Mereka semua mengatakan bahwa cinta itu buta. Gisel setuju karena
beberapa alasan, tetapi ia juga memiliki alasan untuk tidak menyatakan ya
untuk kalimat itu.
***
Mario tahu ia memang memilih jalan yang salah. Tetapi apa yang harus ia
lakukan ketika belenggu itu menjerat dirinya sehingga tidak bisa bangkit
sedikitpun?
Seringkali Mario membenci dirinya sendiri, hampir setiap hari ini termenung
menyadari bahwa ia hanya orang yang ... tersesat dalam menentukan
pilihan.
***
Luna kadang hanya bisa tersenyum miris. Ia tahu ia salah, begitu juga
dengan Mario.
Tetapi perasaan hati tidak mudah ditentang, kalaupun ia melakukannya
segurat luka akan tercipta. Membuat rasa sakit itu akan bertambah setiap
harinya.
Luna yang terlihat kuat juga sering merasa satu hal yang sangat
manusiawi. Yaitu rasa takut.
***
SATU : Oh God, What Should I Do?
"Dengerin ya," Mario menarik napas dalam-dalam, "Revano tadi siang
nembak gue."
"Ya gue terima." Luna tersenyum tipis. "Gue masih nggak nyangka
sumpah, tapi pantes aja dia selama ini cuek bebek sama cewek. Ganteng
banget sih emang tapi ternyata..."
"Ngapain elo terima dia Mario!" protes Gisel yang sudah tidak terbatuk lagi.
"Udah berapa kali sih gue bilang? Jangan pacaran sama cowok
lagi, please itu super duper abnormal!"
Ia sendiri tidak ingin menjadi seperti ini, tentu saja ia ingin menjadi 'normal'
seperti orang lain. Tapi kehendak hati tidak bisa dipaksa bukan?
"Gisel, udah berulang kali juga kita ngebahas ini. Udah debat dari musim
kesemek sampe musim kedondong juga tapi hasilnya tetep sama, gue
keukeuh dan elo maksa. Nggak ada hasilnya sama sekali, jadi mending
biarin gue seneng. Oke?"
"Mario kampret! Awas lo ya!" Gisel membalas jitakan Mario tak kalah
keras, keduanya kemudian saling memukul sehingga membuat Luna yang
berada di tengah-tengah terkena imbasnya.
"Kalian berdua bisa diem nggak?! Kalo kalian masih kayak gini mendingan
gue pulang," cerocos Luna yang sudah tidak tahan dengan kelakuan
primitif sahabatnya.
"Oke, gue nggak bakal pulang tapi please tenang sebentar aja bisa kan?"
Di sisi lain, Luna yang kini memakan cemilannya menatap Mario yang
menguap lebar. "Jam segini udah ngantuk?"
"Buat apaan?"
"Ck."
Cewek itu sendiri tidak protes, karena itu sudah sangat biasa. Lagipula
tidak ada perasaan khusus yang akan muncul di antara keduanya.
"Mar."
"Apaan?"
"Gue balik lagi karena denger suara lo manggil gue. Ada apaan?"
"Luna! Biarin gue diem dikit napa, gue mau tidur, ngantuk."
"Si Mario kalo tidur ke kamar, bukan malah di sofa." Luna menoleh ketika
mendengar suara Gisel yang agak serak.
"Lo kenapa?"
"Jujur sama gue, jangan mendem masalah sendiri gitu ah. Biar gue tebak,
ini masalah cowok?"
"Bu..."
"Kalo ada cowok yang nyakitin lo, bilang aja. Biar gue sama Luna hajar
sampe abis." Suara Mario sempat membuat Gisel maupun Luna terkejut.
"Katanya lo mau tidur? Kok ngomong mulu ini mulut?" Luna menyentil bibir
Mario sehingga membuat cowok itu mengaduh. "Luna kampret!"
***
DUA : Mario Adhiwijaya
by BayuPermana31 Follow
Share
"Ayo masuk." Mario berdiri lalu masuk ke dalam mobil dengan dahi
mengernyit.
"Gue belum berani," balas Mario sambil memerhatikan Revano yang fokus
menyetir.
"Ya gue masih ngerasa aneh aja sama lo." Revano menampakkan senyum
mautnya yang selalu bisa membuat para siswi menjadi 'kebaperan'.
"Kok ngerasa aneh sama gue? Maksud lo aneh karena lo kaget tau kalo
gue belok juga?"
"Gue bisa bedain mana yang normal dan yang nggak. Gampang aja, lo liat
tatapan mereka. Tatapan memuja yang mereka arahkan itu ke siapa,
cowok atau cewek."
"Sebelumnya gue nyari tau tentang lo, jadi bukan kebetulan. Asal lo tau
aja, gue niat ini udah dari jauh-jauh hari."
"Maksudnya?"
"Yah ... gue kepincut sama senyum lo dari dulu. Entah kenapa senyum lo
itu nenangin."
Revano tertawa kecil. "Emang nggak ada yang bakalan nyangka kalo liat
penampilan luar gue doang."
"Jadi?"
"Jangan pernah menilai seseorang dari penampilan yang bisa mata lihat,
tapi nilai seseorang dari bagaimana hati merasakan."
"Kita sama-sama tau kan kalo kemarin gue nembak lo dan lo terima?"
Mario mengangguk kaku.
"Nah, dengan fakta itu gue minta sesuatu sama lo. Yaitu jangan terlalu
deket sama orang lain, karena jujur gue nggak suka."
Mario menyadari sesuatu, bahwa Revano adalah seseorang yang ...
posesif?
"Gue usahain."
Bagaimana bisa Mario berangkat bersama Revano? Tidak ada yang tahu.
"Oke."
"See you."
"See you too." Revano berjalan menjauh, Mario sendiri berjalan ke arah
yang berlawanan karena kelas mereka beda jurusan.
"Mario!" Mario menoleh ketika mendengar suara teriakan Gisel yang kini
berlari kecil ke arahnya dengan napas memburu.
"Yoi."
***
TIGA : Araluna Effendi
Matahari yang belum terbit sepenuhnya malah memacu Luna untuk berlari
lebih cepat lagi, kakinya yang kencang bergerak cepat menapaki jalanan
yang masih cukup sepi karena waktu masih menunjukkan pukul enam
pagi.
Berlari pagi seperti ini memang kebiasaan Luna sejak SMP, sehingga ia
tak perlu bersusah payah untuk sekadar bangun, mempersiapkan diri lalu
mulai menarik napas segar dan menjalani kegiatan yang sebenarnya lebih
Luna jadikan sebagai sarana penyalur emosi.
Mereka pasti masih bersiap-siap, atau bahkan belum bangun sama sekali?
Entahlah, karena kemarin mereka tidak menginap lagi di rumah Gisel
seperti biasanya.
Dengan langkah gontai Luna masuk ke dalam rumah, keadaan di sana
juga masih sepi. Karena sarapan biasanya dihidangkan saat jam enam
lebih sedikit. Hanya ibunya yang tampak sibuk memasak di dapur.
Intan menatap anak dari suami pertamanya dengan sayang. "Mau nyoba
kue buatan Mama nggak? Rasanya cokelat kesukaan kamu lho."
"Pagi." Luna tersentak sesaat ketika Ryan, suami ibunya yang kini
menyapa mereka. Entahlah, Luna selalu merasa terkejut jika mendengar
suara berat terdengar dari arah belakang. Hal itu selalu sukses
membuatnya takut.
"Pagi-pagi kok sudah makan kue," canda Ryan setelah meminum segelas
air putih.
"Dia kan habis olahraga, harusnya dia minum air putih yang banyak. Biar
seger lagi." Intan kini menyodorkan segelas air putih hangat, Luna
menerimanya dengan kaku.
"Makasih Ma." Ryan hendak menepuk pundak Luna ketika gadis itu bangkit
dan segera pergi ke lantai atas menuju kamarnya.
"Tapi ada satu orang yang kayaknya deket, malah sering rangkul-rangkul
dia."
Intan menaikkan sebelah alisnya, lalu mulai menata makanan di atas meja
makan. "Yang mana?"
"Itu loh, tetangga kita. Yang anaknya murah senyum terus kakaknya tiga."
"Oh Mario."
"Iya dia."
***
Mario yang lebih suka naik angkutan umum karena ingin cuci mata dengan
melihat-lihat penumpang yang lain, Gisel yang selalu di antar jemput naik
mobil dan ia yang lebih suka mengeluarkan tenaganya untuk bersepeda.
Luna bahkan ingat beberapa kelakuan tak tahu malu yang dilakukan
mereka bertiga. Seperti Mario yang hanya mengenakan celana pendek dan
tanpa atasan saat menginap, padahal Luna maupun Gisel sudah mencibir
kalau tubuh Mario yang kerempeng tidak pantas dipamerkan.
Lalu dirinya sendiri, Luna sering bernyanyi tidak menentu bak penyanyi
kamar mandi. Walaupun suaranya tidak enak didengar, ia tetap
melantunkan lagu-lagu bernada tinggi dan sulit milik penyanyi sekelas
Beyonce atau Mariah Carey. Mario sering berkelakar jika ia adalah seorang
pesulap, maka orang pertama yang akan ia hilangkan adalah Luna yang
sedang bernyanyi. Terlalu berisik.
"Oi Luna! Pulang sekolah jangan lupa latihan!" Itulah hal pertama yang
Luna dengar ketika ia sampai di parkiran sekolah. Ternyata itu Dito, teman
satu ekstrakulikulernya yang berambut cepak.
"Hai." Luna menoleh dan tersenyum tipis ketikan melihat Agnes, siswi
manis dengan jepit rambut merah muda di rambutnya yang sebahu.
"Hai."
"Mana yang lain? Biasanya suka sama mereka berdua." Luna mengerti
maksud Agnes dengan mereka. Siapa lagi kalau bukan Mario dan Gisel.
Luna menangkap sosok orang yang baru saja disebutnya dalam hati.
"Agnes."
Luna berbalik kembali dan berjalan cepat atau lebih pantas disebut berlari
lalu menepuk pundak Mario dengan keras.
"Buset dah! Pagi-pagi gini udah bikin kaget." Mario mendengus. Tetapi
kemudian merangkul Luna sehingga ia merangkul dua siswi sekalipun,
Gisel di kanan dan Luna di kiri.
Beberapa siswa lain sudah terbiasa dengan hal itu, meskipun beberapa di
antara mereka masih ada yang suka menggoda ketiganya.
"Asyiknya dunia."
Dasar.
***
EMPAT : Gisela Dewi
Anggraeni
57.1K 6.3K 93
by BayuPermana31 Follow
Share
"Non, dimakan dong nasinya. Kalo nggak nanti sakit lagi loh."
Gisel memandang kursi di meja makan yang kosong, hanya ada dia di
sana. Orang tuanya kemarin sudah berjanji untuk pulang dan sarapan
bersama, tetapi ternyata itu hanya bualan saja. Sampai sekarangpun tidak
ada tanda-tanda apakah mereka akan pulang, memberitahu lewat telepon
saja tidak.
***
Gisel hampir saja mendengus keras ketika melihat Mario yang turun dari
mobil Revano di parkiran, pasti mereka sudah mengobrol dan menjadi
lebih akrab.
"Mario!"
Mario berbalik dan tampak mengernyit tidak suka. "Ngapain tadi lo lari-lari?
Kalo sakit terus pingsan gimana? Ck."
Mario merangkul Gisel dan kembali berjalan beriringan menuju kelas
mereka.
"Yoi."
"Nggak, gue baru jadian sama dia kok lo nyuruh jauhan. Kan aneh."
"Buset dah! Pagi-pagi gini udah bikin kaget." Luna yang mengejutkan Mario
dan Gisel dengan menepuk pundaknya keras hanya terkekeh.
Hal itu membuat beberapa siswa meledek mereka, tetapi ketiganya tidak
terlalu peduli karena sudah terbiasa. Lagipula pemandangan seperti itu
sudah biasa di SMA Aditama.
"Yaelah, baru juga masuk udah ngingetin begituan. Mumet ini otak," balas
Mario cepat.
"Yakin."
"Kalo gitu kudu buru-buru ke kelas, biar bisa nyontek ke yang lain," seru
Mario yang berakhir dengan kekehan lucu.
"Ih Luna kebiasaan. Eh Mar, lo nggak bakalan lari terus ninggalin gue
kan?" Gisel merengek seperti anak kecil.
***
Telinga Gisel panas, bukan karena ia sedang dibicarakan oleh orang lain.
Tetapi pembicaraan Mario dan Luna membuat telinganya seakan sakit.
"Obrolannya bisa ganti topik nggak sih?" Gisel mencebik tidak suka, lalu
mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin. Di bangku dekat
lapangan terlihat seseorang yang tertawa, hal itu berhasil membuat Gisel
menggigiti sedotan minumannya.
"Suka-suka gue lah. Eh, lo ngeliatin si Kevan lagi?" Gisel menoleh dan
menggeleng. "Eh nggak."
"Alah jangan boong, jujur aja sama kita. Iya nggak?" Luna menyenggol
tangan Mario, sehingga membuat si empunya mengangguk. "Yoi."
"Nggak pernah sih, paling kalo ketemu cuma saling balas senyum."
"Diem Mario," sengit Luna yang kini memerhatikan Kevan lebih saksama.
"Kenapa lo nggak coba ajak ngobrol aja? Dia kayaknya ramah kok."
"Kalo gitu lo kasih kayak ala-ala secret admirer gitu, ngasih bekal makan
siang kek, atau minuman dingin ke loker dia apa kek," usul Mario.
"Iya juga ya," gumam Gisel yang merasa usulan Mario ada benarnya.
***
LIMA : Bekal Untuk Kevan
"Hafal banget," komentar Mario yang lebih memilih berjalan lebih cepat. Ia
lalu menunjuk salah satu loker. "Yang ini?"
"Iya, nih Mar." Gisel menyerahkan tote bag berisi bekal buatannya ke
Mario, cowok itu langsung menggantungkan benda itu dengan mengikat
talinya ke pegangan loker.
"Tenang Gisel, nggak usah gemeteran gitu." Luna terkekeh geli melihat
tingkah sahabatnya.
"Eh, ada yang jalan ke sini deh kayaknya. Ayo cepet kabur!" Luna menarik
kedua sahabatnya lalu berlari secepat mungkin, meskipun dengan tawa
berderai yang keluar dari mulutnya.
"Aduh ... please ... jangan ... lari." Gisel membungkuk dan memegang
lututnya, ia merasa agak kepayahan karena napasnya terasa sesak.
"Eh maaf gue nggak inget," ucap Luna disertai ringisan menyesal.
"Hah?"
"Lo kurusan ya? Gue ngerasa gendong anak SD." Gisel berdecak dan
menjitak kepala Mario, tetapi tidak sekuat tenaga.
"Ih adek jangan jitak kepala papa dong, nggak sopan," canda Luna lalu
tertawa geli setelahnya.
"Ih mama kok ketawa," timpal Mario yang mengikuti candaan yang dibuat
Luna.
"Eh kalo kalian beneran nikah lucu kali ya?" celetuk Gisel yang berhasil
membuat Mario dan Luna berpandangan, sebelum tertawa terbahak-
bahak.
"Enggak mungkin, mana mau gue sama banci Taman Lawang kayak
Mario." Mario berbelok di menuju koridor kelas IPA.
"Emang gue mau sama preman Tanah Abang kayak lo?" balas Mario tak
mau kalah.
"Gisel lagi nggak enak badan, jadi gue gendong." Mario menjawab dengan
senyum yang dipaksakan agar tidak terlihat canggung.
"Dia kenapa bisa kenal sama elo?" desak Mario setelah menurunkan Gisel
dari gendongannya, karena mereka bertiga sudah di depan kelas.
"Gue juga nggak tau." Gisel mengipas-ngipas wajahnya sendiri yang terasa
memanas.
Mario nyengir lalu merangkul cewek itu. "Cie yang gebetan tau nama lo."
Luna mencubit pipi Gisel gemas. "Semoga pertanda baik buat lo ya."
"Eh, kira-kira reaksi Kevan pas dapet bekal gue gimana ya? Duh deg-
degan." Gisel menarik dan membuang napas berulang-ulang secara cepat.
Gisel menggeleng. "Nggak, soalnya udah gue tempelin kertas di tote bag-
nya. 'Untuk Kevan'."
***