Anda di halaman 1dari 11

Go Green

(Oleh: Karatika Eka O.)

“Tik-tok-tik-tok...,” suara detak jarum jam tangan klasik yang melingkar gagah di
pergelangan tanganku bersahut-sahutan dengan deru motor dan mobil dari balik jendela bus
mini yang aku tumpangi. Sesaat aku melirik untuk memastikan bahwa aku tidak akan terlalu
lama untuk sampai di tempat tujuan. Jam menunjukkan pukul 14.15 waktu Tegal dan
sekitarnya, tetapi rintik hujan telah menyulapnya menjadi senja yang tua.

Aku kembali bersandar di jok usang untuk melepas penat. “Banjaran... Banjaraan,”
teriak kernet bus mini yang aku tumpangi. Seolah pekikan itu pertanda bergantinya
kehidupan. Penumpang pun naik turun. Aku semakin penat, tapi aku berusaha untuk
menikmati setiap satu senti perjalanan. Kurang lebih 15 menit lagi untuk sampai di Tirus, aku
harus sabar. Demi sebuah persahabatan. Demi Alt, sosok jangkung yang sok jagoan, padahal
muka innocent.

“Turun mana?” tanya kernet bus mini mengejutkanku.

“Tirus, Om,” jawabku sambil menyodorkan uang lima ribuan.

“Mau nyate, dek?” tanya kernet bus lagi sambil memberikan kembalian. Dua lembar
uang ribuan.

“Iya, Om, rasanya belum lengkap kalau balik ke Tegal tanpa nyate Batibul-nya Bang
Awi,” tukasku. Kernet bus itu terbahak, raut mukanya mengiyakan. Memang, selain tahu aci,
kota kelahiranku ini sangat terkenal dengan sate batibul-nya. Batibul kependekan dari bayi
kambing tiga bulan. Salah satu sate batibul yang terkenal adalah satenya Bang Awi, Tirus.
Konon katanya, cerita empuk dan manisnya daging kambing mudanya Bang Awi ini sudah
terkenal seantero Tegal dan sekitarnya.

Akan tetapi, sebagai mahasiswa pecinta alam, aku merasa miris dengan kota
kelahiranku. Aku asli Slawi, Kabupaten Tegal. Aku tinggal di kompleks perumahan
Tonggara. Namun, sepertinya pengelola perumahan sudah tidak pernah memperhatikannya
lagi karena memang kompleks perumahanku termasuk kompleks tua. Konsep awal memang
bagus, pengelola perumahan memberikan satu areal di bagian front perumahan sebagai
taman. Areal tersebut memang tidak dipergunakan untuk pembangunan rumah. Namun,
seiring berjalannya waktu, rupanya konsep itu telah berubah fungsi.

1
Banyak warga yang memanfaatkan lahan tersebut untuk membuka usaha pribadi.
Sebenarnya itu melanggar aturan, tapi bagaimana lagi, mereka berlaku demikian demi sesuap
nasi. Selama warung-warung ataupun counter yang didirikan tidak permanen sebenarnya
tidak menjadi masalah. Tapi sayangnya, mereka membuatnya secara permanen, bahkan
pohon dan rumput-rumput yang seharusnya sebagai produsen oksigen harus kandas. Sangat
disayangkan, di zaman pemanasan global ini, pepohonan yang tidak bersalah ikut menjadi
korban keserakahan manusia.

Padahal, pohon menghasilkan 1,2 kilogram oksigen per hari, sedangkan orang
membutuhkan 0,5 kilogram oksigen per hari. Jadi, satu pohon sebenarnya memberikan
kehidupan bagi dua orang. Menebang satu pohon berarti membunuh dua orang. Jika
demikian, masihkah orang-orang mau menebang pohon sembarangan? Ah!

“Wan!” tiba-tiba suara serak parau itu menampar lamunanku. Lelaki kurus berkumis
tipis, bercelana pendek dan kaos oblong, tiba di hadapanku sambil tersenyum-senyum.

“Eh, Lek Githo, mau ke mana, Lek?” ternyata Lek Ghito, mantan tetanggaku yang
sudah pindah ke Banjaran. Dulu, ia gendut, sekarang kehidupan telah menyulapnya menjadi
laki-laki kurus. Tapi, tetap gurat semangat masih terukir manis di wajahnya. Kami biasa
memanggilnya lek dari bahasa Jawa, dalam bahasa Indonesia artinya paman.

“Mau, ke Mejasem. Kamu ke mana, Wan?” tanyanya balik.

“Janjian sama temen, Lek, di Tirus,” jawabku.

“Bagus! Biar teman kamu kenal sate kita. Oh, ya, ngomong-ngomong motor gedhe
kamu ke mana? Kok naik bis?”

“Sengaja, Lek,” jawabku enteng.

“Wah, cah iki, bukannya naik motor sendiri lebih nyaman?” imbuhnya.

“Iya, Om, tapi nanti kasihan buminya kalau semua orang naik kendaraan sendiri. Kita
harus berubah, seperti programnya Pak Presiden, revolusi mental. Kita sebagai masyarakat
juga harus berubah dalam segala hal, Lek, termasuk dalam menjaga lingkungan. Bumi kita
sudah semakin tua, makin panas. Musim tak menentu. Nah, daripada kita menambah polusi
dengan naik motor sendiri, lebih baik naik angkutan umum. Untuk jarak yang sangat dekat,
malah lebih baik lagi kalau kita jalan kaki,” jelasku panjang lebar.

2
Sebagai mahasiswa pecinta alam, aku juga merasa ikut andil untuk memberikan
pengertian kepada masyarakat kecil seperti Lek Ghito ini yang sehari-harinya disibukkan
oleh hiruk-pikuk pasar. Malalah global warming dan pelestarian lingkungan, apa pedulinya.
Jadi, perlu diberikan pengertian secara perlahan sesuai dengan tingkat pendidikan mereka.

“Gini, Lek, kita perlu menjaga bumi kita dengan melestarikan alam. Pelestarian alam
tidak hanya dapat dilakukan dengan menanam pohon saja. Bisa dengan tidak membuang
sampah sembarang atau tidak menambah polusi, salah satunya dengan naik bus. Selain hemat
bahan bakar, mengurangi asap kendaraan yang sangat berbahaya bagi lingkungan,” lanjutku.

“Wah, sekarang kamu hebat, Wan! Benar-benar mahasiswa! Bagus! Lek doakan
besok jadi presiden ya, minimal bupati apa camatlah, biar lingkungan kita tetap asri,” kata
Lek Ghito.

Aku tersenyum-senyum. Menanamkan pemahaman dan kecintaan masyarakat


terhadap lingkungan sama pentingnya dengan nenamam sejuta pohon untuk lingkungan.

“Tirus, Tirus, Tirus,” kernet bus mini yang aku tumpangi mengingatkan para
penumpang untuk bersiap-siap untuk turun.

“Lek, aku duluan ya. Lek ghito hati-hati. Salam buat Bulek Tini,” pamitku.

“Iya, Wan, kamu juga. Tetep semangat ya, jangan lupakan lek-mu ini kalau sudah
sukses nanti, yo?” katanya penuh harap.

“Pasti, Lek,”

Bergegas aku turun dari bus mini dan langsung mengambil langkah seribu menuju
kedai Bang Awi. Senyum nyegir Alt sudah menyambutku sebelum aku melangkahkan kaki di
pintu. Seperti seorang anak yang kehilangan induknya dan sangat bahagia ketika induknya
datang. Maklum, baru sekali ini dia ke Tegal.

“Hai, Wan!” terika Alt girang.

“Hai, Alt, Altemes!” aku tak kalah girang. Senang dan terharu, teman seperjuangan
jauh-jauh dari Semarang hanya ingin membuktikan cerita-ceritaku tentang lezatnya kuliner
Tegal. Tapi bagi Alt, yang membuat ia rela mengorbankan liburannya untuk datang ke sini
adalah keindahan alamnya. Guci, Purwahamba, Pantai Alam Indah atau yang biasa disebut
oleh masyarakat dengan PAI, sangat menarik bagi seorang fotografer amatiran seperti dia.

3
“Aku sudah pesenin teh hangat kesukaanmu,” kata Alt.

“Makasih, Alt,” kataku.

“Kamu masih ngejalanin green lifestyle ala kamu, Wan, sampai bela-belain
meninggalkan moge kesayangan kamu,” kata Alt.

“Iyalah, bumi kita semakin tua. Aku harus semakin sayang sama bumi buat anak cucu
kita nanti,” jawabku.

“Baguslah, setidaknya ada satu orang seperti kamu di dunia ini,” selorohnya.

Aku hanya tersenyum kecut. Memang, belum semua orang bisa menerapkan gaya
hidup yang save lingkungan. Termasuk Alt. Dan tidak semua orang juga mau menerima
orang yang menerapkan gaya hidup ramah lingkungan seperti aku ini. Ketika aku ke warung
membeli makanan untuk dibawa pulang, aku menyodorkan tumbler ke si penjual. Eh, malah
ditertawakan. Katanya, “Nggak malu, mas, ganteng-ganteng ke mana-mana bawa barang
begituan? Pakai plastik malah praktis!”

Bukan masalah praktis atau tidak praktis, tetapi ramah lingkungan atau tidak
permasalahnya. Plastik yang kita gunakan untuk membungkus makanan akan menjadi
sampah. Sampah plastik tidak mudah hancur, diperlukan waktu 10 hingga 20 tahun untuk
hancur. Dan di Indonesia ini sampah plastik sudah begitu banyak tersebar di laut. Bahkan,
sampai di perut ikan paus yang dibelah, isinya sampah plastik. Sungguh miris!

“Wan, jadi kan kita ke pantai yang kamu ceritakan itu?” tanya Alt.

“Oh, pastilah, sudah jauh-jauh ke Tegal, harus sampai ke tujuan! Tapi...” kataku.

“Tapi, kenapa?” tanya Alt lagi.

“Tujuan kamu datang ke sini mau mencari view yang indah bukan untuk tugas dan
lomba fotografi kamu?” tanyaku.

“Iya, memang itu tujuannya,” kata dia sedikit heran dengan pertanyaanku yang seperti
orang hilang ingatan.

“Nah, di pantai itu akhir-akhir ini banyak sampah, Alt.”

“Oh, ya? kamu sudah ke sana?”

4
“Belum sih, aku kemarin ketemu Mifta, temen SMA-ku dulu. Sesama pecinta alam,
suka naik gunung bareng. Katanya, Pantai Alam Indah sekarang tidak seindah dulu. Sedikit
kotor karena perilaku masyarakat kita yang suka membuang sampah sembarangan. Asal
meninggalkan begitu saja bekas-bekas botol minuman dan makanan mereka,” kataku kesal.

“Kamu yakin? Kita lihat dulu ke sana, siapa tahu masih ada sisi pantai yang indah dan
belum tercemar oleh sampah-sampah,”

“Kamu tidak menyesal seandainya sampah-sampah itu benar-benar berserakan di


sana?” tanyaku memastikan.

“Sampah juga objek fotografi, Wan. Jadi, mari kita coba ke sana dulu,” kata Alt.

“Baiklah, sekalian aku ingin lihat seberapa kotornya lingkungan kita,” jawabku.

“Okeeh, bang Go Green, si pecinta lingkungan yang jones?” ledek Alt.

“Jones?”

“Jomblo ngenes!” Jawab Alt tegas, menusuk, juga nyindir. Aku Cuma nyengir.

***

Pukul 05.00 waktu Tegal dan sekitarnya, aku dan Alt sudah berada di Pantai Alam
Indah. Alt mau mengambil gambar sunrise yang eksotis. Aku biarkan Alt dengan kameranya
dan aku berjalan-jalan bak seorang pengamat lingkungan sedang sidak.

Beberapa kali kakiku tertusuk benda kecil seperti kerang-kerang yang mendarat akibat
ombak. Astaga, ternyata tidak hanya benda laut, ada juga kaleng-kaleng kecil bekas softdrink
dan pernak-pernik pengunjung yang terjatuh. Ternyata benar kata Mifta, lautku tak sebersih
dulu.

Aku berpikir sejenak. Aku sudah datang ke sini dan aku asli orang sini, aku harus
dapat memberikan sesuatu untuk kelestariannya. Aku rogoh saku celanaku dan mencoba
menghubungi Mifta untuk datang ke sini. Siapa tahu dengan adanya dua otak pemuda pecinta
lingkungan, muncul ide untuk kebersihan laut kita tercinta.

“Halo, Mifta, hari ini ada acara?” tanyaku lewat ponsel.

“Halo, Wan, tumben sepagi ini kamu telepon,” jawab Mifta dari seberang sana.

5
“Iya, Mif, aku di PAI. Aku butuh bantuanmu. Hari ini ada acara?” tanyaku, harap-
harap cemas.

“Kebetulan lagi kosong, bantuan apa?” tanya Mifta.

“Kamu bisa ke PAI pagi ini? Aku terkejut Mif, benar juga katamu kemarin. Pantai
kita kotor,” kataku penuh sesal.

“Nah, kamu liat sendiri kan?”

“Iya, makanya aku pengen kamu ke sini, nanti kita cari ide bersama”

“Okeh, tunggu 15 menit, aku meluncur,” kata Mifta bersemangat.

“Sip, aku tunggu, ya,” jawabku. Aku bersyukur karena Mifta mau diajak ke pantai.

Aku menghela nafas panjang mencoba menikmati udara pagi pantai. Sudah lama
rasanya aku tidak menikmati suasana ini. Maklum, aku kuliah di Unnes, Gunung Pati,
Semarang. Sehari-hari yang aku hirup adalah udara gunung.

“Hai, Wan, coba liat hasil karyaku! Bagus kan?”

“Aku tidak terlalu paham masalah fotografi, tapi sebagai orang awam karyamu itu
sudah mendekati karya masterpiece,” tukasku seraya mengacungkan dua jempol tanganku.

“Ah, Nawan bisa saja memuji. Baiklah, aku anggap penilaianmu ini objektif. Aku cari
objek lagi ya,” kata Alt.

“Oke! Jangan jauh-jauh ya, satu jam lagi kita bertemu di sini untuk menuju ke wisata
berikutnya,” kataku.

“Oke, siaap, Bang Go Green,” jawab Alt.

Udara semakin hangat, matahari sudah memberikan sinarnya pada bumi yang agung.
Aku menyapukan pandanganku ke seluruh bagian pantai dan tiba-tiba wajah gadis yang aku
temui di bus kemarin muncul lagi. Lesung pipitnya menambah manis wajahnya. Ah!

“Waaan, sini bantu aku!” terdengar teriakan meminta bantuan. Mifta datang.

6
“Hoooi, tunggu aku ke situ,” bergegas aku berlari kecil menghampiri Mifta yang
kerepotan membawa beberapa kardus bekas. “Syukurlah, Mif, akhirnya kamu datang juga.
Naik apa?” tanyaku.

“Bus,” jawabnya singkat.

“Sip,” kuacungkan jempol padanya, “save bumi kita dengan meminimalkan polusi.”

“Alt, mana?” tanya Mifta.

“Lagi cari objek. Nanti dia ke sini lagi!”

“Oke, baiklah. Oh, ya, Wan, aku yakin kamu paham kenapa aku bawa kardus-kardus
ini?” tanya Mifta.

“Untuk memungut sampah!” jawabku tegas.

“So, pastiii....!”

“Sampahnya begitu banyak, kalau kita berdua rasanya tidak cukup sehari untuk
memungutinya,” kataku.

“Waaan, waaan, kamu kok kaya ga tahu aja. Cerdik dikiit doong,” tukasnya.

“Wooii, Wan!” teriak Alt sambil berlari-lari ke arah kami.

“Hai, Alt, sini! Perkenalkan ini Mifta, teman yang aku ceritakan kemarin.”

“Hai, aku Alt,” kata Alt memperkenalkan diri.

“Aku Mifta,” kata Mifta sambil menjabat tangan Alt. Mereka saling melempar
senyum.

“Kardus kertas sebanyak itu buat apa?” tanya Alt heran.

“Buat memungut sampah,” jawab Mifta.

“Kenapa tidak memakai plastik saja, kan lebih ringkas, membawanya juga mudah,”
lanjut Alt.

7
Kami saling berpandangan, kemudian kami tersenyum bersama. “Plastik sulit untuk
membusuk, sama saja kita nggak save bumi. Sampah plastik harus dibakar, menjadi polusi
udara, sementara sampah kertas bisa ditimbun menjadi humus,” terangku.

“Oooh, begitu. Kalian benar-benar top ya kalau masalah ginian,” Alt mengacungkan
dua jempol tangannya kepadaku juga Mifta.

“Iya, Alt, kami tidak ingin generasi kita mendatang menderita,” sela Mifta.

“Waah, waah, waah, jadi kalian ini Abang-abang Go Green semua yaa?” ledek Alt.
Aku dan Mifta tertawa.

“Oke, karena kita sudah berkumpul, aku punya ide. Kita berpencar ke tiga bagian, Alt
ke utara, aku ke barat, dan Nawan ke timur. Lalu, kita masing-masing membawa dua kardus
dan meletakkannya di kawasan kita masing-masing,” lanjut Mifta.

“Lalu?” tanya Alt penasaran.

“Lalu, coba kalian lihat di sebelah selatan kalian,” Mifta menunjukkan sekeranjang
mawar hidup siap tanam.

“Apa? Mawar? Sebanyak itu buat apa?” tanya Alt.

“Ya, mawar. Itu mawar hidup. Aku sengaja membawanya ke sini,”

“Buat apa?” sekarang aku yang penasaran.

“Jadi begini, pengunjung banyak. Kita hanya bertiga. Sampah lumayan menumpuk.
Kita meminta bantuan kepada pengunjung untuk ikut memungut sampah dan meletakkannya
di kedua kardus tersebut sesuai dengan jenisnya, organik dan nonoraganik,”

“Tapi, kenyataannya tidak semua orang paham mana sampah organik dan bukan?”
tanya Alt lagi. Sepertinya virus go green sudah mulai merasukinya. Aku senang.

“Nah, itu salah satu tujuannya. Di samping membersihkan, kita juga


menyosialisasikan kepada masyarakat awam apa itu sampah organik dan anorganik, serta
sampah mana saja yang termasuk di dalamnya,” jelas Mifta. Aku lihat Alt mengangguk-
angguk. Hatiku pun mengiyakan. “Jadi, sembari kita memungut sampah, sembari berbicara
untuk mengajak para pengunjung memungut minimal satu sampah untuk dimasukkan ke
kotak yang telah kita sediakan. ”

8
“Oke,” kataku.

“Mawar-mawar itu?” tanya Alt.

“Sebagai bentuk apresiasi kita kepada mereka, kita berikan mawar-mawar itu kepada
pengunjung yang sudah mengambil sampah dan membuangnya dengan tepat ke kardus yang
sudah kita siapkan. Kemudian mengajak pengunjung untuk menanam mawar tersebut di
rumah-rumah mereka sebagai bagian dari partisipasi penghijauan” tandas Mifta.

“Ide bagus!” kataku

“Siap!” kata Alt.

“Jadi, jelas kan tugas kita masing-masing?” tanya Mifta.

“Jelas!” Alt dan aku hampir berbarengan mengatakannya. Alt pun tampak
bersemangat. Sepertinya tujuan utama untuk fotografi terlupakan.

Kami masing-masing melakukan tugas kami. Tak terduga, ternyata respon masyarakat
begitu baik. Mereka antusias. Apalagi ketika salah satu dari mereka ada yang mendapatkan
bunga mawar dari kami. Tak terkecuali gadis berlesung pipit itu. Aku melihatnya ikut
memungut sampah dan Alt kemudian memberikannya bunga. Raut senang dari wajahnya
terpancar. Sesaat kemudian ia menghilang lagi. Ah, siapa dia?

Hampir satu jam kami melakukan kegiatan itu. Hampir tak ada sampah lagi yang
tersisa. Bunga mawarpun sudah ludes diberikan kepada pengunjung yang memunguti
sampah. Peluhpun sudah mulai membasahi baju-baju kami. Tenaga kami sudah mulai
terkuras. Kami memutuskan untuk menghentikannya sampai di sini saja.

“Alt, Wan, bawa kardus-kardus itu kemari!” perintah Mifta.

“Baik, Mif,” kataku.

“Bolehkan saya membantu membawa?” aku dikejutkan oleh suara laki-laki yang
menawarkan bantuan. Seseorang bertubuh tinggi besar tersenyum padaku.

“Boleh, pak, silakan! Kami sangat senang atas bantuannya,” kataku ramah. Laki-laki
itu membantu kami dengan penuh semangat.

9
Satu jam lamanya kami mengumpulkan kardus-kardus berisi sampah dan
membawanya ke TPA di sekitar pantai. Seselesainya, kami pun beristirahat sejenak di kedai
es degan. Sambil melepas lelah, Alt mulai asyik lagi dengan kameranya.

“Hai, Nak,” sapa laki-laki bertubuh tinggi besar yang membantu kami tadi, “Maukah
kalian datang besok pagi di kantor kelurahan kami?”

“Untuk apa pak?” tanyaku penasaran.

“Saya pribadi sangat tertarik dengan konsep kalian. Kalian memang pemuda yang luar
biasa. Besok, kelurahan kami akan mengadakn sosialisasi cinta lingkungan kepada
masyarakat. Kami butuh teladan yang nyata. Kalianlah teladannya,” kata laki-laki itu. Kami
saling berpandangan.

“Tidak usah bingung, Saya Joko, Lurah Kelurahan Margadana,” kata laki-laki itu.

“Ooh, Pak Lurah...,” jawab kami bertiga hampir bersamaan.Pak Lurah tersenyum
lebar. “Baik, Pak, siap!” jawab kami serentak.

“Oke, jam tujuh pagi sampai di kelurahan, ya?” lanjut Pak Lurah Joko.

“Siap pak!” jawab Miftah bersemangat. Aku dan Alt mengangguk.

***

Keesokan paginya kami sampai di kelurahan. Kami disambut dengan rangkaian


bunga. Kami terharu. Pak Lurah berdiri tegap di atas mimbar dan memberikan pengarahan
kepada warga. Beliau memperkenalkan kami sebagai “maskot go green”. Aku, Alt, dan Mifta
tersenyum bangga. Pak Lurah mempersilakan kita untuk menceritakan pengalamannya
kepada warga dan mengajak mereka untuk mulai peduli lingkungan.

Masyarakat bertepuk tangan. Sekilas di layar terpampang foto kami bertiga ketika
mengambil sampah dan membagikan mawar kepada pengunjung. Pak Lurah ternyata jago
juga jadi paparazi. Kami pun tersenyum bahagia melihat foto-foto itu ditampilkan. Ada rasa
puas hinggap di relung dada kami.

Acarapun selesai. Pak Lurah mengucapkan banyak terima kasih atas kedatangan
kami. Kami senang. Aku bangga, bahagia. Visiku mengajak masyarakat peduli lingkungan
tercapai sudah. Salam go green untuk Indonesia! Semoga dengan semangat pelestarian

10
lingkungan yang dilakukan dari masyarakat bawah akan membawa Indonesia menjadi negara
asri nanlestari.

11

Anda mungkin juga menyukai