Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipotiroid kongenital adalah rendahnya produksi hormon tiroid (kadar T4
diatas persentil <10 dan TSH <10 mU/L) pada bayi baru lahir yang terjadi
karena kecacatan anatomis kelenjar tiroid, gangguan metabolisme tiroid, atau
kekurangan iodium pada saat intrauterine (Jose R,2012). Hormon tiroid
sudah diproduksi dan diperlukan oleh janin sejak usia kehamilan 12 minggu
dan berfungsi untuk mengatur produksi panas tubuh, metabolisme,
pertumbuhan tulang, kerja jantung, mielinisasi syaraf pasca natal, serta
tumbuh dan kembang. Dengan demikian hormon ini sangat penting
peranannya pada bayi dan anak yang sedang tumbuh. Kekurangan hormon
tiroid pada bayi pada masa awal kehidupan, bisa mengakibatkan hambatan
pertumbuhan dan retardasi mental (Sherwood et al, 2001).
Kejadian hipotiroid kongenital bervariasi di berbagai negara yaitu 1:3000–
4000 kelahiran hidup dengan penyebab tersering adalah, defisiensi iodium
yang merupakan komponen pokok tiroksin (T4) dan triiodotiroksin (T3) yang
mencakup 70% kasus. Kejadian hipotiroid di Indonesia diperkirakan jauh
lebih tinggi yaitu sebesar 1:1500 per kelahiran hidup dan lebih sering
ditemukan pada anak perempuan dari pada laki-laki dengan perbandingan
2:1. Hipotiroid congenital dapat terjadi pada beberapa jalur seperti agenesis
tiroid, defisiensi yodium, dishormogenesis, kelainan kelenjar hipofisis, dan
kelainan hipotalamus yang berefek pada penurunan sintesis dan sekresi
hormone tiroid sehingga merangsang hipofisis mengeluarkan TSH lebih
banyak (Jian M, 2014).
Deteksi dini hipotiroid kongenital melalui skrining pada bayi baru lahir
(BBL) merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan generasi yang lebih
baik. Skrining atau uji saring pada bayi baru lahir (neonatal screening) adalah
tes yang dilakukan pada saat bayi berumur 2-5 hari untuk memilah bayi yang
menderita kelainan kongenital dari bayi yang sehat dengan cara mengambil
sampel darah kapiler dari permukaan lateral kaki bayi dan diteteskan pada

1
kertas saring khusus untuk mendapatkan kadar TSH. Gejala yang muncul
pada hipotiroid kongenital antara lain: lidah menjadi tebal (makroglosi),
suara serak, hipotoni, hernia umbilikalis, konstipasi, perut buncit, tangan dan
kaki teraba dingin, disertai miksedema. Jika gejala klinis telah muncul maka
dapat dipastikan retardasi mental telah terjadi. Mengingat manifestasi klinis
hipotiroid kongenital merupakan petunjuk dari keterlambatan diagnosis
sehingga penting dilakukan skrining hipotiroid kongenital pada semua bayi
baru lahir karena makin lambat diagnosis ditegakkan makin rendah IQ
(Kapita Selekta FK UI, 2014).

1.2 Identifikasi Masalah


Hipotiroid kongenital sangat jarang memperlihatkan gejala klinis pada awal
kehidupan. Bila gejala klinis sudah tampak, berarti ada keterlambatan
penanganan. Tanpa pengobatan anak dengan hipotiroid kongenital memiliki
gejala yang semakin berat dengan bertambahnya usia. Kunci keberhasilan
pengobatan anak dengan hipotiroid kongenital adalah dengan deteksi dini dan
pengobatan sebelum anak berumur 1 bulan dan apabila diagnosis hipotiroid
kongenital tegak setelah usia 3 bulan maka penurunan IQ akan menjadi
sangat bermakna. Program skrining memungkinkan bayi mendapatkan terapi
dini dan memiliki prognosis yang lebih baik, terutama dalam perkembangan
sistem neurologis. Pengobatan secara dini dengan hormon tiroid dapat
mencegah terjadinya morbiditas fisik maupun mental. Pemantauan tetap
diperlukan untuk mendapatkan hasil pengobatan dan tumbuh kembang anak
yang optimal.

1.3 Tujuan Umum


Penulisan tinjauan pustaka ini untuk mengetahui insiden hipotiroid
kongenital melalui skrining pada bayi baru lahir dengan menggunakan
metode uji saring.

2
1.3 Tujuan Khusus
a. Sebagai proses pembelajaran bagi penulis mengenai skrining hipotiroid
kongenital.
b. Sebagai bahan acuan penulisan karya ilmiah yang lain mengenai skrining
hipotiroid kongenital.

1.4 Manfaat Penulisan


Penulisan tinjauan pustaka ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan
dalam proses belajar mengenai skrining hipotiroid kongenital.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi
Hipotiroid kongenital adalah rendahnya produksi hormon tiroid (kadar T4
diatas persentil <10 dan TSH <10 mU/L) pada bayi baru lahir yang terjadi
karena kecacatan anatomis kelenjar tiroid, gangguan metabolisme tiroid, atau
kekurangan iodium pada saat intrauterine (Jose R, 2012).

2.2 Epidemiologi
Kejadian hipotiroid kongenital bervariasi antar negara, umumnya sebesar 1 :
3000–4000 kelahiran hidup. Dengan penyebab tersering adalah, defisiensi
yodium intrauterine yang mencakup 80% kasus. Lebih sering ditemukan pada
anak perempuan dari pada laki-laki dengan perbandingan 2:1. Pada tahun
2007, angka bayi baru lahir dengan hipotiroid kongenital primer di New York
mengalami peningkatan selama 2 dekade terakhir yaitu dari 1: 3378 menjadi
1: 1414 dari angka kelahiran. Sedangkan secara nasional (USA) angka bayi
baru lahir yang mengalami hipotiroid kongenital juga mengalami
peningkatan 1: 4098 menjadi 1: 2370 dari angka kelahiran. Di Negara
berkembang seperti Brazil angka hipotiroid kongenital pun cukup tinggi yaitu
1: 2595 sampai 1: 4795 dari angka kelahiran bayi. Anak dengan sindrom
Down memiliki resiko 35 kali lebih tinggi untuk menderita hipotiroid
kongenital dibanding anak normal. Insiden hipotiroid di Indonesia
diperkirakan jauh lebih tinggi yaitu sebesar 1:1500 kelahiran hidup
(Schteingart 2006 ; Larson et al 2003)
Di Indonesia, skrining neonatal hipotiroid congenital saat ini belum
merupakan program nasional. Skrining hipotiroid congenital baru
dikembangkan di 11 propinsi terpilih di Indonesia. Telaah rekam medis di
klinik endokrin anak RSCM dan RSHS menunjukkan bahwa lebih dari 70%
penderita HK didiagnosis setelah umur 1 tahun. Hanya 2,3% yang bisa
dikenali sebelum umur 3 bulan. Penyebab hiptiroid yang paling sering di
dunia ialah defisiensi Iodium yang merupakan komponen pokok tiroksin (T4)

4
dan triiodotrionin (T3). Anak yang lahir dari ibu dengan defisinsi Iodium
berat akan mengalami hipotiroid yang tidak terkompensasi karena hormon
tiroid ibu tidak dapat melewati plasenta (Postellon C, 2010).
Banyak faktor yang berperan pada hipotiroid sehingga gambaran klinisnya
bervariasi. Terjadinya hipotiroid tidak dipengaruhi oleh faktor geografis,
sosial ekonomi, maupun iklim dan tidak terdapat predileksi untuk golongan
etnis tertentu. Umumnya kasus tiroid kongenital timbul secara sporadik.
Faktor genetik hanya berperan pada hipotiroid tipe tertentu yang diturunkan
secara autosomal resesif (Rastologi M, 2010).

2.3 Patofisiologi Hipotiroid Kongenital


Hipotiroid dapat terjadi melalui jalur berikut (Olney R, 2010):
Jalur 1
Agenesis tiroid dan keadaan lain yang sejenis menyebabkan sintesis dan
sekresi hormon tiroid menurun sehingga terjadi hipotiroid primer dengan
peningkatan kadar TSH tanpa adanya struma.
Jalur 2
Defisiensi iodium berat menyebabkan sintesis dan sekresi hormon tiroid
menurun, sehingga hipofisis non sekresi TSH lebih banyak untuk memacu
kelenjar tiroid mensintesis dan mensekresi hormon tiroid agar sesuai dengan
kebutuhan. Akibatnya kadar TSH meningkat dan kelenjer tiroid membesar
(stadium kompensasi). Walaupun pada stadium ini terdapat struma difusa dan
peningkatan kadar TSH, tetapi kadar tiroid tetap normal. Bila kompensasi ini
gagal, maka akan terjadi stadium dekompensasi, yaitu terdapatnya struma
difusa, peningktan kadar TSH, dan kadar hormon tiroid rendah.
Jalur 3
Semua hal yang terjadi pada kelenjer tiroid dapat mengganggu atau
menurunkan sintesis hormon tiroid (bahan/ obat goitrogenik, tiroiditis, pasca
tiroidektomi, pasca terapi dengan iodium radioaktif, dan adanya kelainan
enzim didalam jalur sintesis hormon tiroid) disebut dishormogenesis yang
mengakibatkan sekresi hormon tiroid menurun, sehingga terjadi hipotiroid
dengan kadar TSH tinggi, dengan/tanpa struma tergantung pada
penyebabnya.

5
Jalur 4A
Semua keadaan yang menyebabkan penurunan kadar TSH akibat kelainan
hipofisis akan mengakibatkan hipotiroid tanpa struma dengan kadar TSH
yang sangat rendah atau tidak terukur.
Jalur 4B
Semua kelainan hipotalamus yang mengakibatkan yang menyebabkan sekresi
TSH ynag menurun akan menyebabkan hipotiroid dengan kadar TSH rendah
dan tanpa struma.
Jalur 1, 2, dan 3 adalah patogenesis hipotiroid primer dengan kadar TSH
yang tinggi. Jalur 1 tanpa desertai struma, jalur 2 disertai struma, dan jalur 3
dapat dengan atau tanpa struma. Jalur 4A dan 4B adalah patogenesis
hipotiroid sekunder dengan kadar TSH yang tidak terukur atau rendah dan
tidak ditemukan struma.
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipotiroid Kongenital
Hipotirodisme primer (primer Hipotiroidisme primer (primer
permanen) transien/sementara)
• Disgenesis kelenjar tiroid • Pemakaian obat anti tiroid atau
• Dishormonogenesis goitrogen pada ibu
• Ibu hamil dengan • hamil
pengobatan iodium • Defisiensi iodium
radioaktif • Terpapar bahan –bahan iodium
• Berhubungan dengan • Ibu penderita tiroiditis
sindroma nefrotik bawaan autoimun
• Idiopatik
Hipotiroidisme tersier Hipotiroidisme sekunder
• Defisiensi hormon • Defek anatomi garis tengah
hipotalamus multipel SSP
• Trauma kepala • Destruksi kelenjar pituitaria
• Defisiensi TRH isolated • Defisiensi TSH isolasi
Sumber: Kapita Selekta FK UI, 2014
2.4 Skrining Hipotiroid Kongenital
Pada dasarnya orientasi skrining HK adalah untuk mendeteksi hipotiroid
primer (permanen maupun transien) dan sesuai dengan rekomendasi

6
American Thyroid Association, pemeriksaan primer TSH merupakan uji
fungsi tiroid yang paling sensitif. Peningkatan kadar TSH sebagai tanda yang
cukup akurat digunakan untuk mendeteksi hipotiroid kongenital primer.
Khusus untuk negara yang masih menghadapi masalah gangguan akibat
kekurangan Iodium (GAKI) seperti Indonesia, International Council for
Control of Iodine Deficiency Disorders (ICCIDD) menyatakan bahwa
pemeriksaan primer TSH untuk skrining HK akibat kekurangan iodium pada
ibu hamil merupakan indikator yang sensitif dalam menentukan derajat
kekurangan iodium. Juga merupakan cara yang baik untuk memantau hasil
program penanggulangan GAKI.
Terdapat 3 strategi untuk mendeteksi hipotiroid kongenital pada bayi baru
lahir: (1) pemeriksaan TSH dengan backup pemeriksaan T4 pada bayi baru
lahir dengan kadar TSH tinggi, (2) pemeriksaan T4 dengan backup
pemeriksaan TSH pada bayi baru lahir dengan kadar T4 rendah, (3)
pemeriksaan TSH dan T4 yang dilakukan secara bersamaan. Pada
pemeriksaan TSH dengan backup pemeriksaan T4 dapat mendeteksi
hipotiroid primer, defisiensi Tiroglobulin (TBG), hipotiroid sentral atau
hipotiroksiknemia. Pada pemeriksaan T4 dengan backup pemeriksaan TSH
dapat mendeteksi hipotiroid primer, TBG, hipotiroid sentral, dan
kemungkinan hipertiroksinemia (Van vlient et al, 2007).
Spesimen untuk skrining hipotiroid kongenital dilakukan pada tumit bayi
baru lahir, yang usianya 2-5 hari. Spesimen ini menggunakan kertas saring
untuk diperiksa di laboratorium. Pemeriksaan ini dapat diulang pada usia 2
minggu dan 6 minggu untuk memastikan diagnosis hipotiroid kongenital
dengan dilakukan pengukuran kadar free T4 atau TSH (Smith, 2007).
Tes kedua kadar T4 dan TSH tersebut akan mendeteksi kemungkinan bayi
baru lahir mengalami hipotiroid kongenital bawaan. Terdapat keuntungan
ataupun kerugian dengan adanya pemeriksaan tersebut. Dimana pemeriksaan
tersebut dikaitkan dengan bayi baru lahir dengan hipotiroid kongenital
primer, di sisi lain hal lain yang dapat dialami bayi baru lahir juga memiliki
kemungkinan mengalami hipotiroid sekunder atau sentral akibat perlambatan
peningkatan kadar TSH oleh kelenjar hipofisis. Belum ada pemeriksaan lain

7
yang dapat mendeteksi gangguan hipotiroid pada bayi akibat kesalan pada
proses transpot atau metabolisme hormon tiroid. Dengan adanya program
skrining ini dikatakan banyak ditemukan kasus hipotiroid kongenital.

Gambar 1. Algoritma Diagnosis Hipotiroid Kongenital (Smith L, 2007)

Skrining dilakukan dengan mengukur kadar T4 atau TSH yang dilakukan


pada kertas saring. Bayi yang memiliki kadar T4 diatas persentil <10 perlu
dilakukan follow up pemeriksaan TSH. Dikatakan hipotiroid kongenital jika
kadar TSH >30 mU/L serum. Adapun menurut pendapat lain mengemukakan,
bayi dengan kadar TSH <10 mU/L serum dikatakan skrining negatif
hipotiroid kongenital, kadar TSH >10 mU/L serum dan <20 mU/L serum
dikatakan borderline hipotiroid kongenital, dan kadar TSH >20 mU/L serum
dikatakan positif hipotiroid kongenital.
Bayi baru lahir dengan kadar TSH yang meningkat dan kadar T4 yang
rendah dapat dikatakan hipotiroid primer. Dengan adanya keadaan tersebut

8
perlu dilakukan penanganan segera dengan pemberian levotiroksin tanpa
menunggu konfirmasi ulang hasil pemeriksaan. Bila kadar TSH yang
meningkat dan kadar T4 normal bayi baru lahir dapat dikatakan mengalami
hipertirotropinemia. Hal ini mungkin disebabkan kelainan permanen dari
kelenjar tiroid atau keterlambatan maturasi dari axis kelenjar hipofisis-
hipotalamus. Pada keadaan dimana kadar TSH normal dan kadar T4 rendah
pada bayi baru lahir kemungkinan disebabkan imaturitas pada aksis kelnjar
hipofisis-hipotalamus dan insufisiensi kelenjar tiroid ataupun pemberian
glukokortikoid dosis tinggi juga dapat menyebabkan terhambatnya TSH
sehingga menyebabkan penurunan kadar T4. Adapun kadar TSH dapat
mengalami keterlambatan yang sering terjadi pada bayi BBLR. Selain itu
terdapat keadaan yang sangat jarang terjadi yaitu “transient TSH elevation”.
Hal ini kemungkinan akibat pemberian anti tiroid saat masa kehamilan,
kelebihan iodium saat prenatal atau postnatal, dan defisiensi iodium.

9
Gambar 2. Algoritma Skrining Hipotiroid Kongenital (British Society for
Paediatric Endocrinology, 2013)
Bayi yang telah terdeteksi fungsi hormon tiroid yang abnormal melalui
skrining harus segera mendapatkan pemeriksaan konfirmasi hasil laboratorium
tentang kadar free T4 dan TSH. Mengenai kadar TSH dan free T4 memiliki
perbedaan kadar tergantung dari usia bayi. Berikut tabel mengenai kadar
normal T4 dan TSH berdasarkan usia bayi (Rastologi, 2010).

10
Bayi dengan hipotiroid kongenital yang dilakukan skrining boleh
diberikan levotiroxin 10-15 mcg/kgbb/hari dengan dosis maksimum 50
mcg/kgbb/hari. Biasanya kadar TSH akan menjadi normal saat 1 bulan pertama
setelah pengobatan. Oleh karena itu, dosis levotiroxin dapat mulai diturukan jika
bayi menunjukkan tanda-tanda pengobatan yang berlebihan. Adapun protokol alur
diagnosis hipotiroid kongenital setelah dilakukan skrining pada bayi.10

Gambar 3. Protokol alur diagnosis hipotiroid kongenital setelah dilakukan


skrining pada bayi (British Society for Paediatric Endocrinology, 2013).

2.5 Pedoman Skrining Hipotiroid Kongenital


Adapun tahapan-tahapan dalam proses skrining hipotiroid kongenital
berdasarkan kebijakan pemerintah sebagai berikut:
2.5.1 Persiapan
a. Penjelasan kepada orangtua tentang skrining pada bayi baru lahir dengan
pengambilan tetes darah tumit bayi dan keuntungan skrining ini bagi masa

11
depan bayi akan mendorong orangtua untuk mau melakukan skrining bagi
bayinya.
b. Persetujuan (informed consent) tidak perlu tertulis khusus, tetapi
dicantumkan bersama-sama dengan persetujuan tindakan medis lain pada
saat bayi masuk ke ruang perawatan bayi.
c. Bila tindakan pengambilan darah pada BBL ditolak, maka orangtua harus
menandatangani formulir penolakan.
2.5.2 Pengambilan Spesimen
Hal yang penting diperhatikan pada pemeriksaan spesimen ialah :
a. Waktu pengambilan (timing)
b. Data demografi bayi
c. Metode pengambilan
d. Pengiriman/transportasi
e. Proses skrining di laboratorium
2.5.3 Waktu Pengambilan Sampel
a. Pengambilan spesimen darah yang paling ideal adalah ketika umur
bayi 48 sampai 72 jam.
b. Pada keadaan tertentu pengambilan darah masih bisa ditolerir antara
24–48 jam.
c. Sebaiknya darah tidak diambil dalam 24 jam pertama setelah lahir
karena pada saat itu kadar TSH masih tinggi, sehingga akan
memberikan sejumlah hasil positif palsu (false positive).
2.5.4 Data / Identitas Bayi
a. Isi kartu identitas bayi dengan lengkap dan benar dalam kartu
A. B C D E
informasi.
b. Kelengkapan dan akuratan data pada kartu informasi sangat penting
(Isilah setiap lingkaran dengan satu bercak darah hingga menyerap/ tembus bagian belakang)
untuk kecepatanPROGRAM tindak lanjut
SKRINING hasil tes bagi
HIPOTIROID pasien.
KONGENITAL
Rumah sakit :________________________/No.Rekmed________________________
Nama Ibu/Bayi : ___________________________________/suku _________________
Nama Ayah : ___________________________________/Suku__________________
Alamat
:_________________________________________________________

__________________________________________________________
Telepon :__________________________________________________________
Dokter Penanggung Jawab:____________________________Tep/hp__________________
Kelahiran : Tunggal  Kembar 1 2 3

Umur kehamilan :  Prermatur: Ya  Tidak 

Jenis Kelamin : L P Berat badan :___________Gram

JamTglBlnThDarah diambil dari:Lahir Tumit 


12
Spesimen Vena Keterangan ::
Transfusi Darah : Ya  Tgl …/…../ …. Tidak 
Ibu makan obat anti tiroid : Ya  Tidak 
Bayi dengan kelainan bawaan/ sindrom :Ya , sebutkan….. Tidak 
Obat untuk bayi : Ya , sebutkan............ Tidak 

Gambar 4. Contoh kertas saring yang sudah diselipkan pada kartu


informasi yang berisi data demografi bayi, dan ditetesi
darah pada kedua bulatannya

c. Pengisian kartu informasi dilakukan dengan ballpoint, jangan


menggunakan tinta yang dapat luntur.
d. Hindari pencemaran pada kertas saring, mengotori kertas saring atau
merusak tetes darah yang ada. Usahakan kertas saring tidak banyak
disentuh petugas lain.

2.5.5 Metode dan Tempat Pengambilan Darah


Metode Pengambilan Darah dari Tumit Bayi (heel prick)
Siapkan alat yang digunakan :
1. Sarung tangan
2. Lancet
3. Kartu-kertas saring (kertas saring yang diproduksi oleh Schleicher &
Schuell, Inc (S&S grade 903) atau Whatman 903)
4. Kapas
5. Alkohol 70%

13
6. Kasa steril
7. Rak pengering

7
4 6

1
3
2

Gambar 5. : Alat yang digunakan untuk pengambilan spesimen (1.


Sarung tangan steril, 2. Lancet, 3. Kartu kertas saring,
4. Kapas, 5. Alkohol 70%, 6. Kasa steril, 7. Rak
pengering)

2.5.6 Prosedur pengambilan spesimen darah :


1. Cuci tangan menggunakan sabun dengan air bersih mengalir dan
pakailah sarung tangan
2. Hangatkan tumit
3. Supaya aliran darah lebih lancar, posisikan kaki lebih rendah dari
kepala bayi
4. Tentukan lokasi penusukan yaitu bagian lateral atau medial tumit
(daerah berwarna merah), (gambar 6 dan 7)

14
Gambar 6 Gambar 7

5. Bersihkan daerah yang akan ditusuk de ngan antiseptik kapas


alkohol 70%, biarkan kering (gambar 8)
6. Tusuk tumit dengan lanset steril sekali pakai ukuran 2 mm. (gambar
9)

Gambar 8 Gambar 9

Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12

15
7.Setelah tumit ditusuk, usap tetes darah pertama dengan kain kasa steril
(gambar 10)
8. Lakukan pijatan lembut sehingga terbentuk tetes darah yang cukup besar.
Hindarkan gerakan memeras karena akan mengakibatkan hemolisis atau
darah tercampur cairan jaringan. (gambar 11)
9. Selanjutnya teteskan darah ke tengah bulatan kertas saring sampai bulatan
terisi penuh dan tembus kedua sisi. Hindarkan tetesan darah yang berlapis-
lapis (layering). Ulangi meneteskan darah ke atas bulatan lain. Bila darah
tidak cukup, lakukan tusukan di tempat terpisah dengan menggunakan
lanset baru. (gambar 12)
10. Tekan bekas tusukan dengan kasa/kapas steril. Bekas tusukan tidak perlu
diberi plester ataupun pembalut.

Gambar 13. Contoh bercak darah yang baik


2.5.7 Metode Pengeringan Spesimen
1. Setelah mendapatkan spesimen letakkan di rak
pengering dengan posisi horisontal atau diletakkan
di atas permukaan datar yang kering dan tidak
menyerap (non absorbent).
2. Biarkan spesimen mengering (warna darah merah
gelap).
3. Sebaiknya biarkan spesimen di atas rak pengering
sebelum dikirim ke laboratorium.
Gambar 13
4. Jangan meletakkan pengering berdekatan dengan bahan-bahan yang
mengeluarkan uap seperti cat, aerosol, dan insektisida.

2.5.8 Pengiriman / Transportasi Spesimen

16
1. Ketika spesimen akan dikirim, susun berselang-seling untuk
menghindari agar bercak darah tidak saling bersinggungan, atau taruh
kertas diantara bercak darah. Bisa juga tiap spesimen dimasukkan ke
dalam kantong khusus.
2. Masukkan ke dalam amplop dan sertakan daftar spesimen.
3. Pengiriman dapat dilakukan oleh petugas pengumpul spesimen atau
langsung dikirim melalui jasa layanan PT. POS Indonesia (Pos Express)
maupun jasa pengiriman swasta.
4. Pengiriman tidak boleh lebih dari 7 (tujuh) hari sejak spesimen diambil.
Perjalanan pengiriman tidak boleh lebih dari 3 hari.

Gambar 14. Menyusun kertas saring dengan berselang-seling


5. Spesimen dikirim ke salah satu Laboratorium Rujukan Skrining
Hipotiroid Kongenital di Indonesia :
 Pusat Skrining Hipotiroid Kongenital Propinsi Jawa Barat
Bagian Kedokteran Nuklir FK-Unpad RSUP Hasan Sadikin
 Laboratorium Patologi Klinik FK-UI RS Cipto Mangunkusumo
2.5.9 Proses Skrining di Laboratorium
Setelah sampai di laboratorium, spesimen yang dikirim dipisahkan
antara spesimen pertama dan ulangan, kemudian diperiksa kelengkapan
identitas spesimen. Untuk spesimen yang tidak lengkap, pengawas
laboratorium untuk menghubungi petugas fasilitas kesehatan dan
menanyakan secara lengkap identitas bayi. Spesimen diperiksa satu
persatu untuk melihat kualitasnya. Spesimen darah harus sudah kering,
memenuhi satu lingkaran penuh hingga tembus ke sisi belakangnya,
berwarna gelap dan tidak memudar pada sisi lingkaran. Spesimen darah
yang telah memenuhi syarat diatas di tandai dengan tulisan “SPESIMEN
DITERIMA”. Spesimen yang terkontaminasi, warna tetesan darah yang

17
pudar, darah terlalu sedikit ( lihat gambar spesimen yang tidak baik),
termasuk juga spesimen yang diambil sebelum bayi berumur 24 jam,
dipisahkan dalam kantong plastik dan ditandai dengan tulisan
“SPESIMEN DITOLAK”. Petugas harus melaporkan kepada pengawas
laboratorium agar dapat segera menghubungi petugas fasilitas kesehatan
yang bersangkutan untuk pengambilan spesimen kembali. Spesimen perlu
pengambilan ulang (resample) bila:

a. Spesimen dengan hasil TSH antara 20 - 40 mU/L


b. Spesimen yang tidak cukup untuk pengukuran TSH
c. Spesimen dengan kesalahan pengambilan (terkontaminasi, berlapis-
lapis, < 24 jam, dll.), seperti gambaran berikut :

Kemungkinan
Spesimen tidak baik :
penyebab :
 Tetes darah
kurang
 Meneteskan
darah dengan tabung
kapiler
 Kertas
tersentuh tangan,
sarung tangan, lotion
 Kertas rusak,
meneteskan darah
dengan tabung
kapiler
 Mengirim
spesimen sebelum
kering

18
 Meneteskan
terlalu banyak darah
 Meneteskan
darah di kedua sisi
bulatan kertas
 Darah diperas
(milking) dari tempat
tusukan
 Kontaminasi
 Terpapar panas
 Alkohol tidak
dikeringkan
 Kontaminasi
dengan alkohol dan
lotion
 Darah diperas
(milking)
 Pengeringan
tidak baik
 Penetesan
darah beberapa kali
 Meneteskan
darah di kedua sisi
bulatan kertas

 Gagal
memperoleh
spesimen

2.6 Tindak Lanjut Hasil Skrining

Hal pertama yang harus dilakukan ketika mendapatkan hasil tes positif adalah
sesegera mungkin menghubungi orang tua bayi yang bersangkutan. Tugas
dari tim tindak lanjut bayi dengan hasil tes positif ialah mencari tempat
tinggal bayi tersebut dan memfasilitasi pemeriksaan lanjutan untuk

19
menegakkan diagnosis. Bila perlu, dilakukan tes konfirmasi berupa
pemeriksaan TSH, dan T4 bebas (FT4) serum terhadap bayi tersebut.
Beberapa kemungkinan hasil TSH yaitu:
a. Kadar TSH ≤ 20 mU/L
Bila tes konfirmasi mendapatkan hasil kadar TSH kurang dari 20 mU/L,
maka hasil dianggap normal dan akan disampaikan kepada pengirim
spesimen dalam waktu 7 hari.
b. Kadar TSH antara >20 – ≤ 40 mU/L
Nilai TSH yang demikian menunjukkan hasil yang meragukan. Sehingga
perlu pengambilan spesimen ulang (resample). Bila pada hasil
pengambilan ulang didapatkan:
 Kadar TSH ≤ 20 mU/L, maka hasil tersebut dianggap normal
 kadar TSH > 20 mU/L, maka perlu dilakukan pemeriksaan TSH dan
FT4 serum
c. Kadar TSH > 40 mU/L
Memotivasi Memotivasi orang tua sebaiknya dilakukan oleh petugas
orang tua kesehatan
Jika hasil pemeriksaan yang terlibat nilai
menunjukkan langsung
yangdengan pengawasan
demikian, maka perlu
antenatal
dilakukan pemeriksaan konfirmasi TSH dan FT4 serum

Tabel 2.2 Pengambilan


Skema Pelaksanaan
PengambilanPengambilan Dan Pemeriksaan
spesimen bisa dilakukan pada 24 – 72 Spesimen
jam
Darah sampel darah setelah bayi lahir. Pengambilan darah bisa dikerjakan oleh
dokter, perawat, bidan , teknisi medis yang telah dilatih.

Pengiriman Lakukan pengambilan sampel atau pengiriman secara


sampel ke teratur oleh kurir atau melalui pos
laboratorium

Mengerjakan Dilaksanakan di laboratorium yang telah ditunjuk dan


tes uji saring mempunyai kemampuan mengerjakan tes uji saring

Penyampaian Hasil tes disampaikan dalam waktu satu minggu setelah


hasil skrining spesimen diterima di laboratorium. Hasil disampaikan ke
pengirim spesimen melalui fax, e-mail, telpon atau kurir

Pemanggilan Recall pasien merupakan tanggung jawab dari


ulang tempat bayi lahir. Recall tes
subkoordinator di20 positif
(recalling) untuk pemeriksaan diagnostik harus dilakukan
pasien
dengan segera.
KEMENKE POKJANA
S S

DINKES PROVINSI POKJA


PROVINSI

Pencatatan Monitoring
dan LABORATORIUM SHK dan evaluasi
pelaporan

TIM FOLLOW UP
HASIL UJI
SARING

Hasil TSH negatif Hasil TSH positif

Umpan balik segera kpd koordinator


RS/RB/PKM/Perawat/ Bidan/
Beritahu koordinator pengirim sampel
RS/RB/PKM/KL.
Bidan

Hubungi/cari/kunjungi orang tua


bayi, beri penjelasan

Ambil darah/serum untuk


pemeriksan TSH dan T4

TSH tinggi, T4 rendah: beri tiroksin


Pencatatan dan
Bila memungkinkan, pemeriksaan
pelaporan
diagnostik lain: scanning tiroid,
(rekam medis) 21
pencitraan sendi lututdan panggul,
serta pemeriksaan lain atas indikasi
Gambar 15. Algoritma Kerja Tim Skrining Hipotiroid Kongenital

2.8 Ketepatan Hasil Skrining


Dengan adanya program skrining neonatus untuk mendeteksi hipotiorid
kongenital, prognosis bayi hipotiroid kongenital lebih baik dari sebelumnya.
Diagnosis awal dan pengobatan yang cukup sejak umur minggu pertama
kehidupan memungkinkan pertumbuhan linier yang normal dan intelegensinya
setingkat dengan saudara kandung yang tidak terkena. Tanpa pengobatan bayi
yang terkena perawakan pendek (cebol) dan defisiensi mental. Bila
pengobatan dimulai pada usia 46 minggu IQ pasien tidak berbeda dengan IQ
populasi kontrol. Program skrinng di Quebec (AS) mendapatkan bahwa IQ
pasien pada usia 1 tahun sebesar 115, usia 18 bulan sebesar 104, dan usia 36
bulan sebesar 103. Pada pemeriksaan di usia 36 bulan didapatkan “hearing
speech” dan “practical reasoning” lebih rendah dari populasi control. Pada
sebagian kecil kasus dengan IQ normal dapat dijumpai kelainan neurologis,
antara lain gangguan koordinasi motorik kasar dan halus, ataksia, tonus otot
meningggi atau menurun, gangguan pemusatan perhatian dan gangguan
bicara. Tuli sensorineural ditemukan pada 20% kasus hipotiroid kongenital.
Dokter juga harus waspada akan keterbatasan metode skrining meskipun
jarang ditemui kesalahan pada manusia dan penelitian sebelumnya, namun
bias dapat terjadi kira-kira 5-10% bayi hipotiroid kongenital memiliki kadar
hormone yang normal (Maciel, 2013).

22
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Hipotiroid kongenital merupakan gangguan pertumbuhan kelenjar tiroid
secara kongenital. Gejala klinis Hipotiroid kongenital tidak begitu jelas.
Diagnosis Hipotiroid kongenital ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala
klinis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan skrining. Skrining untuk
hipotiroid kongenital dilakukan pada minggu pertama bayi lahir sangatlah
penting, untuk mencegah komplikasi lanjut.

3.2. Saran
Saran pada tinjauan pustaka ini adalah:

23
1. Perlu deteksi dini kasus hipotiroid kongenital dan pemberian
penatalaksanaan yang tepat demi tercapainya pertumbuhan fisik dan
perkembangan mental yang optimal bagi penderita hipotiroid kongenital.
2. Untuk menghindari terjadinya retardasi mental pada penderita
hipotiroidisme kongenital, sebaiknya program skrining nasional
dilakukan.
3. Perlu dilakukan monitor laboratorium fungsi tiroid dilakukan setiap
bulan setelah awal terapi dan pada setiap perubahan dosis. Pada setiap
penderita hipotiroidisme kongenital sebaiknya dilakukan pemeriksaan
tambahan BERA, elektromiografi dan tes IQ.
4. Mahalnya pelaksanaan skrinining hipotiroid kongenital juga dapat diatasi
dengan kerjasama pemerintah dengan RS swasta sehingga orang tua yang
memiliki askses lebih dapat memeriksakan bayinya kesana.
5. Sulitnya pengambilan spesimen yang baik untuk skrining dapat diatasi
dengan sosialisasi kepada tenaga kesehatan khusus pada tiap-tiap rumah
sakit rujukan di tiap daerah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Batubara, Jose RL, dkk. Ganggguan Kelenjar Tiroid. Dalam : Buku Ajar
Endokrinologi Anak Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010. hal.205-
212.
2. La Franchi, Stephen. Hypothyroidism. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, editor. Nelson textbook of pediatrics 18 th ed. Philadelphia:

24
Saunders, 2007.hal. 2319-25.
3. Sherwood, Lauralee. Organ Endokrin Perifer. Fisiologi Manusia Dari Sel ke
Sistem (Human Physiology: From Cells to Systems). Edisi 2. Jakarta: EGC,
2001. hal 644-651.
4. Schteingart, David E. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam Price AS, Wilson
LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6, Volume
2. Jakarta: EGC, 2006. hal 1225-1234.
5. Larson, Cecilia A. Congenital Hypothyroidism. Dalam: Radovick, S, MD,
MacGilivray, MH, MD, editor. Pediatric Endocrinology : A Practical Clinical
Guide. New Jersey : Humana Press Inc. 2003.hal. 275-284.
6. Van vliet, G, Polak, M. Pediatric Endocrinology Fifth Edition volume 2.
Thyroid Disorders In Infancy. New York : Informa Healthcare USA Inc.
2007.hal. 392-8.
7. Jian M, Vandana K, dkk. Congenital Hypothyroidism. Di akses dari
www.newbornwhocc.org.
8. Postellon DC, Bourgeouis MJ. Anatomy of Thyroid Gland.. Di akses dari
www.emedicine.medscape.com.
9. Rastogi, M.V. dan Lafranchi S.H. Congenital Hypothyroidism. Orphanet
Journal of Rare Diseases 2010. 5-17
10. NHS. Congenital Hypothyroidism: Initial Clinical Referral Standards and
Guidelines. British Society for Paediatric Endocrinology and Diabetes
2013.2-9
11. Olney R.S et al. Prevalence of Congenital Hypothyroidism—Current Trends
and Future Directions: Workshop Summary. Pediatrics 2010;125:S31–S36
12. Maciel L.M.Z et al. Congenital hypothyroidism: recommendations of the
Thyroid Department of the Brazilian Society of Endocrinology and
Metabolism. Arq Bras Endocrinol Metab 2013;57(3):184-92
13. Smith L. Updated AAP Guidelines on Newborn Screening and Therapy for
Congenital Hypothyroidism. Am Fam Physician 2007; 76(3):439-444
14.

25

Anda mungkin juga menyukai