap
dalam posisi yang lebih baik untuk memberi pandangan, ketimbang orang banyak.
2.4 GLOBAL CORRUPTION BAROMETER

Global Corruption Barometer (GCB) merupakan survei pendapat umum yang


dilakukan sejak tahun 2003. Survei dilakukan oleh Gallup International atas nama
Transparency International (TI). GCB berupaya memahami bagaimana dan dengan
cara apa korupsi mempengaruhi hidup orang banyak, dan memberikan indikasi
mengenai bentuk dan betapa luasnya korupsi dari sudut pandang anggota masyarakat
di seluruh dunia.
GCB ingin mengetahui dari masyarakat pada umumnya, sektor yang paling
korup, bagian dari hidup sehari-hari yang paling dipengaruhi oleh korupsi, apakah
korupsi meningkat atau menurun dibandingkan masa lalu.
Korupsi dalam GCB berarti uang sogokan atau pembayaran tidak resmi untuk
mendapatkan suatu pelayanan. Secara umum, bukan hanya di Indonesia, temuan
utama survei GCB 2007 adalah sebagai berikut :
1. Rakyat miskin, baik di negara berkembang maupun negara industri yang sangat
maju adalah korban utama korupsi.
2. Sekitar 1 diantara 10 orang di seluruh dunia harus membayar uang suap atau
sogok (bribe).
3. Penyuapan marak dalam urusan dengan kepolisian, sistem peradilan, dan
pengurusan izin-izin.
4. Masyarakat umum percaya bahwa lembaga-lembaga terkorup dalam masyarakat
mereka adalah partai-partai politik, parlemen/ DPR, kepolisian, dan sistem
peradilan.
5. Separuh dari mereka yang diwawancarai memperkirakan korupsi di negara
mereka akan meningkat dalam tiga tahun mendatang.
6. Separuh dari mereka yang diwawancarai berpendapat bahwa upaya pemerintah
mereka memerangi korupsi tidaklah efektif.
GCB merupakan alat untuk mengukur korupsi secara lintas negara. Melalui fokusnya

pada pendapat publik, GCB merupakan pelengkap CPI dan BPI yang dilaksanakan atas

pendapat para pakar dan pimpinan dunia usaha.


Tabel 2.5
Sektor Terkorup di Indonesia

Sector Index
Police 4,2
Parliament/Legislature 4,1
Legal system/Judiciary 4,1
Political Parties 4,0
Registry and Permit Services 3,8
Tax Revenue Authorithies 3,6
Utilities 3,1
Business/Private Sector 3,1
The Military 3,0
Education System 3,0
NGOs 2,8
Medical Services 2,8
Media 2,5
Religious Bodies 2,2
Sumber : Global Corruption Barometer, 2007

Dalam tabel 2.5 berisi sektor-sektor terkorup di Indonesia menurut pendapat orang
Indonesia sendiri (kisaran dari 1 sampai 5 dimana 1 berarti tidak ada korupsi
sedangkan 5 sangat korup).
Apakah masyarakat Indonesia memperkirakan korupsi akan bertambah, tetap atau
berkurang dalam tahun mendatang dibandingkan dengan 2007 ?
GCB menunjukkan jawaban yang disarikan dalam bagan 2.3
Bagan 2.3
Korupsi di Indonesia Naik, turun, tetap dalam tiga tahun mendatang ?

Sama saja 19% Meningkat 59%


19%

22% 59%

Menurun 22%
Global Corruption Barometer (GCB) 2009 mengajukan pertanyaan kepada responden
: dalam persepsi anda berapa besar lembaga berikut yang dipengaruhi korupsi ?
Tabel 2.6
Persepsi Korupsi Di Lembaga Tertentu Di Kawasan Asia Pasifik
(skor 1: tidak semua korup, skor 5: sangat korup)
Negara Parpol DPR Bisnis Media Pegawai Peradilan Rata-
Negeri rata
Brunei Darussalam 2,1 2,1 2,7 1,9 2,6 2,0 2,3
Kamboja 3,0 2,7 2,6 2,3 3,5 4,0 3,0
Hong Kong 3,3 2,7 3,9 3,6 3,0 2,5 3,2
India 4,2 3,6 3,4 2,9 3,7 3,2 3,5
Indonesia 4,0 4,4 3,2 2,3 4,0 4,1 3,7
Jepang 4,3 3,9 3,8 3,6 4,3 3,2 3,9
Malaysia 3,9 3,3 3,4 2,7 3,7 3,1 3,4
Pakistan 3,5 3,7 3,5 3,0 4,1 3,8 3,6
Filipina 4,0 3,9 3,0 2,0 4,0 3,4 3,4
Singapura 2,1 1,8 2,7 2,5 2,2 1,8 2,2
Korea Selatan 4,3 4,2 3,8 3,6 3,7 3,6 3,9
Thailand 4,1 3,1 3,2 2,8 3,6 2,8 3,3

Skor untuk Indonesia tidak mengejutkan. Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun
mengakui hasil survei TI itu. Ia mengaku DPR berpeluang besar melakukan korupsi
karena memiliki fungsi anggaran.

2.5 BRIBE PAYERS INDEX

Bribe Payers Index (BPI) adalah ukuran seberapa besar keinginan sektor bisnis
suatu negara untuk terlibat dalam praktik bisnis yang korup.
BPI 2008 khusus tentang Indonesia dilaksanakan dengan wawancara tatap muka
antara 18 Agustus sampai 17 September 2008. Mengenai bagaimana penilaian para
eksekutif bisnis senior yang beroperasi di Indonesia terhadap upaya pemerintah
Indonesia dalam memberantas korupsi ? jawaban mereka dirangkum dalam bagan 2.2
berikut :
Bagan 2.4
Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia

4% Keterangan :
13%
Sangat Efektif : 4%
41%
Efektif : 41%
27% Biasa Saja : 15%
Tidak Efektif : 27%
15%
Sangat Tidak Efektif : 13%
Sumber : Survei Transparency International Bribe Payers, 2008

Para eksekutif bisnis senior ditanya, seberapa jauh menurut persepsi mereka lembaga-
lembaga di Indonesia dipengaruhi praktik korupsi ? jawaban mereka direkam dalam
tabel berikut :
Tabel 2.7
Lembaga-Lembaga di Indonesia yang dipengaruhi Praktik Korupsi

Lembaga Skor
Parliament/Legislature 4,1
Police 3,9
Political Parties 3,9
Customs 3,9
Legal system/Judiciary 3,8
Registry and Permit Services 3,7
Tax Revenue Authorithies 3,5
Utilities 2,9
Business/Private Sector 2,9
The Military 2,9
Education System 2,8
Medical Services 2,6
NGOs 2,5
Media 2,4
Religious Bodies 2,1
Sumber : Sumber : Survei Transparency International Bribe Payers, 2008
2.6 GLOBAL COMPETITIVENESS INDEX

Tingkat kemampuan bersaing suatu negara mencerminkan sampai berapa jauh


negara tersebut dapat memberikan kemakmuran kepada warga negaranya. Sejak 1979,
World Economic Forum (WEF) menerbitkan laporannya (The Global Competitiveness
Report) yang meneliti faktor-faktor yang memungkinkan perekonomian suatu bangsa
dapat mempunyai pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran jangka panjang yang
berkesinambungan.

Laporan terakhir WEF berkenaan dengan data 2007 dan dimasukkan dalam The
Global Competitiveness Report 2008-2009. Laporan ini meringkat tingkat kemampuan
bersaing negara-negara dalam indeks yang disebut Global Competitiveness Index.
Sebagai berikut perbandingan, Tabel 2.8 menunjukkan peringkat indonesia dan negara
tetangga.

Tabel 2.8
Peringkat Indonesia dan Negara Tetangga
Negara Peringkat Skor Peringkat tahun lalu
Singapura 5 5,53 7
Malaysia 21 5,04 21
Thailand 34 4,6 28
Brunei Darussalam 39 4,54 N/A
Indonesia 55 4,25 54
Vietnam 70 4,1 68
Filipina 71 4,09 71
Kamboja 109 3,53 110
Timor-Leste 129 3,15 127
Sumber : Global Competitiveness Index, 2008-2009

The Global Competitiveness Report mengelompokkan perkembangan ekonomi


suatu negara ke dalam tiga tahapan. Tahap 1 disebut factor driven. Tahap 2 disebut
efficiency driven. Dan Tahap 3 disebut innovation driven. Ada negara-negara yang
sedang dalam peralihan, misalnya dari Tahap 1 ke 2 atau dari tahap 2 ke 3. Tahap-tahap
di atas berhubungan dengan 12 pilar persaingan. Kedua belas pilar ini dapat dilihat
dalam Figur 2.2.
Sumber : Global Competitiveness Index

Figur 2.2 dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam Tahap 1 suatu negara bersaing
dengan negara lain berdasarkan faktor-faktor yang mereka miliki (endowments)
terutama tenaga kerja tidak terampil dan sumber-sumber daya alam. Oleh karena itu,
tahap pertama disebut factor driven.
Untuk mempertahankan kemampuan bersaing dalam Tahap 1, negara yang
bersangkutan harus mengembangkan dengan baik lembaga-lembaga publik maupun
swastanya (pilar 1), infrastruktur yang berkembang dengan baik (pilar 2), kerangka
makro ekonomi yang stabil (pilar 3), dan tenaga kerja yang sehat dan mampu membaca
(pilar 4).
Ketika tingkat upah meningkat dengan berkembangnya perekonomian, negara-
negara dalam Tahap 1 beralih memasuki Tahap 2. Dalam Tahap 2 mereka harus mulai
meningkatkan efisiensi dalam proses produksi dan mutu produk yang mereka hasilkan.
Pada Tahap 2, kemampuan bersaing didorong oleh pendidikan dan pelatihan (pilar 5),
pasar-pasar yang efisiensi dari produk yang dihasilkan (pilar 6), berfungsinya dengan
baik pasar tenaga kerja (pilar 7), kecanggihan pasr modal dan pasar uang (pilar 8),
kemampuan untuk meraih manfaat dari teknologi yang ada (pilar 9) dan pasar valuta
asing yang besar di dalam negeri (pilar 10).
Akhirnya, negara-negara akan memasuki Tahap 3. Dalam Tahap 3 mereka
mampu mempertahankan tingkat upah dan standar hidup yang tinggi kalau mereka
mampu bersaing dalam produk baru atau produk yang unik. Pada Tahap 3 perusahaan
harus bersaing melalui penciptaan barang baru, barang yang berbeda, atau proses
produksi yang paling canggih (pilar 11) dan inovasi (pilar 12).
Ini berarti, meskipun semua negara mengandalkan kedua belas pilar persaingan
(12 pilars of comvetitiveness), namun penekanannya akan berbeda bergantung pada
tahap di mana mereka berada.

Perincian skor dan peringkat Indonesia dalam kedua belas pilar persaingan
dapat dilihat pada Tabel 2.9
Tabel 2.9
Skor dan Peringkat Indonesia dalam 12 Pilar Persaingan
Pilar Persaingan Skor Peringkat
Basic requirements : 4,3 76
Pilar 1 : institutions 3,9 68
Pilar 2 : insfrastructure 3 86
Pilar 3 : macroeconomic stability 4,9 72
Pilar 4 : health and primary education 5,3 87
Efficiency enhancers : 4,3 49
Pilar 5 : higher education and training 3,9 71
Pilar 6 : goods market efficiency 4,7 37
Pilar 7 : labor market efficiency 4,6 43
Pilar 8 : financial market sophistication 4,5 57
Pilar 9 : technological readliness 3 88
Pilar 10 : market size 5,1 17
Innovation and sophistication factors : 4 45
Pilar 11 : business sophistication 4,5 39
Pilar 12 : innovation 3,4 47
Sumber : Global Competitiveness Index.
Apa masalah utama yang dihadapi Indonesia dalam mengembangkan perekonomian
dan bisnisnya? Bagan 2.5 di bawah menunjukkan masalah-masalah tersebut. Intensnya
masalah-masalah yang bersangkutan ditunjukkan dari jumlah responden yang
mengidentifikasikan masalah tersebut.

Bagan 2.5

Percent of responses

Dari bagian di atas dapat dilihat bahwa korupsi menduduki urutan ketiga dari
masalah utama yang kita hadapi, di samping masalah ketidakefisienan birokrasi
pemerintahan dan masalah infrastruktur.
DAFTAR PUSTAKA

Tuanakotta, Theodorus M. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta:


Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai