Kelompok: 23 D
Athaya Fadhillah
Yuliana Eksandra
Muhammad Zikra
Dheanisa Nofia
Tutor:
Tesi, seorang dokter muda yang menjalani kepaniteraan klinik di Bagian Anestesi sedang
mengamati persiapan praanestesi yang dilakukan oleh Dokter Spesialis Anestesi untuk operasi
appendectomy pada Rino pasien laki-laki usia 20 tahun yang telah didiagnosis Appendycitis. Pada
saat ini diketahui bahwa Rino menderita asma intermittent, yang kambuh hampir tiap bulan namun
bisa reda dengan penggunaan spray salbutamol, sehingga disimpulkan bahwa Rino masuk kriteria
ASA 2. Dokter Spesialis Anestesi kemudian memberikan obat sedasi, analgetik dan kortikosteroid
untuk persiapan operasi. Rino direncanakan menjalani pembiusan subarachnoid block yang
ditambah dengan sedasi ringan, walaupun sebenarnya bisa dengan general anesthesia atau
epidural block. Namun atas pertimbangan jenis dan lokasi operasi serta kepraktisan, subrachnoid
block menjadi pilihan.
Selain Rino, Tesi bersama Dokter Spesialis Anestesi memeriksa seorang pasien laki- laki
berusia 52 tahun yang direncanakan untuk menjalani operasi laparatomi eksplorasi atas indikasi
ileus obstruksi ex causa tumor intra abdomen. Pada waktu diterima di IGD pasien terlihat lemah
dengan tingkat kesadaran apatis, tekanan darah terukur 80/40 mmHg dengan nadi 120x per menit.
Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya asidosis metabolic, gangguan elektrolit, anemia
dan hipoalbumin. Pasien disimpulkan termasuk pada kriteria ASA 3, dengan sasaran optimalisasi
melalui rehidrasi dan koreksi elektrolit serta Hb, dan persiapan darah intraoperatif, mengingat
kondisi praoperatif yang jelek dan jenis operasi besar yang rentan kehilangan darah yang banyak.
Alat-alat yang yang diperlukan untuk resusitasi jantung dan paru juga telah dipersiapkan. Untuk
perawatan post operatifnya disarankan di ICU dengan persiapan ventilator. Untuk tambahan
monitoring intra operatif selain NIBP, laju nadi, SpO2, dan produksi urin, dipasang juga central
venous catheter untuk mengetahui kecukupan cairan pasien dan untuk pemberian obat-obatan
inotropic serta vasopressor apabila diperlukan.
Bagaimana anda menjelaskan apa yang terjadi pada kedua pasien tersebut dan yang telah dilakukan
oleh Tesi bersama dokter Spesialis Anestesi?
TERMINOLOGI
SKEMA
LEARNING OBJECTIVE
BELAJAR MANDIRI
1. Teknik Anestesi dan Persiapan Pre Anestesi
Persiapan Pra-Anestesia
Setiap tindakan anestesia baik anestesia umum maupun regional memerlukan evaluasi pra-
anestesia yang bertujuan untuk:
a. menilai kondisi pasien.
b. menentukan status fisis dan risiko.
c. menentukan status teknik anestesia yang akan dilakukan.
d. memperoleh persetujuan tindakan anestesia (informed consent).
e. persiapan tindakan anestesia.
>36 bulan 6 2 6
dewasa 6-8 2
Teknik Anestesi
Tindakan anestesia yang pertama kali dilakukan dan ditujukan untuk mengurangi
rasa nyeri dipresentasikan di depan publik oleh Willian T.G. Morton (1819-1868) pada
tahun 1846 dan hal ini menjadi tonggak sejarah anestesi dunia. Sejak tahun 1846 dunia
anestesi berkembang pesat, selaras dengan perkembangan dunia bedah dan saling
mendukung. Anestesia tidak dapat dipisahkan dari pembedahan dan berbagai prosedur
medis lain yang menimbulkan rasa sakit.
Dahulu, anestesia umum dihubungkan dengan hilangnya kesadaran, hilangnya rasa
sakit dan tersupresinya refleks-refleks tubuh. Kini, anestesia umum mengandung makna
yang lebih luas dan lebih luwes daripada itu. Anestesia umum pun kini diaplikasikan pada
berbagai prosedur medis nonbedah.
Masa kini, bahkan prosedur tanpa nyeri pun seringkali memerlukan tindakan
anestesia, misalnya prosedur pemindaian (CT scan, MRI, dan sebagainya) pada pasien
yang tidak kooperatif. Ilmu anestesia sendiri berkembang pesat sejak awal abad ke-20
dengan ditemukannya zat-zat anestetik, prosedur intubasi endotrakeal dan berbagai teknik
pemantauan.
Anestesia adalah gabungan antara "science" dan "art".
Fisiologi dan farmakologi adalah ilmu kedokteran dasar yang merupakan basis
ilmiah anestesiologi. Kemampuan menganalisis data medis dan mensintesis suatu
kesimpulan untuk kemudian mengaplikasikannya kepada pasien, memerlukan sentuhan
"seni" tersendiri. Sejalan dengan perkembangannya, prosedur anestesia pun kemudian
memerlukan keterampilan psikomotor khusus.
A. Anestesi Umum
Definisi Anestesi Umum
Meniadakan rasa nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran yang
bersifat reversible.
Fisiologi Hilangnya Kesadaran
Hingga kini fisiologi pasti hilangnya kesadaran belum sepenuhnya dimengerti.
Teori Meyer-Overton menyatakan anestesia terjadi jika sejumlah molekul anestetika
inhalasi berdifusi dan "larut" dalam membrn lipid sel.
Teori lain oleh Pauiling menyatakan sejumlah molekul zat anestetik berinteraksi dengan
molekul air membentuk clathrates (mikrokristal yang terhidrasi). Molekul inilah yang
menginhibisi reseptor-reseptor di SSP
Secara klasik dipercaya bahwa kesadaran hilang melalui peningkatan tonus GABA atau
inhibisi reseptor yang diaktivasi glutamat. GABA bersifat menginhibisi impuls di otak,
sedangkan NMDA dan AMPA bersifat eksitasi.
Gama Aminobutyric Acid (GABA)
GABA adalah neurotransmitter inhibitori di SSP, bekerja dengan cara berikatan
dengan reseptornya di membran sel. Ikatan ini menyebabkan terbukanya kanal ion yang
memungkinkan masuknya ion Cl- atau keluarnya ion K+ . Terjadi hiperpolarisasi sel. Obat
yang bekerja pada reseptor GABA memiliki efek depresif di SSP. Obat-obat ini biasanya
bersifat antiansietas, antikonvulsif, menyebabkan amnesia dan sebagainya.
Contoh obat tipikal GABAergik adalah golongan benzodiazepin, barbiturat,
etomidat, klorarhidrat, dan zat-zat anestetik inhalasi. Selain itu ada juga glisin (glysine),
neurotransmitter inhibitori juga di medula spinalis dan batang otak. Greenblatt dan Meng
(2001) menyimpulkan bahwa anestetika inhalasi menimbulkan potensiasi pada reseptor
GABA dan glisin. Sebagian besar obat anestetik intravena pun bekerja dengan memodulasi
GABA.
Reseptor yang Diaktivasi Glutamat
Glutamat adalah neurotransmitter eksitasi utama pada SSP mamalia. Reseptornya
termasuk NMDA, AMPA, dan kainat (kainate). Reseptor NMDA (N-methyl D-aspartate
receptor) adalah satu dari dua reseptor utama yang diaktivasi glutamat. Reseptor lain
adalah AMPA (a-amino-3-hydroxy-5methyl-4-isoxazolepropionis acid). Kedua reseptor
sering dijumpai pada sinaps yang sama meskipun mempunyai fisiologi yang berbeda.
Fungsi reseptor kainat dan hubungnnya dengan anestesia belum diketahui jelas.
Antagonis reseptor NMDA umumnya digunakan sebagai obat anestetik. Salah satu efeknya
yang unik di SSP adalah disosiasi. Sekarang golongan ini sering pula disalahgunakan
sebagai recreational drug karena efek halusinogeniknya. Dintara antagonis NMDA yang
terkenal adalah ketamin, N2O, dekstrometorfan, etanol, dan xenon. Beberapa obat memiliki
sifat antagonis NMDA bersama dengan agonis opioid, misalnya tramadol.
Komponen dalam Anestesia Umum
Hipnosis (hilangnya kesadaran)
Analgesia (hilangnya rasa sakit)
Arefleksia ( hilangnya refleks-refleks motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien)
Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi trakeal
Amnesia ( hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur).
Kontraindikasi Anestesi Umum
Keuntungan:
• Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama operasi.
• Efek amnesia, meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat ansietas dan berbagai
kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan trauma psikologis
• Memungkinkan dilakukannya prosedur yang lama.
• Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.
Kerugian:
• Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi tumpul di bawah
anestesi umum
• Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit
• Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya perubahan kesadaran.
• Risiko komplikasi pascabedah lebih besar
1. Total Intravenous Anesthesia (TIVA)
Definisi TIVA
Merupakan salah satu teknik anestesi dimana obat-obat anestesinya diberikan melalui
jalur intravena.
Kelebihan TIVA
Dapat dikombinasi dan dapat dititrasi dalam dosis yang lebih akurat dalam pemakaiannya
Tidak mengganggu jalan napas pada pasien
Mudah dilakukan
Indikasi TIVA
Obat tunggal atau kombinasi untuk anestesi pembedahan singkat
Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP
Cara pemberian TIVA
Suntikan tunggal untuk operasi singkat
Suntikan berulang sesuai kebutuhan
Diteteskan lewat infus
Indikasi LMA
a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ETT untuk airway management.
LMA bukanlah suatu penggantian ETT, ketika pemakaian ETT menjadi suatu indikasi.
b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak diperkirakan.
c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri.
Kontraindikasi LMA
a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung (penggunaan pada emergency adalah
pengecualian).
b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena seal yang
bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada tekanan inspirasi
tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanan inspirasi puncak harus dijaga
kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan lambung.
c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.
d. Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat memicu
terjadinya laryngospasme.
Keuntungan :
Tidak melewati pita suara sehingga kurang iritatif dan traumatik terhadap saluran napas.
Kerugian:
Jalan napas tak sepenuhnya terlindung
Karena esofagus terhalang, maka tidak dapat dilakukan pemasangan pipa nasogastrik.
B. Anestesi Regional
Anestesia regional telah sangat populer saat ini. Kemajuan anestesia regional sangat
pesat, bahkan melebihi anestesia umum. Penggunaan anestesia regional sangat bermanfaat,
terutama bagi kasus yang merupakan indikasi kontra anestesia umum atau berisiko terlalu
tinggi untuk anestesia umum.
Teknik anestesi yang menghasilkan blokade sistem saraf simpatis, analgesia atau
anestesia sensorik dan blokade motorik yang bergantung pada dosis, konsentrasi dan volum
anestetika lokal setelah pemberian melalui jarum ke plana neuraksial.
Dalam setiap anestesia regional selalu ada kemungkinan konversi ke anestesia umum.
Oleh sebab itu, sebelum melakukan anestesia regional semua kelengkapan anestesia umum
sudah harus siap tersedia.
Memahami anatomi, fisiologi dan farmakologi yang berhubungan dengan anestesia
regional merupakan keharusan bagi semua anestesiologis yang melakukan anetesia
regional.
Kontra Indikasi Anestesi Blok Sentral Absolut:
Penolakan pasien
Hipovolemia dan syok/ renjatan sepsis --> meningkatkan risiko hipotensi
Kogulopati atau trombositopenia --> meningkatkan risiko hematom epidural
Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) --> meningkatkan risiko herniasi otak
Relatif:
Sepsis meningkatkan risiko meningitis
Infeksi di daerah pungsi dengan risiko membawa mikroorganisme patogen ke dalam CSS
yang dapat mengakibatkan meningitis.
Riwayat gangguan neurologi sebelumnya
Riwayat pembedahan spinal dengan instrumentasi
Kelainan anatomi tulang belakang (skoliosis)
Kondisi jantung yang tergantung pada preload (stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofi
obstruktif)
Komplikasi Anestesi Blok Sentral
Komplikasi akibat respon fisiologis
Retensi urin
High Block
Total Spinal
Cardiac arrest
Anterior spinal artery syndrome
Hornesr’s syndrome (miosis, ptosis, anhidrosis)
4) Misplacement
a) No effect/inadequate anesthesia
b) Subdural block
c) Inadvertent subarachnoid block
d) Inadvertent intravascular injection
5) Catheter shearing/retention
6) Inflammation
a) Arachnoiditis
7) Infection
a) Meningitis
b) Epidural abscess
8) Drug toxicity
a) Systemic local anesthetic toxicity
b) Transcient neurological symptoms
c) Cauda equina syndrome
1. Anestesi Spinal
Indikasi Anestesi Spinal
Bedah ekstremitas bawah
Bedah panggul
Tindakan sekitar rektum perineum
Bedah obstetrik-ginekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
C. ANESTESI KOMBINASI
Teknik regional dilakukan terlebih dahulu premedikasi dapat dilakukan setelah atau
sebelum epidural atau spinal Teknik Anestesi Umum
Keuntungan
• Pemulihan pasca operasi yang halus dengan sedikit rasa sakit dan ambulasi sebelumnya
• Katabolisme berkurang, mobilisasi lebih awal, dan lebih cepat kembalinya fungsi usus
Kerugian
• Harus ada personil tambahan yang dapat menempatkan kateter dalam daerah blok terpisah
• Blok paravertebral memasuki ruang epidural menjadi anestesi epidural bilateral
Midazolam
Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien pediatrik sebagai
sedasi dan induksi anestesia.
Pre-medikasi, induksi, rumatan, sedasi post operasi.
Memiliki efek antikonvulsan sehingga dapat digunakan untuk mengatasi kejang
grand mal
Dianjurkan sebelum pemberian ketamin karena pasca anestesi ketamin dosis 1-
2mg/kgBB menimbulkan halusinasi.
Diazepam
induksi, premedikasi, sedasi
menghilangkan halusinasi karena ketamin
mengendalikan kejang
menguntungkan untuk usia tua
jarang terjadi depresi nafas, batuk, disritmia
premedikasi 1m 10 mg, oral 5-10 mg
3. Thiopental
Ultra short acting barbiturat
Dipakai sejak lama (1934)
Tidak larut dlm air, tp dlm bentuk natrium (sodium thiopental) mudah larut dlm air
4. Pentotal
Zat dr sodium thiopental. Btk bubuk kuning dlm amp 0,5 gr(biru), 1 gr(merah) & 5 gr.
Dipakai dilarutkan dgn aquades
Lrt pentotal bersifat alkalis, ph 10,8
Larutan tidak begitu stabil, hanya bs dismp 1-2 hr (dlm kulkas lebih lama, efek menurun)
Pemakaian dibuat lrt 2,5%-5%, tp dipakai 2,5% u/ menghindari overdosis, komplikasi >
kecil, hitungan pemberian lebih mudah
Obat mengalir dlm aliran darah (aliran ke otak ↑) efek sedasi&hipnosis cepat tjd, tp sifat
analgesik sangat kurang
TIK ↓
Mendepresi pusat pernapasan
Membuat saluran napas lebih sensitif terhadap rangsangan
depresi kontraksi denyut jantung, vasodilatasi pembuluh darah hipotensi. Dapat
menimbulkan vasokontriksi pembuluh darah ginjal tak berefek pada kontraksi uterus, dpt
melewati barier plasenta
Dapat melewati ASI
menyebabkan relaksasi otot ringan
reaksi. anafilaktik syok
gula darah sedikit meningkat.
Metabolisme di hepar
cepat tidur, waktu tidur relatif pendek
Dosis iv: 3-5 mg/kgBB
Kontraindikasi
syok berat
Anemia berat
Asma bronkiale menyebabkan konstriksi bronkus
Obstruksi sal napas atas
Penyakit jantung & liver
kadar ureum sangat tinggi (ekskresinya lewat ginjal)
Kerugian
overdosis
Perlu obat tambahan selama anestesi
Hipotensi karena depresi miokard & vasodilatasi
aritmia jantung
Sifat analgetik ringan
Cukup mahal
Dosis dapat kurang sesuai akibat penyusutan
Efek:
Analgesik sangat kuat setara morfin
Hipnotik sangat lemah
Tidak ada sifa relaksasi sama sekali
Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Bila murni
N2O = depresi dan dilatasi jantung serta merusak SSP
jarang digunakan sendirian tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik
lain seperti halotan dan sebagainya.
3. Eter
tidak berwarna, sangat mudah menguap dan terbakar, bau sangat merangsang
iritasi saluran nafas dan sekresi kelenjar bronkus
margin safety sangat luas
murah
analgesi sangat kuat
sedatif dan relaksasi baik
memenuhi trias anestesi
teknik sederhana
4. Enfluran
isomer isofluran
tidak mudah terbakar, namun berbau.
Dengan dosis tinggi diduga menimbulkan aktivitas gelombang otak seperti kejang
(pada EEG).
Efek depresi nafas dan depresi sirkulasi lebih kuat dibanding halotan dan enfluran
lebih iritatif dibanding halotan.
5. Isofluran
cairan bening, berbau sangat kuat, tidak mudah terbakar dalam suhu kamar
menempati urutan ke-2, dimana stabilitasnya tinggi dan tahan terhadap
penyimpanan sampai dengan 5 tahun atau paparan sinar matahari.
Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis jika pakai isofluran
6. Sevofluran
tidak terlalu berbau (tidak menusuk), efek bronkodilator sehingga banyak dipilih
untuk induksi melalui sungkup wajah pada anak dan orang dewasa.
tidak pernah dilaporkan kejadian immune-mediated hepatitis
Antikolinesterase
antagonis pelumpuh otot non depolarisasi
neostigmin metilsulfat 0,04-,0,08mg/kg (prostigmin)
piridostigmin 0,1-0,4mg/kg
edrofonium 0,5-1,0mg/kg
- fungsi: efek nilotinik + muskarinik bradikardi, hiperperistaltik, hipersekresi,
bronkospasme, miosis, kontraksi vesicaurinaria
- pemberian dibarengi SA untuk menghindari bradikardi. (2:1)
MAC (Minimal Alveolar Concentration)
konsentrasi zat anestesi inhalasi dalam alveoli dimana 50% binatang tidak memberikan
respon rangsang sakit
Halotan : 0,87%
Eter : 1,92%
Enfluran : 1,68%
Isofluran : 1,15%
Sevofluran : 1,8%
Obat Darurat
Nama Berikan bila Berapa yang diberikan?
Efedrin TD menurun >20% dari TD 2 cc spuit
awal (biasanya bila TD sistol
<90 diberikan)
Sulfas atropin Bradikardi (<60) 2 cc spuit
Aminofilin bronkokonstriksi 5 mg/kgBB
Spuit 24mg/ml
Dexamethason Reaksi anafilaksis 1 mg/kgBB
Spuit 5 mg/cc
Adrenalin Cardiac arrest 0,25 – 0,3 mg/kgBB, 1 mg/cc (teori)
Prakteknya beri sampai aman
Succinil cholin Spasme laring 1 mg/kgBB (1cc spuit
Potensi Obat
SHORT act MEDIUM act LONG act
Prototipe Prokain Lidokain Bupirokain
Gol Ester Amida Amida
Onset 2’ 5’ 15’
Durasi 30-45’ 60-90’ 2-4jam
Potensi 1 3 15
Toksisitas 1 2 10
Dosis max 12 Mg/KgBB 6 mg/KgBB 2 Mg/KgBB
Metabolisme Plasma Liver Liver
4. Prinsip Tentang Penanganan di ICU
Definisi Intensive Care Unit Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari Rumah
Sakit yang mandiri (instalasi di bawah direktur pelayanan) dengan staf yang khusus dan
perlengkapan yang khusus dengan tujuan untuk terapi pasien - pasien yang menderita
penyakit, cedera atau penyulit - penyulit yang mengancam nyawa atau potensial
mengancam nyawa dengan prognosis dubia
Intesive Care mempunyai 2 fungsi utama: yang pertama adalah untuk melakukan
perawatan pada pasien - pasien hawat darurat dengan potensi “reversible life threatening
organ dysfunction”, yang kedua adalah untuk 2 mendukung organ vital pada pasien - pasien
yang akan menjalani operasi yang kompleks elektif atau prosedur intervensi dan resiko
tinggi untuk fungsi vital
Beberapa komponen ICU yang spesifik yaitu:
1. Pasien yang dirawat dalam keadaan kritis
2. Desain ruangan dan sarana yang khusus
3. Peralatan berteknologi tinggi dan mahal
4. Pelayanan dilakukan oleh staf yang professional dan berpengalaman dan mampu
mempergunakan peralatan yang canggih dan mahal.
Pasien yang dirawat di ICU adalah pasien dengan gangguan akut yang masih diharapkan
reversible (pulih kembali seperti semula) mengingat ICU adalah tempat perawatan yang
memerlukan biaya tinggi dilihat dari segi peralatan dan tenaga (yang khusus). Indikasi
pasien yang layak dirawat di ICU adalah:
a. Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh Tim intensive care
b. Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi system organ tubuh secara terkoordinasi
dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang konstan terus menerus dan
metode terapi titrasi
c. Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan segera untuk
mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis
Asas Prioritas
Setiap dokter primer dapat mengusulkan agar pasiennya bias dirawat di ICU asalkan sesuai
dengan indikasi masuk yang benar. Mengingat keterbatasan ketersediaan fasilitasi di ICU,
maka berlaku asas prioritas dan keputusan akhir merupakan kewenangan penuh kepala
ICU.
Kriteria pasien masuk berdasarkan diagnosis menggunakan kondisi atau penyakit yang
spesifik untuk menentukan kelayakan masuk ICU.
1. Sistem Kardiovaskuler
Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem kardiovaskuler yang mengindikasikan pasien
untuk masuk ICU adalah sebagai berikut:
a. Infark miokard akut dengan komplikasi
b. Syok kardiogenik
c. Aritmia kompleks yang membutuhkan monitoring jetat dan intervensi
d. Gagal jantung kongestif dengan gagal napas dan/atau membutuhkan support
hemodinamik
e. Hipertensi emergensi
f. Angina tidak stabil, terutama dengan disritmia, hemodinamik tidak stabil, atau nyeri
dada menetap
g. S/P cardiac arrest
h. Tamponade jantung atau konstriksi dengan hemodinamik tidak stabil
i. Diseksi aneurisma aorta
j. Blokade jantung komplit
2. Sistem Pernafasan Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem kardiovaskuler yang
mengindikasikan pasien untuk masuk ICU adalah sebagai berikut:
a. Gagal napas akut yang membutuhkan bantuan ventilator
b. Emboli paru dengan hemodinamik tidak stabil
c. Pasien dalam perawatan Intermediate Care Unit yang mengalami perburukan fungsi
pernapasan
d. Membutuhkan perawat/perawatan pernapasan yang tidak tersedia di unit perawatan
yang lebih rendah tingkatnya misalnya Intermediate Care Unit
e. Hemoptisis massif
f. Gagal napas dengan ancaman intubasi
3. Penyakit Neurologis Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem kardiovaskuler yang
mengindikasikan pasien untuk masuk ICU adalah sebagai berikut:
a. Stroke akut dengan penurunan kesadaran
b. Koma: metabolik, toksis, atau anoksia
c. Perdarahan intracranial dengan potensi herniasi
d. Perdarahan subarachnoid akut
e. Meningitis dengan penurunan kesadaran atau gangguan pernapasan
f. Penyakit system saraf pusat atau neuromuskuler dengan penurunan fungsi neurologis
atau pernapasan (misalnya: Myastenia Gravis, Syndroma Guillaine-Barre)
g. Status epileptikus
h. Mati batang otak atau berpotensi mati batang otak yang direncanakan untuk dirawat
secara agresif untuk keperluan donor organ
i. Vasospasme
j. Cedera kepala berat
4. Overdosis obat atau keracunan obat Kondisi atau penyakit spesifik akibat overdosis
obat atau keracunan obat yang mengindikasikan pasien untuk masuk ICU adalah
sebagai berikut:
a. Keracunan obat dengan hemodinamik tidak stabil
b. Keracunan obat dengan penurunan kesadaran signifikan dengan ketidakmampuan
proteksi jalan napas
c. Kejang setelah keracunan obat
Dalam keadaan yang terbatas, pasien yang memerlukan terapi intensif (prioritas 1)
lebih didahulukan disbanding dengan pasien yang hanya memerlukan pemantauan
intensif (prioritas 3). Penilaian objektif atas berat dan prognosis penyakit hendaknya
digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan prioritas masuk ke ICU.
a. Pasien prioritas 1
Pasien yang termasuk dalam prioritas ini adalah pasien sakit kritis, tidak stabil
yang memerlukan terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan / bantuan
ventilasi, alat penunjang fungsi organ / system yang lain, infus obat - obat
vasoaktif / inotropic, obat anti aritmia, serta pengobatan lain – lainnya secara
kontinyu dan tertitrasi. Pasien yang termasuk prioritas 1 adalah pasien pasca
bedah kardiotorasik, sepsis berat, gangguan keseimbangan asam basa dan
elektrolit yang mengancam jiwa. Institusi setempat dapat juga membuat kriteria
spesifik yang lain seperti derajat hipoksemia, hipotensi di bawah tekanan darah
tertentu. Terapi pada kriteria pasien prioritas 1 demikian, umumnya tidak
mempunyai batas.
b. Pasien prioritas 2
Kriteria pasien ini memerlukan pelayanan canggih di ICU, sebab sangat
beresiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya pemantauan
intensif menggunakan pulmonary arterial catheter. Pasien yang tergolong
dalam prioritas 2 adalah pasien yang menderita penyakit dasar jantung – paru,
gagal ginjal akut dan berat, dan pasien yang telah mengalami pembedahan
mayor. 3 Pasien yang termasuk prioritas 2, terapinya tidak mempunyai batas,
karena kondisi mediknya senantiasa berubah.
c. Pasien prioritas 3
Pasien yang termasuk kriteria ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil
status kesehatan sebelumnya, yang disebabkan oleh penyakit yang
mendasarinya, atau penyakit akutnya, secara sendirian atau kombinasi.
Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di ICU pada kriteria ini sangat
kecil, sebagai contoh adalah pasien dengan keganasan metastatic disertai
penyulit infeksi, pericardial tamponade, sumbatan jalan napas, dan pasien
penyakit jantung dan penyakit paru terminal disertai komplikasi penyakit akut
berat. 3 Pengelolaan pada pasien kriteria ini hanya untuk mengatasi kegawatan
akutnya saja, dan usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau
resusitasi jantung paru.
d. Pasien prioritas 4
Pasien dalam prioritas ini bukan merupakan indikasi masuk ICU. Pasien yang
termasuk kriteria ini adalah pasien dengan keadaan yang “terlalu baik” ataupun
“terlalu buruk” untuk masuk ICU. 3 2.12 Kriteria Priorias Pasien Keluar 6
Jenis-jenis ventilator:
Volume Cycled Ventilator.
Prinsip dasar ventilator ini adalah siklusnya berdasarkan volume. Mesin berhenti
bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang ditentukan. Keuntungan
volume cycled ventilator adalah perubahan pada komplain paru pasien tetap
memberikan volume tidal yang konsisten.
Jenis ventilator ini tidak dianjurkan bagi pasien dengan gangguan pernapasan yang
diakibatkan penyempitan lapang paru (atelektasis, edema paru). Hal ini dikarenakan
pada volume cycled pemberian tekanan pada paru-paru tidak terkontrol, sehingga
dikhawatirkan jika tekanannya berlebih maka akan terjadi volutrauma. Sedangkan
penggunaan pada bayi tidak dianjurkan, karena alveoli bayi masih sangat rentan
terhadap tekanan, sehingga memiliki resiko tinggi untuk terjadinya volutrauma.
Pressure Cycled Ventilator
Prinsip dasar ventilator tipe ini adalah siklusnya menggunakan tekanan. Mesin berhenti
bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang telah ditentukan. Pada
titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi terjadi dengan pasif. Kerugian
pada type ini bila ada perubahan komplain paru, maka volume udara yang diberikan
juga berubah. Sehingga pada pasien yang setatus parunya tidak stabil, penggunaan
ventilator tipe ini tidak dianjurkan.
Time Cycled Ventilator
Prinsip kerja dari ventilator tipe ini adalah siklusnya berdasarkan waktu ekspirasi atau
waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi ditentukan oleh waktu dan
kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit). Normal rasio I : E (inspirasi : ekspirasi )
1:2
Sesuai dengan Rantai Keselamatan, ketika pertama kali melihat korban, hal yang harus
dilakukan adalah memastikan/mengetahui apakah korban mengalami henti jantung atau
tidak. Setelah mengenali tanda-tanda, penolong secepatnya mengaktifkan SPGDT, dan
meminta alat kejut jantung otomatis (AED), dan segera lakukan RJP dengan awalnya
berupa penekanan dada. Lalu jika alat kejut jantung otomatis (AED) datang, segera
pasangkan pada korban untuk melakukan kejut jantung jika terdeteksi perlu kejut jantung.
Untuk poin nomor 4 dan 5 dari Rantai Keselamatan, yaitu Bantuan Hidup Lanjut dan
resusitasi pasca henti jantung secara terintegrasi dilakukan oleh tenaga medis lanjutan.
1. Identifikasi korban henti jantung dan Aktivasi SPGDT Segera
Sebelum melakukan tindakan, pertama penolong harus mengamankan lingkungan sekitar
dan diri sendiri serta memperkenalkan diri pada orang sekitar jika ada. Bersamaan dengan
itu, penolong juga perlu memeriksa pernapasan korban, jika korban tidak sadarkan diri dan
bernapas secara abnormal (terengah-engah), penolong harus mengasumsikan korban
mengalami henti jantung. Penolong harus dapat memastikan korban tidak responsif dengan
cara memanggil korban dengan jelas, lalu menepuk-nepuk korban atau menggoyangkan
bahu korban. Jika korban tidak memberikan respons maka penolong harus segera
mengaktifkan SPGDT dengan menelepon Ambulans Gawat Darurat 118, atau ambulans
rumah sakit terdekat. Ketika mengaktifkan SPGDT, penolong harus siap dengan jawaban
mengenai lokasi kejadian, kejadian yang sedang terjadi, jumlah korban dan bantuan yang
dibutuhkan. Rangkaian tindakan tersebut dapat dilakukan secara bersamaan apabila pada
lokasi kejadian terdapat lebih dari satu penolong, misalnya, penolong pertama memeriksa
respons korban kemudian melanjutkan tindakan BHD sedangkan penolong kedua
mengaktifkan SPGDT dengan menelepon ambulans terdekat dan mengambil alat kejut
jantung otomatis (AED).
2. Resusitasi
Pada panduan bantuan hidup dasar berdasarkan AHA 2015 terjadi perubahan signifikan
pada penilaian Airway, Breathing dan Circulation dari AHA 2010. Urutan yang disarankan
untuk satu-satunya penolong telah dikonfirmasi yaitu penolong diminta untuk memulai
kompresi dada sebelum memberikan napas buatan (C-A-B, bukan A-C-B) agar dapat
mengurangi penundaan kompresi pertama. Satu-satunya penolong harus memulai
resusitasi jantung paru dengan 30 kompresi dada yang diikuti dengan 2 napas buatan.
Terdapat penekanan lanjutan pada karakteristik RJP berkualitas tinggi, yaitu kompresi
dada pada kecepatan dan kedalaman yang memadai, membolehkan rekoil dada sepenuhnya
setelah setiap kompresi dan mencegah ventilasi yang berlebihan.
Kecepatan kompresi dada yang disarankan adalah 100 hingga 120x/ menit (diperbarui
dari minimum 100x/menit). Rekomendasi yang diklarifikasi untuk kedalaman kompresi
dada pada orang dewasa adalah minimum 2 inci (5 cm), namun tidak lebih besar dari 2,4
inci (6 cm). Perubahan ini dirancang untuk menyederhanakan pelatihan penolong tidak
terlatih dan menekankan pentingnya kompresi dada di awal bagi korban serangan jantung
mendadak. Jumlah kompresi dada yang diberikan per menit saat RJP berlangsung adalah
faktor penentu utama kondisi RSOC (return of spontaneous circulation) dan kelangsungan
hidup dengan fungsi neurologis yang baik. Dalam sebagian besar penelitian, lebih banyak
kompresi terkait dengan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi, dan lebih sedikit
kompresi terkait dengan tingkat kelangsungan hidup yang rendah. Penerapan kompresi
dada yang tepat memerlukan penekanan bukan hanya pada kecepatan kompresi yang
memadai, namun juga meminimalkan gangguan terhadap komponen penting RJP ini.
Berdasarkan panduan AHA 2015 terjadi perubahan penilaian dari A-B-C menjadi C-A-B
dengan alogritma sebagai berikut :
3. Posisi Pemulihan
Posisi ini dilakukan jika korban sudah bernapas dengan normal. Posisi ini dilakukan untuk
menjaga jalan napas tetap terbuka dan mengurangi risiko tersumbatnya jalan napas dan
tersedak. Tidak ada standard baku untuk melakukan posisi pemulihan, yang terpenting
adalah korban dimiringkan agar tidak ada tekanan pada dada korban yang bisa
mengganggu pernapasan. Namun rekomendasi posisi pemulihan adalah meletakkan tangan
kanan korban ke atas, tekuk kaki kiri korban, kemudian tarik korban sehingga korban
miring ke arah kanan dengan lengan di bawah kepala korban. Berikut gambar mengenai
posisi pemulihan :
8.
Semakin tinggi status ASA pasien maka gangguan sistemik pasien tersebut akan semakin
berat. Hal ini menyebabkan respon organ-organ tubuh terhadap obat atau agen anestesi
tersebut semakin lambat, sehingga berdampak pada semakin lama pulih sadar pasien