Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Jamur

Fungi merupakan tumbuhan yang tidak mempunyai klorofil sehingga bersifat

heterotrof, tipe sel eukarotik. Jamur ada yang uniseluler dan multiseluler.

Tubuhnya terdiri dari benang-benang yang disebut hifa yang dapat membentuk

anyaman bercabang-cabang (miselium). Organisme yang disebut jamur bersifat

heterotrof, dinding sel spora mengandung kitin, tidak berplastid, tidak

berfotosintesis, tidak bersifat fagotrof, umumnya memiliki hifa yang berdinding

yang dapat berinti banyak (multinukleat), atau berinti tunggal (mononukleat), dan

memperoleh nutrien dengan cara absorpsi (Gandjar dkk, 2006).

Fungi atau cendawan adalah organisme heterotrofik, mereka memerlukan

senyawa organik untuk nutrisinya bila mereka hidup dari benda organik mati

yang terlarut, mereka disebut saprofit. Saprofit menghancurkan sisa-sisa

tumbuhan dan hewan yang kompleks, menguraikan dari zat-zat kimia yang lebih

sederhana yang kemudian dikembalikan ke dalam tanah dan selanjutnya

meningkatkan kesuburannya (Pelczar dan Chan, 2008).

2.2 Khamir (Yeast)

Khamir (yeast) merupakan fungi bersel satu (uniseluler), tidak berfilamen,

berbentuk oval atau bulat, tidak berflagela, dan berukuran lebih besar

dibandingkan sel bakteri, dengan lebar berkisar 1-5mm dan panjang berkisar 5-

30mm. Khamir bersifat fakultatif, artinya khamir dapat hidup dalam keadaan

aerob ataupun anaerob (Pratiwi, 2008).


2.3 Kapang

Kapang (molds) adalah fungi yang tumbuh cepat dan bereproduksi secara

aseksual,merupakan organisme aerob sejati, tubuh kapang (thallus) dibedakan

menjadi dua bagian yaitu miselium dan spora. Miselium merupakan kumpulan

beberapa filamenyang disebut hifa. Bagian dari hifa yang berfungsi untuk

mendapatkan nutrisi disebut hifa vegetatif. Sedangkan bagian hifa yang berfungsi

sebagai alat reproduksi disebut hifa reproduktif atau hifa udara (aerial hypha),

karena pemanjangannya mencapai bagian atas permukaan media tempat fungi

ditumbuhkan (Pratiwi, 2008).

2.4 Morfologi Jamur

Jamur benang atau biasa di sebut jamur merupakan organisme anggota

kingdom fungi. Pertumbuhan jamur di permukaan bahan makanan mudah di

kenali karena sering kali membentuk koloni berserabut seperti kapas. Tubuh

jamur berupa benang yang disebut hifa, sekumpulan hifa di sebut misellium.

Miesllium dapat mengandung pigmen dengan warna-warna merah, ungu, kuning,

coklat, abu-abu, dan sebagainya. Jamur benang pada umum nya bersifat aerob

obligat, pH pertumbuhan berkisar 2-9, suhu pertumbuhan berkisar 10-35oc, water

activity 0,85 atau di bawah nya ( Handyani, 2006).

Fungi pada umumnya multiseluler (bersel banyak). Ciri-ciri fungi berbeda

dengan organisme lainnya dalam hal cara makan, struktur tubuh, pertumbuhan,

dan reproduksinya. Fungi benang terdiri atas massa benang yang bercabang-

cabang yang disebut miselium. Miselium tersusun dari hifa (filamen) yang
merupakan benang-benang tunggal. Badan vegetatif jamur yang tersusun dari

filamen-filamen disebut thallus. Berdasarkan fungsinya dibedakan dua macam

hifa, yaitu hifa fertil dan hifa vegetatif. Hifa fertil adalah hifa yang dapat

membentuk sel-sel reproduksi atau spora-spora. Apabila hifa tersebut arah

pertumbuhannya keluar dari media disebut hifa udara. Hifa vegetatif adalah hifa

yang berfungsi untuk menyerap makanan dari substrat.

Berdasarkan bentuknya dibedakan pula menjadi dua macam hifa, yaitu hifa

tidak bersepta dan hifa bersepta. Hifa yang tidak bersepta merupakan ciri jamur

yang termasuk Phycomycetes (Jamur tingkat rendah). Hifa ini merupakan sel

yang memanjang, bercabang-cabang, terdiri atas sitoplasma dengan banyak inti

(soenositik). Hifa yang bersepta merupakan ciri dari jamur tingkat tinggi, atau

yang termasuk Eumycetesi (Sumiarsih, 2003).

2.5 Cara Hidup dan Habitat Jamur

Semua jenis jamur bersifat heterotrof. Namun, berbeda dengan organisme

lainnya, jamur tidak memangsa dan mencernakan makanan. Untuk memperoleh

makanan, jamur menyerap zat organik dari lingkungan melalui hifa dan

miseliumnya, kemudian menyimpannya dalam bentuk glikogen. Oleh karena

jamur merupakan konsumen maka jamur bergantung pada substrat yang

menyediakan karbohidrat, protein, vitamin, dan senyawa kimia lainnya. Semua

zat itu diperoleh dari lingkungannya. Sebagai makhluk heterotrof, (menurut

sumiarsih 2003) jamur mempunyai 3 sifat sebagai berikut :


1. Parasit obligat

Merupakan sifat jamur yang hanya dapat hidup pada inangnya, sedangkan

di luar inangnya tidak dapat hidup. Misalnya, Pneumonia carinii (khamir yang

menginfeksi paru-paru penderita AIDS).

2. Parasit fakultatif

Parasit fakultatif adalah jamur yang bersifat parasit jika mendapatkan inang

yang sesuai, tetapi bersifat saprofit jika tidak mendapatkan inang yang cocok.

3. Saprofit

Merupakan jamur pelapuk dan pengubah susunan zat organik yang mati.

Jamur saprofit menyerap makanannya dari organisme yang telah mati seperti

kayu tumbang dan buah jatuh. Sebagian besar jamur saprofit mengeluarkan

enzim hidrolase pada substrat makanan untuk mendekomposisi molekul

kompleks menjadi molekul sederhana sehingga mudah diserap oleh hifa.

Selain itu, hifa dapat juga langsung menyerap bahan-bahan organik dalam

bentuk sederhana yang dikeluarkan oleh inangnya.

Cara hidup jamur lainnya adalah melakukan simbiosis mutualisme. Jamur

yang hidup bersimbiosis, selain menyerap makanan dari organisme lain juga

menghasilkan zat tertentu yang bermanfaat bagi simbionnya. Simbiosis

mutualisme jamur dengan tanaman dapat dilihat pada mikoriza, yaitu jamur yang

hidup di akar tanaman kacang-kacangan atau pada liken. Jamur berhabitat pada

bermacam-macam lingkungan dan berasosiasi dengan banyak organisme.

Meskipun kebanyakan hidup di darat, beberapa jamur ada yang hidup di air dan
berasosiasi dengan organisme air. Jamur yang hidup di air biasanya bersifat

parasit atau saprofit, dan kebanyakan dari kelas Oomycetes (Waluyo, 2011).

2.6 Peranan Jamur

Peranan jamur dalam kehidupan manusia sangat banyak, baik peran yang

merugikan maupun yang menguntungkan. Jamur yang menguntungkan meliputi

berbagai jenis, antara lain sebagai berikut :

a. Volvariella volvacea (jamur merang) berguna sebagai bahan pangan

berprotein tinggi.

b. Rhizopus dan Mucor berguna dalam industri bahan makanan, yaitu dalam

pembuatan tempe dan oncom.

c. Khamir Saccharomyces berguna sebagai fermentor dalam industri keju, roti,

dan bir.

d. Penicillium notatum berguna sebagai penghasil antibiotik.

e. Higroporus dan Lycoperdon perlatum berguna sebagai decomposer.

Di samping peranan yang menguntungkan, beberapa jamur juga mempunyai

peranan yang merugikan, antara lain sebagai berikut :

a. Phytium sebagai hama bibit tanaman yang menyebabkan penyakit rebah

semai.

b. Phythophthora inf'estan menyebabkan penyakit pada daun tanaman kentang.

c. Saprolegnia sebagai parasit pada tubuh organisme air.

d. Albugo merupakan parasit pada tanaman pertanian.

e. Pneumonia carinii menyebabkan penyakit pneumonia pada paru-paru

manusia.
f. Candida sp. penyebab keputihan dan sariawan pada manusia (Sumiarsih,

2003).

2.7 Anatomi Kulit

Kulit adalah suatu pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari

pengaruh lingkungan, kulit juga merupakan alat tubuh terberat dan terluas

ukurannya yaitu 15% dari berat tubuh manusia, rata rata tebal kulit 1-2 mm, kulit

terbagi atas 3 lapisan pokok yaitu, epidermis, dermis dan subkutan atau subkutis

(Tortora and Derrickson. 2009).

1. Epidermis

Lapisan epidermis terdiri atas :

a. Lapisan basal atau stratum germinativum.

Lapisan basal merupakan lapisan epidermis paling bawah dan berbatas

dengan dermis. Dalam lapisan basal terdapat melanosit. Melanosit adalah

sel dendritik yang membentuk melanin yang berfungsi melindungi kulit

terhadap sinar matahari.

b. Lapisan malpighi atau stratum spinosum.

Lapisan Malpighi atau disebut juga prickle cell layer (lapisan akanta)

merupakan lapisan epidermis yang paling kuat dan tebal. Terdiri dari

beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda

akibat adanya mitosis serta sel ini makin dekat ke permukaan makin

gepeng bentuknya. Pada lapisan ini banyak mengandung glikogen.


c. Lapisan granular atau stratum granulosum (Lapisan Keratohialin).

Lapisan granular terdiri dari 2 atau 3 lapis sel gepeng, berisi butir-butir

(granul) keratohialin yang basofilik. Stratum granulosum juga tampak jelas

di telapak tangan dan kaki

d. Lapisan lusidum atau stratum lusidum.

Lapisan lusidum terletak tepat di bawah lapisan korneum. Terdiri dari

selsel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein

yang disebut eleidin.

e. Lapisan tanduk atau stratum korneum.

Lapisan tanduk merupakan lapisan terluar yang terdiri dari beberapa

lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah

berubah menjadi keratin.Pada permukaan lapisan ini sel-sel mati terus

menerus mengelupas tanpa terlihat (Adiguna. 2006).

2. Dermis

Lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal

daripada epidermis. Terdiri dari lapisan elastis dan fibrosa padat dengan

elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi

dua bagian yakni :

a. Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis dan berisi ujung

serabut saraf dan pembuluh darah.

b. Pars retikulaare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol ke arah

subkutan. Bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang seperti serabut


kolagen, elastin, dan retikulin. Lapisan ini mengandung pembuluh darah,

saraf, rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea.

3. Subkutis

Lapisan ini merupakan lanjutan dermis, tidak ada garis tegas yang

memisahkan dermis dan subkutis. Terdiri dari jaringan ikat longgar berisi

selsel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan

inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Jaringan subkutan

mengandung syaraf, pembuluh darah dan limfe, kantung rambut, dan

dilapisan atas jaringan subkutan terdapat kelenjar keringat. Fungsi jaringan

subkutan adalah penyekat panas, bantalan terhadap trauma, dan tempat

penumpukan energi (Adiguna. 2006).

2.8 Definisi Dermatofitosis

Dermatofitosis adalah penyakit jamur pada jaringan yang menjadi zat tanduk,

seperti kuku, rambut, dan stratum korneum pada epidermis yang disebabkan oleh

jamur dermatofita (Marwali. 2000). Dermatofitosis adalah infeksi jamur

dermatofit yang menyerang epidermis bagian superfisial (stratum korneum),

kuku dan rambut. Microsporum menyerang rambut dan kulit. Trichophyton

menyerang rambut, kulit dan kuku. Epidermophyton menyerang kulit dan jarang

kuku. Dermatofita penyebab dermatofitosis, Golongan jamur ini bersifat

mencernakan keratin, dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti. Gambaran

klinik jamur dermatofita menyebabkan beberapa bentuk klinik yang khas, satu

jenis dermatofita menghasilkan klinis yang berbeda tergantung lokasi

anatominya.
Dermatofita merupakan kelompok taksonomi jamur kulit superfisial. Yang

terdiri dari 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.

Kemampuannya untuk membentuk ikatan molekuler terhadap keratin dan

menggunakannya sebagai sumber makanan menyebabkan mereka mampu

berkolonisasi pada jaringan keratin (Koksal. 2009).

Dermatofita merupakan golongan jamur yang melekat dan tumbuh pada

jaringan keratin, jamur menggunakan jaringan keratin sebagai sumber

makanannya. Jaringan yang mengandung keratin ialah jaringan seperti stratum

korneum kulit, kuku, dan rambut pada manusia. Kemungkinan besar terjadinya

infeksi pada daerah tersebut pada manusia. Selain menyerang jaringan keratin

pada manusia dermatofita juga menyerang kulit hewan, sehingga penularan

jamur dermatofita dapat terjadi jika berkontak dengan hewan yang terinfeksi

(Husni, dkk. 2018).

Dermatofitosis tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi berbeda-beda pada

tiap Negara (Abbas, dkk. 2012). Penelitian World Health Organization (WHO)

terhadap insiden dari infeksi dermatofit menyatakan 20% orang dari seluruh

dunia mengalami infeksi kutaneus dengan infeksi tinea korporis merupakan tipe

yang paling dominan dan diikuti dengan tinea kruris, pedis, dan onikomikosis

(Lakshmipathy. 2013).

2.9 Etiologi

Dermatofita adalah jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur

mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi

imperfecti, Terdapat 3 genus penyebab dermatofitosis, yaitu Microsporum,


Trichophyton, dan Epidermophyton (Hay, et al. 2008). Ketiga genus tersebut

telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17 spesies Microsporum, 22 spesies

Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton (Kurniawati. 2006). Spesies terbanyak

yang menjadi penyebab dermatofitosis di Indonesia adalah Trichophyton rubrum

(T. rubrum). Berdasarkan lokasinya Microsporum menginfeksi daerah kulit dan

rambut. Trichophyton menginfeksi kulit, rambut, dan kuku. Epidermophyton

menginfeksi hanya pada kulit dan jarang pada kuku (Budimulya. 2007).

Gambar 2.9.1 Pemeriksaan Mikroskopik Jamur Dermatofitosis

2.10 Epidemiologi

Umur, Jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting,

dimana prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki 5 kali lebih banyak dari

wanita. Namun demikian tinea kapitis lebih sering pada wanita dewasa, dan

anak-anak usia 3-14 tahun. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh kebersihan

perorangan, lingkungan yang kumuh dan padat serta status sosial ekonomi

dalam penyebaran insfeksinya. Jamur penyebab tinea kapitis ditemukan pada


sisir, topi, sarung bantal, mainan anak-anak atau bahkan kursi di gedung teater

(Wollf dan Johnson. 2012).

Perpindahan manusia dapat dengan cepat mempengaruhi penyebaran

endemik dan jamur. Pemakaian bahan-bahan material yang sifatnya oklusif,

adanya trauma, dan pemanasan dapat meningkat temperature dan kelemahan

kulit meningkat kejadian infeksi tinea. Alas kaki yang tertutup, berjalan adanya

tekanan temperatur, kebiasaan penggunaan pelembab, dan kaos kaki yang

berkeringat meningkatkan kejadian tinea pedis dan onikomikosis (Wollf dan

Johnson. 2012).

2.11 Patogenesis

Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari. Infeksi dermatofita

melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit, penetrasi melalui dan

diantara sel, dan perkembangan respon pejamu.

a. Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa

melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu,kelembaban, flora

normal yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang di produksi oleh

kelenjar sebasea juga bersifat fungistatik (Berman, kevin. 2008).

b. Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus

stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses

desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim

musinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan

maserasi juga membantu penetrasi jamur ke keratinosit. Pertahanan baru


muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam epidermis (Berman, kevin.

2008).

c. Perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status

imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV,

atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat

penting dalam melawan dermatofita. Infeksi menghasilkan sedikit eritema

dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit.

Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel

langerhans epidermis dan di presentasikan dalam limfosit T di nodus limfe.

Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ketempat yang terinfeksi

untuk menyerang jamur. Saat ini, lesi menjadi inflamasi, dan barier

epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang

bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menyembuh

(Berman, kevin. 2008).

2.12 Tinea Capitis

Tinea kapitis adalah infeksi dermatofit pada kulit kepala, alis, dan bulu mata

dengan kecenderungan untuk menyerang batang dan folikel rambut. Penyakit

ini adalah bentuk dermatofitosis yang diklasifikasikan menjadi tiga genera yaitu

Tricophyton Tonsurans, Microsporum Canis, dan Epidermophyton. Tinea

capitis terutama disebabkan oleh spesies Tricophyton atau Microsporum

(Nurina dan Sawitri. 2018).

T. tonsurans ditularkan melalui kontak antara anak dengan anak dan

mengakibatkan terbentuknya tempat-tempat botak berbentuk oval. Rambut


terputus dengan panjang yang berbeda-beda dan permukaan kulit kepala

bersisik. Microsporum canis biasanya ditularkan dari anak kucing ke anak-anak

dan dapat menimbulkan bercak-bercak radang purulent yang tak berambut.

Bercak yang tak berambut tersebut biasanya berkrusta dengan banyak pustul

dan dapat menimbulkan alopesia permanen. Setiap bercak tidak berambut pada

kulit kepala yang tampak bersisik dan berkrusta harus dicurigai sebagai infeksi

jamur. Untuk memastikan diagnosis tinea kapitis, rambut perlu dicabut, dan

diperiksa dibawah mikroskop setelah diberikan kalium hidroksida, serta perlu

dibiak (Sylvia dan Lorraine. 2000).

2.13 Isolasi Fungi

Mempelajari mofologi, fisiologi, biokimia, genetika, atau kegiatan apa pun

dari fungi hanya dapat dilakukan apabila kita telah mempunyai isolat murni.

Untuk hal tersebut fungi yang akan dipelajari harus dipisahkan terlebih dahulu

dari substrat pertumbuhannya atau dari lingkungan sekitarnya. Sebelum

melakukan isolasi kita harus menyusun suatu rencana kerja dan mempersiapkan

medium tepat yang segar, serta peralatan gelas yang akan diperlukan. Medium

umum untuk mengisolasi fungi umumnya menggunakan Potato Dextrose Agar

(PDA), Malt Extract Agar (MEA), Czapek Dox Agar (CDA), Carrot Agar

(CA), Oat Meal Agar (OA), Dichloran Rose Bengal Chloramphenicol Agar

(DRBC), Taoge Extract 6% Sucrose Agar (TEA) (Gandjar,dkk. 2006).

Sedangkan medium khusus mempunyai komposisi yang khusus sesuai

dengan fungi yang akan diisolasi. Ada yang dapat dibuat sendiri dan ada yang

sudah tersedia komersial. Medium khusus ini misalnya Acetic Dichloran Yeast
Extract Sucrose Agar (ADYESA) untuk fungi yang tumbuh di lingkungan yang

sangat asam, dan Dichloran Creatine Sucrose Bromocresole Agar (DCSBA)

untuk fungi yang memerlukan bahan yang berkadar protein tinggi seperti keju,

daging, dan kacang-kacangan. Isolasi kapang dari udara dapat dilakukan

dengan menyediakan suatu cawan petri dengan medium PDA, TEA atau RBC

tanpa tutup dibiarkan selama 15-20 menit di tempat fungi akan “ditangkap”,

kemudian cawan ditutup dan diinkubasikan pada suhu yang sesuai. Semua

koloni fungi yang tunggal, yang representative, dipindahkan ke medium di

cawan petri yang lain untuk dimurnikan sebelum dipindahkan lebih lanjut ke

dalam tabung reaksi, baik sebagai stock culture maupun sebagai working

culture (Gandjar, dkk. 2006).

2.14 Media Kultur

Bahan nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme

laboratorium disebut media kultur. Pengetahuan tentang habitat normal

mikroorganisme sangat membantu dalam pemilihan media yang cocok untuk

pertumbuhan mikroorganisme di laboratorium. Karena mikroorganisme

memiliki perbedaan pada kebutuhan nutrisinya, tidak ada satupun medium yang

dapat menumbuhkan seluruh mikroorganisme yang sama (Pratiwi, 2008).

Berdasarkan konsistensinya, media dikelompokkan menjadi dua macam

yaitu media cair (liquid media) dan media padat (solid media). Apabila media

cair merupakan ekstrak kompleks material biologis, maka media tersebut

dinamakan rich media atau broth. Media padat menggunakan bahan pembeku

(solidifying agent), misalnya Agar, suatu Agar memiliki komposisi kimia


berupa D-galaktosa, 3,6-anhidro-L-galaktosa, D-glucuronic acid. Agar sebagai

bahan pembeku akan mencair saat dididihkan, kemudian didinginkan pada suhu

40-42℃ sebelum dibekukan. Media Agar ini tidak akan mencair lagi kecuali

pada suhu 80-90℃. Agar merupakan media yang paling sering digunakan dan

terbuat dari rumput laut pilihan, media agar adalah agen pengeras yang bagus

sekali karena tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme (Pratiwi, 2008).

Menurut kandungan nutrisinya, media dapat dibedakan menjadi beberapa

macam (Pratiwi, 2008):

a. Defined media (synthetic media)

Defined media merupakan media yang komponen penyusunnya sudah

diketahui atau ditentukan. Media ini biasanya digunakan dalam penelitian

untuk mengetahui kebutuhan nutrisi mikroorganisme. Contoh: media untuk

Escherichia coli.

b. Media kompleks (complex media)

Media kompleks merupakan media yang tersusun dari komponen yang

secara kimia tidak diketahui dan umumnya diperlukan karena kebutuhan

nutrisi mikroorganisme tertentu tidak diketahui. Contoh: Nutrient Broth /

Nutrient Agar, Tryptic Soy Broth (TSB)/ Tryptic Soy Agar (TSA),

MacConkey Agar.

c. Media umum (general media)

Media umum merupakan media pendukung bagi banyak pertumbuhan

mikroorganisme.
d. Media penyubur (enrichment media)

Media penyubur merupakan media yang berguna untuk mempercepat

pertumbuhan mikroorganisme tertentu. Media ini digunakan bila kita ingin

menumbuhkan salah satu mikroorganisme dari kultur campuran. Media ini

menggunakan bahan atau zat yang serupa dengan habitat tempat mengisolasi

mikroorganisme tersebut.

e. Media selektif (selective media)

Media selektif merupakan media yang mendukung pertumbuhan

mikroorganisme tertentu (seleksi) dengan menghambat pertumbuhan

mikroorganisme yang lain. Pada media ini ditambahkan bahan penghambat

pertumbuhan, misalnya bile salt dan dye (fuchsin, crystal violet, brilliant

green) yang akan menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan tidak

memberi efek pada bakteri Gram negatif; antibiotik; dan selulosa untuk

mengisolasi bakteri pendegradasi selulosa.

f. Media diferensial (differential media)

Media diferensial digunakan untuk membedakan kelompok mikro-

organisme dan bahkan dapat digunakan untuk identifikasi. Contohnya adalah

media Agar Darah, media MacConkey.

g. Media khusus

Contoh media khusus adalah media untuk bakteri anaerob. Biasanya ke

dalam media tersebut ditambahkan bahan yang dapat mereduksi kandungan

𝑂2 dengan cara pengikatan kimiawi. Contoh bahan-bahan itu adalah sistein,

sebagai indikator anaerob digunakan rezasurin.


2.15 Macam - Macam Metode Penanaman Jamur beserta Kelebihan dan

Kekurangannya

a. Metode heinriclis dengan memakai object glass, tisuue basah yang di

masukan dalam cawan dan di sterilkan. Lalu meneteskan suspensi spora

jamur dalam media cair pada media cover glass yang tidak di beri lilin.

Inkubasi pada suhu makar selama 3x24 jam.

b. Metode slide culture (microculture). Teknik ini bertujuan untuk mengamati

sel kapang dengan menumbuhkan spora pada object glass yang di tetesi

media dengan preparat ulas seperti yang telah diuraikan di depan. Namun

sering kali misellium atau susunan spora menjadi pecah atau terputus

sebagian penampakan di mikroskop dapat membingungkan. Dengan teknik

ini, spora dan misellium tumbuh langsung pada slide sehingga dapat

mengatasi masalah tersebut.

c. Metode riddel, setelah penyeterilan saboruad dextrose agar steril di potong

bentuk kubus dan diletakan di objek glass dan diinkubasi selama 3X24 jam

taruh di preparat dan di amati (Karliana, 2009).

Terdapat dua metode untuk memperoleh biakan murni yaitu teknik cawan

gores dan cawan tuang. Kedua teknik ini berdasarkan pada pengenceran

organisme sehingga dapat dipisahkan hanya species tertentu berada sebagai sel

tunggal. Dengan demikian dapat diperoleh ciri-ciri kultural, fisiologi maupun

serologis (Karliana, 2009).

Menurut Pelczar (2006), Metode perhitungan sel – sel hidup dibagi menjadi

3 yaitu :
1. Prosedure penumbuhan dalam agar

2. Prosedure penyaringan dengan membran

3. Teknik mpn (most probable number)

Macam – macam metode perhitungan koloni menurut Pelczar (2006), adalah

1. Metode langsung : metode dimana massa agar di tentukan setelah sel –

selnya diendapkan dengan sentrifus

2. Metode tidak langsung ; metode yang di dasari penentuan intensif

kekeruhan suspensial dan dapat di gunakan untuk menetapkan massa.


DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S., 2012, Cellular and Molecular Immunology.
Seventh Edition, 1-3, 16-19, 67-68, 75-78, 225-226, Elsevier Saunders,
Philadelphia.
Adiguna MS. 2006. Epidemiologi Dermato- mikosis di Indonesia. In: Budimulya U.
Berman, Kevin. 2008. “Tinea corporis – All information”. MultiMedia Medical
Encyclopedia. University of Maryland Medical Center.
Budimulya U. 2007. Mikosis Dalam: Djuanda A, Hamzah Has, Aisah S, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. h.
89-105.
Gandjar, dkk. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Handayani, Sugyo. 2006. Mikrobiologi. Rajawali Press : Jakarta.

Hay RJ, Ashbee HR, Morre M.Mycology. 2008. In: Champion RH,Burton JZ, Burns
DA, Breatnach SDM, editors. Rook/Wilkinson/Ebling Textbook of Dermatology
(8 th ed). Oxford: Blackwell Science, 2008;p 1674-707.
Husni, dkk. 2018. Identifikasi Dermatofita Pada Sisir Tukang Pangkas Di Kelurahan
Jati Kota Padang. Prodi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang (FK Unand). Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(3).
Karliana, Tseu. 2009. Identifikasi Mikroba Air Laut di Ujung Grenggengan
Semenanjung Muria. Sigma Epsilon ISSN vol 13 No 2.
Koksal F, Er E, Samasti M. 2009. Causative agents of superficial mycoses in
Istanbul, Turkey: 55 retrospective study. Mycopathologia. 2009; 168 (3):117-23.
Kurniawati RD. 2006. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tinea pedis
pada pemulung di TPA Jatibarang Semarang [Tesis]. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Lakshmipathy TD, Kannabiran K. 2013. Review on dermatomycosis: pathogenesis
and treatment. Natural Science.
Marwali, Harahap, 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrat es. Jakarta.
Nurina dan Sawitri. 2018. Tinea Capitis in Adolescent: A Case Report. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of Dermatology and Venereology Vol.
30 / No. 1 / April 2018.
Pelczar, dan Chan. 2008. Dasar-Dasar Mikrobilogi I. UI Press : Jakarta.
Pelczar. 2006. Dasar-dasar Mikrobiologi III. Press: Jakarta
Pratiwi. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga.
Sumiarsih. 2003. Diktat Kuliah Mikrobiologi Dasar. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian UVN Veteran : Yogyakarta

Sylvia A, Lorraine M. 2000. Pathophysiology clinical concepts of disease processes,


Ed. 4. Jakarta: EGC.
Tortora, G. J.,and Derrickson, B. 2009. Principles of anatomy and physiology. John
Wiley and Sons, Inc. USA.
Waluyo, Lud. 2011. Mikrobiologi Umum. Malang : Universitas Muhaammadiah
Malang.
Wollf, K., dan Johnson, R.A., 2012. Fitzpatrick Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology Edisi 6. ISBN: 978-0-07-163342-0.

Anda mungkin juga menyukai