2.1 PENGANTAR
Mengapa akuntansi forensik ? karena ada fraud, baik berupa potensi fraud
maupun nyata-nyata ada fraud. Fraud menghancurkan pemerintahan maupun bisnis.
Fraud berupa korupsi lebih luas daya penghancurnya. Akuntan forensik mengamati
dan memahami gejala fraud secara makro pada tingkat perekonomian negara. Ada
banyak kajian global yang dapat dimanfaatkan.
Bagi para pemegang saham, penerapan Corporate Governance yang baik dengan
sendirinya akan dapat meningkatkan nilai saham, yang berarti akan ada kenaikan
jumlah deviden yang dibayarkan. Kerangka yang dibangun dalam Corporate
Governance harus mampu melindungi hak-hak para pemegang saham. Hak-hak
tersebut meliputi hak-hak dasar pemegang saham, yaitu hak untuk menjamin keamanan
cara pendaftaran atas kepemilikan, hak untuk mengalihkan saham atau menyerahkan
saham, hak untuk memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara
teratur dan tepat waktu, hak untuk berperan dalam memberikan hak suara dalam RUPS,
hak untuk memilih anggota pengurus, serta hak untuk memperoleh hak pembagian
keuntungan perusahaan.
Mengenai dampak kelemahan governance di korporasi secara teoritis dapat
dijelaskan bahwa perusahaan yang lemah governancenya, akan dihukum oleh pasar
modal berupa lebih rendahnya harga saham mereka. Dengan perkataan lain, saham
mereka seharusnya mempunyai nilai yang lebih tinggi kalau mereka mempunyai good
corporate governance. Konsultan manajemen McKinsey melakukan kajian global
dalam hal ini mengenai hal ini pada tahun 2002. Hal yang dilihat adalah substansi dari
penerapan corporate governance, dan bukan bentuk luarnya. Syarat adanya Dewan
Komisaris dan ada Direksi mungkin saja seolah-oleh terpenuhi, namun para komisaris
dan direktur adalah anggota keluarga. Atau ada komisaris “Independen”, tetapi
pemegang saham mayoritas sangat dominan dalam pengambilan keputusan.
Bagan 2.1
Kesediaan Untuk Membayar Premium jika Ada Praktik Sehat
YES
83 81
89
17 19 NO
11
LATIN AMERICA ASIA EUPORPE/US
Pertanyaan selanjutnya adalah berapa persen anda bersedia membayar lebih untuk
saham-saham dari perusahaan yang melaksanakan praktik dewan yang sehat ? (lihat
bagan 2.2)
Bagan 2.2
Premium untuk Praktik Dewan yang Sehat
35
30
25
20
15
Latin America Asia Cotimental US/UK
Europe
Bagan 2.2 menunjukkan bahwa semakin lemah corporate governance dalam hal
praktik tidak sehatnya dewan, semakin besar premium atau kelebihan yang investor
bersedia bayar, jika memang ada perbaikan.
Tabel 2.1
CPI 2009 Negara Peringkat Teratas
Survei
Keandalan
Peringkat Negara Skor yang
Data
Digunakan
1 Selandia Baru 9,4 6 9,1-9,5
2 Denmark 9,3 6 9,1-9,5
3 Singapura 9,2 9 9,0-9,4
4 Swedia 9,2 6 9,0-9,3
5 Swiss 9,0 6 8,9-9,1
6 Finlandia 8,9 6 8,4-9,4
7 Belanda 8,9 6 8,7-9,0
8 Australia 8,7 8 8,3-9,0
9 kanada 8,7 6 8,5-9,0
10 islandia 8,7 4 7,5-9,4
11 Norwegia 8,6 6 8,2-9,1
12 hing Kong 8,2 8 7,9-8,5
13 Luksemburg 8,2 6 7,6-8,8
14 jerman 8,0 6 7,7-8,3
15 Irlandia 8,0 6 7,8-8,4
16 Austria 7,9 6 7,4-8,3
17 Jepang 7,7 8 7,4-8,0
18 Inggris 7,7 6 7,3-8,2
19 Amerika Serikat 7,5 8 6,9-8,0
20 Barbados 7,4 4 6,6-8,2
Sumber : www.transparency.org.
Tabel 2.2
CPI 2009-Negara-negara Peringkat Terendah
Tabel 2.4
CPI Indonesia Tahun 2001-2009
pada pendapat publik, GCB merupakan pelengkap CPI dan BPI yang dilaksanakan atas
Sector Index
Police 4,2
Parliament/Legislature 4,1
Legal system/Judiciary 4,1
Political Parties 4,0
Registry and Permit Services 3,8
Tax Revenue Authorithies 3,6
Utilities 3,1
Business/Private Sector 3,1
The Military 3,0
Education System 3,0
NGOs 2,8
Medical Services 2,8
Media 2,5
Religious Bodies 2,2
Sumber : Global Corruption Barometer, 2007
Dalam tabel 2.5 berisi sektor-sektor terkorup di Indonesia menurut pendapat orang
Indonesia sendiri (kisaran dari 1 sampai 5 dimana 1 berarti tidak ada korupsi
sedangkan 5 sangat korup).
Apakah masyarakat Indonesia memperkirakan korupsi akan bertambah, tetap atau
berkurang dalam tahun mendatang dibandingkan dengan 2007 ?
GCB menunjukkan jawaban yang disarikan dalam bagan 2.3
Bagan 2.3
Korupsi di Indonesia Naik, turun, tetap dalam tiga tahun mendatang ?
22% 59%
Menurun 22%
Global Corruption Barometer (GCB) 2009 mengajukan pertanyaan kepada responden
: dalam persepsi anda berapa besar lembaga berikut yang dipengaruhi korupsi ?
Tabel 2.6
Persepsi Korupsi Di Lembaga Tertentu Di Kawasan Asia Pasifik
(skor 1: tidak semua korup, skor 5: sangat korup)
Negara Parpol DPR Bisnis Media Pegawai Peradilan Rata-
Negeri rata
Brunei Darussalam 2,1 2,1 2,7 1,9 2,6 2,0 2,3
Kamboja 3,0 2,7 2,6 2,3 3,5 4,0 3,0
Hong Kong 3,3 2,7 3,9 3,6 3,0 2,5 3,2
India 4,2 3,6 3,4 2,9 3,7 3,2 3,5
Indonesia 4,0 4,4 3,2 2,3 4,0 4,1 3,7
Jepang 4,3 3,9 3,8 3,6 4,3 3,2 3,9
Malaysia 3,9 3,3 3,4 2,7 3,7 3,1 3,4
Pakistan 3,5 3,7 3,5 3,0 4,1 3,8 3,6
Filipina 4,0 3,9 3,0 2,0 4,0 3,4 3,4
Singapura 2,1 1,8 2,7 2,5 2,2 1,8 2,2
Korea Selatan 4,3 4,2 3,8 3,6 3,7 3,6 3,9
Thailand 4,1 3,1 3,2 2,8 3,6 2,8 3,3
Skor untuk Indonesia tidak mengejutkan. Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun
mengakui hasil survei TI itu. Ia mengaku DPR berpeluang besar melakukan korupsi
karena memiliki fungsi anggaran.
Bribe Payers Index (BPI) adalah ukuran seberapa besar keinginan sektor bisnis
suatu negara untuk terlibat dalam praktik bisnis yang korup.
BPI 2008 khusus tentang Indonesia dilaksanakan dengan wawancara tatap muka
antara 18 Agustus sampai 17 September 2008. Mengenai bagaimana penilaian para
eksekutif bisnis senior yang beroperasi di Indonesia terhadap upaya pemerintah
Indonesia dalam memberantas korupsi ? jawaban mereka dirangkum dalam bagan 2.2
berikut :
Bagan 2.4
Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia
4% Keterangan :
13%
Sangat Efektif : 4%
41%
Efektif : 41%
27% Biasa Saja : 15%
Tidak Efektif : 27%
15%
Sangat Tidak Efektif : 13%
Sumber : Survei Transparency International Bribe Payers, 2008
Para eksekutif bisnis senior ditanya, seberapa jauh menurut persepsi mereka lembaga-
lembaga di Indonesia dipengaruhi praktik korupsi ? jawaban mereka direkam dalam
tabel berikut :
Tabel 2.7
Lembaga-Lembaga di Indonesia yang dipengaruhi Praktik Korupsi
Lembaga Skor
Parliament/Legislature 4,1
Police 3,9
Political Parties 3,9
Customs 3,9
Legal system/Judiciary 3,8
Registry and Permit Services 3,7
Tax Revenue Authorithies 3,5
Utilities 2,9
Business/Private Sector 2,9
The Military 2,9
Education System 2,8
Medical Services 2,6
NGOs 2,5
Media 2,4
Religious Bodies 2,1
Sumber : Sumber : Survei Transparency International Bribe Payers, 2008
2.6 GLOBAL COMPETITIVENESS INDEX
Laporan terakhir WEF berkenaan dengan data 2007 dan dimasukkan dalam The
Global Competitiveness Report 2008-2009. Laporan ini meringkat tingkat kemampuan
bersaing negara-negara dalam indeks yang disebut Global Competitiveness Index.
Sebagai berikut perbandingan, Tabel 2.8 menunjukkan peringkat indonesia dan negara
tetangga.
Tabel 2.8
Peringkat Indonesia dan Negara Tetangga
Negara Peringkat Skor Peringkat tahun lalu
Singapura 5 5,53 7
Malaysia 21 5,04 21
Thailand 34 4,6 28
Brunei Darussalam 39 4,54 N/A
Indonesia 55 4,25 54
Vietnam 70 4,1 68
Filipina 71 4,09 71
Kamboja 109 3,53 110
Timor-Leste 129 3,15 127
Sumber : Global Competitiveness Index, 2008-2009
Figur 2.2 dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam Tahap 1 suatu negara bersaing
dengan negara lain berdasarkan faktor-faktor yang mereka miliki (endowments)
terutama tenaga kerja tidak terampil dan sumber-sumber daya alam. Oleh karena itu,
tahap pertama disebut factor driven.
Untuk mempertahankan kemampuan bersaing dalam Tahap 1, negara yang
bersangkutan harus mengembangkan dengan baik lembaga-lembaga publik maupun
swastanya (pilar 1), infrastruktur yang berkembang dengan baik (pilar 2), kerangka
makro ekonomi yang stabil (pilar 3), dan tenaga kerja yang sehat dan mampu membaca
(pilar 4).
Ketika tingkat upah meningkat dengan berkembangnya perekonomian, negara-
negara dalam Tahap 1 beralih memasuki Tahap 2. Dalam Tahap 2 mereka harus mulai
meningkatkan efisiensi dalam proses produksi dan mutu produk yang mereka hasilkan.
Pada Tahap 2, kemampuan bersaing didorong oleh pendidikan dan pelatihan (pilar 5),
pasar-pasar yang efisiensi dari produk yang dihasilkan (pilar 6), berfungsinya dengan
baik pasar tenaga kerja (pilar 7), kecanggihan pasr modal dan pasar uang (pilar 8),
kemampuan untuk meraih manfaat dari teknologi yang ada (pilar 9) dan pasar valuta
asing yang besar di dalam negeri (pilar 10).
Akhirnya, negara-negara akan memasuki Tahap 3. Dalam Tahap 3 mereka
mampu mempertahankan tingkat upah dan standar hidup yang tinggi kalau mereka
mampu bersaing dalam produk baru atau produk yang unik. Pada Tahap 3 perusahaan
harus bersaing melalui penciptaan barang baru, barang yang berbeda, atau proses
produksi yang paling canggih (pilar 11) dan inovasi (pilar 12).
Ini berarti, meskipun semua negara mengandalkan kedua belas pilar persaingan
(12 pilars of comvetitiveness), namun penekanannya akan berbeda bergantung pada
tahap di mana mereka berada.
Perincian skor dan peringkat Indonesia dalam kedua belas pilar persaingan
dapat dilihat pada Tabel 2.9
Tabel 2.9
Skor dan Peringkat Indonesia dalam 12 Pilar Persaingan
Pilar Persaingan Skor Peringkat
Basic requirements : 4,3 76
Pilar 1 : institutions 3,9 68
Pilar 2 : insfrastructure 3 86
Pilar 3 : macroeconomic stability 4,9 72
Pilar 4 : health and primary education 5,3 87
Efficiency enhancers : 4,3 49
Pilar 5 : higher education and training 3,9 71
Pilar 6 : goods market efficiency 4,7 37
Pilar 7 : labor market efficiency 4,6 43
Pilar 8 : financial market sophistication 4,5 57
Pilar 9 : technological readliness 3 88
Pilar 10 : market size 5,1 17
Innovation and sophistication factors : 4 45
Pilar 11 : business sophistication 4,5 39
Pilar 12 : innovation 3,4 47
Sumber : Global Competitiveness Index.
Apa masalah utama yang dihadapi Indonesia dalam mengembangkan perekonomian
dan bisnisnya? Bagan 2.5 di bawah menunjukkan masalah-masalah tersebut. Intensnya
masalah-masalah yang bersangkutan ditunjukkan dari jumlah responden yang
mengidentifikasikan masalah tersebut.
Bagan 2.5
Percent of responses
Dari bagian di atas dapat dilihat bahwa korupsi menduduki urutan ketiga dari
masalah utama yang kita hadapi, di samping masalah ketidakefisienan birokrasi
pemerintahan dan masalah infrastruktur.
DAFTAR PUSTAKA