BP No-17 2009 01 PDF
BP No-17 2009 01 PDF
1
BULETIN PALAWIJA NO. 17, 2009
perkembangan ekonomi global dan semakin me- mium (87–88) (Pranowo 2007). Sejak tahun 2007,
nipisnya cadangan fossil bahan baku BBM. Pertamina telah mulai memasarkan BioPremium
Penggunaan sumber energi alternatif yang E-3, BioPertamax E-3, dan BioPertamax E-5 yang
berasal dari hasil pertanian (Bahan Bakar Nabati masing-masing merupakan campuran 3–5%
= BBN) seperti biodiesel dan bioetanol untuk bioetanol dengan 97% premium dan 95% Perta-
bahan bakar (biofuel) karenanya masih menjadi max di beberapa stasiun pengisian bahan bakar
isu penting dan relevan serta perlu diprogramkan (SPBU) di Malang dan Jakarta (Nurianti 2008).
dan dikembangkan dengan serius oleh peme- Kedepan, sesuai dengan peta jalan pengembangan
rintah. Selama satu dekade terakhir, produksi biofuel, diperkirakan kebutuhan bioetanol sebagai
minyak mentah terus menurun rata-rata 5% dan campuran 5% premium mencapai 1,48 juta KL/
diperkirakan cadangan BBM asal fosil yang tersisa tahun pada periode 2005–2010. Angka ini akan
hanya cukup sampai tahun 2018 (Kompas 2006). meningkat menjadi 2,78 juta KL pada periode
Dasar pengembangan biofuel di Indonesia sangat 2011–2015 dan 6,28 juta KL pada periode 2016–
kuat dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden 2025 bila subtitusi etanol terhadap premium
No.5/2006 tentang kebijakan energi nasional, ditingkatkan menjadi 10% dan 15% (Tjakrawan
Instruksi Presiden No.1/2006 tentang penyediaan 2008). Seiring dengan meningkatnya kebutuhan
dan pemanfaatan BBN sebagai alternatif bahan bioetanol untuk substitusi BBM, maka kebutuhan
bakar, serta Keputusan Presiden No.10/2006 ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol juga akan
tentang tugas Tim Nasional pemanfaatan BBN meningkat sehingga perlu didukung dengan
untuk percepatan pengentasan kemiskinan dan peningkatan produksi ubi kayu dan efisiensi dalam
pengurangan pengangguran (Nurianti 2008). pengolahannya.
Untuk substitusi 10% premium dengan bioetanol
(Gasohol E-10), sebesar 8% ditetapkan berasal
dari ubi kayu, sedang sisanya masing-masing 1% UBI KAYU SEBAGAI
dari tetes dan sorgum (Ditjen Perkebunan 2005). BAHAN BAKU BIOETANOL
Sebagai bahan bakar, bioetanol dapat digu- Bioetanol merupakan salah satu sumber energi
nakan sebagai campuran (5–10%) BBM tanpa alternatif untuk bahan bakar, terutama untuk
perlu memodifikasi mesin kendaraan. Bioetanol kendaraan bermotor yang dihasilkan dari
memiliki kelebihan dibanding BBM karena sum- tanaman berpati, seperti biji-bijian (terutama
bernya terbarukan dan memiliki nilai oktan tinggi jagung, sorgum, gandum) dan umbi-umbian (ubi
sehingga proses pembakaran menjadi lebih kayu, ubi jalar, kentang) serta tanaman yang
sempurna.Tingkat emisi gas CO2-nya menjadi menghasilkan gula (tebu, nira, aren, nipah,
40–80% lebih rendah, sehingga lebih ramah sorgum manis, dan gula beet) dan bahan ber-
lingkungan (Anonim 2004). Pembakaran bioeta- sellulosa (jerami, ampas tebu, tongkol jagung,
nol lebih sempurna dibanding premium karena serbuk gergaji) (Balat et al. 2008). Berdasarkan
nilai oktannya lebih tinggi (117) daripada pre- nilai konversinya menjadi etanol, jagung menun-
Tabel 1. Nilai konversi beberapa jenis bahan berpati dan bergula menjadi
bioetanol.
2
GINTING, DKK: UBI KAYU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI BIOETANOL
jukkan tingkat efisiensi tertinggi, diikuti tetes tebu BBN, akan terjadi peningkatan produktivitas dan
dan ubi kayu yang berturut-turut memerlukan penumbuhan agroindustri di pedesaan, c) ber-
2,5 kg, 4 kg dan 6,5 kg bahan untuk mengha- kembangnya industri bioetanol di pedesaan akan
silkan 1 liter bioetanol (Tabel 1). lebih menjamin stabilitas harga ubi kayu, d) peng-
Namun apabila diperhitungkan produksi gunaan ubi kayu sebagai bahan baku akan lebih
bioetanol per satuan luas dan waktu, tanaman menjamin security of supply bahan bakar berbasis
yang paling berpotensi sebagai bahan baku kemasyarakatan, e) ubi kayu merupakan tanam-
industri bioetanol adalah tebu dengan produksi an yang mempunyai tingkat toleransi tinggi ter-
3.000–8.500 l/ha/th, diikuti ubi kayu yang mampu hadap tanah dengan tingkat kesuburan rendah
memproduksi bioetanol sebanyak 2.000–7.000 l/ dan mampu berproduksi baik pada lahan sub-
ha/thn (Tabel 2). Di Indonesia, kebutuhan jagung optimal. Menurut Suyamto dan Wargiono (2006),
untuk pangan dan pakan belum dapat dipenuhi karakter biofisik (sumberdaya tanaman, fleksi-
dari produksi dalam negeri sehingga setiap tahun bilitas umur panen dan usaha tani, efisiensi energi
masih harus diimpor dalam jumlah yang besar, dan penggunaan lahan dan air yang tinggi, dan
yakni 1,3 juta ton pada tahun 2006 dan 600.000 sistem integrasinya dengan ternak) dan keterse-
ton pada tahun 2007 (Utama 2008). Sementara diaan sumberdaya lahan serta aspek sosial
tanaman tebu masih dibutuhkan sebagai bahan ekonomi petani yang secara turun-temurun
baku industri gula yang produksinya juga belum sudah mengenal budidaya ubikayu, sangat men-
dapat memenuhi keperluan dalam negeri. Sejauh dukung pengembangan ubi kayu sebagai bahan
ini, industri etanol yang ada di Indonesia seba- baku bioetanol.
gian besar menggunakan bahan baku tetes tebu
(molases). PROSES PENGOLAHAN UBI KAYU
MENJADI BIOETANOL
Menurut Supriyanto (2006), tanaman ubi kayu
ditinjau dari aspek bahan baku, aspek teknologi, Kandungan pati yang tinggi pada ubi kayu
aspek lingkungan, serta aspek komersial lebih merupakan substrat yang baik untuk meng-
menjanjikan sebagai bahan baku pembuatan hasilkan glukosa sebagai produk antara pada
bioetanol dibandingkan tetes tebu. Prihandana pembuatan etanol. Sebagai bahan baku, ubi kayu
et al. (2007) memberi beberapa pertimbangan dapat digunakan dalam bentuk segar atau chips.
digunakannya ubi kayu sebagai bahan baku Pada dasarnya proses pengolahan ubi kayu
etanol: a) Ubi kayu sudah sejak lama dikenal dan menjadi etanol meliputi gelatinisasi pati, diikuti
dibudidayakan secara turun-menurun oleh seba- hidrolisis pati secara enzimatis menjadi glukosa
gian besar masyarakat Indonesia. Diharapkan dengan menggunakan enzim α -amilase dan
dengan berkembangnya industri bioetanol, harga glukoamilase (likuifikasi dan sakarifikasi) yang
ubi kayu akan meningkat sehingga pendapatan selanjutnya difermentasi menjadi etanol dengan
petani meningkat pula, b) ubi kayu telah tersebar bantuan yeast atau bakteri (Kartika et al. 1992).
di Indonesia di sentra-sentra produksi di 55 kabu- Oleh karena itu, rendemen etanol sangat
paten dan 36 provinsi, tetapi produktivitasnya dipengaruhi oleh jenis ubi kayu yang digunakan,
masih rendah. Dengan program pengembangan terutama kandungan patinya dan kemudahannya
Tabel 2. Potensi produksi beberapa komoditas pertanian sebagai bahan baku bioetanol.
3
BULETIN PALAWIJA NO. 17, 2009
secara kimia dan biokimiawi untuk dihidrolisis Fermentasi biasanya berlangsung selama 60–
oleh enzim dan difermentasi oleh yeast. Selain 70 jam pada suhu kamar. Untuk menentukan
itu, proses pengolahan yang meliputi konsentrasi efektivitas fermentasi digunakan tolok ukur ra-
enzim dan yeast yang digunakan serta kondisi tio fermentasi (%), yakni perbandingan antara
(suhu dan waktu) masing-masing tahapan likui- etanol yang diperoleh secara praktek (riil) dengan
fikasi, sakarifikasi dan fermentasi juga turut etanol yang diperoleh secara teoritis (berdasarkan
menentukan jumlah dan konsentrasi etanol yang kadar gula total awal) dikalikan 100%. Ratio
dihasilkan. fermentasi maksimum dapat mencapai 96%,
Proses pengolahan ubi kayu menjadi etanol, namun dalam praktek, khususnya skala besar
diawali dengan pretreatment, yakni pengolahan (8.000 liter etanol/hari) biasanya berkisar antara
ubi kayu segar menjadi bubur ubi kayu (cassava 86–88% (JICA 1983).
slurry) dengan kadar gula total (total sugar/TS) Pada proses fermentasi glukosa menjadi etanol
15%. Proses ini meliputi pengupasan umbi, kemungkinan terbentuknya senyawa-senyawa
pencucian, dan pemarutan, kemudian dilanjut- lain dapat saja terjadi. Senyawa-senyawa tersebut
kan dengan pemberian air dan enzim α-amilase merupakan produk antara atau produk akhir bila
serta pemanasan (gelatinisasi dan likuifikasi). kondisi media (pH, suhu, adanya kontaminasi dari
Likuifikasi adalah proses pemasakan bubur ubi mikrobia lain, terutama bakteri penghasil asam)
kayu menjadi dekstrin dengan bantuan -amilase. kurang mendukung untuk berlangsungnya
Proses ini dapat dilakukan dengan sistem low proses fermentasi etanol seperti tampak pada
temperature cooking yang dijalankan pada suhu Gambar 2. Hal ini menyebabkan jumlah etanol
90 oC atau dengan sistem high pressure cooking yang dihasilkan menjadi lebih sedikit daripada
process pada suhu 120 o C (Supriyanto dan yang diharapkan karena tidak semua glukosa
Jama'ali 2005 dalam Supriyanto 2006). Setelah yang tersedia dapat diubah menjadi etanol.
itu, diikuti dengan proses sakarifikasi untuk Etanol hasil fermentasi umumnya memiliki
merubah dekstrin menjadi gula (glukosa) dengan kadar air 8–10% v/v, sehingga perlu didistilasi
bantuan enzim glukoamilase. Gula yang ter- untuk menguapkan airnya sehingga diperoleh
bentuk selanjutnya secara simultan difermentasi etanol dengan kadar 95–96% v/v, yaitu kondisi
menjadi etanol dan CO2 dengan bantuan khamir di mana komponen etanol-air mencapai titik
(yeast) jenis Saccharomyces cerevisiae, sesuai azeotrop. Proses distilasi yang banyak digunakan
reaksi kimia di bawah ini, sehingga sering disebut adalah multi pressure distillation yang lebih
dengan Simultaneous Saccharification and Fer- hemat energi dibandingkan proses distilasi
mentation (SSF) (Gambar 1).
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan fuel grade bioetanol dari bahan
baku ubikayu
Sumber: Prihandana dan Hendroko, 2007.
4
GINTING, DKK: UBI KAYU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI BIOETANOL
Glukosa
dengan tekanan atmosfere (Supriyanto 2006). dipanen pada musim hujan, kadar patinya men-
Efisiensi distilasi ini biasanya sekitar 90–95%. jadi lebih rendah karena kadar airnya relatif
Untuk standar bahan bakar (fuel grade) tinggi. Sepuluh varietas/klon ubi kayu yang dipa-
diperlukan etanol anhydrous dengan kadar 99,5% nen umur sembilan bulan pada musim kemarau
v/v, sehingga etanol 96% harus didehidrasi untuk menunjukkan kadar air yang cukup rendah
mendapatkan tingkat kemurnian yang tinggi dengan kisaran 48,95% sampai 67,36% (Tabel 3).
tersebut. Proses dehidrasi dapat dilakukan Hal ini penting dipertimbangkan dalam hal me-
dengan tiga cara yaitu distilasi azeotrop meng- masok bahan baku ubi kayu karena fluktuasi
gunakan solvent, molecular sieve dan membrane. kadar pati akan berpengaruh terhadap proses dan
Saat ini, proses dehidrasi yang banyak digunakan rendemen bioetanol yang dihasilkan.
untuk membuat etanol anhydrous adalah dengan Kadar pati biasanya direpresentasikan dengan
molecular sieve (Supriyanto 2005 dalam Supri- kadar gula total yang merupakan jumlah gula
yanto 2006). Efisiensi proses dehidrasi biasanya yang secara alami terdapat pada umbi dan gula
berkisar antara 80–90%. Selama ini, estimasi yang hasil hidrolisis pati. Oleh karena itu, varietas/klon
dipakai untuk konversi ubi kayu menjadi satu ubi kayu yang kadar patinya tinggi, tidak selalu
liter etanol 99,5% (fuel grade) adalah 6,5 kg umbi diikuti oleh kadar gula total yang tinggi (Tabel
segar dengan asumsi kadar gula total (total sugar) 3) karena dipengaruhi oleh kemudahan patinya
30%, ratio fermentasi dan ratio dehidrasi masing- untuk dihidrolisis menjadi gula. Proporsi amilosa
masing 90% atau 6,1 kg untuk 1 liter etanol 96% dan amilopektin sebagai komponen penyusun pati
(Supriyanto 2006). turut menentukan kemudahannya untuk dihi-
drolisis menjadi gula. Sumber pati dengan kadar
VARIETAS/KLON UBI KAYU amilosa tinggi dianggap lebih baik karena memi-
YANG SESUAI UNTUK BAHAN BAKU liki partikel pati tidak larut air (amilopektin) lebih
BIOETANOL rendah sehingga lebih mudah dihidrolisis oleh
Ubi kayu yang memiliki potensi hasil dan kadar asam maupun enzim (Broto dan Richana 2006).
pati tinggi, dianggap paling sesuai untuk bahan Di samping itu, semakin panjang rantai amilosa,
baku bioetanol. Selain faktor varietas, kadar pati semakin tinggi rendemen gula yang dihasilkan
berkaitan erat dengan umur panen dan kadar karena diduga enzim α-amilase lebih mudah
air umbi. Umbi yang dipanen pada umur opti- memecah ikatan lurus 1,4 α-glukosida dibanding
mal memiliki kadar pati maksimal. Namun, bila ikatan cabang 1,6 α-glikosidik pada amilopektin
5
BULETIN PALAWIJA NO. 17, 2009
(Richana et al. 2000). Hal ini diamati pada jagung enzim maupun asam dibanding pati mentah
berkadar amilosa tinggi yang hasil hidrolisis (Björck 1996). Menurut Richana et al. (2000), pati
patinya lebih tinggi dibanding jagung jenis nor- ubi kayu mengalami gelatinisasi pada suhu 64,5
oC setelah dipanaskan selama 23 menit dan granu-
mal atau waxy yang amilopektinnya tinggi
(Hoover dan Manuel 1996 dalam Broto dan lanya pecah pada suhu 84 oC dengan waktu 36
Richana 2006). Menurut Richardson et al. (2000) menit. Penelitian lebih lanjut hubungan kadar
dalam Broto dan Richana (2006), pati beramilo- amilosa/amilopektin dengan gula hasil hidrolisis
pektin tinggi mempunyai rantai 1,4 α-glukosida pati tampaknya masih diperlukan pada ubi kayu,
terutama dalam kaitannya dengan bahan baku
lebih pendek dibanding pati beramilosa tinggi.
bioetanol.
Tabel 3 menunjukkan, bahwa beberapa varie-
Di samping faktor kimia, faktor fisik umbi juga
tas/klon ubi kayu, di antaranya UJ-5, CMM 99008-
harus diperhatikan karena akan menentukan
3, MLG 0311, CMM 99023-4, dan OMM 9908-4
mutu produk yang dihasilkan. Ubi kayu segar
memiliki kadar amilosa cukup tinggi (27–31%
mudah sekali rusak (mengalami kepoyoan) setelah
basis kering), namun tidak semuanya memberi
dipanen. Adanya luka saat pemanenan turut me-
hasil kadar gula total yang tinggi. Hasil penelitian
macu kerusakan yang ditandai dengan terjadinya
pada beras tanak dari beberapa genotipe juga
pewarnaan biru sampai kehitaman akibat rekasi
melaporkan hasil yang tidak konsisten antara
pencoklatan enzimatis senyawa fenol yang kontak
kadar amilosa dengan hasil hidrolisis pati. Namun
dengan udara (oksigen) (Cay 1987 dalam
pada penelitian in vitro pati gandum, ubi kayu
Wheatley 1989). Oleh karena itu, ubi kayu segar
dan smooth pea, dilaporkan kadar amilosa ber-
sebaiknya diolah tidak lebih dari 48 jam setelah
banding terbalik dengan kecepatan hidrolisis pati.
panen dan dipisahkan dari umbi yang luka
Hal ini dapat berkaitan dengan faktor gelatinisasi
maupun busuk karena ubi kayu yang rusak kan-
pati yang memerlukan suhu lebih tinggi untuk
dungan patinya sudah berubah.
pati berkadar amilosa tinggi (Eliasson dan
Gudmundsson 1996). Diduga, pati dengan kadar Berdasarkan kadar gula total awal, ratio fer-
amilosa tinggi lebih lambat dicerna/dihidrolisis mentasi dan efisiensi distilasi, dapat dihitung nilai
oleh enzim karena belum sempurna tergelati- konversi umbi segar menjadi etanol 96% (kg/l).
nisasi pada saat pemasakan berkaitan dengan Hasil penelitian sepuluh varietas/klon ubi kayu
tingginya suhu gelatinisasi yang diperlukan. menjadi etanol, menunjukkan kisaran nilai kon-
Seperti diketahui, pati yang telah mengalami versi antara 4,23 sampai 6,26 kg/l (Tabel 3).
gelatinisasi relatif lebih mudah dihidrolisis oleh
Tabel 3. Kadar air, gula total, pati dan amilosa, angka konversi menjadi etanol dan hasil panen 10 varietas/
klon ubikayu (Sulusuban, Lampung Tengah 2006).
Klon Kadar Kadar gula Kadar Kadar Konversi ubi segar Hasil panen
ubikayu a air total pati amilosa kupas menjadi (ton/ha)
(%) (% bb) (% bk) (% bk) etanol (kg/liter) b
CMM 99023-12 67,36 31,92 78,85 24,72 5,70 31,3
CMM 9906-12 61,21 33,70 80,41 25,59 4,70 24,8
CMM 9908-4 54,18 42,38 80,48 26,99 4,52 17,0
CMM 99023-4 61,99 36,59 80,41 27,11 5,08 31,7
CMM 99008-3 48,95 45,28 82,13 29,96 4,23 25,3
Adira-4 58,85 40,93 80,31 25,83 6,48 22,3
Malang-6 55,94 39,12 80,46 26,58 5,01 15,6
MLG 0311 53,77 41,29 80,93 27,16 4,29 27,0
UJ-3 57,35 36,22 79,57 25,66 4,93 25,0
UJ-5 53,97 43,47 80,24 31,05 4,52 30,0
a b
Dipanen umur 9 bulan pada saat musim kemarau (Desember 2005–September 2006); Etanol dengan kadar 96% (effisiensi
distilasi dianggap 95%); bb = basis basah; bk = basis kering;
Sumber: Ginting et al. 2006.
6
GINTING, DKK: UBI KAYU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI BIOETANOL
Semakin kecil nilai konversi ini semakin dike- dan nilai konversinya menjadi etanol cukup
hendaki karena berarti semakin sedikit jumlah/ tinggi, lalu dilanjutkan dengan uji adaptasi/kese-
berat umbi segar yang diperlukan untuk mengha- suaiannya di daerah pengembangan ubi kayu
silkan satu liter etanol. Klon CMM 99008-3, MLG yang berbeda. Tahap berikutnya adalah penye-
0311, OMM 9908-4, dan UJ-5 mempunyai nilai diaan bibit varietas ubi kayu terpilih tersebut
konversi ≤4,5 kg/l (Tabel 4). Sementara enam klon sesuai dengan luas skala pengembangan. Pene-
lainnya berkisar antara 4,5–6 kg. Angka ini masih rapan teknik budidaya yang tepat juga penting
di bawah angka konversi yang selama ini digu- dilakukan, termasuk pengaturan waktu tanam
nakan untuk ubi kayu, yakni 6,1 kg umbi segar dan panen untuk menjamin kelangsungan paso-
menjadi 1 liter etanol 96% (Supriyanto 2006). kan bahan baku ubi kayu. Hal ini harus dise-
suaikan dengan umur panen optimal masing-
Selain nilai konversi di atas, produktivitas
masing varietas ubi kayu, kondisi iklim, ling-
masing-masing varietas/klon juga perlu untuk
kungan dan pola tanam di masing-masing daerah
dipertimbangkan dalam rangka pengembangan
pengembangan ubi kayu.
ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol. Pada
penelitian sepuluh varietas/klon ubi kayu yang
PENGEMBANGAN INDUSTRI
dilakukan di Sulusuban, Lampung Tengah, hasil
BIOETANOL BERBAHAN BAKU
panen yang diperoleh berkisar antara 15,6–31,7
UBI KAYU
t/ha (Tabel 3). Dari empat klon yang nilai konver-
sinya kecil di atas, klon OMM 9908-4 dan UJ-5 Pemerintah merencanakan untuk mempro-
memiliki potensi hasil yang cukup baik, yakni 30– duksi Gasohol E-10 (campuran 90% premium dan
31 t/ha, sedang klon CMM 99008-3 dan MLG 0311 10% bioetanol) sebagai alternatif pengganti BBM
sedikit di bawahnya, yakni masing-masing 22,3 dan ditetapkan 8% pemenuhan kebutuhan
dan 27,0 t/ha. UJ 3 dan UJ 5 merupakan varietas bioetanol tersebut berasal dari ubi kayu sedang
unggul ubi kayu yang telah umum dibudidaya- sisanya masing-masing 1% berasal dari sorgum
kan petani di Lampung dan adaptif dengan dan tetes tebu (Ditjen Perkebunan 2005). Kebu-
kondisi lingkungan di daerah tersebut. Sementara tuhan premium diperkirakan akan terus me-
beberapa klon harapan ubi kayu tersebut saat ningkat dari sekitar 18 juta Kl pada tahun 2007
ini masih dalam tahap uji multi lokasi untuk me- hingga 22,5 juta Kl pada tahun 2010 dengan
menuhi syarat dari aspek adaptasi dan stabilitas konsekuensi kebutuhan bioetanol juga meningkat.
hasilnya. Dengan pengelolaan budidaya yang Untuk tahun 2010 dengan tingkat substitusi
optimal, potensi hasil tinggi (>35 ton/ha) dari bioetanol 10% terhadap premium, diperlukan
masing-masing varietas unggul dan klon harapan tambahan produksi ubi kayu sebesar 11,7 juta
tersebut diharapkan dapat maksimal. Oleh karena ton dari luas areal sekitar 491 ribu hektar (Tabel
itu, pengembangan ubi kayu untuk bahan baku 4). Hal ini penting direncanakan dengan baik,
etanol dapat dilakukan mulai tahap awal, yaitu termasuk pengaturan wilayah penanaman ubi
pemilihan jenis/klon ubi kayu yang potensi hasil kayu agar tidak menyulitkan industri pati dan
tepung yang telah lebih dahulu berkembang
karena persaingan bahan baku.
7
BULETIN PALAWIJA NO. 17, 2009
Tabel 5. Sasaran areal tanam pengembangan ubikayu (ha) untuk bioetanol tahun 2006-2009.
Peningkatan produksi ubi kayu ini diupayakan perluasan tanam ubi kayu melalui program
melalui program perbaikan mutu intensifikasi kemitraan dengan petani, antara lain: PT. Great
(PMI) oleh petani ubi kayu dan program per- Giant Pineapple (GGP, Lampung) seluas 35.000
luasan areal tanam (PAT) oleh pihak industri ha, PT Sungai Budi Group Lampung (10.335 ha),
bioetanol dalam bentuk kebun energi penyangga PT Medco Lampung (13.200 ha), PT Gunung
yang luasnya setara dengan 25% kebutuhan Sewu Lampung (15.000 ha), PT Mitra Sae In-
bahan baku industri. Perluasan areal tanam ternational (6.500 ha) dan lain-lain (Deptan 2008).
dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan Di samping industri skala besar di atas,
tidur dan lahan sawah tadah hujan di provinsi- pengembangan ubi kayu sebagai bahan baku
provinsi yang dipilih sebagai daerah pengembang- bioetanol juga dapat dilakukan pada skala
an (Wargiono et al. 2006). industri kecil di tingkat perdesaan. Menurut
Direktorat Budidaya Kacang-kacangan dan Purnomo (2008), skala usaha produksi bioetanol
Umbi-umbian, Ditjen Tanaman Pangan secara tergolong kecil bila kapasitas produksinya berkisar
bertahap memproyeksikan perluasan areal tanam antara 500 sampai 4.000 liter/hari dan tergolong
pengembangan ubi kayu untuk bioetanol dari mikro bila kapasitasnya <70 sampai 400 liter/hari.
seluas 38.500 ha pada tahun 2006 hingga men- Usaha ini dapat menggunakan peralatan seder-
capai 458.640 ha pada tahun 2009 (Tabel 5). hana, seperti drum atau tangki untuk proses
Dengan program PMI, diharapkan produktivitas hidrolisis pati menjadi gula (likuifikasi dan
ubi kayu dapat mencapai 25 t/ha, sehingga sakarifikasi), tangki fermentor plastik untuk
sasaran produksi sebesar 10,92 juta ton pada proses fermentasi dan tangki/drum untuk disti-
tahun 2009 dapat dipenuhi. lator. Bioetanol yang dihasilkan biasanya ber-
Pengembangan ubi kayu sebagai bahan baku kadar 95%, namun untuk menghasilkan bioetanol
industri bioetanol perlu mendapat dukungan dari 99,5% dapat dilakukan dengan menambah alat
pihak-pihak terkait, seperti Lembaga Penelitian, dehidrator. Biaya investasi peralatan yang diper-
Perguruan tinggi, Pemerintah Pusat dan Peme- lukan untuk skala usaha 200–500 liter bioetanol/
rintah Daerah, BUMN, serta pengusaha/industri hari sekitar Rp 150.000.000 tanpa dehidrator dan
swasta. Beberapa perusahaan telah merencana- Rp 230.000.000 dengan dehidrator (Purnomo,
kan mendirikan pabrik bioetanol berbahan baku 2008). Sementara untuk skala 70 liter/hari relatif
ubi kayu, diantaranya PT Medco Energi, Sorini, lebih kecil, yakni sekitar Rp 26.850.000 (Tabel
Sampurna Agro dan PT Molindo masing-masing 6). Namun, biaya ini dapat diminimalkan lagi bila
dengan kapasitas produksi 60.000 Kl, 60.000 Kl, digunakan bahan-bahan yang lebih murah
75.000 Kl dan 300.000 Kl/tahun. Hingga tahun untuk peralatan tersebut.
2008, beberapa perusahaan juga telah melakukan
8
GINTING, DKK: UBI KAYU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI BIOETANOL
9
BULETIN PALAWIJA NO. 17, 2009
10