Oleh
ILHAM ARIEF WICAKSONO
NIM. 1610511110005
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha
Esa, Karena atas rahmat dan karunia-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Pengaruh Pemberian Dosis Kapur Tohor terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Kedelai Varietas Anjasmoro di Tanah Gambut, tepat pada
waktunya.
Penulis mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada ibu Ir.
Chatimatun Nisa, M.S dan Bapak Yudhi Ahmad Nazari, S.P., M.P sebagai
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan saran sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis ucapkan terimakasih kepada keluarga dan teman-teman atas do’a
dan dukungannya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
kita semua. Amin.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN . .................................................................................... 1
Halaman
Hasil ................................................................................................ 23
Tinggi Tanaman ....................................................................... 23
Jumlah Daun ............................................................................. 24
Waktu Muncul Bunga .............................................................. 27
Jumlah Cabang Produktif ......................................................... 27
Bobot Kering Tajuk .................................................................. 28
Bobot kering Akar .................................................................... 28
Waktu Panen ............................................................................ 29
Jumlah Polong isi ..................................................................... 29
Bobot 100 Biji .......................................................................... 30
Bobot Polong Isi ....................................................................... 30
Hasil Panen Pertanaman ........................................................... 31
Pembahasan ..................................................................................... 31
Tinggi Tanaman ....................................................................... 31
Jumlah Daun ............................................................................. 33
Waktu Muncul Bunga .............................................................. 34
Jumlah Cabang Produktif ......................................................... 35
Bobot Kering Tajuk .................................................................. 36
Bobot kering Akar .................................................................... 36
Waktu Panen ............................................................................ 37
Jumlah Polong isi ..................................................................... 37
Bobot 100 Biji .......................................................................... 38
Bobot Polong Isi ....................................................................... 38
Hasil Panen Pertanaman ........................................................... 39
Kesimpulan...................................................................................... 41
Saran ................................................................................................ 41
LAMPIRAN ................................................................................................ 48
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
11. Rerata Pemberian Perlakuan Dosis Kapur Terhadap Bobot 100 Biji .. 30
Nomor Halaman
Nomor Halaman
4. Perhitungan Dosis Pupuk Urea, Pupuk SP-36, Pupuk KCL, Kapur ...... 51
10. Hasil Rerata Tinggi Tanaman 28 hst dan Analisis Ragamnya .............. 60
11. Hasil Rerata Tinggi Tanaman 35 hst dan Analisis Ragamnya .............. 61
12. Hasil Rerata Jumlah daun 14 hst dan Analisis Ragamnya .................... 62
13. Hasil Rerata Jumlah Daun 21 hst dan Analisis Ragamnya ................... 63
14. Hasil Rerata Jumlah Daun 28 hst dan Analisis Ragamnya ................... 64
15. Hasil Rerata Jumlah Daun 35 hst dan Analisis Ragamnya ................... 65
17. Hasil Rerata Waktu Muncul Bunga dan Analisis Ragamnya ............... 66
18. Hasil Rerata Jumlah Cabang Produktif dan Analisis Ragamnya .......... 67
19. Hasil Rerata Berat Kering Tajuk dan Analisis Ragamnya .................... 68
20. Hasil Rerata Berat Kering Akar dan Analisis Ragamnya ..................... 69
22. Hasil Rerata Jumlah Polong Isi dan Analisis Ragamnya ...................... 71
23. Hasil Rerata Bobot 100 Biji dan Analisis Ragamnya ........................... 72
xii
Halaman
24. Hasil Rerata Bobot Polong Isi dan Analisis Ragamnya ........................ 73
25. Hasil Rerata Hasil Panen Pertanaman dan Analisis ragamnya ............. 74
28. Data Curah Hujan Harian Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) ................................................................................................. 81
PENDAHULUAN
Latar Belakang
dijumpai pada tanah gambut adalah reaksi tanah tergolong sangat masam yang
berasal dari berbagai asam organik yang terbentuk selama pelapukan, kandungan
hara makro dan mikro rendah, kapasitas tukar kation yang tinggi sedangkan
kejenuhan basah rendah sehingga kation-kation Ca, Mg dan K sukar tersedia bagi
tanaman, karena gambut kaya akan bahan organik maka unsur mikro seperti Cu,
Mn, dan Fe membentuk khelat dengan senyawa organik sehingga sukar tersedia
bagi tanaman dan, pelapukan senyawa organik menyebabkan gambut kaya dengan
asam-asam organik yang meracuni tanaman, terutama senyawa fenol (Sabiham,
1996).
Ameliorasi merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk menjamin
keberhasilan dalam pemanfatan lahan gambut. Ameliorasi merupakan cara atau
kegiatan untuk memperbaiki sifat tanah agar tanaman dapat tumbuh dan
berproduksi dengan baik, dengan menggunakan bahan pembenah tanah.
Penggunaan bahan amelioran (bahan pembenah tanah) ini dimaksudkan untuk
memperbaiki sifat tanah dalam waktu yang relatif lama, sehingga selain mampu
meningkatkan kesuburan tanah juga memberikan nilai keuntungan lain yaitu
penurunan biaya produksi (Masganti, 2018). Salah satu bahan amelioran yang
dapat digunakan adalah kapur. Salah satu jenis kapur yang biasa digunakan
sebagai amelioran adalah kapur tohor.
Kapur tohor (Kalsium Oksida/ CaO), secara umum dikenal sebagai kapur
mentah atau kapur bakar, adalah senyawa kimia yang digunakan secara luas.
Kalsium oksida merupakan kristal basa, kaustik, zat padat putih pada suhu kamar.
Istilah yang luas digunakan “kapur” berkonotasi bahan anorganik yang
mengandung kalsium, yang meliputi karbonat, oksida dan hidroksida kalsium,
silikon, magnesium, aluminium, dan besi mendominasi, seperti batu gamping.
Sebaliknya, “kapur mentah” khusus berlaku senyawa kimia tunggal. Nama
IUPAC kapur tohor ialah Kalsium Oksida, nama lainnya kapur mentah, kapur
bakar, kapur tohor. Adapun sifat-sifatnya adalah rumus molekul CaO, berat
molekul 56,0774 gr/mol, penampilan serbuk putih sampai kuning pucat/coklat,
tidak berbau, densitas 3,34 gr/cm3, titik lebur 2613°C, 2886°K, 4735°F, titik didih
4
2850°C, 3123°K (100 hPa), kelarutan dalam air 1,19 g/L (25°C), 0,57 g/L
(100°C), rekasi eksoterm, kelarutan dalam methanol tidak telarut (juga dalam
dietil eter, n-oktanol), keasaman (pKa) 12,8, entropi molar standar (S°298) 40 J
mol-1 K-1, entalpi pembentukan standar (ΔfH°298) -635 kJ mol-1, tidak terbakar,
dan kadar CaO dalam kapur antara 60-70% (Dhika, 2011).
Hasil penelitian sebelumya menunjukan bahwa pemberian kapur di lahan
gambut menunjukan bahwa kapur cukup diberikan 1 t ha-1 setara CaO, baik dalam
bentuk kapur dolomit, kalsit atau kapur oksida saat pengolahan tanah (Anwar &
Alwi 2001). Hasil yang sama dilaporkan oleh Uguru et al., (2012), bahwa
penambahan kapur 1,15 t ha-1 meningkatkan pH tanah dari 5,5 menjadi 6,0 dan
meningkatkan hasil kedelai dari 1,32 t ha-1 menjadi 1,5 t ha-1. Penampilan
agronomis dan hasil kedelai sangat dipengaruhi oleh tingkat kemasaman tanah.
Peningkatan pH tanah melalui pengapuran, meningkatkan hasil kedelai.
Varietas kedelai yang diamati adalah varietas Anjasmoro. Varietas
Anjasmoro adalah varietas unggul kedelai yang dapat beradaptasi di
agroekosistem lahan sawah, lahan kering, lahan lebak, dan lahan rawa pasang
surut. Varietas unggul disenangi petani karena produksinya tinggi, bijinya besar,
dan polong tidak mudah pecah (Jumakir & Endrizal, 2003).
Penelitian pemberian dosis kapur tohor di tanah gambut sangat menguntungkan
sebab memperbaiki kesuburan tanah yang masam dan meningkatkan efektifitas
bakteri penambat N. Dengan ini budidaya tanaman kedelai di tanah gambut bisa
dilakukan dengan dosis kapur tohor yang diberikan tidak menghambat
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai.
Perumusan Masalah
Hipotesis
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian dosis
kapur tohor terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai varietas Anjasmoro di tanah
gambut.
Manfaat Penelitian:
Tanaman Kedelai
Kedelai merupakan tanaman asli Daratan Cina dan telah dibudidayakan oleh
manusia sejak 2500 SM. Sejalan dengan makin berkembangnya perdagangan
antar negara yang terjadi pada awal abad ke-19, menyebabkan tanaman kedelai
juga ikut tersebar ke berbagai negara tujuan perdagangan tersebut, yaitu Jepang,
Korea, Indonesia, India, Australia, dan Amerika. Kedelai mulai dikenal di
Indonesia sejak abad ke-16. Awal mula penyebaran dan pembudidayaan kedelai
yaitu di Pulau Jawa, kemudian berkembang ke Bali, Nusa Tenggara, dan pulau-
pulau lainnya. Pada awalnya, kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu
Glycine soja dan Soja max. Namun pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama
botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L.) Merrill
(Irwan, 2006).
Penyebaran di Indonesia
kedelai. Pada tahun 1935 kedelai telah ditanam diseluruh wilayah Jawa. Diduga
kedelai di Jawa berasal dari India, berdasarkan kesamaan nama sebagaimana
banyak dikenal di Tamil dan juga berdasarkan bentuk bijinya yang lonjong seperti
yang ada di India Utara, yang berbeda bila dibandingkan dengan kedelai di
Manchuria yang berbentuk bulat. Saat ini, tanaman kedelai telah berkembang
dibanyak negara, bahkan negara Amerika dan sebagian Amerika Selatan
merupakan produsen kedelai utama di dunia (Shurtleff dan Aoyagi, 2007).
ketika tanaman berumur 15-20 hari setelah tanam. Bintil akar ini di bentuk oleh
Rhizobium japonicum pada saat tanaman kedelai masih muda, yaitu setelah
terbentuknya akar rambut pada akar utama atau pada akar cabang.
Akar tanaman kedelai terdiri atas akar tunggang, akar lateral dan akar serabut.
Pada tanah yang gembur, akar ini dapat menembus tanah sampai kedalaman
kurang lebih 1,5 m. Pada akar lateral terdapat bintil-bintil akar yang merupakan
kumpulan bakteri Rhizobium pengikat nitrogen dari udara. Bintil akar ini
biasanya akan terbentuk 15-20 hari setelah tanam (Hanafiah et al., 2000).
Cabang akan muncul di batang tanaman. Jumlah cabang tergantung dari
varietas dan kondisi tanah, tetapi ada juga varietas kedelai yang tidak bercabang.
Jumlah cabang bisa menjadi sedikit bila penanaman dirapatkan dari 250.000
tanaman/hektar menjadi 500.000 tanaman/hektar. Jumlah cabang tidak
mempunyai hubungan yang signifikan dengan jumlah biji yang diproduksi.
Artinya, walaupun jumlah cabang banyak, belum tentu produksi kedelai juga
banyak (Irwan, 2006).
Tanaman kedelai mulai berbunga antara umur 30-50 hari, tergantung dari
varietas dan iklim. Semakin pendek penyinaran dan semakin tinggi suhu
udaranya, akan semakin cepat berbunga. Bunga kedelai berbentuk kupu-kupu,
berwarna ungu atau putih dan muncul diketiak daun (Fachruddin, 2000).
Polong dan biji kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah
munculnya bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm. Jumlah polong
yang terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah
dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat mencapai
lebih dari 50, bahkan ratusan. Di dalam polong terdapat biji yang berjumlah 2-3
biji. Setiap biji kedelai mempunyai ukuran bervariasi, mulai dari kecil (sekitar 7-
9 g/100 biji), sedang (10-13 g/100 biji), dan besar (>13 g/100 biji). Biji kedelai
terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu kulit biji dan janin (embrio) (Irwan,
2006).
Tanda-tanda kedelai matang antara lain daun-daunnya rontok, warna polong
telah berubah menjadi kecoklatan atau keabu-abuan, warna batang tidak hijau lagi
9
dan kulit polong mudah dikupas. Pada masak fisiologis, bobot kering telah
mencapai bobot maksimum, namun polong masih berwarna hijau dan daun belum
rontok. Dari stadia ini, benih masih berkadar air sekitar 50%, tetapi bila
dikeringkan dapat tumbuh normal sekalipun perawatannya lebih sulit. Tanaman
kedelai berdasarkan umur dapat dibedakan menjadi tiga varietas, yaitu varietas
genjah yang berumur 75-85 hari, varietas sedang berumur 86-95 hari dan varietas
dalam lebih dari 95 hari (Suwarno dan Harto, 1983). Varieatas Orba umur panen
81 hari setelah tanam (HST) menghasilkan viabilitas benih yang lebih baik dari
pada 88 HST. Demikian juga benih yang dipanen pada umur panen 88 HST
viabilitasnya lebih baik dari pada yang dipanen pada 95 HST (Thelma, 1990).
Syarat Tumbuh
Untuk dapat tumbuh dengan baik, kedelai menghendaki tanah yang subur,
dan kaya akan humus serta bahan organik dengan pH 6-7. Bahan organik yang
cukup dalam tanah akan memperbaiki daya olah tanah dan merupakan sumber
makanan jasad renik yang akan membebaskan unsur hara untuk pertumbuhan
tanaman (Yenita, 2002).
Keadaan pH tanah yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman kedelai berkisar
antara 5,5-6,5. Selain mempengaruhi penyerapan hara oleh perakaran tanaman,
tanah masam (pH tanah 4,6-5,5) juga mempengaruhi kemampuan penetrasi
bakteri Rhizobium ke perakaran tanaman untuk membentuk bintil akar. Pada
10
tanah dengan nilai pH lebih dari 7, kedelai sering menampakkan gejala klorosis
karena kekurangan hara besi (Masruroh, 2008).
Iklim kering lebih disukai tanaman kedelai dibandingkan dengan iklim sangat
lembab. Tanaman kedelai sebagian besar tumbuh di daerah yang beriklim tropis
dan subtropis. Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai antara 21-34 ºC, akan
tetapi suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai adalah 23-27 ºC. Pada
proses perkecambahan benih kedelai memerlukan suhu sekitar 30 ºC. (Rukmana
dan Yuniarsih, 2001).
Hal yang terpenting pada aspek distribusi curah hujan yaitu jumlahnya merata
sehingga kebutuhan air pada tanaman kedelai dapat terpenuhi. Jumlah air yang
digunakan oleh tanaman kedelai tergantung pada kondisi iklim, sistem
pengelolaan tanaman, dan lama periode tumbuh. Namun demikian, pada
umumnya kebutuhan air pada tanaman kedelai berkisar 350-450 mm selama masa
pertumbuhan kedelai (Irwan, 2006).
Varietas lokal yang ditanam dalam jangka waktu yang lama kemungkinan
menimbulkan keragaman genetik (populasi yang heterogen). Seleksi galur
(individu) dapat dilakukan apabila di dalam suatu varietas/populasi lokalatau
introduksi tersebut terdapat individu yang memiliki sifat-sifat (keragaan)seperti
yang diinginkan. Individu-individu pilihan dikembangkan dan diuji ebih lanjut
sehingga diperoleh galur-galur homozigot (seragam) harapansebagai calon
varietas baru. Varietas kedelai yang dikembangkan denganmetode ini antara lain
adalah Argomulyo, Bromo, Burangrang, Anjasmoro,dan Mahameru (Arsyad., et
al, 2007).
Varietas Anjasmoro memiliki warna biji kuning agak mengkilat, hilum
berwarna cerah dan hal ini menjadi salah satu preferensi petani, disamping karena
memiliki produktivitas yang lebih tinggi dari varietas unggul yang dilepas
sebelumnya. Anjasmoro cocok didaerah Lampung Tengah, Medan, maupun
11
Tanah Gambut
air tawar mulai berkembang. Tumbuhan yang telh mati, roboh dan sebagaian
besar terendam terawetkan dalam rawa-rawa, yang jenuh air dan tidak teroksidasi.
Selanjutnya dengan bantuan bakteri aerobik dan bakteri anaerobik, tumbuhan
tersebut terurai menjadi sisa-sisa tumbuhan yang lebih stabil dan terproses
menjadi endapan organik yang disebut gambut (peatification). Oleh karena itu,
sifat dari endapan gambut ini adalah selalu jenuh air hingga 90% walaupun
letaknya di atas permukaan laut.
Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa inggris antara lain
disebut “ Peat, Bog, atau Fen” istilah ini berkenan dengan perbedaan jenis atau
sifat gambut antara satu tempat dan tempat lainya. Istilah gambut diambil alih
dari kosa kata bahasa Kalimantan Selatan (Suku Banjar). Menurut Andriesse
(1992), gambut adalah tanah organik (organic soil) tetapi tidak berarti bahwa
tanah organik adalah tanah gambut. Istilah lain untuk lahan gambut juga sering
digunakan yaitu rawa gambut yang diartikan kadang-kadang sebagai lahan basah.
Dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikelompokan kedalam ordo Histosol atau
sebelumnya dinamakan Orgonosol yang mempunyai ciri dan sifat yang berbeda
dengan jenis tanah mineral umumnya. Tanah gambut mempunyai sifat beragam
karena perbedaan bahan asal, proses pembentukan, dan lingkungannya (Noor,
2001).
Berdasarkan tingkat kematangan/dekomposisi, bahan organik dapat
dibedakan atas tiga macam, yakni bahan organik dengan tingkat dekomposisi
awal disebut bahan organik fibrik, jaringan-jaringan (fibers) tumbuhan masih
nampak jelas (mudah dikenal), bahan organik hemik, bahan organik sekitar
separuh (hemi = separuh/pertengahan) telah mengalami dekomposisi, dan bahan
organik saprik, sebagian besar bahan organik telah mengalami dekomposisi.
Penetapan tingkat kematangan/pelapukan tanah gambut di lapangan dapat
dilakukan dengan cara mengambil segenggam tanah gambut kemudian diperas
dengan telapak tangan secara pelan-pelan, lalu diamati sisa-sisa serat yang
tertinggal dalam telapak tangan: bila kandungan serat yang tertinggal dalam
telapak tangan setelah diperas adalah tiga perempat bagian atau lebih (≥ ¾), maka
13
tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis fibrik, bila kandungan serat
yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan kurang dari tiga perempat
sampai seperempat bagian atau lebih (<¾ - ≥¼), maka tanah gambut tersebut
digolongkan kedalam jenis hemik, dan bila kandungan serat yang tertinggal dalam
telapak tangan setelah pemerasan kurang dari seperempat bagian (<¼); maka
tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis saprik. Cara lain untuk
membedakan tingkat kematangan/pelapukan tanah gambut adalah dengan
memperhatikan warna. Jenis tanah gambut fibrik akan memperlihatkan warna
hitam muda (agak terang), kemudian disusul hemik dengan warna hitam agak
gelap dan seterusnya saprik berwarna hitam gelap (Nurida et al., 2011).
Ketebalan gambut bervariasi sesuai dengan letak fisiografi. Di daerah
mudflat, aluvial-marin, dan levee tidak terjadi akumulasi bahan organik,
sedangkan di daerah backswamp akumulasi bahan organik mulai terjadi tetapi
tebalnya kurang dari 40 cm, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai tanah
gambut (Histosols). Daerah yang paling cocok untuk pembentukan gambut
adalah daerah depresi yang secara terus-menerus terjadi genangan air, sehingga
dekomposisi bahan organik terhambat, akibatnya kandungan dan ketebalan bahan
organik semakin meningkat. Tebal gambut semakin meningkat kearah pusat
depresi, dan ketebalan gambut> 8 m sering ditemukan di daerah Riau, Jambi, dan
Kalimantan Tengah. Berdasarkan ketebalannya, Nurida et al., (2011),
membedakan gambut menjadi: gambut dangkal (< 100 cm), gambut sedang (100–
200 cm), gambut dalam (200–400 cm), dan gambut sangat dalam (> 400 cm).
Sifat kimia dan fisika tanah gambu penting diperhatikan dalam pengelolaan
lahan gambut. Sifat kimia seperti pH, kadar abu, kadar N, P, K, kejenuhan basa
(KB), dan hara mikro merupakan informasi yang perlu diperhatikan dalam
pemupukan di tanah gambut. Sifat fisika gambut yang spesifik yaitu berat isi
(bulk density) yang rendah berimplikasi terhadap daya menahan beban tanaman
yang rendah. Selain itu agar tanah gambut dapat digunakan dalam jangka waktu
yang lama, maka laju subsiden (penurunan permukaan tanah) dan sifat mengering
14
tidak balik (irreversible drying) perlu dikendalikan agar gambut tidak cepat habis
(Hartatik et al., 2004).
Selain masalah sifat fisik dan kimia tanah gambut, juga terdapat masalah
biologi yaitu terjadinya kehilangan unsur C dan N akibat mineralisasi C dan N-
organik. Pada lingkungan gambut yang relatif, laju dekomposisi gambut sangat
lambat dan banyak dihasilkan asam organik beracun, serta kadar CH4 dan CO2,
CH4 dan CO2 merupakan gas utama yang menentukan efek rumah kaca atau
pemanasan global, oleh sebab itu lahan gambut yang merupakan tempat
akumulasi karbon harus dikelola dengan baik agar tidak menjadi penyebab
pemanasan global yang akhirnya berpengaruh buruk pada kehidupan makhluk
hidup (Suriadikarta, 2012).
Amelioran Kapur
Lahan gambut bersifat sangat masam karena kadar asam-asam organik sangat
tinggi dari hasil pelapukan bahan organik. Sebagian dari asam-asam organik
tersebut, khususnya golongan asam fenolat, bersifat racun dan menghambat
perkembangan akar tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman sangat terganggu.
Ameliorasi diperlukan untuk mengatasi kendala reaksi tanah masam dan
keberadaan asam organik beracun, sehingga media perakaran tanaman menjadi
lebih baik. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat
diberikan sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan pH dan basa-basa tanah
(Mario, 2002). Namun tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup
ditingkatkan sampai pH 5,0 karena gambut tidak memiliki potensi Al yang
beracun. Peningkatan pH terlalu tinggi justru berdampak buruk karena laju
dekomposisi gambut menjadi terlalu cepat
Kapur memberikan pengaruh yang bervariasi pada tanah pertanian karena
fungsinya bermacam-macam bagi tanah dan tanaman. Pengapuran tanah masam
dengan bahan mengandung Ca dan Mg dapat mengurangi kemasaman tanah. Tnah
dikapur bukan semata-mata ingin menaikkan pH tetapi karena tingginya Al. Al itu
yang sebenarnya yang menjadi problem pada tanah masam, karena menghambat
15
Bahan
Tanah. Tanah yang digunakan adalah tanah gambut yang digunakan sebagai
media tanam. Tanah gambut diperoleh dari Jalan A. Yani, Kelurahan Landasan
Ulin Timur, Kecamatan Landasan Ulin, Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan
Selatan.
Kapur. Kapur yang digunakan sebagai perlakuan dalam penelitian ini adalah
kapur tohor. Kapur tohor ini diberikan 2 minggu sebelum tanam dengan dosis
sesuai dengan perlakuan.
Alat
Alat tulis. Alat tulis digunakan untuk mencatat semua hasil pengamatan yang
didapatkan.
Rancangan Penelitian
Pelaksanaa penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2020 sampai dengan bulan Juli
2020 di Rumah Kawat Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA)
Provinsi Kalimantan Selatan.
Pelaksanaan
Persiapan media tanam. Media tanam yang digunakan adalah jenis tanah
gambut yang diambil di Jalan A. Yani, Kelurahan Landasan Ulin Timur,
19
Penyiraman. Penyiraman dilakukan pada pagi dan sore hari dan penyiraman
dilakukan juga pada saat inkubasi untuk menjaga kelembapan tanah.
20
Pengamatan
Tinggi tanaman. Tinggi tanaman diukur pada setiap satu minggu sekali
sampai mencapai masa generatif (pembentukan bunga). Pengukuran dilakukan
mulai dari pangkal batang atas permukaan tanah sampai dengan ujung tanaman
yang tertinggi dengan menggunakan meteran dalam satuan sentimeter (cm).
Jumlah daun. Jumlah daun dengan menghitung seluruh daun yang telah
membuka sempurna. Pengukuran dilaukan setiap satu minggu sekali.
Waktu muncul bunga. Waktu muncul bunga pertama dilakukan pada saat
muncul bunga pertama yaitu dari awal tanam sampai muncul bunga pertama
mekar.
Bobot kering tajuk. Bobot kering tajuk dihitung pada saat panen. Bagian
tajuk tanaman dipisahkan dari akar dengan cara bagian pangkal batang dipotg,
lalu dibersihkan dari kotoran yang ada. Kemudian dikeringkan dengan
menggunakan oven dengan suhu 70°C selama ± 3 hari hingga bobot konstan.
Setelah kering, ditimbang dengan menggunakan timbangan dalam satuan gram.
21
Bobot kering akar. Bobot kering akar dihitung pada saat panen. Bagian akar
tanaman dipisahkan dari tajuk, lalu dibersihkan dari kotoran yang ada. Kemudian
dikeringkan dengan menggunakan oven dengan suhu 70°C selama ± 3 hari hingga
bobot konstan. Setelah kering, ditimbang dengan menggunakan timbangan dalam
satuan gram.
Waktu panen. Waktu panen diamati apabila 95% polong telah matang
(kuning kecoklatan atau kehitaman).
Jumlah polong isi. jumlah polong isi dihitung pada saat panen dengan
menghitung semua polong isi per tanaman. Hasil penghitungan total polong isi
kemudian dipisahkan agar tidak tercampur dengan polong hampa. Perhitungan
dilakukan dalam satuan polong per tanaman.
Bobot 100 biji. Bobot 100 biji dihitung pada saat panen dan biji dipisahkan
dengan polongnya. Biji kedelai dibersihkan terlebih dahulu sebelum di timbang
menggunakan timbangan.pengukuran dilakukan dalam satuan gram.
Bobot polong isi. Bobot polong isi dihitung pada saat panen dengan
menimbang semua jumlah polong isi per tanaman. Jumlah polong isi ditimbang
menggunakan timbangan dalam satuan gram.
Hasil panen per tanaman. Hasil panen per tanaman kedelai didapatkan dari
berat biji per tanaman.
Analisis Data
Model linear aditif yang digunakan untuk menganalisi setiap pengubah yang
diamati adalah :
Yij = µ + αi + βj + εij
Dimana :
i = 1,2,3,4, dan 5 (banyak perlakuan dosis pemberian kapur dolomit)
j = 1,2,3,4, dan 5 (banyaknya kelompok)
sedangkan :
22
F-hitung =
Hasil
Hasil pengamatan terhadap tinggi tanaman (cm), jumlah daun (helai), waktu
muncul bunga (hst), waktu panen (hst), jumlah cabang produktif (per tanaman),
bobot basah tajuk (gram), bobot polong akar (gram), bobot kering tajuk (gram),
bobot kering akar (gram), jumlah polong isi (pertanaman), bobot 100 biji (gram),
bobot polong isi (gram), hasil panen pertanaman (gram) dapat dilihat pada
Lampiran 7-26. Berdasarkan hasil uji kehomogenan ragam Bartlett menunjukan
data pengamatan tinggi tanaman (cm), jumlah daun (helai), waktu muncul bunga
(hst), waktu panen (hst), jumlah cabang produktif (per tanaman), bobot basah
tajuk (gram), bobot polong akar (gram), bobot kering tajuk (gram), bobot kering
akar (gram), jumlah polong isi (pertanaman), bobot 100 biji (gram), bobot polong
isi (gram), hasil panen pertanaman (gram) dapat dilihat pada Lampiran 6,
menunjukan ragam data yang homogen.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian kapur tohor
tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman umur 7 hst, 21 hst, 28 hst dan 35
hst, jumlah daun, waktu muncul bunga, waktu panen, jumlah cabang berproduksi,
bobot basah tajuk, bobot basah akar, bobot kering tajuk, bobot kering akar,
jumlah polong isi, bobot 100 biji, bobot polong isi, hasil panen pertanaman,
namun berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 14 hst.
Tinggi Tanaman
Dari tabel 4 menunjukkan tinggi tanaman umur 14 hst paling tinggi yaitu
perlakuan K3 dengan rerata tinggi tanamaan 20,08 cm yang berbeda nyata dengan
perlakuan K0 (17,34 cm), K1 (17,20), dan K2 (16,74 cm), tetapi tidak berbeda nyata
dengan perlakuan K4 (18,46).
Jumlah Daun
Gambar 3. Grafik Rerata pemberian perlakuan dosis kapur tohor terhadap jumlah
daun 14 hst.
14 Hst
8,00 6,80
6,40 6,00
5,80
6,00 5,20
Jumlah Daun
4,00
2,00
0,00
K0 K1 K2 K3 K4
Perlakuan
Keterangan : K0 : 1 t ha-1 (dosis anjuran) K3 : 4 t ha-1
K1 : 2 t ha-1 K4 : 5 t ha-1
-1
K2 : 3 t ha
Gambar 4. Grafik Rerata pemberian perlakuan dosis kapur tohor terhadap jumlah
daun 21 hst.
21 hst
13,60
13,40 13,40 13,40 13,40
13,40
13,20
Jumlah Daun
13,00
12,80
12,80
12,60
12,40
K0 K1 K2 K3 K4
Perlakuan
Keterangan : K0 : 1 t ha-1 (dosis anjuran) K3 : 4 t ha-1
K1 : 2 t ha-1 K4 : 5 t ha-1
-1
K2 : 3 t ha
26
Gambar 5. Grafik Rerata pemberian perlakuan dosis kapur tohor terhadap jumlah
daun 28 hst.
28 hst
40,00
29,00 31,00
30,00 27,60 27,00 25,40
Jumlah Daun
20,00
10,00
0,00
K0 K1 K2 K3 K4
Perlakuan
Keterangan : K0 : 1 t ha-1 (dosis anjuran) K3 : 4 t ha-1
K1 : 2 t ha-1 K4 : 5 t ha-1
-1
K2 : 3 t ha
Gambar 6. Grafik Rerata pemberian perlakuan dosis kapur tohor terhadap jumlah
daun 35 hst.
35 hst
65,00
60,80
60,00 57,20 58,00
Jumlah Daun
55,00 52,80
51,60
50,00
45,00
K0 K1 K2 K3 K4
Perlakuan
Keterangan : K0 : 1 t ha-1 (dosis anjuran) K3 : 4 t ha-1
K1 : 2 t ha-1 K4 : 5 t ha-1
-1
K2 : 3 t ha
Berdasarkan hasil analisis ragam terhadap bobot kering tajuk (Lampiran 18),
menunjukkan pemberian dosis kapur tohor tidak berpengaruh nyata terhadap
bobot kering tajuk dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rerata pemberian dosis kapur tohor terhadap bobot basah akar (gram).
Berdasarkan hasil analisis ragam terhadap bobot kering akar (Lampiran 19),
menunjukkan pemberian dosis kapur tohor tidak berpengaruh nyata terhadap
bobot kering akar dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rerata pemberian dosis kapur tohor terhadap bobot basah akar (gram).
Waktu Panen
Berdasarkan hasil analisis ragam terhadap jumlah polong isi (Lampiran 21),
menunjukkan pemberian dosis kapur tohor tidak berpengaruh nyata terhadap
jumlah polong isi dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Rerata pemberian dosis kapur tohor terhadap jumlah polong isi.
Berdasarkan hasil analisis ragam terhadap bobot 100 biji (Lampiran 22),
menunjukkan pemberian dosis kapur tohor tidak berpengaruh nyata terhadap
bobot 100 biji dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Rerata pemberian dosis kapur tohor terhadap bobot 100 biji (gram).
Berdasarkan hasil analisis ragam terhadap bobot polong isi (Lampiran 23),
menunjukkan pemberian dosis kapur tohor tidak berpengaruh nyata terhadap
bobot polong isi dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Rerata pemberiaan dosis kapur tohor terhadap bobot polong isi (gram).
Pembahasan
Tinggi tanaman
Berdasarkan hasil analisis ragam tinggi tanaman umur 7 hst, 21 hst, 28 hst, 35
hst menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata terhadap semua dosis
pemberian kapur tohor. Diduga adanya peningkatan suhu relatif tinggi pada umur
7 hst, 21 hst, 28 hst, 35 hst sebesar 29,6°C, 29,25°C, 27,8°C, 28,4°C yang
melebihi suhu maksimum antara 20-25°C untuk pertumbuhan tanaman kedelai
sehingga pemberian kapur dalam tanah belum optimal diserap oleh tanaman yang
mengakibatkan belum optimal meningkatkan pH tanah. Menurut Setyamidjaja,
D. (1986) yang mengatakan bahwa tujuan pemberian kapur pada tanah adalah
untuk menaikkan derajat kemasaman (pH) tanah pada lahan-lahan yang reaksi
tanahnya asam menjadi netral sehingga sebagian unsur hara dalam tanah dalam
keadaan tersedia bagi tanaman. Dari penelitian ini didapatkan bahwa kapur tohor
32
bisa menaikkan pH tanah gambut dari 3,02 menjadi 4,17 dengan dosis 1 t ha-1 dari
dosis kapur tohor.
Menurut Suwarno, (2020) mengatakan peningkatan pH erat dengaan
ketersediaan hara dalam tanah, dimana pada pH yang rendah (kemasaman tanah
tinggi) sebagian unsur hara terutama N, P, dan K akan terserap oleh partikel-
partikel tanah sehingga tidak tersedia secara optimal bagi pertumbuhan tanaman.
Pemberian kapur tohor terhadap tinggi tanaman kedelai yang paling tinggi
tadalah perlakuan K3 (4 t ha-1). Hal ini diduga kapur tohor perlakuan 4 t ha-1
mempunyai pH 5,29 sehingga optimal bagi pertumbuhan tanaman kedelai, sejalan
dengan Soeprapto (1994), tanaman kedelai dapat tumbuh dengan baik pada
tingkat kemasaman tanah 5,0-7,0.
Perubahan pH membawa perubahan ketersediaan unsur hara untuk tanaman,
perubahan ini berkaitan dengan perubahan kimiawi dan fisika-kimiawi atas unsur
hara. Banyak reaksi penyematan dan pertukaran ion tergantung pada pH. pH juga
menentukan suatu senyawa atau ion yang akan mengendap atau larut misalnya
ketersediaan N, P, K dan S pada pH 4 atau kurang dengan demikian pengapuran
mempunyai kebaikan sampingan pada tanah berupa meningkatkan efesiensi
pemupukan melalui peningkatan daya lambat tanah terhadap kation hara
(Notohadiprawiro., et al, 2006).
Pemberian kapur tohor terhadap tinggi tanaman kedelai paling rendah
perlakuan K2 (3 t ha-1) dibandingkan perlakuan K0 (1 t ha-1), K1 (2 t ha-1), dan K4
(5 t ha-1). Diduga pada saat pertumbuhan tanaman kedelai pada perlakuan
tersebut mendapatkan penyinaran cahaya matahari kurang cukup bagi tanaman
kedelai sehinggi tinggi tanaman yang didapatkan kurang baik pada perlakuan
tersebut dan mengakibatkan serapan hara Ca belum maksimal diserap oleh
tanaman. Lama penyinaran matahari selama penelitian adalah 4-6 jam, itu kurang
cukup bagi pertumbuhan tanaman kedelai sebab lama penyinaran yang optimum
bagi tanaman kedelai adalah 10-12 jam. Menurut Susanto dan Sundari (2010),
mengatakan berkurangnya intensitas sinar matahari menyebabkan tanaman
33
tumbuh lebih tinggi, ruas antara buku lebih panjang, jumlah daun lebih sedikit,
dan ukuran biji semakin kecil.
Menurut Hudaya (1998), menyatakan bahawa Ca yang dikandung kapur
mengisi komplek serapan menggantikan ion Al3+ yang kemudian diikat oleh ion
OH- dari kapur atau ion H+ yang ditarik oleh ion CO3 berasal dari kapur,
keluarnya Al3+ dan H+ dari komplek serapan menyebabkan pH tanah meningkat.
Jumlah daun
Berdasarkan hasil analisis ragam jumlah daun umur 14 hst, 21 hst, 28 hst, dan
35 hst menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata terhadap semua dosis
pemberian kapur tohor. Diduga pada saat pertumbuhan unsur hara mikro dan
makro masih belum optimal diserap oleh tanaman kedelai. Dalam penelitian ini
campuran media yang digunakan adalah pupuk kandang sapi, kapur tohor dan
pupuk susulan urea, KCL, SP36. Pupuk kandang sapi yang mempunyai
kandungan unsur hara mikro (Mn dan Zn) dan unsur hara makro (N, P, K, Mg),
sedangkan kapur tohor mempunyai unsur hara CaO. Menurut Andoko (2002), hal
ini ada keterkaitannya dengan kebutuhan akan unsur hara makro dan mikro dalam
jumlah optimal yang akan mendorong hasil tanaman yang lebih baik. Selain itu
sesuai dengan pendapat Adiningsih (1993), pemupukan tanaman yang tidak sesuai
dengan kebutuhan dan tingkat kecukupan haranya akan mengakibatkan ganguan
pada tanaman.
Menurut Kuswandi dalam Soverda et al., (2010) dengan meningkatnya
jumlah klorofil dan jumlah daun yang terbentuk maka proses fotosintesis berjalan
dengan baik dan fotosintat yang dihasilkan akan lebih tinggi maka pertumbuhan
pun semakin baik. Dengan demikian peningkatan laju pertumbuhan tanaman
akan cenderung menghasilkan bobot kering tanaman yang lebih banyak.
34
Berdasarkan hasil analisis ragam berat kering tajuk menunjukkan hasil yang
tidak berpengaruh nyata terhadap berbagai dosis pemberian kapur tohor selama
36
Berdasarkan hasil analisis ragam berat kering akar menunjukkan hasil yang
tidak berpengaruh nyata terhadap berbagai dosis pemberian kapur tohor selama
masa pertumbuhan. Pemberian dosis K2 (3 t ha-1) memberikan rata-rata tertinggi
pada berat kering akar kedelai sebesar 3,38 gram. Hal ini diduga pH tanah 5,24
(pH tanah masam) pada perlakuan ini sudah optimal sehingga pertumbuhan akar
dapat tumbuh dengan baik. Menurut Sutedjo (2008), Ca penting bagi
pertumbuhan akar yaitu berperan untuk merangsang pertumbuhan bulu-bulu akar
sehingga semakin banyak bulu akar yang tumbuh semakin banyak pula bintil akar
yang tumbuh sehingga berat kering akar tinggi.
Sesuai dengan penelitian Hanum et al., (2007), melaporkan bahwa
terhambatnya pertumbuhan perakaran disebabkan karena tanaman tidak mampu
mengatur pertumbuhannya secara sempurna akibat dari kurangnya bahan organik
yang dihasilkan, sehingga secara langsung dapat menurunkan berat kering akar.
37
Waktu panen
Berdasarkan hasil analisis ragam waktu panen menunjukkan hasil yang tidak
berpengaruh nyata terhadap berbagai dosis pemberian kapur tohor selama masa
pertumbuhan. Diduga ada faktor eksternal tanaman seperti suhu, intesitas cahaya
matahari dan waktu muncul bunga. Pada saat peneletian suhu lingkungan antara
27-28°C dan instensitas cahaya matahari antara 4-6 jam/hari. Menurut Susanto
dan Sundari (2011) pada fase reproduktif beberapa varietas kedelai, cekaman
naungan menyebabkan umur berbunga dan umur panen yang lebih cepat
dibandingkan pada lingkungan tidak ternaungin.
Menurut pendapat Pandiangan, (2012) yang menyatakan bahwa umur panen
pada tanaman kedelai sangat erat hubungannya dengan umur berbunga. Sehingga
dapat diketahui lama suatu varietas kedelai melakukan pengisian biji dan
penentuan saat berbunga.
Penelitian Gontia et al., (1995), menunjukkan 10 genotipe kedelai yang
diteliti mencapai masak fisiologis 56 hari setelah bunga mekar. Ukuran benih dan
polong mencapai maksimum pada 49 hari setelah buah mekar. Pada masak
fisiologis daun,warna polong dan batang menjadi coklat. Benih dipanen pada 35
hari setelah bunga mekar.
Kedelai di Indonesia dikatagorikan berumur genjah jika umur masaknya di
bawah 80 hari, dan jika umur masaknya dibawah 75 hari dikatagorikan berumur
masak super genjah. Penelitian yang dilakukan pada musim kemarau II (MK2) di
sleman ternyata memperpendek umur masak dari 29 genotipe yang diuji. Varietas
Anjasmoro dan Panderman umumnya memiliki umur masak 84 hari, namun pada
MK2 umur masaknya lima hari lebih cepat (Machikowa dan Laosuwan, 2011).
38
Berdasarkan hasil analisis ragam jumlah polong isi menunjukkan hasil yang
tidak berpengaruh nyata terhadap berbagai dosis pemberian kapur tohor selama
masa pertumbuhan. Diduga pada saat pembentukan polong ada faktor internal
dalam tanah yaitu penyerapan unsur hara P yang kurang optimal diserap oleh
tanaman kedelai sehingga jumlah polong isi tidak memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan dan hasi panen kedelai. Gani et al., (2013), menyatakan bahwa
kandungan unsur hara Phospat yang ada didalam tanah dapat lebih efektif
perannya dengan penambahan pupuk organik, sehingga tanaman lebih cepat
dewasa dan selanjutnya memberikan jumlah cabang produktif dan polong yang
lebih baik.
Menurut Baharsyah et al., (1985), pembetukan polong pada kedelai sangat
diprngaruhi oleh air, unsur hara dan cahaya matahari yang tersedia. Unsur
tersebut sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman kedelai yang dialokasikan
dalam bentuk bahan kering selama fase pertumbuhan kemudian pada kahir fase
vegetatif akan terjadi menimbunan hasil fotosintesis pada organ-organ tanaman
seperti batang, buah dan biji. Menurut Hidayat (1985), banyakanya jumlah
polong bernas pertanaman kedelai yang terbentuk juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang saling mempengaruhi antara lain pertumbuhan dan daya hasil
intensitas cahaya.
Berdasarkan hasil analisis ragam bobot 100 biji menunjukkan hasil yang tidak
berpengaruh nyata terhadap berbagai dosis pemberian kapur tohor selama masa
pertumbuhan. Diduga dalam proses pembentukan biji unsur hara P yang tersedia
masih rendah yang dibutuhkan oleh tanaman kedelai. Hal ini sejalan dengan
pedapat Juto (1983) dalam Hari (2009), menyatakan bahwa pengaruh kemasaman
tanah akan menyebabkan unsur fosfor menjadi kurang tersedia, seringkali terjadi
39
Berdasarkan hasil analisis ragam bobot polong isi menunjukkan hasil yang
tidak berpengaruh nyata terhadap berbagai dosis pemberian kapur tohor selama
masa pertumbuhan. Diduga pada saat pengisian polong tanaman kekurangan air
untuk fotosinteis. Sejalan dengan pernyataan Somaatmadja (1985), bahwa
terjadinya kekurangan air pada masa pemebntukaan bunga, pembentukan dan
pengisian polong akan menyebabkan sedikit biji yang terbentuk, biji yang
dihasilkan kecil-kecil sehingga bobot dari biji berkurang. Pada bobot polong
menunjukan bahwa semakin menurunnya tingkat pemberian air, semakin turun
pula jumlah dan bobot polong.
selama masa pertumbuhan. Diduga unsur hara yang terkanung dalam kapur tohor
masih kurang untuk menunjang hasil panen pertanaman. Unsur hara yang
terkandung dalam kapur tohor adalah kalsium (Ca) yang berguna untuk
merangsang pemebentukan bulu-bulu akar, mengeraskan batang tanaman, dan
merangsang pembentukan biji dan Oksigen (O),
Menurut Irwan (2018) menyatakan bahwa pemberian kapur tidak secara
langsung memberikan unsur hara makro dan mikro lengkap untuk kebutuhan
tanaman legum, namun bersifat mengkondiskan keadaaan sifat fisika agar lebih
baik sehingga pertumbuhan akar menjadi lebih baik, dan sifat biologi tanah agar
jasad renik didalam tanah menjadi lebih berkembang dengan baik dan dapat
bersinergi dengan akar tanaman legum.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
Dari penelitian ini disarankan untuk adanya penelitian lebih lanjut mengenai
perlakuan dosis kapur tohor di tanah gambut dengan memperhatikan dosis kapur
tohor yang akan diberikan untuk budidaya tanaman kedelai agar yang dihasilkan
akan lebih maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Andoko. (2002). Budi Daya Padi Secara Organik. Penebar Swadya. Jakarta.
Andriesse, J.P. (1992). Nature and Management of Tropical Peat Soils. FAO
Landand Water Development.
Anwar, K dan M. Alwi. (2001). Pengaruh Sumber dan Takaran Kapur Terhadap
Tanaman Kedelai di Lahan Gambut. Prodising Pengelolaan Tanaman
Pangan Lahan Rawa. Hlm 431-438. Puslitbangtan. Badan Litbang
Pertanian. Bogor.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2020). Provinsi Kalimantan Dalam Angka. Badan
Pusat Stastika Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru.
Chang, R dan Tikkanon, W. (1998). The Top Fifty Industrial Chemicals. Random
House. New York. USA.
Dhika, C. (2011). Analisis Kadar CaO MgO Free Lime dan 19. Retrieved
January 26, 2020, from
http://dhikachorteseblogspot.com/2011/11/analisiskadar-cao-mgo-free.
Gani, J.S., M. I. Bahua danF. Zakaria. (2013). Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Kedelai (Glycine Max (L.) Merril) Varietas Tidar Berdasarkan Dosis
Pupuk Organik Padat. KIM Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian.
Hartatik, W., Subiksa. I. G.M., dan A. Dariah. (2004). Sifat Kimia dan Fisik
Tanah Gambut. Diterbitkan pada Buku Pengelolaan Lahan Gambut
Berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian.
2011. Hlm.45-56.
Irwan A.W. (2006). Budidaya Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merill).
Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
Jatinangor. Bandung.
Jumakir dan Endrizal. (2003). Potensi Produksi Kedelai di Lahan Pasang Surut
Wilayah Rantau Rasau Provinsi Jambi. Prosiding Seminar Nasional
Hasil-Hasil Penelitian dari Pengkajian Teknologi Sepesifik Lokasi.
Badan Litbang Daerah Provinsi Jambi. Jambi.
Pandiangan, M. (2012). Uji Daya Hasil Kedelai (Glycine max (L.) Merril)
Berdaya Hasil Tinggi di kampung Sidey Makmur SP 11 Manokwari 65
hlm. Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian dan Teknologi
Pertanian Universitas Negeri Papua.
Salibury, Fran B dan Cleon W Ross. 1(995). Fisologi Tumbuhan Jilid 1. ITB.
Bogor.
Suwarno. (2020). Respon Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merill) Terhadap
Pengapuran dan Pempupukan Bioperforasi di Kampung Sukan Tengah
Kecamatan Sambaliung Kabupaten Berau. Jurnal Agroekoteknologi
Tropika Lembab Vol. 3 (2): 86-91.
Yenita. (2002). Respon tanaman kedelai (Glycine Max (L.) Merrill.) Terhadap
Gibberellic Acid (GA3) dan Benzyl Anmino Purine (BAP) pada Fase
Generatif. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
48
K1 K3 K2 K4 K0
K2 K1 K3 K0 K4
K4 K0 K1 K2 K3
K3 K4 K0 K1 K2
20 cm
K0 K2 K4 K3 K1
40 cm
Keterangan :
K0 = 1 t ha-1, K1 = 2 t ha-1, K2 = 3 t ha-1, K3 = 4 t ha-1, K4 = 5 t ha-1
Lampiran 4. Perhitungan Berat Tanah Per Polibag Dosis Pupuk Urea, Pupuk SP-
36, Pupuk KCL, Kapur Per Polibag
= 100.000.000 cm2 × 20 cm
= 2.000.000.000 cm3
= 600.000.000 g = 600.000 kg
Berat tanah per polibag = berat tanah 1 ha : (luas tanah 1 ha : ukuran polibag)
15 t ha-1.
kg
= × 15.000 kg = 0,3 kg = 300 g/polybag
kg
52
300 gram/polibag.
kg
= × 50 kg = 0,001 kg = 1 g/polybag
kg
gram/polibag.
ha-1.
kg
= × 125 kg = 0,0025 kg = 2,5 g/polybag
kg
Jadi kebutuhan pupuk SP-36 per masing-masing polibag sebesar 2,5 gram.
ha-1.
kg
= × 100 kg = 0,002 kg = 2 g/polybag
kg
Menurut Anwar & Alwi (2001), rekomendasi dosis kapur tohor sebanyak
1 t ha-1.
kg
= × 1000 kg = 0,02 kg = 20 g/polybag
kg
kg
= × 2000 kg = 0,04 kg = 40 g/polybag
kg
kg
= × 3000 kg = 0,06 kg = 60 g/polybag
kg
kg
= × 4000 kg = 0,08 kg = 80 g/polybag
kg
kg
= × 5.000 kg = 0,1 kg = 100 g/polybag
kg
55
Lampiran 6. Hasil uji kehomogenan ragam Bartlett pada uji taraf nyata 5%.
b. Analisis ragam
b. Analisis ragam
b. Analisis ragam
Lampiran 10. Hasil rerata tinggi tanaman 28 hst dan analisis ragamnya
b. Analisis ragam
Lampiran 11. Hasil rerata tinggi tanaman 35 hst dan analisis ragamnya
b. Analisis ragam
Lampiran 12. Hasil rerata jumlah daun 14 hst dan analisis ragamnya
b. Analisis ragam
Lampiran 13. Hasil rerata jumlah daun 21 hst dan analisis ragamnya
b. Analisis ragam
Lampiran 14. Hasil rerata jumlah daun 28 hst dan analisis ragamnya
b. Analisis ragam
Lampiran 15. Hasil rerata jumlah daun 35 hst dan analisis ragamnya
b. Analisis ragam
Lampiran 16. Hasil rerata waktu muncul bunga dan analisis ragamnya
b. Analisis ragam
b. Analisis ragam
Lampiran 18. Hasil rerata bobot kering tajuk dan analisis ragamnya
b. Analisis ragam
Lampiran 19. Hasil rerata bobot kering akar dan analisis ragamnya
b. Analisis ragam
b. Analisis ragam
Lampiran 21. Hasil rerata jumlah polong isi dan analisis ragamnya
b. Analisis ragam
Lampiran 22. Hasil rerata bobot 100 biji dan analisis ragamnya
b. Analisis ragam
Lampiran 23. Hasil rerata bobot polong isi dan analisis ragamnya
b. Analisis ragam
Lampiran 24. Hasil rerata hasil panen pertanaman dan analisis ragamnya
b. Analisis ragam
Penanaman Penyiraman
Pembunanan Pengajiran
Pemanenan Pengovenan
Pengamatan pertumbuhan
Pengamatan hasil
80
Perlakuan K0 Perlakuan K1
Perlakuan K2 Perlakuan K3
Perlakuan K4
81
Lampiran 27. Data rata-rata harian Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG)
a. Bulan Mei
b. Bulan Juni
Bulan Juli