Anda di halaman 1dari 142

Tim Penyusun:

Nugraha Firdaus
Aris Sudomo
Endah Suhaendah
Tri Sulistyati Widyaningsih
Sanudin
Devy Priambodo Kuswantoro

Reviewer:
A. Ngaloken Gintings
Nurheni Wijayanto
Harry Budi Santoso
Budiadi

Hak dpta oleh Balai Penelitian. Teknologi Agroforestry .. Dilarang menggandakan


buku ini sebagian atau seluruhnya dalam bentuk fotokopi, maupun bentuk
lainnya, kecuali untuk pendidikan atau non komersial lainnya, dengan
mencantumkan sumbernya se~:»aacu

Firdaus, N., A. Sudomo, E. Suhaendah, T.S. Widyaningsih, Sanudin, dan D.P.


Kuswantoro. Riset Agroforestri di Indonesia. Balai Penelitian
Teknologi Agroforestry. Ciamis.

Diterbitkan oleh:
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry
Jl. Raya Ciamis !11 Banjar Km. 4 Pamalayan, Po. BOX 5 Ciamis 46201
T: +62 (265)
f:+62(265)775866
E : bptagroforestry@yahoo.com, bpt.agroforestry@gmail.com

Sumber pembiayaan:
DIP A Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Tahun

Disain cover: M. Siarudin

ISBN: 978-602-17616-0-1
Kegiatan penelitian dapat menjawab pertanyaan yang salah apabila, salah
satunya, tidak diketahui terlebih dahulu status riset dari penelitian tersebut.
Mengetahui status riset. berarti telah mengumpulkan data dan informasi terkini
dari sebuah penelitian terhadap topik tertentu. Seperti sebuah akan
terlihat celah kosong dari suatu topik yang perlu diisi dengan kegiatan penelitian
yang tepat sehingga akan mendapat hasil dan informasi yang menyeluruh
mengenai suatu topik.
Penyusunan buku Status Riset Agroforestri di Indonesia yang dimulai sejak
tahun 2011 lalu, dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauhmana kegiatan
penelitian agroforestri di Indonesia dan hasil-hasilnya. Berbagai hasil penelitian
yang sudah dipublikasikan baik di dalam jurnal, presiding, buku, maupun hasil-hasil
riset yang tidak dipublikasikan seperti skripsi, tesis, dan disertasi dikumpulkan
untuk menyusun status ini. Penyajian buku Status Riset Agroforestri di
Indonesia terbagi dalam enam bab yaitu pendahuluan, tinjauan aspek teknik
silvikultur, aspek lingkungan, aspek sosial, aspek ekonomi, dan prediksi kebutuhan
riset agroforestri ke depan.
Status riset agroforestri ini menjadi penting sebagai salah satu pijakan
langkah bagi Balai Penelitian Teknologi Agroforestry (BPT Agroforestry) sebagai
satu-satunya lembaga penelitian pemerintah yang secara khusus diberikan mandat
untuk melaksanakan kegiatan penelitian agroforestri. Dengan mengetahui status
riset agroforestri di Indonesia, diharapkan kegiatan yang akan dilakukan
oleh BPT !groforestry bukan penelitian yang [1]jalan di te mpat[1] dan menjawab
pertanyaan yang salah, namun up to date dalam memberikan sumbangsih bagi
penerapan agroforestri di masa kini dan mendatang.
Kepada Tim penyusun dan editor serta pihak-pihak yang telah berkontribusi
dalam penyusunan buku ini, disampaikan terima kasih dan penghargaan
sebesar-besarnya; Pepatah lZJTiada gading yang tak retaklll rasanya patut
disampaikan mengingat penyusunan buku ini tentu masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, masukan dan saran sangat diharapkan demi perbaikan buku ini
dan terlebih pada riset agroforestri itu sendiri.

Ciamis, Februari 2013

Kepala Balai Penelitian


Teknolo forestry
iii

vi

......................................................... 11

............................................................ 133
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

TABEl hal.
1 Distribusi tulisan berdasarkan aspek tulisan ................. ."...................... 6
2 Kemampuan adaptasi beberapa jenis tanaman komponen penyusun
agroforestri pada suatu lokasi ............................................................. 14
3 Beberapa kombinasi jenis tanaman agroforestri yang berinteraksi
positif .................................................................................................... 18
4 Beberapa kombinasi tanaman agroforestri yang berinteraksi netral .. 21
5 Beberapa kombinasi jenis tanaman agroforestri yang berinteraksi
negatif .... ... ... .. .. .. ... .. .. .. .. ... ... .. .. .. ...... ... ......... .. ... . .. ..... ....... ... .... ...... ... .... . 22
6 Teknik penanaman agroforestri pada lahan alang-alang ................... 30
7 Beberapa hasil penelitian kontribusi tanaman agroforestri terhadap
kesuburan tanah ......................................................... ~........................ 33
8 Beberapa hasil penelitian pengaruh 11Upukan terhadap tanaman
agroforestri ......·..........................·........................................................... 34
9 Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh pemangkasan pohon
terhadap tanaman agroforestri ........................................................... 37
10 Hasil penelitian dampak agroforestri terhadap sifat fisik tanah ......... 56
11 Hasil penelitian dampak agroforestri terhadap seresah ..................... 57
12 Hasil penelitian dampak agroforestri terhadap unsur hara ................ 58
13 Potensi agroforestri sebagai penyimpan karbon ................................. 61
14 Dampak agroforestri terhadap KTA ..................................................... 63
15 Hasil penelitian mengenai lahan pada agroforestri ............................. 66
16 Hasil penelitian tentang lanskap pekarangan ·..................................... 67
17 Motivasi petani mengelola lahan dengan pola agroforestri ................ 80
18 Faktor yang mempengaruhi praktikagroforestri di Indonesia ............ 87
19 Penelitian agroforestri skala semi komersial ....................................... 105
20 Kontribusi pendapatan dari usaha agroforestri terhadap ekonomi
rumah tangga petani ............................................................................. 107
21 Hasil-hasil kajian pelaksanaan PHBM dan pembagian hasilnya .......... 109
22 Kelayakan finansial usaha agroforestri ................................................ 112
23 Beberapa produk agroforestri yang sudah diteliti pemasarannya ..... 117
24 Riset optimasi pemanfaatan lahan secara agroforestri ....................... 123

GAMBAR hal.
1 Grafik distribusi lokasi penelitian tiap aspek di tiap wilayah ................ 5
2 Alur pemasaran kayu jati rakyat (Perdana, 2010} ............................... 120
A.

, Sebagai mekanisme penggunaan lahan, praktik agroforestri


telah lama dikenal dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia. Secara ringkas,
praktik pengelolaan ini menjadi sebuah sistem unik yang
mengkombinasikan antara tanaman dengan komoditas pertanian. Dalam
implementasinya, daerah mempunyai kekhasan d~n karakteristik tersendiri
baik dalam penamaan maupun dalam sistem pengelolaannya. Berbagai contoh bagi
sistem yang dikembangkan oleh masyarakat lokal adalah repong damar di Krui,
Lampung; model di Jambi dan Sumatera Selatan; model tembawang
sebagai sistem agroforestri penghasil buah dan kayu di Kalimantan Barat; sistem
pelak di Kerinci, Jambi; sistem durian di Gunung Palung, Kalimantan Barat; sistem
parak di Maninjau, Barat; dan sistem talun (dudukuhan) di Jawa Barat
(De Foresta et a/., 2000). model yang dikembangkan tersebut diklaim
sebagai perwujudan lokal dalam mengkombinasikan berbagai faktor
ekonomi dan biofisiknya et 2000).
Dalam agroforestri diharapkan dapat menjadi jembatan
lahan pertanian dengan mempertahankan
fungsi hutan dan diproyeksikan mampu menjadi jalan
bagi peningkatan kemakmuran sekaligus untuk mengatasi masalah global, seperti
penurunan kualitas kemiskinan, dan pemanasan global (Sabarnurdin et
a/., 2011). Hal tersebut sebenarnya telah dipromosikan oleh para peneliti, seperti
kontribusi repong damar terhadap pendapatan tahunan petani di samping adanya
peningkatan kualitas lingkunganQya (Budidarsono et a!., 2000). Sejalan dengan hal
tersebut, (2004) menyatakan bahwa kemenyan (Styrax benzoine)
memberikan 70% dari pendapatan petani. Berbagai produk dari
sistem dudukuhan juga berkontribusi terhadap pendapatan rumah
tangga petani (Manu rung eta/., 2008). Berbagai tanaman dalam sistem agroforestri
juga dipandang tabungan yang menyediakan berbagai produk yang
mendukung ketersediaan sumber pendapatan petaninya {Van Noordwijk
eta/., 2008).
Prinsip-prinsip terkandung dalam sistem agroforestri dapat menjadi
jembatan dalam mencapai visi Kementerian Kehutanan yaitu hutan lestari dan
masyarakat sejahtera (Sabarnurdin et a/., 2011). Hanya saja, selain dukungan
politik, diperlukan lain yang lebih nyata, termasuk di dalamnya adalah
aspek-aspek penelitian untuk cara terbaik (best practices) dalam
penerapannya. Dalam hal ini, berbagai hasil penelitian yang telah dilaksanakan baik
oleh peneliti lokal maupun internasional dapat menjadi rujukan untuk mencari
jalan terbaik dalam penerapannya untuk mendukung visi Kementerian Kehutanan,
sekaligus mendukung prinsip-prinsip yang terkandung dalam pengelolaan hutan
lestari. Selain itu, merupakan
pijakan bagi penelitian lebih
potensi lebih untuk meningkatkan secara sosial,
ekonomi, dan ekologi (Sanchez,

1. Definisi "'"ln"'""'~""'"\~" .... ,IE''I!'II"R

Pendefinisian ............ ,.....,.,..,. ... /"\ ... .,. .... lahan ini
dipromosikan secara lahan di
daerah tropis tahap
perkembangan awal yang rnnnrr\n
melekat pada terminologi ...,,.,..,..,...,.,..., ... '"',<'",. ....
didasarkan pada pengalaman
Somarriba (1992) pentingnya
agroforestri, yaitu 1) setidaknya terdapat
tumbuhan, 2) setidaknya salah satu
berkayu, dan 3) setidaknya salah satu dikhususkan untuk
pakan ternak atau komoditas
Meskipun banyak oleh para ahli,
definisi agroforestri yang dipromosikan Centre (ICRAF)
yaitu:
~! collective name for landuse woody perennials
are deliberately with crops and/or animals on the same land
management unit. The integration can be either in a m(xture in a temporal
sequence. There are normally both and economic interactions between
woody and non-woody components in agroforestry~ dan Raintree dalam
Nair, 1993a)
menjadi definisi yang saat digunakan. (1993a), definisi ini
mengisyaratkan bahwa:
1) Agroforestri setidaknya melihatkan tumbuhan yang
salah satunya merupakan tumbuhan 1'"\0I~V-:1\II
2) Sistem agroforestri setidaknya mempunyai luaran (output),
3} Siklus dari agroforestri lebih satu
4) Meskipun terlihat sederhana, sistem agroforestri melibatkan proses ekologi
dan ekonomi yang lebih kompleks dibanding mbnokultur.

Nilai-nilai prinsip yang terkandung dalam definisi nrn>Tn,r·<:>c-,·r·l tersebut juga


mengisyaratkan keunggulan-keunggulan sistem. dibandingkan dengan
sistem lain, seperti yang diungkapkan oleh dalam Hairiah, eta/.
(2003) yaitu terciptanya kestabilan ekologi lebih
kesinambungan ekonomi yang berimbas pada
tingkat kesesuaian yang lebih tinggi dengan budaya dan ' 1'"\rTO,T-:11'"\

terpenuhinya kestabilan politik akibat daya terima yang lebih di masyarakat.


Sejalan dengan hal tersebut, Sanchez (1999} menyatakan bahwa beberapa
hasil riset mengenai agroforestri di Asia dan Afrika membuktikan keunggulan
sistem pengelolaan lahan ini untuk menunjang ketahanan pangan, kayu bakar,
pakan ternak, kayu pertukangan, dan obat yang dapat dipergunakan secara
lama
agroforestri telah
awalnya berkembang
agroforestri dari praktis
utama, yaitu kompetisi
(profitability), dan
tidak terlepas dari sifat
lahan yang di dalamnya
tanaman untuk mengoptimalkan kompetisi
berimplikasi pada kompleksitas ekologi
juga dimaksudkan
pengelolaan lahan tersebut, di
untuk mendapatkan hasil yang

maupun
petani.
bagi
masa lalu

landasan bagi
Teknologi
lingkup · Kementerian
penelitian teknologi
landasan ilmiah bagi
mendukung pencapaian

berbagai sumber
terdiri dari silvikultur,
dalam status riset
ini merupakan hasil penelitian dan bukan merupakan studi pustaka. Dari hasil
pengumpulan data tersebut, diperoleh sejumlah 450 tulisan. Dari 450 tulisan
terse but, 440 tulisan dianggap memenuhi syarat untuk dijadikan bah an rujukan.

2. Distribusi Tulisan
Seluruh tulisan yang memenuhi syarat untuk dijadikan rujukan kemudian
dibagi berdasarkan aspek masing-masing, yaitu silvikultur, lingkungan, sosial, dan
ekonomi. Untuk melihat persebaran lokasi penelitian, seluruh tulisan juga dibagi
berdasarkan enam wilayah lokasi penelitian yaitu Jawa, Bali-Nusa Tenggara,
Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Maluku-Papua. Sebaran lokasi penelitian dari
tiap wilayah tersaji daJam Gam bar 1.
Riset agroforestri dengan lokasi di Pulau Jawa menempati ururtan teratas
dalam jumlah riset. Riset mengenai aspek ekonomi (32%) dan aspek teknik
silvikultur (30%) menjadi riset yang paling banyak dilakukan di wilayah Pulau Jawa.
Sementara itu riset agroforestri dengan lokasi di wilayah Sumatera, yang menjadi
urutan kedua dalam jumlah riset, :nengangkat dan menggali aspek
lingkungan {33%) dan disusul dengan aspek sosial dalam agroforestri (28%). Riset
agroforestri yang dilakukan di wilayah Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara banyak
mengkaji aspek sosial (52%) dan lingkungan (25%).
Riset agroforestri yang dilakukan di wilayah Kalimantan banyak mengambil
tema dan mengangkat aspek teknik silvikultur (34%) dan· aspek lingkungan (33%).
Adapun kajian mengenai ekonomi agroforestri {41%} dan informasi teknik
silvikultur (38%) banyak dilakukan di wilayah Sulawesi. Sementara itu, di wilayah
Maluku dan Papua, riset agroforestri banyak difokuskan pada aspek-aspek sosial
(43%) dan pada urutan kedua ditempati oleh aspek penelitian silvikultur (29%).
Beragamnya topik penelitian dan banyaknya kegiatan penelitian dalam suatu aspek
agroforestri di setiap wilayah menunjukkan bahwa di setiap daerah mempunyai
bentuk-bentuk agroforestri yang khas maupun yang layak dikaji.
Jaw a

Sumatera

Gam bar 1. Grafik distribusi lokasi penelitian tiap aspek di tiap wilayah
Setiap aspek tersebut kemudian dibagi dan dianalisis menurut tema utama dari
masing-masing tulisan. Distribusi tulisan berdasarkan aspek dan tema tersebut
tersaji dalam Tabell.

Tabel1. Distribusi tulisan berdasarkan aspek tulisan


No. Aspek Tulisan Tema Tulisan Jumlah
1. Silvikultur Pemilihan Jenis (Uji jenis tanaman agroforestri, 121
Produktivitas dan interaksi tanaman agroforestri); (28 %)
Teknik Silvikultur Agroforestri (Penyiapan lahan,
Penanaman, Pemeliharaan}; Bentuk-bentuk
Agroforestri di Masyarakat (Agrisilvikultur,
Silvofishery, Apikultur).
2. lingkungan Pengaruh Komponen Abiotik dan Biotik dalam 109
Agroforestri (Cahaya; Makroorganisme); Dampak (25 %)
Agroforestri terhadap lingkungan (Dampak
agroforestri terhadap sifat fisik tanah; Dampak
agroforestri terhadap seresah; Dampak agroforestri
terhadap unsur hara; Dampak agroforestri terhadap
siklus air; Potensi agroforestri sebagai penyimpan
karbon; Dampak agroforestri terhadap
keanekaragaman hayati; Dampak agroforestri
terhadap konservasi tanah dan air; Peran agroforestri
dalam rehabilitasi); Agroforestri dan Dinamika
Pemanfaatan Ruang (Agroforestri dan pemanfaatan
Jahan; Penerapan agroforestri dalam bentuk
pekarangan).
3. Sosial Kearifan Budaya lokal dalam Bentuk Agroforestri 98
Khas Indonesia; Faktor Sosial dalam Praktik (22 %)
Agroforestri {Persepsi, motivasi, dan penerimaan
sosial; Pola adopsi dan partisipasi; Pengambilan
keputusan; Analisis gender}; Kelembagaan dan
Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri di
Indonesia (Kelembagaan dan penerapan kebijakan
terkait sistem agroforestri, Faktor-faktor yang
mempengaruhi penyusunan kebijakan agroforestri di
Indonesia, Penyuluhan dan pengembangan
masyarakat).
4. Ekonomi Pendapatan dan Kontribusi Ekonomi Agroforestri 112
{Agroforestri dan pemenuhan kebutuhan hidup (25 %)
masyarakat; Pengelolaan agroforestri berdasarkan
orientasi ekonomi; Kontribusi pendapatan usaha
agroforestri); Kelayakan Finansial Usaha Agroforestri;
Kesempatan Kerja dalam Pengelolaan Agroforestri;
Pemasaran Hasil Agroforestri; Agroforestri dan
1
Perekonomian Wilayah; Pemodelan dan Optimasi
Hasil dalam Agroforestri
Jumlah 440
Sumber: Analisis Data Primer (2011)
Pemilihan tema dari masing-masing aspek tersebut didasarkan pada bidang kajian
utama dari aspek-aspek yang dikaji. Apabila kemudian dalam sebuah tulisan
terdapat beberapa aspek kajian, maka analisis ditekankan pada aspek utama yang
menjadi bahasan dari tulisan tersebut.

a. Silvikultur
Aspek silvikultur merupakan salah satu bidang kajian dalam riset
agroforestri yang berhubungan dengan strategi aplikasi teknik budidaya di
lapangan. Pemilihan rejim silvikultur yang tepat merupakan salah satu jalan yang
penting dilakukan menuju arah kelestarian hutan yang mampu memakmurkan
masyarakat (Sabarnurdin et a/., 2011). Penggunaan teknik silvikultur yang tepat
juga menjadi kunci bagi keberhasilan dalam optimalisasi penggunaan sumberdaya .
yang ada. Contoh nyata dari hal ini terungkap dari hasil review yang dilakukan
terhadap penelitian-penelitian dalam bidang silvikultur {Bagian II), seperti
pentingnya pemilihan jenis-jenis yang tepat agar tercipta intera.ksi antar jenis yang
positif serta teknik-teknik silvikultur yang diperlukan untuk meningkatkan hasil dari
komoditas yang ditanam. Selain itu, aspek ini melihat praktikj.praktik pola
agroforestri yang dilakukan oleh masyarakat.

b.Ungkungan •
Dalam Bagian IH, kajian mengenai aspek lingkungan dalam penelitian
agroforestri meliputi tema agroforestri dan pengaruhnya terhadap komponen
abiotik dan biotik, keanekaragaman hayati, agroforestri serta pengaruhnya .
terhadap konservasi dan rehabilitasi lahan, serta dinamika pemanfaatan ruang ~
dalam praktik agroforestri. Terkait dengan isu perubahan iklim yang berkembang
saat ini, terungkap bahwa agroforestri merupakan salah satu strategi menjanjikan
bagi mitigasi perubahan iklim.

c. Sosial
Aspek sosial telah mewarnai riset agroforestri berdampingan dengan riset
yang berhubungan dengan aspek biofisik. Seperti yang dipaparkan di Bagian IV,
aspek ini berhubungan erat dengan dinamika sosial yang terjadi dalam
hubungannya dengan praktik agroforestri di masyarakat yang menciptakan pola-
pola agroforestri yang unik. Faktor-faktor tersebut dapat berupa dorongan internal
dari individu masyarakat dan pengaruhnya terhadap pola adopsi, · partisipasi, dan
pengambilan keputusan, serta pembagian peran dalam pengelolaannya. Selain itu,
aspek sosial juga mengkaji sistem kelembag~an yang ada serta berbagai kebijakan
yang mempengaruhi .perkembangan praktik agroforestri di masyarakat.

d. Ekonomi
Pertimbangan ekonomi merupakan faktor yang berhubungan dengan .
pilihan masyarakat terhadap praktik agroforestri. Dalam Bagian V, tergambarkan
bahwa aspek ekonomi dalam riset agroforestri tidak hanya terpaku pada aspek
kelayakan ekonomi dan finansial semata, tetapi juga meliputi aspek-aspek lain
seperti kontribusi agroforestri terhadap perekonomian rumah tangga serta
perekonomian
pemasaran.

Sanchez, P.
Somarriba, E. 1992. Revisiting the Past: An Essay on Agroforestry Definition.
Agroforestry System 19: 233-240.

Van Noordwijk, M., J. M. Roshetko, M.D. Murniati, Angeles, Suyanto, C. Fay, dan T.
P. Tomich. 2008. Farmer Tree Planting Barriers to Sustainable Forest
Management. Dalam: Sneider, D. J. dan Lasco, R. D. (eds.) Smallholder Tree
Growing for Rural Development and Environmental Services: Lessons from
Asia. Springer.
IL TINJAUAN ASPEK TEK IK SIL\JIKULTUR
DALAM PERKEMBANGAN RIS AGROFORESTRI
DIIND NESIA

Dalam rangka mengembalikan fLLngsi hutan dan lahan kritis agar <;Japat
berm anfaat set:: ara ekonom i, sosia I, dan posit if bagi lingku ngan 'dip,erlu ka n
tekoologi agroforestri. Hal ini disebabkc:m pengelolaan hutan lestari hanya dapat J~
tercapai jika dapat mengakomodir ketiga
1' .
fungsi tersebut. Peningkatan '
kesejahteraan masyarakat hanya dapat tercapai jika komoditas .agroforestri yang
diusahakan mempunyai kelayakan secara finansial, teknis, dan sesuai keinginan
mas y ar· aka t. KeIay akan se ~a r a t eknis d apat d icapai den gan p e'n get ah u an t ekn'o Iogl ·
agroforestri mulai dari pemilihan jenis, tekf1ik silvikultur agroforestri, <jan
a
m anaj em en t apak t enip at t u m b uh, sert a pen gen d. aIian ham ct an pen yak it
t~naman.
Pengembangan teknologi agroforestri agar dapat mencapai tujuannya harus
didukung oleh scienttfic bose knowledge. Meskip·un demikian kenyataan.
menunjukkan bahvva aplikasi agroforestri telah lama diimplementasikan oleh
masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa" masyarakat mempunyai indegenous
knowledge dalam pengernbangan agroforestri. Dengan pengetahuan yang dim''iliki, ·
masyarakat telah mengaplikasikan usaha agroforestri baik untuk tuju~n subsisten,
semi komersial, dan komersial. Pembelajaran terhadap experience base knowledge
yang masyarakat miliki menjadi penting untu~ pengembangan agroforestri. Atas
dasar pengetahuan masyarakat tersebut dapat disempurnakan dengan penelitian-
penelitian yang bersifat scientific untuk menjawab permasalahan-permasalahan di
lapangan. Setelah diketahui experience base knowledge yang dimiliki masyarakat
dan status riset yang telah dilakukan bisa menjadi dasar pijakan untuk melakukan
penelitian-pene!itian ke depan agar menghasilkan inovasi teknologi agroforestri
yang mampu menjawab permasalahan y.ang aktual.
Kompleksitas agroforestri memerlukan pendekatan teknologl yang berbeda
dengan pola tanam lainnya. Komponen teknologi agroforestri adalah teknik
pemilihan jenis, teknik interaksi, teknik silvikultur, teknik manajemen tapak, serta
teknik pengendalian hama dan penyakit. Pendekatan silvikultur intensif yaitu
pemilihan bibit unggull manipulasi lingkungan, dan pengendalian hama penyakit
dapat di,gunakan untuk meningkatkan produktivitas hutan dan lahan (Soekotjo,
2004). Tetapi pada kenyataannya hal ini baru diimplementasikan oleh perusahaan-
perusahaan kayu dan belum banyak diimplementasikan oleh masyarakat petani.
Silvikultur intensif yang belum berjalan di masyarakat memberikan peluang untuk
melakukan pendekatan dengan metode agroforestri yang telah lama diaplikasikan
oleh masyarakat. Silvikultur agroforestri diharapkan sesuai dengan kondisi
masyarakat untuk mewujudkan pengelolaan hutan dan lahan yang lestari. Seiring
dengan aplikasi agroforestri yang telah berjalan dan hasil-hasil pene!itian silvikultur

ii>=ll~
agroforestri yang telah ada bisa sebagai pijakan pengembangan agroforestri ke
depan. Bagaimanapun juga produktivitas fisik suatu lahan hanya dapat tercapai
dengan aplikasi silvikultur intensif baik pada pola tanam monokultur, campuran,
maupun pola tanam agroforestri.

A. Pemilihan Jenis

Pemilihan jenis tanaman dalam pola tanam agroforestri lebih komplek


dibandingkan dengan pemilihan jenis dalam pola tanam monukultur seperti dalam
pembangunan hutan tanaman. Meskipun demikian karena salah satu komponen
utama agroforestri adalah pohon, maka dasar-dasar pemilihan jenis pohon untuk
pembangunan hutan tanaman bisa menjadi salah satu acuan dalam pemilihan jenis
tanaman berkayu dalam pola agroforestri. Penentuan jenis komoditas agroforestri
hanya atas dasar dugaan semata sangat besar resikonya karena dapat
menimbulkan kerugian yang tidak sedikit nilainya. Pemilihan jenis yang hanya
berdasarkan prediksi semata seringkali kurang Ketidaksesuaian antara jenis
dengan tapak (site) dan terjadinya penurunan kesuburan t~nah karena teknik
budidaya yang rendah, merupakan faktor yang menyebabkan kurang optimalnya
produktivitas hutan tanaman {Hardiyanto, 2005).
Menurut Nallliem (2004), jenis yang cocok bukan hanya tercermin dari segi
pertumbuhan, nilai ekonomi dan kemampuan adaptasinya pada suatu lingkungan
tertentu, tetapi kemampuannya membentuk struktur pertumbuhan yang ideal.
Struktur pertumbuhan yang ideal dalam pola tanam agroforestri akan lebih
kompleks karena melibatkan beberapa jenis tanaman baik tanaman kehutanan
maupun komoditas pertanian yang akan saling berinteraksi. Pemanfaatan sumber
daya alam secara lestari (termasuk praktik agroforestri) tidak hanya tercermin dari
keberhasilan komponen · terkait secara masing-masing pad a suatu sumberdaya
lahan, tetapi akan dinilai dari performa seluruh komponen terkait secara kolektif
dan kontribusinya pada lingkungan lokal maupun global (Nambiar, 1996 dalam
Naiem dan Sabarnurdin, 2003}.
Beberapa jenis baik yang sudah atau belum dikenal oleh masyarakat bisa
mempunyai potensi ekonomi, sehingga diperlukan informasi tentang struktur
pertumbuhan beberapa jenis tersebut dalam pola agroforestri dan kemampuan
adaptasi pada lingkungan tertentu. Hal ini sebagai dasar untuk pengembangan
jenis tersebut dalam pemanfaatan hutan dan lahan dengan pola tanam
agroforestri. Menurut Soekotjo (2004), metode pemilihan jenis ada dua yaitu
naturalis dan eksperimental. Metode naturalis dilakukan dengan menyesuaikan
persyaratan tempat tumbuh suatu jenis. tanaman dengan kondisi tapak tempat ·
pengembangan. Metode eksperimental yaitu dengan melakukan percobaan
penanaman langsung pada suatu karakteristik lahan yang akan menjadi lokasi
pengembangan. Uji eksperimental tentunya akan memberikan hasil struktur
pertumbuhan yang lebih akurat meskipun dengan waktu yang relatif lebih lama.
Hasil penelitian Thamrin (2003) dalam Mindawati eta/. {2006) di Desa Bukit
Baru, Tenggarong, Kalimantan Timur, menyimpulkan bahwa suatu jenis akan
diusahakan oleh masyarakat dan dap,at meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pemilik Ia han jika memenuhi 4 (em pat} faktor ber:ikut :
1} Jenis: Jenis tanaman yang ditanam adalah"' jenis yapg sodah dikenal
masyarakat ·dan sudah diketahui teknologi penanamannya. .
2} Kesesuaian lahan: K·esesuaian lahan berkenaan dengan kecocokan antara
jenis tanaman dan lah~n yang ditanam agar produktivitas laban ma~simaL" ·
3) Pasar: Hasil produksi t.anaman yang· dihasilkan sudah memilik(jaringan
pemasaran yang menampungnya. · .
4} Aksesibilitas: Adanya sarana dan prasara·na penunjang" untuk pemasaran
hasil berupa jaringan jalan dan ala·t transportasL ·

Sastradiharja {2011} menjelaskan bahwa dengan pemilihan jenis yang tepat,


pada pola tanam polikultur (termasuk agroforestri) dapat memberikan beberapa
keuntungan antarcfiain: 1) mengurangi hama dan penyakit tanaman, 2) menambah
kesuburan tanah, 3) memutuskan siklus hidup hama dan penyakit 4) dapat
memperoleh hasil panen yang beragam. Namun demikian jika pada pola tanam
polikultur jenis tanaman yang dipilih tidak sesuai, dapat mengakibatkan dampak
------~-••,,M-- --negatlf, misalnya: 1) ham a dan penyakit yang menyerang tanaman akan semakin

ban yak sehingga menyulitkan dalam pemeliharaan, 2) terjadinya persaingan unsur


hara, nutrisi dan sinar matahari diantara jenis tanaman yang ditanam, sehingga
pertumbuhan tanaman tidak maksimal.

1. Uji JenisTanaman Agroforestri


Tujuan dari pertanaman uji jenis adalah sebagai salah satu usaha untuk
memilih jenis yang menguntungkan atau cocok, baik jenis asli maupun luar
(eksotik) ditinjau dari nilai kepentingan serta kemampuan adaptasi dan
produktivitasnya dari suatu areal. Oleh karena itu demonstrasi plot-plot sangat
diperlukan sebagai dasar penentuan jenis yang lebih akurat. Kegiatan ini memang
memerlukan biaya yang relatif besar sehingga penelitian-penelitian uji pola tanam
agroforestri relatif masih terbatas. Meskipun demikian 1 informasi yang telah ada
bisa mt;njadi dasar pijakan dalam· pengembangan tanaman dengan pola
agroforestri, misalnya informasi dari kegiatan rahabilitasi hutan dan ·lahan.
Upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis dengan pola tanam agroforestri
bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekologi dan dapat berkontribusi bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Plot-plot tersebut dibangun dalam rangka
rehabilitasi lahan Daerah Aliran Sungai {DAS), hutan rakyat, kawasan konservasi
dan hutan pendidikan. Jenis tanaman yang diuji cobaka11 tentu berpotensi pasar,
disukai masyarakat dan kemungkinan mempunyai kesesuaian lahan. Pola tanam
yang diujicobakan sebisa mungkin bertujuan usaha komersial sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menu rut Sinaga dan Rahmawati {2007) dalam mengembangkan agroforestri
tradisional yang lama ada, maka pemilihan jenis serba guna lokal dengan
kemampuan adaptasi tinggi merupakan prioritas utama. Juga yang berfungsi
sebagai tanaman konservasi tanah dan air, berinteraksi baik dengan tanamari
pangan, hortikultura dan ternak, disenangi oleh petani dan mampu meningkatkan
pendapatan petani. Oleh karena itu dalam rangka pemilihan jenis yang paling baik
dan cocok dikembangkan di suatu daerah, diperlukan informasi hasil-hasil
penelitian tentang pertumbuhan/kemampuan adaptasi beberapa jenis yang
ditanam dalam waktu dan tempat yang sama, sehingga dapat diketahui jenis-jenis
yang relatif memiliki potensi tumbuh lebih besar. lnforf!lasi ini dapat digunakan
sebagai dasar kebijakan dalam penentuan jenis guna pengembangan pola tanam
agroforestri. lnformasi kemampuan adaptasi beberapa jenis tanaman komponen
agroforestri di beberapa daerah disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kemampuan adaptasi beberapa jenis tanaman penyusun


agroforestri pada suatu lokasi
No. lokasi Hasil penelitian Sumber
r---+-----------+-------------~--------
1 DAS Konto Pola campuran tanaman dan Poedjorahardjo
Jawa Tengah kehutanan yang berbeda yaitu (1)untuk dan Soeryono
pulp dengan Pinus dan Agathis, (2) untuk (1986)
makanan ternak, kayu bakar dan kayu
perkakas ringan digun ,;;:aliandra, akasia,
grevillea dan ekaliptus dengan memadukan
tanaman pertanian yang sesuai.
2 Aeknauli, Dari 14 jenis leguminosa untuk pakan ternak Murad (1990a)
Sumatera yang diuji pertumbuhannya di Aeknauli
Utara terdapat 11 jenis yang cocok dikembangkan
untuk kegiatan silvopasture karena
kandungan protein dan kemampuan
dicernanya yaitu kecuali jenis Centrosema
brasilium~ Desmodium intertum dan
Neonotonia wightii.
3 Aeknauli, Jenis rumput yang paling tinggi Murad {1990b}
Sumatera produktivitasnya walaupun ditanam dalam
Utara sistem agroforestri adalah jenis Panicum
maximum dan Pioneer rhodes karena cukup
produksi bijinya.
4 Tanah Toraja Pertumbuhan 3 jenis tanaman utama dalam Renden (1991)
Sulsel agroforestri yaitu cemara, sengon, dan
tristania pertumbuhannya sangat baik yaitu
lebih dari 70% sehingga sesuai untuk
·pengelolaan DAS
5 Lahan laharan Tanaman mangga, kelengkeng, kedondong Wardojo
lereng G. dan jeruk mempunyai adaptasi pertumbuhan (1998)
Merapi Jawa yang tinggi terhadap kondisi lahan laharan.
Tengah Sedangkan adaptasi tanaman durian sangat
rendah. Adaptasi pertumbuhan tanaman
leguminosa seperti sengon, lamtorogung,
lamtoro hantu dan lamtoro biasa, orok-orok,
sentrosema dan kelapa pada kondisi lahan
laharan tergolong rendah sampai sangat
rendah, sehingga tidak cocok untuk
dikembangkan pada kondisi lahan laharan.

~14~
Lanjutan Tabel 2.
No. Lokasi Hasil penelitian Sumber
6 Wonosobo, 1. Jenis tanaman kayu yang dapat tumbuh Mindawati
Jawa Tengah dengan baik sengon, mindi, suren, et.al. (2006)
mahoni dan lain-lain
2. Jenis tanaman buah yang dapat tumbuh
dengan baik : nangka, durian, jengkol,
petai, kelapa, rambutan, jambu mete
serta tanaman buah lain
3. Jenis tanaman semusim yang dapat
tumbuh dengan baik kopi, cengkeh,
cabe, pisang, kakao, pepaya, kemukus,
kapulaga, salak, panili, nanas, empon-
empon, jagung dan singkong
7 DAS Biyonga Diperoleh persen tumbuh jati 68,75%, Asir dan Tabba
. sengon 37,5% dan nangka 30% (kelerengan
>30%)
(2008)

8 Hut an Kaliandra, rumput gajah dan kopi dapat Siregar et. a/.
Pendidikan bertahan hidup lebih baik dibanding (2009)
Gunung tanaman lain. Dan di lokasi yang sama jenis
Walat, Jaw a tanaman obat kumis kucing dan temulawak
Barat menunjukkan tingkat ketahanan hidup yang
lebih baik dibandingkan dengan sambiloto
9 Kawasan Tanaman serbaguna kemiri, petai, sukun dan Sumarhani
Konservasi mangga dengan persentase hidup diatas (2009)
TWA Gunung 80%. Pada tanaman hutan, kedawung
Selok, Jaw a (76,43%) sedangkan lainnya yaitu salam,
Tengah kedoya dan ketapang diatas 80%. Hal ini
membuktikan bahwa model kombinasi
tanaman hutan dan tanaman serbaguna
dapat dikembangkan di kawasan konservasi
TWA Gunung Selok yang telah rusak.

2. Produktivitas dan lnteraksi Tanaman Agroforestri


Dalam rangka mengembangkan program .agroforestri yang bisa
menyatukan progam kehutanan (reboisasi, rehabilitasi atau penghijauan) dan
pertanian (tanaman pangan, hortikultura) maka .perlu diketahui interaksi dan
pertumbuhan tanaman kehutanan dan tanaman pertanian yang ditanam dalam
tempat berdekatan dan waktu yang sama. Pertumbuhan pohon dan tanaman
pertanian akan saling berinteraksi baik positif, netral atau negatif. Berinteraksi
positif apabila keberadaan kedua jenis tanaman atau lebih saling meningkatkan
produktivitasnya. Berinteraksi negatif apabila keberadaan beberapa jenis tanaman
tersebut saling mengganggu atau mengurangi produktivitas tanaman yang lain.
Berinteraksi netral apabila keberadaan kedua jenis tanaman atau lebih dalam
waktu dan tempat yang sama tidak saling memberikan pengaruh baik positif
maupun negatif.
Pemilihan kombinasi jenis tanaman dalam pola agroforestri yang tidak tepat
akan mengakibatkan interaksi negatif, yang merugikan perkembangan masing-
baik tanaman

Pengaturan
menjadi pilihan utama
t"TI",...,,+""v·oct·l"·. Pohon-pohon dengan
strata tengah dan

tanaman
(2006); tanaman-
sengon adalah :
ganyong, talas, umbi-
kedelai.
nangka, petai, jengkol.
: lengkuas, kapulaga, kunyit, jahe, pacing,
saling bersinergi dan berinteraksi positif dalam pemanfaatan sumberdaya lahan
dengan pola agroforestri. Hasil-hasil penelitian tentang produktivitas beberapa
tanaman akibat pola interaksi yang terjadi dalam pola tanam agroforestri di bagi
dalam 3 garis besar yaitu interaksi positif, negatif dan netral.

a. lnteraksi Positif
Menurut Hairiah et. a/. (1999) interaksi positif bila peningkatan produksi
satu·jenis tanaman diikuti oleh peningkatan produksi tanaman lainnya. Keberadaan
pohon dalam pola tanam agroforestri dapat memberikan efek positif sebagai
berikut (Hairiah et. a/., 1999):
1) Daun dari pepohonan yang gugur ke tanah sebagai serasah berguna sebagai
penutup permukaan tanah (mulsa), meningkatkan penyedian nitrogen (N)
dan ~hara lainnya yang berguna bagi tanaman semusim.
2) Akar pepohonan membantu dalam daur ulang hara (recycled nutrients).
3) Pensuplai N tersedia bagi akar tanaman semusim, baik melalui pelapukan
akar yang mati selama pertumbuhan maupun melalui fiksasi N-bebas dari
udara (untuk tanaman legume}. Penyediaan N melalui fiksasi ini dapat
dimanfaatkan langsung oleh akar tanaman semusim yang tumbuh
berdekatan.
4) Menekan populasi gulma melalui penaungan, dan pada musim kemarau
mengurangi resiko kebakaran karena kelembaban yang lebih terjaga.
5) Seringkali mengurangi populasi hama dan penyakit.
6) Menjaga kestabilan iklim mikro {mengurangi kecepatan angin,
meningkatkan kelembaban tanah dan memberikan naungan parsial.
7) Mempertahankan kandungan bahan organik tanah dan memperbaiki
struktur tanah, sehingga dapat mengurangi bahaya erosi (dalam jangka
panjang}.

Pada dasarnya dalam pemilihan kombinasi tanaman agrofrestri adalah


memaksimalkan sifat positif dan meminirnalkan sifat negatif yang muncul. Misalnya
pengkombinasian tanaman legum pengikat N perlu dicampur dengan tanaman lain
yang mempunyai kebutuhan unsur N tinggi. Hal ini diperlukan pengetahuan
tentang karakteristik masing-masing jenis tanaman dalam pola agroforestri yang
meliputi kebutuhan unsur hara tertentu, tingkat toleran, inang ha·ma dan penyakit
dan allelopaty. Karateristik lahan yang akan dikembangkan juga perlu diketahui
untuk menentukan manajemen tapak yang sesuai..
Plot kombinasi jenis tanaman agroforestri banyak diterapkan pada lahan-
lahan kritis sehingga perlu diketahui kemampuan adaptasi dan produktivitas akibat
interaksi yang ada. Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kombinasi
jenis tanaman dalam agorofrestri yang mampu memberikan produksi yang positif
baik untuk tanaman kehutanan maupun komoditi pertanian seperti disajikan pada
Tabel3.

~17~
Tabel 3. Beberapa kombinasi jenis tanaman agroforestri yang berinteraksi
positif
No. lokasi Kombinasi Jenis Hasil Penelitian Sumber
Penelitian Tanaman
1 Des a Jambu mete + Pertumbuhan anakan Pusparini et.
Lainuagan rumput gajah + jambu mete ditanam a/., (1989)
Kecamatan Stylosanthes dengan rumput Gadjah
Watang Pulu gulanensis Aubl/ (Pennisetum Schum) lebih
Kabupaten Dioclea sp/ baik dicampur dengan jenis
Sidenreng Archis hypogea legum Stylosanthes
Rap pang, Linn. gulanensis Aubl daripada
Sulawesi legum jenis Dioclea sp dan
Archis hypogea Linn.
2 Lampung Gamal + Penutup tanah Jenis Syafrudin
lamtorogung + leguminosa (K1 gamal, K2 et.a/. (1989)
turi + rumput lamtorogung, K3 turi)
bade+ kopi berpengaruh sangat nyata
terhadap pertambahan
diarnc~e~ batang, tinggi dan
jumlah daun anakan kopi. ·
Sedang penanaman rumput
(K4 rumput bade)
berpengaruh tidak nyata
terhadap pertambahan
diameter batang tinggi dan
jumlah daun anakan kopi.
3 Patuk, Gunung Jati + padi, Jati + Jati dengan padi dan kacang Sabarnurdin
Kidul, DIY kacang tanah tanah men,unjukkan (1992)
dan jati + jagung pertumbuhan yang lebih
baik dibanding dengan
tanaman semusim yang
lain. · Pertumbuhan
diameter jati lebih baik
pada sistem tumpangsari.
Padi dan kacang tanah
merupakan tanaman
semusim yang
menguntungkan .
4 Gowa-Maros, Eucaliptus sp + Perlakuan ekalip.tus 2 tahun Rosida et a/.
Parangloe, jahe (tajuk 25%) (1~92)
Gowa, memperlihatkan hasil yang
Sulawesi terbaik dibanding 0 tahun
Selatan (tajuk 0%), 4 tahun (75%)
pada pertambah~n daun
dan produksi jahe kering
Lanjutan Tabel 3.
No. Lokasi· Kombinasi Jenis Hasil Penelitian Sumber
Penelitian Tanaman
5 Kebun Pe/tophorum sp (1). Ditinjau dari aspek Hairiah dan
·percobaan + Gliricidia sp +teknis, jenis tanaman lokal van
Lampung Caliandra sp + Pe/tophorum adalah jenis Noordwjik
Utara jagung yang paling cocok untuk (1993)
dipakai sebagai tanaman
pagar pada tanah masam.
(2). Kombinasi Peltophorum
dengan Gliricidia mungkin
akan menambah
keuntungan. (3) Caliandra
akan memberikan
keuntungan terhadap
tanaman jagung bila
pemangkasan tajuknya
le.bih sering dilakukan, atau
jarak antar baris tanaman
pagar perlu diperlebar,
sehingga pengaruh
n~ungannya dapat
dikurangi.
6 · Lampung Pe/tophorum Jenis tanaman pagar Akiefnawati
Utara dasyrachis + Pe/tophorum dasyrachis (1995)
jagung tidak mengadakan
kompetisi dengan jagung,
baik di bawah tanah
maupun di atas tanah.
7 Kabupaten Tegakan hutan + Hutan produksi di Soedradjat
Jember, Jawa padi Kabupaten Jember dapat dan Sadiman
Timur digunakan untuk (2003)
pertanaman kedelai secara
tumpang sari selama 8
bulan (Desember sampai
Mei).
8 BKPH Jati + cabai + Dibawah tegakan jati Cahyarini
Kesamben, jagung +kedelai tanaman cabai dapat (2004)
KPH Blitar. tumbuh dan berproduksi
dengan baik daripada
jagung dan kedelai.
9 Wonosobo, (Kopi + gamal Kopi akan bagus Sunaryo dan
Jawa Tengah +lamtoro+ produksinya jika ditanam Laxman
dadap) campuran dengan Jen~s {2003) dalam
gamal, lamtoro dan· dadap, Mindawati
'(2006)
lanjutan Tabel 3.
No. lokasi Kombinasi Jenis Hasil Penelitian Sumber
Penelitian Tanaman
10 BKPH Jampang Tegakan hutan + Kedua galur/ varietas padi Sumarhani
Kulon, Jawa padi "' memp~nyai prospek yang (2005)
Barat baik sebagai komoditi
tanaman pangan dengan
sistem agroforestri di
bawah tegakan hutan
tanaman jati umur. 3 tahun
dengan intensitas cahaya
70,28%
11 Garut, Jawa Agathis sp + Pola agroforestri haramay Mile (2006a)
Barat haramay dapat diterapkan dalam
(Boehmeria rangka kegiatan social
nivea (L) forestry
12 Nglanggeran, Jati + akasia Pob r-::-<npur jati dan akasia Suryanto • et
Patuk, Gunung memungkinkan a/. (2009).
Kidul, DIY. dalam sistem hutan
tanaman atau agroforestri.
13 Deli Serdang, Sawit + pohon Penanaman jenis pohon Ali dan Edi
Sumatera kehutanan di sela sawit (2010}
Utara. dapat dilakukan.
14 Seca ngga ng, Tipe I jati Rata- rata pertumbuhan Latifah et a/.
Lang kat, +coklat tanaman jati dicampur (2011)
Sumatera Tipe II Jati dengan coklat le~ih baik
Utara +sa wit dibanding dengan jati
dicampur tanaman sawit
dan rata-rata kesuburan
tanah di lahan agrofrestri
jati+coklat lebih baik
daripada jati+tanaman
saw it.
15 Bog or Jati + jagung Model agroforestri Wijayam:o
mempunyai pengaruh (2007)
42,34% lebih besar dari
pad a pengaruh
tumpangsari terhadap
peningkatan pertumbuhan
tinggi total tanaman jati
dan model agrofrestri
mempunyai pengaruh
46,32 % lebih besar dari
pad a pengaruh
tumpangsari terhadap
peningkatan produksi
jagung pipilan kering.
tanaman yang

Palwnewen
(1991)

Wahyudi dan
Mindawati
(2009)

et

Budiadi et al.
(2006)
Lanjutan Tabel 5.
No. lokasi Penelitian Kombinasi Jenis
Tanaman
2 BKPH Penganten Tipe I : Srikaya + Srikaya lebih · cocok Azz dan Budi
. jati/sono/sengo · ditanam
n jati/sono/sengon
Tipe II : Srikaya + dibanding dengan
gmelina gmelina karena srikaya
termasuk jenis tidak
tahan naungan
sedangkan penutupan
tajuk oleh gmelina relatif
berjalan cepat sehingga
menggangu produksi
srikaya
3 Lodoyo, Blitar; Jati Jagung Potensi produksi Febrianto
Jawa Timur tanaman jagung lebih (2003)
rendah sekitar 42% pada
sistem agroforestri dari
potensi produksi
tanaman jagung
monokultur dan
produksi aktual rata-rata
lebih rendah 40%
dibandingkan dengan
potensi produksinya. Hal
tersebut terkait dengan
rendahnya daya
adaptasi tanaman
jagung pada sistem
.r: _,
agruiUre:,u 1
dibandingkan sistem
monokultur.
4 Darungan, Mahoni + padi Daya adaptasi tanaman Handayani
Sutojayan, Blitar, padi gogo yang, ditanam (2003)
Jawa Timur. diantara pohon mahoni
pada sistem agroforestri
adalah rendah karena
efek naungan dan unsur
hara
5 Darungan, Bungur/ Potensi produksi Santo so
Sutojayan, Blitar, Lagerstroemia tanaman padi gogo pada (2003)
Jawa Timur. speciosa Pers + sistem agroforestri
padi (Bungur/ Lagerstroemia
speciosa Pers) lebih
rendah dibandingkan
pada sistem monokultur
padi.
Lanjutan Tabel 5.
No. lokasi Penelitian Kombinasi Jenis Hasil Penelitian Sumber
Tanaman
6 Kalipare, Jati + kaca'ng Agroforestri Jati dan Setyonining
Kabupaten tanah kacang tanah (2003}
Malang, Jaw a menunjukkan bahwa
Timur secara umum hasil yang
diperoleh dari sistem
agroforestri lebih
rendah dibar;dingkan
1
dengan m0'0
baik untuk aktual
maupun potensi
produksi. Rendahnya
hasil pad a sistem
pxestri terutama
d1sebabkan faktor
cahaya yang lolos dan
sampai diatas
permukaan tajuk
tanaman sela.
II
Terbatasnya cahaya
yang sampai sebagai
akibat adanya pengaruh
dari pohon.
7 Darungan, Jati + ubi kayu Agroforestri jati + ubi Trimanto
Sutojayan, Blitar, kayu menyebutkan (2003)
Jawa Timur. bahwa potensi hasil
produksi tanaman ubi
kayu pad a sistem
agroforestri ditentukan
oleh tingkat penetrasi
cahaya yang jatuh pada
lorong pohon yang
merupakan fungsi dari
jarak tan am pohon,
tinggi pohon, Iebar tajuk
pohon dan tinggi tajuk
pohon. Selain itu juga
dipengaruhi faktor
lingkungan meliputi
iklim, ketersediaan air
tanaman, ketersediaan
unsur hara tanah, pH
tanah dan kompetisi
persaingan unsur hara
an tar tanaman atau
dengan pohon.
Lanjutan Tabel 5.
No. lokasi Penelitian Kombinasi Jenis Hasil Penelitian Sumber
Tanaman
8 Arjowila ngu n, Ka Ii Jati + Jagung Daya adaptasi tanaman Yamika
pare, Malang, jagung pada sistem (2003)
Jawa Timur. agroforestri dengan jati
lebih rendah
dibandingkan denga~
sistem monokultur
jagung. Besar penurunan
hasil tanaman jagung
sebesar 39,83%
dibandingkan dengan
potensi hasil~ya dan
66,85 % dibandingkan
dengan hasil
monokultur.
9 Ponorogo, Jawa Kayu putih + Pemilihan singkong Budiadi eta/.
Barat singkong/jagung sebagai tanaman (2006)
tunggal yang
d ikom bi nasi ka n tidak
sesuai untuk kelestarian
produksi minyak kayu
putih.
10 Tasikmalaya, Jawa sengon +nilam Pada tanah pasir Sudomo
Barat berlempung dengan (2007)
tingkat kesuburan tanah
relatif rendah
menyebutkan bahwa
pertumbuhan sengon
pada pola agroforestri
dengan nilam di tanah
pasir berlempung cukup
baik ditunjukkan oleh
tinggi 7,28 m dan
diameter 9,48 meter
pada umur 2 tahun.
Terdapat penurunan
produksi nilam pada
pola agroforestri
ditunjukkan oleh
pertumbuhan tinggi,
jumlah cabang dan
bobot segar nilam.
Lanjutan Tabel 5.
No. lokasi Penelitian Kombinasi Jenis Hasil Penelitian Sumber
Tanaman
11 Sumatera H brasilensis +A. Kempetisi cahaya dan air Khasanah
Mangium merupakan bentuk (2008)
kempetisi yang tidak
dapat dihindari dalam
sistem penanaman
campuran antara H.
Brasilensis dengan A.
Mangium.
12 Patuk, Gunung Jati + jagung Jagung sam a Sabarnurdin
Kidul, DIY merusaknya dengan (1992)
gulma ~ dalam sistem
agreferestri
13 Kebun percebaan Leucena sp, Leucena, Erythrina dan Hairiah dan
Lampung Utara Erythrina sp dan albizia kurang cecek Van
Albizia sp + untuk dipakai sebagai Neerdwjik
jagung tanaman pagar pada (1993)
jagung di tanah masam.
14 Lampung Utara Gliricidia sepium Gliricidia sepium dan Akiefnawati
dan Leucaena Leucaena /eucocepha/a (1995)
/eucocephala + berkempetisi dengan
jagung jagung dalam menyerap
air dan hara. Sedangkan
Flemingia congesta
berkempetisi dengan
jagung dalam menyerap
cahaya.
15 Wenesebe, Jawa Kepi + kemiri + Jenis-jenis yang tidak Sunarye dan
Tengah jati + maheni. cecek dikembangkan Laxman
dengan tanaman kepi (2003) dalam
adalah kemiri, jati dan Mindawati
maheni. (2006)

B. Teknik Silvikultur Agroforestri

Pencampuran jenis tanaman dalam pola agrofrestri tidal< hanya


meningkatkan faktor kesulitan terhadap pemilihan kombinasi jenis tanaman, tetapi
juga teknik silvikultur agroforestri yang tepat. Jenis tanaman kehutanan dengan
tanaman pertanian memerlukan ruang tumbuh, nutrisi/air, unsur hara dan sinar
matahari yang berbeda-beda sehingga perlu diatur jarak tanamnya. Tanaman
kehutanan suka cahaya (intoleran) perlu dikombina.sikan dengan tanaman
pertanian perlu naungan (toleran dan semi toleran}. Teknik berbagi sumber daya
pada pola tanam agroforestri akan berpengaruh terhadap teknik silvikultur yang
tepat yaitu sejak teknik penyiapan lahan (olah tanah sempurna, .olah tanah
konservasi atau tanpa olah tanah), teknik penanaman (waktu tanam, jarak tanam,
pupuk dasar, design kombinasi jenis), teknik pemeliharaan (penjarangan, pruning,
singling, pemupukan, pengendalihan hama dan penyakit) dan teknik pemanenan.
Menurut Naiem dan Sabarnurdin (2003) untuk memperoleh kelestarian
produktivitas suatu pertanaman dalam jangka panjang akan sangat bergantung
pada persiapan lahan, pengendalihan vegetasi liar, cara tanam yang tepat,
penggunaan pupuk dan materi genetik tanaman. Terkait dengan hal tersebut maka
beberapa elemen silvikultur intensif berikut menjadi penting untuk diperhatikan
agar kelestarian produksi tetap terjaga (Davidson, 1996 dalam Naiem dan
Sabarnurdin, 2003), yaitu : 1} pemilihan spesies, provenans, famili dan pohon elite,
2) kualitas semai yang baik, 3) persiapan lahan dan pengendalihan gulma, 4)
penggunaan pupuk, 5) jarak tanam, 6) pengelolaan yang tepat, dan 7) dana yang
, tersedia.

1. Penyiapan lahan
Teknik penyiapan lahan merupakan upaya pengolahan tanah dan
pembersihan lahan dari gulma/alang-alang, tonggak/ bekas pohon dan bahan
organik lainnya yang dapat mengganggu kegiatan penanaman. Pengolahan tanah
bertujuan untuk mengemburkan tanah agar tanaman dapat tumbuh dengan baik.
Untuk tanaman semusim yang baru ditanam sangat penting agar tanaman
menyerap air dan unsur hara. Pembersihan lahan dapat dilakukan secara mekanis
maupun kimia dengan bahan herbisida. Penggunaan bahan kimia dalam
pembersihan lahan selain memerlukan biaya besar juga dapat mematikan
organisme sehingga kurang ramah lingkungan. Hal ini mengakibatkan pembersihan
lahan dengan mekanis lebih sering menjadi pilihan petani dalam pola tanam
agroforestri.. Pembuangan gulma/ tonggak pohon dari lahan tentunya akan
mengurangi keberadaan bahan organik pada lahan tersebut sehingga dapat
berefek pada penurunan kesuburan tanah. ,Qieh karen a itu diperlukan .pengolahan
tanah dan pemberslh~:!'n iahan tanpa mengeluarkan bahan organik secara berlebih
dari lahan tersebut. Metode pengolahan tanah dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu
olah tanah sempurna, olah tanah konservasi atau tanpa olah tanah.
Menurut Mindawati et. a/. {2006) penyiapan lahan yang dilakukan
tergantung pada kemiringan lahan (terjal, curam, landai dan datar), keadaan lahan
{bertanah, tanah berbatu, batu bertanah, berbatu), tingkat kesuburan tanah
(subur, sedang, tidak subur) serta jarak dari tempat tinggal atau pemukiman ke
lokasi. Lahan dengan kemiringan tinggi memiliki resiko longsor sehingga perlu
dibuat teras dan tidak memerlukan persiapan lahan yang intensif untuk tujuan
konserv~si, sedangkan laha.n kemiringan landai dan datar dapat ditanami dengan
agroforestri dengan pengolahan lahan intensif. lahan yang mengandung batu
sebaiknya ditanami komoditas kehutanan sedangkan yang mangandung tanah
dengan tanaman pertanian atau pada tanah relatif subur untuk tanaman pertanian
dan tanah kurang subur untuk tanaman kehutanan (Mindawati eta/., 2006).
Keberadaan alang-alang sebagai ~ulma akan sangat mengganggu
pertumbuhan tanaman pokok yang diusahakan. Oleh karena itu diperlukan
metode pemberantasan alang-alang dengan prinsip /ow input tetapi produktivitas
lahan dapat maksimal. Metode pemberantasan dengan herbisida tentunya

;;;,.27~
memerlukan biaya yang relatif besar dan tidak ramah lingkungan. Penelitian
Murniati (2005) pada agroforestri legum cover crop Pueraria javanica + tanaman
pertanian menyatakan bahwa metode pressing yaitu merebahkan alang-alang
dengan menggunakan benda berat yang diikuti dengan penanaman legum cover
crop Pueraria javanica dapat mematikan dan mencegah recovery alang-alang serta
memperbaiki tingkat kesuburan tanah. Metode ini memberikan pertumbuhan
pohon yang tidak berbeda dengan penyemprotan herbisida dan atau pencangkulan
tanah yang cukup mahal dan kurang menguntungkan bagi kehidupan
mikroorganisme tanah. Metoda ini memang tidak memberikan hasil yang
maksimal baik untuk tanaman semusim atau tanaman tumpang sari, tetapi cukup
atau optimal sesuai dengan prinsip masukan rendah dan ramah lingkungan yang
dianut. Uji coba teknik penyiapan lahan yang sesuai Untuk Pertumbuhan Tanaman
Agathis (Agathis alba Foxw) + haramay dengan model Agroforestri menyebutkan
bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara penyiapan Ia han sistem tanpa olah
tanah, sistem jalur, olah tanah konservasi dan olah tanah sempurna. Penyebabnya
adalah sifat fisik tanah yang sudah sangat gembur dan tanpa memerlukan
pengelolaan tanah '(Mile, 2006b).

2. Penanaman
Tujuan pola tanam agroforestri adalah optimasi lahan sehingga dengan
input tertentu atau cukup dapat tercapai produktivitas maksimal. Untuk itu dalam
melakukan penanaman harus memperhatikan waktu tanam, musim, jenis tanah,
jarak tanam, kedalaman tanam dan jenis tanaman yang ditanam. Peningkatan
produktivitas dapat dilakukan dengan teknik penanaman untuk mengoptimalkan
lahan dengan pengaturan jarak tanam, pemberian pupuk dasar, pengaturan design
tanam/ruang, pembuatan lubang tanam, dan pergiliran waktu tanam.
Komposisi suatu tanaman yang lengkap terdiri dari tanaman dengan strata
tajuk yang berlapis yaitu strata atas (kayu), strata tengah (tanaman tumpangsari)
dan strata bawah (tanaman semusim), sehingga. membentuk komunitas vegetasi
yang rapat dan efektif dalam mengendalikan erosi serta mengatur tata air
(Mindawati et a/., 2006). Hal ini tentunya dengan pemilihan jenis tanaman
intolerant untuk strata atas, semi tolerant untuk strata tengah dan tolerant strata
bawah. Dengan demikian diharapkan terjadi keseimbangan ekosistem dalam lahan
tersebut sehingga saling bersinergi dalam pertumbuhan seperti yang terjadi pada
hutan alam. Hasil penelitian Tridadi et a/. (2007) menunjukkan bahwa perubahan
pemanfaatan lahan dari hutan alam menjadi sistem .agroforestri kakao akan
mempengaruhi fungsi ekosistem dan agroforestri kakao layak dipertahankan
karena mempunyai kemiripan dengan hutan alam.
Pergiliran waktu tanam tanaman pertanian dapat dilakukan dengan
memperhatikan musim tanam, tingkat penutupan t~juk {umur pohon,
pemangkasan, penjarangan) dan pemilihan tanaman pertanian tahan naungan.
Pada beberapa kejadian agroforestri sulit dilaksanakan sepanjang daur karena telah
terjadi penutupan tajuk. Pada kasus di hutan rakyat, tanaman tumpangsari akan
dihentikan setelah tanaman kayu tumbuh menaungi tanaman pangan sekitar 2-3
tahun. P·ada tanaman sengon lebih dari 3 tahun dengan jarak tanam 3 m x 3 m,
tanaman bawah ni!am tidak dapat ditanam lagi (Mindawati et ai.J 2006; Sudomo,
2007)
Penelitian Widiarti (1986} menyebutkan bahwa Khaya anthoteca
cenderung hidup lebih baik pada jarak tanam 3 x 3 m dengan persentase hidup
60,60% pada umur 20 bulan (untuk jarak 2 x 2 m = 40,l4%, dan jarak 3 x 1 m=
30,17%}. Walaupun keuntungan palawija tertinggi didapat pada jarak tanam 3 x 3
m tetapi tidak memberi pengaruh nyata dalam produksi tanaman semusim, namun
hasil panen tahun kedua cenderung lebih tinggi dari tahun pertama dan ketiga.
Penelitian Wahyudi dan Suhartati (2010) menunjukkan bahwa perlakuan jarak
tanaman gaharu dari kelapa sawit belum memberikan pengaruh nyata terhadap
pertumbuhan gaharu sampai umur 24 bulan. Pengaruh nyata pada 30 bulan
dengan jarak optimal 4 m sedangkan pada Shorea sp dengan pola 4 m dari kelapa
sawit mempunyai riap pertumbuhan tinggi 1,68 m/th sedangkan riap pertumbuhan
diameter 1,82 cm/th.
Pada agroforestri pohon sebagai pelindung + tanaman cokelat terdapat dua
jenis pohon pelindung yaitu pelindung sementara dan pelindung tetap. Pohon
pelindung sementara yang umum digunakan adalah Gliricidia macu/ata, Sesbania
punctata dan Cajanus cajon. Pohon pelindung tetap yang umum digunakan adalah
Leucaena glauco, Erythrina lithospermaJ Albizia falcataJ. Gliricidia maculata dan
Ceiba petandra. Penanaman cokelat secara bikultur sebaiknya pada areal tanaman
kelapa. Kelapa ditanam berjarak 9 m x 9 m {123 pohon per ha) atau 10,5 m x 10,5
m (91 pohon per ha), sedangkan cokelat ditanam di antara dua baris kelapa dengan
jarak tanam 3 m x 3 m (650 pohon per ha). Penanaman cokelat di antara tanaman
kelapa tersebut dilakukan setelah tanaman kelapa berumur 5 tahun {Siregar et. a/.,
2010).
Pola tanam agroforestri banyak dilakukan pada lahan-lahan dengan tingkat
kesuburan tanah yang rendah. Lahan dengan tingkat kesuburan yang rendah salah
satunya diindikasikan dari banyak ditumbuhi alang-alang. Agroforestri sebagai
bentuk pola tanam mempunyai metode tersendiri dalam mengatasi permasalahan
lahan kritis penuh alang-alang. Hal ini berkaitan dengan kecepatan penutupan tajuk
tanaman agroforestri dalam mencegah pertumbuhan alang-alang. Metode yang
dilakukan selain relatif murah tetapi juga ramah terhadap lingkungan karena tidak
menyebabkan kematian organisme lain. Dalam teknologi agrofrestri diaharapkan
murah, mudah dan adapted bagi masyarakat untuk diimplementasikan. Meskipun
demikian hal ini diharapkan tetap menghasilkan produktivitas yang maksimal bagi
lahan yang diusahakan. Beberapa hasil penelitian tentang teknik penanaman pada
lahan alang-alang dengan pola tanam agroforestri disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Teknik penanaman agroforestri pada lahan alang-alang
No. lokasi Komposisi Jenis Hasil Penelitian Sumber
Tanaman
1 Lombok Lahan alang-alang Pada lahan yang tidak Sutrisno et
(Mocuna sp + jambu dipergunakan untuk a/. (1993)
mete + kedelai) pertanian (ditumbuhi
lahan perladangan > alang-alang ) diterapkan
30% (rumput lokal usahatani konservasi yang
+kacang dan kedelai+ bersifat merehabilitasi
jambu mete), 15- yaitu tanaman pupuk hijau
45% (tanaman (Mocuna sp) + tanaman
pangan+jambu tahunan (jambu mete)
mete+Mucuna sp) sehingga dapat
meningkatkan hasil
kedelai 100%. Pada daerah
yang masih digunakan
untuk perladangan
diterapkan 2 model usaha·
tani konservasi yaitu : (a)
pada lereng lebih dari 30%
dibuat teras gulud dan
diperkuat dengan rumput
lokal, tanaman pangan
(Kacang dan Kedelai) +
tanaman tahunan (Jambu
mete). (b) Pada lereng
antara 15-45% diterapkan
strip vetiver Ziza noides,
tanaman pangan +
tanaman tahunan (jambu
mete) + tanaman pupuk
hijau (Mucuna sp).
2 Riam Kiwa, Gmelina +campuran Uji Coba penggunaan Sa gala
Kalimantan petai + durian, tegakan agroforestri (1996)
Selatan nangka + cengkal + campuran petai dan
karet. Gmelina di lahan alang-
. alang menunjukkan
bahwa tegakan
agroforestri (campuran
petai, durian, nangka,
cengkal, karet dll) dengan
Jenls gmelina nampak
memberikan harapan.
Gmelina digunakan karena
di Riam Kiwa jenis ini
ternyata sangat efektif
untuk menindas alang-
alang.
3

Timur

4 Kalimantan
Barat
berkontribusi pada semua tanaman yang berada di lahan tersebut. Penyiangan,
pendangiran dan pemupukan yang dilakukan akan memberikan efek positif tidak
hanya pada tanaman semusim melainkan juga pada tanaman berkayu/pohon.
Demikian juga pruning/pemangkasan yang dilakukan pada tanaman kayu akan
dapat berkontribusi bagi peningkatan kesuburan tanah sehingga memacu bagi
pertumbuhan tanaman diatasnya. Pupuk yang diberikan pada tanah akan terserap
secara maksimal baik oleh tanaman kehutanan maupun oleh tanaman pertanian
sehingga meminimalisir unsur hara yang hilang.
Hasil penelitian yang dilakukan di areal kopi dengan kemiringan di atas 15%
menunjukkan bahwa penyiangan pada tanaman kopi secara parsial lebih baik dan
sangat efektif mengurangi erosi. Tetapi, penutupan gulma sangat cepat merambat
sampai ke batang kopi sehingga menyebabkan pertumbuhan kopi tertekan dan
mengurangi produksi · kopi karen a pertumbuhan tanama'n kopi yang dibersihkan
lebih cepat dibandingkan dengan yang ada tanaman bawahnya (Agus et. a/., 2002
dalam Hilmanto, 2009).

a. Pemupukan
Penurunan kesuburan tanah banyak terjadi di daerah tropika basah
termasuk di Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh masih banyaknya pengelolaari Ia han
pertanian secara tradisional yaitu sistem monokultur tanaman pangan yang terus
menerus sepanjang tahun dan sistem ladang berpindah yang memiliki intensitas
penggunaan lahan rendah, serta adanya kebiasaan petani untuk membakar atau
tidak mengembalikan biomasa sisa panen dan lebih senang menggunakan pupuk
buatan (anorganik). Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya penurunan produksi
tanaman pada daur berikutnya. Pemupukan dilakukan untuk menambah
ketersedian unsur hara yang diperlukan tanaman. Jenis pupuk yang biasa
digunakan ada dua jenis yaitu pupuk organik dan anorganik. Salah satu alternatif
untuk menyelamatkan keberlanjutan penggunaan ·lahan adalah dengan
mengurangi input yang berasal dari bahan kimia dan beralih kepada pemakaian
pupuk organik yang berasal dari bahan organik sisa tanaman, pupuk kandang,
kompos, dan atau sumber bahan organik (BO) lainnya (Afrizon, 2009 dalam
Hilmanto, 2009)
Pola tanam agoroforestri dengan prinsip low input untuk tetap dapat
menghasilkan produksi maksimal mempunyai cara tersendiri dalam menjaga
kesuburan tanah secara berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan diantaranya dengan
memanfaatkan kelebihan tanaman legum yang mempunyai kemampuan pengikat
nitrogen sehingga membantu meningkatkan kesuburan tanah. Selain itu
penimbunan biomasa dari daun-dauanan hasil pangkasan dapat berfungsi sebagai
bahan organik bagi pertumbuhan tanaman dan peningkatan produksi. Pemilihan
jenis legum memang memberikan nilai tambah positif dengan tetap memberikan
nilai ekonomi bagi kayu dihasilkan. Oleh kerena itu pemi·lihan jenis legum yang
bernilai ekonomi tinggi bisa menjadi alternatif pilihan dalam pola tanam
agroforestri. Penggunaan sengon, lamtoro, turi, gliricedia memang telah lama
dipratekkan oleh masyarakat. Hal ini .tidak lepas dari kegunaan daun untuk
makanan ternak, peningkatan kesuburan tanah, bisa menjadi kompos, disamping
memang mudah tumbuh di lahan-lahan kering. Hasil-hasil penelitian tentang
manfaat tanaman dalam peningkatan kesuburan tanah disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Beberapa hasil penelitian kontribusi tanaman agroforestri terhadap


kesuburan tanah
No. lokasi Komposisi Hasil Penelitian. Sumber
Jenis Tanaman
1 Pulau Lamtoro + Penerapan pola agroforestri berbasis Surata
Timor tanaman tanaman lamtoro telah mampu (1993)
pertanian J"!lengatasi kendala biofisik daerah
Pulau Timor, sehingga dapat
meningkatkan produktivitas lahan
dan pendapatan masyarakat
2 Lampung Peltophorum Pada lahan yang mendapatkan Wirastato
utara sp masukan BO berkualitas rendah asal (1999)
pangkasan tajuk tanaman pagar
Peltophorum terdapat cacing tanah
yang lebih tinggi daripada yang
mendapatkan masukan BO
berkualitas tinggi asal tajuk. Jumlah,
berat basah, dan berat kering "cast"
cacing tanah berkurang bila
habitatnya semakin jauh dari bari,san
tanaman pagar.
3 Jayawijaya, Casuarina Banyak manfaat dari Casuarina Askin eta/.
Irian Jaya oligedon + oligedon terutama untuk (2001)
tanaman memperbaiki kesuburan tanah dan
pertanian mencegah erosi.

4 Sumatra Kakao + Kakao yang ditanam dibawah Tridadi


Gliricidia Gliricidia sepium menunjukkan eot.a/.
sepium literfall dan foliar nitrogen coklat (2007)
paling tinggi . dibanding kakao
ditanam dibawah penutupan hutan
dan pohon

5 Lombok Gliricidia sp+ Pertumbuhan jati pada lahan bekas Narendra


NTT jati tambang yang diberi pupuk kandang (2009)
dan pupuk hijau dari leguminous
dalam model agroforestri lebih tinggi
daripada pertumbuhan jati di lokasi
yang lain. Aplikasi gamal
menghasilkan kontribusi
pertumbuhan tinggi dan diameter
paling tinggi pad a jati. Pupuk hijau
leguminous dapat meningkatkan
kesuburan tanah pada lahan batu
tam bang dan pertumbuhan jati.
Pengelolaan hutan dan lahan dengan pola tanam agroforestri dapat menjadi
alternatif pengganti silvikultur intensif yang kurang berjalan di masyarakat. Terlebih
pola tanam agroforestri telah banyak dipratikkan masyarakat dalam berbagai
bentuk dan pola pemanfaatan lahan. Akan tetapi keterbatasan modal
menyebabkan pengelolaaan lahan dengan pola tanam agroforestri tidak dilakukan
secara intensif. Padahal beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemeliharaan secara intensif dalam penggunaan lahan dengan pola tanam
agroforestri memberikan produktivitas yang lebih tinggi seperti disajikan pada
Tabel8.

Tabel 8. Beberapa hasil penelitian pengaruh pemupukan terhadap tanaman


agroforestri
No. lokasi Komposisi Hasil Penelitian Sumber
Jenis
1 Desa Barugae sengon dan pertumbuh~ · tinggi dan diameter Millang et a/.
Keeamatan jagung tanaman sengon menunjukkan (1991}
Mallawa adanya efek input (pengapuran,
Kabupaten pupuk NPK dan kandang) yang
Maros. sangat nyata, tetapi efek
pengolahan tanah dan interaksi
antara pengolahan tanah dengan
input belum menunjukkan
perbedaan yang nyata. Namun
terhadap produksi pipilan kering
jagung menunjukkan adanya efek
input maupun pengolahan tanah
yang berbeda nyata, tetapi
interaksinya tetap belum
menunjukkan perbedaan nyata.
2 Tapanuli utara Eucalyptus Agroforestri tanaman Eucalyptus Murad et a/.
sa/igna dan saligna dan hijauan pakan ternak (1992)
hijauan pakan brachiaria decumberns diberikan
ternak pengapuran dan pemupukan.
brachia ria Hasilnya pengapuran tidak ada
decumberns pengaruhnya.
3 Putukrejo, Agroforestri Pada Lahan berkapur di Desa Febrianty
Kalipare dan pisang Kedungsalam lebih intensif (2003)
Kedungsalam, dibanding Desa Putukrejo dalam
Donomulyo. teknik budidaya pisang, demikian
Malang juga varietas pisangnya lebih
banyak dijumpai di Desa
Kedungsalam {12 varietas}
dibandingkan Desa Putukrejo (4
varietas).

ibo34~
Lanjutan Tabel 8.
No. lokasi Komposisi Hasil Penelitian Sumber
Jenis
4 Kota Banjar sengon Dengan pemeliharaan intensif Hani dan
dengan (pemupukan, pembersihan gulma, Mile (2006).
ketimun pemberantasan hama d.an penyakit
(Cucumis sp) serta penggundukan tanah pada
dan kacang tanaman pertanian) dalam waktu
tanah 35 -50 hari hari sejak penanaman
diperoleh hasil ketimun sebanyak
16 ton/ha dan kacang tanah
dengan daur 50 hari sebanyak 1
ton/ha
5 Gunung kopi + pohon Dosis dekastar 25 g dan 50 g per Budi et a/.
Walat, pohon meningkatkan hasil biji kopi (2009a), Budi
Sukabumi sebesar 297% dan 730%. et a/.
Pemupukan dosis pupuk urea 250 g (2009b}
+ TSP 100 g + KCL 180 g signifikan
mempengaruhi tinggi tunas kopi
setelah dipruning
6 Gunung pohon + umbi Dosis urea 7,5 g + SP 36 2,5 g + KCL Budi et a/.
Walat, 5 g, dosis urea 15 g + SP 36 5 g + (2009c); Budi
Sukabumi KCL 10 g, dan dosis urea 22,5 g + SP (2009)
36 7,5 g + KCL 15 g ketiganya
meningkatkan berat umbi sampai
115,3%, 186,95% dan 236,31%.
Pemberian mikorisa dapat
meningkatkan produksi tanaman
19%
·7 Gunung Sengon + Pemupukan bokashi 1000 gram Sukendro
Walat, damar bokashi paling tinggi m€ningkatkan dan
Sukabumi diameter sengon dan damar. Pamungkas
Regenerasi alami damar (2009);
dipengaruhi oleh densitas tegakan Siregar dan
damar. Semakin tinggi densitas Mardiningsih
semakin tinggi regenerasi alami {2009)
damar.
8 Des a Ekaliptus + Pemberian pupuk pad a Mangkona et
Tompobulu jagung penanaman sistem tumpangsari a/. {1986)
Kecamatan antara ekaliptus dengan jagung
Mandai mem.perlihatkan hasil yang
Kabupaten berbeda nyata terhadap diameter
Maras, dan tinggi tanaman ekaliptus.
Sulawesi
Selatan.

ro..35~
Lanjutan Tabel 8.
No. lokasi Komposisi Hasil Penelitian Sumber
Jen·is
9 Pulau Sumba Ameliorasi Ameliorasi dengan pupuk kandang Widyati, et
Jelutung + dan abu pada kegiatan agroforestri a/. (2010)
cabe+bawang dapat meningkatkan kandungan C
daun+ sawi+ or.ganik tanah sehingga dapat
jagung+ memperbaiki pH, KTK dan KB tanah
tumbuhan gam but sehingga dapat
paku meningkatkan efisiensi pemupukan
N, p dan K yang diberikan.
Ameliorasi juga meningkatkan
kandungan populasi mikroba
menguntungkan dalam tanah
gam but. Peningkatan sifat fisik,
kimia dan biologi tanah
meningk;.:~tk~m pertumbuhan
tanaman Jeiutung sampai umur 3
tahun.

b. Pemangkasan
Pemangkasan pohon merupakan kegiatan pemeliharaan dengan melakukan
pengurangan tajuk/cabang pohon bagian bawah sehingga persentase tajuk aktif
menjadi berkurang untuk memperoleh batang bebas cabang yang panjang dan
bebas dari mata kayu. Pada jenis Acacia mangium pemangkasan dilakukan dengan
menyisakan tajuk kurang dari 60% pada awal-awal pertumbuhan sedangkan pada
jenis Manglieta glauco Bl bisa menyisakan tajuk kurang dari 30%. Pemangkasan
merupakan kegiatan penting dalam pemeliharaan tanaman agrofrestri.
Pemangkasan yang dilakukan pada pohon akan memberikan efek positif tidak
hanya bagi tanaman pohon melainkan juga tanaman pertanian. Penelitian Ray
keSogh da/am Naiem dan Sabarnurdin {2003) menunjukkan bahwa pruning cabang
dan bahkan batang hingga tinggal 6 meter dari permukaan tanah ternyata sangat
menguntungkan, karena dapat memperbesar intensitas cahaya yang sangat
bermanfaat bagi tanaman lain yang tajuknya lebih rendah dan juga akan
menghasilkan 6 meter kayu akhir yang s'ilindris dan besar. ·
. Penelitian Suryanto et a/., 2009 meyatakan bahwa pengelolaan bera
diprioritaskan pada pengurangan kepadatan tajuk melalui teknik silvikultur
(pruning tajuk dan penjarangan) untuk peningkatan ketersediaan cahaya sehingga
dapat mendukung budidaya semusim lebih optimal Agrofrestri didominasi oleh
pohon sehingga bidang olah efektif untuk tanaman pertanian berkurang yang
mengakibatkan ada masa bera. Masa bera adalah waktu dimana lahan
diistirahatkan dari kegiatan penanaman tanaman semusim. Hal ini bertujuan untuk
mengembalikan tingkat kesuburan tanah dan memberikan pengaturan ruang bagi
tanaman semusim. Model bera dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu bera ringan,
sedang, dan berat. Bera ringan mempunyai Bidang Olah Efektif (BOE} 62% luas
lahan. Bera sedang BOE 37% < % bidang oleh < 62%. Bera berat mempunyai level
penutupan lahan paling tinggi. Hal ini mengakibatkan luas BOE paling rendah
dibanding dengan model lainnya. BOE pada bera berat kurarag dari 37% dari luas
Ia han (Suryanto eta/., 2009).
Kompetisi yang terjadi dalam pola tanam agrofrestri tidak hanya dalam
mendapatkan sinar matahari akan tetapi juga di dalam tanah dalam pemanfaatan
unsur hara maka terdapat kegiatan pemeliharaan dengan pruning akar. Pruning
akar dilakukan pada tanaman pohon untuk menghindari terjadinya kompetisi hara
antara tanaman palawija dengan tanaman pohon (Naiem dan Sabarnurdin, 2003}.
Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh pemeliharaan tanaman dengan
pemangkasan pohon disajikan pada Tabel 9.

Tab~~ 9. Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh pemangkasan pohon


terhadap tanaman agroforestri
No. lokasi '} Kombin'asi Hasil Peneliti,f!n Sumber
Jenis f.

1 Kebun Kaliandra + Caliandra akan memberikan Hairiah dan


Percobaan, jagung keuntungan t~rhadap van
Bunga Mayang, tanaman jagung bila Noordwjik
Lampung Utara. pemangkasan tajuknya lebih (1993)
sering dilakukan, · atau jarak
antar baris tanaman pagar
perlu diperlebar, sehingga
pengaruh naungannya dapat
dikurangi.
2 Desa Darungan, Jati + ubi Pengaruh dari pohon terhadap Trimanto
Kecamatan kayu ketersediaan · cahaya pada (2003)
Sutojayan, tanaman sela dapat dikurangi
Blitar, Jawa dengan pemangkasan pohon
Timur. jati.
3 Hutan Pinus Pinus + Pemangkasan pohon pinus Maharani
Desa Klampok, jagung meningkatkan penetrasi (2004)
Kecamatan cahaya sehingga
Singosari meningkatkan kan.dungan
Kabupaten klorofil yang diikuti oleh
Malang, Jawa peningkatkan laju fotosintesis
Timur dan pemberian bahan organik
belum dapat meningkatkan
hasil tanaman jagung.
4 Lampung Sengon + Pertumbuhan sengon lebih Sukendro
damar baik pada site terbuka dan
sedangkan damar lebih baik Pamungkas
pada kondisi areal teduh. (2009}

~37~
Lanjutan Tabel 9.
No. lokasi Kombinasi Hasil Penelitian Sumber
Jenis
5 Des a Klampok, Pinus + Produksi tanaman jagung yang Efendi
Kecamatan jagung ditanam dalam sistem (2004)
Singosari, agroforestri Pinus +jagung
Malang. dengan perlakuan
pemangkasan ·dan pemberian
nitrogen 150 kg/ ha
memberikan hasil yang p~:11ing
tinggi dibandingkan lakuan
lainnya. Namun fJroduksi
terse but masih di bawah
produksi normal.
6 Des a Klampok, Pinus + Pemangkasan 1/3 bagi~n tajuk Kurniawan
Kecamatan kedelai pohon bagian bawah (2004)
Singosari, mengak!oatkan peningkatan
Malang, Jaw a cahaya yang lolos ke bawah
Timur pohon secara rata-rata dari
20% menjadi 23% pada saat
awal (0 hst) dan saat vegetatif
maksimum (40 hst) sebesar
23% menjadi 28%. Laju
fotosistesis tanaman
dipengaruhi oleh
pemangkasan pohon dan laju
fotosintesis meningkat dengan
bertambahnya cahaya PAR
yang diterima. Pemberian
bahan organik dapat
meningkatkan hasil tanaman
kedelai sebesar 10%.
7 Des a Klampok, Pinus + Tanaman jagung yang ditanam Kusuma
Kecamatan jagung dibawah tegakan pinus yang (2004)
Singosari, dipangkas memberikan hasil
Malang, Jaw a yang lebih tinggi yaitu 1,61
Timur ton/ha dari yang tidak
dipangkas yaitu 0,96 t/ha.
Varietas pioneer mampu
beradaptasi dengan baik pada
kondisi lingkungan cahaya
rendah di bawah tegakan
pinus dan mampu berproduksi
lebih tinggi yaitu 1,96 ton/ha
dari varietas kretek yaitu 0,61
ton/ha.

ll>e38~
Lanjutan Tabel 9.
No. lokasi Kombinasi Hasil Penelitian Sumber
Jenis
8 Des a Pohon + Pengelolaan bera Suryanto et
Nglanggeran, . Tanaman diprioritaskan . pad a a/. (2009}
Kecamatan semusim pengurangan kepadatan tajuk
Patuk melalui teknik pruning tajuk
Kabupaten dan penjarangan untuk
Gunung Kidul, . peningkatan ketersediaan
Propinsi DIY. cahaya sehingga dapat
mendukung budidaya
tanaman semusim lebih
optimal

C. Bentuk-Bentuk Agroforestri di Masyarakat

Pola tanam agroforestri telah banyak diaplikasikan masyarakat dalam


berbagai kombinasi jenis tanaman dan berbagai tipe pemanfaatan lahan. Hal ini
mengindikasikan bahwa keberadaan agroforestri di masyarakat sudah lebih dulu
diaplikasikan dibandingkan dengan pembelajaran scientific knowledge agroforestri.
Hal ini menjadikan pembelajaran agroforestri berdasarkan local knowledge yang
telah dipunyai masyarakat menjadi penting sebagai pengetahuan dasar yang perlu
terus dikembangkan. Struktur dan komposisi tanaman dalam pola tanam
agroforestri di masyarakat merupakan informasi awal untuk lebih mendalami jenis·
interaksi dan kompetisi antar tanaman dalam satu unit manajemen lahan. Hasil-
hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap lokasi mempunyai komposisi jenis
tanaman yang berbeda. Perkembangan komposisi tanaman dalam pola agroforestri
dari masa ke masa juga senantiasa mengalami perubahan. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan kesesuaian tempat tumbuh, cara-cara masyarakat bercocok tanam,
ketersediaan pasar dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Montpellier et a/. (2001} menyebutkan bahwa sistem agroforestri
diperdebatkan sebagai fakta yang harus diperhatikan dimana dua jenis sistem
pengaruhnya tidal<: sama terhadap ekologi atau kualitas ekonomi dan tidak
memerlukan pendekatan ilmiah yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
sederhana lebih diinvestasi oleh peneliti dan mempunyai nilai lebih dikembangkan
sa at ini dalam bidang kehutanan atau progam · pertanian dibandingkan sistem
kompleks dimana pokok sistem karakteristik pertanian dalam jumlah kecil di luar
pulau sering tidak diketahui atau dipandang rendah oleh banyak ilmuwan dan agen
pengembang. Sistem agroforestri komplek memiliki vertical/and cover paling baik
dibanding agroforestri sederhana (simple) dan hutan monokultur. Horizontal/and
cover agroforestri komplek dan hutan monokultur lebih dari 100% sedangkan pada
agroforestri sederhana {simple) hanya 35% (Mansur dan Siddik, 2009).
Menurut Nair {1993) terdapat beberapa bentuk agroforestri yaitu :
agrisilvikultur, silvopastura, agrosilvopastura, sylvofishery d~.n apikultur. Setiap·
daerah dengan karakteristik masyarakat dan tipologi lahan yang berbeda
memunculkan komposisi jenis penyusun agrofrestri yang beranekaragam sehingga

&<>39~
memunculkan beberapa bentuk agroforestri. Hasil penelitian di beberapa lokasi
menunjukkan bahwa bentuk agroforestri yang telah dipraktikkan oleh masyarakat
beranekaragam sehingga perlu diidentifikasi komposisi jenis tanaman penyusun.

1. Agrisilvikultur
Agrisilvikultur yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan
dengan komponen pertanian. Penelitian Montpellier (2001) di Sumatra Barat
menunjukkan bahwa sistem agroforestri berperan penting tidak hanya bertujuan
untuk menghasilkan kayu sebagai aset dalam sistem agrofc:restri, melainkan juga
produk-produk lainnya seperti makanan, energi da.n obat-obatan. Sistem
pemanfaatan lahan disana terbagi untuk pekarangan rumah di desa, kebun
campuran (dikenal sebagai perak), gabungan pohon-pohon ekspor (Cinnamon
sp/kayu man is dan kopi), pohon buah (terutama durian) dan jenis-jenis pohon kayu
(Toona sinensis, Meliacea sp, Pterosperum javanicum dan sebagainya). Sistem
agroforestri yang dialami meliputi hasil bumi perdagangan penting seperti. kopi
(Coffea canephora var, robusta) dan Cinnamc1 '! 11 burmani dengan jarak alternatif
hasil panen monokultur atau asosiasi sederhana ke beberapa spesies dan kebun
simpan serbaguna meliputi sebanyak 100 spesies umum. Begitu pula dengan
agroforestri di kebun-kebun Dayak Kalimantan yang berstruktur multilayer dan
terdiri dari berbagai jenis tumbuhan serta memiliki fungsi ekologi ekonomi dan
sosial bagi masyarakat Dayak. Keberadaan kebun-kebun Suku Dayak di Kabupaten
Sanggau sesuai dan potensial karena dapat menjadi sumber bahan makanan,
bahan bangunan, energi dan obat-obatan (Sundawati, 2001).
Penelitian Wiyorio (2002) tentang perubahan praktik pola tanam petani di
Wilayah Desa-Desa Kecamatan Cangkringan, Kabupaten S.leman, DIY menyebutka'n
bahwa pada masa lalu pola tanamnya sudah sangat jauh berbeda dibandingkan
masa sekarang. Di Desa Umbulharjo, Kepuharjo dan Glagaharjo cenderung berpola
tanam kayu-kayuan dan buah-buahan dengan rumput pakan ternak di bawahnya,
sedangkan di Desa Argomulyo dan Wukirsari cenderung pada tanaman semusim
dengan tanaman kayu dan buah-buahan pada tempat terbatas. Dari masa ke masa
jenis-jenis yang ditanam dalam pola tanam agrofrestri juga mengalami perubahan.
Sebelum tahun 1970 dengan tanaman semusim palawija, ketela pohon, jagung,
kimpul, entik, ketela rambat, gude, pisang dengan jenis pohon kelapa, nangka,
mindi dan sengon. Dengan jenis buah jambu biji di tegal dan pekarangan. Komoditi
kayu bakar, ketela, jambu biji, gude dan kelapa ditukar dengan beras. Tahun 1971-
1980 penghijauan dengan mahoni, apokat, cengkeh, petai, kopi, durian, rumput
gajah dan sengonisasi. Pada tahun 1981 tegal pekarangan tanaman keras, hijauan
rumput dan sengon, sawah beralih ke tanaman perkebunan salak (Wiyono, 2002).
Kasus di Kulonprogo DIY, pekarangan mempunyai struktur vegetasi yang lebih
komplek dibandingkan dengan tegalan. Akan tetapi potensi lahan pada keduanya
dapat dikembangkan dengan diversifikasi lahan yaitu antara lain dengan
penanaman buah-buahan dan perkebuhan seperti durian, nanas, cengkeh dan
petai (Poernomo, 2003).
Hasil penelitian Musriyanti. eta/. (2003) di Desa Barugae, Kabupaten Maros
menunjukkan bahwa terdapat beberapa pola dan yang paling dominan yaitu pola

10e40~
jalur dan acak. Jumlah jenis tanaman yang dikembangkan mencapai 16 Jenis, dan
jenis tanaman yang dominan adalah kemiri (Aieurites moluccana), coklat
(Theobroma cacao), gamal (Giiricidia sepium). Stratifikasi tegakan {vertikal)
berdasarkan analisis diagram profil pada lokasi penelitian mempunyai.empat strata
yakni:
1) Stratum A, dengan jenisnya yaitu kemiri (Aieurites mo/uccana), bitti (Vitex
·sp), mahoni (Swictenia macrophylla}, gamal (Giiricidia sepium), enau
(Arenga pinnata) dan waru (Hibiscus tiliaceus).
2) Stratum B dengan jenisnya yaitu gamal (Giiricidia sepium), jambu mente
(Anacardium occidentale), bitti (Vitex sp), pisang (Musa paradisiaca), enau
(Arenga pinnata}, coklat (Theobroma cacao), kopi (Coffea arabica), lamtoro
(Leucaeana glauco) dan belimbing wulu (Averrhoa belimbing).
3) Stratum. C dengan jenisnya yaitu coklat (Theobroma cacao), kopi (coffea
arabica),· talas (Co/ocasia esculenta), dan merica (Piper nigrum).
4) Stratum D atau Stratum paling bawah dengan jenisnya yaitu jahe (Zingiber
officina/e) dan jagung (lea mays). Sistem ·penanaman tiga strata dari segi
konservasi yaitu dengan adanya strata tajuk yang berlapis-lapis maka dapat
melindungi tanah dari pukulan air hujan secara langsung ke permukaan
tanah yang menyebabkan terjadinya erosi kecil.

Penelitian Okky et. a/. {2005) tentang variasi dan karakteristik model
agroforestri di Patuk Gunung Kidul, DIY menyebutkan bahwa pola agroforestri
yaitu pola pohon pembatas, baris, lorong dan acak. Kemudian untuk pola pohon
pembatas dan lorong sebagian besar tersusun atas pohon mahoni, jati, akasia, dan
sono. Pola baris sebagian besar tersusun atas tanaman perkebunan yaitu melinjo,
kakao, cen&keh, rambutan dan petai sedangkan pola acak tersusun atas tanaman
. mahoni, jati, sengbn, melinjo dan petai. Pola lorong pada topografi paling curam
yaitu 13 % s/d 20 % (terjal) sedangkan pola baris, pohon pembatas dan pola acak
pada kelerengan agak datar {5% s/d 10 %}.
Terdapat tiga bentuk usaha tani pada sistem dusung di Maluku Tengah
'yaitu dusung ke"bun atau ladang dengan sistem pertanaman tumpangsari, dusung
kebun campuran dengan sistem pertanaman agroforestri dan dusung tanaman
utama/ pokok dengan sistem pertanaman monokultur. Hatulesila dan Febryano
(2009) melakukan analisis vegetasi pada agroforestri dusung menyebutkan bahwa
agroforestri dusung adalah suatu sistem agroforestri yang sudah berlangsung
secara turun-temurun. Struktur dan komposisi jenis tanaman di Desa Wakal pada
tingkat pohon didominasi oleh spesies Eugenia aromatica; Myristica fragrans, Durio
zibethinus, Theobromd cacao, Cocos nucifera dan Lancium domesticum, tingkat
tiang didominasi oleh Musa sp, Lancium domesticum, Theobroma cacao dan
Myristica fragrans dan tingkat sapihan didominasi spesies Myristica fragrans,
Eugena aromatica dan Lancium demosticum. Berdasarkan stratifikasi dan diagram
profil menunjukkan bahwa spesies Durio zibethinus dan Cocos nucifera memiliki
penguasaan tajuk tertinggi (Strata A) diikuti strata lapisan (B, C, dan D) yaitu
Eugenia aromatica, Cocos nucifera, Theobroma cacao, Myristica fragrans, Lancium
domesticum, dan Eugenia jambolana.

~41~
Penelitian Suharti (2007) menyebutkan bahwa model agroforestri yang
potensial dikembangkan di Sumedang adalah komoditi kehutanan + vanili dan
tanaman obat, sedangkan di Cianjur sebagai tanaman bawah yaitu vanili dan
tanaman pangan serta sayur-sayuran untuk Sukabumi. Begitu pula di Daerah
Waduk Semper jenis tanaman bawah yang mempunyai nilai penting bagi petani
yaitu jenis tanaman pangan antara lain ganyong, ketela rambat dan ketela pohon
(Hadisusanto, 2003 ).
~epong damar di Pesisir Tengah Lampung Barat merupakan salah satu
agroforestri terbaik di Indonesia. Struktur vegetasi pada agroforestri damar
berbeda pada masing-masing fase pertumbuhan, tetapi secara umum permudaan
alami damar eukup baik. Kerapatan optimum jenis damar pada kelas diameter 20-
40 em adalah 400 pohon/ ha, dengan kerapatan optimum seluruh jenis adalah 500.
pohon/ ha; kerapatan optimum jenis damar pada kelas diameter 40-60 em adalah
300 pohon/ ha, dengan kerapatan optimum seluruh jenis adalah 400 pohon/ ha;
kerapatan optimum jenis damar pada kelas diameter di atas 60 em adalah 280
pohon/ ha, dengan kerapatan optimum Jems adalah 300 pohon/ ha
(Duryat, 2009}. Semakin tinggi densitas semakin tinggi regenerasi alami damar
(Siregar et. a/., 2009}
Penelitian Hakim et. a/. (2004) menyatakan bahwa rehabilitasi lahan dengan
- PHBM di KPH madiun adalah dengan sistem plong-plongan mengikuti alur
peredaran sinar matahari (bukan mengikuti kontur). · Tanaman utama yang
digunakan kayu putih atau jati ditanam di sabuk sepanjang 15 m, tanaman
kehutanan pengisi/pagar (gmelina, mahoni, sengon, mindi) dan tanaman pertanian
-,. (padi, jagung, ketela pohon , kaeang tanah, pisang, petai, dll) di sabuk sepanjang 10
m. Sementara di KPH Kuningan dengan tanaman pokok ( mahoni, pinus) dengan
tanaman MPTS (melinjo, randu, alpukat, nangka, pete, kemiri, nilam , nanas, dll).
Rehabilitasi ~utan dengan PHBM di RPH Banjarsari melakukan penanaman dengan
jati + sengon + tanaman pertanian (padi+jagung, pisang, eabe dan kaeang) dan di
RPH tanjungkerta dengan pola pinus + vanili serta di RPH Cineam dengan Jati +
kapolaga {Sumarhani, 2004).
Beberapa pola tanam agroforestri yang telah berhasil dipraktikkan
masyarakat di hutan rakyat dengan komposisi sebagai berikut {Mindawati et. a/.,
2006):
1) Desa Sidoarjo, Keeamatan Kemalang, Kab. Klaten dengan komposisi jenis :
sengon + kopi + tembakau.
2) Desa Paeekalan, Kabupaten Wonosobo dengan komposisi jenis : sengon +
mahoni+suren+kopi+kelapa+pisang+eabe.
3) Desa Sumberurip, Kee. Doko, Kab. Blitar dengan komposisi jenis : sengon +
~opi + eokelat + kelapa + singkong + gamal.
4) Desa Paeekelan, Kee. Sapuran, Kab. Wonosobo dengan eampuran jenis
sengon + suren + kelapa + nangka + jambu + petai+" durian + melinjo +
jengkol.
5) Hutan rakyat Kabupaten Kuningan dengan 4 pol a "tan am yaitu tanaman
kayu {sengon, jati, mahoni), perkebunan (melinjo), buah {pisang, jengkol,
pete), tanaman semusim (cabe, singkong, padiL Obat (jahe,
bambu. (Diniyati et. a/. 1 2004).

2. Silvofishery
Silvofishery yang merupakan kombinasi antara
kehutanan dengan perikanan. Penelitian Hartina et. a/.
lahan mangrove dengan silvofishery di lndramayu
keberhasilan tanaman mangrove dalam pola silvofishery
faktor fisik dan kimia lapangan berupa : Iebar
Sedangkan faktor ekonomi dan sosial
keberhasilan petani dalam mengelola parit. Petani
lingkungan hidup yang baik bagi aquakulturnya
(mengorbankan) komponen mangrovenya.
oleh faktor-faktor kedalaman parit, !uas lahan yang dikelola dan berapa
persen parit ternaung pohon. Faktor ekonomi dan sosial terbukti
berperan. Perbedaan kepentingan masih mewarnai pola tanam yang ada, sehingga
kelestarian pola ini masih dipertanyakan walaupun dari sisi produktivitasnya dan
adoptibilitasnya tidak diragukan. Pola rehabilitasi mangrove cara ini perlu
dimodifikasi agar dapat memberi keuntungan kepada kepada kepentingan,
produksi dan konservasi secara seimbang dan lestari.
Gunawan (2007) menyebutkan bahwa pada progarn silvofishery
menunjukkan bahwa 15% petambak responden yang menyatakan
penting bagi produksi perikanan, oleh karena itu sebagian besar petambak
menebang atau mematikan mangrove untuk memperluas parit tempat
pemeliharaan ikannya. Progam silvofishery dengan pola empang parit di
Ciasem-Pamanukan belum mampu mengkonservasi mangrove, hal ini ditunjukkan
oleh meluasnya penebangan mangrove di dalam empang parit untuk memperluas
parit dan menyebabkan perubahan bentuk dan komposisi luasnya sampai menjadi
20% mangrove 80% parit. Progam silvofishery dengan pola empang parit ini juga
belum cukup tepat sasaran karena 54% pesertanya menjual ke pihak lain.
Penelitian Anwar (2003) menyebutkan bahwa model silvofishery untuk
rehabilitasi kawasan mangrove dengan sistem empang parit dengan lahan
penanaman mangrove (80%) dan kegiatan perikanan (20%) dengan menggunakan
udang, bandeng dan kepiting. Hasil penelitian menujukkan bahwa: keuntungan
budidaya udang dan bandeng dengan panen 2 X setahun =Rp.512.200,- per hektar
dan untuk kepiting dengS~n panen 10 X setahun = Rp. 279.000 per 60 m2. Sistem
silvofishery berdampak pada pertambahan luas pembuatan empang parit (dari
ha menjadi 12 ribu ha), peningkatan persen tumbuh mangrove mencapai 80%,
pertambahan kesempatan kerja (2448 KK dan 122 KTH), meningkatnya kesadaran
masyarakat akan fungsi dan manfaat hutan mangrove.

3. Apikultur
Apikultur merupakan budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam
kegiatan atau komponen kehutanan. Yuliansyah et. a/. (1998} menyebutkan bahwa
di masyarakat pedesaan Kaltim sumberdaya lahan dan lebah madu yang tersedia
dapat menunjang agroforestri lebah madu dengan manajemen masyarakat.
Penelitian Qurniati {2010) di Desa Selapan Kecamatan Pardasuka, Kabupaten
Tanggamus dan Desa Buana Sakti, Kecamatan Batang Hari, Kabupaten Lampung
Timur, Propinsi Lampung menunjukkan bahwa tanam tanaman berbunga yang
dimanfaatkan sebagai pakan lebah madu adalah tanaman sonokeling (Da/bergia
/atifolia), kaliandra {Calliandra ca/othyrsus), kapuk randu (Ceiba pentandra), cokelat
(Theorema cacao), dan kopi (Coffea canephora) dan beberapa jenis tanaman
kehutanan, MPTS (Multy Purpose Trees Spesies) dan tanaman perkebunan.
Pemeliharaan lebah madu yang dilakukan masyarakat Desa Selapan dan Desa
Buana Sakti dilakukan dengan kotak (stup) dan gelodok. Penggunaan kotak lebih
efisien dibandingkan gelodok.
Ismail {1987) melaporkan bahwa pengamatan dilakukan pada lokasi seluas
400 ha. Lebah yang diuji adalah jenis Apis mel/ifera yang ditempatkan diantara
kaliandra dan Anacardium occidentale. Sistem pengembangan terkontrol dicobakan
pada sapi yang dilepas pada areal rumput setaria dan rumput di bawah tegakan
kayu berumur 2 tahun dan kambing betina areal m.akanan ternak, kaliandra
dan di bawah tegakan umur 2 tahun lebih. hasil agroforestri perkembangan lebah
cukup baik, sapi betina. bertambah berat badan rata-rata 86,66 kg/ekor dan
kambing meningkat berat badannya 6,83 kg/ekor.

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, R. S. 2003. Pendugaan Potensi Hasil Tanaman Padi Sawah (Oryza sativa)
yang Ditanam dengan Pohon Jati (Tectono grandis L) pada Sistem
Agroforestri di Lodoyo, Blitar. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan).

Akiefnawati, R. 1995. Pengaruh Naungan, Kompetisi Serapan Air dan Hara Tanaman
Pagar Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung pada Ultisol Daerah
Lampung Utara. Thesis. Universitas Brawijaya. Malimg. (tidak diterbitkan).

Ali. C dan D. Edi. 2010. Strategi Pengembangan Tanaman Kehutanan di Sela


Tanaman Sawit: Sebuah Tinjauan !spek Budidaya; Presiding l?JPeran
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dalam lmplementasi Roundtable
on Sustainable Palm Oil tanggal 4-5 November 2010 di Pekanbaru.
Puskonser. Bogor.

Anggraeni. I dan A. Wibowo. 2007. Pengaruh Pola Tanam Wanatani Terhadap


Timbulnya Penyakit Dan Produktivitas Tanaman Tumpangsari. Info Hutan
Tanaman 2(2).

Anwar, C. 2003. Wanamina, Alternatif Pengelolaan Kawasan Mangrove Berbasis .


Masyarakat Presiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Pemanfaatan Jasa
Hutan dan Non Kayu Berbasis Masyarakat Sebagai Solusi Peningkatan
Produktivitas dan Pelestarian Hutan. Him. 21-26. P3H&KA. Bogar

&-44~
Asir, I. dan S. Tabba. 2008. Aplikasi Teknik Rehabilitasi Lahan dengan Penanaman
Jenis Kayu dan MPTS di SUB DAS Biyonga Provinsi Gorantalo. Presiding
Workshop Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman tanggal 19 Desember
2008 di Bogar. P3HT. Bogor.

Askin.D.C., D.J. Boland., dan K. Pinyopusarerk, 2001. Use Casuarina 0/igondon


subsp. Abbreviata in Agroforestry in The. North Baliem \(alley, Irian Jaya,
Indonesia. in Casuarina Research and utilization. Abstrak Hutan dan
Kehutanan. Agroforestry-3 Him. 213-219. Pusdokindo & Museum Taman
Hutan Manggala Wanabakti. Jakarta.

Azz, L. P dan S. Budi. W. 1995. Srikaya (Annona Squamosa) Sebagai Tanaman


Sisipan pada Program Perhutanan Sosial (PS) di BKPH Penganten KPH .
Purwodadi. Duta Rimba 20: 20-23.

Budi, R.S.W, I.Z. Siregar, Supriyanto, A. Sukendro dan N. 'Wijayanto. 2009b. Study
on the Use of Fertilizer and Pruning Treatment for Improving Coffee
Productivity in Agroforestry System at Gunung Walat Educational Forest.
Technical Report Volume 4/2009. IPB & Akecu. Bogar.

Budi, R.S.W. 2009. Study on The Use of Arbuscular Mycorrhiza Fungi for Improving
Crop Productivity in Agroforestry System in Gunung Walat Educational
Forest. Technical Report Volume 2/2009. Restoration of Degraded Forest
Through Establisment of Sustainable AgroSystem with High Ecological and
Economical values Using Peoplerns Participation In Gmung Walat, Indonesia.
IPB & Akecu. Bogor.

Budi, R.S.W., I.Z. Siregar, A. Sukendro, N. Wijayanto dan Supriyanto. 2009a. Study
on The Use of Dekastar Fertilizer for Improving Coffee Productivity in
Agroforestry System in Gunung Walat Education Forest. Technical Report
Volume 4/2009. IPB dan Akecu. Bogar.

Budi,R.S.W., I.Z. Siregar, Supriyanto, A. Sukendro dan N. Wijayanto. 2009c. Study on


The Use of Anorganic Fertilizer for Improving Cassava (Manihot Esculenta)
Productivity in Agroforestry System at Gunung Walat Education Forest.
Technical Report volume 4/2009. IPB dan Akecu. Bogar.

Budiadi, T. Hiroaki, Ishii, M. Sambas Sabarnurdin, Priyono Suryanto dan Y.


Kanazawa. 2006. Biomass .Cycling And Soil Properties In An Agroforestry-
Based Plantation System Of Kayu Putih {Melaleuca Leucadendron LINN) In
East Java, Indonesia. Journal Agroforestry Systems 67:135rn145.

Cahyarini, E. 2004. Evaluasi Lahan untuk Tanaman Cabai, Jagung, Kedelai secara
Tumpangsari di Lahan ~ela Tanamn Jati pada Lahan Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM) Desa Ngembul, Blitar. Skripsi. Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan).

Dendang. B, A.Sudomo, E. Rachman dan Rusdi. 2007. Pengendalihan Ham a Ulat


Jengkal Pada Sengon dengan Ekstrak Daun Suren dan Cuka Kayu. Wana
Benih 8(1).

&u45~
Diniyati, 0, SE. Yuliani, dan B. Achmad. 2004. Pola Tanam Hutan Rakyat di Desa
Dukuh Dalam, Kec. Jppara, Kab. Kuningan. Presiding Ekspose Terpadu Hasii-
Hasil Penelitian.Him. 133-145. P3BPTH. Yogyakarta.
Duryat. 2009. Struktur Vegetasi dan Kerapatan Pohon Optimum pada Agroforest
Damar (Shorea javanica K. Et V.) di Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten
Lampung Barat. Presiding Penelitian-penelitian Agroforestry di Indonesia
tahun 2006-2009. Universitas Lampung (Unila)-The Southeast Asian
Network for Agroforestry Education (SEANAFE}-The Indonesia Network for
Agroforestry Education (INAFE). Bandar Lampung.

Efendi, H.M. 2004. Fungsi Agronomi Sistem Agroforestri Pinus (Pinus mercusii) dan
Jagung (lea mays L) dengan Pemangkasan Tajuk Pohon dan Pemberian
Pupuk Nitrogen. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
(tidak diterbitkan}.

Febrianto, T. 2003. Pendugaan Potensi Produksi Tanaman Jagung (lea may L} yang
Ditanam dengan Tanaman Jati (Tectc,, grandis L) pada Sistem Agroforestri
di Lodoyo, Blitar. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
(tidak diterbitkan).

Febrianty, F. 2003. Budidaya Pisang (Musa paradisiacal Linn) dalam Sistem


Agroforestri di Daerah Berkapur Malang Selatan. Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan).

Hadisusanto. S. 2003. Agroforestry Di Jalur Hijau Waduk Sempor (Suatu Tinjauan


Ekologis). Presiding Seminar Nasional Agroforestry Peranan Strategis
Agroforestry dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Secara Lestari dan
Terpadu bulan Sepetember 2002 di Yogyakarta. Fakultas Kehutanan UGM.
Yogyakarta.

Hairiah. K dan M. van Noo~dwjik, 1993. Peranan Tanaman Pagar dalam


Mempertahankan Produksi Tanaman Jagung yang Berkelanjutan Pada
Ultisol Daerah Lampung. Presiding Loka Karya Nasional Agroforestry tanggal
24-26 Agustus 1993 di Bogar. Bogar.

Hairiah. K, M. van Noordwijk dan D. Suprayogo. 1999. Bahan Ajar 2 Agroforestri.


International Agroforestry Researh Center. (ICRAF). Bogar.

Hakim, t S. lrawanti, dan Sylviani. 2004. Rehabilitasi Lahan dengan Pola


Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Pulau Jawa: Studi Kasus di KPH
Madiun dan KPH Kuningan. Presiding Ekspose Penerapan Hasil litbang
Hutan dan Konservasi Alam. Him. 76-90. P3H&KA. Bogar.

Handayani, D. W. 2003. Pendugaan Potensi Produksi Tanaman Padi Gogo yang


Ditanam dengan Pohon Mahoni (Swietenia mahagoni) pada Sistem
Agroforestri di Lodoyo Barat, Blitar. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan).
Hani. A. Dan M.Y Mile. 2006. Uji Silvikultur Sengon Asal Tujuh Sumber Benih. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman. 3(2}.
Hardiyanto, E.B. 2005. Pengembangan Hutan
Tanaman. Makalah Produktivitas Hutan. Fakultas
Kehutanan

Hartina, M.S. Kajian Pola Silvofishery untuk


Rehabilitasi Desa Cemara, lndramayu. Presiding Seminar
Nasional lZI Peranan Strategis !groforestry Pengelolaan
Sumber Daya Lestari u bulan September 2002.
Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Haryanto, Y dan H. Dwiriyanto. 1988. Uji Coba Pengembangan Tanaman Pangan AF.
BTR Benakat. Palembang.

Hatulesila, J.W., I.G. Febryano. 2009. Struktur dan Komposisi Tanaman pada
Agroforestri Dusung di Desa Wakal Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku
Tengah. Presiding Penelitian-penelitian Agroforestry di Indonesia tahun
2006-2009. Universitas Lampung (Unila), The Southeast Asian Network for
Agroforestry Education (SEANAFE), dan The Indonesia Network for
Agroforestry Education (INAFE). Bandar Lampung.

Hilmanto. R. 2009. Local Ecological Knowledge dalam Teknik Pengelolaan La han


Pada Sistem Agroforestri. Studi Kasus di Dusun Lubuk Baka, Kabupaten
Pesawaran, Propinsi Lampung. Disertasi. (tidak diterbitkan).

Ismail, B. 1987. Uji Coba Kegiatan Perlebahan Dan Peternakan di Areal Agroforestri.
Laporan Pengamatan Dan Uji Coba Pengembangan Teknologi Reboisasi 4:
46-61.

Kartasubrata, J. 1992. Social forestry dan Agroforestry di Asia. Buku I. Laboratorium


Politik dan Ekonomi dan Sosial Kehutanan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Kasno, S., T. Nuhamara dan Supriyanto. 2009. Diversity of Pest and Diseases
Commonly Found in Agroforestry System at Gunung Walat Educational
Forest. Technical Report Volume 2/2009. Restoration Of Degraded Forest
Throught Establisment Of Sustainable Agrosystem With Hight Ecologi dan
Economic Values Using Peoplef1ls Participation In Gunung Walat; Indonesia;
IPB dan Akecu. Bogor.

Khasanah, N. 2008. Potensi Air Daun Dan Efisiensi Penggunaan Cahaya dalam
Sistem Karet (Hevea brasiliensis) Monokultur dan Karet Campuran dengan
Akasia (Acacia mangium) Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogar. (tidak
diterbitkan).
Kurniawan, I. 2004. Fungsi Agronomi Sistem Agroforestri Pinus (Pinus mercusii) dan
Kedelai (Glycine max L) dengan Pemangkasan Pohon dan Pemberian Bahan
Organik. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak
diterbitkan).
Kusuma, I.F. 2004. Fungsi Agronomi Sistem Agroforestri Pinus (Pinus mercusii) dan
Jagung (Zea mays L) dengan Pemangkasan Pohon. Skripsi. Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan).

~47~
Latifah S., I. Prambudi, dan M.A. Bachruddin. 2011. Karakteristik Pertumbuhan Jati
(Tectono grandis Linn.!) pada Sistem Agroforestry Tanaman Sawit dan
Coklat. P 291- 299. Presiding Puslitbang 11 Seminar Hasil-hasil Penelitian BPK
!ek Nauli dalam Rangka Tahun Kehutanan lnternasionallll; !eknauli;
Maharani. H.S. 2004. Fungsi Agronomi Sistem Agroforestri Pinus (Pinus mercusii)
dan Jagung (Zea mays L) dengan Pemangkasan Pohon dan Pemberian Bahan
Organik. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak
diterbitkan).

Mangkona. A. A. N., S. Paembonan dan M. Moelyono. Pertumbuhan Anakan


Pohon Eucalyptus deglupta Blume dan Tanaman (Zea mays. L) dalam
petak Percobaan Agroforestri di Desa Tompobulu l<abupaten Maros. Skripsi.
Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makasar. (tidak diterbitkan).
Mansur, I. dan B. Siddik, 2009. Horisontal and vertical land cover profile of
agroforestry system in gunung walat ecucational forest, indonesia.
Technical Report volume 2/2009. Jtion of Degraded Forest Throught
Establisment of Sustainable Agrosystem with Hight Ecologi dan Economic
Values Using Peoplellls Participation in Gunung Walat; Indonesia; PB dan
Akecu. Bogor.

Mile, M. Y. 2006b. Uji Coba Teknik Penyiapan Lahan Yang Sesuai Untuk
Pertumbuhan Tanaman Agathis (Agathis alba Foxw) dengan model
Agroforestry (Trials on land Preparation Techniques to support the growth
Performance of Agathis alba Foxw in Agroforestry Model. Info Hutan 7(1).
Mile. M Y. 2006a. Pola· Agroforestry Haramay (Boehmeria niveo L) : Prospek
Agribisnis dan Teknik Budidayanya. Info Hutan 3(3).
Millang, S., Suhardi dan J. Marsono. 1991. Peranan Input Teknik Budidaya terhadap
Keberhasilan Agroforestri di Lokasi Transmigrasi Kumai Kalimantan Tengah.
Ihesis. Program Studi Kehutanan UGM. Yogyakarta. (tidak diterbitkan).

Mindawati. N., A. Widiarti dan B. Rustaman. 2006. Review Hasil Penelitian Hutan
Rakyat. P3HT. Dephut. Bogor.
Montpellier, G. Michon, H. De Foresta dan N. Widjayanto, 2001. Research on
Agroforestry System in Sumatra : Some Result Interesting Silviculture.
Bogor. SEAMEQ;.BIOTROP, 1992. Agroforestry-3. Pusdokindo & Museum
Taman Hutan Manggala Wanabakti (Manggala Wanabakti Documentation
and Information Center & Museum Forest Park) .Jakarta-Indonesia. No 2.
Jakarta.
Montpellier, G. Michon.· 2001. Prospects For the Use of Agrofrestry Systems in
Regional Forest Management : Examples From Indonesia (s.n.). hal.9-16
Agroforestry-3. Pusdokindo & Museum Taman Hutan Manggala Wanabakti
No 2. Jakarta.

&->48~
Mulyana. 0. R. dan A. Priadjati. 2004. Pertumbuhan Meranti pada Program
Rehabilitasi Lahan Alang-Aiang (Imperato cylindrica Beauv) dengan Sistem
Tumpangsari. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 1(3): 337-344.

Mulyoutami. E., L. Joshi, llahang, G. Wibawa dan E. Penot. 2008. Pembangunan


Wanatani Karet Berbasis Karet pada Lahan Terdegradasi Alang-alang di
Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Karet 26 {1): 20-30.
Murad, A, T. Butarbutar, dan N Supriatna. 1992. Pengaruh Pengapuran dan Pupuk
Kandang Terhadap Produksi Hijauan Pakan Brachiaria decumberns Pada
Sistem Agro Kehutanan. Buletin Penelitian Kehutanan Pematang Siantar
8{1):27-38.

Murad, A. 1990a. lntroduksi Dan Evaluasi Tanaman Leguminosa Makanan Ternak


untuk Menunjang Kegiatan Agroforestri di Aeknauli Sumatera Utara. Buletin
~enelitian Kehutanan 6(3):197-210.

Murad, A. 1990b. lntroduksi dan Evaluasi Tanaman Rum put Makanan Ternak untuk
Menunjang Kegiatan Agroforestri di Aeknauli Sumatera Utara. Buletin
penelitian kehutanan 8(1}:39-49.

Murniati. 2005. Penyiapan Lahan Alang-alang Untuk Usaha Tani Agroforestry


dengan Teknologi Murah Dan Ramah Lingkungan. Info Hutan 2(4).
Mu:srJyanti, Syamsuddin Millang dan Suhasman. 2003. Studi Struktur dan Komposisi
·.~:S.:~~~~... Beberapa Pola Agroforestri di Desa Barugae Kecamatan Mallawa Kabupaten
· ''. !VIaros. Skripsi. Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makasar. (tidak
;diterbitkan}.

Na[]em, M~ 2004. Pengembangan Spesies Non-Acacia Mangium Untuk Hutan


Tanaman Buku Pembangunan Hutan tanaman Acacia mangium. PT. Musi
Hutan Persada. Palembang.

Nallliem, M; Dan M;S; Sabarnurdin, 2003; !groforestri Dalam Pengelolaan lntensif


Sumber Daya Lahan; Prosiding Seminar Nasional !groforestri; lllPeranan
Stsrtaegis Agrofrestri dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Secara Lestari
dan Terpadu. Fakultas Kehutanan. UGM. Yogyakarta.
\
·~·air.PKR. 1993.' 4\f!.;lntroduction Jo Agroforestry. Kluwer Academic Publisher. The
,, · · Netherland.

ti~rendra, B.H. 2009. Teak (Tectono gran dis L.F.) ·Growth Planted Using
.Agroforestry Model On Pumice-Mined Land. Procedings lnternasional
Seminar. Research on plantation Forest Management Challenges and
&l,{li~·;~t~~ppurtunities tanggal 5-6 November 2009 di Bogor. Centre For Plantation
,,, ' :;Ferest Research and Development. Bogor.

Okky, P.S., M.S. Sabarnurdin dan P. Suryanto. 2005. Variasi Dan Karakteristik Model
Agroforestry. Jurnal Hutan Rakyat 7{1).

·r,
,) .
Palwnewen, JL 1991. Pengkajian dan Pelaksanaan Ungkungan Wilayah
Pandu Melalui Pendekatan Sistem Lembaga Penelitian Sam
Ratulangi. Manado.

Poedjorahardjo dan R. Soeryono. 1986. AF Kawasan Hutan


di DAS Konto Bagian Hulu. Prosiding dan Reuni IV FKT UGM. Him.

Poernomo, D, H. 2003. Praktek Kulonprogo, DIY.


Prosiding Seminar Nasional !groforestry; !groforestry
Dalam Pengelolaan Sumber Daya !lam dan Terpadu!ll bulan
September 2002. Fakultas Kehutanan UGM.

Pusparini, M. Junus, Bachtiar dan R. Salam. Pertumbuhan Anakan


Jambu Mete (Anacardium occidentale Ditumpangsarikan dengan
Beberapa Jenis Legum (Stylosanthes Aub/, sp, Arachis
hypogae Linn Varietas Kidang) dan (Pennisetum Schum).
Skripsi. Jurusan Kehutanan Hasanuddin. Makasar.. (tidak
diterbitkan).

Qurniati. R. 2010. Peranan Usaha Lebah Madu dalam Memberikan Tambahan


Pendapatan. Studi Kasus pada Masyarakat Hutan di Propinsi
Lampung; Seminar Nasional lllPerluasan dalam
Mendukung Mitigasi Perubahan lklim di !sia Tenggaralll (Scaling-Up
Agrofrestri Promotion Toward Climate in Southeast Asia
((SAPSEA). Lampung.

Renden, R. 1991. Laju Pertumbuhan Casuarina junghuhniana, Pharaserianthes


falcatania sp pada Sistem Agrokehutanan di Buntu Dengen, Tana Toraja,
Sulsel. Jurnal Penelitian Kehutanan 5(2):

Rosida, Jaya., Marthen L. Lande., Budirman Bachtiar. 1992. Keberhasilan Tanaman


Jahe Badak (Zingiber officina/e Rose) di Bawah Tegakan Leda (Eucalyptus
deglupta Blume). Skripsi. Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin.
Makasar. (tidak diterbitkan).

Sabarnurdin, M.S. 1992. Pengaruh Tanaman Semusim terhadap Pertumbuhan Jati


(Tectono Grandis) serta Kesuburan Tanah Sistem Tanaman
Tumpangsari di Wanagama I. Buletin FKT UGM 21:

Saga Ia, A. P. S. 2001. Uji Coba Penggunaan Tegakan Agroforestry Campuran Petai
dan Gmelina di Lahan Alang-Aiang di Riam Kiwa, Kalimantan Selatan.
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Teknologi Reboisasi
Palembang tanggal 28-29 Maret 1996. Him. Agroforestry-3 No 2.
Pusdokinfo. Jakarta.

Santoso, D. 2003. Pendugaan Potensi Produksi Tanaman yang Ditanam


dengan Pohon Bungur (Lagerstroemia pada Sistem
Agroforestri di Lodoyo Barat, Blitar. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan).
Sastradihardja. S. 2011. Sukses Bertanam Sayuran secara Organik. Penerbit
Angkasa. Bandung.

Setyonining, A.R. 2003. Potensi Produksi Tanaman Kacang Tanah (Arachis


hypogaenae L) yang Ditanam dengan Pohon Jati (Tectono grandis L) pada
Sistem Agroforestri di Kalipare, Malang. Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan).

Sinaga, M. dan I. Rachmawati. 1997. Jenis Pohon Lokal yang Mempunyai Fungsi
Ganda dalam Pengembangan Wanatani. Aisula 1(3}.

Siregar, I.Z. dan 0. Mardiningsih. 2009. Natural Regenaration Of Damar (Agathis


Loranthifolia) In Agroforestry And Pure Stands At Gunung Walat Educational
Forest. Restoration of Degraded Forest Throught Establisment of
Sustainable Agrosystem with Hight Ecologi dan Economic Values Using
People[]s Participation in Gunung Walat; Technical Report Volume 2/2009;
IPB dan Akecu. Bogor.

Siregar, I.Z., S.R.W. Budi R, A. Sukendro, N. Wijayanto dan Supriyanto. 2009.


Increasing Plant Crop Diversity in Agroforestry Models at Gunung Walat
Educational Forest. Technical Report Volume 4/2009.

Siregar, T.H.S., S. Riyadi dan L. Nuraeni, 2010. Budidaya Cokelat. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Soedradjad, R dan I. Sadiman. 2003. Optimalisasi Potensi Lahan Hutan Produksi


Melalui Sistem Tumpangsari Tanaman Hutan dan Kedelai di Kabupaten
Jember, Jawa Timur. Pelatihan Dosen PTN/S Se-lndonesia: Wirausaha
Agroforestri Gaharu dalam rangka Pemberdayaan Masyarakat tanggal 25
Juni - 4 Juli 2003. Universitas Mataram. Mataram.

Soekotjo. 2004 Silvikultur Hutan Tanaman: Prinsip-prinsip Dasar. Buku


Pembangunan Hutan tanaman Acacia mangium. PT. Musi hutan Persada.
Palembang.

Sudomo, A. 2007. Pengaruh Tanah Pasir Berlempung Terhadap Pertumbuhan


Agrofrestri Sengon + Nilam. Jurnal Pemuliaan Tanar:nan Hutan 1{2).

Suharti, S. 2007. Pola Pemanfaatan La han Dengan Aneka Usaha Kehutanan {AUK) di
Jawa Barat : Studi Kasus di KPH Sumedang, Cianjur dan Sukabumi. Jurnal
Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam 4(3).

Sukendro, A. dan P. Pamungkas. 2009. Study on the Use of Organis Fertilizer to


Improve Plant Productivities in the Agroforestry System. Technical Report
Volume 2/2009. Restoration Of Degraded Forest Throught Establisment Of
Sustainable Agrosystem With Hight Ecologi dan Economic Values Using
PeopleflJs Participation In Gunung Walat. lndonesia.IPB dan Akecu. Bogar.

Sumarhani. 2004. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat: Sebagai Solusi


Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Di KPH Ciamis, KPH Sumedang, dan KPH
Tasikmalaya). Presiding Ekspose Penerapan Hasil litbang Hutan dan
Konservasi Alam. Him. 91-100. P3H&KA. Bogor.

Q>Sl~
Sumarhani. 2005 Uji Coba Padi Gogo (Oriza sativa} Tahan· Naungan dengan Sistem
Wanatani di Bawah Tegakan Hutan Tanaman Jati (Tectona grandis) di BKHP
Jambang Kulon Jawa Barat. Jurnal P~nelitian Hutan dan Konservasi Alam
2(3).

Sumarhani. 2009. Rehabilitasi dengan Sistem Agroforestry pada Blok Pemanfaatan


Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Selok. Prosiding Penelitian-Penelitian
Agroforestry di Indonesia Tahun 2006-2009. Universitas Lampung (UnilaL
The Southeast Asian Network for Agroforestry Education (SEANAFE) dan
The Indonesia Network for Agroforestry Education (INAFE). Bandar
Lampung.

Sundawati, L. 2001. Sistem Kebun dayak di Kalimantan : An Agroforestry Model


· (sistem Kebun suku dayak di Kalimantan Barat : suatu model agroforestry .
Jurnal Manajemen Hutan Tropika 1 (1): 33-41.

Surata. I. K, 1993. Amarasi System : Agroforestry Model. In The Savana Of Timor


Island Indonesia ( Sistem Amarasi r ~~del Agroforestry Di LBhan Savana
Pulau Timor, Indonesia). Majalah Savana 1993 dalam Pusat Dokumentasi
dan lnformasi Manggala Wanabakti, No2 2001. Abstrak Hutan dan
Kehutanan. Jakarta.

Suryanto, P., M.S. Sabarnurdin, W.B. Aryono, dan F. Wiryamarta. 2009. Fallow
Model in Agroforestry Systems. Presiding Penelitian-penelitian Agroforestry
di Indonesia tahun 2006-2009. Him. 99-103. Universitas Lampung (Unila)-
The Southeast Asian Network for Agrofo"restry Education (SEANAFE)-The
Indonesia Network for Agroforestry Education (INAFE). Bandar Lampung

Sutrisno, N., Sudirman dan H. Suwardjo. 1993. Penerapan Usaha Tani Konservasi
dengan Sistem Agroforestry Terhadap perbaikan Produktivitas Tanah
Daerah Perladangan. Prosiding Loka Karya Nasional Agroforestry tanggal 24-
26 Agustus 1993. P3HKA dan APAN (asia-Pacific Agroforestry Network
(APAN). Bogor.
Syafrudin S., M. Junus; A.R. Kalu. 1989. Pengaruh Penanaman Berbagai Jenis
Tanaman Penutup Tanah terhadap Pertumbuhan Anakan Kopi Robusta
(Coffea canephora L.) pada Sistem Tumpangsari di Lapang. Skripsi. Jurusan
Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makasar. (tidak diterbitkan).

Triadiati, S. Tjitrosoemito, E. Guharja, Sudarsono, I. Qayim, dan C. Leuschner. 2007.


Resorpsi dan Efisiensi Nitrogen dalam Sistem Agroforestri Coklat di Sulawesi
Selatan. Jurnal Bioscience Hayati : 127-132.

Tridadi. 2008. Fungsi Beberapa Komponen Agroforestry di Hutan Alam dan Sistem
Agroforestry Kakao di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogar. (tidak diterbitkan).
Trimanto, V. 2003. Pendugaan Potensi Produksi Tanaman Ubi Kayu (Manihot
esculenta Crantz) yang Ditanam dengan Pohon Jati (Tectona grandis L) pada
Sistem Agroforestri di Lodoyo, Blitar. Skripsi. Fakul.tas Pertanian Universitas
Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan).
Wahyudi and N. Mindawati. 2009. Monoculture Versus Agroforestry System on
Plantation Forest Management. Prosidings lnternasional Seminar. Research
on Plantation Forest Management Challenges and Oppurtunities tanggal 5-6
November 2009 di Bogar. Centre For Plantation Forest Research and
Development. Bogar.

Wahyudi, A. dan Suhartati. 2010. Agroforestry Tanaman Gaharu atau Meranti


dengan Kelapa Sawit; Puslitbang Konser; Presiding lliPeran Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan dalam lmplementasi Roundtable on Sustainable
Palm Oil tanggal4-5 November 2010 di Pekanbaru. Bogar

Wardojo, 1998. Adaptasi Tanaman Buah dan Leguminosa pada Lahan L9haran d.i
Lereng Gunung Merapi (Jawa Tengah). Buletin Teknologi Pengelolaan DAS
4(3): 46-58.

Widiarti, A. 1986. Percobaan Penanaman Khaya anthoteca dengan Sistem


Tumpangsari. Buletin Penelitian Hutan 481: 27-52.

Widyati. E., R.S.B. lrianto dan M.H.L Tata. 2010. Ameliorasi Tanah Gambut melalui
Kegiatan Agrofrestry. Tekno Hutan Tanaman 3(3).

Wijayanto. N. 2007. Studi Pengaruh Pola Agroforestri Terhadap Pertumbuhan


Tanaman Jati (Tectono grandis L.F). Jurnal Manajemen Hutan 8{2): 100-108.

Winarti, S., M.R. Lambung, dan Rirawa. 1994. Kajian terhadap Pola Tanam
Agroforestri sebagai Upaya Memperkenalkan Pertanian Menetap Lahan
Kering di Desa Tumbang Sumba Kab. Kotawaringin Timur, Kalteng.
Universitas Palangka Raya. Palangkaraya.

Wirastato. 1999. Peranan Cacing Tanah dan Perakaran Tanaman Pagar terhadap
Porositas Tanah pada Sistem Budidaya Pagar. Skripsi. Jurusan Tanah, Univ
Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan).

Wirawati, I. 2003. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. {tidak


diterbitkan).

Wiro, A. 2005. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pola Agroforestry: Kasus di


Kecamatan Tondon Nanggaia, Tana Toraja. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB
Bogar. (tidak diterbitkan).

Wiyono. 2002. Perubahan Praktek Pola Tanam Petani di Wilayah Desa Kecamatan
Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY. Presiding Seminar Nasional
Agroforestry: Peranan Strategis Agroforestry dalam pengelolaan Sumber
Daya Alam Secara Lestari dan Terpadu bulan Sepetember 2002 di
Yogyakarta. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Yamika, W. S. D. 2003. Pendugaan Potensi Hasil Tanaman Jagung (Zea may L) pada
Sistem Agroforestri dengan Pohon Jati (Tectono grandis L) di Kalipare,
Malang. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak
diterbitkan).

~s3~
Yuliana, D. 2003. Pendugaan Potensi Produksi Tanaman-?adi Sa wah {Oryza sativa)
yang.Ditanam di antara Tegakan Pohon Jati (Tectona grandis L) pada Sistem
Agroforestri di Lodoyo, Blitar. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan).

Yuliansyah, D. Syukur, dan Ngatiman. 1998. Kemungkinan Pembudayaan Lebah


dalam Menunjang Agroforestri Masyarakat di Pedesaan di Kaltim. Prosiding
Agroforestri untuk Pembangunan Daerah di Kaltim. Him. 267-282.

r.:.e54~
IlL

Dll

Aspek lingkungan merupakan salah satu komporien yang mempengaruhi


agroforestri melaiui interaksi antara kondisi fisik mencakup keadaan sumber
daya alam beruiJ:a tanah, air; energi surya dan mineral dengan makhluk hid up yang
mencakup flora, dan mikroorganisme. Aktivitas agroforestri sendiri juga
memberikan dampak terhadap lingkungan baik positif maupun negatif. Beberapa
hasil penelitian yang terkait dengar: aspek lingkungan adalah dampak agroforestri
terhadap lingkungan serta dinamika pemanfaatan ruang.

Dampak

Penggunaan lahan berubah di Tenggara, dari hutan


menjadi sistem dengan tutupan berbagai jenis (Verbist et a/., 2004).
Dimana kondisi ekonomi dan ekologi mendukung .·~~::rta dibutuhkannya
produk, tegakan berbagai pepohonan dan keanekaragaman fungsi
kunci untuk mengembangkan agroforest(i (Reijntjes et al.,
satu sistem penggunaan lahan 1 agroforestri memberikan tawaran yang cukup
menjanjikan bagi pemulihan fungsi hutan yang hilang setelah dialih-gunakan.
Namun tidak semua fungsi yang hilang itu dapat dipulihkan melalui
penerapan agroforestri. Bahkan penerapan sistem agrof9restri mungkin
mengakibatkan dampak yang negatif (Widianto et.al., 2003). Hasil-hasil penelitian
terkait dengan dampak agroforestri terhadap lingkungan antara lain dampak
agroforestri terhadap sifat fisik tanah, seresah, unsur hara, siklus air, karbon,
keamekaragaman hayati, konservasi tanah dan air serta rehabilitasi.

1. Dampak Agroforestri terhadap


Tanah merupakan suatu sistem yang sangat kompleks yang dapat ditinjau
dari beberapa segi, yaitu fisik, kimiawi dan biologis. Tanah merupakan media yang
baik bagi perakaran tanaman, sebagai gudang unsur hara dan sanggup
menyediakan air serta udara bagi keperluan tanaman (Nawawi, 2001). Hasil
penelitian tentang dampak agroforestri terhadap tanah. meliputi kajian dampak
agroforestri terhadap sifat sifik tanah, dampak agroforestri terhadap seresah,
dampak agroforestri terhadap unsur hara serta dampak agroforestri terhadap
siklus air.

a. Dampak Agroforestri
Hasil penelitian tentang dampak agroforestri terhadap sifat fisik tanah
disajikan pad a Tabel 10.

~55o<?!
Tabe/10. Hasil penelitian dampak agroforestri terhadap sifat fisik tanah
No. lokasi Pol a Hasil Sumber
Agroforestri
1 Des a Agrisilvikultur Pola agroforestri di desa tersebut Rantealang
Barugae, memiliki struktur tanah yang (2003)
Kecamatan umumnya granuler dengan
Mallawa, permeabilitas bervariasi dari
Kabupaten rendah sampai agak · rendah,
Maras, porositas tanah semuanya bail<
Sulawesi dan memiliki konsistensi yang
Selatan tahan terhadap pengolahan.
Kedalaman solum berkriteria
sedang.
2 Kecamatan Agrosilvopast Pola agrosilvopastural Rauf {2001)
Sei Bingei, ural memberikan dampak positif bagi
Kuala, dan tanah, biomasa dan karbon
Salapian, tegakan
Kabupaten
Langkat,
Sumatera
Utara
3 Dusun Kebun Adanya pohon penaung dalam Hairiah et
Bodong dan campuran agroforestri berbasis kopi dapat a/. (2004a)
l Simpangsar berpengaruh langsung · dan tak
i, Lampung langsung terhadap kondisi fisik
Barat, tanah, biomasa/nekromasa, dan
~--~La_n_,lpu__n~g~~~--------~c_ac_in~g~----------------~--------~

Berdasarkan Tabel 10, tampak bahwa kegiatan agroforestri berpengaruh


terhadap sifat fisik tanah. Tingkat produktivitas tanah salah satunya dipengaruhi
oleh sifat fisik tanah sehingga pengolahan tanah yang bail< dan teratur dapat
meningkatkan kesuburan fisik tanah (Nawawi, 2001}.

b. Dampak Agroforestri Terhadap Seresah


Seresah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu sebagai '
lapisan bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah dan bahan-
bahan tumbuhan mati yang tidal< terikat lagi pada tumbuhan. Seresah merupakan
bahan organik yang mengalami beberapa tahap proses dekomposisi dan' dapat
menghasilkan zat yang penting bagi kehidupan terutama dalam peristiwa rantai
makanan (Arif, 2003 dalam Wijiyono, 2009}. Kajian tentang dampak agroforestri
terhadap seresah disajikan pada Tabel 11.

ro->56~
Tabelll.
No.
t.
1 Kebun Buah
Kecamatan campuran
Haruai,
Kabupaten

Barat,
Lampung

c.

bagian
dalam
dan melepaskan hara tersedia ke dalam tanah (Hairiah eta/.,2003). Kajian tentang
dampak agroforestri terhadap unsur hara disajikan pada Tabel12.

Tabel12. Hasil penelitian dampak agroforestri terhadap unsur hara


No. lokasi Pol a Hasil Sumber
Agroforestri
1 Lampung Agri- Pada agroforestri sekuensial, Van
silvikultur akar dapat meningkatkan Noordwijk
dan menangkap unsur hara dan
kemudian mentransfer ke Purnomosidhi
tanaman berikutnya meialui (1995)
kolam organik. Dalarn sistem
agroforestri aka r
pohon bersaing sumber
daya.
2 Mar.gkosuko, Agroforestri Lama penggunaan lahan Nirmalasari
Dampit, Berbasis untuk ~nanaman kopi (2003)
Malang, kopi dapat meningkatkan
Jawa Timur kandungan bahan organik
tanah akibat adanya
peningkatan prosentase
penutupan tajuk tanaman,
biomassa pohon dan
produksi berat kering akar
serta total nekromas
3 Daerah Agroforestri Jumlah gizi pada biomassa Agus et a/.
tropis Jenis Gmelina total per hektar adalah 67- (2003)
dengan 78 kg N, 27-33 kg untuk K,
leguminosa: 15 hlngga 23 kg untuk Ca, 2
anagyroides sampa.i 3 kg untuk Mg dan
Crotalaria (CA), 0,3 kg untuk Fe pad a 4 MAP.
Mucuna Nllai tersebut diharapkan
chochuchinensis mempengaruhi perbaikan
(MC) dan tanah pada hutan tanaman
caeruleum rotasi pendek.
Caiopogonium
(CC)

ro.-58~
Nawawi

pengurangan gas rumah


menyimpan karbon tidak sama baik di hutan
rakyat tergantung dari pohon,
Kehutanan, hasil
penyimpan karbon disajikan pada Tabel13.
Tabel13. Potensi agroforestri sebagai penyimpan karbon
No. lokasi Pol a Hasil Sumber
Agroforestri
1 Taman Agroforestri Pola agroforestri dengan Santo so
Nasional Dengan tanaman pokok kedawung, (2003)
Meru Betiri, tanaman pokok trembesi, pakem dan kemiri
Jawa Timur kedawung, memberikan potensi mitigasi
trembesi, sebesar 268 ton/C dan NPV
pakem dan sebesar 2458 US/ha dengan
kemiri menambahkan tanaman buah,
potensi mitigasi mengalami
peningkatan sebesar ?11 ton/C
dengan NPV sebesar 3346 US
S/C
2 Kabupaten Agroforestri Potensi karbon tumbuhan Rizon (2005)
Lampung berbasis Damar bawah dan seresah (kg/ha): dalam
Barat (Shorea lantai hutan yang tidak Balitbanghut
javanica) dibersihkan (1780,11), lantai (2010}
hutan dibersihkan {1139,81),
fase kebun tegakan umur 15th
(887,66), umur 7 th (965,84),
fase darak (965,84), tumbuhan
bawah tidak berkayu {30,54),
seresah (14,37)
Potensi karbon pada fase
repong damar (kg/ha}: tanpa
pembersihan tumbuhan
bawah (236.273,98L dengan
pembersihan t'umbuhan
bawah (244.734,24)
Potensi karbon pada fase
kebun (kg/ha): tegakan 15 th
(72.620,67L umur 7 th
(32.667,35)
Potensi karbon pada darak
(kg/ha): tegakan pancang:
1.986
3 Pulau Sawu .L;\groforestri Potensi karbon di P. Sawu dan Sundawati
dan Kab. Sukabumi berturut-turut eta/. (2009)
Kabupaten 65-116 ton/ ha dan 23-40 ton/
Sukabumi ha

Tabel di atas menunjukkan bahwa, agroforestri mempunyai potensi yang


tinggi untuk mengurangi karbon. Namun jika hutan alam dirubah menjadi
agroforestri sederhana dan agroforestri kompleks seperti di Kecamatan Ngantang,
Kabupaten Malang, Jawa Timur maka yang terjadi adalah penurunan cadangan
karbon masing-masing sebesar 80% dan 65% (Arifin, 2001).
3. Dampak Agroforestri terhadap Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman antar makhluk hidup
dari berb_agai sumber termasuk di antaranya daratan (terrestrial), perairan (marine)
dan ekosistem perairan ·lainnya; ini termasuk pula keanekaragaman dalam spesies,
antar spesies dan dalam ekosistem (Widianto et a/., 2003). Kegiatan agroforestri
berdampak terhadap keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna. Pola
agroforestri yang berbeda menunjukkan keanekaraga,man hayati yang berbeda
pula seperti hasil penelitian Guison et a/. (2004) di Su.mberjaya, Lampung yang
menyebutkan bahwa keanekaragaman hayati pada agroforestri kompleks lebih
tinggi dibandingkan pada agroforestri sederhana.
Hasil .penelitian Sibuea {1997) di Resort Pahmohan Krui, Lampung Barat
Sumatera menemukan sebanyak 7 spesies primata dan 3 famili (lorisidae,
cercophitidae, hylobatidae), jumlah yang terekam dari 5 spesies ·sebanyak 203
dalam 1000 ha area penelitian. Hendiyani et. a/. (2004) di kebun buah Desa
Gedam.baan, Kabupaten Pulau Laut, Kalimantan Selatan menemukan 29 jenis
tumbuhan berkhasiat obat dalam berbagai .atan pertumbuhan yaitu her'ba,
tumbuhan menjalar, epifit semai, perdu, tiang dan pohon. Pada petak pengamatan
I sebanyak 16 jenis; petak pengamatan II sebanyak 13 jenis; dan petak pengamatan
Ill sebanyak13. Nilai indeks kesamaan ditemukan petak I dengan II adalah 65%;
petak II dengan petak Ill adalah 55%; dan petak I dengan petak Ill adalah 60%.
Manfaat yang diambil dari tumbuhan obat antara lain dari daun, kulit, biji, buah
dan batang.
Hasil penelitian Waltert et a/. (2004) di Sulawesi Tengah, menunjukkan
bahwa kekayaan spesies menurun dari hutan alam dan hutan sekunder muda ke
sistem agroforestri dan budidaya tahunan. Komposisi jenis perlahan:-lahan berubah
dari hutan sekunder, sistem agroforestri, dan budaya tahunan. Pada sistem
agroforestri ditemukan hanya sedikit spesies pemakan buah-nectarivorous.

4. Dampak Agroforestri terhadap Konservasi Tanah dan Air (KTA)


Kegiatan agroforestri dengan berbagai bentuk dan pada berbagai kondisi
lahan menimbulkan dampak terhadap kondisi tanah dan air. Dampak tersebut
dapat berupa peningkatan atau penurunan erosi, limpasan permukaan, laju
i'Afiltrasi serta kualitas dan kuantitas air. Upaya konservasi tanah dan air diarahkan
untuk mencegah terjadinya erosi dan menjaga debit air. Seta {1991) menyatakan
bahwa usaha konservasi tanah dilakukan untuk mencegah kerusakan tanah akibat
erosi dan memperbaiki tanah-tanah yang rusak, juga menentukan kelas
kemampuan tanah dan tindakan yang diperlukan agar tanah dapat dipergunakan
seoptimal mungkin. Lebih lanjut Seta {1991) juga menyatakan bahwa usaha
kons~rvasi air dilakukan agar penggunaan air seefisien mungkin dan pengaturan
wa~tu aliran sehingga tidak terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim
kemarau. Beberapa hasil penelitian dampak agroforestri terhadap KTA disajikan
pada Tabel 14.
Tabel14. Dampak agroforestri terhadap KTA
No. lokasi Pol a HasH Sumber
Agroforestri
1 DAS Kebun Besarnya aliran permukaan dan Asdak et a/.
Citarum, campuran erosi dari sistem tanam campuran {2003)
Jawa Barat tanpa konservasi tanah dan air
memiliki nilai tertinggi, diikuti oleh
hutan tanaman Pinus merkusii,
dan sistem tanam campuran
dengan tihdakan konservasi tanah
dan air. Struktur kanopi menjadi
faktor penting yang menentukan
besarnya erosi.
2 Gunung Agrisilvi- Tingkat erosi termasuk ke dalam Supriyanto
Walat, kultur kategori tinggi karena tidak adanya (2009)
Sukabumi, teknik konservasi tanah. Rata-rata
Jawa Barat erosi pada slope 15-25% lebih
tinggi dibandingkan pada slope 0-
8% dan 8-15%.
3 Sub DAS Lau Agrisilvi- Pengalihfungsian lahan menjadi Barus {2010)
Biang(Hulu kultur lahan agroforestri berpengaruh
DAS terhadap besarnya erosi yang
Wampu), terjadi. Rata-rata yang terjadi
Sumatera menurut metode prediksi USLE
Utara sebesar 184,474 ton/ha/thn dan
pengukuran erosi dengan metode
Petak kecil diperoleh laju erosi
20,418 ton/ha/thn lebih kecil
dibandingkan dengan metode
USLE.
4 Dusun Agroforestri Limpasan permukaan dan hasil Widianto et
Bodong, Berbasis sedimen paling sedikit ditemukan a/. (2001)
Sum berjaya, kopi di lahan hutan, namun jika hutan
Lampung ditebang, erosi akan meningkat
luar biasa. Pertanaman kopi
monokultur ternyata tidak dapat
sepenuhnya menggantikan fungsi
hidrologi hutan walaupun kopinya
sudah berumur 10th.
5 Irian Jaya Agroforestri Pol a agroforestri ·berbasis tanaman Askin (2001)
Berbasis Casuarina oligodon di terbukti
Casuarina dapat · memperbaiki kesuburan
oligodon tanah dan mencegah erosi
6 Cianjur, Agrisilvi- pencemaran air dan eutrofikasi Sakamoto
Jawa Barat kultur terdeteksi di daerah hilir sebagai (2003)
akibat kegiatan pertanian pada
agroforestri di daerah hulu
Lanjutan Tabel14.
No. lokasi Pol a Hasil Sumber
Agroforestri
7 Des a Agroforestri Limpasan permukaan dan erosi lrsyamudana
'Sumberjaya, Berbasis tertinggi terdapat pa.da kopi (2003)
Lampung kopi monokultur yaitu 141,9 mm
(limpasan permukaan) dan 272,8 g
m-2 (erosi). Sedangkan limpasan
dan erosi terendah terdapat pada
sistem hutan yaitu 36,9 mm
(limpasan permukaan) dan 20,8 g
m-2 (erosi). Hal ini menunjukkan
bahwa fungsi hutan sebagai lahan
konservasi belum dapat digantikan
oleh sistem yang lain.
8 DAS Way Agroforestri Limpasan permukaan dan hasil Widianto et
Besai Berbasis sedimen paling sedikit terjadi di a/. (2004)
kopi lahan hutan alam dibandingkan
kebun kopi yaitu 27 mm, namun
semakin bertambah umur kopi,
hasil limpasan permu~aan dan
sedimen semakin berkurang.
Limpasan permukaan terbesar
diperoleh pada petak dengan
tanaman kopi berumur 3 tahun
(124 mm). Pada tanaman kopi
berumur lebih dari 3 tahun terjadi
penurunan limpasan permukaan.
DAS Agrisilvi- Sistem agroforestri berpengaruh Maryani
Sekampung kultur nyata terhadap · penutupan tajuk (2004)
Hulu di dan kedalaman tajuk serta
Kecamatan penutupan tanah. Limpasan
Air permukaan dan erosi terendah
Naningan, pada sistem agroforestri satu
Kabupaten tahun dijumpai pada sistem akasia
Tanggamus, monokultur yaitu 41.30 mm
Provinsi (limpasan permu!~aan) d.an 249 g
Lampung m-2 (erosi}. Pada umur empat
tahun . limpasan permukaan dan·
erosi terendah dijumpai pada
sistem mahoni+ubikayu yaitu 24
mm (limpasan permukaan) dan 85
g m-2 (erosi).
10 Dusun Agroforestri Tanaman kopi mampu menekan Dariah et a/.
Tepus dan Berbasis erosi sampai di bawah tingkat (2004)
Laksana, kopi erosi yang diperbolehkan.
Lampung

~64~
Lanjutan Tabel 14.
No. lokasi Pol a Hasil Sumber
" ·
Agr UIUit::::lol.ll
11 Desa Agroforestri Agroforestri Kopi yang kemudian Faridan &
Sumberjaya Berbasis dikembangkan masyarakat van
DAS Way kopi ternyata membuktikan tidak Noordwijk
Besai, membahayakan kelestarian fungsi (2004)
Lampung DAS di Sumberjaya.
12 Desa Karang Agrisilvi- Erosi terjadi karena teknis Banuwa et
Sakti, kultur pemanfaatan lahan yang tidak a/. (2009)
Lampung mengindahkan aspek konservasi
Utara tanah dan air, serta kelerengan.
Erosi pada pemanfaatan lahan
kering sebesar 15% lebih tinggi
dari TSL. Demikian pula dengan
erosi di lahan belukar dengan
kelerengan lebih besar 15%.
Sedangkan erosi pada hutan
sekunder yang dikelola · dengan
sistem agroforestri terbukti
erosinya lebih rendah dari TSL.
~--~--------~------------~----

Berdasarkan Tabel 14, terjadinya erosi, limpasan permukaan, dan degradasi


pada agroforestri disebabkan oleh tidak adanya teknik konservasi tanah dan air
serta terjadinya alih fungsi lahan di hulu DAS untuk kegiatan pertanian. Sedangkan
penerapan pola agroforestri yang sesuai, akan memberikan dampak positif bagi
perbaikan lingkungan.

Peran Rehabilitasi
Kegiatan rehabilitasi hutan merupakan berbagai kegiatan yang dilakukan
di sempadan sungai, kawasan pantai berhutan bakau dan hutan lindung yang
bertujuan untuk meningkatkan daya dukung lingkungan yang telah ru sak agar
dapat berfungsi dalam sistem produksi dan terpeliharanya kelestarian jasa-
jasa lingkungan hidup. Upaya tersebut me'ncakup · kegiatan penghijauan,
reboisasi, dan konservasi tanah dan air (Bappenas, 1997).
Kegiatan rehabilitasi melalui agroforestri terbukti efektif meningkatkan
daya dukung lingkungan seperti kegiatan rehabilitasi di DAS Sumberjaya,
Lampung, Sumatera dimana setelah fase degradasi hutan, rehabilitasi dapat
berjalan sejauh kondisinya mendukung. Dalam 15 tahun terakhir, semakin banyak
budidaya kopi yang semula berbentuk sistem monokultur, secara bertahap
berubah menjadi budidaya kopi campllran dengan pohon-pohon penaung (Verbist
eta/., 2004).
Kegiatan rehabilitasi di Kecamatan Walakaka, Kecamatan Katikutana,
Kecamatan Wewewa Timur, dan Kecamatan Wewewa Barat, dengan sistem kaliwu
yaitu bentuk pengelolaan lahan masyarakat yang bersifat turun temurun dan
terintegrasi di sekitar lokasi perkampungan penduduk dengan mengembangkan
berbagai jenis tanaman (kehutanan, pertanian, perkebunan, pakan ternak, dan
tanaman obat) terbukti mampu menunjang tata air dan memiliki keragaman jenis
tanaman yang tinggi (Njurumana dan Susila, 2006). Di Kupang, NTI, kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove membuat beberapa hewan laut seperti ikan, udang,
dan kepiting berkembang karena menggunakan mangrove untuk pemijahan dan
pembibitan (Njurumana et. a/., 2009). Kegiatan agroforestri berbasis MPTs di
Kecamatan lndrapuri, Aceh Besar dapat mengantisipasi Ia han terbuka menjadi kritis
lagi (Bukhari, 2009).

B. Agroforestri dan Dinamika Pemanfaatan Ruang

1. Agroforesatri dan Pemanfaatan lahan .


Lahan merupakan kesatuan berbagai sumberdaya daratan yang saling
berinteraksi membentuk sustu sistem struktural dan fungsional. Sifat dan perilaku
lahan ditentukan oleh macam sumberdaya dan interaksi yang berlangsung antar
sumberdaya (Notohadiprawiro, 1991). Hasil penelitian mengenai lahan disajikan
pada Tabel 15.

Tabel15. Hasil penelitian mengenai lahan pada agroforestri


No. lokasi Pol a Hasil Sumber
Agroforestri
1 Kecamatan Agroforestri Selama 30 tahun telah terjadi Verbist et a/.
Sumberjaya dan Berbasis perubahan tutupan lahan hutan (2004)
Way Tenong, kopi menjadi perkebunan kopi
DAS Way Besai, monokultur, perkampungan, dan
Lampung sarpras. Secara bertahap kebun
kopi monokultur berubah
menjadi agroforestri (kopi dan
pohon penaung Gamal dan
Sengon) dan agroforestri
komplek kopi multistrata (kopi,
kayu, lada, sayur, obat).
2 Des a Bodong Agroforestri Penutupan lahan meningkat Hariyanto
dan Berbasis dengan bertambahnya umur kopi (2004)
Simpangsari, kopi dan setelah tujuh tahun
Sumberjaya, peningkatan penutupan lahan
Lampung Barat, telah mampu menurunkan berat
Lampung kering gulma
3 Gunung Walat, Agrisilvi- agroforestri kompleks memiliki Maosur dan
Sukabumi, Jawa kultur penutupan lahan vertikal yang Mansur dan
Barat paling baik dibandingkan Siddik (2009)
agroforestri sederhana dan hutan
monokultur. Sedangkan
penutupan lahan horisontal pada
agroforestri kompleks dan hutan
monokultur memiliki nilai lebih
dari 100% dan agroforestri
sederhana hanya 35% ..

~66~
Lanjutan Tabel 15.
No. lokasi Pol a Hasil Sumber
Agroforestri
--
4 NTI Agroforestri Agroforestri lahan kering di NTI, Harisetijono,
La han dapat menggunakan Jems 1992
kering prioritas yang mampu menambat
nitrogen untuk meningkatkan
kesuburan tanah

Berdasarkan Tabel 3.6, terlihat bahwa dari waktu ke waktu telah terjadi alih
fungsi lahan hutan menjadi lahan usaha lain yang menyebabkan degradasi fungsi
hutan. Agroforestri merupakan sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat
ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih fungsi lahan
tersebut. ·

2. Penerapan Agroforestri
Pekarangan merupakan salah satu ruang terbuka di daerah perdesaan
berupa lahan terbatas di sekeliling rumah. Pekarangan merupakan salah satu
penerapan sistem agroforestri yang mengintegrasikan antara manusia, ternak dan
tumbuhan dalam satu sistem daur ulang. Pekarangan selain mempertahankan
stabilitas lingkungan secara berkelanjutan juga memberikan kontribusi ekonomi
dengan sedikit input (Octaviansyah, 2000). Hasii penelitian tentang lanskap
pekarangan disajikan pada Tabel 16.

Tabel16. Hasil penelitian tentang lanskap pekarangan


No. lokasi Hasil Sumber
1 DAS Citarum, Sub- Rata-rata luas pekarangan semakin kecil dengan Nurjanah
DAS Cisokan semakin tingginya altitude. Hal ini disebabkan et a/.
semakin ke atas, topografinya semakin tidak (1999)
rata. Korelasi positif terjadi antara luas total
tapak dengan luas pekarangan. Semakin besar
luas total tapak, semakin besar pula luas
pekarangan.
2 DAS Cisokan, Kondisi fisik dan topografi mempengaruhi ruang Octavia et
Kabupaten terbuka suatu pekarangan. Pekarangan bentuk a/. {2000)
Cianjur, Jaw a blok ditemukan di daerah pegunungan dan
Barat perbukitan bagian atas dan tidak beraturan di
wilayah datar bagian bawah
3 Kecamatan Terdapat variasi struktur vegetasi antara Poernomo
Samigaluh, struktur pekarangan dan tegalan, yaitu {2003)
Kabupaten Kulon pekarangan mempunyai struktur vegetasi yang
Pro go, Provinsi lebih kompleks dibandingkan dengan tegalan.
Daerah lstimewa Potensi lahan di pekarangan dan tegalan dapat
Yogyakarta dikembangkan dengan diversifikasi lahan, yaitu
antara lain dengan penanaman tanaman buah-
buahan dan perkebunan seperti durian, nanas,
cengkeh dan petaL

i'tF67eiQ!
lanjutanTabef 16.
No. lokasi Hasil Sumber
4 ~'Bogor, Jawa Barat Elem~n penyusun pekarangan terdiri at as Mugnisjah
berbagai jenis tanaman,. kolam, ikan hi as, et a/.
kandang, jalan setapak, lampu taman, tempat (2009)
jemuran, pagar, dan perkerasan. Elemen
tanaman lebih berfungsi estetika daripada
produksi (52-53% tanaman hias).

Berdasarkan Tabel 16, luas dan bentuk su~tu pekarangan dipengaruhi oleh
topografinya dan memiliki struktur vegetasi yang kompleks. Hal ini mengisyaratkan
bahwa karakteristik pekarangan menunjukkan keharmonisan lanskap dan manusia
dalam memenuhi kebutuhan pemilik, seperti makanan, energi, dan perlindungan
(Mugnisjah et a/., 2009}. Selanjutnya Mugnisjah et al. (2009) juga menyatakan
bahwa pekarangan merupakan sistem agroforestri. Sebagai sistem agroforestri,
dapat dilihat dari tingginya keragaman struktur tanaman secara horisontal dan
vertikal. Untuk mendukung sistem tersebut, elemen yang ada di pekarangan harus
diperhatikan. denganbaik sep.~ni .PeruiiLban tanaman, penempat'!n setia_g ele!Tlen, _
dan aspek keberlanjutan.

DAFTARPUSTAKA

Agus, C., 0. Karyanto, S. Hardiwinoto, K. Haibara, S. Kita, dan H. Toda. 2003.


Legume Cover .Crop as a Soil Amendment in Sho~t Rotation Plantation of
Tropical Forest. Journal of Forest and Environment 45(1): 13-19.
Ali, M,. dan H. S. Arifin. 2002. Struktur Lanskap Perdesaan di DAS Cianjur-Cisokan,
Citarum Tengah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian
lnstitut Pertanian Boger. Boger. (tidak diterbitkan).
Anwar. 1989. Efektifitas Semak dan Agroforestry di Desa Kadipaten (Sub DAS
Citanduy Hulu) dalam Memperkecil Aliran Permukaan dan Erosi. Buletin
Penelitian Hutan 51(1): 1-8.
Ari~in, H.S.,,K. Sakamoto and K. Takeuchi. 2001. Study of Rural Landscape Structure
Based on Its Different Bioclimatic Conditions in Middle Part of Citarum
Watershed, Cianjur District, West Java Indonesia. Proceedings of the 1st
Seminar JSPS-DGHE Core University Program in Applied Biosciences
lllfoward Harmonization Between Development and Environmental
Conservation in Biological Productionlll tanggal 21-23 Februari 2001 di
Tokyo. Him 99-~08. Japan Society for The Promotion of Science. Tokyo.
Arifin, J. 2001. Estimasi Cadangan Karbonpada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan
di Kecamatan Nganta.ng. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Malang~ (tidak diterbitkan).

&.-68""'ii
Asdak, C., K. Takeuchi and T. Tainura. 2003 Land Use Change and Its Impact on
Run-off and Erosion in the Upper Citarum Watershed, West Java, Indonesia.
Proceeding of the 2nd Seminar of Toward Harmonization Between
Development and Environmental Conservation in Biological Production
tanggal 15-16 Februari 2003 di Tokyo. JSPS-DGHE Core University Program.
Tokyo.

Askin, D. C. 2001. Use Casuarina Oligondon subsp. Abbreviata in Agroforestry in


The North Baliem Valley, Irian Jaya, Indonesia. Casuarina Research and
utilization. Abstrak Hutan dan Kehutanan. No 2 Agroforestry-3. Him. 213-
219. Pusdokinfo & Museum Taman Hutan Manggala Wanabakti. Jakarta.
Badan Litbang Kehutanan. 2010. Cadangan Karbon pada Berbagai Tipe Hutan dan
Jenis Tanaman . di Indonesia .. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perubahan lklim dan Kebijakan. Bogor. .

Banuwa, I.S. 2009. Efektivitas Hutan dalam Menekan Erosi di DAS Sekampung Hul~
Presiding Penelitian-penelitian Agroforestry di Indonesia tahun 2006-2009.
Universitas Lampung (Unila)-The Southeast Asian Network for Agroforestry
Education (SEANAFE)-The Indonesia Network for Agroforestry Education ·
(INAFE). Bandar Lampung.

Bappenas. 1997. Lingkungan Hidup, Penataan Ruang dan Pertanahan.


http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6459/. Diakses tanggal 15
Juli 2011.
Barus, H. P. 2001. Kajian Tingkat Bahaya Erosi pada Penggunaan Lahan Tanaman
Agroforestry di Sub DAS Lau Biang (Kawasan Hulu DAS Wampu}. Skripsi.
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. (tidak diterbitkan).
Bukhari. 2009. Desain Agroforestry pada Lahan Kritis (Studi Kasus di Kecamatan
lndrapuri, Aceh Besar). Tesis. Sekolah Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogar
(IPB). Bogar. (tidak diterbitkan).
Dariah, A., F. Agus, S. Arsyad, Sudarsono, dan Maswar. 2004. Erosi dan Aliran
Permukaan pada Lahan Pertanian Berbasis Tanaman Kopi di Sumberjaya,
Lampung Barat. Agrivita 26(1): 52-60.

Faisal, M. E., M. Aryadi dan A. Yamani. 2002. Produksi dan Kandungan Hara Seresah
pada Tegakan Kebun Buah di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong,
Kalimantan Selatan. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Lambung
Mangkurat. Banjarbaru. (tidak diterbitkan).
Faridan dan M. van Noordwijk. 2004. Analisis Debit Sungai Akibat Alih Guna Lahan
dan Aplikasi Model GENRIVER pada DAS Way Besai, Sumberjaya. Agrivita
26(1): 39-47.
Guison, A. N., N. Liswanti, S. Budidarsono, M. van Noordwijk dan T. P. Thmich. 2004
Impact of Cropping Methods on Biodiversity in Coffee Agroecosystems in
Sumatra, Indonesia. Ecology & Society 9(2): 7.

69
Hairiah, K., S. R. Utami, B. Lusiana dan M. van Noordwijk. 2002. Neraca Hara dan
Karbon dalam Sistem Agroforestri. Dalam: Hairiah K, Widianto dan Lusiana
B (eds). :2002. WaNuLCAS Model Simulasi untuk Sistem Agroforestri. World
Agrofo_restry Centre (ICRAF). Bogor.

Hairiah, K. D. Sup'rayogo, Widianto, Berlian, E. Suhara, A. Mardiastuning, R.H.


Widodoc, C. Pray~go, dan S. Rahayu. 2004~ Alih Guna Lahan Hutan Menjadi
Laha_n Agrofore'Stri Berbasis K~~'Jpi: Ketebalan Seresqh, Populasi Cacing Tanah,
.) f \

dan Makroskopis Taoah. Agrivita 26(1): 68-80.

Hairiah, K., C. Sugiarto, S.R. Utami, P. Purnomosidhi; J.M. Roshetk9. 2004. Diagf'1osis
Faktor Penghambat Pertumbuhan Akar Sengon raserianthes falcataria L.
Nielsen) pada Ultisol·di Lampung Utara. Agrivita (1): 89-98.

Hairiah, K. dan S. Rahayu. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam


Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre, ICRAF. Bogor.

Hanum, S.F. dan H.S. Arifin. 2002. Struktur Lanskap Perdesaan di DAS ~isadane
Belgian Atas Kab~paten Bogor (Studi Kasus Desa Sukajadi, Kecamatan Taman
Sari). Jurnalllmiah Pertanian Gakuryoku 8(2): 107-112.

Harisetijono ..1992. Strategi dan Perke.mbangan Penelitian AF La han Kering di .NTI.


Prosiding Seminar Nasion~l Status Silvikultur di Indonesia Saat lni. Him. 799-
814.
Hendiyani, 1.y., M; Aryadi, dan S.B. Peran. 2004. lnventarisasi Jenis dan Man.faat
Tumbuhan Obat di Kebun Buah D.esa Gedamba·an, Kabupaten Pulau Laut
Kalimantan Selatan._ Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Lambung
Mangkurat. Banjarbaru. (tidak diterbitkan).

lndriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

lrsyamudana, E. 2003. Dampak Kepadatan Penutupan Tanah dan Ketebalan


Seresah terhadap Limpasan Permukaan dan Erosi di Sumberjaya, Lampung.
Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak
diterbitkan).

Kaswanto, H S Arifin, A Munandar and K Liyama. 2004. Water Quality Performance


from the Upperstream to the Downstream in Cianjur Watershed. Makalah
International Seminar llJTowards Rural and Urban Sustainable Communities:
Restructuring Human l1l Nature lnteractionlZJ di Bandung.

Kaswanto. 2006. Pemulihan Ekonomi melalui Pengelolaan Lanskap Pedesaan. Radar


Bogor edisi 6 Maret 2006.

Khasanah, N. 2008. Potensial Air Daun dan Efisiensi Penggunaan Cahaya dalam
Sistem Karet (Hevea Brasiliensis) Monokultur dan Karet Campuran dengan
Akasia (Acacia mangium). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. (tidak
diterbitkan).
Klein, A.M., I. Steffan-Dewenter and T. Tscharntke. 2003a. Bee pollination and fruit
set of Coffea arabica and C. canephora {Rubiaceae). American Journal of
Botany 90: 153-157.

Klein, A. M., I. Steffan-Dewenter, and T.Tscharntke. 2003b. Pollination of Coffea


Canephora In Relation to Local and Regional Agroforestry Management.
Journal of Applied Ecology 40: 837.

Klein, A.M., I. Steffan-Dewenter and T. Tscharntke. 2004. Foraging Trip Duration


and Density of Megachilid Bees, Eumenid Wasps and Pompilid Wasps in
Tropical Agroforestry Systems. Journal of Animal Ecology 73: 517-525.

Lisdiyanta, T. 2004. Peran Serta Masyarakat Hulu dalam Membangun Mekanisme


Hubungan Hulu Hilir Pengelolaan DAS (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai
(DAS) Cidanau di Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang,
Propinsi Banten). Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta. {tidak diterbitkan).

Liverdi, L. 2008. Lebah Polinator Utama pada Tanaman Hortikultura. lptek


Hortikultura 4.

Mansur, I dan B. Siddik. 2009. Horisonta~ and Vertical Land Cover Profile of
Agroforestry System in Gunung Walat Ecucational Forest, Indonesia.
Technical Report Volume 2. IPB. Bogar.

Maryani, S. 2004. Studi Peranan Penutupan Lahan dalam Mengurangi Limpasan


Permukaan dan Erosi pada Berbagai Sistem Agroforestri. Skripsi. Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan).

Mugnisjah, W.Q. Nurfaida, dan P. Pujowati. 2009. Evaluasi Pekarangan sebagai


Sistem Agroforestri dan Permakultura. Presiding Penelitian-Penelitian
Agroforestry di Indonesia Tahun 2006-2009. Universitas Lampung (Unila)-
The Southeast Asian Network for Agroforestry Education (SEANAFE)-The
Indonesia Network for Agroforestry Education (INAFE). Bandar Lampung.

Nawawi G. 2001. Fungsi dan Manfaat Tanah dan Pupuk. Departemen Pendidikan
Nasional. Proyek Pengembangan Sistem dan Standar Pengelolaan SMK
Direktorat· Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta.

Nirmalasari, D. 2003. Pengaruh Lama Penanaman Kopi terhadap Sifat Fisik Tanah di
Perkebunan Komi Mangkosuko Dampit, Malang. Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya, Malang. (tidak diterbitkan).

Njurumana, G.N.D. dan I.W.W. Susila. 2006. Rehabilitasi Lahan Kritis melalui
Pengembangan Hutan Rakyat Berbasis Sistem Kaliwu di Pulau Sumba. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 3(1): 19-30.

Njurumana, G.N.D., E. Pudjiono dan Soenarno. 2009. Mangrove Forest


Rehabilitations Through Silvofishery. Procedings lnternasional Seminar
Research on Plantation Forest Management Challenges and Oppurtunities
tanggal 5-6 November 2009 di Bogar. Him. 417:421. Centre for Plantation
Forest Research and Development. Bogar. ·

~t~e71~
Notohadiprawiro T. 1991. Kemampuan dan Kesesuaian Lahan: Pengertian dan
Penetapannya. Makalah dalam Lokakarya Neraca Sumberdaya Alam
NAsional. DRN Kelompok 11-BAKOSURTANAL tanggal 7-9 Januari 1991 di
Bogor.

Nurjanah, S., H.S. Arifin, dan N.H.S. Arifin. 1999. Struktur dan Pola Pekarangan Khas
Perdesaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Sub-DAS Cisokan, Cianjur-
Jawa Barat. Skripsi. 'Program Studi Arsitektur Lanskap IPB. Bogar. (tidak
diterbitkan).

Octavia, M.H., H. S. Arifin, A. Munandar, dan K. Takeuchi. 2000. Landscape Ecology


of Typical Rural Home Gardens in Cisokan Watershed, Cianjur District, West
Java. Proceeding of Annual Worksop Ill RUBRD UT/IPB tanggal 12 December
2000.

Octaviansyah, M. H. 2000. Ekologi Lanskap Pekarangan Khas Perdesaan di Das


Cianjur, Jawa Barat. Tesis. Lanskap Arsitektur IPB. Bogar. (tidak diterbitkan)

Poernomo, D. H. 2003. Praktek Agroforestn di Samigaluh, Kulon Progo Daerah


lstimewa Yogyakarta. Presiding Seminar Nasional Peranan Strategis
Agroforestri dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Lestari dan
Terpadu tanggal 1-2 November 2002 di Yogyakarta. Him. 167-172. Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM). Yogyakarta.

Rantealang, M., A. Umar, dan S. Millang. 2003. Analisis Sifat Fisik Tanah pada
Beberapa Pola Agroforestri di Desa Barugae Kecamatan Mallawa Kabupaten
Maras. Skripsi. Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makasar. (tidak
diterbitkan).

Rauf, A. 2001. Kajian Sistem dan Optimalisasi Penggunaan Lahan Agroforestry di


Kawasan Penyangga TNGL, Langkat, Sumatera Utara. Tesis. Sekolah
Pascasarjana IPB. Bogar. (tidak diterbitkan).

Sakamoto, K. 2003. Landscape-Ecological Studies on Sustainable Bioresources


Management Systems in Rural Areas of West Java, Indonesia. Proceeding of
the 2nd Seminar of Toward Harmonization Between Developrpent and
Environmental Conservation in Biological Production tanggal 15-16 Februari
2003 di Tokyo. JSPS-DGHE Core University Program.. Tokyo.

Santoso, E. H. 2003. Analisis Potensi Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon.


Skripsi. Fakultas MIPA IPB. Bogar. (tidak diterbitkan).

Seta, A. K. 1991. Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air. Kalam Mulia. Jakarta.

Sibuea, T.T.H. 1997. Populasi dan Distribusi Primata dalam Kebun Damar di Resort
Pahmohan, Krui, Lampung Barat Sumatera. Biota 2{2): 88-95.

Sitompul, S.M. 2003. Radiasi dalam Sistem Agroforestri. World Agroforestry Centre
{ICRAF). Bogar.

Sulistyani H. 2004. Kecepatan Dekomposisi pada Sistem Hutan dan Sistem


Agroforestri Berbasis Kopi di Daerah Berlereng di Sumberjaya, Lampung
Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak
diterbitkan).

Sundawati, L. dalam Bintoro, A., Budiadi, B. Sulistiyawan, C. Wulandari, L.


Sundawati, N. Wijayanto, R. Qurniati. 2009. Potensi Agroforestri dalam
Penyerapan Karbon untuk Mengatasi Perubahan lklim Global. Presiding
Penelitian-penelitian Agroforestry di Indonesia tahun 2006-2009.
Universitas Lampung (Unila)-The Southeast Asian Network For Agroforestry
Education (SEANAFE)-The Indonesia Network For Agroforestry Education
(INAFE). Bandar Lampung.

Suprayogo, D., Widianto, B. Lusiana dan M. van Noordwijk. 2002. Neraca Air dalam
Sistem Agroforestri. Dalam: Hairiah K, Widianto dan Lusiana B (eds). 2002.
WaNuLCAS Model Simulasi untuk Sistem Agroforestri. World Agroforestry
Centre, ICRAF. Bogar.

Supriyanto. 2009. Monitoring of Erosion Plots in Several Agroforestry Sites with


Respects to Different Slopes and Vegetation Composition at Gunung Walat
Educational Forest. Technical Report Volume 2. IPB. Boger.

Supriyatna, U. 2011. Bentang Lahan (Landscape). Universitas Pendidikan Indonesia.


Bandung.

Sutaryo D. 2009. Penghitungan Biomassa. Sebuah Pengantar untuk Studi Karbon


dan Perdagangan Karbon. Wetlands International Indonesia Programme.
Tsuzuki, T., K. Sakamoto, H.S. Arifin, K. Sakaida and K. Takeuchi. 2001. Study of
Rural Landscape Structure Based on Its Different Bioclimatic Conditions in
Middle Part of Citarum Watershed, Cianjur District, West Java Indonesia.
Proceedings of the 1st Seminar JSPS-DGHE Core University Program in
Applied Biosciences rm-oward Harmonization Between Development and
Environmental Conservation in Biological Productionlll tanggal 21-23
Februari 2001 di Tokyo. Him 99-108. Japan Society for The Promotion of
Science. Tokyo.

Van Noordwijk, M. dan P. Purnomosidhi. 1995. Root Architecture in Relation to


Tree-Soil-Crop Interactions and Shoot Pruning in Aghroforestry.
Agroforestry Systems 30: 161-173.
Verbist, B., A.E. Putra, S. Budidarsono. 2004. Penyebab Alih Guna Lahan dan
Aklbatnya terhadap Fungsi Daerah Aliran Sungai {DAS) pada Lanskap AF
Berbasis Kepi di Sumatera. Agrivita 26(1}:29-38.

Wahyu P. 2003. lntersepsi Air Hujan Pada Tanaman Kopi di Perkebunan Margosuko
Dampit, Malang. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
(tidak diterbitkan).
Waltert, M., A.Mardiastuti dan M. Muhlenberg. 2004. Effects of Land Use on Bird
Species Richness in Sulawesi, Indonesia. Conservation Biology 18: 1339-
1346.
Widianto, D., Suprayogo, H. Noveras, R. H. Widodo, P. Purnomosidhi. 2004.
Konversi Hutan menjadi Lahan Pertanian: Apakah Fungsi Hidrologis Hutan
dapat Digantikan Sistem Kopi Monokultur?. Agrivita 26 (1}: 98-107.

Widianto, K. Hairiah, D. Suharjito dan M.A. Sardjono. 2003. Fungsi dan Peran
Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.

Wijiyono. 2009. Keanekaragaman Bakteri Seresah Daun Avicentia marina yang


Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas di Teluk Tepian
Nauli. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.
(tidak diterbitkan).

~74~
II

perkembangan riset agroforestri di


cukup dinamis mengikuti dinamika
sosial. Dinamika
turut mempengaruhi

Kearifan yang sudah demikian


menyatu serta diekspresikan di
lama (Noor dan
mencerminkan

pengelolaan zona
antara pengelola ·
sumber daya.
300.000 jiwa
penduduk kawasan
lindung dilakukan terhadap
masyarakat untuk Nasional melalui
(Cinnamomum bprmani).
masyarakat setempat tentang
keanekaragaman ilmuwan naturalis. Konsepsi petani
tentang antara hutan, mata air, dan sawah,
karen a pemenuhan kebutuhan
lahan pertanian di taman
dikembangkan untuk

Semerap pada tanah


produktif pada lahan
memastikan pembaruan ekologi
pada semak belukar menyesuaikan dengan
dengan keseluruhan sistem agroforestri
dianggap berharga oleh konservasionis
lahan oleh Suku lban memiliki latar belakang
penting bagi tujuan ekonomi
mempromosikan meningkatkan
keanekaragaman hayati.

Sistem Amarasi di
Penerapan pola agroforestri berbasis tanaman
mengatasi kendala biofisik di
produktivitas lahan pendapatan masyarakat.
merupakan sistem perladangan
tahun) dan dilakukan pada lahan padat lamtoro.
lahan yang diperlukan bagi pengembangan
terbagi menjadi 3 blok pengusahaan
pengusahaan setiap blok selama Sistem
berkembangnya 3 ekor sapi pedaging mencukupi
keluarga dengan anggota 4-5 /KK.

masyarakat yang memberikan keuntungan ekonomi,


Provinsi Maluku. Salampessy (2010) menyatakan
memperlihatkan kecenderungan individu yang
komersial untuk buah-buahan dan subsisten sayuran.
sebagai sistem pemanfaatan iahan dinilai tidak .-.n ..... ,,....,,..,.. hal ini berkaitan
produk~ivitas, keberlanjutan, ekuiti dan
kelembagaan berupa kejelasan hak terkait kepemilikan,
pengelolaan, tersedianya aturan, serta dihormatinya aturan main yang disepakati
bersama.

Agroforestri dengan Kilu


Masyarakat Papua di Lembah Baliem utara di
Jayawijaya menerapkan praktik agroforestri dengan menggunakan Casuarina
0/igodon subsp. Abrreviata yang dikenal dengan sebutan .Kilu. Kilu banyak tumbuh
di hutan di Kabupaten Jayawijaya dengan ketinggian ± m dpl. Kilu memiliki
banyak manfaat terutama untuk memperbaiki tanah dan
erosi. Selain itu kayu kilu dapat dimanfaatkan untuk bangunan, pembuatan
rumah tradisional, dan pagar. Limbah dari pengolahan kilu
gergaji, ranting-ranting/ dan daun belum banyak
Latupapua, 1993). Masyarakat Dani, sebagai penduduk utama daerah tersebut
biasa menanam Kilu di kebun-kebun baru. Limbah dari kayu merupakan limbah
kayu yang utama di Irian Jaya (Askin eta/., 2001).
B. Faktor

1. Persepsi, Motivasi, dan Sosial


Kotler (2000) menjelaskan persepsi sebagai proses bagaimana seseorang
menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-.masukan informasi untuk
menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Persepsi masyarakat tentang
sistem agroforestri akan mempengaruhi masyarakat dalam pengelolaan lahan yang
dikelolanya. Persepsi ini terbentuk dari pengetahuan yang dimiliki petani yang
dipengaruhi oleh lingkungannya. Mulyoutami et a/. (2004) menyatakan bahwa
petani Sumberjaya, Lampung memiliki pemahaman (pengetahuan lokal) mengenai
proses ekologi yang berkaitan dengan erosi dan pengelolaan lahan pertanian
berbasis kopi pada level plot (lahan sendiri). Pengetahuan tersebut diwujudkan
dengan m€1akukan teknik konservasi berupa sistem lubang angin, sistem teras,
gulud siring, strip dengan tanaman penutup dan dengan pohon pelindung. Dalam
pelaksanaan konservasi, masih menghadapi keterbatasan modal dan tenaga
kerja.
Penerapan agroforestri di lahan berbasis kopi ditandai dengan
penanaman tanaman buah, kayu dan legum multi guna sebagai tanaman
pelindung. Sebagian petani menganggap tanaman pelindu.ng memiliki manfaat bagi
konservasi tanah, nienaungi kopi, menjaga tanah dari hujan, menjaga suhu,
menambah kandungan hara, dan memberi penghasilan tambahan. Petani di
daerah hulu lebih banyak menerapkan pengetahuan/inovasi ekologi karena tinggal
di daerah yang berupa dataran tinggi daripada petani di daerah hilir. Lebih lanjut
menurut Mulyoutami et a/. {2004), petani Suku Jawa dan Sunda yang tinggal di
dataran tinggi lebih unggul dalam sistem intensifikasi lahan karena keterbatasan
lahan yang dimiliki daripada petani Suku Semendo (asli Sumatera Selatan) yang
merupakan penduduk pelopor.
Persepsi yang positif tampak pada petani yang mengelola hutan rakyat
dengan pola wanafarma (wanatani tanaman kayu dan tanaman obat-obatan) di
Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (Widyaningsih et a/., 2006). Persepsi positif
tersebut mempengaruhi sikap petani terhadap hutan rakyat, upaya rehabilitasi
lahan, dan sikapnya terhadap tanaman obat, yang secara umum tidak dipengaruhi
oleh karakteristik respondem baik berupa usia, pendidikan, tanggungan keluarga,
pengalaman usaha tani, dan jenis pekerjaan.
Persepsi seseorang tentang sesuatu akan mempengaruhi motivasinya,
termasuk dalam melakukan pengelolaan lahan. Petani mengelola lahan dengan
pola agroforestri karena %didorong motivasi ekonomi, ekologi, dan sosial budaya
sebagaimana tertera pada Tabel17.

me79~
Tabel17. Motivasi petani mengelola lahan dengan pola agroforestri
No. lokasi .Komoditi Hasil penelitian . Sumber
1 Kabupaten kayu bawang a. Penanaman kayu bawang Martin dan
Bengkulu (Disoxylum didorong motivasi ekonomi Febryano
Utara, molliscimum seperti orientasi komersial (2009)
Provinsi Bl) dan cadangan konsumsi kayu
Bengkulu untuk masa yang akan datang,
merasa puas dengan bisnis
kayu saat ini, dan melanjutkan
pemeliharaan pohon.
b. Motivasi yang untuk
menanam pohon, ditunjukkan
dengan usaha mengelola
lahan dengan ukuran yang
lebih luas.
c. Pendid;! formal yang lebih
rendah menyebabkan adanya
kecenderungan masyarakat
untuk melakukan aktivitas
tradisionalnya.
2 Des a Pekarangan a. Pengelolaan pekarangan Pujaningrum
Pecoro, dipengaruhi motivasi dan
Kecamatan ekonomi, motivasi ekologi, Wijayanto,
Rambipuji, dan motivasi sosial budaya. 2003
Kabupaten b. Tinggi rendahnya motivasi
Jember, dalam mengelola pekarangan
Provinsi dipengaruhi oleh luas lahan
Jawa Timur pekarangan, faktor usia, dan
tingkat pendidikan.

Motivasi masyarakat dalam mengelola ·Ia han termasuk di pekarangan akan


terliha_t pada perilaku sosial masyarakat dalam melestarikan sistem agroforestri di
pekarangan. Perilaku sosial masyarakat dapat diukur dengan lndeks Pt=nerimaan
Sosial (IPS), yang terdiri atas faktor partisipasi, nilai, da·n sikap. Wulandari dan
Budiono (2000} menunjukkan bahwa IPS berpengaruh nyata terhadap kelestarian
hasil dari pekarangan yang dikelola dengan menggunakan sistem agroforestri.
Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan di Provinsi Lampung menurut kajian
Wulandari dan Budiono (2000) secara keseluruhan mempunyai IPS = 60,52
(sedang), yang meningkat skornya menjadi 65,24 (sedang) (Wulandari, 2005).
Lebih lanjut menurut Wulandari (2005), program pembangunan kehutanan
harus memperhatikan IPS karena partisipasi, nilai, dan sikap masyarakat yang
merupakan penyusun IPS berpengaruh nyata terhadap adopsi agroforestri oleh
masyarakat di Provinsi Lampung. Berdasar kajian Budiono (2009}, skor IPS pada
masyarakat yang tinggal di sekitar hutan di Provinsi Lampung secara keseluruhan
menurun menjadi 63,35 {sedang). Hal ini menunjukkan perlunya pelatihan
terhadap masyarakat untuk memberdayakan diri agar skor IPS-nya meningkat,
meskipun dari segi kompetensi masyarakat menunjukkan bahwa perilaku sosial

ro-80~
masyarakat masih berpotensi untuk mengembangkan kelestarian pekarangan
melalui sistem agroforestri.
Penerimaan sosial menurut Martin et a/. (2010) juga berperan dalam
pemanfaatan lahan gambut di Kabupaten Ogan Komerin llir (Sumatera Selatan) dan
Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Jambi) melalui pembangunan HTR berbasis
agroforestri. Petani yang memiliki persepsi positif dan motivasi tinggi dalam
mengelola lahan dengan sistem agroforestri cenderung memiliki indeks
penerimaan sosial (IPS} yang tinggi pula terhadap sistem agroforestri.
Menurut Suharjito (2002a), pengembangan sistem agroforestri kebun-talun
merupakan wujud strategi adaptasi sosial kultural dan ekologi terhadap perubahan
lingkungan, yaknl peningkatan tekanan penduduk dan intervensi ekonomi pasar
yang terjadi pada aspek teknis dan organisasi sosialnya. Pada aspek organisasi
sosialnya, sistem pengelolaan kebun-talun mengalami perubahan, yaitu
pengembangan pola-pola hubungan sosial (social relations) dalam pengelolaan
kebun-talun. Pengembangan pola hubungan sosial dalam.pengelolaan kebun-talun
berkaitan dengan strategi adaptasi sosial kultural lainnya yang terjadi pada
pengaturan alokasi tenaga kerja dan pengembangan mata pencaharian
keluarga/rumah tangga. Pengaturan alokasi tenaga kerja keluarga/ rumah tangga
dimaksudkan untuk memperoleh akses pada beragam mata pencaharian. Akses
pada beragam mata pencaharian dicapai dengan cara membangun hubungan sosial
(social relations) dan jaringan sosial (social networks). Pengembangan pola
hubungan sosial dan pranata sosial dalam pengelolaan kebun-talun berimplikasi
pada penguatan solidaritas sosial antar lapisan· sosial pada tingkat komunitas
(Suharjito, 2002a).

2. Pola Adopsi dan Partisipasi


Adopsi dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik berupa
pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan {psychomotoric)
seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan. lnovasi adalah sesuatu ide,
perilaku, produk, informasi dan praktik baru yang belum banyak diketahui,
diterima, digunakan, dan· dilaksanakan oleh sebagian besar warga dalam suatu
lokalitas tertentu, yang dapat mendorong terjadinya perubahan di masyarakat
(Supriyanto, 2011). Lebih lanjut Supriyanto (2011) menyatakan bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi keberhasilan adopsi di bidang pertanian adalah
partisipasi petani dan masyarak,~t.
Sumarlin (1991) menyatakan bahwa tingkat partisipasi dan pola adopsi pola
agroforestri dalam Program Perhutanan Sosial di RPH Jeblogan, BKPH Clebung, KPH
Bojonegoro, Jawa Timur termasuk tinggi. Hal tersebut dipengaruhi adanya tingkat
keterikatan para pesanggem terhadap ikatan kontrak pesanggem dengan Perhutani
dan juga dipengaruhi oleh tingkat keunggulan relatif program.
Tingkat adopsi pola wanatani di RPH Dander, KPH Bojonegoro, menurut
Hariyono (2003) termasuk kategori sedang. Tingkat adopsi pola wanatani tersebut
dipengaruhi oleh beberapa sub variabel yaitu pemahaman kerjasama, cara
bercocok tanam, pemupukan, pemeliharaan, dan panen. Terdapat hubungan
positif antara sistem komunikasi dengan tingkat adopsi in·ovasi pola wanatani. Hal
tersebut terkait dengan faktor sumber, pesan, dan saluran yang mempunyai
korelasi dengan variabel tingkat adopsi inovasi. Selain itu juga dipengaruhi oleh
variabel perilaku petani yang dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan
keterampilan petani itu sendiri.
Proses adopsi inovasi agroforestri juga dilakukan oleh petani di Hutan
Pendidikan Gunung Walat (Sundawati dan Trison, 2009). Proses adopsi inovasi
dipengaruhi oleh faktor keuntungan, kecocokan budaya, dan komunikasi,
sedangkan faktor sosial ekonomi da~i petani tidak berpengaruh terhadap proses
adopsi. Penelitian di tempat yang sama dilakukan pada tahun 2006-2008 untuk
mengetahui tingkat adopsi petani pada pelatihan yang diikuti. Hasil kajian
menunjukkan bahwa level adopsi oleh petani masih terbatas pada pengetahuan
petani dan belum bisa diaplikasikan di lapangan (Trison eta/., 2009b}.
Tingkat adopsi sistem agroforestri juga dipengaruhi oleh adanya insentif
pasar. Hal ini terjadi pada tingkat adopsi penanaman pohon melalui sistem
agroforestri yang menyebabkan penyebaran agroforestri berbasis buah pada
pegunungan di Jawa (Suryanata, 1994). Perk'"::!Y1bangan agroforestri berbasis buah
tersebut tergantung pada ketersediaan lahan di masyarakat yang dipengaruhi oleh
kome~sialisasi dan perubahan hubungan sosial. Suryanata {1994) menyatakan
bahwa strategi penanaman yang diterapkan oleh pengelola sistem agroforestri
akan mempengaruhi kepemilikan lahannya.
Adanya pengadopsian pol a agroforestri · dalam pengelolaan Ia han oleh
masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat telah berpartisipasi dalam
mengembangkan sistem agroforestri. Partisipasi adalah keterlibatan aktif dan
bermakna dari massa penduduk pada tingkatan yang berbeda, seperti: (a) di dalam
proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan
dan pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan tersebut; (b)
pelaksanaan program dan proyek secara sukarela dan pembagian yang merata; dan
(c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program atau suatu proyek (Awang, 1999).
Partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam menjaga tanaman kadangkala
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kelestarian sumber daya alam
(Soetanto, 1981). Begitu pentingnya peran partisipasi masyarakat dan seluruh
stakeholder dalam kesuksesan sebuah program, .sehingga ·identifikasi jenis
partisipasi masyarakat harus dimasukkan dalam rencana penge.lolaan suatu DAS
(Gunawan eta/., 2003).
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan agroforestri menurut Winarto {2003)
dipengaruhi oleh berbagai faktor internal petani~ aspek kinerja penyuluhan, dan
dukungan sistem sosial kelompok. Kemudian menurut kajian Trison eta/. (2009a),
partisipasi masyarakat dalam kegiatan agroforestri dipengaruhi oleh faktor internal
yaitu pendidikan, tenaga kerja, dan motivasi serta faktor eksternal berupa
ketersediaan sarana prasarana, lingkungan fisik yang mendukung, dukungan
lembaga sosial, dan koperasi.
3. Pengambilan Keputusan
Proses pengelolaan hutan salah satunya dipengaruhi oleh pengambilan
keputusan masyarakat pengelolanya. Masyarakat di pesisir Krui, Lampung Barat
mengelola hutan yang secara umum terdiri dari ·tiga tahapan, yaitu dimulai dari
ladang, kebun, dan repong damar. Proses pengambilan keputusan para petani Krui
dalam konteks pengelolaan lahan hutan menurut Lubis {1997) dipengaruhi oleh
faktor-faktor ekonomi, ekologi, sosial, dan budaya. Kesinambungan pengelolaan
hutan secara lestari dengan sistem repong damar (damar agroforest} tergantung
kepada respon petani Krui terhadap dinamika hubungan antara empat faktor
tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Pada kasus masyarakat di daerah tangkapan hujan Danau Toba, Sumatra
Utara, pengambilan keputusan masyarakat lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi
berupa ketersediaan sumber-sumber input (Sipayung, 1998). Pencapaian tujuan
masyarakat dalam mengelola lahan menurut Sipayung (1998) terbatas oleh
beberapa hambatan seperti pengetahuan, tanah, modal, tenaga kerja, keamanan
modal, transportasi, pasar-pasar, serta resiko atau ketidakpastian. Dalam sistem
agroforestri tradisional, pemilihan jenis tanaman ditentukan oleh tujuan dari setiap
kegiatan pertanian, kepemilikan lahan, dan pemasaran. Petani lahan sempit
menggunakan lahan lebih intensif dengan penekanan pada tanaman semusim.
Seringkali pelaksanaan program penghijauan kurang memperhatikan keadaan
setempat, sehingga diperlukan desentralisasi serta peningkatan kuantitas dan
kualitas penyuluhan untuk dapat meningkatkan hasil.
Seperti halnya di Sumatera Utara, faktor yang mempengaruhi masyarakat
dalam pengambilan keputusan terkait pemilihan jenis tanaman di kebun talun,
yaitu faktor ekonomi (Suharjito, 2002b). Secara lebih spesifik, faktor ekonomi
tersebut berupa maksimalnya dan beragamnya hasil tana·man, kemudahan dalam
pemeliharaan dan pemasaran, kestabilan harga (orientasi produktivitas), kegunaan
untuk konsumsi keluarga dan dipasarkan, serta kontinuitas hasil (harian, bulanan,
tahunan). Febryano eta/. (2009) mengemukakan secara lebih detil tentang faktor
yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam memilih jenis tanaman
dan pola tanam. Pemilihan jenis tanaman dan pola tanam dipengaruhi oleh tujuh
alasan yaitu pendapatan tunai, kontinuitas produksi, masa tunggu, kemudahan
pemeliharaan dan penebangan, kemudahan setelah proses pemanenan, toleransi
terhadap jenis tanaman lain, dan kepastian penguasaan lahan. Wulandari (2010)
menyebutkan bahwa untuk kasus di Kabupaten Lampung Barat, lndeks Penerimaan
Sosial merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan,
selain juga dipengaruhi oleh Agroforestri-Farming lndeks.

4. Analisis Gender
Konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maup.un kultural. Ciri dari sifat
tersebut dapat dipertukarkan, bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari
temp at ke temp at lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang ·lain
(Fakih, 1996). Analisis gender dianggap sebagai suatu analisis baru dalam sejarah
pemikiran manusia tentang ketidakadilan sosial. Praktik agroforestri di beberapa

~83~
daerah tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki selaku kepala keluarga yang
bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Praktik
agroforestri juga dilakukan oleh kaum .perempuan sebagaimana tergambar dalam
beberapa penelitian tentang analisis gender.
Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan lahan turut memberikan
kontribusi dalam peningkatan pendapatan rumah tangga (Sajogyo, 1990}.
Peningkatan pendapatan dapat dilakukan melalui pengelolaan lahan pekarangan
yang dikelola dengan sistem agroforestri (Wulandari, 2001}. Tanah pekarangan
terutama yang dikelola dengan sistem agroforestri berpotensi tinggi untuk
meningkatkan kesejahteraa.n kehidupan petani gurem dan terpinggirkan.
Pemeliharaan pekarangan dilakukan oleh tenaga kerja keluarga, yang sebagian
besar melibatkan perempuan (75,09%}. Pengambilan keputusan untuk
meningkatkan hasil pekarangan didominasi oleh iaki-laki (suami}, istri hanya
memiliki kesempatan untuk menentukan peningkatan jumlah ayam (86,_78%}.
lndeks penerimaan sosial perempuan untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan sikap untuk meningkatkan . pekarangan di Provinsi Lampung
berada pada tingkat sedang (53,25}.
Terkait pengelolaan hutan melalui pola agroforestri, secara umum terdapat
pembagian peran antara perempuan dan laki-laki, meskipun peran utama masih
didominasi oleh laki-laki. Dominasi laki-laki terdapat pada kegiatan penyiapan
lahan, penanaman, dan penebangan. Dalam hal peran terkait akses dan kontrol
terhadap sumberdaya antara laki-laki dan perempuan, peran laki-laki lebih
dominan terkait kredit, teknologi produksi, dan tenaga kerja, sedangkan kaum
perempuan memiliki akses terhadap pasar dan harga-harga (Koesoemaningtyas et
a/., 2009}.
Pembagian peran laki-laki dan perempuan juga terdapat dalam pengelolaan
hutan rakyat kemiri (Aieurites moluccana wild) yang merupakan produk
agroforestri tradisional NTB (Wahyuningsih dan Latifah, 2010}. Peran petani kupas
kemiri laki-laki dan perempuan setara. .Peran perempuan lebih besar pada
teknologr pengolahan kemiri, sedangkan peran laki-laki lebih besar pada
sumberdaya lahan dan pemasaran termasuk informasi harga.
Pada kegiatan wanatani berbasis karet dengan program Rubber Agroforestri
System (RAS}, peran perempuan terbagi atas aktivitas produktif, aktivitas
reproduktif, dan aktivitas sosial-keagamaan (Roslinda, 2009). Curahan waktu kerja
perempuan pada aktivitas produktif terutama berupa penyadapan karet berkisar
459-997 jam/tahun (sedang). Kegiatan lain berupa okulasi karet dan penjualan
sayuran. Aktivitas reproduktif meliputi kegiatan rumah tangga dan kegiatan
pertanian yang tidak dimaksudkan untuk menghasilkan l!ang yaitu kegiatan tebas
tebang, bakar, perajiran, penanaman karet, pembuatan lubang tanam, pemupukan,
dan pembersihan barisan. Perempuan memiliki 100% akses pada sumberdaya fisik
yang terdiri dari tanah, ladang, kebun, rumah, pekarangan, modal, dan alat-alat ·
produksi. Untuk kontrol, perempuan memiliki 93% kontrol pada sumberdaya fisik
berupa tanah, ladang, kebun, serta 100% untuk modal dan alat produksi.

ro-.84~
C. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri di Indonesia

1. Kelembagaan dan Penerapan Kebijakan Terkait Sistem Agroforestri


Pengembangan agroforestri harus didukung oleh kelembagaan yang kuat.
Salah satu lembaga yang cukup berperan dalam pengelolaan hutan adalah lembaga
adat sebagaimana dijumpai pada pengelolaan hutan di Kabupaten Tana Toraja,
Sulawesi Selatan (Hadijah, 2000}. Masyarakat di Kabu.paten Tana Toraja yang
melakukan pengelolaan hutan di antaranya terdapat di Lembang (Desa} Turunan,
Kecamatan Sangalla dan Kecamatan london Nanggala.
Hutan rakyat di Lembang Turunan terbentuk secara turun temurun dalam
satu kekerabatan untuk mencukupi kebutuhan akan kayu bahan rumah adat
tongkonan, lumbung, dan lain-lain. Hutan rakyat yang ada dikelola dengan sistem
campuran berupa pola agroforestri tradisional dengan tanaman seperti cemara
gunung, aren, uru, buangin, sengon, bambu, durian, cengkeh, kopi, coklat, dan lain-
lain. Kondisi hutan rakyat di Lembang Turunan masih baik, tetapi dapat berkurang
karena kurangnya penana·man kembali, disebabkan masyarakat lebih memilih
menanam tanaman perkebunan yang lebih cepat menghasilkan. Hal ini
mengakibatkan adanya kecenderungan perubahan lahan dari hutan ke tanaman
perkebunan cukup tinggi.
Berbeda dengan di Lembang Turunan, hutan di Kecamatan Tondon
Nanggala merupakan hutan adat dengan jenis tanaman a,ren, bambu, uru, nibung,
nyatoh, agathis, kopi, coklat, durian, mangga, jambu, dan lain-lain. Kondisi hutan
adat ini cenderung mengalami kerusakan akibat pembabatan dan kebakaran.
Pengelolaan hutan baik di Lembang Turunan maupun Kecamatan london
Nanggala dipengaruhi adanya kelembagaan yang berperan yakni kelembagaan adat
yang menghuni tongkonan di Lembang Turunan dan pemerintah daerah, LSM,
kelom·pok adat, dan kelompok tani di Kecamatan london Nanggala. Untuk
mendukung pengelolaan hutan, Kabupaten Tana Toraja sudah mengeluarkan
kebijakan terkait kehutahan untuk pemanfaatan kayu dan pengelolaan hutan
rakyat, tetapi 'di era otonomi daerah, masyarakat menginginkan agar hutan dikelola
secara adat sesuai dengan kearifan lokal yang ada baik mengelola hutan maupun
sumber daya alam lainnya seperti air (Hadijah, 2000).
Peranaq kelembagaan adat dalam pengelolaan hutan juga dijumpai di
Dusun (Negeri) Liang, Salahutu, Maluku Tengah dan Negeri Werilama, Werinama,
Seram Bagian Timur (Ibrahim, 2008). Di Negeri Liang dan Negeri Werilama
terdapat dua sistem kekerabatan yaitu berdasarkan ma.ta rumah dan kelompok
soa, dengan aturan sasi hanya dilaksanakan di Negeri Liang. Hasil dari dusun yang
memiliki kontribusi besar terhadap pendapatan petani adalah cengkeh, sedangkan
jenis pohon yang mempunyai lndeks Nilai Penting (INP) paling tinggi adalah durian
(Ibrahim, 2008).
Sumarhani (2004) mengkaji kelembagaan yang berperan dalam program
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM merupakan suatu sistem
pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama masyarakat dengan jiwa ·
berbagi antara PT. PERHUTANI (Persero), masyarakat desa hutan, pihak yang
berkepentingan, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan

h>85~
fungsi dan manfaat sumber daya hutn dapat diwujudkan secara optimal dan
proporsional. Program ini di antaranya .dilaksanakan di Kabupaten Ciamis-RPH
Banjarsari, Kabupaten Sumedang-RPHTanjungkerta, dan Kabupaten Tasikmalaya-
RPH Cineam.
Pelaksanaan PHBM di RPH Banjarsari KPH Ciamis bertujuan untuk
merehabilitasi hutan akibat penjarahan. kayu sejak reformasi, sedangkan di RPH
.
Tanjungkerta KPH Sumedang bertujuan untuk merehabilitasi hutan akibat
~

pencurian dan kebakaran. PHBM diJakukan pada lahan garapan seluas 0,25 ha
dengan jenis tanaman Jati+sengon+tanaman pertanian (padi, jagung, pisang, cabe,
kacang) di RPH Banjarsari; pinus+vanili di RPH Tanjungkerta; dan jati+kapulaga di
RPH Cineam. Pelaksanaan PHBM selain memberikan pendapatan bagi
petani yang berasal dari bagi hasit juga menyebabkan masyarakat terlibat sebagai
mitra kerja yang aktif dalam menyumbangkan tenaga, dan modal, serta
mampu meredam penjarahan hutan besar-besaran.
Secara umum, pola PHBM dengan menerapkan sistem agroforestri
merupakan solusi untuk rehabilitasi lahan akibat penebangan liar atau
penjarahan melalui strategi kooperatif dengan melibatkan masyarakat secara aktif
dan menerapkan prinsip kesetaraan serta keterbukaan dalam pengelolaan sumber
daya hutan (Sumarhani, 2004). Pengembangan agroforestri selain· didukung oleh
kelembagaan yang kuat, juga harus didukung adanya kebijakan yang jelas dan
sesuai kondisi masyarakat.
Kebijakan dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam pengelolaan
sumber daya alam termasuk pengelolaan hutan dengan sistem agroforestri.
Sayangnya penelitian terkait kebijakan masih terbatas dilakukan. Hasil penelitian
Noorvitaastri dan Wijayanto (2003} menyatakan bahwa format sistem bagi hasil
dalam PHBM dengan sistem agroforestri di Desa Cileuya, Kabupaten Kuningan
dengan format 25% (masyarakat) dan 75% (PT Perhutani) lebih layak, adil dan ideal
layak daripada format 25% (masyarakat) : 75% (PT Perhutani), sebab BCR
masyarakat tidak jauh berbeda dengan PT Perhutani.
Penelitian kebijakan lainnya yang pernah dilakukan adalah analisis faktor-
faktor yang mendorong perubahan penggunaan Ia han yang berdampak pada fungsi
DAS pada sistem agroforestri kopi di Sumber Jaya, Lampung pada tahun 1990
(Bertomeu, 2006) dimana kecenderungan perubahan penggunaan lahan dianalisis
menggunakan peta penggunaan lahan (land use) secara ·time se~ies (tahun 1978,
1984, dan 1990), dan interpretasi citra satelit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
faktor kuat penyebab terjadinya deforestasi berasal dari luar sektor kehutanan,
yang mana lansekap agroforestri banyak berubah karena adanya pembangunan
PLTA. Oleh karena itu diperlukan dukungan kebijakan terhadap rencana tata ruang
dan wilayah agar lahan kehutanan tidak banyak dialihfungsikan ke penggunaan
yang lain.
Terkait alih fungsi penggunaan lahan, Otsuka et a/. (2001) menyatakan
bahwa terjadi ketidakamanan hak tanah adat df Sumatera yang mengarah pada
ketidakefisienan alokasi sumberdaya. Hak tanah adat di Sumatera berkembang
menjadi kepemilikan hak tanah yang lebih besar dikarenakan kelangkaan lahan.
Apalagi telah terjadi pergeseran tanah masyarakat menjadi kepemilikan individual

rue86~
pada distribusi tanah di Sumatera Barat. Sistem warisan mengalami perkembangan
dari sistem matrilineal yang ketat ke sistem yang lebih ega.liter di mana laki-laki dan
perempuan memperoleh warisan tanah untuk mengembangkan usahanya
(Quisumbing dan Otsuka, 2000).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Agroforestri di


Indonesia
Penyusunan kebijakan bidang agroforestri di suatu wilayah dipengaruhi oleh
tingkat keberhasilan praktik agroforestri di wilayah tersebut. Beberapa kondisi
praktik agroforestri di Indonesia tertera pada Tabel 18.

Tabel18. Faktor yang mempengaruhi praktik agroforestri di Indonesia


Pol a/
No. lokasi penelitian Sumber
komoditi
1 Kalimantan - Kondisi: Siahaya
Timur - pengembangan agroforestri (1988)
menemui banyak kes.ulitan
Faktor pendorong:
- daya tarik dan tekad tinggi dari
petani terhadap agroforestri
- tersedianya lahan untuk dimiliki
minimal2 ha
- penyuluhan intensif tentang
agroforestri
- pengawasan hutan secara
intensif
- tersedianya pasar hasil hutan
- tersedianya kredit
Faktor penghambat:
- perubahan penggunaan Ia han
dari pertanian menjadi
penggunaan lain

Apikultur Faktor pendorong: Yusliansyah


- tersedia_nya sumberdaya pol a eta/. (1988)
dan lebah madu
Lanjutan Tabel 18
Pol a/
No. lokasi Hasil penelitian Sumber
komoditi
2 NTT Lahan kering Kondisi: Harisetijono
- masyarakat mengalihkan sistem (1992)
usaha tani tradisional menjadi
usaha tani intensifikasi menetap
Faktor pendorong:
- ketepatan pemilihan jenis
(mampu menambat nitrogen
untuk meningkatkan kesuburan
tanah)
- sesuai dengan keinginan
masyarakat
- keterlibatan tokoh masyarakat
danaga~a------~--------4---------~
3 Hut an Ekoturisme Kondisi: Rohilah dan
Pendidikan agroforestri - petani sekitar mengembangkan Arifin (2002)
Gunung kegiatan agroforestri (rumah
Walat, kebun, kebun campuran, dan
Sukabumi, tumpangsari) di lahan milik dan
Jawa Barat kawasan hutan pendidikan
Faktor pendorong:
- pengunjung dapat terlibat
langsung · dalam kegiatan
agroforestri (persiapan lahan
sampai pengolahan hasil panen),
adanya potensi untuk
pengaturan ruang, hijau,
sirkulasi, dan fasilitas rekreasi
4 Pesisir Krui, Repong Kondisi: Wijayanto
Liwa, Bandar Damar - Repong damar me~punyai arti (2002)
Lampung dan peran sosial ekonomi yang
penting bagi petani
Faktor pendorong:
- institusi pewarisan masih
berfungsi
- jaminan keamanan ekonomi
rumah tangga
- infrastruktur jalan (lintas barat)
- industri ramah lingkungan
Faktor penghambat:
- organisasi masyarakat petani
belum berkembang
- ketidakpastian jaminan hukum
bagi penduduk atas kawasan
repong damar

~ss~
Lanjutan Tabel 18.
Pol a/
No. lokasi Hasil penelitian Sumber
komoditi
5 Sulawesi Kebun hutan Faktor pendorong: Brodbeck
Tengah tradisional - adanya kontribusi bagi dan
pol a pendapatan keluarga Mitlohner.
agroforestri - keanekaragaman tinggi (lebih {2003}
dari 120 jenis)
- menghasilkan beragam produk
untuk digunakan atau dijual
6 Sukabumi Serikultur Kondisi: Fauziyah dan
- serikultur sudah mulai Wijayanto
berkembang di Sukabumi (2003)
Faktor pendorong:
- Adanya kondisi alam (iklim,
tanah, dan topografi) yang
mendukung
Faktor penghambat:
- keterbatasan modal dan akses
7 lndramayu, Silvofishery Kondisi: Hartina et a/,
Jawa Barat - masyarakat mempraktikkan (2003)
silvofishery untuk merehabilitasi
lahan mangrove
Faktor pendorong:
- Keberhasilan petani dalam
mengelola parit
- Petani memahami cara
memberikan lingkungan yang
baik bagi akua-kultur dengan
mengorbankan mangrove
Faktor penghambat:
- adanya perbedaan kepentingan
tentang pola tanam yang ada,
sehingga kelestariannya masih
diragukan
8 Des a Kondisi: Oktora et
Selajambe - Adanya sumber daya lahan a/.(2003}
dan Desa pertanian
Galudra, Faktor pendorong:
Cianjur, Jawa - Adanya kapasitas untuk
Barat pengembangan ruminansia
9 Sukabumi Apikultur Faktor pendorong: Tanto dan
- Adanya potensi iklim mikro Wijayanto
(suhu 29°-36° C) yang sesuai (2003)
untuk kehidupan dan
perkembangan lebah madu

.Fr>e89~
Lanjutan Tabel.18.
Pol a/
No. lokasi Hasil penelitian Sumber
komoditi
10 BKPH Silvofishery Kondisi: Gunawan et
Ciasem, - Program silvofishery dengan a/. (2007)
Pamanukan pola empang parit menghasilkan
KPH 46% lapangan kerja baru bagi
Purwakarta peserta namun belum mampu
mengkonservasi mangrove
Faktor pendorong: -
Faktor penghambat:
- Rendahnya pemahaman petani
tentang pentingnya · mangrove
bagi produksi perikanan
- Perubahan bentuk dan kctmposisi
luas menjadi 20% mangrove, 80%
parit
- Program belum tepat sasaran
11 Sumedang Vanili dan Kondisi: Suharti
tanaman - Pola agroforestri dikelola (2007)
obat dengan mempertimbangkan
aspek biofisik lahan, sosial
Cianjur Vanili dan ekonomi masyarakat, teknik
tanaman budidaya, dan pasar
pangan di Faktor pendorong:
bawah - Sebagai sumber pendapatan
tegakan petani dan upaya peningkatan
Sukabumi Vanili dan produktivitas lahan
sayuran
12 Timor Barat HHBK (asam, Kondisi: Njurumana
kemiri, - ba·nyak terdapat komoditi HHBK dan
madu, Faktor pendorong: ButarButar
seedlak, - sebagai upaya peningkatan dan (2006)
minyak kayu diversifikasi pendapatan
putih, dan masyarakat
minyak
cendana)
13 Desa Bipolo, Silvopastura Kondisi: Njuramana
Kecamatan - dilakukan melalui sosialisasi dan dan Anwar
Sulamu, pembuatan .demplot yang sudah (2008)
Kabupaten dipraktikkan oleh kelompok tani
Kupang Faktor pendorong:
- adanya minat dan respon
masyarakat yang cukup tinggi

ro-90~
Lanjutan Tabel 18.
Pol a/
No. Lokasi Hasil penelitian Sumber
komoditi
14 Des a Oebola Agroforestri Kondisi: Matatula
Kecamatan silvopastura - agroforestri silvopastura telah (2009)
Fatuleu dipraktikkan oleh kelompok tani
Kabupaten dalam demplot.
Kupang Faktor pendorong:
- respon masyarakat terhadap
agroforestri silvopastura cukup
tinggi.
15 Gunung - Faktor pendorong: Wijayanto
Walat, - Faktor internal: luas Ia han, (2009)
Sukabumi, persepsi, umur, motivasi, tenaga
Jawa Barat kerja 1 dan status sosial
- Faktor eksternal: saran a
produksi, dukungan institusi
formal/non formal, aturan
perpanjangan, dan aturan tokoh
masyarakat
16 Nus a Aren Faktor pendorong: Sjah et a/.
Tenggara - kesesuaian Ia han dan iklim; (2010)
Barat ketersediaan SDM, praktik
pertanian, agroindustri, pasar;
dan banyaknya masyarakat NTB
yang menggunakan gula aren

Keberhasilan praktik agroforestri di masyarakat harus memperhatikan


swadaya dan penggunaan waktu luang masyarakat, salah satunya praktik
agrosilvopastura. Agrosilvopastura merupakan kombinasi antara komponen atau
kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan (Nair, 1987 dalam
Hairiah et a/., 2003}. Pola ini telah dikembangkan oleh masyarakat di Kabupaten
Ngada dan Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT (Nurak, 2002). Untuk
mengemb~ngkan pola ini, lembaga/instansi bersama petani lebih menekankan
pada pemilihan dan pengembangan teknologi · lokal yang sederhana, melalui
pengambilan keputusan yang demokratis dan memperhatikan swadaya
masyarakat.
Praktik agrosilvopastura juga telah dilakukan oleh keluarga pesanggem
peserta proyek Pengelolaan Hutan Jati Optimal (PHJO) di Dukuh Terso, Desa
Kandang Sapi, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah yang berada pada
wilayah kerja RPH Banyuurip, BKPH Tangen, KPH Surakarta. Proyek PHJO adalah
proyek yang dikembangkan Perhutani, selaku perusahaan hutan negara bekerja
sama dengan Universitas Gadjah Mada sejak tahun 1991 untuk menemukan solusi
terhadap keberhasilan pendirian hutan jati di Jawa yang berkaitan erat dengan
kondisi sosial dan ekonomi masyarakat desa yang tinggal di dalam dan di sekitar
hutan. Melalui proyek PHJO, petani hutan diberikan kesempatan untuk mengolah
andillahan selama daur pengelolaan jati.
Pola agrosilvopastura dapat digunakan sebagai alternatif pemanfaatan
waktu luang pesanggem karena membutuhkan waktu kerja yang relatif kecil tetapi
terdistribusi secara merata sepanjang tahun, daripada pola agrosilvikultural atau
kombinasi keduanya. Hadi {2003) menyatakan bahwa keluarga pesanggem masih
memiliki waktu luang yang dapat dimanfaatkan untuk mengelola lahan andil. Luas
lahan andil memberikan respon positif terhadap alokasi waktu kerja keluarga
pesanggem di lahan andil pada semua tipe pengelolaan yang dipelajari. Kesediaan
keluarga pesanggem untuk mengelola lahan andil tidak hanya karena keterbatasan
lahan garapan, tetapi juga dipengaruhi oleh motivasi tertentu dan keharmonisan
hubungan kerja antara pengelola hutan dan pesanggem.

3. Penyuluhan dan Pengembangan Masyarakat


Pengembangan masyarakat termasuk dalam pengelolaan agroforestri tidak
lepas dari peran penyuluh kehutanan dalam proses pendidikan masyarakat selaku
pengelola lahan hutan. Upaya penyuluhan merupakan salah satu jalan untuk
memberdayakan masyarakat. Radand;; .(2002) menyatakan perlunya
pendekatan masyarakat berupa strategi penyuluhan/ transfer teknologi dalam
mengembangkan sistem agroforestri. Strategi penyuluhan lebih efektif jika
dilakukan dalam bentuk nyata, seperti yang dilakukan di Pulau Sumba dengan
mengembangkan sistem wanatani melalui konservasi tanah dan air dengan
terasering menggunakan leguminose, pengembangan tanaman penutup tanah,
pagar hidup, membuat perangkap tanah, dan tanggul penghambat. Hal ini
dilakukan karena selama ini terjadi kemerosotan daya dukung lahan akibat sistem
perladangan berpindah dan sistem pertanian tradisional. Dalam melakukan
pengembangan masyarakat perlu adanya kepastian status pemilikan tanah dan
fasilitas yang memadai untuk mendukung keterampilan teknis petani.
Begitu pentingnya peran penyuluh dalam pengembangan masyarakat, maka
Muktasam eta/. {2003) mengembangkan model penyuluhan untuk Sasaran Khusus
Agroforestri di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Adapun model penyuluhan
yang efektif untuk sasaran khusus agroforestri di Kabupaten Bima ke depan adalah
model penyuluhan LAKU Partisipatif, yaitu kombinasi antara" model penyuluhan
sistem LAKU {Latihan dan Kunjungan) dan model penyuluhan Partisipatif yang
dikembangkan dalam program DAFEP (Desentralisasi Penyuluhan Pertanian dan
Kehutanan). Pelaksanaan penyuluhan agroforestri di Kabupaten Bima harus
dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut: 1) meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman petani dan keluarganya terhadap manfaat ekonomi
dan ekologi dari sistem agroforestri; 2) teradopsinya teknologi agroforestri dalam
sistem usahatani yang diselenggarakan oleh petan! dan keluarganya; 3)
meningkatkan produktivitas lahan (terutama lahan kering/miring) dan pendapatan
petani serta terpenuhinya kebutuhan pangan petani dan keluarganya dalam waktu
yang relatif singkat secara berkelanjutan, dan 4) terjadinya perbaikan mutu
sumberdaya lahan dan hutan.
Pola kelembagaan model penyuluhan sistem LAKU Partisipatif, meliputi:
lembaga penyuluhan di tingkat kabupaten, lembaga penyuluhan di tingkat
kecamatan (BPP/ Balai Penyuluh Pertanian}, dan lembaga penyuluhan di tingkat
desa (LPD/ Lembaga Penyuluh Desa). Dalam model ini, kelembagaan penyuluhan
pertanian di tingkat kecamatan, merupakan instalasi/sub ordinat dari kelembagaan
penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten dan menjadi basis bagi kegiatan
penyuluhan pertanian/agroforestri di Kabupaten Bima.
Model penyuluhan LAKU Partisipatif di Kabupaten Bima, akan berjalan
secara efektif dengan menggunakan beberapa strategi, antara lain: 1) strategi
optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. lahan/hutan; 2) strategi
peningkatan kapasitas dan keterampilan penyuluh lapangan dan penyuluh
swakarsa; 3) strategi penelitian dan pengembangan inovasi dan teknologi tepat
guna sistem agroforestri; 4} strategi revitalisasi dan penguatan kelembagaan
penyuluhan serta penataan dan penguatan kerjasama/kemitraan dengan lembaga-
lembaga terkait, dan 5} strategi kepastian dan jaminan hukum yang memberi ruang
bagi pengembangan sistem agroforestri.
Kajian tentang peran penyuluh terhadap pengembangan masyarakat juga
dilakukan oleh Noviana eta/. (2009). Kajian menunjukkan bahwa tingkat peranan
penyulun anggota KPPH Bina wana di Pekon Tribudisyukur, Kecamatan Sun:berjaya,
Kabupaten Lampung Barat tinggi dah tingkat kemampuan masyarakat dalam
mengelola kawasan juga tinggi. Terdapat hubungan antara peranan penyuluhan
dengan kemampuan masyarakat yaitu sebesar 0,421 yang berarti hubungan
tersebut saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Peranan dan
kemampuan tersebut dipengaruhi oleh faktor lain di luar metode, sarana
prasarana, dan materi yaitu tempat tinggal penyuluh dan kesamaan etnis antara
penyuluh dengan masyarakat sasaran, tingkat pendidikan masyarakat,
kelembagaan yang ada, kekomospolitan dan pendampingan dari beberapa LSM.
Penyuluhan dan pendampingan dalam pengembangan masyarakat untuk
melestarikan sumber daya alam perlu senantiasa dilakukan, apalagi menurut kajian
Siddik dan Juniarsih {2010) kesadaran masyarakat dalam melestarikan sumber daya
hutan masih kurang, seperti yang terjadi di kawasan hutan Gunung Rinjani Pulau
Lombok. Selama ini dalam pengelolaan hutan, masyarakat masih lebih
mementingkan kepentingan individu dan kepentingan jangka pendek sehingga

.
diperlukan penyadaran tentang kesadaran kolektif dan jangka panjang .

DAFTAR PUSTAKA

Askin, D.C., D.J. Boland, K. Pinyopusarerk. 2001. Use Casuarina 0/igondon subsp.
Abbreviata in Agroforestry in The North Baliem Valley, Irian Jaya, Indonesia.
Him. 213-219 (Abstrak).
Aumeeruddy, Y. 1994. Local Representations and Management of Agroforests on
the Periphery Kerinci Seblat National Park Sumatra, Indonesia. United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. People and Plants.
Working Paper 3, October 1994.
Awang. S. A. 1999. Pengembangan Hutan Rakyat di Jawa Tengah: Harapan dan
Tantangan. Jurnal Hutan Rakyat Volume 1(1): 1-13.
Bertomeu, M. 2006. Factors Driving Land Use Change: Effects on Watershed
Function in a Coffee Agroforestry System in Lampung, Sumatra. Small-Scale
Forest Economics, Management and Policy, 5(1): 57-82.
Brodbeck, F. and R. Mitlohner. 2003. The Potential of Agroforestry for the
Rehabilitation of Degraded Land in Central Sulawesi, Indonesia. Proceeding
lllTechnological and Institutional Innovations for Sustainable Rural
Development Deutscher Tropentag, October 8-10, 2003, Gottingen.
(Abstrak).
Budiono, P. 2009. Kompetensi perilaku sqsial masyarakat sekitar hutan dalam
melestarikan hutan lindung sistem agroforestry ·di Provinsi Lampung.
Prosiding Penelitian-penelitian Agroforestry di Indonesia tahun 2006-2009.
Him. 104-114. Universitas Lampung (Unila)-The Southeast Asian Network
for Agroforestry Education (SEANAFE)-The Indonesia Network for
Agroforestry Education (INAFE). Bandar Lampung.
Cornelissen, A.M.G., S. lfar, and H.M.J. Udo, 1997. The Relevance of Animal
Powerfor Land Cultivation in Uplm Hi Areas: A Case Study in East Java,
Indonesia. Journal of Agricultural Systems 54 (3): 271-289.

Fakih, M. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial cetakan ketiga 1999.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Fauziyah, E. and N. Wijayanto. 2003. Strategy of Nature Silk (Sericulture)
Development in Sukabumi, West Java. Skripsi. Fakultas Kehutanan, IPB.
Bogor. (tidak diterbitkan).
Febryano, I.G., D. Suharjito, dan S. Sudomo. 2009. Pengambilan Keputusan
Pemilihan Jenis Tanaman dan Pola Tanam di Lahan Hutan Negara dan Lahan
Milik: Studi Kasus di Desa Sungai Langka, Kecamatan Gedong Tataan,
Kabupaten Pesaweran, Lampung. Foru·m Pascasarjana IPB 32(2): 129-141.
Gunawan, B., K. Takeuchi, and O.S. Abdoellah. 2003. Challenge to Enhance People
Participation in Watershed Management: Response of the Fish Farmer
Community in Saguling Reservoir, West Java, Indonesia. Proceeding of the
2nd Seminar of Toward Harmonization between Development and
Environmental Conservation in Biological Production. 15-16 February 2003.
JSPS-DGHE Core University Program. (Abstrak).
Gunawan, H., C. Anwar, R. Sawitri, dan E. Karlina. 2007. Peranan Silvofishery dalam
Peningkatan Pendapatan Masyarakat dan Konservasi Mangrove di Bagian
Pemangkuan Hutan Ciasem-Pamanukan KPH Purwakarta. Info Hutan
Volume 4{2): 153-163.
Hadi, P., M.S. Sabarnurdin dan S. Hartono. 2003. Alokasi Waktu Pesanggem
Agroforestri dalam Proyek Pengelolaan Hutan Jati Optimal (PHJO) di
Taogen, Surakarta. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri: Peranan
Strategis Agroforestri dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Lestari
dan Terpadu di ·vogyakarta, tanggal 1-2 November 2002. Him. 213-226.
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

h>94~
Hadijah. 2000. Kelembagaan dan Kebijakan Pengelolaan Hutan dalam Otonomi
Daerah di Kabupaten Tana Toraja. Website: http://kelembagaandas.
wordpress.com/kelembagaan-pengelolaan-hutan/hadijah/. Diakses tanggal
15 Juni 2011.

Hairiah, K., M.A. Sardjono, dan M.S. Sabarnurdin. 2003. Bahan Ajar Agroforestri 1:
Pengantar Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF}. Bogor.
Harisetijono. 1992. Strategi dan Perkembangan Penelitian Agroforestri Lahan
Kering di ,NTT. Presiding Seminar Nasional Status Silvikultur di Indonesia
Saat lni tanggal 27-29 April1992 di Wanagama. Him. 799-814. (Abstrak). .
Hariyono, B. 2003. Tingkat Adopsi lnovasi Pola Wanatani (Agroforestry) pada
Pembuatan Tanaman Hutan (Kasus di Resort Polisi Hutan Dander Bagian
Kesatuan Pemangkuan Hutan Unit II Jawa Timur). Skripsi. Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak dit~rbitkan).
Hartina, M.S. Sabarnurdin, dan H. Supriyo. 2003. Kajian Pola Silvofishery untuk
Rehabilitasi Mangrove. Kasus Desa Cemara, lndramayu. Makalah dalam
Presiding Seminar Nasional Agroforestry lllPeranan Strategis Agroforestry
dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Secara Lestari dan Terpadulll di
Yogyakarta, September 2002. Him. 173-182. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

Ibrahim, El. 2008. Keragaan Kelembagaan Adat Agroforestry Dusun (Studi Kasus
Negeri Liang, Salahutu, Maluku Tengah dan Negeri Werilama, Werinama,
Seram Bagian Timur). Skripsi. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. (tidak
diterbitkan).
Iskandar, J. 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus di Daerah Baduy,
Banten Selatan, Jawa Barat. Djambatan. Jakarta.
Iskandar, J. 2002. Agroforestri sebagai Budaya Asli Indonesia: Studi Kasus dari
Baduy, Banten Selatan. Seminar Nasional Peran Agroforestri dalam
Penggunaan Lahan Berkelanjutan dan Prospek Pengembangan Program
Studi lnternasional Agroforestri. Balairung
Abdul Muis Nasoetion-Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Koesoemaningtyas, T., H. Puspitawati, dan T. Herawati. 2009. Gender Roles of
Farmer Families in Vegetable Agro Forestry System (A Case Study At
Nanggung Sub District, Bogor District, West Java Province). Indonesian ·
TMPEGS SANREM-CRSP. Bogor. Him. 250-265.
Kotler, P. 2000. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and
Control 9th edition. Prentice Hall International. New Jersey.
Lubis, Z. 1997. Repong Damar: Kajian tentang Pengambilan Keputusan dalam
Pengelolaan Lahan Hutan di Pesisir Krui, Lampung Barat. Working Paper No.
20. CIFOR. Bogor.
Martin, E. dan I. G. Febryano. 2009. Motivasi dan Karakteristik Sosial Ekonomi
Rumah Tangga Penanam Pohon Penghasil Kayu Pertukangan: Kasus Tradisi

95
Menanam Kayu Bawang (Disoxylum molliscimum 81} oleh Masyarakat
Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu. Prosiding Penelitian-penelitian
Agroforestry di Indonesia tahun 2006-2009. Him. 84-97. Unila-SEANAFE-
INAFE. Bandar Lampung.

Martin, E., B. Winarno, I. <D. Febryano, dan A. C. lchsan. 2010. lnsentif Pemungkin
Aksi Kolektif Pembangunan HTR Berbasis Agroforestri: Pelajaran Dari Kasus
Pemanfaatan Lahan Gambut. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri II
ll!Perluasan Promosi !groforestri dalam Mendukung Mitigasi Perubahan
lklim di !sia Tenggaralll tanggal 27 Januari 2010 di Mataram; Him; 1.75-191.
Universitas Mataram- Universitas Lampung-The Southeast Asian Network
for Agroforestry Education (SEANAFE)-The Indonesia Network for
Agroforestry Education (INAFE). Bandar Lampung ..
Matatula, J. 2009. Upaya Rehabilitasi Lahan Kritis dengan Penerapan Teknologi
Agroforestry Sistem Silvopastura di Desa Oebola Kecamatan Fatuleu
Kabupaten Kupang. lnfotek 13{1): 63-74.

Muktasam, Amiruddin, Syarifuddin, dan Sauqi. 2003. Pengembangan Model


Penyuluhan Sasaran Khusus Agroforestri di Kabupaten Bima. Laporan
Penelitian Pusat Kajian Sumberdaya Kehutanan hal. 79. Fakultas Pertanian
Universitas Mataram. Mataram.
Mulyoutami, E., E. Stefanus, W. Schalenbourg, S. Rahayu & L. Joshi. 2004.
Pengetahuan Lokal Petani dan lnovasi Ekologi dalam Konservasi dan
Pengolahan Tanah pada Pertanian berbasis Kopi di Sumberjaya, Lampung
. Barat. Agrivita 26 (1): 98-107.
.
Murniati, D.P. Garrity & A.N.G. Ginting. 2001. The Contribution of Agroforestry
Systems to Reducing Farmers Dependence on Th.e Resources of Adjacent
National Parks: A Case Study From Sumatra, Indonesia. Agroforestry
Systems 52: 171-184.

Njuramana, G.ND. dan C. Anwar. 2006. Persepsi Masyarakat dalam Rehabilitasi


Hutan Mangrove berbasis Silvofishery di Desa Bipolo, Kabupaten Kupang.
Prosiding Cendana untuk Rakyat ll!Pengembangan Tanaman di Lahan
Masyarakatlll tanggal 19 Desember 2006 di Denpasar. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Njurumana, G.N.D. dan T. ButarButar. 2006. Prospek Pengembangan Hasil Hutan
Bukan Kayu Berbasis Agroforestry untuk Peningkatan dan Diversifikasi
Pendapatan Masyarakat di Timor Barat. Info Hutan 5(1): 53-62.

Noor, M & A. Jumberi. 2011. Kearifan Budaya Lokal dalam Perspektif


Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. 10 hlmn.
http://balittra.litbang.deptan.go.id/lokai/Kearipan-1%20M-Noor.pdf.
Diakses tanggal 22 September 2011.
Noorvitaastri, H. dan Nurheni, W. 2003. Format Sistem Bagi Hasil dalam
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dengan Sistem Agroforestry.
Jurnal Manajemen Hutan Tropika 9(1): 37-46.

96
Peranan Peny~:-~luh Kehutanan dalam
Pengelola Lahan Hutan Kemasyarakatan
Agroforestry sebagai Suatu Upaya Pemberdayaan
pada Anggota KPPH Bina wana di Pekon
Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat). Presiding
.,..,.1"\,.,..,r,~c..rli'"\1 di Indonesia tahun 2006-2009. Him. 160-

SEANAFE- INAFE. Bandar Lampung.


dan Masyarakat dalam Pengembangan Wanatani
Yayasan Mitra Tani Mandiri. Prosi9ing
Tenggara tanggal 11-14 November 2001 di
dan Winrock lnternasional. Bogar.

S. S. Mansjoer. Plants Feed Potential in Three


oaan ..... ,, (Case Study at Selajambe, Mangunkerta and.

Proceeding of the 2nd Seminar of Toward Harmonization


Environmental Conservation in Biological
2003. JSPS-DGHE Core University Program.

Sonobe dan T.P. Tomich. 2001. Evolution of Land Tenure


Institutions and Development of Agroforestry: Evidence from Customary
Agricultural Economics 85-101.

Motivasi Petani dalam Mengelola Lahan


Sistem Wanatani di Desa Pecora, Kecamatan
Propinsi Jawa Timur. Skripsi. Fakultas
(tidak diterbitkan).
Quisumbing, A.R. dan K. 2000. Changing Patterns in the lntrahousehold
Distribution of Land Inheritance and Schooling The Case of Matrilineal
Communities in Strengtening Development Policy through Gender
Analysis: Multicountry Research Program. (Abstrak).

Usaha Lebah Madu dalam Memberikan Tambahan


pada Masyarakat Sekitar Hutan di Propinsi
Seminar Nasional !groforestri II rnPerluasan Promosi
..,. ... .,...,,T ...... v·aC" ..·r• dalam Mendukung Mitigasi Perubahan lklim di !sia Tenggararn
qi Universitas Mataram. Him. 21-28. Universitas
Mataram- Universitas Lampung-The Southeast Asian Network for
Agroforestry (SEANAFE)-The Indonesia Network for Agroforestry
Education (INAFE). Bandar Lampung.
Radandima, U. Pengembangan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam melalui . Pengalaman Yayasan Tananua Sumba.
Presiding Tenggara, di Denpasar Bali, tanggal
11-14 November 73-86. ICRAF dan Winrock lnternasional.
Bogar.
Rohilah, E. and H.S. Arifin. 2002. The Potency of Agroforestry Tourism in
Educational Forest of Gunung Walat, Sukabumi, West Java. Skripsi. Fakultas
Kehutanan, IPB. Bogor. (tidak diterbitkan).
Roslinda, E. 2009. Peranan Perempuan dalam Usaha Konservasi Hutan pada Sistem
Wanatani berbasis Karet. Presiding Penelitian-penelitian Agroforestry di
Indonesia tahun 2006-2009. Him. 39-50. Unila- SEANAFE- INAFE. Bandar
Lampung.
Sajogyo, P. 1990. Peranan Wanita dalam Perhutanan · Suatu Studi lntegrasi
,
Wanita dalam Pembangunan Kehutanan
Kehutanan Indonesia 39: 30-35.
.
Tinggal Landas.

Salampessy, M L. 2010. Performansi Dusung sebagai Satu Sistem Agroforestri


Tradisional {Studi Kasus pada Desa dan Desa Amahusu Kota
Ambon Propinsi Maluku). Presiding Agroforestri Tradisional di Indonesia.
Desember 2010 di Bandar Lamp~ng. Unlla-INAFE-SEANAFE-Ford
Foundation-FKKM. Bandar Lampung.
Seponada, F. 2010. Repong Damar Nasibmu Kini. Website:
http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/13/repong-damar-nasibmu-kini/.
Diakses tanggal11 Juli 2011.
Siahaya, J. 1988. Pengembangan Sistem Agroforestri di Kalimantan Timur. Presiding
Agroforestri untuk Pengembangan Daerah di Kalimantan Timur tanggal
21 September 1988. Him. 17-27. (Abstrak).

Siddik, M. dan N. Juniarsih. 2010. Perilaku Ekonoml dan Kesadaran Masyarakat


dalam Melestarikan Sumber Daya Hutan di Kawasan Hutan Gunung Rinjani
Pulau Lombok. Makalah dalam Presiding Seminar Nasional Agroforestri II
ll!Perluasan Promosi !groforestri dalam Mendukung Mitigasi Perubahan
lklim di !sia Tenggaralii di Universitas Mataram 27 Januari 2010; Him; 175-
191. Universitas Mataram- Universitas Lampung-SEANAFE-INAFE. Bandar
Lampung.
Sipayung, W. 1998. Suatu Study Kasus Mengenai P.engembangan Wanatani pada
Daerah Tangkapan Hujan Danau Toba, Sumatra Utara. Buletin Penelitian
Kehutanan Pematang Siantar 13 (4}: 359-373.
Sjah, T., B. Setiawan, dan A.C. lchsan. 2010. Potensi, Pendukung dan Penghambat
Pengembangan Aren di Nusa Tenggara Barat. Presiding Semi,nar Nasional
!groforestri II ll!Perluasan Promosi !groforestri dalam Mendukung Mitigasi
Perubahan lklim di !sia Tenggara!ll di Universitas Mataram 27 Januari 2010
Him. 29-39. Universitas Mataram- Universitas Lampung-SEANAFE-INAFE.
Bandar Lampung.
Soetanto, S. 1981. Agroforestry sebagai Suatu Usaha Melestarikan Sumberdaya
Alam. Majalah Lingkungan dan Pembangunan 1 (3-4): 111-117.
Subowo, VB & HJD. Latupapua. 1993. Budidaya Jamur Edible di Wamena Irian Jaya.
Presiding Seminar Hasil Litbang SOH 14 Juni 1993. Him. 220-226.

98
elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../9189/9189.pdf.
Diakses tanggal 22 September 2011.

Suharjito, D. 2002a. Kebun-Talun: Strategi Adaptasi Sosial Kultural dan Ekologi


Masyarakat Pertanian Lahan Kering di Desa Buniwangi, Sukabumi, Jawa
Barat. Disertasi. Universitas Indonesia. Depok. (tidak diterbitkan).
Suharjito, D. 2002b. Pemilihan Jenis Tanaman Kebun Talun: Suatu Kajian
Pengambilan Keputusan oleh Petani. Jurnal Manajemen Hutan Tropik 3(2):
47-56.

Suharti, S. 2007. Pola Pemanfaatan Lahan dengan Aneka Usaha Kehutanan (AUK} di
Jawa Barat: Studi Kasus di KPH Sumedang, Cianjur, dan Sukabumi. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 4(3): 301-313.
Sumarhani. 2004. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat: Sebagai Solusi
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Di KPH Ciamis1 KPH Sumedang, dan KPH
Tasikmalaya). Presiding Ekspose Penerapan Hasil Litbang Hutan dan
Konservasi Alam di Palembang, tanggal 15 Desember 2004 Him. 91:-100 .
.P3HKA. Bogor.
Sumarlin, W. 1991. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi dan Tingkat Adopsi
Pola Agroforestry oleh Anggota Kelompok Tani Hutan dalam Program
Perhutanan Sosial di RPH Jeblogan, BKPH Clebung, KPH Bojonegoro, Jawa
Timur. Perum Perhutani. Jakarta.
Sundawati, L. 1995. Sistem Kebun Dayak di Kalimantan: An Agroforestry Model
(Sistem Kebun Suku Dayak di Kalimantan B~rat: Suatu Model Agroforestry).
Jurnal Manajemen Hutan Tropika 1 (1): 33-41.
Sundawati, L. dan S. Trison.2009. Study on The Adoption Process of Agroforestry
Innovation of Farmers in Gunung Walat Educational Forest. Technical Report
volume 1/2009 halaman 17-20.
Supriyanto. 2011. Adopsi Teknologi Pakan Ternak.
http://kp4kkulonprogo.blogspot.com/2011/01/adopsi-teknologi-pakan-
ternak.html. Diakses tanggal 22 September 2011.

Surata, I.K. 1993. Amarasi System: Agroforestry Model in The Savana of Timor
Island Indonesia (Sistem Amarasi: Model Agroforestry di Lahan Savana
Pulau Timor/ Indonesia). Majalah Savana 1993. (Ab~trak).
Suryanata, K. 1994. Fruit Trees Under Contract: Tenure and Land Use Change in
Upland Java, Indonesia. Journal of World Development 22 {10): 1567-1578.
Tanto, M.L. and N. Wijayanto. 2003. Strategy of Honeybee (Apiculture) Enterprise
Development. Skripsi. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. (tidak diterbitkan).
Trison, S., D. Darusman, L. Sundawati, dan Sumardjo. 2009a. Development of
Community Participation in Forest Rehabilitation (Case Study at Gunung
Walat Educational Forest). Technical Report volume 1/2009: 1-11.

99
Trison, S., D. R. Nurrochmat, dan L. Sundawati. 2009b. Training Effectiveness of
Agroforestry Farmer in Gunung Walat Educational Forest, Sukabumi.
Technical Report volume 3/2009: 23-28.
Utami, D., 0. Satjapradja, & T. Susdiyanti. 2003. Dampak Pengembangan Repong
Damar terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan Studi Kasus di
Hutan Adat Desa Pahmungan, Krui, Lampung Barat. Skripsi. Fakultas
Ketiutanan Universitas Nusa Bangsa. Bogor. (tidak diterbitkan).
Wadley, R. L. & C. J. Pierce Colfer. 2004. Sacred Forest, Hunting, and Conservation
in West Kalimantan, Indonesia. Human Ecology: An Interdisciplinary Journal
32:313-338.
Wahyuningsih, E dan S. Latifah. 2010. Prospek Pengembangan Pengusahaan HHBK
Kemiri (Aieurites moluccana wild) Produk Agroforestri Tradisional NTB.
Presiding Agroforestri Tradisional di Indonesia, Desember 2010 di Bandar
Lampung. Him. 181-193. Unila-INAFE-SEANAFE-Ford Foundation-FKKM.
Bandar Lampung.
Widyaningsih, T.S., D. Diniyati & E. Fauziyah. 2006. Kajian Persepsi dan Sikap Petani
terhadap Hutan Rakyat Pola Wanafarma. Presiding Konsultasi Publik
lllPelibatan Masyarakat dalam Rehabilitasi Lahan Kritis mendukung
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, tanggal 8 Agustus 2006 di Bandung.
Him 164-181. Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis dan Proyek ITTO PO
271/04 Rev. 3 (F) ITIO. Ciamis.
Wijayanto, N. 2002. Analisis Strategis Sistem Pengelolaan Repong Damar di Pesisir
Krui, Lampung. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 8(1): 39-49.
Wijayanto, N. 2001. Faktor Dominan dalam Sistem Pengelolaan Hutan
Kemasyarakatan (Studi Kasus di Repong Damar, Pesisir Krui, Lampung).
Disertasi. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. (tidak diterbitkan).
· Wijayanto, N. 2009. Identifying Factors Influencing The Successes Of Agroforestry
Farming In Gunung Walat Educational Forest. Technical Report Volume
1/2009: 21-26.
Winarto, H. 2003. Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestry: Kasus di
Desa Hargorejo, Kakap, Kulonprogo, Yogyakarta. Tesis. Sekolah Pascasarjana
IPB. Bogar. (tidak diterbitkan).
Wulandari, C dan P. Budiono. 2000. Perilaku Sosial Masyarakat Sekitar Hutan dala,m
Melestarikan Sistem Agroforestri di Pekarangan. Makalah dalam Presiding
Seminar Nasional Ill Pengembangan Wilayah Lahan Kering di Lampung, 3-4
Oktober 2000. Universitas Lampung. Bandar Lampung. (Abstrak).
Wulandari, C. 2010. Prediksi Kelestarian Hutan yang Dikelola Berbasis Masyarakat
dan Aplikasikan Agroforestri di Kabupaten Lampung Barat. Presiding
Seminar Nasional !groforestri II Ill Perluasan Promosi Agroforestri dalam
Mendukung M_itigasi Perubahan lklim di !sia Tenggaralll tanggal 27 Januari

ii>elOO~
2010 di Mataram. Him. 118-126. Universitas Mataram- Universitas
Lampung-SEANAFE-INAFE. Bandar Lampung.

Wulandari, C. 2001. Agroforestry Pekarangan by Rural Women Surround Protected


Forest in Lampung Province. Journal of Sociologi. Fakultas llmu Sosial dan
llmu Politik. Lampung University. Lampung. (Abstrak).
Wulandari, C. 2005. Tingkatan Penerimaan Sosial Masyarakat Sekitar Hutan dala.m
Mengadopsi Agroforestry di Lahan Pekarangan. Jurnal Hutan Rakyat 7{1):
17-26.

Yusliansyah, D Syukur, dan Ngatiman. 1988. Kemungkinan Pembudayaan Lebah


dalam Menunjang Agroforestri Masyarakat di Pedesaan di Kalimantan
Timur. Presiding Agroforestri untuk Pembangunan Daerah di Kalimantan
Timur tanggal19-21 September 1988 hal. 267-282. (Abstrak).

~101~
V. NJAUAN K EKON Ml
DALAM PERKEMBANGAN RISET AGROFORESTRI
DIINDO

Sistem agroforestri seperti halnya bentuk pemanfaatan lahan lainnya,


dikembangkan untuk memberikan manfaat ekonomi sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Agroforestri tidak semata-mata sebagai bentuk
pemanfaatan lahan dengan bertanam berbagai jenis tan~man, namun lebih pada
peran dan kebutuhan manusia. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa aspek sosial,
budaya dan ekonomi . menjadi pertimbangan penting dalam pengelolaan
agroforestri oleh masyarakat. Pengelolaan lahan yang dilaksanakan oleh ,
masyarakat.. adat/tradisional maupun petani pada umumnya dapat memberikan
contoh nyata bahwa bentuk usaha agrqforestri mampu memberikan kontribusi
ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kegiatan penelitian untuk mengkaji aspek ekonomi dalam agroforestri
dilakukan dengan mengkaji suatu sistem agroforestri yang sudah ada. Usaha
agroforestri yang diteliti ini dapat dipandang sebagai suatu ekositem namun juga
dalam arti sempit sebagai suatu bentuk pola tanam yang dipilih petani dalam
mengusahakan lahannya. Riset agroforestri di bidang ekonomi yang dilakukan di
seluruh Indonesia dan berhasil dikumpulkan diambil dari publikasi baik berbentuk
buku, jurnal penelitian, prosiding pertemuan ilmiah, majalah, laporan, maupun
karya penelitian seperti skripsi, tesis, dan disertasi. Hasil-hasil penelitian ini
dikelompokkan dalam enam kegiatan penelitian yaitu: 1) pendapatan dan
kontribusi ekonomi agroforestri, 2) kelayakan finansial usaha agroforestri, 3)
kesempatan kerja dalam pengelolaan agroforestri, 4) pemasaran hasil agroforestri,
5) agroforestri dan perekonomian wilayah, dan 6} pemodelan dan optim~si hasil
dalam agroforestri.

A. Pendapatan dan Kontribusi Ekonomi Agroforestri

1. Agroforestri dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Masyarakat


Masyarakat telah lama mempraktikkan bentuk-~entuk agroforestri secara
tradisional. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sistem agroforestri sangat
menunjang kebutuhan hidup mereka. Beberapa hasil-hasil kajian seperti pada
sistem amarasi di Nusa Tenggara (Surata, 1993L sistem kebun yang dikelola
masyarakat Suku Dayak (Sundawati, 1995), kebun campuran yang dikelola
masyarakat adat Kampung Naga di Tasikmalaya (Riva, 1997), dan praktik Reba Juma
pad a masyarakat Karo di Sumatera Utara {Affandi, 2010) telah membuktikan peran
agroforestri dalam memberikan manfaat ekonomi.
Sistem amarasi dalam pengelolaan "ekosistem savana dengan tanaman
pokok lamtoro terbukti mampu mengatasi kendala biofisik dan menjadi bentuk

~103~
perladangan tradisional yang menetap. Sistem ini mampu mencukupi kebutuhan
konsumsi keluarga dengan anggota 4-5 orang/KK. Demikian juga dengan sistem
kebun yang dikelola oleh Suku Dayak yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan
memiliki arti penting untuk kebutuhan hidup karena merupakan sumber pangan,
energi, obat-obatan, dan bahan bangunan. Dengan demikian, Suku Dayal< dapat
mencukupi kebutuhan hidupnya dari penggarapan kebunnya.
Kearifan tradisional masyarakat Kampung Naga dalam mengelola lahan
diperlihatkan dalam bentuk kebun campuran antara tanaman kayu (Sengon,
Manglid, dan Mahoni), tanaman perkebunan (teh, cengkeh, dan kopi), bambu,
tanaman buah, palawija, dan sayur. Sistem agroforestri menyumbang ±47%
terhadap total pendapatan masyarakat. Adapun sistem Juma yang tetap
dipertahankan oleh masyarakat Karo dilandasi oleh kebutuhan ekonomi disamping
adanya kearifan lokal untuk memelihara lingkungan melestarikan budaya
setempat. Sistem Reba Juma secara ekonomi mampu menghasilkan produk yang
beragam dan merata sepanjang tahun dengan kontribusi 86,79% terhadap
pendapatan rumah tangga.
Kebutuhan hidup petani dapat dari hasil-hasil agroforestri.
Adjidarma {1996) yang mengkaji program Pemoerdayaan Masyarakat Desa Hutan
{PMDH) di BKPH Pare, Kediri membuktikan manfaat agroforestri ini. Hasil-hasil
agroforestri dari tanaman sengon, nanas, cabai, jagung, dan lamtoro selain untuk
membiayai kebutuhan pokok, dapat juga untuk membiayai kebutuhan anak
sekolah. Keberhasilan pengembangan Repong Damar di Lampung seperti yang
diutarakan oleh Wijayanto (2002a) juga mampu memberi jaminan keamanan bagi
ekonomi rumah tangga, kemapanan, dan berkembangnya sistem tata niaga dari
produk yang dihasilkan dengan penggunaan input modal yang rendah.
Keberhasilan ini berdampak pada kemampuan hasil-hasil dari repong Damar untuk
memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh masyarakat
(Utami eta/., 2003).

2. Pengelolaan Agroforestri Berdasarkan Orientasi Ekonomi


· Agroforestri baik sebagai suatu s'istem maupun sebagai bentuk .. pola tanam
diusahakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Sardjono et a/.
{2003) membagi klasifikasi skala pengusahaan agroforestri dalam tiga bentuk yaitu
pengusahaan skala subsisten, semi komersial, dan skala komersial. Ciri pengelolaan
skala subsisten adalah diusahakan di lahan sempit dengan jenis tanaman yang
beragam, pengaturan tanam yang acak, dan pemeliharaan yang tidak intensif.
Agroforestri skala subsisten dikelola oleh petani untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari yang utamanya berkaitan dengan pemenuhan pangan keluarga,
meskipun tidak menutup kemungkinan untuk pemenuhan bahan mentah. Hasil
tanaman berumur panjang seperti kayu dianggap sebagai tabungan dan sumber
pendapatan hanya disaat dibutuhkan saja. Oleh karena itu, nyata peran ekonomi
dan kontribusinya bagi kehidupan rumah tangga petani.
Salah satu bentuk usaha agroforestri skala subsisten adalah hutan rakyat
yang dikembangkan petani di lahan sempit di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat
yang diteliti oleh Diniyati et a/. (2004). Pola tanam yang dikembangkan adalah

~104~
campuran kayu-kayuan, buah-buahan, dan tanaman obat. Pola ini dapat
memberikan sumbangan pendapatan ±37%. · Terbatasnya lahan (0,1 ha)
menyebabkan tanaman kayu hanya sedikit {sekitar 15 pohon) dengan perkiraan
hasil dari tanaman kayu sebesar 'Rp. 1.606.519,-. Pohon tumbuh tidak optimal
karena harus berbagi lahan dengan tanaman lain.
Agroforestri skala semi komersial diusahakan oleh masyarakat yang mulai
menyadari arti ekonomi dan mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan
produktivitas Ia han dan kualitas hasil yang dapat dipasarkan dan mulai
meninggalkan jenis-jenis non komersial. Biasanya agroforestri skala semi komersial
dikembangkan dengan membudidayakan jenis tanaman yang mempunyai nilai semi
komersial yaitu yang produknya dapat dimanfaatkan sendiri dan sekaligus dapat
dijualdi daerah tersebut (Sardjono et a/., 2003). Jenis tanaman dapat berupa
tanaman perkebunan maupun tanaman kehutanan (yang diambil kayunya maupun
bukan kayu/HHBK) antara lain kopi, coklat, kemiri, kelapa, dan karet. Beberapa
hasil penelitian pada pola agroforestri yang dikembangkan secara semi komersial
dapat dilihat pada Tabel19 .

Tabel 19. Penelitian agroforestri skala semi komersial


No. lokasi Basis Hasil Sumber
Tanaman
1 Des a Karet Agroforestri karet meskipun masih Sudibjo
Sepunggur, dikelola secara tradisional dan (1999)
Bungo Tebo, dengan tenaga kerja dari internal
Jambi keluarga saja {99,10%), mampu
menjadi sumber pendapatan
utama (70,27%) sebesar
Rp.5.707.242,17I tahun.
2 Des a Kemiri Kemiri dikembangkan dalam Wiliamsyah et
Barugae, berbagai pola tanam agroforestri a/. (2003}
Maros, seperti pol a jalur {kemiri-jahe-
Sulawesi coklat), pola baris (kemiri-kapuk-
Selatan coklat-talas-ja he), pol a pagar
. (kemiri-mahoni-coklat- jambu
monyet-gamal-kopi-pisang), dan
pola acak. Selain dapat menekan
erosi lahan, agroforestri berbasis
kemiri memberikan pendapatan
petani sebesar rata-rata Rp.
2. 768.131,-/tahun dengan
pendapatan paling besar pada pola
jalur yaitu Rp. 3.008.309,~ /tahun

. ~105~
Lanjutan Tabel19.
No. Lokasi Basis Hasil Sumber
Tanaman
3 Kecamatan Kopi Robusta Praktik budidaya kopi multistrata Budidarsono
Sumberjaya, secara finansial dan ekonomis dan Wijaya
Lampung ternyata mampu memberikan (2004)
Barat, keuntungan bagi petani dan
Lampung sekaligus menyediakan · lapangan
pekerjaan di perdesaan secara
berkelzmjutan. Nilai ;:,~,, dle 15 1::. dari
budidaya kopi multistrata adalah
sebagai pilihan penggunaan lahan
dalam penyelesaian konflik lahan
yang berakar perbedaan
persepsi afas pemanfatan kawasan
hutan. Penanaman kopi baik
dengan tanaman buah-
buahan maupun kayu-kayuan layak
diusahakan sesuai dengan kriteria
investasi , yang · sangat berbeda
dengan hasil budidaya kopi
monoku!tur di dalam kawasan
hutan yang memberikan nilai tidak
layak (negatif}.
4 Desa Sungai Durian Durian merupakan salah satu Qurniati
Langka, komoditas, andaian masyarakat. (2010)
Pesawaran, Budidaya durian dilakukan secara
Lampung agroforestri dengan kombinasi
tanaman buah dan obat lain
seperti coklat, kopi, petai, vanili,
cengkeh, dan sebagainya.
Meskipun demikian, tambahan
kesejahteraan petani masih belum
signifikan karena terkendala pasar
durian yang belum efisien.

Ciri agroforestri skala komersial terdiri dari 2-3 kombinasi jenis tanaman
yang salah satunya merupakan tanaman pokok/komoditi utama yang
dikembangkan dengan skala luas dan input teknologi yang memadai (Sardjono et
a/., 2003). Agroforestri skala komersial menuntut manajemen yang profesional dan
mempunyai rantai usaha yang tertata baik. Bentuk agroforestri komersial dapat
ditemui di perkebunan besar. Sardjono et a/. (2003) memberikan contoh 'seperti
perkebunan karet modern, perkebunan kakao serta kopi yang dikombinasikan
dengantanaman peneduh.
Agroforestri komersial dapat dikembangkan di hutan negara maupun Hutan
Tanaman lndustri sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat sekitar. Oleh karena
itu, kebijakan agroforestri tidak terlepas dari kebijakan perusahaan tersebut.
Contoh kebijakan agroforestri tersebut adalah program Pengelolaan Hutan

~106~
oleh dalam rangka untuk
menerapkan sistem
(2005) merupakan solusi untuk rehabilitasi lahan
liar/penjarahan dengan strategi kooperatif dengan
secara aktif dan menerapkan prinsip kesetaraan dan
Hakim et a/. (2005)
masyarakat terhadap
pengelolaan lahan hutan

tanam dilakukan
mendapatkan manfaat
Kemanfaatan dalam agroforestri
untuk menambah pendapatan rumah tangga dan
bisnis. Hal ini disebabkan dalam pemanfaatcrn lahan
mendapatkan hasil harian, mingguan, bulanan,
yang berkontribusi pendapatan keluarga dan
kesejahteraannya. Tabel memperlihatkan kontribusi
dengan terhadap perekonomian
berbagai penelitian.

agroforestri ekonomi

Sumber

1 Kediri, Jawa Agrisilvikultur Kamaludin


Timur (1991)
2 Tasikmalayal Agrisilvikultur (sengon/manglid/ 47,20 Riva (1997)
Jawa Barat mahoni - cengkeh/ kopi/teh
durian/duku/pisang -
jagung/kacang tanah/singkong
bambu
3 Agrisilvikultur kemiri Suryadi eta/.
(1997)

4 Agrisilvikultur Sudibjo {1999)

5 Maros, Wiliamsyah et·


Sulawesi {2003)
Selatan
6 Ciamis, Jawa Marhendra
Barat (2003)

ror.107~
laniutan Tabel 20.
No. lokasi Pola tanam Kontribusi Sumber
(%)
7 Kuningan, Agrisilvikultul (sengon/jati/mahoni 37,00 Diniyati eta/.
Jawa Barat - melinjo/pisang/jengkol/petai- (2004)
cabai/singkong/padi-
jahe/kapulaga- bambu
8 Sukabumi, Agrisilvikultur (kebun campuran: 38/50 Wijayanto
Jawa Barat sengon/afrika/bambu- durian/ (2004)
du ku/ma nggis/jeru k/kelapa/aren
/kedondong/nangka/jengkol/
ce;ngkeh - pisang/ubi kayu/lada/
nanas/kaoulaga/oala)
9 Bantul, Agrisilvikultur (Po Ia 1: padi- 20,34 Bud dh isatyarini
Yogyakarta palawija-tembakau-tanaman eta!. (2005)
Pola 2: padi-palawija-tanaman
kayu; Pola 3: palawija-te
.
tanaman kayu; Pola 4:
tembakau-tanaman kayu; Pola 5:
padi-tanaman kayu; Pola 6:
palawija-tanaman kayu; Pola 7:
tembakau-tanaman kavu)
10 Barito Kuala, Agrisilvikultur (sengon/galam- 33,18 Harun (2006)
Kalimantan pisang/rambutan/nenas/nangka/
Selatan cempedak/ ketapi- padi/talas
purun/daun katuk)
11 Subang, Silvofishery (mangrove-ikan) 72,16 Gunawan eta/ . .
Jawa Barat (2007)
12 Pringsewu, Agrisilvikultu r 23,39 Kaskoyo (2009)
Lampung (sengon/gmelina/mahoni/ jati-
tanaman semusim)
13 Karo, Agroforestri kompleks Reba Juma 86,79 Affandi (2010)
Sumatera 41

Utara
14 Cilacap, Jawa Wanafarma (sengon/mahoni/jati- 16,75 Widyaningsih
Tengah kapu laga/ku nyit/jahe/kencur/lada/ dan Diniyati
lengkuas (2010)

Tabel 20 memperlihatkan bahwa pemanfaatan lahan dengan sistem


agroforestri menjadi usaha utama dalam ru mah tangga petani. Terbukti di
beberapa daerah, kontribusi usaha agroforestri sangat dominan (lebih dari 50%).
Sedangkan hasil penelitian dengan kontribusi hasil agroforestri kurang dari 500/o
menunjukkan bahwa masih ada usaha lain yang mampu memberikan penghasilan
bagi rumah tangga petani. Masyarakat yang secara tradisional sangat bergantung
pada hasil pertanian dari lahannya seperti yang terdapat di kebun-kebun campuran
maupun hutan rakyat, sangat wajar apabila menggunakan pola tanam agroforestri
untuk menda patkan penghasilan sepan iang wa ktu da ri us aha ta ninva.

~108~
Kegiatan agroforestri sebagai solusi untuk pemberdayaan masyarakat dalam
membantu meningkatkan kesejahteraannya dilakukan nielalui program PHBM di.
lahan Perhutani. Dalam program PHBM, terdapat pembagian hasil (sharing
penghasilan) antara petani penggarap (pesanggem) dengan perusahaan. Kebijakan
bagi hasil ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pendapatan sekaligus
sebagai insentif bagi masyarakat untuk turut menjaga dan memelihara tanaman
hutan perusahaan. Tabel 21 memperlihatkan hasil-hasil kajian kegiatan PHBM
Perhutani mengenai kegiatan agroforestri dan pembagian hasilnya.

Tabel 21. Hasil-hasil kajian pelaksanaan PHBM dan pembagian hasilnya


No. Lokasi I Sumber Pola PHBM Hasil
1 Desa Cileuya, Jati super+ Bagi hasil antara Perhutani dan
Kecamatan pisang/petai/ masyarakat untuk jati adalah 80%-20%,
Cimahi, KPH mangga sedangkan untuk pisang/petai/mangga
Kuningan, Jawa menggunakan format 20%-80%. Setelah
Barat dikaji kelayakan finansial sistem bagi hasil
(Noo rvita astri tersebut, maka yang paling layak adalah
dan Wijayanto, dengan menggunakan perhitungan 7S%-
2003) 2S% untuk Jati dan 2S%-7S% untuk
tanaman lain.
2 Desa Semedo, Jati + Luas lahan andil pesanggem bervariasi
Kecamatan padigogo/ antara 0,2S ha sampai lebih dari O,S ha.
Kedungbanteng, jagung/ Daur Jati ditetapkan selama 60 tahun dan
Kabupaten kacang tanah/ dapat menanam tanaman semusim
Tegal, ubi kayu selama 3 tahun. Bagi hasil yang
KPH Pemalang, ditetapkan adalah 100% hasil tanaman
Jawa Tengah semusim untuk .masyarakat dan untuk
(Andayani, tanaman kayu sebesar 2S% untuk petani
200Sb) dan 7S% untuk Perhutani.
3 Desa Sidoharjo, Kayu putih + Luasan lahan garapan bervariasi antara
Kabupaten jagung/ kacang 0,2S ha {1S%); O,S ha (SO%); 0,7S ha (10%)
Ponorogo, "KPH tanah/ ket€la/ dan 1 ha (25%). Sistem bagi hasil yang
Madiun, Jawa kedelai/ kacang disepakati untuk .masyarakat Rp. S,-/kg
Timur (Hakim et hijau/kunyit daun kayu putih yang dipanen, dan
a/., 200S) ·Seluruh hasil bumi menjadi milik
masyarakat.
4 Desa Tegal Rejo, Jati+ Luasan lahan garapan pesanggem
Kabupaten jagung/ petai/ bervariasi antara 0,2S ha (40%); O,S ha
Ponorogo, KPH kacang tanah/ (SO%) dan 0,7S-1 ha {10%). Jangka waktu
Madiun, Jawa ketela/ kedelai/ kesepakatan kerjasama adalah 10 tahun
Timur (Hakim et pisang/ cabai/ dengan evaluasi setiap 2 tahun. Bagi hasil
a/., 200S) pepaya kayu jati sesuai dengan Pedoman Berbagi
Hasil Hutan Kayu yaitu paling tinggi 2S%
dari hasil tebangan. Adapun hasil bumi
menjadi hak petani 100%.

r.>-109~
Lanjutan Tabel 21.
No. lokasi I Sumber Pola PHBM Hasil
5 Desa Trijaya, Pinus/mahoni/ Jenis MPTS yang ditanam masyarakat
Jabranti, dan afrika+ antara lain sukun, kemiri, durian, petai,
Linggasana, MPTS kopi, sengon, karet, melinjo, alpukat,
Kabupaten nangka, picung, randu, nanas, dan nilam.
Kuningan, KPH Sistem bagi hasil dilakukan atas
Kuningan, Jawa kesepakatan antara Perhutani dan desa
Barat (Hakim et setempat. Misalnya di Desa Trijaya,
a/., 2005) persentase bagi hasil tanaman
pemeliharaan adalah Perhutani 70%
masyarakat 30%, sedangkan untuk
tanaman tahunan 2% 98%. Adapun
persentase bagi hasil untuk kegiatan
reboisasi bekas kebakaran adalah 30% :
70% dan tanaman tahunannya 5% : 95%.
Untuk tanaman pengayaan sekitar
air persentasenya 40% : 60% dan
ta1,:~man semusimnya 2% : 98%. Adapun
di Desa Jabranti dilakukan bagi hasil
tanaman pokok sebesar 75% untuk
Perhutani dan 25% untuk masyarakat.
6 RPH Banjarsari, Jati + Kawasan hutan seluas 1.223,66 ha
KPH Ciamis, sengon/ dikelilingi oleh 13 desa. Kepemilikan lahan
Jaw a Barat padi/ jagung/ setiap keluarga relatif sempit (0,05
(Sumarhani, pi sang/ ha/KK). Hasil bumi seluruhnya untuk
2005) ketela/ masyarakat. Perhutani membolehkan
kacang masyarakat menanam sengon diantara
tanaman pokok dengan jarak tanam 6X2
meter dengan bibit swadaya masyarakat.
B~gi hasil tanaman sengon adalah KTH
75%, MDH 15%,. Perhutani 10%. Adapun
hasil jati seluruhnya untuk Perhutani.
Dengan luasa lahan garapan masing-
masing 0,25 ha/KK, maka tambahan
pendapatan dari hasil tanaman semusim
adalah sekitar Rp. 565.625,-/th.
Tambahan penghasilan dari sengon
setelah 7 tahun adalah Rp. 12.375.000,-.

ii.>o110~
Lanjutan Tabel 21.
No. Lokasi I Sumber Pola PHBM Hasil
7 Desa Padasari, Pinus+ Penanaman vanili dilakukan di bawah
Kecamatan van iii tegakan pinus berumur 15 tahun. Jarak
Sumedang, tanam pinus adalah 10X5 meter dan
KPH Sumedang, untuk vanili 3X2 meter. Hutan
Jawa Barat sebelumnya rusak oleh perambahan dan
(Sumarhani, kebakaran. PHBM dikelola oleh KTH Bagja
2005) Mulya seluas 6 ha dengan rata-rata 0,25
ha/KK. Bagi hasil vanili yang disepakati
adalah KTH 42,5%; MDH 15% dan
Perhutani 42,5%. Petani mendapatkan
hasil sebesar ± Rp., 1.818.893,- dari
luasan lahan 0,25 ha setelah 4 tahun
bertanam vanili dan belum termasuk hasil
penjualan bibit Vanili.

Manfaat yang dirasakan ol~h masyarakat sekitar hutan dengan ·adanya


program PHBM adalah mempunyai tambahan pendapatan untuk · membiayai
pendidikan anak, mempunyai tabungan baik uang maupun ternak, dan
meningkatkan kesejahteraannya (Hakim et a/., 2005}. Meskipun demikian, · hasil
perhitungan Andayani (2005b} memperlihatkan bahwa luasan lahan andil (lahan
garapan) yang relatif sempit (sampai 0,25 ha) memberikan kelayakan negatif yang
dapat dianggap tidak efisien dilihat dari aspek rasio biaya dan pendapatan usaha.
Meskipun hasil ini masih terbatas di lokasi penelitian saja, namun perlu menjadi
perhatian mengenai luasan lahan andil dan kesepakatan bagi hasil yang lebih baik
sehingga program PHBM ini benar-benar dapat membantu meningkatkan
perekonomian petani.

B. Kelayakan Finansial Usaha Agroforestri

Usaha tani bagaimanapun bentuk dan model pengusahaannya, p~rlu


menerapkan prinsip-prinsip analisis usaha, salah satunya konsep untung rugi.
Petani kecil kadang merasa tidak perlu mengerti perhitungan untung rugi usaha,
terutama dalam usaha kehutanan yang berjangka waktu lama. Hal ini disebabkan
karena kurangnya pengetahuan mengenai pentingnya analisis usaha, sempitnya
penguasaan lahan dan terbatasnya modal, serta dwifungsi usaha tani yaitu
produksi dan konsumsi yang kadang tidak tefpisahkan. Akibatnya perhitungan
untung rugi hanya sebatas teori saja yang jarang dipraktikkan oleh petani. Padahal,
dengan mengetahui analisis usaha tani, Soekartawi (2002} menyebutkan bahwa
petani dapat mengalokasikan sumberdaya yang ada, secara efektif dan efisien
untuk tujuan memperoleh keuntungan pada waktu tertentu. Disebut efektif jika
petani (produsen) dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki dengan
sebaik-baiknya, serta dikatakan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut
menghasilkan output yang melebihi inputnya.
Penelitian-penelitian kelayakan usaha agroforestri membantu petani untuk
memberikan gambaran usaha agroforestri yang dilakukan. Pada akhirnya

~111~
diharapkan petani dapat mengalokasikan sumber daya yang dimiliki dengan pola-
pola agroforestri yang sesuai dengan kemampuannya untuk mendapatkan hasil
yang optimal. Kelayakan finansial dihitung dengan kriteria kelayakan investasi yang
umumnya berupa nilai-nilai Net Present Value (NPV}, Benefit Cost Ratio (BCR), dan
Internal Rate of Return (IRR) yang diperhitungkan berdasarkan suku bunga
(discount rate) yang ditetapkan. Beberapa hasil penelitian kelayakan finansial usaha
agroforestri dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Kelayakan finansial usaha agroforestri


No. lokasi/Sumber Pola Tanam Suku Kriteria
bung a
1 DAS Konto, Jawa Agrisilvikultur agathis 11% La yak
Timur (Sediono, (agathis, buah-
1986) buahan, kayu bakar,
kayu keras, tanaman
semusim)
2 Kecamatan Agrisilvikultur kemiri '20% La yak
Camba, Maras, (kemiri, kakao) NPV =Rp.16.300.450,-
Sulawesi Selatan BCR = 4,34
(lkhsan eta/., IRR =49,3%
1989)
3 Wonosobo, Jawa Agrisilvikultur sengon 18- La yak
Tengah (Andayani, dalam 4 pola. Pola 1 22% Desa Pacekelan:
2002) (kayu-tanaman NPV =Rp.l.072.556,78 s.d
semusim-tanaman Rp.4.201.852,41
perkebunan), Pola 2 Desa Jonggolsari:
(kayu-tanaman NPV =Rp.685.948,34 s.d
semusim-tanaman Rp.3.458. 763,12
buah-buahan- Desa Ngaliyan:
tanaman NPV = Rp.2.363.826,83 s.d
perkebunan), Pola 3 Rp.3.080.302,04
(kayu-tanaman
perkebunan), dan
Pola 4 (kayu-
tanaman buah-
buahan-tanaman
perkebunan)
4 Desa Balokang, Agrisilvikultur jati 14% La yak
Banjar dan Desa super
Pamarican,
Ciamis, Jawa Barat
(Nuraini, 2002)
5 Kecamatan Agrisilvikultur durian 14% La yak
Kotabangun, Kutai (durian/rambutan/ NPV =Rp.7.982.175,-
Kartanegara, langsat) BCR =2,12
Kalimantan Timur IRR = 20,95%
(Syahrani, 2003)

ro.-112~
Lanjutan Tabel 22.
No. lokasi/Sumber Pol a Tanam Suku Kriteria
bung·a
6 Desa Cilampuyang, Agrisilvikultur sengon - La yak
Garut, Jawa Barat (sengon- =
NPV Rp.9.801.887,-
(Melati dan ce ngkeh/ pet ai-pa d i =
BCR 2,74
Dwiprabowo, gogo/jagung/kacang
2004) tanah)
7 Desa Cilampuyang, Agrosilvopastura - La yak
Garut, Jawa sengon (sengon- =
NPV Rp.12.508.917,-
Barat(Melati dan cengkeh/petai-padi =
BCR 1,48
Dwiprabowo, gogo/jagung/kacang
2004) tanah-pakan ternak)
8 Kecamatan Pathuk Agrisilvikultur - La yak
dan Kecamatan (tanaman semusim, Pola 1
Semin, Gunung buah, hortikultura, =
NPV Rp.5.245.606,87 s.d
Kidul, Yogyakarta tanaman Rp. 21.892.033,96
(Andayani, 200Sc) perkebunan, dan =
BCR 1,16 s.d 1,49
kayu) Pola 2
=
NPV Rp.1.490.870,93 s.d
Rp.4.654.106,07

t-----
=
BCR 1,04 s.d 1,09
9 Maros, Sulawesi Agrisilvikultur kemiri - La yak
Selatan (Hasnawir =
NPV Rp.6.392.526,-
dan Yusran, 2000 =
BCR 3,59
dalam Cahyono et =
IRR 53,51%
a/., 2005)
10 Minahasa, Agrisilvikultur - La yak
Sulawesi Utara cempaka =
NPV Rp.77.697.000,-
(Sumijarto dan =
BCR 13,98
Novitasari, 2002 =
IRR 29,47%
dalam Cahyono et
a/., 2005)
11 DAS Malino Agrisilvikultur sengon - La yak
(Sumijarto, 2000 (sengon-jahe) =
NPV Rp.5.027.643,-
dalam Cahyono et =
BCR 1,15
a/., 2005) =
IRR 30,12%
12 Desa Salebu, Agrisilvikultur sereh - La yak
Majenang, Cilacap, · wangi =
NPV Rp.2.969.513,-
Jawa Tengah (Mile =
BCR 2,029
dan Bastari, 2005) IRR = 64,69%

~113~
Lanjutan Tabel 22.
No. Lokasi/Sumber Pola Tanam Suku Kriteria
bunga
13 Kecamatan Agrisilvtkultur jati 7,54% Strata 1:
Nogosari, Boyolali, (jati-kacang tanah I NPV = -Rp.11.193.297,-
Jawa Tengah ubi kayu I jagung I BCR = 0,82
(Andayani, 2008) kencur) IRR = 1,96%
Strata 2:
NPV = Rp.10.902.735,70
BCR = 1,02
IRR = 9,00%
Strata 3:
NPV = Rp.24.195.880,70
BCR = 1,07

14 Gunung Walat, Agrisilvikultur agathis -


.
IRR = 14,00%
La yak
Sukabumi, Jawa Modell:
Barat (Sundawati I NPV = Rp.8.465.179,-
dan lsnaini, 2009) BCR = 2,05
Model II:
NPV = Rp.7.483.780,-
BCR = 1,99
Model Ill:
NPV = Rp.2.138.953,-
BCR =1,73
15 Bipolo, Kupang, Silvofishery - Layak
NTT (Njurumana BCR =1,1
eta/., 2009)
16 Desa Tirip, Agrisilvikultur sengon 9,3% La yak
Wadaslintang, {sengon-kapulaga) Strata 1:
Wonosobo, Jawa NPV = Rp.112.039.098,-
Tengah {Kusumedi BCR =2,32
dan Jariyah, 2010) IRR = 3S%
Strata 2:
NPV = Rp.33.599.884,-
BCR =1,58
IRR =13%
17 Kalimantan Barat Tembawang (karet/ 6%, La yak
(Soeharto, 2010) tengkawa ng/nyatoh/ 15%, NPV =
rotan/ buah- 25% {6%) - Rp. 485.576.758,-
buahan/obat) (15%)- Rp. 125.372.065,-
(25%)- Rp. 33.989.636,-

Kelayakan finansial pengusahaan agroforestri pada berbagai pola yang dikaji


di tiap daerah berbeda-beda tergantung biaya pengusahaan dan produktivitas yang
berlaku di lokasi penelitian serta suku bunga yang dipakai dalam analisis. Petani
subsisten biasanya tidak melakukan pengusahaan secara intensif seperti
dilakukannya kegiatan pemeliharaan serta penanganan hama dan penyakit. Usaha
yang dilakukan bukan untuk kepentingan bisnis akan tetapi lebih untuk memenuhi

ro.o114~
kebutuhan hidup. Oleh karena itu, sangat mungkin jika dilakukan perhitungan
kelayakan finanslal, usaha ini menunjukkan hasil yang negatif. Andayani {2008}
membuktikan bahwa usaha agroforestri jati di lahan yang sempit (kurang dari 0,1
ha) memberikan nilai NPV negatif yang artinya secara ekonomi petani masih
I
merugi.
Beberapa kajian sebagaimana tertera pada Tabel 5.4 memperlihatkan
bahwa kegiatan agroforestri layak diusahakan secara ekonomi. Adanya hasil-hasil
yang tersedia dalam berbagai periode waktu dan biaya pengusahaan yang dapat
digabung bersama-sama beberapa jenis tanaman, selain memberikan efek
penghematan juga membuat manfaat yang diterima dapat lebih besar dari biaya
yang dikeluarkan. Hal ini merupakan kelebihan agroforestri dibandingkan budidaya
monokultur terutama yang dilakukan di lahan yang tidak cukup luas. Dengan
berpedoman dari hasil analisis finansial tersebut, prinsip optimasi penggunaan
lahan dapat digunakan oleh petani untuk mengambil keputusan menerapkan pola
agroforestri yang cocok diusahakan.
Hasil yang menarik diperlihatkan dari bentuk agroforestri tradisional yaitu
agroforest tembawang yang merupakan kebun campuran su'ku Dayak di
pedalaman Kalimantan Barat. Tembawang tidak saja ~emiliki nilai konservasi,
ekologi, sosial budaya, namun ternyata apabila dikelola dengan penerapan
teknologi mampu memberikan nilai ekonomi yang signifikan. Peremajaan tanaman
karet dan pengkayaan dengan jenis-jenis unggul dalam agroforest tembawang
mampu memberikan kelayakan usaha dalam agroforestri yang dikelola masyarakat
tradisional (Soeharto, 2010). Hasil ini dapat menjadi salah satu pelajaran
bagaimana masyarakat tradisional mengelola dan memanfaatkan lahan dengan
bentuk agroforestri khas Indonesia, mempertahankan nilai keekonomiannya, dan
suntikan teknologi baru yang dapat membantu kesinambungan usaha agroforestri
terse but.

C. Kesempatan Kerja dalam Pengelolaan Agroforestri

Permasalahan perekonomian secara makro salah satunya adalah


kesempatan kerja. Sistem agroforestri baik di lahan milik masyarakat maupun
d_alam pemberdayaan masyarakat sekitar hutan negara. dengan program PHBM
terbukti memberikan dampak terhadap pemenuhan kesempatan kerja dan semcikin
banyaknya curahan tenaga kerja yang diperlukan. Pengelolaan agroforestri oleh
suatu keluarga atau rumah tangga menurut Suharjito et a/. (2003} merupakan
bagian dari keseluruhan pengelolaan sumber daya keluarga atau rumah tangga.
Oleh karena itu, ketersediaan tenaga kerja dan pola pembagian kerja dalam
keluarga atau rumah tangga mempengaruhi pilihannya untuk mengembangkan
agroforestri.
Prahasto (1987) memberikan gambaran bahwa dengan adanya kegiatan
agroforestri dalam bentuk tumpang sari Jati yang sudah diberikan sentuhan
teknologi dan intensifikasi di I<PH Blora dan Randulatung, Jawa Tengah,
menyebabkan curahan tenaga kerja dan rata-rata pendapatan pesanggem
meningkat. Bahkan di lahan yang lebih sempit, curahan tenaga kerja pesanggem

~115~
lebih banyak daripada yang memiliki lahan lebih luas. Penelitian Susanti (2000)
tentang kegiatan tumpang sari kayu putih di KPH Mojokerto, Jawa Timur juga
menunjukkan adanya hubungan antara pemanfaatan lahan tumpangsari dengan
penggarapan lahan, dimana semakin tinggi tingkat pemanfaatan lahan
tumpangsari, semakin tinggi pula tingkat penggarapan dan produktifitas lahannya
sehingga tingkat kesejahteraan rumah tangga pesanggem dapat semakin
meningkat.
Penelitian Hadi et a/. (2003) di proyek Pengelolaan Hutan Jati Optimal
(PHJO) di KPH Tangen, Jawa Tengah memperlihatkan bahwa waktu luang
pesanggem dapat lebih dioptimalkan dengan bekerja di lahan andil. Strategi yang
dapat digunakan adalah proyek PHJO dengan sistem agrosilvopastura yang
meskipun membutuhkan waktu kerja yang relatif kecil terdistribusi merata
sepanjang tahun sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pemanfaatan waktu
luang pesanggem untuk menambah kesempatan kerja.
Konflik lahan dan pengangguran juga dapat diselesaikan dengan penerapan
sistem agroforestri. Budidarsono dan Wijaya (2004) mengkaji bahwa sistem
agroforestri kopi multistrata di Sumberjaya, ,,pung mampu memberikan insentif
bagi petani sekaligus menyediakan lapangan pekerjaan di perdesaan secara
berkelanjutan. Nilai strategis dari budidaya kopi multistrata adalah bahwa
penggunaan lahan ini bisa digunakan sebagai pilihan penggunan lahan dalam
penyelesaian konflik lahan yang berakar pada perbedaan persepsi atas pemanfatan
kawasan hutan.

D. Pemasaran Hasil Agroforestri

Apabila pemasaran hasil hutan selama ini lebih terfokus pada hasil hutan
berupa kayu saja, maka dalam pemasaran hasil agroforestri, cakupan barang yang
dipasarkan sangat beragam. Hasil agroforestri dapat berupa kayu, buah, sayur,
pa·lawija, maupun tanaman obat yarig semuanya mempunyai ciri spesifik dalam
pemasarannya. Tukan eta/. (2004} mengemukakan bahwa pemasara·n produk hasil
agroforestri di beberapa wilayah Indonesia selalu menjadi masalah yang mendasar
bagi petani. Oleh karena itu pemasaran menjadi sangat penting ketika
produsen/petani telah mampu mengelola kebun dengan baik hingga menghasilkan
produk dalam kuantitas yang cukup dan kualitas yang baik. Petani membutuhkan
pasar yang berfungsi dengan baik sehingga mampu menghubungkan produsen
dengan konsumen.
Secara umum, penelitian-penelitian pemasaran mempunyai beberapa
tujuan diantaranya (a) mengidentifikasi pelaku pemasaran, (b) mengidentifikasi
rantai pemasaran, (c) menganalisis sistem dan struktur pasar, (d) melakukan
analisis marjin pemasaran dan keuntungan, (e) mengidentifikasi dan menganalisis
kendala pemasaran, dan (f) merumuskan strategi pemasaran produk. Adapun
beberapa produk agroforestri yang sudah diteliti mengenai pemasarannya di
beberapa daerah dapat dilihat pada Tabel 23.

r,;,.,116~
Tabel 23. Beberapa produk agroforestri yang sudah diteliti pemasarannya
No. lokasi Produk Agroforestri Sumber
1 Sulawesi kakao, tanaman buah (MPTS), kelapa lswandi eta/. (1996)
Tenggara
2 Kalimantan Madu Mugarni eta/. {2003)
Selatan
3 Lampung jati rakyat dan sengon Tukan eta/. (2004)
4 NTB manggis Rahayu eta/. (2005)
5 Jawa Barat pisang, kelapa, kapulaga, ubi kayu, Trison (2008)
daun dan batang aren, rambutan,
bambu, kayu rakyat, getah damar
6 Jawa Barat tanaman obat (temulawak1 jati Nurrochmat eta/.
belanda, kumis, kucing, sambiloto, (2009b)
pegagan)
7 Jawa Tengah kacang mete Andayani (2010)
8 Yogyakarta jati rakyat Perdana (2010)
9 Lampung durian Qurniati {2010}
10 Jawa Tengah sengon, kapulaga Widyaningsih dan
Diniyati {2010)

Mengingat beragamnya produk yang dihasilkan dari sistem agroforestri,


persoalan pemasaran dan inovasinya dalam memecahkan permasalahan tersebut
tergantung dari jenis produk yang dipasarkan. Untuk dapat memperoleh
keuntungan yang layak pada setiap pasar yang dimasuki, produsen (petani} dan
semua lembaga pemasaran harus memahami kemampuannya dalam menganalisis
prospek pasar untuk setiap komoditi yang diperdagangkan seperti harga pasar, dan
kebutuhan pasar untuk mengukur seberapa besar keuntungan/pendapatan yang
diperoleh (Sanudin, 2009). Oleh karena itu, peran aktif berbagai pihak, tidak saja
stakeholder kehutanan melainkan seluruh stakeholder yang terkait dengan produk-
produk agrokompleks menjadi sangat diperlukan d~lam memecahkan dan
memfasilitasi usaha agroforestri terutama di bidang pemasaran yang merupakan
hilir dari rangkaian usaha pengelolaan agroforestri.
Hasil-hasil penelitian pemasaran produk agroforestri kebanyakan lebih
difokuskan pada salah satu produk yang paling menonjol dan potensial dalam
usaha agroforestri yang dikembangkan. Penelitian pemasaran tersebut mengkaji
rantai pemasaran protluk, harga, efisiensi pasar, dan permasalahan yang terjadi.
Kebanyakan fokus penelitian diarahkan pada produk kayu, namun ada juga yang
mengkaji pemasaran produk hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Mugarni et a/. (2003} mengkaji produksi dan pemasaran madu yang
dihasilkan lebah lokal lruan Hirang (Apis cerana) yang merupakan Iebei lokal yang
sangat sesuai dengan kondisi alam dan pakan di wilayah Desa Jambu, Kabupaten
Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Jumlah produksi setiap stup berkisar 600-
900 ml madu sekali panen atau 3-4 liter/stup/tahun. Waktu pemanenan sekitar 1,5-
2 bulan pemeliharaan. Sistem pemasaran terbagi dua yaitu secara langsung
konsumen datang ke rumah penduduk dengan harga Rp. 8000,-/150 ml dan secara
tidak langsung yaitu disalurkan ke pedagang di ibukota kabupaten (Kandangan)

ro.-117~
dengan harga Rp. 10.000,-/150 mi. Lain halnya dengan pemasaran buah durian
yang menjadi andalan Desa Sungai Langka di Kecamatan Pesawaran, Lampung yang
masih dikelola secara tradisional. Trison (2008) menyebutkan bahwa sebagaian
besar penjualan komoditas agroforestri dari desa-desa di sekitar Hutan Pendidikan
Gunung Walat Sukabumi dilakukan oleh petani di kebun-kebun pada saat panen
dan langsung dilakukan transaksi. Cara pemasaran seperti ini dianggap efisien oleh
petani, terutama oleh petani kecil karena tidak mengeluarkan biaya dan tenaga
dalam memasarkan produknya. Namun, di sisi lain, kondisi pemasaran semacam ini
menyebabkan posisi petani dalam penentuan harga menjadi lemah karena hanya
sebagai penerima harga (price taker). Qurniati {2010) mengkaji bahwa pola
pemasaran tradisional yang tanpa adanya perencanaan dan .. kajian pasar oleh
petani menyebabkan pola pemasaran belum efisien belum dapat memberikan
banyak keuntungan bagi petani. Kajian-kajian diatas memperlihatkan bahwa
apabila pemasaran ditangani secara baik, hasil produksi yang terencana dapat
menghasilkan keuntungan yang sesuai dan :Jerbaiki posisi tawar petani untuk
menerima harga yang lebih sesuai.
Efisiensi pemasaran biasa diteliti dengan menggunakan beberapa
pendekatan perhitungan seperti marjin pemasaran, marjin keuntungan, bagian
petani {farmerfZJs shar~, dan sebagainya. Suatu sistem distribusi pemasaran
dikatakan efisien jika besarnya tingkat marjin pemasaran bernilai kurang dari 50%
dari tingkat harga yang dibayarkan konsumen {Trison/ 2008}.
Efisiensi pemasaran diteliti oleh Andayani (2010} terhadap pemasaran
kacang mete di Kecamatan Ngadirejo dan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, Jawa
Tengah. Pemasaran kacang mete dikaji dengan metode analisis ekonomi dengan
parameter marjin keuntungan dan pemasaran serta analisis mark up on selling
untuk mengetahui efisiensi pasarnya. Andayani (2010) menemukan bahwa ada 6
(enam) pola pemasaran kacang mete yaitu:
1) Pola 1: produsen ~ pengepul1 ~ konsumen dengan marjin pemasaran Rp.
25.207,55/kg;
2) Pola 2: produsen ~ pengepul 1 ~ pengepul 2 ~ konsumen, dengan marjin
pemasaran Rp. 25.207,55/kg;
3) Pola 3: produsen ~ pengepul 1 ~ pengecer ~ konsumen, dengan marjin
pemasaran Rp. 27 .207,55/kg;
4) Pola 4: prGdusen ~ pengepul 1 ~ pengepul 2 ~ pengecer ~ konsumen,
dengan marjin pemasaran Rp. 27.207,55/kg; ·
5) Pola 5: produsen ~ pengepul 2 ~ konsumen, dengan marjin pemasaran
Rp. 10.000,-/kg;
6} Pola 6: produsen ·~ pengepul 2 ~ pengecer konsumen, dengan marjin
pemasaran Rp. 12.000,-/kg.
Marjin keuntungan pemasaran kacang mete sebesC!r 44,27%. Hal ini menunjukkan
bahwa pemasaran kacang mete yang saat ini berjalan dinyatakan s"udah efisien.
lnformasi hasil penelitian seperti yang dilakukan oleh Andayani (2010} ini
sangat berguna tidak saja bagi petani, akan tetapi juga pengambil kebijakan
daerah. Hasil kajian dapat untuk mengangkat produk agroforestri menjadi ungulan
daerah karena aspek hilir produk sudah diketahui keefisienannya sehingga dapat

~118~
dikembangkan lebih baik lagi untuk semakin memberikan kesejahteraan bagi para
pet ani.
Pohon sebagai salah satu komponen dalam agroforestri yang memberikan
hasil dalam waktu yang lama mempunyai nilai yang tinggi saat dijual. Oleh karena
itu dikaji juga aspek pemasarannya mengingat sampai sa~t ini kebijakan tata usaha
hasil hutan kayu terus berubah seiring dinamisnya perkembangan usaha kayu dan
permasalahan di dalamnya. Kayu yang berasal dari kebl;Jn-kebun rakyat menjadi
tabungan petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ditengarai bahwa sampai
saat ini masih ada permasalahan dalam pemasaran kayu rakyat ini. Oleh karena itu,
penelitian pemasaran kayu menjadi salah satu aspek penelitian yang dibu.tuhkan
dalam mendukung pengembangan usaha agroforestri.
Pemasaran kayu jati dan sengon dikaji oleh Tukan et a/. (2004) di wilayah
luar Jawa yaitu di Provinsi Lampung. lsu mendasar yang perlu diprioritaskan adalah
bagaimana memperbaiki penghidupan petani kecil agar dapat meningkatkan
pendapatan mereka, yang salah satunya adalah· dengan pemasaran hasil hutan
yang berfungsi dengan baik. Analisis dilakukan terhadap saluran pemasaran dan
struktur pasar serta melakukan perhitungan marjin pemasaran, keterpaduan pasar,
dan analisis korelasi harga. Tukan et a/. (2004) menemukan saluran pemasaran
kayu rakyat di Lampung terbagi dalam enam pola yaitu:
1) Pola 1: petani rumah tangga lokal/konsumen akhir,
2) Pola 2: petani penebang konsumen akhir atau rumah tangga,
3) Pola 3: petani penebang pedagang pembuat perabotan,
4) Pola 4: petani ~ penggergajian ~ pedagang kayu ~ konsumen akhir dan
pedagang pembuat perabotan,
5) Pola 5: petani ~ penebang ~ penebang kayu ~ pedagang pembuat
perabotan dan konsumen akhir,
6) Pola 6: petani ~ pedagang kayu di Jakarta.

Pemasaran kayu sengon mengikuti Pola 1 sampai dengan Pola 5. Petani


3
menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri dengan harga Rp. 100.000,-/m .
penjualan pohon berdiri ini disebabkan kekurangan modal untuk membiayai proses
pengolahan kayu menjadi kayu olahan (gergajian). Dengan demikian, petani tidak
beresiko terhadap penurunan kualitas kayu akibat penebangan dan tidak
mengeluarkan biaya pemasaran untuk menjual pohon. Penebang kayu yang
membeli pohon tersebut yang akan melakukan kegiatan pengolahan kayu dalam
bentuk kayu bulat dan atau gergajian dan kemudian memasarkannya ke pedagang
kayu (panglong). Pad a Pol a 3 dan Pola 4, share harga jual kayu terhadap konsumen
akhir adalah 27%. Marjin pemasaran pad a Pola 4 sebesar 73%, yang tersebar pada
industri penggergajian dan p-edagang kayu dengan marjin keuntungan pemasaran
masing-masing adalah 24% dan 5% serta biaya pemasaran masing-masing adalah
36% dan 8%. Pemasaran kayu Sengon dengan mengikuti Pola 5 memberikan share
harga jual terhadap konsumen akhir sebesar 25%.
Pola pemasaran kayu jati mengikuti Pola 3, Pola 5, dan Pola 6. Petani
menjual kayu jati dalam bentuk pohon berdiri dengan harga rata-rata Rp. 300.000,-
/m3. Harga ini tergantung pada ukuran dan berituk batang. Petani sudah dapat

ro.-119~
menjual kayu jati dalam bentuk pohon berdiri maupun kayu bulat pada diameter
pohon 6 em, meskipun harga jualnya sangat rendah dibandingkan kayu jati yang
sudah berdiameter 20 em atau lebih. ·Marjin pemasaran kayu jati pada Pola 3
meneapai 67% yang diterima oleh penebang. Marjin pemasaran tersebut terdiri
dari biaya pemasaran sebesar 19% dan keuntungan pemasaran sebesar 47%.
Artinya, keuntungan pemasaran total yang diperoleh lebih besar daripada biaya
pemasaran total yang dikeluarkan. Pada Pola 5, marjin pemasaran meneapai 80%
yang tersebar pada penebang dan pedagang kayu. Marjin pemasaran kayu jati pada
Pola 6 meneapai 35% !llerupakan paling rendah di antara marjin pemasaran kayu
jati di jalur lainnya.
Harga kayu sengon di petani dan konsumen di Bandar Lampung
menunjukkan korelasi yang tinggi. Hal ini meneerminkan keeratan hubungan yang
tinggi antara harga di tingkat pedagang besar dengan harga di tingkat petani serta
pembentukan harga antara pasar di tingkat pedagang besar kayu dan petani lebih
berintegrasi. Kondisi pasar sengon pun dapat dikatakan mendekati bentuk pasar
persaingan sempurna, meskipun harga masih kurang elastis. Sementara itu, hasil
kajian pasar untuk kayu jati rakyat juga menunjukkan adanya korelasi harga yang
tinggi antara harga di tingkat konsumen dengan di tingkat produsen. Akan tetapi,
struktur pasar jati belum mendekati bentuk pasar persaingan sempurna dan harga
tidak elastis. Hasil kajian Tukan eta/. (2004) mengenai penyebaran marjin, korelasi
harga, dan elastisitas harga untuk jati dan sengon mampu memberikan gambaran
bahwa sistem pemasaran kayu jati dan sengon relatif belum efisien.
Di wilayah Jawa, Perdana (2010) meneliti rantai perdagangan kayu jati
rakyat di wilayah Kabupaten Gunung Kidul, DIY. Permasalahan yang dihadapi petani
jati diantaranya teknik silvikultur yang kurang memadai sehingga kualitas kayu
kurang baik, kurangnya modal untuk budidaya jati, terbatasnya informasi pasar dan
adanya biaya tak terduga akibat kebijakan. Pada umumnya pola pemasaran kayu
jati rakyat di Gunung Kidul dilakukan seperti yang tersaji pada Gam bar 2.

PETANI MAKELAR PEDAGANG PEMBELI

- Membutuh- - informasi - mengukur - mengolah


kan uang - kontak - menawar dan - menjual
- menjual pedagang membeli kembali
pohon

Gam bar 2. Alur pemasaran kayu jati rakyat (Perdana, 2010)

Pada umumnya petani menjual kayu daJam bentuk pohon berdiri. lnformasi
pasar diperoleh dari makelar kayu. Setelah ada kesepakatan harga dan pedagang
membayar kayu kepada makelar, maka penebangan dapat dilakukan oleh
pedagang kayu. Perdana (2010) mensinyalir bahwa sistem. seperti ini memuneulkan
resiko yang eukup besar bagi petani dan pedagang. Petani kehilangan kesempatan
untuk mendapat harga yang lebih tinggi karena pembeli tidak langsung datang.
Pedagang berspekulasi terhadap keuntungan yang akan diperoleh karena

&->120~
pembayaran dilakukan di muka sementara masih harus menanggung biaya-biaya
lain. Apabila pedagang dapat langsung turun ke lapangan untuk mencari pohon
bersama makelar, memilih kayu sesuai dengan kualitas yang diinginkan konsumen,
dan sebagai pendata personal dalam saluran pemasaran, maka ketiga kegiatan
pedagang tadi dapat menjadi kegiatan yang meningkatkan nilai produk (value-
added activities) yang menyertai transformasi bentuk pohon ke kayu gelondongan.
Pada akhirnya aktivitas ini akan memberikan nilai keuntungan yang lebih tinggi dari
petani, makelar, sampai pedagang. Kegiatan yang ditawarkan dalam penelitian
Perdana (2010) ini bukan dalam rangka memutus mata rantai yang berarti juga
memutus lapangan kerja salah satu rantai pemasaran, namun memperbaiki kualitas
untuk bersama-sama mendapat keuntungan yang lebih baik.
Beberapa permasalahan pemasaran kayu yang sering dihadapi baik oleh
petani maupun pelaku pasar yang lain diantaranya adalah (Tukan et a!., 2004 dan
Perdana, 2010):
1) Masih rendahnya pengetahuan petani petani tentang cara bertani sehingga
kualitas hasil masih rendah yang dapat berujung pada harga yang diterima
juga rendah.
2) Masih terbatasnya akses informasi pasar oleh petani. Hal ini akan membuat
spekulasi harga meningkat.
3) Sedikitnya hasil produksi kayu setiap kebunnya sehingga tidak dapat dijual
ke industri pengolahan kayu skala menengah maupun besar.
4) Sistem pemanenan pohon dilakukan sebelum usia panen (ijon) yang dalam
hal ini dikarenakan adanya kebutuhan hidup yang mendesak.
5) Petani tidak mempunyai kelompok kerja bersama untuk kegiatan
pemasaran.
6) Akses sarana dan prasarana transportasi yang kurang baik sehingga biaya
transportasi menjadi mahal.
7) Adanya biaya-biaya tak terduga akibat kebijakan yang tumpang tindih dan
biaya lain yang bersifat tidak dapat dipulihkan {hangus) akibat pohon sudah
ditawar dan dibayar sebelum aitebang sementara ada biaya-biaya yang
harus ditutupi dalam proses pemasaran kayu tersebut.

Pembelajaran dari hasil kajian pemasaran dapat berguna bagi petani untuk
memilih saluran pemasaran yang sesuai dan terbaik dalam memberikan
kemudahan dan keuntungan yang layak. Bagi stakeholder, kajian pemasaran dapat
memberikan gambaran bahwa pemerintah dan lembaga pengembangan
masyarakat perlu memberikan perhatian dalam penguatan kapasitas petani,
memberikan informasi pasar yang cukup, memfasilitasi hubungan ke jalur
pemasaran, dan membuat kebijakan yang dapat menjadi insentif bagi pemasaran
dan mengurangi biaya tak terduga. Dengan beragamnya pola pemasaran setiap
produk agroforestri dan permasalahan yang mungkin saja. spesifik di setiap produk
atau bahkan wilayah, maka penelitian pemasaran menjadi penelitian yang dinamis
untuk terus diteliti agar dapat memberikan solusi bagi perbaikannya.

~121.q
E. Agroforestri dan Perekonomian Wilayah

Wijayanto (2002b) meneliti sistem agroforestri kompleks di Lampung Barat


yaitu repong damar dalam suatu analisis ekonomi regional serta distribusi
pendapatan menggunakan metode Location Quotien (LQ) dan indeks Gini. Hasil
penelitian menyebutkan bahwa sektor damar telah menjadi kegiatan dasar dan
memberi pertumbuhan ekonomi positif di Lampung Barat. Distribusi pendapatan di
tiap kecamatan di wilayah Pesisir Krui yang ditunjukkan dengan indeks Gini yaitu
sebesar 0,356 un't!uk Kecamatan Pesisir Selatan; 0,300 ~ntuk Kecamatan Pesisir
Tengah; 0,526 untuk Kecamatan Pesisir Utara, dan 0,394 untuk wilayah Pesisir Krui.
Hal ini menunjukkan kalau repong damar mempunyai kontribusi utama terhadap
distribusi pendapatan di wilayah Pesisir Krui.
Agroforestri sebagai suatu ekosistem yang diusahakan secara berkelanjutan
telah menunjukkan tidak saja memberikan manfaat bagi petani secara langsung,
tetapi juga dapat memberikan efek bagi distribusi pendapatan dan perekonomian
wilayah. Repong damar sebagai suatu bentuk sistem agroforestri yang telah secara
turun temurun dengan mengandalkan kearifan lokal masyarakat ternyata mampu
menjadi ujung tombak perekonomian wilayah. Penelitian agroforestri dan
perekonomian regional menunjukkan bukti bahwa sektor kehutanan secara nyata
memberikan kontribusi bagi perekonomian sekaligus menjaga kelestarian
lingkungan dan kearifan lokal budaya masyarakat setempat.

6. Pemodelan dan Optimasi Hasil dalam Agroforestri

Secara umum, keputusan pemilihan penggunaan lahan dalam bentuk


agroforestri bertujuan menyediakan hasil-hasil panen dalam jangka pendek sampai
jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Artinya, sistem agroforestri
. dapat memberikan pendapatan · jangka pendek (harian, mingguan, bulanan),
menengah (tiga bulanan), bahkan pendapatan tahunan dari hasil panen kayunya.
Kombinasi jenis tanaman yang dipilih petani dalam pemanfaatan lahannya akan
memberikan penerimaan yang bervariasi pula.
Para petani yang mengelola lahan secara tradisional sangat jarang
memikirkan pemanfaatan lahan secara optimal. Mereka lebih memilih pola
pemanfaatan lahan secara maksimal yang arti harafiahnya adalah menanami setiap
jengkal lahan dengan tanaman yang diharapkan dapat memberikan hasil produksi
dan pendapatan sebesar-besarnya. Padahal, sumber daya yang ada terbatas.
Akibatnya adalah tidak semua tanaman dapat tumbuh dengan baik dan bahkan
dapat menimbulkan kerugian akibat perkembangan tanaman yang terhambat.
Riset optimasi menawarkan pengelolaan lahan untuk mencapai hasil yang optimal
dengan meminimalkan kendala/keterbatasan yang ada. Oleh karena itu, riset
optimasi dapat menjadi sarana untuk memperlihatkan pola pemanfaatan lahan
dengan pola tanam yang optimal yang memberikan hasil dan pendapatan yang
optimal pula. Dengan penerapan kombinasi tanaman dalam pola agroforestri,
diharapkan petani mempunyai kesinambungan hasil untuk mencukupi kebutuhan
jangka pendek sampai tabungan jangka panjangnya dibandingkan dengan

&o-122~
menerapkan pola tanamnya selama ini. Skenario-skenario yang ditawarkan hasil
riset optimasi dapat menjadi pedoman untuk diterapkan di lapangan. Beberapa
riset optimasi yang berhasil dikumpulkan tersaji pada Tabel 24.

Tabel 24. Riset optimasi pemanfaatan Ia han secara agroforestri


No. lokasi/Sumber Pola tanam Hasil optimasi
1 Magelang, . La han tegal region atas Seluruh lahan kering dikelola
Jawa Tengah ditanami jagung, ubi kayu, dengan pola agroforestri
(Andayani, hortikultura, tembakau, dan dengan tanaman kayu
2005a) kayu. Lahan tegal region (sonokeling, sengon, mahoniL
tengah ditanami jagung, ubi tanaman semusim (pangan,
kayu, padi tadah hujan, kopi, palawija), hortikultura
dan kayu. Lahan tegal region (sayuran), dan tanaman
bawah ditanami jagung, ubi perkebunan (cengkeh, kopi).
kayu, padi gogo, kopi,
cengkeh, dan kayu.
2 Boyolali, Jawa Strata 1 Pola 1: tanaman Strata 1 Pola 1: lahan ditanami
Tengah kayu-kayuan (sengon, mindi, sengon dengan luas 0,12 ha
(Jariyah, 2009) suren, dan mahoni}, tanaman (52%) dan ditanami cabai
semusim (jagung, ketela seluas 0,11 ha {48%).
pohon, ketela ram bat, cabai, Strata 1 Pola 2: lahan ditanami
jahe), rumput. sengon dengan luas 0,115 ha
Strata 1 Pola 2: tanaman (SO%). dan ditanami rumput
kayu-kayuan (sengon, mindi, seluas 0,115 ha (50%}.
suren, mahoni, dan jati), Strata 2: lahan ditanami sengon
tanaman perkebunan (petai, seluas 0,24 ha (50%} dan
durian, alpukat, pisang, dan rumput seluas 0,24 ha (SO%}.
kopi), tanaman semusim
(jagung, ketela pohon, ketela
ram bat, cabai, dan jahe),
rum put.
Strata 2: tanaman kayu-
kayuan (sengon, mindi, suren,
I
dan mahoni), tanaman
perkebunan (petai, durian,
alpukat, pisang, dan kopi),
tanaman semusim (jagung,
ketela pohon, ketela rambat,
cabai, dan jaheL rum put.
3 Pekalongan, pinus dan sayur-mayur Luas lahan tumpangsari = 0,25
Jawa Tengah ha dengan pola tanam tanaman
(Basuki, 2000) sayuran yang sesuai yaitu: luas
areal tanaman jagung 0,0587
ha, kol 0,0493 ha, kentang
0,1071 ha, bawang daun 0,0349
ha, dan seledri tidak ditanam/
sangat kecil ditanam sebagai
pembatas bagian plot.

~123~
Lanjutan Tabel 24.
No. lokasi/Sumber Pola tanam Hasil optimasi
4 Gunung Kidul, Pola 1 (jati, jagung, Kombinasi 1: luas lahan 0,5953
Yogyakarta kedelai,ubi Rayu), Pola 2 (jati, ha, ditanami jati sebanyak
(Darudono, kacang tanah, jagung, ubi 1.372. batang pada lahan
1995) kayu), Pola 3 (jati, jagung, 0,4188 ha dan kelapa sebanyak
kedelai, kacang tanah, 28 batang pada lahan seluas
ubikayu}, kelapa, ternak sapi, 0,1835 ha.
dan kambing. Kombinasi 2: luas lahan 0,5580
ha, ditanami tanaman pangan
Pola 2 seluas 0,4774 ha dan
rumput makanan ternak seluas
0,0806 ha. Dengan kebijakan
agroforestri, maka pola tanam
berubah menjadi: jati sebanyak
558 batang seluas Q,1674 ha,
pakan ternak 0,914 ha dan
tanaman pangan Pola 2 seluas
0,2292 ha.
Kombinasi 3: luas lahan 0,5776
ha, ditanami tanaman Pola 3
seluas 0,5776 ha. Dengan
kebijakan agroforestri, maka
berubah menjadi tanaman jati
577 batang seluas 0,1733 ha
dan tanaman Pola 3 seluas
0,4043 ha·.

Pilihan bentuk optimal dalam penerapan agroforestri ini dapat


meningkatkan pendapatan masyarakat dibandingkan pola tanam awalnya,
meskipun tidak selalu demikian karena nilai optimal belum tentu merupakan nilai
yang maksimal. Darudono (1995) menilai bahwa penerapan agroforestri pada
Kombinasi 3 dapat meningkatkan pendapatan sampai 65,60% dari pe"nerapan pola
sebelumnya (pola 3). Akan tetapi, kebijakan penerapan agroforestri pada
Kombinasi 2 menyebabkan pendapatan turun 6,22%.
Riset optimasi sebagai skenario pola tanam optimal dapat digunakan untuk
meminimalkan konflik dalam pengusahaan hutan ·negara. Basuki (2000)
menyebutkan bahwa ternyata pertumbuhan tanaman pinus di lahan agroforestri
sayuran mencapai 75,75% dan petani selain mendapatkan keuntungan juga
mendapatkan tambahan persediaan makanan pokok. Dengan demikian, hasil riset
optimasi dapat menjadi win-win solution dalam pengelolaan hutan bersama
masyarakat.
Riset optimasi dapat pula menjadi alat untuk menentukan kebijakan yang
tepat sebagai insentif bagi petani untuk mengelola lahan secara agroforestri.
Sampai saat ini, secara umum kondisi petani hutan rakyat masih terkendala pada
ketersediaan modal, bibit, pupuk, dan tenaga kerja (Jariyah, 2009). Andayani
(2005a) telah mengemukakan bahwa kendala dalam pengelolaan lahan adalah

ro.e124~
pemenuhan saprodi. Dengan memberikan insentif berupa kredit untuk pemenuhan
saprodi, maka keuntungan petani diprediksi akan meningkat sig~ifikan. Pendapatan
petani pada Region atas naik 25,4%-58,2% dengan komposisi tanaman kayu
(9,93%-33,7%L tanaman semusim dan hortikultura (10%), dan sisanya tanaman
perkebunan. Region tengah naik 30,7% dengan komposisi kayu dan tanaman
perkebunan 17,63% dan sisanya tanaman semusim. Jika seluruh areal ditanami
tanaman perkebunan, pendapatan naik 150%. Region bawah naik 21%-14Sro
dengan komposisi kayu (27,9%} dan kebun (72,10%).
Riset pemodelan dalam pengelolaan lahan tidak hanya untuk memberikan
alternatif pemilihan jenis tanaman untuk memberikan hasil yang lebih baik. Terkait
dengan isu perubah_an iklim dan perdagangan karbon, agroforestri dapat berperan
juga dalam jasa lingkungan yaitu dalam aktivitas penyerapan karbon yang dapat
memberikan imbal jasa lingkungan. lmbal jasa lingkungan menjadi bahan diskusi
ekonomi yang dapat r:'enjadi salah satu insentif untuk mempertahankan bentuk
hutan dan mengelola agroforestri dengan baik. Riset-riset agroforestri dan jasa
lingkungan, khususnya untuk penyerapan karbon dan hubungannya dengan
peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi topik yang menarik disamping
topik penelitian ekonomi pad a ·umumnya.
Wise dan Cacho {2008} melakukan pemodelan dengan menggunakan data
dari bentuk agroforestri di Jambi yaitu Gliricidia sepium yang merupakan pohon
multi manfaat dan jagung sebagai tanaman semusim. Model digunakan untuk
menghitung efek interaksi antara pohon dan tanaman semusim dalam bentuk
produk seperti bakar jagung. Untuk pembayaran karbon digunakan
perhitungan CER Reductions) dan NPV sehingga dihasilkan
optimasi produksi dan hasil
Skenario pemodelan ekonomi seperti penelitian Wise dan Cacho {2008} ini
dapat digunakan sebagai bahan kebijakan untuk menentukan strategi dalam
pemberian insentif pengelolaan agroforestri oleh petani. Tidak dapat dipungkiri
bahwa sebagai pemilik lahan, petani yang memiliki lahan relatif subur akan lebih
mudah untuk mengkonversi tanaman kehutanan menjadi pertanian. Berbeda
dengan petani yang memiliki ·Ia han kurang subur yang akan mendapat manfaat dari
adanya pohon sebagai penyubur tanah, dan bahkan pe~dapatan tambahan dari
pembayaran karbon. Karena itu, penelitian-penelitian pemodelan dan imbal jasa
lingkungan dapat menjadi salah satu topik penelitian ekonomi agroforestri kedepan
khususnya di lndo~esia mengingat komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi
karbon dari bidang kehutanan. Apabila pemerintah dan stakeholder lain lalai dalam
memperhitungkan emisi karbon dari areal penggunaan lain di luar kawasan hutan,
yang salah satunya adalah bentuk-bentuk agroforest, maka emisi akan tetap tinggi.
Kebijakan-kebijakan terkait agroforestri dalam menghadapi perubahan iklim
menjadi salah satu solusi untuk membantu penurunan emisi karbon khususnya dari
Indonesia.

&->125~
DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A.J. 1987. Pendapatan dan Biaya Pada Beberapa Sistem Agro
Kehutanan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Kediri. Sylva Tropika 2(1): 1-4.
Adjidarma. 1996. Sisi Lain Agroforestry di Pare. Duta Rimba 20: 44-49.
Affandi, 0. 2010. Reba Juma:,, Kelestarian Praktek Agroforestri Lokal Pada
Masyarakat Karo, Propinsi Sumatera Utara. Presiding Agroforestri
Tradisional di Indonesia bulan Desember 2010 di Bandar Lampung. Him.
123-136. UNILA, INAFE, SEANAFE, Ford Foundation dan FKKM. Bandar
Lampung.
Andayani, W. 2002. Analisis Finansial Potensi Sengon Rakyat Pola Agroforestry di
Kabupaten Wonosobo. Jurnal Hutan Rakyat 4(2): 1-23.
Andayani, W. 2005a. Analisis Optimalisasi P0m,~nfaatan Lahan Pola Agroforestri di
Kabupaten Magelang. Dalam: Andayani, W. 2005. Ekonomi Agroforestri.
Debut Press. Yogyakarta.
.
Andayani, W. 2005b. Analisis Sistem Bagi Hasil Pengusahaan Hutan Jati Pola
Agroforestri di KPH Pemalang, Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah. Dalam:
Andayani, W. 2005. Ekonomi Agroforestri. Debut Press. Yogyakarta.
Andayani, W. 2005c. Ekonomi Pengelolaan Hutan Rakyat: Aspek Kajian Pola
Usahatani dan Pemasaran Kayu Rakyat. Dalam: Awang, S.A. 2005.
Kelangkaan Air: Mitos Sosial, Kiat, dan Ekonomi Rakyat. Seri Bunga Rampai
Hutan Rakyat. Debut Press. Yogyakarta.
Andayani, W. 2008. Analisis Ekonomi Pola Usahatani Agroforestry di Kabupaten
Boyolali. Modul Mata Kuliah Pengelolaan Agroforestry (Aspek Ekonomi)
Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
(UGM). Yogyakarta. (tidak diterbitkan).

Andayani, W. 2010. Analisis Efisiensi Pemasaran Kacan~ Mete {Cashew Nuts) di


Kabupaten Wonogiri. Presiding Agroforestri Tradisional di Indonesia Bulan
Desember 2010 di Bandar Lampung. Him. 195-208. UNILA, INAFE, SEANAFE,
Ford Foundation dan FKKM. Bandar Lampung.
Basuki, S. 2000. Optimasi Pola Usaha Tumpangsari dengan Program Tujuan Ganda
pad a Areal Tanaman Pinus. Website: http://puslitsosekhut. web.id/
publikasi.php?id=10. Diakses tanggal15 Juni 2011.
Buddhisatyarini, T., Sutrisno, dan Triyono. 2005. Ragam Pola Hutan Rakyat di
Dlingon, Bantu!. Dalam: Awang, S.A. 2005. Petani, Ekonomi, dan Konservasi:
Aspek Penelitian dan Gagasan. Seri Bunga Rampai Hutan Rakyat. Debut
Press. Yogyakarta.

Budidarsono, S. dan K. Wijaya. Praktek Konservasi dalam Budidaya Kopi Robusta


dan Keuntungan Petani. Agrivita 26(1): 107-117.

II'P126~
Cahyono, Faktor Kelayakan,
Ra kyat. Info

Darudono. Usaha
Agroforestri: Tesis.
Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta. (tidak
Diniyati, D., S.E. Des a
Dukuh Dalam, Kabupaten Kuningan. Presiding Ekspose
Terpadu Hasil Penelitian Oktober 2004 di Yogyakarta. Him.
133-145. Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Yogya ka rta.

Ernaningsih, Y.i Tumbuhan dalam Peningkatan


Pendapatan Masyarakat (Studi Kasus di Sumberejo, Kecamatan Japah,
Kabupaten Rakyat 6(2): 47-64.

Hadi, Alokasi Waktu Pesanggem


Proyek Pengelolaan Hutan Jati Optimal (PHJO) di Tangen,
Nasional !groforestry lllPeranan Strategis
Sumber Alam Secara Lestari dan
di Him; Fakultas

Hakim, 1., S. Rehabilitasi dengan Pola


lau Jawa: Studi Kasus di KPH
Hasil Litbang
Hutan dan 'Ll'-'''-'YY~IC>Ll~~ 2004 di Palembang. Him.

76-90. Puslitbang (P3H&KA). Bogar.

Cultivation Crops People


Technical Report 1.

Harun, M.K.
Khas Lahan
Kalimantan
Litbang Kehutanan Indonesia
Bagian Timur, dan P3H&KA.
Bog or.
lkhsan, S. Paembonan, M.L. Lande, dan U. Arsyad. Studi Pengembangan
Hutan Tanaman lndustri Kemiri-Coklat dengan Agroforestri di
Kecamatan Camba Maras. Skripsi. Universitas Hasanuddin.
Makasar. (tidak diterbitkan).

lswandi M.R., A. Anwar A, B. Nasendi, H. Siregar. Analisis Ekonomi dan


Kelembagaan Hutan Rakyat Agroforestri · Kombinasi Jenis Pohon
Serbaguna dan Kakao: Studi Kasus di Propinsi Sulawesi Tenggara.
Buletin Penelitian Hasil Hutan 14(4):

&<>127~
Jariyah,

Kamaludin,
RPH
Kecamatan
Presiding
di Bandar
Soeharto, B. 2010. Tembawang: Bukan Agroforestri. Kiprah
Agroforestri 3(3):

Soekartawi, 2002, Analisis Usaha Tani. Ul []Press.

Sudibjo, N. 1999. Kajian dan Kontribusinya terhadap


Pendapatan Rumah Muara Bungo, Bungo Tebo,
Jambi). Workin,g

Suharjito, D., L. Sundawati, Sosial Ekonomi


dan Budaya
(ICRAF) SEA. Bogor.

Sumarhani. 2005. Pengelolaan Sebagai Solusi


Rehabilitasi Sumedang, dan KPH
Tasikmalaya). Presiding Hasil Litbang Hutan dan
Konservasi Alam tanggal Palembang. Him. 91-100.
P3H&KA.

Sundawati, L. Sistem Kebun


Agroforestry.

Sundawati 1 L dan System


in Gunung

Surata, I.K. in The Savanna of Timor


Island,

Suryadi, M.A.S. Mahbub, dan M.L Madjo~ Hutan Kemiri


Rakyat di Desa Kecamatan Kabupaten Sinjai.
Skripsi. Jurusan Kehutanan· Makasar. (tidak
diterbitkan).

Susanti, 2000. Dampak Tumpangsari Kayu Putih terhadap


Kesempatan Kerja Pendapatan Pesanggem di RPH
Kemuning, BKPH Kemlagi KPH Mojokerto. Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. diterbitkan).

Syahrani H. 2003. Analisis Kelayakan Finansial


Tanaman Buah Durian (Durio Zibethis Murr) di' Ka Kutai Kertanegara
Propinsi Kalimantan Timur. Jurnal Ekonomi Pembangunan 8(2): 137-146.

Trison, S. 2008. Konsep dan Proses Agroforestry. Dalam:


Sundawati, L D.R. Nurrochmat (eds). Pemasaran Produk-produk
Agroforestry. Fakultas Kehutanan World Agroforestry Centre
(ICRAF). Bogor.

~Tukan, C.J.M., Yulianti, J.M. Roshetko, D.


dari Lahan Petani di Propinsi Lampung. Agrivita

Utami, D., 0. Satjapradja, dan Susdiyanti. 2003. Dampak Pengembangan Repong


Damar Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Hutan Studi Kasus di

~130~
Hutan Pahmungan, Krui Lampung Barat. Skripsi. Fakultas
Kehutanan Nusa Bangsa. Bogor. (tidak diterbitkan).

Wijayanto, N. 2002a. Analisis Strategis Sistem Pengelolaan Repong Damar di Pesisir


Krui, Lampung. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 8(1): 39-49.
Wijayanto, N. 2002b. Kontribusi Repong Damar Terhadap Perekonomian Regional
dan Distribusi Pendapatan. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 8(1): 1-9.
Wijayanto, N. 2004. Mixed Garden Management and Its Contribution to Household
Income Farmers in Hegarmanah Village, Subdistrict of Cicantayan, Sukabumi ,
District. Website: http://repository.ipb.ac.id/ bitstream/handle/123456789/
24173/Mixed%20garden%20management%20and%20its%202%201br.pdf?s
equence=l. Diakses tanggal 15 Juni 2011.

Wiliamsyah, A. Umar, dan S. Millang. 2003. Studi Pola Agroforestri dan Pendapatan
Usa"hatani di Desa Barugae, Kecam.atan Mallawa Kabupaten Maros SuJawesi
Selatan. Skripsi. Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makasar. (tidak
diterbitkan).
Widyaningsih, D. Diniyati. 2010. Kontribusi Ekonomi dan Sistem Pemasaran
Hasil Hutan Rakyat Pola Wanafarma di Majenang, Cilacap. Jurnal Penelitian
Sosial dan Kehutanan 7(1): 55-71.
Wise, R. dan 2008. Bioeconomic Meta-Modelling of Indonesian
Agroforests as Sinks. Makalah pada 52nd Annual Conference La
Australian Agricultural and Resource Economics Society tanggal S-8 Februari
2008 di Canberra. Website: http://ageconsearch.umn.edu/ bitstream/
6772/2/cp08wi01.pdf. Diakses tanggal1 Agustus 2011.

~131~
-
VI. KEBUTUHAN RISET AGROFORESTRI

A. Riset Silvikultur

Agroforestri dapat dipandang sebagai seni penggunaan lahan untuk


membuat penghidupan di perdesaan lebih produktif dan menarik. Peningkatan
produktivitas fisik per satuan luas lahan hanya dapat dilakukan dengan aplikasi
teknologi agroforestri baik yang berasal dari /oka/ knowledge maupun scientific
knowledge. Pengetahuan lokal masyarakat perlu didukung dengan inovasi-inovasi
hasil penelitian yang mampu menawarkan teknologi baru yang tepat guna yaitu
mudah, murah dan adapted bagi petani narnun secara signifikan mampu
meningkatkan produktivitas agroforestri. .
Beberapa penelitian yang perlu dilakukan dalam rangka aplikasi pola tanam
agrof6restri untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah:
1. Penelitian pemilihan jenis-jenis tanaman yang sesuai dengan karakteristik
tipe Ia han serta memberikan efek positif dalam interaksi antar tanaman.
2. Pemuliaan tanaman untuk meningkatkan prod4ktivitas agroforestri.
3. Desain kombinasi jenis dan inovasi teknologi baru dalam pola tanam
agroforestri.
4. Teknologi dalam pemeliharaan tanaman untuk meningkatkan produktivitas.
5. ldentifikasi dan pengendalian hama dan penyakit tanaman pada pola
agrofo rest ri.
6. Teknologi budidaya untuk pengembangan bentuk-bentuk agroforestri
seperti silvofishery, apikultur, silvopastura, dan lain-lain.
7. Teknologi budidaya untuk pengembangan agroforestri dalam upaya
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

B. Riset lingkungan

1. Pelayanan lingkungan Agroforestri


Kerusakan hutan, perubahan iklim, dan pemanasan global, menyebabkan
manfaat tidak langsung dari hutan berkurang. Selain itu terjadinya alih fungsi lahan
hutan menjadi Ia han ·usaha lain terutama pertanian di bagian hulu DAS telah
menyebabkan erosi, degradasi debit dan kualitas air serta pencemaran di bagian
hilir. Oleh karena itu diperlukan penelitian dan pengembangan agroforestri yang
dapat memberikan pelayanan lingkungan antara lain:
a. Pengembangan agroforestri dalam mempertahankan fungsi DAS dan
membangun mekanisme hulu-hilir DAS.
b. Pengembangan agroforestri dalam penyerapan C0 2 dan upaya menghadapi
perubahan iklim.
c. Pengembangan agroforestri dalam mempertahankan keanekaragaman
hayati.

&->133~
2. Pelayanan lingkungan pada Suatu Bentang lahan
Bentang lahan merupakan panorama atas suatu hamparan daratan yang
terdiri atas berbagai keadaan alam baik alami maupun buatan manusia. Dalam
suatu bentang lahan terdapat berbagai pola penggunaan lahan, baik agroforestri,
pertanian, hutan lindung, dan sebagainya, sehingga diperlukan penelitian tentang
fungsi layanan lingkungan dalam suatu bentang lahan, antara lain:
1) Fungsi hidrologi DAS dalam suatu bentang lahan.
2) Penyerapan C0 2 pada suatu bentang lahan.
3) Keanekaragaman hayati pada suatu bentang lahan.

C. Riset Sosial

1. Kajian Kebijakan
Kajian kebijakan agroforestri menjadi sangat penting dan strategis, karena
kegiatan agroforestri diyakini merupakan solusi dari setiap permasalahan petani
selama ini terkait dengan keterbatasan lahan. Beberapa bentuk penelitian
kebijakan tersebut adalah:
1) ldentifikasi kebijakan dan peraturan yang mempengaruhi praktik
agroforestri.
2) Anal isis stakeholder terkait agroforestri.
3) Evaluasi kebijakan yang mempengaruhi praktik agroforestri.
4) Sistem kebijakan insentif dalam agroforestri.
5) Analisis kebijakan untuk pengembangan agroforestri pada berbagai tipe
lahan yang dapat meningkatkan daya dukung lingkungan dan berperan
dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

2. Kajian Gender
Perbedaan gender dalam suatu masyarakat menggambarkan perbedaan
peran laki-laki dan perempuan, bukan disebabkan oleh perbedaan biologis,
melainkan oleh nilai-nilai, norma-norma, hukum, dan ideologi dari masyarakat yang
bersangkutan. Pada beberapa daerah, aspek gender terkait dengan aspek tenurial
dimana di dalamnya berhubungan dengan relasi gender, etnik, marga/suku,
hubungan keluarga, atau kelas yang mempengaruhi seseorang untuk mendapatkan
akses atas tanah dan sumber daya alam, pembagian kerja, serta pola pemanfaatan
waktu antara laki-laki dan perempuan.

3. Kajian Sistem Penguasaan Tanah/Tenurial


Sistem penguasaan tanah menjelaskan hak-hak yang dimiliki atas tanah.
Pada saat yang sama di bidang tanah yang sama, bisa saja terdapat sejumlah p~hak
yang memiliki hak penguasaan atas tanah secara bersamaan tetapi dengan sifat
hak yang berbeda-beda. Beberapa kajian terkait permasalahan tenurial yang dapat
dilakukan adalah subjek, objek hak, dan jenis hak, jaminan kepastian terhadap hak
penguasaan (tenure security}, konflik tenurial, dan res·olusi konflik. Penerapan
agroforestri dapat menjadi salah satu solusi untuk penyelesaian konflik.

ibel34~
D. Riset Ekonomi

Agroforestri merupakan usaha untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan


untuk mendapatkan hasil yang berkelanjutan dan keuntungan yang dapat
membantu meningkatkan kesejahteraan. Dinamisnya penggunaan lahan oleh
petani/perusahaan dalam menerapkan pola agroforestri, baik pada jenis
tanaman/ternak penyusunnya, sistem budidaya dan teknologi baru yang
diterapkan, p_emasaran produk, serta kebijakan yang ada memerlukan jawaban dan
solusi dari hasil penelitian. Oleh karena itu, keenam topik hasil-hasil penelitian
ekonomi agroforestri seperti yang sudah diuraikan di bagian sebelumnya dapat
terus dilakukan dengan mengarah pada pemberian solusi daripada penggambaran
belaka. Berdasarkan hasil-hasil penelitian internasional dan yang bany~k menjadi
permasalahan di Indonesia, topik-topik penelitian yang penting dan perlu terus
diperdalam dalam kaitannya dengan ekonomi di antaranya:
1) Analisis ekonomi (meliputi analisis biaya-manfaat, optimasi, dan programa
matematika/pemodelan).
2) Peran dan kontribusi agroforestri terhadap perekonomian baik secara
mikro maupun makro.
3) Peran dan kontribusi agroforestri untuk menjawab isu kesejahteraan dan
keadilan.
4) Analisis pasar produk-produk agroforestri.
5) Kajian pembiayaan dalam pengusahaan agroforestri.
6) Keterkaitan biofisik terhadap ekonomi dan non market valuation.
7) Peran dan kontribusi ekonomi agroforestri dalam perdagangan karbon
serta upaya-upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

roel35~
II

Anda mungkin juga menyukai