Anda di halaman 1dari 25

YOU ARE READIN

Mereka semua mengatakan bahwa cinta itu buta. Gisel setuju karena
beberapa alasan, tetapi ia juga memiliki alasan untuk tidak menyatakan ya
untuk kalimat itu.

Kalau cinta memang buta, mengapa harus membiarkan keadaan


menyedihkan itu terjadi? Rasanya kita masih bisa memakai logika untuk
memikirkan lebih dalam mengenai cinta.

Dalam menjalani sebuah kisah, romansa atau apapun itu. Gunakanlah


hatimu, tetapi jangan lupa untuk membawa akal sehatmu.

***

Mario tahu ia memang memilih jalan yang salah. Tetapi apa yang harus ia
lakukan ketika belenggu itu menjerat dirinya sehingga tidak bisa bangkit
sedikitpun?

Seringkali Mario membenci dirinya sendiri, hampir setiap hari ini termenung
menyadari bahwa ia hanya orang yang ... tersesat dalam menentukan
pilihan.

Tetapi ia sulit untuk memilih jalan yang benar.

***

Luna kadang hanya bisa tersenyum miris. Ia tahu ia salah, begitu juga
dengan Mario.
Tetapi perasaan hati tidak mudah ditentang, kalaupun ia melakukannya
segurat luka akan tercipta. Membuat rasa sakit itu akan bertambah setiap
harinya.

Luna yang terlihat kuat juga sering merasa satu hal yang sangat
manusiawi. Yaitu rasa takut.

***
SATU : Oh God, What Should I Do?
"Dengerin ya," Mario menarik napas dalam-dalam, "Revano tadi siang
nembak gue."

Gisel terbatuk hebat, sedangkan Luna melongo.

"Yakin lo?" Luna membenarkan anak rambutnya dan memerhatikan wajah


Mario dengan lebih seksama, tidak tampak kebohongan di sana. Apa Mario
berkata jujur? Ini agak ... terlalu aneh untuk didengar.

"Gue nggak bohong Luna, kalo lo mikir begitu."

Daripada mengucapkan sesuatu untuk membalas perkataan Mario, Luna


memilih menepuk-nepuk punggung Gisel. Cewek itu masih terbatuk-batuk,
mungkin karena terlalu terkejut.

"Terus gimana?" tanya Luna tanpa menatap Mario.

"Ya gue terima." Luna tersenyum tipis. "Gue masih nggak nyangka
sumpah, tapi pantes aja dia selama ini cuek bebek sama cewek. Ganteng
banget sih emang tapi ternyata..."

Luna menggantung ucapannya dengan sengaja.

"Ngapain elo terima dia Mario!" protes Gisel yang sudah tidak terbatuk lagi.

Mario menaikkan sebelah alisnya. "Lah? Emang kenapa?"

"Udah berapa kali sih gue bilang? Jangan pacaran sama cowok
lagi, please itu super duper abnormal!"

Mario mengembuskan napasnya perlahan, bukankah semua ini adalah


keputusannya? Tujuan Gisel memang baik untuk memperingatkannya, tapi
apa daya, hatinya berkata lain.

Ia sendiri tidak ingin menjadi seperti ini, tentu saja ia ingin menjadi 'normal'
seperti orang lain. Tapi kehendak hati tidak bisa dipaksa bukan?
"Gisel, udah berulang kali juga kita ngebahas ini. Udah debat dari musim
kesemek sampe musim kedondong juga tapi hasilnya tetep sama, gue
keukeuh dan elo maksa. Nggak ada hasilnya sama sekali, jadi mending
biarin gue seneng. Oke?"

Gisel membuka mulutnya hendak berbicara kembali tetapi Luna dengan


cepat memotong. "Udah mending lo diem, Mario ataupun gue lagi
nggak mood buat dengerin ceramah panjang lebar dari elo."

Gisel melotot, sehingga bola matanya seakan hendak keluar jika


ekspresinya tetap bertahan selama tiga puluh detik kedepan. "Elo juga
sama aja Luna!"

"Berisik woy." Mario menjitak kepala dua sahabatnya dengan keras,


sehingga terdengar suara kesakitan kemudian.

"Mario kampret! Awas lo ya!" Gisel membalas jitakan Mario tak kalah
keras, keduanya kemudian saling memukul sehingga membuat Luna yang
berada di tengah-tengah terkena imbasnya.

"Kalian berdua bisa diem nggak?! Kalo kalian masih kayak gini mendingan
gue pulang," cerocos Luna yang sudah tidak tahan dengan kelakuan
primitif sahabatnya.

"Jangan dong! Kalo lo pulang gue sendirian di sini."

"Gue nggak dianggep? Bagus." Mario manyun.

"Mario, kalo Luna pergi otomatis lo ngekor di belakang dia. Emang


biasanya gitu."

"Oke, gue nggak bakal pulang tapi please tenang sebentar aja bisa kan?"

"Bisa." Gisel mengembuskan napasnya pelan, lalu beranjak ke lantai dua


untuk mengambil novelnya yang belum ia selesaikan.
Tetapi bukannya kembali ke bawah setelah novel ada di genggamannya,
Gisel malah duduk sendirian di kursi rotan di balkon. Merasakan angin
malam yang sebenarnya tidak baik untuk kesehatannya, apalagi kondisi
fisik Gisel terbilang lemah.

"Tuhan, bisa kabulkan permintaanku nggak? Sederhana aja kok, jangan


buat mereka tersesat dan tolong kembalikan Luna dan Mario ke jalan yang
seharusnya." Gisel mencengkram pinggiran kursi ketika kepalanya terasa
sangat sakit, akhir-akhir ini hal itu sering terjadi.

What should I do?

Di sisi lain, Luna yang kini memakan cemilannya menatap Mario yang
menguap lebar. "Jam segini udah ngantuk?"

Mario mengangguk. "Tadi gue gadang sampe jam tiga."

"Buat apaan?"

"Nyelesaiin film yang gue tonton."

"Niat amat," komentar Luna.

"Nanggung." Mario bergeser lebih dekat ke arah Luna, merangkul cewek


itu dan mengembuskan napas pelan.

"Si Gisel mana? Lama banget ngambil buku doang."

"Ketiduran mungkin, dia kan gampang capek orangnya."

"Ck."

"Gue mau tidur bentar." Mario membaringkan tubuhnya di sofa, sehingga


membuat kepalanya berada di atas paha Luna.

Cewek itu sendiri tidak protes, karena itu sudah sangat biasa. Lagipula
tidak ada perasaan khusus yang akan muncul di antara keduanya.

"Mar."
"Apaan?"

"Gue kira lo udah ke alam mimpi."

"Gue balik lagi karena denger suara lo manggil gue. Ada apaan?"

"Kalo lo mau tidur ke kamar sana, kepala lo berat tau." Luna


menghentakkan kakinya sehingga kepala Mario terbentur ke lutut Luna.

"Luna! Biarin gue diem dikit napa, gue mau tidur, ngantuk."

"Tapi kepala lo berat banget buset, kek batu."

"Bodo amat." Mario mendesah lalu memilih kembali tidur.

"Si Mario kalo tidur ke kamar, bukan malah di sofa." Luna menoleh ketika
mendengar suara Gisel yang agak serak.

"Lo kenapa?"

"Emang gue kenapa?" tanya Gisel balik.

"Suara lo serak, pipi lo basah. Lo abis nangis ya?" Gisel menggeleng


cepat. "Nggak."

"Jujur sama gue, jangan mendem masalah sendiri gitu ah. Biar gue tebak,
ini masalah cowok?"

"Bu..."

"Kalo ada cowok yang nyakitin lo, bilang aja. Biar gue sama Luna hajar
sampe abis." Suara Mario sempat membuat Gisel maupun Luna terkejut.

"Katanya lo mau tidur? Kok ngomong mulu ini mulut?" Luna menyentil bibir
Mario sehingga membuat cowok itu mengaduh. "Luna kampret!"

Gisel hanya bisa tertawa melihat keduanya. Ia senang bahwa keadaan


mereka baik-baik saja, meskipun diperlihatkan dengan cara yang berbeda.
Tetapi Gisel ingin mereka menjadi straight alias 'lurus'. Bukannya egois,
tetapi itu juga untuk kebaikan mereka sendiri.

***
DUA : Mario Adhiwijaya

Start from the beginning

by BayuPermana31 Follow
Share



Ia jadi membayangkan bagaimana jika ada orang lain selain keluarganya


dan kedua sahabatnya yang tahu tentang hal ini, pasti ia tak akan sanggup
lagi untuk sekadar bertatap muka dengan orang lain.

Tiba-tiba sebuah bunyi klakson mobil membuatnya tersadar dari lamunan,


Mario mendongak dan mendapati Revano yang tersenyum lalu
melambaikan tangan kearahnya. Seolah memintanya untuk masuk ke
dalam mobil.

Mario menoleh kesana-kemari dan menyadari bahwa hanya ia seorang


yang berada di halte itu.

"Ayo masuk." Mario berdiri lalu masuk ke dalam mobil dengan dahi
mengernyit.

"Pagi," sapa Mario berbasa-basi.

"Pagi. Kalo berangkat kirim pesan ke gue, biar dijemput."


Revano memajukan kembali mobilnya menuju sekolah mereka berdua,
SMA Aditama.

"Gue belum berani," balas Mario sambil memerhatikan Revano yang fokus
menyetir.

"Belum berani kenapa?"

"Ya gue masih ngerasa aneh aja sama lo." Revano menampakkan senyum
mautnya yang selalu bisa membuat para siswi menjadi 'kebaperan'.

"Kok ngerasa aneh sama gue? Maksud lo aneh karena lo kaget tau kalo
gue belok juga?"

Revano mengucapkan pertanyaannya itu dengan santai, yang berhasil


membuat Mario sedikit terkejut dibuatnya. "Iya. Dan yang lebih heran lagi
dari mana lo tau kalo gue..."

"Gue bisa bedain mana yang normal dan yang nggak. Gampang aja, lo liat
tatapan mereka. Tatapan memuja yang mereka arahkan itu ke siapa,
cowok atau cewek."

Mario mengangguk paham. Apakah selama ini ia terlihat sangat jelas?

"Keliatan banget ya?"

Revano menggeleng pelan. "Nggak juga."

Mario memilih menatap pajangan berbentuk kepala tokoh kartun


di dashboard yang bergoyang-goyang daripada membalas, takut malah ia
menjadi salah bicara.

"Nggak usah canggung gitu sama gue, santai aja."

Mario tersenyum tipis. "Oke."

Selama beberapa menit lamanya keadaan menjadi hening.


"Tapi ... lo tau daerah rumah gue dari mana? Kok bisa kebetulan lewat
halte tadi?"

"Sebelumnya gue nyari tau tentang lo, jadi bukan kebetulan. Asal lo tau
aja, gue niat ini udah dari jauh-jauh hari."

"Maksudnya?"

"Yah ... gue kepincut sama senyum lo dari dulu. Entah kenapa senyum lo
itu nenangin."

"Hah? But seriously, gue nggak nyangka lo kayak gini."

Revano tertawa kecil. "Emang nggak ada yang bakalan nyangka kalo liat
penampilan luar gue doang."

"Jadi?"

"Jangan pernah menilai seseorang dari penampilan yang bisa mata lihat,
tapi nilai seseorang dari bagaimana hati merasakan."

"Lo bijak juga."

Revano kembali tertawa sambil membelokkan mobilnya menuju halaman


sekolah. "Nggak juga, itu emang bener. Penampilan emang sering nipu."

Ketika mobil Revano sudah terparkir dengan sempurna, Mario hendak


turun saat Revano menarik kembali tangannya.

"Gue minta satu hal sama lo, boleh?"

Mario menaikkan sebelah alisnya. "Minta apaan?"

"Kita sama-sama tau kan kalo kemarin gue nembak lo dan lo terima?"
Mario mengangguk kaku.

"Nah, dengan fakta itu gue minta sesuatu sama lo. Yaitu jangan terlalu
deket sama orang lain, karena jujur gue nggak suka."
Mario menyadari sesuatu, bahwa Revano adalah seseorang yang ...
posesif?

"Gue usahain."

"Bagus." Keduanya turun dari mobil secara bersamaan, sempat membuat


beberapa siswa mengalihkan perhatian sejenak ke arah mereka karena
tidak pernah menduga hal itu sebelumnya.

Bagaimana bisa Mario berangkat bersama Revano? Tidak ada yang tahu.

Kecuali seorang perempuan dengan hoodie berwarna ungu tua yang


menatap ke arah Mario sendu.

"Nanti istirahat gue tunggu di kantin."

"Oke."

"See you."

"See you too." Revano berjalan menjauh, Mario sendiri berjalan ke arah
yang berlawanan karena kelas mereka beda jurusan.

"Mario!" Mario menoleh ketika mendengar suara teriakan Gisel yang kini
berlari kecil ke arahnya dengan napas memburu.

"Ngapain lo lari-lari? Kalo sakit terus lo pingsan gimana? Ck." Mario


merangkul Gisel kemudian.

"Lo tadi uhukk berangkat sama Revano?" tanya Gisel.

"Yoi."

Jawaban Mario sukses membuat Gisel mendesah pelan.

Mungkin ia masih harus menunggu keajaiban terjadi.

***
TIGA : Araluna Effendi
Matahari yang belum terbit sepenuhnya malah memacu Luna untuk berlari
lebih cepat lagi, kakinya yang kencang bergerak cepat menapaki jalanan
yang masih cukup sepi karena waktu masih menunjukkan pukul enam
pagi.

Keringat yang menetes di pelipis Luna abaikan, membiarkan tubuhnya


basah oleh keringat adalah rutinitasnya setiap pagi.

Berlari pagi seperti ini memang kebiasaan Luna sejak SMP, sehingga ia
tak perlu bersusah payah untuk sekadar bangun, mempersiapkan diri lalu
mulai menarik napas segar dan menjalani kegiatan yang sebenarnya lebih
Luna jadikan sebagai sarana penyalur emosi.

Luna memang emosional. Selain ia gampang naik darah, perangainya


yang terkadang moody membuatnya merasa perlu untuk menyalurkan
emosinya ke kegiatan yang lebih positif.

Karena ia tidak pandai bernyanyi ataupun bergerak luwes mengikuti


hentakan musik, Luna memilih olahraha sebagai solusinya. Asal kalian
tahu, Luna adalah atlet taekwondo yang membanggakan dengan sering
menjuarai kompetisi antar siswa.

Napasnya terengah-engah ketika Luna sampai di depan gerbang


rumahnya sendiri yang tinggi dan berwarna hitam. Kepalanya menoleh
sebentar ke arah rumah Mario yang cerah dengan cat rumah berwarna
putih dan biru, lalu beralih ke rumah Gisel yang kokoh dan elegan
berwarna putih lalu aksen emas di beberapa bagiannya.

Mereka pasti masih bersiap-siap, atau bahkan belum bangun sama sekali?
Entahlah, karena kemarin mereka tidak menginap lagi di rumah Gisel
seperti biasanya.
Dengan langkah gontai Luna masuk ke dalam rumah, keadaan di sana
juga masih sepi. Karena sarapan biasanya dihidangkan saat jam enam
lebih sedikit. Hanya ibunya yang tampak sibuk memasak di dapur.

"Udah lari paginya?" Luna menoleh dan tersenyum samar. "Udah."

Intan menatap anak dari suami pertamanya dengan sayang. "Mau nyoba
kue buatan Mama nggak? Rasanya cokelat kesukaan kamu lho."

Luna melirik meja makan sekilas. "Boleh."

Intan menyodorkan piring kecil dengan potongan kue cokelat di atasnya.


"Mama tau ini masih terlalu pagi buat makan kue, tapi sekali-sekali nggak
papa lah."

Luna terkekeh lalu mulai memotong kuenya dengan sendok, memasukan


makanan berkrim manis ke dalam mulutnya dengan lahap.

"Pagi." Luna tersentak sesaat ketika Ryan, suami ibunya yang kini
menyapa mereka. Entahlah, Luna selalu merasa terkejut jika mendengar
suara berat terdengar dari arah belakang. Hal itu selalu sukses
membuatnya takut.

"Pagi-pagi kok sudah makan kue," canda Ryan setelah meminum segelas
air putih.

"Aku yang kasih."

"Dia kan habis olahraga, harusnya dia minum air putih yang banyak. Biar
seger lagi." Intan kini menyodorkan segelas air putih hangat, Luna
menerimanya dengan kaku.

"Makasih Ma." Ryan hendak menepuk pundak Luna ketika gadis itu bangkit
dan segera pergi ke lantai atas menuju kamarnya.

"Luna masih kayak gitu ya?"


Intan mengangguk kecil. "Mungkin, kayaknya dia masih bersikap skeptis ke
laki-laki yang berinteraksi sama dia."

"Tapi ada satu orang yang kayaknya deket, malah sering rangkul-rangkul
dia."

Intan menaikkan sebelah alisnya, lalu mulai menata makanan di atas meja
makan. "Yang mana?"

"Itu loh, tetangga kita. Yang anaknya murah senyum terus kakaknya tiga."

"Oh Mario."

"Iya dia."

"Mereka kan emang sahabatan dari kecil." Ryan hanya mengangguk


paham.

***

Setelah memasukkan bekal makan siangnya ke dalam tas, Luna


mengayuh sepedanya menuju sekolah.

Mario, Luna dan Gisel memang jarang berangkat bersama. Kecuali di


sekolah ada acara atau janjian terlebih dahulu.

Mario yang lebih suka naik angkutan umum karena ingin cuci mata dengan
melihat-lihat penumpang yang lain, Gisel yang selalu di antar jemput naik
mobil dan ia yang lebih suka mengeluarkan tenaganya untuk bersepeda.

Ketiganya dulu sempat mencoba bersama-sama berangkat dengan cara


seperti yang Luna lakukan, tetapi mereka kapok. Dikarenakan Gisel yang
mudah kelelahan dan harus berhenti setiap beberapa menit.

Di jalan menuju ke sekolah Luna sesekali membalas sapaan teman-teman


satu sekolahnya hanya dengan sebuah senyuman. Bukan karena ia
sombong, tetapi Luna memang tipe orang yang agak tertutup jika
berinteraksi dengan seseorang yang belum begitu dikenalnya. Jika
berhadapan dengan Mario dan Gisel lain lagi, ia akan merasa bebas
melakukan apapun.

Luna bahkan ingat beberapa kelakuan tak tahu malu yang dilakukan
mereka bertiga. Seperti Mario yang hanya mengenakan celana pendek dan
tanpa atasan saat menginap, padahal Luna maupun Gisel sudah mencibir
kalau tubuh Mario yang kerempeng tidak pantas dipamerkan.

Lalu Gisel yang sering sembarangan ngupil lalu mengusapkannya di


pakaian Mario atau Luna. Jika dimarahi atau mendapat protes Gisel hanya
akan nyengir seolah tak berdosa.

Lalu dirinya sendiri, Luna sering bernyanyi tidak menentu bak penyanyi
kamar mandi. Walaupun suaranya tidak enak didengar, ia tetap
melantunkan lagu-lagu bernada tinggi dan sulit milik penyanyi sekelas
Beyonce atau Mariah Carey. Mario sering berkelakar jika ia adalah seorang
pesulap, maka orang pertama yang akan ia hilangkan adalah Luna yang
sedang bernyanyi. Terlalu berisik.

Luna tersenyum, mengingat bagaimana persahabatan mereka terjalin


memang selalu bisa mengembalikan mood-nya yang tidak menentu.

"Oi Luna! Pulang sekolah jangan lupa latihan!" Itulah hal pertama yang
Luna dengar ketika ia sampai di parkiran sekolah. Ternyata itu Dito, teman
satu ekstrakulikulernya yang berambut cepak.

Luna mengacungkan ibu jarinya tanda ia mengerti dan menyanggupi


ucapan Dito.

"Hai." Luna menoleh dan tersenyum tipis ketikan melihat Agnes, siswi
manis dengan jepit rambut merah muda di rambutnya yang sebahu.

"Hai."

"Mana yang lain? Biasanya suka sama mereka berdua." Luna mengerti
maksud Agnes dengan mereka. Siapa lagi kalau bukan Mario dan Gisel.
Luna menangkap sosok orang yang baru saja disebutnya dalam hati.

"Gue duluan ya." Luna menyisir rambutnya dengan tangan, melangkah


setelah tersenyum ke arah Agnes. Tetapi baru tiga langkah ia berjalan,
Luna kembali menoleh dan tersenyum.

"Agnes."

Agnes memiringkan kepalanya. "Ya?"

"Jepit rambutnya bagus, lo cantik."

Agnes tersenyum. "Thanks."

Luna berbalik kembali dan berjalan cepat atau lebih pantas disebut berlari
lalu menepuk pundak Mario dengan keras.

"Buset dah! Pagi-pagi gini udah bikin kaget." Mario mendengus. Tetapi
kemudian merangkul Luna sehingga ia merangkul dua siswi sekalipun,
Gisel di kanan dan Luna di kiri.

Beberapa siswa lain sudah terbiasa dengan hal itu, meskipun beberapa di
antara mereka masih ada yang suka menggoda ketiganya.

"Senangnya dalam hati, kalau beristri dua!"

"Asyiknya dunia."

"Mario playboy cap kutukupret."

Dasar.

***
EMPAT : Gisela Dewi
Anggraeni
57.1K 6.3K 93

by BayuPermana31 Follow
Share



Gisel memeluk boneka raksasanya dengan erat, enggan untuk memakan


makanan yang sudah dibuat oleh asisten rumah tangga yang bekerja di
rumah besarnya itu.

"Non, dimakan dong nasinya. Kalo nggak nanti sakit lagi loh."

Gisel mendesah. "Saya lagi nggak mau makan Bi."

Gisel memandang kursi di meja makan yang kosong, hanya ada dia di
sana. Orang tuanya kemarin sudah berjanji untuk pulang dan sarapan
bersama, tetapi ternyata itu hanya bualan saja. Sampai sekarangpun tidak
ada tanda-tanda apakah mereka akan pulang, memberitahu lewat telepon
saja tidak.

Sungguh, Gisel kecewa berat. Harapannya akan sarapan normal seperti


keluarga biasa hilang sudah. Apakah keinginannya terlalu sulit untuk
dilaksanakan?

"Nanti aku makan, bibi ke dapur lagi aja."

Gisel kembali mendesah, mendekap bonekanyayang empuk lebih erat.


Mencoba merasakan kehangatan di sana, mencoba membayangkan
bahwa orang tuanya lah yang kini memeluknya. Tetapi imajinasi Gisel
mungkin terlampau tinggi, ia gagal dan tetap merasakan kesepian.

Gisel mengerjapkan matanya berulang kali karena terasa perih dan


memanas, ia tidak menyukai hal ini.

Ia memang lemah, tetapi ia masih harus mempunyai semangat untuk


melanjutkan hari-harinya.

Setidaknya ia memiliki tekad terakhir mengenai Mario dan Luna,


sahabatnya.

Mereka memang tidak 'lurus', tetapi Gisel menyayangi keduanya apa


adanya. Menyayangi Mario yang cerewet dan perhatian, lalu Luna yang
sering bersikap cuek tetapi sangat peduli kepada kedua sahabatnya.

Gisel akhirnya makan walaupun malas-malasan. Sebenarnya ia ingin


cepat-cepat ke sekolah, tetapi rasanya sesendok lagi makanan akan
membuat Gisel muntah.

Jadi, ia memutuskan untuk berangkat ke sekolah dengan keadaan lemas


dan banyak pikiran.

***

Gisel hampir saja mendengus keras ketika melihat Mario yang turun dari
mobil Revano di parkiran, pasti mereka sudah mengobrol dan menjadi
lebih akrab.

Kalau saja ia berani mungkin Revano sudah didatanginya dan melarang


cowok itu untuk dekat-dekat dengan Mario, tetapi masalahnya ia tidak
berani.

"Mario!"

Mario berbalik dan tampak mengernyit tidak suka. "Ngapain tadi lo lari-lari?
Kalo sakit terus pingsan gimana? Ck."
Mario merangkul Gisel dan kembali berjalan beriringan menuju kelas
mereka.

"Lo tadi uhukk berangkat sama Revano ya?"

"Yoi."

Gisel mendesah. "Mar, jauhin si Revano deh."

"Nggak, gue baru jadian sama dia kok lo nyuruh jauhan. Kan aneh."

"Lo emang aneh Mario Adiwijaya."

"Makasih." Mario mengacak rambut Gisel, tidak memedulikan bagaimana


orang yang dirangkulnya itu cemberut tidak suka.

"Buset dah! Pagi-pagi gini udah bikin kaget." Luna yang mengejutkan Mario
dan Gisel dengan menepuk pundaknya keras hanya terkekeh.

"Pagi. Tumben rambut lo digerai gitu, biasanya kan diiket." Luna


mengangkat bahunya. "Tadi buru-buru."

Mario merangkul Luna sehingga ia berada ditengah-tengah. Luna di sisi kiri


dan Gisel di sisi kanan.

Hal itu membuat beberapa siswa meledek mereka, tetapi ketiganya tidak
terlalu peduli karena sudah terbiasa. Lagipula pemandangan seperti itu
sudah biasa di SMA Aditama.

"Eh hari ini ada pr nggak?" celetuk Gisel.

"Yaelah, baru juga masuk udah ngingetin begituan. Mumet ini otak," balas
Mario cepat.

"Eh anjir ada, dua soal fisika."

Gisel dan Mario kompak menoleh ke arah Luna. "Yakin lo?"

"Yakin."
"Kalo gitu kudu buru-buru ke kelas, biar bisa nyontek ke yang lain," seru
Mario yang berakhir dengan kekehan lucu.

"Yaudah, balap ya ke sana." Luna melepaskan rangkulan Mario di


tangannya lalu melesat pergi dengan cepat.

"Ih Luna kebiasaan. Eh Mar, lo nggak bakalan lari terus ninggalin gue
kan?" Gisel merengek seperti anak kecil.

"Nggak, santai aja."

***

Telinga Gisel panas, bukan karena ia sedang dibicarakan oleh orang lain.
Tetapi pembicaraan Mario dan Luna membuat telinganya seakan sakit.

Mereka heboh membahas tentang Revano, mencoba menebak-nebak


bagaimana dia bisa mengetahui bahwa Mario juga sama sepertinya. Atau
mencoba menebak bagaimana interaksi Mario dan Revano ke depannya.

"Obrolannya bisa ganti topik nggak sih?" Gisel mencebik tidak suka, lalu
mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin. Di bangku dekat
lapangan terlihat seseorang yang tertawa, hal itu berhasil membuat Gisel
menggigiti sedotan minumannya.

"Suka-suka gue lah. Eh, lo ngeliatin si Kevan lagi?" Gisel menoleh dan
menggeleng. "Eh nggak."

"Alah jangan boong, jujur aja sama kita. Iya nggak?" Luna menyenggol
tangan Mario, sehingga membuat si empunya mengangguk. "Yoi."

"Iya deh gue ngaku, dia ganteng banget hari ini."

"Masih gantengan Revano," celetuk Mario yang sukses membuat Gisel


menjitak kepalanya keras. "Tapi Kevan normal, jadi kadar kegantengannya
berlipat-lipat!"

Mario berdecak. "Terserah lo aja lah."


"Tapi lo pernah ngomong sama dia nggak?" tanya Luna setelah
menyeruput teh apelnya.

"Nggak pernah sih, paling kalo ketemu cuma saling balas senyum."

"Ck ck ck, kasian amat."

"Diem Mario," sengit Luna yang kini memerhatikan Kevan lebih saksama.

"Kenapa lo nggak coba ajak ngobrol aja? Dia kayaknya ramah kok."

"Nggak berani gue."

"Kalo gitu lo kasih kayak ala-ala secret admirer gitu, ngasih bekal makan
siang kek, atau minuman dingin ke loker dia apa kek," usul Mario.

"Iya juga ya," gumam Gisel yang merasa usulan Mario ada benarnya.

"Mau nyoba? Gue bantuin deh nanti." Luna mengangguk merespon


ucapan Mario.

Gisel hanya tersenyum. Baiklah, rasanya menjadi pengagum rahasia


seperti itu tidak ada salahnya. Mungkin ia akan mencoba mulai besok.

***
LIMA : Bekal Untuk Kevan
"Hafal banget," komentar Mario yang lebih memilih berjalan lebih cepat. Ia
lalu menunjuk salah satu loker. "Yang ini?"

"Iya, nih Mar." Gisel menyerahkan tote bag berisi bekal buatannya ke
Mario, cowok itu langsung menggantungkan benda itu dengan mengikat
talinya ke pegangan loker.

"Suratnya mana?" Gisel mengeluarkan surat beramplop warna merah


muda dengan tangan bergetar. Sebenarnya tadi ia hendak memakai yang
berwarna putih saja, tetapi Mario menyela dan mengatakan itu tidak
spesial.

"Tenang Gisel, nggak usah gemeteran gitu." Luna terkekeh geli melihat
tingkah sahabatnya.

"Selesai," tandas Mario yang sudah berhasil menyelipkan surat tadi.

"Eh, ada yang jalan ke sini deh kayaknya. Ayo cepet kabur!" Luna menarik
kedua sahabatnya lalu berlari secepat mungkin, meskipun dengan tawa
berderai yang keluar dari mulutnya.

"Aduh ... please ... jangan ... lari." Gisel membungkuk dan memegang
lututnya, ia merasa agak kepayahan karena napasnya terasa sesak.

"Eh maaf gue nggak inget," ucap Luna disertai ringisan menyesal.

Mario yang memiliki inisiatif sendiri kemudian berjongkok di depan Gisel.


"Naik."

"Hah?"

"Ayo gue gendong sampe ke kelas."

Luna menolehkan kepalanya sebentar. "Gile Mar, lo bisa manis juga."


"Gini-gini gue juga masih cowok, gue nggak bakalan tega liat cewek yang
kesusahan."

Gisel tersenyum mendengarnya, lalu menuruti perkataan Mario dengan


naik sehingga ia digendong oleh sahabatnya itu.

"Lo kurusan ya? Gue ngerasa gendong anak SD." Gisel berdecak dan
menjitak kepala Mario, tetapi tidak sekuat tenaga.

"Ih adek jangan jitak kepala papa dong, nggak sopan," canda Luna lalu
tertawa geli setelahnya.

"Ih mama kok ketawa," timpal Mario yang mengikuti candaan yang dibuat
Luna.

"Eh kalo kalian beneran nikah lucu kali ya?" celetuk Gisel yang berhasil
membuat Mario dan Luna berpandangan, sebelum tertawa terbahak-
bahak.

"Enggak mungkin, mana mau gue sama banci Taman Lawang kayak
Mario." Mario berbelok di menuju koridor kelas IPA.

"Emang gue mau sama preman Tanah Abang kayak lo?" balas Mario tak
mau kalah.

"Udah ah nggak usah pada berantem, masih pagi juga."

"Gisel nggak papa?" Ketiganya menoleh ketika mendengar pertanyaan dari


seorang siswa bertubuh jangkung.

Satu diantara mereka menahan napas sekejap, karena orang yang


bertanya tadi adalah Kevan!

"Gisel lagi nggak enak badan, jadi gue gendong." Mario menjawab dengan
senyum yang dipaksakan agar tidak terlihat canggung.

"Oh, cepet sembuh ya Sel." Kevan tersenyum manis lalu kembali


melanjutkan langkahnya menuju kelas.
Keadaan menjadi hening untuk beberapa saat. Mario dan Luna yang tidak
mengerti bagaimana Kevan bisa mengenal Gisel, dan Gisel sendiri yang
berusaha menahan diri untuk tidak berteriak saking senangnya.

"Dia kenapa bisa kenal sama elo?" desak Mario setelah menurunkan Gisel
dari gendongannya, karena mereka bertiga sudah di depan kelas.

"Gue juga nggak tau." Gisel mengipas-ngipas wajahnya sendiri yang terasa
memanas.

Rasanya tubuhnya akan meledak karena detak jantung serasa beberapa


kali lebih cepat. "Ngimpi apa gue semalem, kok dia tau nama gue?!"

Gisel menjerit tertahan sebagai tanda bahwa ia benar-benar senang.

Mario nyengir lalu merangkul cewek itu. "Cie yang gebetan tau nama lo."

Luna mencubit pipi Gisel gemas. "Semoga pertanda baik buat lo ya."

Gisel terkekeh. "Semoga."

"Eh, kira-kira reaksi Kevan pas dapet bekal gue gimana ya? Duh deg-
degan." Gisel menarik dan membuang napas berulang-ulang secara cepat.

Mario menaikkan alisnya. "Nggak bakalan ada yang ngambil kan?"

Gisel menggeleng. "Nggak, soalnya udah gue tempelin kertas di tote bag-
nya. 'Untuk Kevan'."

Mario dan Luna tertawa. "Good luck Sel."

***

Anda mungkin juga menyukai