Skrining Hipotiroid Kongenital
Skrining Hipotiroid Kongenital
PENDAHULUAN
1
kertas saring khusus untuk mendapatkan kadar TSH. Gejala yang muncul
pada hipotiroid kongenital antara lain: lidah menjadi tebal (makroglosi),
suara serak, hipotoni, hernia umbilikalis, konstipasi, perut buncit, tangan dan
kaki teraba dingin, disertai miksedema. Jika gejala klinis telah muncul maka
dapat dipastikan retardasi mental telah terjadi. Mengingat manifestasi klinis
hipotiroid kongenital merupakan petunjuk dari keterlambatan diagnosis
sehingga penting dilakukan skrining hipotiroid kongenital pada semua bayi
baru lahir karena makin lambat diagnosis ditegakkan makin rendah IQ
(Kapita Selekta FK UI, 2014).
2
1.3 Tujuan Khusus
a. Sebagai proses pembelajaran bagi penulis mengenai skrining hipotiroid
kongenital.
b. Sebagai bahan acuan penulisan karya ilmiah yang lain mengenai skrining
hipotiroid kongenital.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Definisi
Hipotiroid kongenital adalah rendahnya produksi hormon tiroid (kadar T4
diatas persentil <10 dan TSH <10 mU/L) pada bayi baru lahir yang terjadi
karena kecacatan anatomis kelenjar tiroid, gangguan metabolisme tiroid, atau
kekurangan iodium pada saat intrauterine (Jose R, 2012).
2.2 Epidemiologi
Kejadian hipotiroid kongenital bervariasi antar negara, umumnya sebesar 1 :
3000–4000 kelahiran hidup. Dengan penyebab tersering adalah, defisiensi
yodium intrauterine yang mencakup 80% kasus. Lebih sering ditemukan pada
anak perempuan dari pada laki-laki dengan perbandingan 2:1. Pada tahun
2007, angka bayi baru lahir dengan hipotiroid kongenital primer di New York
mengalami peningkatan selama 2 dekade terakhir yaitu dari 1: 3378 menjadi
1: 1414 dari angka kelahiran. Sedangkan secara nasional (USA) angka bayi
baru lahir yang mengalami hipotiroid kongenital juga mengalami
peningkatan 1: 4098 menjadi 1: 2370 dari angka kelahiran. Di Negara
berkembang seperti Brazil angka hipotiroid kongenital pun cukup tinggi yaitu
1: 2595 sampai 1: 4795 dari angka kelahiran bayi. Anak dengan sindrom
Down memiliki resiko 35 kali lebih tinggi untuk menderita hipotiroid
kongenital dibanding anak normal. Insiden hipotiroid di Indonesia
diperkirakan jauh lebih tinggi yaitu sebesar 1:1500 kelahiran hidup
(Schteingart 2006 ; Larson et al 2003)
Di Indonesia, skrining neonatal hipotiroid congenital saat ini belum
merupakan program nasional. Skrining hipotiroid congenital baru
dikembangkan di 11 propinsi terpilih di Indonesia. Telaah rekam medis di
klinik endokrin anak RSCM dan RSHS menunjukkan bahwa lebih dari 70%
penderita HK didiagnosis setelah umur 1 tahun. Hanya 2,3% yang bisa
dikenali sebelum umur 3 bulan. Penyebab hiptiroid yang paling sering di
dunia ialah defisiensi Iodium yang merupakan komponen pokok tiroksin (T4)
4
dan triiodotrionin (T3). Anak yang lahir dari ibu dengan defisinsi Iodium
berat akan mengalami hipotiroid yang tidak terkompensasi karena hormon
tiroid ibu tidak dapat melewati plasenta (Postellon C, 2010).
Banyak faktor yang berperan pada hipotiroid sehingga gambaran klinisnya
bervariasi. Terjadinya hipotiroid tidak dipengaruhi oleh faktor geografis,
sosial ekonomi, maupun iklim dan tidak terdapat predileksi untuk golongan
etnis tertentu. Umumnya kasus tiroid kongenital timbul secara sporadik.
Faktor genetik hanya berperan pada hipotiroid tipe tertentu yang diturunkan
secara autosomal resesif (Rastologi M, 2010).
5
Jalur 4A
Semua keadaan yang menyebabkan penurunan kadar TSH akibat kelainan
hipofisis akan mengakibatkan hipotiroid tanpa struma dengan kadar TSH
yang sangat rendah atau tidak terukur.
Jalur 4B
Semua kelainan hipotalamus yang mengakibatkan yang menyebabkan sekresi
TSH ynag menurun akan menyebabkan hipotiroid dengan kadar TSH rendah
dan tanpa struma.
Jalur 1, 2, dan 3 adalah patogenesis hipotiroid primer dengan kadar TSH
yang tinggi. Jalur 1 tanpa desertai struma, jalur 2 disertai struma, dan jalur 3
dapat dengan atau tanpa struma. Jalur 4A dan 4B adalah patogenesis
hipotiroid sekunder dengan kadar TSH yang tidak terukur atau rendah dan
tidak ditemukan struma.
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipotiroid Kongenital
Hipotirodisme primer (primer Hipotiroidisme primer (primer
permanen) transien/sementara)
• Disgenesis kelenjar tiroid • Pemakaian obat anti tiroid atau
• Dishormonogenesis goitrogen pada ibu
• Ibu hamil dengan • hamil
pengobatan iodium • Defisiensi iodium
radioaktif • Terpapar bahan –bahan iodium
• Berhubungan dengan • Ibu penderita tiroiditis
sindroma nefrotik bawaan autoimun
• Idiopatik
Hipotiroidisme tersier Hipotiroidisme sekunder
• Defisiensi hormon • Defek anatomi garis tengah
hipotalamus multipel SSP
• Trauma kepala • Destruksi kelenjar pituitaria
• Defisiensi TRH isolated • Defisiensi TSH isolasi
Sumber: Kapita Selekta FK UI, 2014
2.4 Skrining Hipotiroid Kongenital
Pada dasarnya orientasi skrining HK adalah untuk mendeteksi hipotiroid
primer (permanen maupun transien) dan sesuai dengan rekomendasi
6
American Thyroid Association, pemeriksaan primer TSH merupakan uji
fungsi tiroid yang paling sensitif. Peningkatan kadar TSH sebagai tanda yang
cukup akurat digunakan untuk mendeteksi hipotiroid kongenital primer.
Khusus untuk negara yang masih menghadapi masalah gangguan akibat
kekurangan Iodium (GAKI) seperti Indonesia, International Council for
Control of Iodine Deficiency Disorders (ICCIDD) menyatakan bahwa
pemeriksaan primer TSH untuk skrining HK akibat kekurangan iodium pada
ibu hamil merupakan indikator yang sensitif dalam menentukan derajat
kekurangan iodium. Juga merupakan cara yang baik untuk memantau hasil
program penanggulangan GAKI.
Terdapat 3 strategi untuk mendeteksi hipotiroid kongenital pada bayi baru
lahir: (1) pemeriksaan TSH dengan backup pemeriksaan T4 pada bayi baru
lahir dengan kadar TSH tinggi, (2) pemeriksaan T4 dengan backup
pemeriksaan TSH pada bayi baru lahir dengan kadar T4 rendah, (3)
pemeriksaan TSH dan T4 yang dilakukan secara bersamaan. Pada
pemeriksaan TSH dengan backup pemeriksaan T4 dapat mendeteksi
hipotiroid primer, defisiensi Tiroglobulin (TBG), hipotiroid sentral atau
hipotiroksiknemia. Pada pemeriksaan T4 dengan backup pemeriksaan TSH
dapat mendeteksi hipotiroid primer, TBG, hipotiroid sentral, dan
kemungkinan hipertiroksinemia (Van vlient et al, 2007).
Spesimen untuk skrining hipotiroid kongenital dilakukan pada tumit bayi
baru lahir, yang usianya 2-5 hari. Spesimen ini menggunakan kertas saring
untuk diperiksa di laboratorium. Pemeriksaan ini dapat diulang pada usia 2
minggu dan 6 minggu untuk memastikan diagnosis hipotiroid kongenital
dengan dilakukan pengukuran kadar free T4 atau TSH (Smith, 2007).
Tes kedua kadar T4 dan TSH tersebut akan mendeteksi kemungkinan bayi
baru lahir mengalami hipotiroid kongenital bawaan. Terdapat keuntungan
ataupun kerugian dengan adanya pemeriksaan tersebut. Dimana pemeriksaan
tersebut dikaitkan dengan bayi baru lahir dengan hipotiroid kongenital
primer, di sisi lain hal lain yang dapat dialami bayi baru lahir juga memiliki
kemungkinan mengalami hipotiroid sekunder atau sentral akibat perlambatan
peningkatan kadar TSH oleh kelenjar hipofisis. Belum ada pemeriksaan lain
7
yang dapat mendeteksi gangguan hipotiroid pada bayi akibat kesalan pada
proses transpot atau metabolisme hormon tiroid. Dengan adanya program
skrining ini dikatakan banyak ditemukan kasus hipotiroid kongenital.
8
perlu dilakukan penanganan segera dengan pemberian levotiroksin tanpa
menunggu konfirmasi ulang hasil pemeriksaan. Bila kadar TSH yang
meningkat dan kadar T4 normal bayi baru lahir dapat dikatakan mengalami
hipertirotropinemia. Hal ini mungkin disebabkan kelainan permanen dari
kelenjar tiroid atau keterlambatan maturasi dari axis kelenjar hipofisis-
hipotalamus. Pada keadaan dimana kadar TSH normal dan kadar T4 rendah
pada bayi baru lahir kemungkinan disebabkan imaturitas pada aksis kelnjar
hipofisis-hipotalamus dan insufisiensi kelenjar tiroid ataupun pemberian
glukokortikoid dosis tinggi juga dapat menyebabkan terhambatnya TSH
sehingga menyebabkan penurunan kadar T4. Adapun kadar TSH dapat
mengalami keterlambatan yang sering terjadi pada bayi BBLR. Selain itu
terdapat keadaan yang sangat jarang terjadi yaitu “transient TSH elevation”.
Hal ini kemungkinan akibat pemberian anti tiroid saat masa kehamilan,
kelebihan iodium saat prenatal atau postnatal, dan defisiensi iodium.
9
Gambar 2. Algoritma Skrining Hipotiroid Kongenital (British Society for
Paediatric Endocrinology, 2013)
Bayi yang telah terdeteksi fungsi hormon tiroid yang abnormal melalui
skrining harus segera mendapatkan pemeriksaan konfirmasi hasil laboratorium
tentang kadar free T4 dan TSH. Mengenai kadar TSH dan free T4 memiliki
perbedaan kadar tergantung dari usia bayi. Berikut tabel mengenai kadar
normal T4 dan TSH berdasarkan usia bayi (Rastologi, 2010).
10
Bayi dengan hipotiroid kongenital yang dilakukan skrining boleh
diberikan levotiroxin 10-15 mcg/kgbb/hari dengan dosis maksimum 50
mcg/kgbb/hari. Biasanya kadar TSH akan menjadi normal saat 1 bulan pertama
setelah pengobatan. Oleh karena itu, dosis levotiroxin dapat mulai diturukan jika
bayi menunjukkan tanda-tanda pengobatan yang berlebihan. Adapun protokol alur
diagnosis hipotiroid kongenital setelah dilakukan skrining pada bayi.10
11
depan bayi akan mendorong orangtua untuk mau melakukan skrining bagi
bayinya.
b. Persetujuan (informed consent) tidak perlu tertulis khusus, tetapi
dicantumkan bersama-sama dengan persetujuan tindakan medis lain pada
saat bayi masuk ke ruang perawatan bayi.
c. Bila tindakan pengambilan darah pada BBL ditolak, maka orangtua harus
menandatangani formulir penolakan.
2.5.2 Pengambilan Spesimen
Hal yang penting diperhatikan pada pemeriksaan spesimen ialah :
a. Waktu pengambilan (timing)
b. Data demografi bayi
c. Metode pengambilan
d. Pengiriman/transportasi
e. Proses skrining di laboratorium
2.5.3 Waktu Pengambilan Sampel
a. Pengambilan spesimen darah yang paling ideal adalah ketika umur
bayi 48 sampai 72 jam.
b. Pada keadaan tertentu pengambilan darah masih bisa ditolerir antara
24–48 jam.
c. Sebaiknya darah tidak diambil dalam 24 jam pertama setelah lahir
karena pada saat itu kadar TSH masih tinggi, sehingga akan
memberikan sejumlah hasil positif palsu (false positive).
2.5.4 Data / Identitas Bayi
a. Isi kartu identitas bayi dengan lengkap dan benar dalam kartu
A. B C D E
informasi.
b. Kelengkapan dan akuratan data pada kartu informasi sangat penting
(Isilah setiap lingkaran dengan satu bercak darah hingga menyerap/ tembus bagian belakang)
untuk kecepatanPROGRAM tindak lanjut
SKRINING hasil tes bagi
HIPOTIROID pasien.
KONGENITAL
Rumah sakit :________________________/No.Rekmed________________________
Nama Ibu/Bayi : ___________________________________/suku _________________
Nama Ayah : ___________________________________/Suku__________________
Alamat
:_________________________________________________________
__________________________________________________________
Telepon :__________________________________________________________
Dokter Penanggung Jawab:____________________________Tep/hp__________________
Kelahiran : Tunggal Kembar 1 2 3
13
6. Kasa steril
7. Rak pengering
7
4 6
1
3
2
14
Gambar 6 Gambar 7
Gambar 8 Gambar 9
15
7.Setelah tumit ditusuk, usap tetes darah pertama dengan kain kasa steril
(gambar 10)
8. Lakukan pijatan lembut sehingga terbentuk tetes darah yang cukup besar.
Hindarkan gerakan memeras karena akan mengakibatkan hemolisis atau
darah tercampur cairan jaringan. (gambar 11)
9. Selanjutnya teteskan darah ke tengah bulatan kertas saring sampai bulatan
terisi penuh dan tembus kedua sisi. Hindarkan tetesan darah yang berlapis-
lapis (layering). Ulangi meneteskan darah ke atas bulatan lain. Bila darah
tidak cukup, lakukan tusukan di tempat terpisah dengan menggunakan
lanset baru. (gambar 12)
10. Tekan bekas tusukan dengan kasa/kapas steril. Bekas tusukan tidak perlu
diberi plester ataupun pembalut.
16
1. Ketika spesimen akan dikirim, susun berselang-seling untuk
menghindari agar bercak darah tidak saling bersinggungan, atau taruh
kertas diantara bercak darah. Bisa juga tiap spesimen dimasukkan ke
dalam kantong khusus.
2. Masukkan ke dalam amplop dan sertakan daftar spesimen.
3. Pengiriman dapat dilakukan oleh petugas pengumpul spesimen atau
langsung dikirim melalui jasa layanan PT. POS Indonesia (Pos Express)
maupun jasa pengiriman swasta.
4. Pengiriman tidak boleh lebih dari 7 (tujuh) hari sejak spesimen diambil.
Perjalanan pengiriman tidak boleh lebih dari 3 hari.
17
pudar, darah terlalu sedikit ( lihat gambar spesimen yang tidak baik),
termasuk juga spesimen yang diambil sebelum bayi berumur 24 jam,
dipisahkan dalam kantong plastik dan ditandai dengan tulisan
“SPESIMEN DITOLAK”. Petugas harus melaporkan kepada pengawas
laboratorium agar dapat segera menghubungi petugas fasilitas kesehatan
yang bersangkutan untuk pengambilan spesimen kembali. Spesimen perlu
pengambilan ulang (resample) bila:
Kemungkinan
Spesimen tidak baik :
penyebab :
Tetes darah
kurang
Meneteskan
darah dengan tabung
kapiler
Kertas
tersentuh tangan,
sarung tangan, lotion
Kertas rusak,
meneteskan darah
dengan tabung
kapiler
Mengirim
spesimen sebelum
kering
18
Meneteskan
terlalu banyak darah
Meneteskan
darah di kedua sisi
bulatan kertas
Darah diperas
(milking) dari tempat
tusukan
Kontaminasi
Terpapar panas
Alkohol tidak
dikeringkan
Kontaminasi
dengan alkohol dan
lotion
Darah diperas
(milking)
Pengeringan
tidak baik
Penetesan
darah beberapa kali
Meneteskan
darah di kedua sisi
bulatan kertas
Gagal
memperoleh
spesimen
Hal pertama yang harus dilakukan ketika mendapatkan hasil tes positif adalah
sesegera mungkin menghubungi orang tua bayi yang bersangkutan. Tugas
dari tim tindak lanjut bayi dengan hasil tes positif ialah mencari tempat
tinggal bayi tersebut dan memfasilitasi pemeriksaan lanjutan untuk
19
menegakkan diagnosis. Bila perlu, dilakukan tes konfirmasi berupa
pemeriksaan TSH, dan T4 bebas (FT4) serum terhadap bayi tersebut.
Beberapa kemungkinan hasil TSH yaitu:
a. Kadar TSH ≤ 20 mU/L
Bila tes konfirmasi mendapatkan hasil kadar TSH kurang dari 20 mU/L,
maka hasil dianggap normal dan akan disampaikan kepada pengirim
spesimen dalam waktu 7 hari.
b. Kadar TSH antara >20 – ≤ 40 mU/L
Nilai TSH yang demikian menunjukkan hasil yang meragukan. Sehingga
perlu pengambilan spesimen ulang (resample). Bila pada hasil
pengambilan ulang didapatkan:
Kadar TSH ≤ 20 mU/L, maka hasil tersebut dianggap normal
kadar TSH > 20 mU/L, maka perlu dilakukan pemeriksaan TSH dan
FT4 serum
c. Kadar TSH > 40 mU/L
Memotivasi Memotivasi orang tua sebaiknya dilakukan oleh petugas
orang tua kesehatan
Jika hasil pemeriksaan yang terlibat nilai
menunjukkan langsung
yangdengan pengawasan
demikian, maka perlu
antenatal
dilakukan pemeriksaan konfirmasi TSH dan FT4 serum
Pencatatan Monitoring
dan LABORATORIUM SHK dan evaluasi
pelaporan
TIM FOLLOW UP
HASIL UJI
SARING
22
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hipotiroid kongenital merupakan gangguan pertumbuhan kelenjar tiroid
secara kongenital. Gejala klinis Hipotiroid kongenital tidak begitu jelas.
Diagnosis Hipotiroid kongenital ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala
klinis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan skrining. Skrining untuk
hipotiroid kongenital dilakukan pada minggu pertama bayi lahir sangatlah
penting, untuk mencegah komplikasi lanjut.
3.2. Saran
Saran pada tinjauan pustaka ini adalah:
23
1. Perlu deteksi dini kasus hipotiroid kongenital dan pemberian
penatalaksanaan yang tepat demi tercapainya pertumbuhan fisik dan
perkembangan mental yang optimal bagi penderita hipotiroid kongenital.
2. Untuk menghindari terjadinya retardasi mental pada penderita
hipotiroidisme kongenital, sebaiknya program skrining nasional
dilakukan.
3. Perlu dilakukan monitor laboratorium fungsi tiroid dilakukan setiap
bulan setelah awal terapi dan pada setiap perubahan dosis. Pada setiap
penderita hipotiroidisme kongenital sebaiknya dilakukan pemeriksaan
tambahan BERA, elektromiografi dan tes IQ.
4. Mahalnya pelaksanaan skrinining hipotiroid kongenital juga dapat diatasi
dengan kerjasama pemerintah dengan RS swasta sehingga orang tua yang
memiliki askses lebih dapat memeriksakan bayinya kesana.
5. Sulitnya pengambilan spesimen yang baik untuk skrining dapat diatasi
dengan sosialisasi kepada tenaga kesehatan khusus pada tiap-tiap rumah
sakit rujukan di tiap daerah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Batubara, Jose RL, dkk. Ganggguan Kelenjar Tiroid. Dalam : Buku Ajar
Endokrinologi Anak Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010. hal.205-
212.
2. La Franchi, Stephen. Hypothyroidism. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, editor. Nelson textbook of pediatrics 18 th ed. Philadelphia:
24
Saunders, 2007.hal. 2319-25.
3. Sherwood, Lauralee. Organ Endokrin Perifer. Fisiologi Manusia Dari Sel ke
Sistem (Human Physiology: From Cells to Systems). Edisi 2. Jakarta: EGC,
2001. hal 644-651.
4. Schteingart, David E. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam Price AS, Wilson
LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6, Volume
2. Jakarta: EGC, 2006. hal 1225-1234.
5. Larson, Cecilia A. Congenital Hypothyroidism. Dalam: Radovick, S, MD,
MacGilivray, MH, MD, editor. Pediatric Endocrinology : A Practical Clinical
Guide. New Jersey : Humana Press Inc. 2003.hal. 275-284.
6. Van vliet, G, Polak, M. Pediatric Endocrinology Fifth Edition volume 2.
Thyroid Disorders In Infancy. New York : Informa Healthcare USA Inc.
2007.hal. 392-8.
7. Jian M, Vandana K, dkk. Congenital Hypothyroidism. Di akses dari
www.newbornwhocc.org.
8. Postellon DC, Bourgeouis MJ. Anatomy of Thyroid Gland.. Di akses dari
www.emedicine.medscape.com.
9. Rastogi, M.V. dan Lafranchi S.H. Congenital Hypothyroidism. Orphanet
Journal of Rare Diseases 2010. 5-17
10. NHS. Congenital Hypothyroidism: Initial Clinical Referral Standards and
Guidelines. British Society for Paediatric Endocrinology and Diabetes
2013.2-9
11. Olney R.S et al. Prevalence of Congenital Hypothyroidism—Current Trends
and Future Directions: Workshop Summary. Pediatrics 2010;125:S31–S36
12. Maciel L.M.Z et al. Congenital hypothyroidism: recommendations of the
Thyroid Department of the Brazilian Society of Endocrinology and
Metabolism. Arq Bras Endocrinol Metab 2013;57(3):184-92
13. Smith L. Updated AAP Guidelines on Newborn Screening and Therapy for
Congenital Hypothyroidism. Am Fam Physician 2007; 76(3):439-444
14.
25