TESIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH
JAKARTA
JUNI 2013
i Universitas Indonesia
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-
Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar spesialis bedah Jurusan Ilmu bedah pada
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa studi sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah
sulit bagi saya untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada:
(1) dr Alexander Jayadi Utama SpB(K)V, selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan tesis ini;
(2) DR.dr. Toar JM Lalisang,SpB(K)BD, selaku kepala departemen Ilmu Bedah;
(3) Dr. Riana P. Tamba SpB SpBA, selaku ketua program studi Ilmu Bedah;
(4) Pihak rekam medis, bagian penelitian, dan komite etik RSCM yang telah banyak
membantu dalam usaha memperoleh data yang saya perlukan;
(5) Sahabat, senior, junior PPDS dan pihak koordinator penelitian ilmu bedah yang
telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu kedokteran yang bermanfaat dikemudian hari.
Jakarta, 2013
Penulis
iv Universitas Indonesia
ABSTRAK
Infeksi kaki diabetik adalah faktor predisposisi utama amputasi ekstremitas bawah pada penyebab
non trauma. Namun baru sedikit studi yang menyelidiki faktor – faktor risiko spesifik. Metode
penelitian studi kohort retrospektif sampel besar dengan melakukan observasi data rekam medik 201
pasien dengan diagnosis infeksi kaki diabetic di RS Dr. Cipto Mangunkusumo antara tahun 2008
hingga tahun 2010. Faktor – faktor risiko kami lakukan analisis univariat, bivariat serta multivariat
kemudian dilakukan model regresi logistik dan mengkonversi koefisien model ke risk score
numerik. Pada hasil sebanyak 25.7% menjalani amputasi ekstremitas bawah diperoleh persamaan
dengan kalibrasi Hosmer and Lemeshow Test yang baik dan nilai AUC adalah sebesar 82%.
Penelitian pendahuluan ini menghasilkan sistem skoring yang sederhana dan mudah digunakan
untuk mengetahui risiko amputasi ekstremitas bawah pada pasien yang menderita infeksi kaki
diabetik.
ABSTRACT
Diabetic foot infection is the primary predisposition for lower extremity amputation in non-trauma
etiology. There were only few studies that has determined specific risk factors. This pilot study
methods used large sample retrospective cohort study by observing 201 medical records of patients
with diabetic foot infection diagnosis in Cipto Mangunkusumo Hospital for 2008 to 2010. We did
univariate, bivariate, multivariate analysis continue with logistic regression model and converting
coefficient model to numeric risk score. Result, there were 27.7% had lower extremity amputation,
logistic regression with good equation result on Hosmer and Lemeshow test and AUC score were
82%. This pilot study produce a simple scoring system and easy to use to identify lower extremity
amputation risks on diabetic foot infection patient.
vi
vii
viii
ix
BAB 1
PENDAHULUAN
Saat ini masih terdapat perbedaan pendapat antara bidang keilmuan bedah dan
penyakit dalam, dalam melakukan penatalaksanaan pasien infeksi kaki diabetik. Tiap
keputusan diambil melalui pertemuan bersama para ahli, namun masih bersifat subjektif
tanpa menggunakan parameter yang objektif.
Mempertimbangkan substansi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan
dengan amputasi ekstremitas bawah pada pasien dengan diabetes, kemampuan untuk
mengidentifikasi pasien – pasien mana yang dirawat akibat infeksi kaki diabetik yang
memiliki risiko tertinggi terhadap komplikasi ini dapat membantu klinisi memberikan
usaha pencegahan khusus terhadap individu tersebut. Informasi ini dapat pula membantu
mengidentifikasi risiko dasar amputasi diantara pasien – pasien yang dirawat di rumah
sakit. Meskipun faktor – faktor yang berhubungan dengan timbulnya foot ulcer pada pasien
diabetes sudah jelas, namun faktor risiko amputasi belum jelas. Penelitian sebelumnya telah
mengidentifikasi faktor – faktor risiko independen yang meliputi: riwayat ulkus kaki,
iskemia tungkai, keterlibatan tulang, terdapatnya gangren, luka yang dalam, usia tua,
meningkatnya marker inflamasi, kontrol gula darah yang buruk, etnis tertentu atau daerah
geografi, nefropati dan retinopati.
1.3 Hipotesis
Apakah sistem skoring bermakna untuk digunakan sebagai alat memprediksi
amputasi ekstremitas bawah pada infeksi kaki diabetik?
Dari penelitian yang dilakukan diharapkan pasien mendapatkan pelayanan yang terbaik
sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan dan kejadian amputasi ekstremitas
nun-trauma akibat infeksi kaki diabetik dapat dicegah, serta menjembatani perbedaan
pendapat antar bidang keilmuan sehingga dapat diambil suatu keputusan yang objektif.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Saat ini epidemi penyakit tidak menular muncul menjadi penyebab kematian
terbesar di Indonesia, sedangkan epidemi penyakit menular juga belum tuntas, selain itu
semakin banyak pula ditemukan penyakit infeksi baru dan timbulnya kembali penyakit
infeksi yang sudah lama menghilang. Sehingga Indonesia memiliki beban kesehatan ganda
yang berat. Berdasarkan studi epidemiologi terbaru, Indonesia telah memasuki epidemi
diabetes melitus tipe 2. Perubahan gaya hidup dan urbanisasi nampaknya merupakan
penyebab penting masalah ini, dan terus-menerus meningkat pada milenium baru ini.2
Diperkirakan masih banyak (sekitar 50 %) penyandang diabetes yang belum
terdiagnosis di Indonesia. Selain itu hanya dua pertiga saja dari yang terdiagnosis yang
menjalani pengobatan, baik non farmakologis maupun farmakologis. Dari yg menjalani
pengobatan tersebut hanya sepertiganya saja yang terkendali dengan baik. Bukti-bukti
menunjukkan bahwa komplikasi diabetes dapat dicegah dengan kontrol glikemik yang
optimal. Kontrol glikemik yang optimal sangatlah penting, namun demikian di Indonesia
sendiri target pencapaian kontrol glikemik belum tercapai, rerata HbA1c masih 8%, masih
di atas target yang diinginkan yaitu 7%. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman
pengelolaan yang dapat menjadi acuan penatalaksanaan diabetes melitus. 2
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insideni dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. World
Health Organization (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang
diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan
jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3
juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada
tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009
menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan
keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali
lipat pada tahun 2030.2
Sejak 1996 prevalensi penyakit Diabetes berkisar 120 juta dan menjadi 250 juta
hingga tahun 2025 nanti . Di Amerika Serikat hampir 50.000 amputasi berhubungan dengan
diabetes, 40%-60% dilakukan amputasi non-trauma pada ekstremitas bawah serta 85%
amputasi ekstremitas bawah tersebut didahului oleh ulkus DM. Amputasi tersebut disertai
gangren sekitar 50%-70% dan infeksi 20%-50%.7,8
Laporan dari hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada
dekade 1980-an menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe 2 antara 0,8% di Tanah Toraja,
sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada rentang tahun1980-2000
menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh, pada penelitian
di Jakarta (daerah urban), prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982 naik menjadi 5,7%
pada tahun 1993 dan meroket lagi menjadi 12,8% pada tahun 2001.2
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan
prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2 pada daerah rural, maka
diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di daerah
urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk,
diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20
tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka
diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah
rural.2
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh Departemen
Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi DM di daerah urban Indonesia untuk usia di
atas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7% ,
dan terbesar di Propinsi Maluku Utara dan Kalimantan Barat yang mencapai 11,1%.
Sedangkan prevalensi Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di
Propinsi Jambi sampai 21,8% di Propinsi Papua Barat.2
Data-data diatas menunjukkan bahwa jumlah penyandang diabetes di Indonesia
sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh
dokter spesialis/subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada.
Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya
manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, maka semua pihak, baik
masyarakat maupun pemerintah, sudah seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan
DM, khususnya dalam upaya pencegahan.2
2.1 DEFINISI
1. HbA1C ≥ 6,5 %. Pemeriksaan tes ini harus di laboratorium yang sesuai standar
dengan menggunakan metode NGSP (National Glycohemoglobin
Standardization Program) & DCCT (Diabetes Control & Complications Trial)
Atau
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
3. Gejala klasik DM
+
Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/l)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
4. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/l)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air
2.2 KLASIFIKASI
Autoimun
Idiopatik
Tipe 2 -Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin
disertai resistensi insulin
-Endokrinopati
-Infeksi
Diabetes melitus
gestasional
2.3 PATOFISIOLOGI
Pada tipe 1 sel beta pada pánkreas hanya memproduksi sedikit atau bahkan
tidak memproduksi insulin sama sekali. Insulin diperlukan agar glukosa bisa masuk
kedalam sel tubuh dan menjadi energi. Ketidakcukupan jumlah insulin
menyebabkan tubuh tak bisa memanfaatkan glukosa sebagai sumber energi.
Sehingga sering timbul gejala seperti peningkatan rasa lapar dan diuresis yang
berlebihan . Gejala lain yang menyertai dapat berupa penurunan berat badan secara
cepat, mual, muntah, sakit perut, keletihan dan pada perempuan seringkali disertai
absennya menstruasi. Oleh karena itu penderita diabetes tipe 1 memerlukan
suntikan insulin setiap hari. Jika tidak dirawat secara benar, penderita bisa
mengalami kondisi kegawat daruratan.4
Penderita diabetes terbukti lebih rentan terhadap aterosklerosis dan penyakit
jantung koroner. Peluang mereka terkena aterosklerosis 10 kali lebih besar , sedangkan
penyakit jantung koroner 4 kali lebih besar. Peningkatan glukosa pada penderita DM akan
menyebabkan pembentukan radikal bebas melalui proses glikasi non enzimatik.
Meningkatnya radikal bebas ini merangsang berbagai komponen yang terlibat dalam proses
aterosklerosis, seperti intercelular adhesión molecule-I (ICAM-1) . Keluarga dari
imunoglobin yang berperan dalam proses pelekatan berbagai molekul yang terlibat dalam
proses inflamasi. Peningkatan kadar radikal bebas pada penderita diabetes erat kaitannya
dengan terjadinya komplikasi pembuluh darah. Oleh karena itu penderita diabetes jangan
hanya dikontrol gula darahnya tetapi juga perlu mendapat obat yang melindungi pembuluh
darah.5,6
Ulkus kaki diabetes merupakan lesi kulit berupa full thickness yang memiliki arti
adalah luka berpenetrasi hingga dermis, berlokasi di bawah pergelangan kaki. Atau dapat
didefinisikan juga sebagai luka yang non-healing atau poor healing. Lamanya proses non
healing tidaklah begitu penting tetapi kehilangan sensasi merupakan hal yang penting.
Berdasarkan konsensus WHO, gangren didefinisikan sebagai nekrosis kulit yang
berkesinambungan pada otot hingga tendon, sendi atau tulang. Pada ulkus kaki diabetes
dapat juga menyebabkan neuropati perife pada sensorik, motorik dan autonom. Neuropati
sensorik disertai dengan hilangnya nyeri, pressure awareness, temperatur dan propriosepsi.
Secara umum neuropati motorik mengakibatkan terjadinya atrofi dan kelemahan instrinsik
otot pada kaki yang menyakibatkan terjadi posisi fleksi deformitas pada jari dan pola jalan
yang abnormal. Neuropati otonom mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya sekresi
kelenjar keringat sehingga mengakibatkan keringnya kulit dan terbentuknya crack atau
fissura kulit. Dan lebih lanjut dapat mengakibatkan terjadinya edema dan distensi pada
dorsal vena kaki.7,8
Terjadinya PVD ( peripheral vascular disease ) dengan trauma minor sering
berdampak pada nyeri (akibat purely ischemic foot ulcer ).PVD dan neuropathy sering ada
pada pasien kaki diabetes. Hal ini sering diawali oleh ulkus menjadi neuropati perifer,
minor foot trauma dan foot deformity. Dan proses perlambatan penyembuhan ulkus dan
mengakibatkan terjadinya infeksi atau gangren dengan perawatan yang lama di rumah sakit
dan berakhir dengan amputasi.9
Penyakit vaskuler perifer didapat 20 kali lebih sering pada pasien diabetes dan pada
usia yang lebih muda. Yang menarik perhatian ádalah bahwa iskemia ditemukan sebagai
2.4 DIAGNOSIS
Pada diagnosis kaki diabetes diperlukan mencari tanda-tanda dan gejala infeksi ,
kelainan vaskuler (angiopathy) dan neuropathy . Tanda-tanda infeksi dapat terjadi kelainan
pada tulang terutama metatarsal berupa osteomielitis pada rontgen. Dilanjutkan dengan
pemeriksaan bakteriologik (tes resistensi dan kultur). Adapun tanda-tanda neuropathy pada
kaki diabetes berupa : panas, pulsasi jelas, sensorik menurun, koreng tidak sakit dan warna
kemerahan dengan komplikasi : terbentuknya kalus, gangren jari kaki, osteomielitis dan
charcot foot. Dan tanda-tanda angiophaty berupa dingin, pulsasi tidak ada, sensorik masih
ada, koreng sakit, warna pucat dengan komplikasi klaudikasio, gangren jari/kaki ,
osteomielitis dan rest pain yang disertai dengan pemeriksaan doppler ultrasound.10
1. Perfusion
2. Extent/ Size
3. Depth / Tissue Loss
4. Infection
5. Sensation
2.5 PERFUSI
Grade I memiliki : tidak ada gejala atau tanda-tanda dari PAD yang mempengaruhi kaki .
Grade II memiliki : symptoms atau tanda-tanda PAD , tetapi tidak critical limb ischemia
Luas luka ( dalam cm2 ) dibedakan setelah debridement. Biasanya yang dilaporkan adalah
distribusi ukuran luka.
Grade I : memiliki superfisial full thickness ulcer, tidak berpenetrasi pada struktur
Grade II memiliki deep ulcer, berpenetrasi dibawah dermis pada struktur subkutaneus
meliputi fasia , otot atau tendon
Grade III terdiri dari semua lapisan pada kaki meliputi : tulang dan atau persendian ( tulang
ekspose atau probing to bone ). Pada evaluasi faktor ini ulkus dengan debridement iskemia
di curigai sebagai criticallimb ischemia ( Grade 3 ).
2.8 INFEKSI
Grade II: infeksi meliputi kulit dan jaringan subkutaneus tanpa ada keterlibatan jaringan
yang lebih dalam atau tanda sistemik.
Adapun tanda atau gejala tersebut memiliki kurang lebih 2 item seperti :
2.9 SENSASI
Meliputi :
Grade I memiliki : tidak adanya kehilangan proteksi sensasi pada kaki diabetes
1. Tidak adanya sensasi tekanan , dengan jarum 10 gram monofilament pada 2 atau 3
tempat di plantar kaki.
2. Tidak adanya sensasi vibrasi (dibedakan dengan 128 Hz tuning fork) atau vibration
threshold> 25 Volt, keduanya dilakukan tes pada Hallux
Pada orang normal sebagian kecil fraksi hemoglobin akan mengalami glikosilasi,
artinya glukosa terikat pada hemoglobin melalui proses enzimatik dan bersifat reversible.
Pada keadaan hiperglikemia kronik, glikosilasi hemoglobin akan meningkat sesuai kadar
rata-rata glukosa darah selama 2-3 bulan sebelumnya, termasuk kenaikan glukosa darah
pasca prandial. Pemeriksaan HbA1C merupakan pemeriksaan tunggal yang sangat akurat
untuk menilai status glikemik jangka panjang dan sangat berguna pada semua tipe pasien
DM. Kendala dari pemeriksaan ini adalah nilai HbA1C dipengaruhi oleh keadaan anemia
berat, kehamilan, gagal ginjal dan hemoglobinopati. Selain itu pemeriksaan ini juga harus
dilakukan di laboratorium dan harganya relatif mahal. 13
2.11 TATALAKSANA
Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam pengobatan ulkus diabetes ataupun
pencegahan timbulnya ulkus harus dilakukan tindakan sebagai berikut :
- Debridement luka
- Mengistirahatkan
- Pembalutan
- Kontrol infeksi
- Revaskularisasi
- Tindakan amputasi
Debridement luka
Membuang jaringan nekrotik, jaringan hiperkeratosis dan membuat drainase yang baik,
dan jika diperlukan lakukan secara berulang (re-debridement). Perlu disadari bahwa
tidak ada obat topikal yang dapat menggantikan debridement yang baik dengan teknik
yang benar dan proses penyembuhan luka selalu dimulai dari jaringan yang bersih.
Pada beberapa kondisi tidak memerlukan tindakan debridement seperti, gangren yang
kering, ulkus yang menyembuh dengan eskar yang kering, dan ulkus pada tungkai
dengan sirkulasi yang buruk.4,11
Mengistirahatkan
Yang dimaksud adalah mencegah trauma pada daerah ulkus dan memindahkan tekanan
pada tempat yang lain, jika perlu dengan mengistirahatkan penderita di tempat tidur.
Pembalutan
Banyak teknik dan macam jenis pembalut yang digunakan saat ini, tapi yang
terpenting pembalut yang ideal mempunyai karakteristik sebagai berikut :
- Menjaga dan melindungi kelembaban jaringan
- Mudah penggunaannya
Kontrol Infeksi
Pada penanganan infeksi, debridement merupakan langkah awal yang sangat
bermanfaat untuk mengurangi lama pemberian antibiotik dan mengurangi
angka amputasi.Kultur sebaiknya dilakukan sewaktu dilakukan debridement.
Jenis antibiotik yang diberikan sebelum hasil kultur ada, berdasarkan keputusan klinis
yang didasari dari data kultur dan kasus-kasus sebelumnya ( evidence based ).
Perawatan ulkus neuropati berbeda dengan ulkus iskemik, karena pada neuropati
biasanya sirkulasi berjalan baik. Lingkungan yang lembab disekitar ulkus akan
merangsang penyembuhan. Kelembaban ( kompres ) ini dipertahankan dengan
menganti kain kasa pembalut 3-4 kali seharí. Cairan yang dipakai sebaiknya isotonik
dan bila korengnya sangat kotor, penuh pus . 4,16,17
Revaskularisasi
Iskemia merupakan penyebab penting terjadinya ulkus dan mempersulit proses
penyembuhan luka. Pemeriksaan untuk menilai derajat iskemik sangat diperlukan
sebelum kita menentukan tindakan penanganan ulkus. Vaskular rekonstruksi
diperlukan pada pasien dengan ulkus dan ABI < 0,75 atau TBI < 0,6, sedangkan untuk
pasien yang tidak terdapat ulkus dengan ABI atau TBI seperti diatas dipertanyakan
perlunya tindakan vaskular rekonstruksi.16,18
Jika pasien sudah kita tetapkan sebagai calon untuk vaskular rekonstruksi maka
arteriografi diperlukan untuk perencanaan teknis yang dipergunakan.
Amputasi
Pada dasarnya amputasi dibagi menjadi amputasi minor, yaitu amputasi sendi
midtarsal atau dibawahnya dan amputasi mayor, yaitu amputasi diatas midtarsal. Perlu
diperhatikan apakah perfusi didaerah amputasi sudah baik, kontrol gula darah dan
nutrisi baik, kontrol infeksi sehingga kemungkinan reamputasi (amputasi diatasnya
karena luka tidak sembuh) menjadi berkurang.
Bila terjadi peradangan yang sangat cepat maka amputasi harus dipertimbangkan
dengan segera dan jangan ditunggu sampai terlambat. Sebab seringkali amputasi harus
dikerjakan setinggi paha untuk menghentikan peradangan berlanjut yang bersifat life
saving ,. Biasanya dalam waktu 24-48 jam sudah terlihat jelas perjalanan penyakit
tersebut.17,19,20
Pada prinsipnya ada 3 alasan untuk melakukan amputasi ekstremitas bawah pada kaki
diabetes. Pertama iskemi yang tidak dapat dilakukan rekonstruksi dengan kematian
jaringan luas memerlukan amputasi seproksimal mungkin sampai menjamin
penutupan luka yang primer. Kedua bila infeksi demikian berat akan mengancam
kelangsungan hidup atau tungkai untuk mencegah meluasnya sepsis. Ketiga yang
jarang dilakukan ádalah fraktur atau osteomielitis pada kaki Charcot dengan
kerusakan tumit, dimana rekonstruksi skeletal tidak dapat dipertanggungjawabkan.. 6,21
Terapi tambahan
Yang dimaksud terapi tambahan dalam hal ini adalah modalitas yang ada di luar terapi
diatas. Dalam hal ini termasuk pemberian obat-obatan (cilostazol), growth factor (EGF,
KGF, PDGF), terapi gen, terapi stem cell, terapi oksigen hiperbarik, ataupun modalitas lain
yang sampai saat ini masih dalam penelitian. 22,23
Rehabilitasi
Pada dasarnya penderita kaki diabetes harus dapat merawat sendiri, dan dapat
mencegah timbulnya ulkus dengan cara yang baik. Dengan pengetahuan yang baik angka
untuk timbulnya ulkus dapat ditekan sampai setengahnya. Hal ini akan menekan biaya
pengobatan yang cukup besar, disamping fungsi sosial pasien juga menjadi baik.
Diperlukan kerja sama multi disipliner dan waktu konsultasi yang cukup untuk
mendapatkan hasil baik dari segi pengetahuan pasien dalam perawatan kaki. 4,24
Pasien Kaki
Diabetik
Tidak Terinfeksi
Terinfeksi
Recruitment
Subyek
Penelitian
Diferensiasi
Variabel
Penelitian
Pendahuluan
Analisis
Variabel
Recruitment
Tambahan Subyek
Penelitian Penelitian
Lanjutan
Validasi
Gambar 2.3 Kerangka Konsep
BAB 3
METODOLOGI
3.1 DesainPenelitian
Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif sampel besar untuk menganalisis faktor
- faktor risiko amputasi ekstremitas bawah dan memberikan beban skor untuk memprediksi
terjadinya amputasi ekstremitas bawah pada infeksi kaki diabetik
20
Kaki diabetik adalah infeksi, ulserasi dan/atau kerusakan dari jaringan terdalam pada
pasien DM Tipe 2 akibat komplikasinya
Amputasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah reseksi pada ekstremitas bawah
yang membuang tulang secara bedah dengan cara transeksi pada segala level dari
ekstremitas bawah
Amputasi mayor adalah amputasi di atas midtarsal
Amputasi minor adalah amputasi sendi midtarsal atau di bawahnya
Riwayat amputasi sebelumnya didapatkan dari kesimpulan data rekam medis
Gula darah teratur atau tidak dilihat dari data hasil pemeriksaan laboratorium gula
darah sewaktu sebelum dilakukannya amputasi dan reamputasi. Kriteria diagnosis
untuk DM meliputi adanya gejala dari DM dan gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL
(11,1 mmol/l), dengan gejala klasik meliputi polyuria, polydipsia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan.
Dikatakan hipertensi bila tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90
mmHg
Riwayat merokok didapat dari kesimpulan data rekam medis
Riwayat kardiopati/penyakit kardiovaskuler (CAD) didapat dari kesimpulan data
rekam medis
Peripheral Arterial Disease (PAD) atau Peripheral Artery Occlusion Disease
(PAOD) adalah sumbatan arteri perifer menahun yang merupakan manifestasi dari
beberapa penyakit, yang paling sering adalah karena aterosklerosis. Dianggap positif
bila nilai ABI <0,9 atau toe pressure <0,6
Nefropati dinilai dengan serum kreatinin > 1,5 mg/dL
Iskemia diabetik dinilai dengan pulsasi distal yang lemah atau tidak ada, juga dapat
dinilai dengan adanya PAD.
Sepsis dinilai dengan adanya SIRS ditambah dengan adanya sumber infeksi. SIRS
(Systemic Inflammatory Response Syndrome) dinilai dengan 2 atau lebih tanda-tanda
berikut:
o Temperatur > 38°C atau < 36°C
o Frekuensi jantung > 90 kali per menit
o Frekuensi nafas > 20 kali permenit atau PaCO2 <32 mmHg
o Leukosit > 12.000 / mm3 atau <4000 / mm3\
Hiperkolesterolemia dinilai dengan kadar kolesterol >200 mg/dL.
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin <3 g/dL
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Diantara pasien yang dirawat, 201 pasien masuk dalam kriteria inklusi untuk penderita
infeksi kaki diabetik dengan bentuk ulkus (82,9%), selulitis (10%) merupakan diagnosis
yang paling sering. Sebanyak 201 pasien kami gunakan sebagai kohort derivasi. Total
83(39,5%) pasien menjalani amputasi ekstremitas bawah, dan sebanyak 34 (16,2%) pasien
menjalani reamputasi.Rata – rata usia pasien 55,9 ( + 9.16) dengan jumlah pasien
perempuan lebih banyak daripada laki – laki seperti tampak pada Tabel 4.1.
Kardiopati 20 (9.5%)
Perfusi
Grade 1 (ABI Normal) 58 (27.6%)
Grade 2 (PAD) 84 (40.0%) - 152 (72.4%)
Grade 3 (CLI) 68 (32.4%) -
Selulitis 21 (10.0%)
Ulkus 174 (82.9%)
Osteomyelitis X-ray 80 (38.1%)
23
Dari analisis bivariat tampak pada tabel 2, faktor – faktor yang signifikan berhubungan
dengan amputasi ekstremitas bawah (p<0,05) adalah gangguan perfusi, ulkus,
osteomyelitis dan kadar albumin.
Amputasi P
Jenis Kelamin
Laki – Laki 49.4% (41/83) 0.572
Perempuian 50.6% (42/83)
Komorbiditi
Kardiopati 13.3% (11/83) 0.154
Perfusi <0.0001
Grade 1 (ABI 6% (5/83)
Normal)
Grade 2 (PAD) 31.3% (26/83)
Grade 3 (CLI) 62.7% (52/83)
Hasil
Laboratorium
Albumin 60.2% (50/83) 0.035
Kreatinin 16.9% (14/83) 0.703
Leukositosis 75.9% (63/83) 0.126
Kadar glukosa
saat masuk 0.495
<70 2.4% (2/83)
71-135 13.3%(11/83)
136-240 31.3%(26/83)
>240 53.0%(44/83)
Dari variable independen yang memiliki nilai p <0.25 dimasukan analisis multivariat
regresi logistic
Pada analisis multivariate dengan metode backward stepwise, didapatkan hasil akhir
melalui enam step. Yang dapat dianggap paling bermakna diantara variable – variabel
bebas yang ada secara statistik hanya dua variable yaitu ada tidaknya gangguan perfusi
(RO= 0.08) dan ada tidaknya osteomielitis pada x-ray (RO= 8.12).
Aplikkasi dari persamaan yang diperoleh untuk memprediksi probabilitas seorang pasien
yang menderita infeksi kaki diabetik akan mengalami amputasi ekstremitas bawah dengan
menggunakan rumus
pLEA = 1/(1+e-y)
p= probabilitas seorang pasien yang menderita infeksi kaki diabetik akan mengalami
amputasi ekstremitas bawah
Kualitas persamaan yang diperoleh berdasarkan parameter kalibrasi dari Hosmer and
Lemeshow test adalah
Nilai p sebesar 0.551 menunjukan bahwa persamaan yang diperoleh memiliki kalibrasi
yang baik
1 0 1 1 1 0
5 1 0 0 0 1
BAB V
Pada penelitian large cohort pasien yang dirawat karena menderita infeksi kaki
diabetik lebih dari 1/5 nya menjalani amputasi ekstremitas bawah. Bila melihat sejumlah
variabel klinis dan laboratoris yang didapat saat pasien masuk rumah sakit, kami
mengidentifikasi terdapat 7 faktor risiko independen yang signifikan berhubungan dengan
kejadian amputasi ekstremitas bawah. Pada penelitian lanjutan direncanakan recruitment
tambahan dari data tahun 2011 hingga 2013 lalu dengan cara membulatkan regresi logistik
menjadi integre kami mengembangkan suatu koefisien sistem skoring yang sederhana
dengan 7 strata yang menunjukan prediksi yang tinggi untuk amputasi ekstremitas bawah.
Dengan menggunakan kohort validasi kami berharap mendapatkan risk score yang valid
dan terkalibrasi dengan baik
Sebagian besar faktor – faktor yang masuk di dalam skor risiko kami telah
dilaporkan sebagai risiko amputasi yang telah dilaporkan dalam penelitian – penelitian
sebelumnya. Adanya infeksi dan penyakit vaskuler perifer merupakan faktor prediktor
yang kuat. Sebagian besar pasien dengan ulkus diabetik tidak menderita demam atau
leukositosis sebagaimana didefinisikan oleh Infection Disease Society of America and
International Work Group sebagai kriteria infeksi berat. Infeksi kaki diabetik yang berat
ini berkaitan dengan risiko amputasi ekstremitas bawah yang lebih tinggi dibandingkan
pasien yang menderita infeksi ringan dan sedang. Pada penelitian sebelumnya 31,32 juga
mengidentifikasi insufisiensi renal dapat meningkatkan risiko amputasi, demikian pula usia
tua, jenis kelamin laki – laki, hipoalbuminemia serta riwayat amputasi sebelumnya. 33,34
Namun demikian kami membangun sistem skoring ini untuk pasien pria maupun wanita.
Metaanalisis baru – baru ini menunjukan hubungan langsung antara hiperglikemia
35
(yang diukur dengan gliko Hb/ HbA1c) dengan amputasi pada infeksi kaki diabetik.
Sayangnya kami tidak memiliki data HbA1c yang cukup pada pasien – pasien subyek
penelitian kami. Namun demikian kami menemukan hubungan yang tidak signifikan antara
tingginya kadar gula darah dengan angka amputasi ekstremitas bawah.
Tipe infeksi kaki diabetik berkaitan dengan risiko amputasi yaitu ulkus diabetik
diikuti osteomyelitis. Sama dengan penelitian sebelumnya apabila didapatkan infeksi yang
lebih dalam terutama yang melibatkan tulang atau infeksi necrotizing maka lebih sering
berakhir dengan amputasi
30
DAFTAR PUSTAKA
32. Ndip A, Rutter MK, Vileikyte L, et al. Dialysis treatment is an independent risk factor
for foot ulceration in patients with diabetes and stage 4 or 5 chronic kidneydisease.
Diabetes Care 2010;33:1811–1816
33. Skoutas D, Papanas N, Georgiadis GS, et al. Risk factors for ipsilateral reamputation
in patients with diabetic foot lesions. Int J Low Extrem Wounds 2009;8:69–74
34. Flores Rivera AR. Risk factors for amputation in diabetic patients: a case-control study.
Arch Med Res 1998;29:179–184
35.Adler AI, Erqou S, Lima TA, Robinson AH. Association between glycated haemoglobin
and the risk of lower extremity amputation in patients with diabetes mellitus—review
and meta-analysis. Diabetologia 2010;53: 840–849
36. Sullivan LM, Massaro JM, D’Agostino RB Sr. Presentation of multivariate data for
clinical use: the Framingham Study risk score functions. Stat Med 2004;23:1631–1660
37.Rachmawati, Hilman. Karakteristik Pasien Kaki Diabetes di RSUP Cipto
Mangunkusumo. FKUI. 2012