Anda di halaman 1dari 51

DEFINISI

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari
24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena
trauma maupun infeksi (WHO, 1986).
Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang
menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang
mengalami oklusi (Hacke, 2003).

ANATOMI DAN FISIOLOGI


Otak mendapat vaskularisasi dari 2 pasang arteri besar yaitu sepasang
arteri karotis interna dan arteri vertebralis dan cabang-cabangnya
beranastomosis pada permukaan bawah otak membentuk sirkulus willis
(Suryohudoyo, 2007).
Sirkulasi Willisi adalah area dimana percabangan areti basilar dan karotis
interna bersatu. Jaringan sirkulasi ini memungkinkan darah bersirkulasi dari
satu hemisfer ke hemisfer lain dan dari bagian anterior ke posterior otak
(Suryohudoyo, 2007).
Sirkulasi arteri otak terdiri dari
makrosirkulasi dan mikrosirkulasi
otak yang dihubungkan dengan
ateriol penetrasi. Makrosirkulasi
otak terdiri dari empat arteri
pengantar yang cabangnya
bersambung ke arteri penetrasi,
terletak di ruang Virchow-
Robinson di parenkim otak.
Mikrosirkulasi otak terdiri dari
arteriol kecil, kapiler, dan venula
(Vrselja et al., 2014).
Jalur arteri karotid internal ke kanal
karotid di tulang temporal hanya
memiliki percabangan kecil.
Bagian intrakranial kecil dari arteri
karotid internal berlokasi di ruang
subarakhnoid, dikelilingi oleh
cairan serebrospinal dan memiliki percabangan di arteri terminal: arteri
serebral tengah dan arteri serebral anterior. Dua arteri vertebral di bagian
anterior batang otak membentuk arteri basilar (Vrselja et al., 2014).
Circle of Willis atau lingkaran Willis merupakan cincin arteri yang
menghubungkan arteri karotid internal kiri dan kanan dengan sirkulasi
vertebrobasilar dengan mengkomunikasikan arteri. Lingkaran Willis memiliki
fungsi untuk menjaga aliran darah di otak agar tetap normal (tekanan arteri =
70-140 mmHg) ketika ada penyumbatan di arteri karotid internal atau arteri
basilar (Vrselja et al., 2014).
• Besar otak sekitar 2% dari berat tubuh, otak memakai 18% dari total
volume darah dalam tubuh.
• Darah merupakan transportasi oksigen, nutrisi dan bahan-bahan yang
diperlukan untuk mempertahankan fungsi penting jaringan otak dan
mengangkut sisa metabolit.
• Kehilangan kesadaran terjadi bila aliran darah ke otak berhenti 15
detik.Kerusakan jaringan otak permanan bila aliran darah ke otak terhenti
5 menit (Tugasworo, 2010).

PATOFISIOLOGI STROKE ISKEMIK


Stroke iskemik dapat terjadi karena adanya gangguan penyuplaian darah
ke daerah otak baik karena adanya pembentukan thrombus ataupun
embolisme. Kurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoperfusi
jaringan, hipoksia jaringan, bahkan kematian sel. Pembentukan thrombus
umumnya diawali dengan deposit lipid pada dinding pembuluh darah yang
menyebabkan adanya gangguan aliran darah. Gangguan ini menyebabkan
cedera pembuluh darah dan kolagen pembuluh darah terpapar darah. Cedera
pembuluh darah ini menginisiasi proses agregasi platelet karena
subendotelium yang terpapar. Platelet ini melepaskan adenosine difosfat
(ADP), sehingga menyebabkan agregasi platelet. Tromboksan A2 juga
dilepaskan karena adanya agregasi platelet dan vasokonstriksi. Cedera
pembuluh darah ini juga mengaktivasi koagulasi dan produksi thrombin.
Trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin, menyebabkan terbentuknya
sumbatan molekul fibrin, platelet dan agregasi darah. Pada lanjutannya pada
level selular, dapat terjadi kematian sel. Asam amino seperti akumulasi
glutamate dalam sel, menyebabkan akumulasi kalsium intraselular. Inflamasi
terjadi dan radikal bebas oksigen terbentuk (Dipiro et al, 2015).
Stroke iskemik terjadi ketika suplai darah kebagian otak terganggu karena
adanya penyumbatan. Serebrovaskular iskemik utamanya disebabkan oleh
thrombosis dan embolisme.
a. Trombosis
Pembentukan thrombus (darah yang menggumpal) pada arteri dapat
berkembang pada pembuluh darah yang menebal. Arterosklerosis
merupakan alasan obstruksi vascular yang menyebabkan stroke
thrombosis. Plak arterosklerosis dapat menyebabkan perubahan patologi
seperti thrombosis. Pada arterosklerosis, terjadi kelaian pada lapisan
endothelium yang dapat menginsiasi aktivasi enzim vasoaktif destruktif.
Plak tidak stabil dan dapat mengalami rupture sehingga terjadi
perdarahan subendotel, dan proses trombogenik terjadi. Thrombosis
dapat terbentuk di arteri ekstrakranial dan intracranial ketika permukaan
intima (lapisan terdalam pembuluh darah) sudah kasar dan plak terbentuk
di sepanjang pembuluh darah yang terluka. Hal ini menyebabkan platelet
beragregasi, dan penggumpalan menjadi aktif sehingga thrombus
berkembang di daerah plak. Ketika mekanisme kompensasi sirkulasi
gagal, perfusi terganggu, akan menyebabkan kematian sel (Kanyal,
2015).
b. Embolisme
Embolisme serebral umumnya berupa penggumpalan darah yang terjadi
pada lokasi system sirkulasi yang lain, umumnya dihati dan arteri di
dada dan leher. Stroke embolis terjadi ketika gumpalan pecah, lepas dan
terbawa oleh aliran darah dan tersangkut pada percabangan arteri (yang
berukuran medium). Pada stroke iskemik, umumnya embolisme terjadi di
hati, terutama fibrilasi atrial. Selain karena penggumpalan, fibrin, dan
plak ateromatus, embolisme dapat disebabkan oleh lemak, udara, tumor,
dll (Kanyal, 2015).
ETILOGI
Penyebab diabetes melitus menjadi stroke iskemik salah satunya adalah
adanya suatu proses aterosklerosis.
Terjadinya hiperglikemia menyebabkan kerusakan dinding pembuluh
darah besar maupun pembuluh darah perifer disamping itu juga akan
meningkatkan agegrat platelet dimana kedua proses tersebut dapat
menyebabkan aterosklerosis.
Hiperglikemia juga dapat meningkatkan viskositas darah yang kemudian
akan menyebabkan naiknya tekanan darah atau hipertensi dan berakibat
terjadinya stroke iskemik.
Proses makroangiopati dianggap sangat relevan dengan stroke dan juga
terdapat bukti adanya keterlibatan proses makroangiopati yang ditandai
terjadinya stroke. Proses makroangiopati dianggap sangat relevan dengan
stroke dan juga terdapat bukti adanya keterlibatan proses makroangiopati
yang ditandai terjadinya stroke lakunar pada penderita diabetes melitus
lakunar pada penderita diabetes melitus(Gilroy, 2000; Hankey dan Lees,
2001; Ryden et al 2007).
Dapat juga dimungkinkan dari buruknya pola hidup seperti makan-
makanan yang berisiko seperti makanan manis, makanan asin,
berpenyedap, berlemak, dan mengandung banyak kolesterol yang di mana
perilaku tersebut akan menganggu elastisitas pembuluh darah dan bisa
juga menyebabkan penyumbatan yang akan menjadi aterosklerosis
(Ramadany dkk,2013).

FAKTOR RISIKO

(Setyopranoto, 2011).
TANDA DAN GEJALA STROKE

(De Freitas et al., 2009).


Berdasarkan hasil pemeriksaan, pasien mengalami beberapa tanda/gejala stroke
seperti:
1. Global Aphasia
• Aphasia : pasien tidak dapat berbicara dengan baik karena adanya
gangguan/kerusakan pada otak
• Global Aphasia: Kehilangan kemampuan total untuk berbicara maupun
menulis atau membaca
2. Right hemiplegia
Kelumpuhan yang terjadi pada anggota tubuh sebelah kanan
3. Right hemisensory loss
Gangguan sensibilitas pada satu atau lebiha nggota tubuh, menunjukkan
penurunan saraf dan merupakan tanda stroke.
(Junaidi,2004).
BIOKIMIA KLINIS
Parameter Biokimia Nilai Normal
Klinik
Tekanan Darah

Pulse Rate Pada geriatric normalnya


60-70 kali/menit

Normal 60-100 beast/menit


SPO2 Nilai normal SPO2 95-100%
Kadar Natrium 135-145 mmol/L
Kadar Kalium 3,5 – 5,0 mmol/L
Kreatinin 0,5 – 1,1 mg/dL
WBC 4.000-10.000/mikroliter
HB 11,7 – 13,8 g /dL
Platelet (trombosit) 150.000-400.000 / mL

INR 0,9-1,3
PT (prothrombin Time) 11-12,5 detik

aPTT 20-35 detik


Kolestrol Total Kadar kolestrol
Desirable : < 5,17 mmol/L
Borderline High : 5,17 – 6,20 mmol/L
Tinggi : > 6,21 mmol/L

Trigliserida Kadar Trigliserida

Normal : <1,70 mmol/L


Borderline High : 1,70 – 2,25 mmol/L
High : 2,26 – 5,64 mmol/L
Very High : > 5,65 mmol/L

HDL Kadar Kolestrol

Rendah : <1,03 mmol/L


Tinggi : >1,55 mmol/L

LDL Kadar LDL dalam normal

Optimal : < 2,59 mmol/L


Dekat optimal : 2,59 – 3,35 mmol/L
Borderline High : 3,36 – 4,13 mmol/L
High : 4,14 – 4,90 mmol/L
Very High : > 4,91 mmol/L

Gula darah puasa Kadar glukosadarah


Normal : kurangdari 100mg/dL
Impaired fasting Glukosa : 100-125 mg/dL
DM : diatas 126 mg/dL
NIH Nilaiskor

NilaiSkor 0 : Tidak stroke


Nilaiskor 1-4 : Minor stroke
Nilai 5-15 : Moderate stroke
Nilai 15-20 : Moderate/severse stroke
Nilai 21-47 : Severse stroke
TERAPI FARMAKOLOGI
Terapi untuk Stroke Iskemik
Tujuan utama terapi pada stroke iskemik akut adalah untuk melestarikan
jaringan di penumbra iskemik, di mana perfusi menurun namun cukup untuk
mencegah infark. Jaringan di daerah oligemia ini dapat dipertahankan dengan
mengembalikan aliran darah ke area yang terganggu dan mengoptimalkan
aliran collateral. Selain itu untuk membatasi tingkat keparahan cedera
iskemik (Jauch, 2016).

Berdasarkan rekomendasi terapi di atas, untuk pengurangan stroke iskemik


secara umum ada dua terapi farmakologi dengan grade A yaitu t-PA dengan
onset 3 jam dan Aspirin (ASA) dengan onset 48 jam (Dipiro, 2008).
(Dipiro, 2008).

Golongan Obat Stroke Iskemik

1. Aktivator Plasminogen (Tissue Plasminogen Activator / t-PA)


Obat ini dapat melarutkan gumpalan darah yang menyumbat pembuluh
darah, melalui enzim plasmin yang mencerna fibrin (komponen pembekuan
darah). Akan tetapi, obat ini mempunyai risiko, yaitu perdarahan. Hal ini
disebabkan kandungan terlarut tidak hanya fibrin yang menyumbat
pembuluh darah, tetapi juga fibrin cadangan yang ada dalam pembuluh
darah (Wiwit S., 2010).
2. Antiplatelet
Aspirin, klopidogrel maupun extended-release dipiridamol-aspirin (ERDP-
ASA) merupakan terapi antiplatelet yang direkomendasikan (Dipiro, 2008).
Mekanisme kerja golongan obat ini dengan mencegah pembentukan
tromboksan A2 atau meningkatkan konsetrasi prostasiklin. Proses ini dapat
membangun kembali keseimbangan yang tepat antara dua zat, sehingga
mencegah adesi dan agregasi trombosit (Tatro, 2009).
3. Pemberian Neuroprotektan
Mekanisme kerja golongan ini dengan menurunkan aktivitas metabolisme
dan kebutuhan oksigen sel–sel neuron. Dengan demikian neuron terlindungi
dari kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia berkepanjangan atau
eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat jenjang glutamat yang biasanya
timbul setelah cedera sel neuron. Suatu obat neuroprotektif yang
menjanjikan, serebrolisin (CERE) memiliki efek pada metabolisme kalsium
neuron dan juga memperlihatkan efek neurotrofik (Sylvia A.P. & Lorraine
M.W., 2006).
4. Pemberian Antikoagulan
Warfarin merupakan pengobatan yang paling efektif untuk pencegahan
stroke pada pasien dengan fibrilasi atrial. Pada pasien dengan fibrilasi atrial
dan sejarah stroke atau TIA, resiko kekambuhan pasien merupakan salah
satu resiko tertinggi yang diketahui. Pada percobaan yang dilakukan Eropa
Atrial Fibrilasi Trial (EAFT), dengan sampel sebanyak 669 pasien yang
mengalami fibrilasi atrial nonvalvular dan sebelumnya pernah mengalami
stroke atau TIA. Pasien pada kelompok plasebo, mengalami stroke, infark
miokardium atau kematian vaskular sebesar 17% per tahun, 8% per tahun
pada kelompok warfarin dan 15% per tahun pada kelompok asetosal. Ini
menunjukan pengurangan sebesar 53% risiko pada penggunaan
antikoagulan. Pemberian antikoagulan (heparin, LMWH, atau heparinoid)
secara parenteral meningkatkan komplikasi perdarahan yang serius,
sehingga tidak direkomendasikan untuk stroke iskemik (Dipiro, 2008).
ANTIPLATELET
Aspirin
a. Indikasi
Profilaksis penyakit serebrovaskular atau infark miokard.
b. Dosis
Sindrom koroner akut: dosis loading 150-30 mg dan dosis pemeliharaan
75-100 mg setiap hari untuk jangka panjang.
c. Efek samping
Bronkospasme, mual, muntah, nyeri, ulserasi dan pendarahan saluran
cerna, pendarahan lain, trombositopenia, tinnitus.
d. Kontraindikasi
Kehamilan, tukak peptik, hipertensi beratm endokarditis bakterial.
e. Sediaan
Tablet 80 mg (Ascardia, Miniaspi, Thrombo Aspilet) dan 100 mg
(Aspilet, Aspitrom, Astika).
(BPOM,2015).

Eptifibatide
a. Indikasi:
Sindrom koroner akut, akan atau sedang menjalani intervensi koroner
perkutan (PCI, Percutaneous Coronary Intervention); pasien yang
menjalani intrakoroner stenting.
b. Dosis:
Sindrom koroner akut: Serum kreatinin < 2,0 mg/dl(Bolus IV 180
mcg/kgBB) segera. Setelah diagonis dilanjutkan infus terus menerus 2,0
mcg/kg bb/menit sampai 72 jam. Pasien dengan berat diatas 121 kg
maksimum 15 mg/jam. Bila serum kreatinin 2.0 - 4.0 mg/dl: Bolus IV 180
mcg/kg bb/menit. Pasien dengan serum kreatinin < 2,0 mg/dL, dosis yang
dianjurkan intravena bolus 180 mcg segera setelah PCI dimulai
dilanjutkan dengan infus terus menerus 2,0 mcg/kg bb/menit dan kedua
180 mcg/kg bb bolus 10 menit setelah bolus pertama. Infus diteruskan
sampai 18-24 jam, minimum pemberian 12 jam. Pasien dengan berat
diatas 121 kg mendapatkan maksimum 22,6 mg per bolus diikuti oleh
infus kecepatan maksimum 15 mg per jam.
c. Efek Samping:
manifestasi pendarahan; sangat jarang anafilaksis dan ruam.
d. Kontraindikasi:
pendarahan abnormal dalam 30 hari, operasi besar atau trauma parah
dalam 6 minggu, stroke dalam 30 hari terakhir atau riwayat hemoragik
stroke, penyakit inttoakular (aneurism, malformasi arteriveha atau
neoplasma) hipertensi berat, diathesis hemoragik, peningkatan waktu
protrombin atau INR, trombositopenia, gangguan fungsi hati signifikan,
pasien pada perawatan dialisis ginjal, hipersensitif terhadap komponen
obat; menyusui; penggunaan bersama atau rencana penggunaan bersamaan
dengan penghambat glikoprotein IIb / IIIa parenteral.
(BPOM,2015).
e. Sediaan
Injeksi IV: 0.75 mg/mL, 2 mg/mL: Integrilin.
(BPOM,2015).

Klopidogrel
a. Indikasi
Menurunkan kejadian aterosklerotik (infark miokardia, stroke, dan
kematian vaskuler) pada pasien dengan riwayat aterosklerosis yang
ditandai dengan serangan stroke yang baru terjadi, infark miokardia yang
baru terjadi atau penyakit arteri perifer yang menetap.
b. Dosis
75 mg sekali sehari dengan atau tanpa makanan
c. Efek samping
Dispepsia, nyeri perut, diare; perdarahan (termasuk perdarahan saluran
cerna dan intrakranial); lebih jarang mual, muntah, gastritis, perut
kembung, konstipasi, tukak lambung dan usus besar, sakit kepala, pusing,
paraestesia, leukopenia, platelet menurun (sangat jarang trombositopenia
berat), eosinofilia, ruam kulit, dan gatal.
d. Kontraindikasi
hipersensitivitas, perdarahan aktif seperti ulkus peptikum atau perdarahan
intrakranial, menyusui.
e. Sediaan
Tablet 75 mg: Artepid, Clogin, Clopidogrel, Clopisan, Clotix,
Copidogrel, CPG, Pidovix, Placta, Pladel, Pladogrel, Platec, Platix,
Plavix, Vaclo.
(BPOM,2015).

Ticlopidine
a. Indikasi
mengurangi risiko terjadinya stroke dan stroke kambuhan pada pasien
yang pernah mengalami stroke tromboemboli, stroke iskemik, minor
stroke, reversible ischemic neurological deficit (RIND), transient ischemic
attack (TIA) termasuk transient monocular blindness (TMB); Pencegahan
kejadian mayor ischemic accident, terutama pada koroner, pada pasien
dengan arteri kronis dari anggota tubuh bagian bawah pada tahap
intermitten claudication; pencegahan dan perbaikan kerusakan fungsi
platelet karena misalnya hemodialisis berulang; pencegahan oklusi subakut
yang diikuti implantasi STENT koroner.
b. Dosis
Dewasa: 2 tablet sehari, dengan makanan.
c. Efek Samping
Hematologi (neutropenia, agranulositosis, aplasia sumsum tulang,
trombositopenia, purpura trombosis trombositopenia), hemoragik (memar
atau ecchymosis dan epitaksis), diare, mual, ruam kulit umumnya
makulopapular atau urtikaria, pruritus, hepatitis dan kolestatik jaundice,
reaksi imunologi (edema Quincle, vaskulitis, sindroma lupus, hipersensitif
nefropati).
d. Kontraindikasi
Diatesis hemoragik (kecenderungan mengalami perdarahan), lesi organ
yang cenderung mengalami pendarahan (tukak gastroduodenal aktif atau
kejadian hemoragik serebrovaskular pada fase akut), kelainan darah
termasuk perpanjangan waktu pendarahan, leukopenia, trombositopenia
atau agranulositosis, hipersensitif.
e. Sediaan
Tablet 250 mg: Agulan, Cartrilet, Nufaclapide, Piclodin, Ticard, Ticlid,
Ticlon, Ticlophar, Ticuring.
(BPOM,2015).

Ticagrelor
a. Indikasi
Diberikan kombinasi bersama asetosal 75-100 mg untuk mencegah
trombosis (kematian kardiovaskular, infark miokard dan stroke) pada
pasien dengan sindrom koroner akut (ACS) [angina tidak stabil, infark
miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI) atau Infark miokard dengan elevasi
ST (STEMI)] termasuk pasien dengan intervensi koroner perkutan (PCI)
atau bedah bypass jantung (CABG).
b. Dosis
Dosis awal (LD) 180 mg dilanjutkan dengan 90 mg dua kali perhari. Dosis
awal asetosal (325 mg), dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan asetosal
75-100 mg per hari. Pasien ACS yang menerima dosis mula klopidogrel
dapat diberikan tikagrelor. Pasien yang lupa meminum obat dapat lanjut ke
dosis selanjutnya (tikagrelor 90 mg). Bila ada dosis yang terlupa maka
dapat dilewatkan.
c. Efek Samping
Dispnea, perdarahan, sakit kepala, batuk, lemas, pusing, fibrilasi atrium,
hipertensi, nyeri dada nonkardial, diare, nyeri punggung, hipotensi,
fatigue, nyeri dada, peningkatan serum kreatinin, konstipasi, parastesia,
hiperurisemia, vertigo.
d. Kontraindikasi
Pasien dengan riwayat perdarahan intrakranial (ICH), perdarahan aktif
seperti ulkus, hipersensitivitas.
e. Sediaan
Tablet 50 mg: Brilinta.
(BPOM,2015).

Dypiridamole
a. Indikasi
Sebagai tambahan antikoagulan oral untuk tujuan profilaksis
tromboembolisme pada katup jantung prostetik.
b. Dosis:
Oral, 300-600 mg sehari dalam 3-4 dosis terbagi sebelum makan
c. Efek Samping
Efek saluran cerna, pusing, mialgia, sakit kepala berdenyut, hipotensi,
muka merah dan panas, takikardi; penyakit jantung koroner memburuk,
reaksi hipersensitifitas (ruam kulit, urtikaria), bronkospasma dan
angioedema berat; pendarahan meningkat selama dan setelah pembedahan;
trombositopenia.
d. Kontraindikasi
Hipersensitivitas
e. Sediaan
Tablet 25 mg; Tablet 75 mg: Persantin, Vasotin.
(BPOM,2015).

Cilostazol
a. Indikasi
Mengobati gejala-gejala iskemia seperti ulkus, rasa sakit dan dingin pada
penyakit oklusi arteri kronik.
b. Dosis:
Dewasa, 100 mg 2 kali sehari (30 menit sebelum atau 2 atau 2 jam setelah
makan).
c. Efek Samping:
Sangat sering: diare, kotoran tidak normal, sakit kepala; mual, muntah,
dispepsia, perut kembung, nyeri perut; takikardi, jantung berdebar, angina,
aritmia, nyeri dada; rhinitis; pusing; ekimosis; ruam kulit, gatal; edema,
astenia;
Lebih jarang: gastritis, infark miokard, gagal jantung kongesti, hipotensi
postural, insomnia, kecemasan, mimpi abnormal, dispnoea, pneumonia,
batuk, reaksi hipersensitif, diabetes mellitus, anemia, pendarahan,
trombositemia, nyeri otot, gangguan fungsi ginjal.
d. Kontraindikasi
Predisposisi pada pendarahan (seperti tukak lambung aktif, stroke
hemoragik pada 6 bulan terakhir, operasi pada 3 bulan terakhir,
proliperatif retinopati akibat diabetes, hipertensi yang tidak dikontrol);
riwayat takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, dan multifokal ventrikel
ectopics, perpanjangan interval QT, gagal jantung kongestif; gangguan
fungsi hati sedang hingga berat; gangguan fungsi ginjal; kehamilan;
menyusui.
e. Sediaan
Tablet 50 mg: Aggravan, Alista, Antiplat, Citaz, Ilos, Pletaal; Tablet 100
mg: Citaz, Ilos, Qital, Stazol.
(BPOM,2015).

ANTIKOAGULAN ORAL
Apiksaban
a. Indikasi
Pencegahan kejadian tromboemboli vena (Venous Thromboembolic
Events, VTE) pada pasien dewasa paska operasi penggantian pinggul atau
lutut.
b. Dosis:
oral, 2,5 mg dua kali sehari, diberikan 12-24 jam setelah operasi.
Pengobatan dilakukan selama 10-14 hari untuk pasca operasi penggantian
lutut atau 32-38 hari untuk pasca operasi penggantian pinggul.
c. Efek Samping:
umum:anemia, perdarahan, memar, dan mual; Tidak umum: hipotensi,
trombositopenia, epistaksis, perdarahan saluran pencernaan, perdarahan
melalui anus (hematozesia), peningkatan transaminase, peningkatan
aspartat aminotransferase, peningkatan gamma-glutamiltransferase,
gangguan pada hasil uji fungsi hati, peningkatan fosfatase alkali darah,
peningkatan bilirubin darah, hematuria.
d. Kontraindikasi
perdarahan aktif, penyakit hati terkait koagulopati dan risiko perdarahan
lainnya.
e. Sediaan
Tablet salut selaput 2,5 mg: Eliquis.
(BPOM,2015).

Dabigatran Eteksilat
a. Indikasi
Profilaksis primer tromboemboli vena pasien dewasa pasca operasi elektif
penggantian pinggul total (total hip replacement) dan operasi penggantian
lutut total (total knee replacement), profilaksis embolisme stroke dan
sistemik pada pasien dengan fibrilasi atrial dengan paling sedikit satu
faktor risiko stroke (seperti riwayat stroke iskemik, Transient Ischemic
Attack (TIA), atau embolisme sistemik, disfungsi ventrikular kiri), terapi
trombosis vena dalam akut (DVT) dan/atau emboli paru (PE).
b. Dosis:
Profilaksis embolisme stroke dan sistemik pada pasien dengan fibrilasi
atrial, dosis harian 300 mg (150 mg, 2 kali sehari). Lansia (diatas 80
tahun): dosis harian 220 mg (110 mg, 2 kali sehari).
c. Efek Samping:
Epistaksis (mimisan), perdarahan gastrointestinal, dispepsia, perdarahan
urogenital, anemia, nyeri abdomen, diare, mual, abnormalitas fungsi hati,
perdarahan pada kulit dan hematuria.
d. Kontraindikasi
Hipersensitivitas, gangguan fungsi ginjal berat (klirens kreatinin <30
mL/menit), manifestasi perdarahan, perdarahan diatesis, gangguan
hemostasis spontan atau farmakologikal, penggantian katup jantung
prostetik, kerusakan hepatik atau penyakit pada hati yang diduga
mempengaruhi kelangsungan hidup, lesi organ dengan risiko perdarahan
bermakna secara klinis, termasuk ulkus gastrointestinal yang baru atau
sedang terjadi, menunjukkan adanya neoplasma malignan pada risiko
tinggi perdarahan, cedera otak atau spinal yang baru terjadi, operasi
optalmik atau spinal, perdarahan intrakranial yang baru terjadi, dugaan
varises esofagus, malformasi arteriovena, aneurisma vaskular atau
intraspinal mayor, atau abnormalitas intraserebral vaskular, penggunaan
bersama dengan ketokonazol sistemik atau dronedaron.
e. Sediaan
Kapsul 75 mg, 110 mg dan 150 mg: Pradaxa.
(BPOM,2015).

Rivaroksaban
a. Indikasi
Mengurangi risiko stroke dan embolisme pada pasien atrial fibrilasi
nonvalvular dengan riwayat stroke atau TIA atau pada pasien atrial
fibrilasi nonvalvular dengan skor CHADS2 > 2, trombosis vena dalam
(Deep Vein Thrombosis/DVT).
b. Dosis:
20 mg sekali sehari (dosis maksimal), untuk DVT: 15 mg dua kali sehari
(dosis maksimal 30 mg, jika lupa dapat diminum sekaligus dua tablet),
untuk tiga minggu pertama diikuti selanjutnya 20 mg sekali sehari (dosis
maksimal).
c. Efek Samping:
Anemia, pusing, sakit kepala, pingsan, hemoragik mata (termasuk
hemoragik konjungtiva), takikardi, hipotensi, hematoma, epistaksis,
hemoragik gastronintestinal (termasuk gingival bleeding, hemoragik
rektal), nyeri ekstremitas, perdarahan saluran kencing (termasuk
hematuria, menoragia), demam, edema perifer, letih, astenia, peningkatan
transaminase, perdarahan pasca operasi (termasuk anemia, perdarahan
luka), bingung.
d. Kontraindikasi
Hipersensitivitas, pendarahan, penyakit hati yang terkait koagulopati dan
risiko pendarahan yang relevan, kehamilan dan menyusui, pemberian
bersamaan dengan antijamur azol.
e. Sediaan
(BPOM,2015).

Warfarin Na
a. Indikasi
Profilaksis embolisasi pada penyakit jantung rematik dan fibrilasi atrium;
profilaksis setelah pemasangan katup jantung prostetik; profilaksis dan
pengobatan trombosis vena dan embolisme paru; serangan iskemik
serebral yang transien.
b. Dosis
Dosis awal: 5-10 mg/hari selama 2 hari p.o. Dosis pemeliharaan: 2-10
mg/hari p.o.
c. Aturan pakai
d. Efek samping
Pendarahan, hipersensitivitas, ruam kulit, alopesia, diare, hematokrit
turun, nekrosis kulit, purple toes, sakit kuning, disfungsi hati; mual,
muntah, pankreatitis.
e. Kontraindikasi
Kehamilan, tukak peptik, hipertensi beratm endokarditis bakterial.
f. Sediaan
Tablet 1 mg: Warfarin Eisai dan 2 mg: Simarc-2.
(BPOM,2015).

ANTIKOAGULAN PARENTERAL

Heparin
a. Indikasi
Pengobatan DVT (Deep Vein Thrombosis) dan emboli paru, angina
pectoris tidak stabil, infark miokard, pada pasien DIC, dan pencegahan
tromboemboli bagi yang beresiko tinggi.
b. Dosis
Infark Miokard Akut: Bolus IV 60 U/kgBB, DM 4000 U. Infus IV 12
U/kgBB (24-48 jam) DM 1000 U/jam. Target aPTT 1,5-2x kontrol.
DVT dan Emboli paru: Bolus IV 5000 U diikuti 1.200-1.600 U/jam
hingga aPTT 1,8-2,5x dari kontrol (diperiksa tiap 6 jam).
c. Efek samping
Pendarahan, nekrosis kulit, trombositopenia, hiperkalsemia, reaksi
hipersensitifitas (urtikaria, angiodema, dan anafilaksis).
d. Kontraindikasi
Hemofilia dan gangguan hemoragik lain, trombositopenia,tukak
lambung, pendarahan serebral yang baru terjadi. Hipertensi berat,
penyakit hati berat (termasuk varises esofagus), gagal ginjal, cedera berat
atau pembedahan, hipersensitifitas terhadap heparin.
e. Sediaan
Injeksi 5000 IU/ml.
HEPARIN BERAT MOLEKUL RENDAH / Low Molecular Weight Heparin
(LMWH)
Enoksaparin
a. Indikasi:
Pengobatan trombosis vena yang berhubungan dengan operasi ortopedi
atau operasi umum, pengobatan trombosis vena pada pasien yang dirawat
akibat penyakit akut termasuk insufisiensi kardiak, gagal pernapasan,
infeksi parah, penyakit rematik, selama hemodialisis; profilaksis trombosis
vena dalam; pengobatan angina tidak stabil dan infark miokard non Q
wave, dikonsumsi bersamaan dengan asam asetil salisilat; pencegahan
trombus pada sirkulasi ekstrakorporeal.
b. Efek Samping:
Lihat pada Heparin.
c. Dosis:
Profilaksis trombosis vena dalam, melalui injeksi subkutan, risiko sedang,
20 mg (2000 unit) 2 jam sebelum pembedahan, kemudian 20 mg (2000
unit) setiap 24 jam selama 7-10 hari; risiko tinggi, 40 mg (4000 unit) 12
jam sebelum pembedahan, kemudian 40 mg (4000 unit) setiap 24 jam
selama 7-10 hari. Pengobatan trombosis vena dalam, melalui injeksi
subkutan, 1 mg/kg bb (100 unit/kg bb setiap 12 jam, biasanya selama
paling tidak 5 hari (dan sampai antikoagulansi oral yang cukup tercapai).
d. Kontraindikasi:
Lihat pada Heparin; hipertensi arteri sedang sampai berat yang tidak
terkontrol dengan gagal ginjal (bersihan kreatinin 30-60 mL/menit);
hipersensitif terhadap enoksaparin.
e. Sediaan
Pre-filled syringe 20 mg/0,2 ml; 40 mg/0,4ml; dan 60 mg/0,6 ml:
Lovenox.
Nadroparin Kalsium
a. Indikasi:
Profilaksis pencegahan tromboemboli vena pada pembedahan pasien
dengan risiko sedang atau tinggi, pencegahan koagulasi pada
extracorporal circulation loop dyalisis, pengobatan trombosis vena dalam
yang sudah established, angina tidak stabil dan infark miokard non-Q
wave pada fase akut dalam kombinasi dengan terapi standard. Indikasi
nadroparin forte: Pengobatan trombosis vena dalam (DVT).
b. Dosis:
Pengobatan trombosis vena-dalam (DVT), 2 kali injeksi per hari diberikan
setiap 12 jam. Dosis diberikan sebagai fungsi dari bobot pasien yaitu
0,1mL/10 kg bb setiap 12 jam. Pasien dengan berat badan 40-49 kg: 0,4
mL; berat badan 50-59 kg: 0,5 mL; berat badan 60-69 kg: 0,6 kg; berat
badan 70-79 kg: 0,7 kg; berat badan 80-89 kg: 0,8 kg; berat badan 90-99
kg: 0,9 mL dan berat badan > 100 kg: 1,0 mL. Pengobatan tidak lebih dari
10 hari. Antikoagulan oral harus segera diberikan setelah pengobatan
dengan heparin bobot molekul rendah, kecuali dikontraindikasikan.
Pengobatan DVT, secara injeksi subkutan. Dosis disesuaikan dengan berat
badan: 40-49 kg: 0,4 mL; 50-59 kg: 0,5 mL; 60-69 kg: 0,6 mL; 70-79 kg:
0,7 mL; 80-90 kg: 0,8 mL; 90-99 kg : 0,9 mL; > 100 kg: 1,0 mL.
c. Efek Samping:
Perdarahan, trombositopenia dan hiperkalemia (lihat peringatan), reaksi
hipersensitif (termasuk urtikaria, angioderma dan anafilaksis), hematom
pada tempat injeksi, osteoporosis setelah penggunaan jangka panjang,
reaksi imuno alergi thrombopenia (tipe II), hematom intraspinal,
meningkatkan kadar liver transaminase.
d. Kontraindikasi:
Sebagai terapi pencegahan/profilaksis: hipersensitif, riwayat trombopenia
berat tipe II yang diinduksi heparin, tanda-tanda perdarahan yang terkait
hemostasis, lesi organ yang mengarah ke perdarahan. Sebagai terapi
kuratif: perdarahan intra serebral, gagal ginjal berat (kreatinin klirens 30
mL/menit); anastesi epidural atau spinal. Tidak dianjurkan pada pemberian
sebagai kuratif: iskemik serebrovaskular fase akut, infeksi endokarditis
akut, gagal ginjal ringan-sedang.
e. Sediaan

Parnaparin
a. Indikasi
Profilaksis trombosis vena dalam, terapi gangguan vena akibat kondisi
trombotik.
b. Dosis:
Harus diberikan secara subkutan.
Trombosis vena dalam: Dua injeksi subkutan 0,6 mL (3400 IU aXa) setiap
hari. Terapi diberikan selama 7-10 hari. Terapi dapat didahului dengan
pemberian infus intravena 12800 IU aXa secara lambat selama 3-5 hari.
Setelah melewati fase akut, terapi dapat dilanjutkan dengan 0,6 mL (6400
IU aXa) per hari atau 0,4 mL (4250 IU aXa) per hari yang diberikan secara
subkutan selama 10-20 hari. Sindrom pasca plebitis, insufisiensi vena
kronis: Satu injeksi subkutan 0,3 mL (3200 IU aXa) setiap 24 jam,
tergantung dari keparahan. Lama terapi minimal 30 hari.
Tromboplebitis superfisial akut, varikoplebitis: Satu injeksi subkutan 0,4
mL (4250 IU aXa) atau 0,3 mL (3200 IU aXa) setiap 24 jam, tergantung
dari keparahan. Lama terapi minimal 20 hari
c. Efek Samping:
Perdarahan, trombositopenia, nekrosis pada lokasi penyuntikan, alergi,
peningkatan enzim transaminase.
d. Kontraindikasi:
kehamilan, menyusui, riwayat trombositopenia pada penggunaan
parnaparin, luka pada organ dengan risiko perdarahan (ulkus peptik,
retinopati, sindrom hemoragik), endokarditis bakteri akut (kecuali jika
disebabkan oleh prosteses mekanik). Trauma serebrovaskuler dengan
perdarahan. Alergi terhadap produk. Nefropati berat, pankreatopati,
hipertensi arteri berat, trauma kranioenselopati (pasca operasi). Terapi
dengan antivitamin K. Penggunaan bersamaan dengan tiklopidin, salisilat
atau AINS, antiplatelet.

Aktivator Plasminogen (Tissue Plasminogen Activator / t-PA) 10, 18, 28


a. Indikasi
Pengobatan trombolitik pada infark miokard akut, emboli pulmonal masif
akut dengan hemodinamik yang tidak stabil, dan stroke iskemik akut.
b. Dosis
STEMI: Bolus IV 15 mg, lalu 0,75 mg/kgBB selama 30 menit, kemudian
0,5 mg/kgBB selama 60 menit. Dosis total tidak lebih dari 100 mg.
Stroke akut: (terapi harus dimulai dalam 3 jam): infus intravena 0,9
mg/kgBB (max 90 mg) selama 60 menit; 10% dosis diberikan melalui
injeksi intravena; Lansia tidak dianjurkan >80 tahun.
c. Efek samping
Pendarahan, embolisasi tombolitik, aritmia reperfusi, mual, muntah,
penurunan drastis tekanan darah, reaksi anafilaktoid.
d. Kontraindikasi
Stroke hemoragik/ stroke yang belum diketahui penyebabnya, stroke
iskemik 6 bulan terakhir, kerusakan saraf sentral dan neoplasma, trauma
operasi/ trauma kepala yang berat.
e. Sediaan
Serbuk injeksi 50 mg/vial : Actilyse.

TERAPI NON FARMAKOLOGI


1) Makanan kolesterol yang membantu menurunkan kadar kolesterol
- Serat larut yang terdapat dalam biji-bijian seperti beras merah,
bulgur, jagung dan gandum.
- Oat (beta glucan) akan menurunkan kadar kolesterol total dan LDL,
menurunkan tekanan darah, dan menekan nafsu makan bila
dimakan dipagi hari (memperlambat pengosongan usus).
- Kacang kedelai beserta produk olahannya dapat menurunkan lipid
serum, menurunkan kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida
tetapi tidak mempengaruhi kadar kolesterol HDL.
- Kacang-kacangan termasuk biji kenari dan kacang mede
menurunkan kolesterol LDL dan mencegah arterrosklerosis.
Mekanisme kerja: menambah sekresi asam empedu, meningkatkan
aktifitas estrogen dan isoflavon, memperbaiki elastisitas arteri dan
meningkatkan aktifitas antioksidan yang menghalangi oksidasi
LDL.
2) Mengkonsumsi makanan yang membantu mencegah peningkatan
homosistein seperti asam folat, vitamin B6, B12, dan riboflavin.
Konsumsi ikan tuna dan salmon yang kaya akan omega-3, EPA, dan
DHA yang merupakan pelindung jantung mencegah risiko kematian
mendadak, mengurangi risiko aritmia, menurunkan kadar trigliserida,
menurunkan kecenderungan adhesi platelet, sebagai precursor
prostaglandin, inhibisi sitokin, antiinflamasi dan stimulasi Nitric oxide
(NO) endothelial. Makanan jenis ini sebaiknya dikonsumsi dua kali
seminggu.
3) Buah-buahan dan sayur-sayuran
- Kebiasaan/membudaya diit kaya buah-buahan dan sayuran
bervariasi minimal 5 porsi setiap hari
- Sayuran hijau dan jeruk yang menurunkan risiko stroke
- Sumber kalium yang merupakan predictor yang kuat untuk
mencegah mortalitas akibat stroke, terutama buah pisang.
- Apel yang mengandung quercetin dan phytonutrient dapat
menurunkan risiko stroke.
- Teh hitam dan teh hijau yang mengandung antioksidan
4) Mengurangi asupan natrium, asupan natrium yang dianjurkan ≤2,3 g/hari.
Menambah asupan kalium.
5) Meminimalkan makanan tinggi lemak jenuh, utamakan makan yang
mengandung lemak tak jenuh
6) Mengendalikan emosi, menjaga kondisi agar relaks, menangani stress
dan beristirahat yang cukup 6-8 jam sehari. Mengendalikan stress dengan
cara berpikir positif sesuai dengan jiwa sehat menurut WHO,
menyelesaikan pekerjaan satu demi satu, bersikap ramah dan
mendekatkan diri pada Tuhan yang maha esa dan mensyukuri hidup yang
ada. Stress kronis dapat meningkatkan tekanan darah. Penanganan stress
menghasilkan respon relaksasi yang menurunkan denyut jantung dan
tekanan darah.
7) Pasien stroke fase akut direkomendasikan menjalani perawatan di unit
stroke dengan tujuan untuk mendapatkan penanganan multidisiplin dan
terkoordinasi. Pasien harus rehabilitasi dini setelah kondisi medis stabil.
Setelah keluar dari unit stroke, direkomendasikan untuk melanjutkan
rehabilitasi dengan berobat jalan selama tahun pertama setelah stroke
Latihan sensorik khusus dan stimulasi elektrik kutaneus dapat membantu
mengurangi kekakuan tubuh
Untuk dibetes yang diderita pasien maka harus dilakukan pengaturan diet
makanan yang seimbang, karbohidrat 60-70%, protein 10-15% dan lemak
20-25%. Pasien harus selalu mengenakan kaus kaki untuk melindungi kaki
agar tidak terluka, karena penderita diabetes yang teluka pada kaki maka
lukanya akan sulit sembuh dan meningkatkan resiko pembusukan dan
amputasi.
Melakukan latihan fisik ringan secara teratur dapat menurunkan kadar
glukosa darah, menurunkan kadar lipid dan menurunkan resiko
komplikasi.
(PERDOSSI, 2011).
PELAYANAN INFORMASI OBAT (PIO)
Pemberian informasi obat dilakukan dengan cara:
1. Pendahuluan, terdiri dari:
a. Menyapa dan memperkenalkan diri pada pasien
b. Menanyakan identitas pasien
c. Menanyakan informasi yang telah diperoleh pasien dari dokter dengan
(Three Prime Questions), di antaranya:
 Apa yang telah dokter katakan tentang obat anda?
 Bagaimana penjelasan dokter tentang cara minum obat ini?
 Apa yang dokter jelaskan tentang harapan setelah minum obat
ini?
2. Proses Konseling:
a. Menanyakan ketersediaan pasien dalam menerima konseling
b. Menjelaskan mengenai obat yang diperoleh pasien, berupa:
 Nama obat
 Khasiat obat
 Cara penggunaan
 Waktu penggunaan
 Interaksi obat
 Cara penyimpanan obat
 Lama penggunaan obat
 Efek samping
 Jangan mengandakan dosis bila pasien lupa meminum obatnya
c. Menjelaskan mengenai informasi yang mendukung kesembuhan
pasien
d. Melakukan verifikasi informasi yang telah diberikan. Seorang
apoteker menanyakan ke pasien apakah sudah mengerti kalau sudah di
jawab pasien, maka seorang apoteker berhak untuk menanyakan
bagaimana cara meminum obatnya.
Bagian akhir, penyimpulan dari seluruh aspek kegiatan dan merupakan tahap
penutupan untuk pertemuan berikutnya. Dapat diakhiri dengan kata terima kasih
dan sehat selalu ke pasien.
JENIS SEDIAAN OBAT STROKE
A. TABLET
 Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obatdengan atau tanpa
bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, dapat digolongkan sebagai
tablet cetak dan tablet kempa.
 Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau
granul menggunakan cetakan baja (yang paling banyak digunakan),
kepadatan tergantung pada tekanan.
 Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan
tekanan rendah ke dalam lubang cetakan, kepadatan tablet tergantung pada
ikatan kristal yang terbentuk selama proses pengeringan selanjutnya.
 Jenis-jenis tablet:
1. Tablet Triturat  berbentuk kecil, umumnya silindris, digunakan
untuk memberikan jumlah terukur yang tepat untuk peracikan obat.
2. Tablet Bukal  tablet diletakkan di antara pipi dan gusi dan tablet
sublingual digunakan dengan cara meletakkan tablet di bawah lidah,
sehingga zat aktif diserap secara langsung melalui mukosa mulut.
3. Tablet Efervesen  selain zat aktif tablet mengandung campuran
asam (asam sitrat, asam tartrat) dan natrium bikarbonat. Dilarutkan ke
dalam air sebelum pemberian.
4. Tablet Kunyah  dikunyah, memberikan residu dengan rasa enak
dalam rongga mulut, mudah ditelan dan tidak meninggalkan rasa pahit
atau tidak enak (biasanya untuk anak).
5. Tablet Lepas-lambat  dibuat sehingga zat aktif akan tersedia selama
jangka waktu tertentu setelah obat diberikan.
6. Tablet Hisap  mengandung satu atau lebih bahan obat, bahan dasar
beraroma dan manis, melarut atau hancur perlahan dalam mulut
(umumnya ditujukan untuk mengobati iriasilokal atau infeksi mulut
atau tenggorokan, tapi bisa juga sistemik).
7. Tablet Salut Biasa  disalut dengan gula dari suspensi dalam air
mengandung serbuk yang tidak larut seperti pati, kalsium karbonat, talk
atau titanium dioksida, yang disuspensikan dengan gom akasia atau
gelatin. Untuk tujuan identifikasi dan nilai estetik, zat penyalut bagian
luar dapat diwarnai.
8. Tablet Salut Enterik  bertujuan untuk menunda pelepasan obat
sampai tablet telah melewati lambung ( untuk obat yang dapat rusak
atau inaktif karena cairan lambung atau dapat mengiritasi mukosa
lambung).
 Formulasi tablet kempa langsung:
a. Bahan Aktif
b. Pengisi/ Filler  untuk menambah massa tablet agar dapat dikempa.
Contoh: laktosa, pati, selulosa mikrokristal).
c. Pengikat/ Binder  untuk memberi daya adhesi pada massa serbuk saat
granulasi dan menambah daya kohesi yang ada pada bahan pengisi.
Dapat ditambahkan secara kering maupun basah. Contoh: gom akasia,
gelatin, povidon, MC, CMC, pati.
d. Penghancur/ Disintegrant  membantu hancurnya tablet saat ditelan.
Contoh: pati selulosa, asam alginat, MCC.
e. Pelicin/ Lubricant  mengurangi gesekan selama prosespengempaan
tablet dan juga berguna untuk mencegahmassa tablet melekat pada
cetakan. Contoh: senyawa asam stearat dengan logam, asam stearat,
minyak nabati terhidrogenasi dan talk.
f. Pelincir/ Glidant  meningkatkan kemampuan mengalir serbuk,
umumnya digunakan dalam kempa langsung tanpa proses granulasi.
Contoh: Mg stearat, silika pirogenik koloidal.
 Cara Pembuatan Tablet
1. Granulasi Kering
2. Granulasi Basah

3. Kempa Langsung
 Evaluasi Tablet
1. Uji Penampilan
Amati tablet hasil cetak secara visual, apakah distribusi warna merata,
ada cacat fisik atau tidak. Dilakukan dengan interval waktu yang
sama, parameter lain yang diukurkeseragaman diameter dan
ketebalannya.
2. Uji Kekerasan
Tablet yang keras diperlukan untuk mencegah kerusakan fisik selama
proses produksi berikutnya, selama penyimpanan dan transportasi.
Pengujian dilakukan dengan interval waktu yang sama untuk
menunjukkan adanya keseragaman. Pada pengujian kekerasan
dibutuhkan alat Hardness tester.
3. Uji Keseragaman Bobot
Pengujian dilakukan dengan interval waktu yang sama dengan uji
penampilan. Pengujian dikerjakan pada 20 tablet dengan menimbang
satu per satu. Sesuai Farmakope Indonesia persyaratan yang baik
adalah :

4. Uji Kerapuhan (Friabilitas)


Pengujian dilakukan dengan alat friabilator, menggunakan 20 tablet
selama 15 – 20 menit. Melalui pengujian ini terlihat tingkat kerapuhan
tablet terhadap gesekan danbantingan. Tablet yang baik mempunyai
friabilitas < 1 %, bila lebih dapat diperbaiki dengan meningkatkan
kekerasannya atau menambahkan pengikat.
5. Uji Waktu Hancur
Dilakukan terhadap 6 tablet, menggunakan alat desintegration tester.
Persyaratan Farmakope Indonesia : kecuali dinyatakan lain, semua
tablet harus hancur < 15 menit (tanpa salut) dan < 60 menit (dengan
salut)
6. Uji Keseragaman Kadar (untuk kadar zat aktif < 50 mg per tablet)
Pengujian dilakukan terhadap 10 tablet. Persyaratan : tidak boleh lebih
dari 2 tablet yang kadarnya diluar rentang 85 – 115 % dari kadar rata-
rata dan tidak oleh lebih dari 1 tablet yang kadarnya diluar rentang 75
– 125 % dari kadar rata-rata.
7. Uji Disolusi
Pengujian dilakukan untuk menentukan waktu melarut dari zat aktif,
metode yang digunakan sesuai dengan Farmakope Indonesia V (2014)
atau Farmakope lain. Alat disolusi ada beberapa tipe: Alat 1 (Tipe
Keranjang), Alat 2 (Tipe Dayung), Alat 3 ( Silinder Kaca Bolak-
balik), Alat 4 (Sel yang Dapat Dialiri).

B. KAPSUL
 Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras
atau lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin;
tetapi dapat juga terbuat dari pati atau bahan lain.
 Nomor kapsul
Ukuran Volume (mL)
000 1,7
00 1,2
0 0,85
1 0,62
2 0,52
3 0,36
4 0,27
5 0,19

 Cara pengisian kapsul


1. Dengan tangan
Merupakan cara yang paling sederhana yakni dengan tangan, tanpa
bantuan alat lain. Cara ini sering dikerjakan di apotek untuk melayani
resep dokter. Pada pengisian dengan cara ini sebaiknya digunakan
sarung tangan untuk mencegah alergi yang mungkin timbul karena
petugas tidak tahan terhadap obat tersebut. Untuk memasukkan obat
dapat dilakukan dengan cara serbuk dibagi sesuai dengan jumlah kapsul
yang diminta lalu tiap bagian serbuk dimasukkan kedalam badan kapsul
dan ditutup.
2. Dengan Alat Manual
Alat yang dimaksud disini adalah alat yang menggunakan tangan
manusia. Dengan menggunakan alat ini akan didapatkan kapsul yang
lebih seragam dan pengerjaannya dapat lebih cepat sebab sekali cetak
dapat dihasilkan berpuluh puluh kapsul. Alat ini terdiri dari dua bagian
yaitu bagian yang tetap dan bagian yang bergerak. Caranya:
a. Kapsul dibuka dan badan kapsul dimasukkan kedalam lubang dari
bagian alat yang tidak bergerak.
b. Serbuk yang akan dimasukkan kedalam kapsul
dimasukkan/ditaburkan pada permukaan kemudian diratakan
dengan kertas film.
c. Kapsul ditutup dengan cara merapatkan/menggerakkan bagian
yang bergerak. Dengan cara demikian semua kapsul akan tertutup.

3. Dengan Alat Mesin


Untuk menghemat tenaga dalam rangka memproduksi kapsul secara
besar besaran dan untuk menjaga keseragaman dari kapsul tersebut,
perlu dipergunakan alat yang serba otomatis mulai dari membuka,
mengisi sampai dengan menutup kapsul. Dengan cara ini dapat
diproduksi kapsul dengan jumlah besar dan memerlukan tenaga sedikit
serta keseragaman nya lebih terjamin.

 Syarat-syarat Kapsul
1. Keseragaman Bobot
Menurut FI. III, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Kapsul berisi obat kering
Timbang 20 kapsul, timbang lagi satu persatu, keluarkan isi semua
kapsul, timbang seluruh bagian cangkang kapsul. Hitung bobot isi
kapsul dan bobot rata rata tiap isi kapsul. Perbedaan dalam persen
bobot isi tiap kapsul terhadap bobot rata rata tiap isi kapsul tidak boleh
lebih dari dua kapsul yang penyimpangannya lebih besar dari harga
yang ditetapkan oleh kolom A dan tidak satu kapsul pun yang
penyimpangannya melebihi yang ditetapkan oleh kolom B.
Bobot rata-rata kapsul Perbedaan bobot isi
kapsul dalam %
120 mg A (10), B (20)
>120mg A (7,5), B (15

b. Kapsul berisi obat cair atau pasta


Timbang 10 kapsul, timbang lagi satu persatu. Keluarkan isi semua
kapsul, cuci cangkang kapsul dengan eter. Buang cairan cucian, biarkan
hingga tidak berbau eter, timbang seluruh bagian cangkang kapsul.
Hitung bobot isi kapsul dan bobot rata rata tiap isi kapsul. Perbedaan
dalam persen bobot isi tiap kapsul terhadap bobot rata rata tiap isi
kapsul tidak lebih dari 7,5%.
2. Waktu Hancur
 Uji waktu hancur digunakan untuk menguji kapsul keras maupun
kapsul lunak. Waktu hancur ditentukan untuk mengetahui waktu yang
diperlukan oleh kapsul yang bersangkutan untuk hancur menjadi butiran
butiran bebas yang tidak terikat oleh satu bentuk. Menurut FI IV, untuk
melakukan uji waktu hancur digunakan alat yang dikenal dengan nama
Desintegration Tester.
 Alat terdiri dari rangkaian keranjang yang terdiri dari 6 tabung
transparan yang panjang masing-masingnya 77,5 mm + 2,5 mm dengan
diameter dalam 21,5 mm dan tebal dinding lebih kurang 2 mm, kedua
ujungnya terbuka. Ujung bawah tabung dilengkapi dengan suatu kasa
baja tahan karat dengan diameter lubang 0,025 inchi (ukuran 10 mesh
nomor 23).
 Gelas piala berukuran 1000 ml yang berisi media cair. Volume cairan
dalam wadah sedemikian sehingga pada titik tertinggi gerakan ke atas,
kawat kasa berada paling sedikit 2,5 cm di bawah permukaan cairan dan
pada gerakan ke bawah berjarak tidak kurang 2,5 cm dari dasar wadah.
Thermostat yang berguna untuk memanaskan dan menjaga suhu media
cair antara 35° 39° C.
 Alat untuk menaik-turunkan keranjang dalam media cair dengan
frekuensi 29 kali hingga 32 kali per menit.
 Caranya :
1. Masukkan 1 kapsul pada masing masing tabung di keranjang.
2. Masukkan kasa berukuran 10 mesh seperti yang diuraikan pada
rangkaian keranjang, gunakan air bersuhu 37°+ 2° sebagai media
kecuali dinyatakan lain menggunakan cairan lain dalam masing
masing monografi.
3. Naik turunkan keranjang didalam media cair lebih kurang 29-32 kali
per menit.
4. Amati kapsul dalam batas waktu yang dinyatakan dalam masing
masing monografi, semua kapsul harus hancur, kecuali bagian dari
cangkang kapsul.
5. Bila satu kapsul atau dua kapsul tidak hancur sempurna, ulangi
pengujian dengan 12 kapsul lainnya, tidak kurang 16 dari 18 kapsul
yang diuji harus hancur sempurna.
 Dalam FI IV waktu hancur kapsul tidak dinyatakan dengan jelas,
namun menurut FI III, kecuali dinyatakan lain waktu hancur kapsul
adalah tidak lebih dari 15 menit.
3. Keseragaman Sediaan
Terdiri dari keragaman bobot untuk kapsul keras dan keseragaman
kandungan untuk kapsul lunak.
4. Uji Disolusi
Uji ini digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan
disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi. Persyaratan disolusi
tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam
masing-masing monografi.

C. INJEKSI
 Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk
yang harus di larutkan atau di suspensikan lebih dahulu sebelum di
gunakan secara parenteral, suntikan dengan cara menembus, atau merobek
ke dalam atau melalui kulit atau selaput lendir.
 Macam-macam sediaan steril parenteral
1. Sediaan berupa larutan dalam air/minyak/pelarut organik yang lain yang
digunakan untuk injeksi, ditandai dengan nama, Injeksi................Dalam
FI.ed.III disebut berupa Larutan. Misalnya :Inj.Vit.C, pelarutnya aqua
pro injection, Inj.Camphor oil, pelarutnya Olea neutralisata ad
injectionInj. Luminal, pelarutnya Sol Petit atau propilenglikol dan air.
2. Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak
mengandung dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan
yang diperoleh setelah penambahan pelarut yang sesuai memenuhi
persyaratan injeksi, ditandai dengan nama,...................Steril. Dalam
FI.ed..III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan
ditambah zat pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan
larutan yang memenuhi syarat larutan injeksi. Misalnya:
Inj.Dihydrostreptomycin Sulfat steril.
3. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk
larutan yang memenuhi persyaratan untuk suspensi steril setelah
penambahan bahan pembawa yang sesuai, ditandai dengan nama ,
............ Steril untuk Suspensi.Dalam FI.ed.III disebut berupa zat padat
kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa yang cocok dan
steril, hasilnya merupakan suspensi yang memenuhi syarat suspensi
steril. Misalnya : Inj. Procaine Penicilline Gsteril untuk suspensi.
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan
tidak disuntikkan secara intravena atau ke dalam saluran spinal, ditandai
dengan nama, Suspensi.......... Steril. Dalam FI.ed.III disebut Suspensi
steril (zat padat yang telah disuspensikan dalam pembawa yang cocok
dan steril). Misalnya : Inj.Suspensi Hydrocortisone Acetatsteril.
5. Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer
atau bahan tambahan lain, ditandai dengan nama,............. Untuk
Injeksi.Dalam FI.ed.III disebut bahan obat dalam pembawa cair yang
cocok, hasilnya merupakan emulsi yang memenuhi semua persyaratan
emulsi steril. Misalnya : Inj. Penicilline Oil untuk injeksi.
 Macam-macam cara penyuntikan
1. Injeksi intrakutan ( i.k / i.c ) atau intradermal
Dimasukkan ke dalam kulit yang sebenarnya, digunakan untuk
diagnosa. Volume yang disuntikkan antara 0,1 - 0,2 ml, berupa larutan
atau suspensi dalam air.
2. Injeksi subkutan ( s.k / s.c ) atau hipodermik
Disuntikkan ke dalam jaringan di bawah kulit ke dalam alveolar,
volume yang disuntikkan tidak lebih dari 1 ml. Umumnya larutan
bersifat isotonik, pH netral, bersifat depo (absorpsinya lambat).
Dapat diberikan dalam jumlah besar (volume 3 - 4 liter/hari dengan
penambahan enzym hialuronidase), bila pasien tersebut tidak dapat
diberikan infus intravena. Cara ini disebut" Hipodermoklisa ".
3. Injeksi intramuskuler ( i.m )
Disuntikkan ke dalam atau diantara lapisan jaringan / otot. Injeksi
dalam bentuk larutan, suspensi atau emulsi dapat diberikan secara ini.
Yang berupa larutan dapat diserap dengan cepat, yang berupa emulsi
atau suspensi diserap lambat dengan maksud untuk mendapatkan efek
yang lama. Volume penyuntikan antra 4 - 20 ml, disuntikkan perlahan-
lahan untuk mencegah rasa sakit.
4. Injeksi intravenus ( i.v )
Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah vena. Bentuknya
berupa larutan, sedangkan bentuk suspensi atau emulsi tidak boleh,
sebab akan menyumbat pembuluh darah vena tersebut. Dibuat isitonis,
kalau terpaksa dapat sedikit hipertonis (disuntikkannya lambat /
perlahan-lahan dan tidak mempengaruhi sel darah); volume antara
1 - 10 ml. Injeksi intravenus yang diberikan dalam dosis tunggal
dengan volume lebih dari 10 ml, disebut "infus intravena/
Infusi/Infundabilia". Infusi harus bebas pirogen dan tidak
boleh mengandung bakterisida, jernih, isotonis.Injeksi i.v dengan
volume 15 ml atau lebih tidak boleh mengandung bakterisida Injeksi
i.v dengan volume 10 ml atau lebih harus bebas pirogen.
5. Injeksi intraarterium ( i.a )
Disuntikkan ke dalam pembuluh darah arteri / perifer / tepi, volume
antara 1 - 10 ml, tidak boleh mengandung bakterisida.
6. Injeksi intrakor / intrakardial ( i.kd )
Disuntikkan langsung ke dalam otot jantung atau ventriculus,
tidak boleh mengandung bakterisida, disuntikkan hanya dalam
keadaan gawat.
7. Injeksi intratekal (i.t), intraspinal, intrasisternal (i.s), intradural ( i.d ),
subaraknoid.
Disuntikkan langsung ke dalam saluran sumsum tulang belakang pada
dasar otak ( antara 3 -4 atau 5 - 6 lumbra vertebrata ) yang ada cairan
cerebrospinalnya. Larutan harus isotonis karena sirkulasi cairan
cerebrospinal adalah lambat, meskipun larutan anestetika sumsum
tulang belakang sering hipertonis. Jaringan syaraf di daerah anatomi
disini sangat peka.
8. Intraartikulus
Disuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam rongga sendi. Bentuk
suspensi / larutan dalam air.
9. Injeksi subkonjuntiva
Disuntikkan ke dalam selaput lendir di bawah mata. Berupa suspensi
/ larutan, tidak lebih dari 1 ml.
10. Injeksi intrabursa
Disuntikkan ke dalam bursa subcromillis atau bursa olecranon dalam
bentuk larutan suspensi dalam air.
11. Injeksi intraperitoneal ( i.p )
Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan cepat ;
bahaya infeksi besar
12. Injeksi peridural ( p.d ), extradural, epidural
Disuntikkan ke dalam ruang epidural, terletak diatas durameter,
lapisan penutup terluar dari otak dan sumsum tulang belakang.
 Susunan Isi ( Komponen ) Obat Suntik
1. Bahan obat / zat berkhasiat
a. Memenuhi syarat yang tercantum sesuai monografinya
masing-masing dalam Farmakope.
b. Pada etiketnya tercantum : p.i ( pro injection )
c. Obat yang beretiket p.a ( pro analisa ) walaupun secara
kimiawi terjamin kualitasnya, tetapi belum tentu memenuhi
syarat untuk injeksi.
2. Zat pembawa / zat pelarut
Dibedakan menjadi 2 bagian :
a. Zat pembawa berair
o Umumnya digunakan air untuk injeksi. Disamping itu dapat
pula digunakan injeksi NaCl, injeksi glukosa, injeksi NaCl
compositus, Sol.Petit. Menurut FI.ed.IV, zat pembawa
mengandung air, menggunakan air untuk injeksi, sebagai zat
pembawa injeksi harus memenuhi syarat Uji pirogen dan uji
Endotoksin Bakteri. NaCl dapat ditambahkan untuk memperoleh
isotonik. Kecuali dinyatakan lain, Injeksi NaCl atau injeksi
Ringer dapat digunakan untuk pengganti air untuk injeksi.
o Air untuk injeksi (aqua pro injection) dibuat dengan cara
menyuling kembali air suling segar dengan alat kaca netral atau
wadah logam yang dilengkapi dengan labu percik. Hasil
sulingan pertama dibuang, sulingan selanjutnya ditampung
dalam wadah yang cocok dan segera digunakan. Jika
dimaksudkan sebagai pelarut serbuk untuk injeksi, harus
disterilkan dengan cara Sterilisasi A atau C segera setelah
diwadahkan.
o Air untuk injeksi bebas udara dibuat dengan mendidihkan air
untuk injeksi segar selama tidak kurang dari 10 menit sambil
mencegah hubungan dengan udara sesempurna mungkin,
didinginkan dan segera digunakan. Jika dimaksudkan sebagai
pelarut serbuk untuk injeksi harus disterilkan dengan cara
sterilisasi A, segera setelah diwadahkan.
b. Zat pembawa tidak berair
Umumnya digunakan minyak untuk injeksi (olea pro injection)
misalnya Ol. Sesami, Ol. Olivarum, Ol. Arachidis.bPembawa tidak
berair diperlukan apabila:
a. Bahan obatnya sukar larut dalam air
b. Bahan obatnya tidak stabil / terurai dalam air.
c. Dikehendaki efek depo terapi.
Syarat-syarat minyak untuk injeksi adalah :
 Harus jernih pada suhu 100
 Tidak berbau asing / tengik
 Bilangan asam 0,2 - 0,9
 Bilangan iodium 79 – 128
 Bilangan penyabunan 185 – 200
 Harus bebas minyak mineral
 Memenuhi syarat sebagai Olea Pinguia yaitu cairan jernih
atau massa padat yang menjadi jernih diatas suhu leburnya
dan tidak berbau asing atau tengik
 Obat suntik dengan pembawa minyak, tidak boleh disuntikkan
secara i.v , hanya boleh secara i.m.
c. Bahan pembantu / zat tambahan
Ditambahkan pada pembuatan injeksi dengan maksud :
a. Untuk mendapatkan pH yang optimal
b. Untuk mendapatkan larutan yang isotonis
c. Untuk mendapatkan larutan isoioni
d. Sebagai zat bakterisida
e. Sebagai pemati rasa setempat ( anestetika lokal )
f. Sebagai stabilisator.
o Menurut FI.ed.IV, bahan tambahan untuk mempertinggi stabilitas
dan efektivitas harus memenuhi syarat antara lain tidak berbahaya
dalam jumlah yang digunakan, tidak mempengaruhi efek terapetik
atau respon pada uji penetapan kadar.
o Tidak boleh ditambahkan bahan pewarna, jika hanya mewarnai
sediaan akhir. Pemilihan dan penggunaan bahan tambahan harus
hati-hati untuk injeksi yang diberikan lebih dari 5 ml. Kecuali
dinyatakan lain berlaku sebagai berikut :
 Zat yang mengandung raksa dan surfaktan kationik, tidak lebih
dari 0,01
 Golongan Klorbutanol, kreosol dan fenol tidak lebih dari 0,5 %
 Belerang dioksida atau sejumlah setara dengan Kalium atau
Natrium Sulfit, bisulfit atau metabisulfit, tidak lebih dari 0,2 %
 Persiapan pembuatan obat suntik :
1. Perencanaan
Direncanakan dulu, apakah obat suntik itu akan dibuat secara
aseptik atau dilakukan sterilisasi akhir. Alat-alat yang digunakan
harus sudah disterilisasi.
2. Perhitungan dan penimbangan
Perhitungan dibuat berlebih dari jumlah yang harus didapat, karena
dilakukan penyaringan, kemudian ditimbang. Larutkan masing-masing
dalam Aqua p.i yang sudah dijelaskan cara pembuatannya, kemudian
dicampurkan.
3. Penyaringan
Lakukan penyaringan hingga jernih dan tidak boleh ada serat yang
terbawa ke dalam filtrat. Pada pembuatan kecil-kecilan dapat disaring
dengan kertas saring biasa sebanyak 2 kali , lalu disaring lagi dengan
kertas saring G3.
4. Pengisian ke dalam wadah
Cairan : Farmakope telah mengatur volume tambahan yang dianjurkan.
Bubuk kering : Jumlah bubuk diukur dengan jalan penimbangan atau
berdasarkan volume, diisi melalui corong.
Pengisian dengan wadah takaran tunggal dijaga supaya bagian yang
akan ditutup dengan pemijaran, harus bersih, terutama dari zat
organik, karena pada penutupan zat organik tersebut akan menjadi
arang dan menghitamkan wadah sekitar ujungnya .
Membersihkan bagian leher wadah dapat dilakukan dengan :
 memberi pelindung pada jarum yang dipakai untuk mengisi wadah.
 menyemprot dengan uap air pada mulut wadah obat suntik
yang dibuat dengan pembawa berair.

 Pembuatan larutan injeksi :


Dalam garis besar cara pembuatan larutan injeksi dibedakan :
1. Cara aseptik
Digunakan kalau bahan obatnya tidak dapat disterilkan, karen akan rusak
atau mengurai. Caranya: Zat pembawa, zat pembantu, wadah, alat-alat
dari gelas untuk pembuatan, dan yang lainnya yang diperlukan disterilkan
sendiri-sendiri. Kemudian bahan obat, zat pembawa, zat pembantu
dicampur secara aseptik dalam ruang aseptik hingga terbentuk
larutan injeksi dan dikemas secara aseptik.
2. Cara non-aseptik
Dilakukan sterilisasi akhir Caranya :
bahan obat dan zat pembantu dilarutkan ke dalam zat pembawa dan dibuat
larutan injeksi. Saring hingga jernih dan tidak boleh ada serat yang
terbawa ke dalam filtrat larutan. Masukkan ke dalam wadah dalam
keadaan bersih dan sedapat mungkin aseptik, setelah dikemas, hasilnya
disterilkan dengan cara yang cocok.

 Evaluasi Sediaan Injeksi


1. Pemeriksaan kebocoran.
Untuk mengetahui kebocoran wadah, dilakukan sebagai berikut :
o Untuk injeksi yang disterilkan dengan pemanasan.
a. Ampul :
disterilkannya dalam posisi terbalik dengan ujung yang dilebur
disebelah bawah. Wadah yang bocor, isinya akan kosong / habis
atau berkurang setelah selesai sterilisasi
b. Vial :
setelah disterilkan , masih dalam keadaan panas, masukkan ke
dalam larutan metilen biru 0,1 % yang dingin. Wadah yang bocor
akan berwarna biru, karena larutan metilen biru akan masuk ke
dalam larutan injeksi tersebut.
o Untuk injeksi yang disterilkan tanpa pemanasan atau secara
aseptik / injeksi berwarna
Diperiksa dengan memasukkan ke dalam eksikator dan
divakumkan. Wadah yang bocor, isinya akan terisap keluar.
Pemeriksaan sterilitas.
Digunakan untuk menetapkan ada tidaknya bakteri, jamur dan ragi yang
hidup dalam sediaan yang diperiksa. Dilakukan dengan teknik aseptik yang
cocok. Sebelum dilakukan uji sterilitas, untuk zat-zat:
a) Pengawet : larutan diencerkan dahulu, sehingga daya
pengawetnya sudah tidak bekerja lagi.
b) Antibiotik : daya bakterisidanya diinaktifkan dulu, misalnya
pada Penicillin ditambah enzym Penicillinase.
2. Pemeriksaan pirogenitas
Bertujuan untuk membatasi resiko reaksi demam pada tingkat yang dapat
diterima oleh pasien pada pemberian sediaan injeksi. Cara pengerjaan:
a. Lakukan pengujian dalam ruang terpisah yang khusus untuk uji
pirogan dan kondisi lingkungan yang sama dengan ruang
pemeliharaan, bebas dari keributan yang menyebabkan
kegelisahan.
b. Kelinci tidak diberi makan selama waktu pengujian, apabila
pengujian menggunakan termistor, masukkan kelinci kedalam
kotak penyekap, sehingga kelinci tertahan dengan letak leher yang
longgar. Tidak lebih dari 30 menit sebelum penyuntikan larutan uji,
tentukan “suhu awal” masing-masing kelinci yang merupakan
dasar untuk menentukan kenaikan suhu. Suhu tiap kelinci tidak
boleh lebih dari 1°c dan suhu setiap kelinci tidak boleh > 39,8°.
3. Pemeriksaan kejernihan dan warna.
Diperiksa dengan melihat wadah pada latar belakang hitam-putih,
disinari dari samping. Kotoran berwarna akan kelihatan pada latar
belakang putih, kotoran tidak berwarna akan kelihatan pada latar
belakang hitam.
4. Pemeriksaan keseragaman bobot.
Hilangkan etiket 10 wadah; Cuci bagian luar wadah dengan air; Keringkan

pada suhu 1050; Timbang satu per satu dalam keadaan terbuka; Keluarkan
isi wadah; Cuci wadah dengan air, kemudian dengan etanol 95 %;

keringkan lagi pada suhu 1050 sampai bobot tetap; Dinginkan dan
kemudian timbang satu per satu. Bobot isi wadah tidak boleh
menyimpang lebih dari batas yang tertera, kecuali satu wadah yang boleh
menyimpang tidak lebih dari 2 kali batas yang tertera. Syarat dari FI III:
Bobot yang tertera pada etiket Batas penyimpangan ( % )
Tidak lebih dari 120 mg 10,0
Antara 120 mg dan 300 mg 7,5
300 mg atau lebih 5,0

5. Pemeriksaan keseragaman volume.


Untuk injeksi dalam bentuk cairan, volume isi netto tiap wadah harus
sedikit berlebih dari volume yang ditetapkan. Kelebihan volume yang
dianjurkan tertera dalam daftar berikut ini.
Volume pada etiket Volume tambahan yang dianjurkan
cairan encer cairan kental
0,5 ml 0,10 ml ( 20 % ) 0,12 ml ( 24 % )

1,0 ml 0,10 ml ( 10 % ) 0,15 ml ( 15 % )

2,1 ml 0,15 ml ( 7,5 % ) 0,25 ml ( 12,5 % )

5,0 ml 0,30 ml ( 6 % ) 0,50 ml ( 10 % )

10,0 ml 0,50 ml ( 5 % ) 0,70 ml ( 7 % )


 Syarat berikut hanya berlaku bagi injeksi berair :
1. Harus aman dipakai, tidak boleh menyebabkan iritasi jaringan atau
20,0 ml 0,60 ml ( 3 % ) 0,90 ml ( 4,5 % )
efek toksis. Pelarut dan bahan penolong harus dicoba pada hewan
dulu, untuk meyakinkan keamanan pemakaian bagi manusia.
30,0 ml 0,80 ml ( 2,6 % ) 1,20 ml ( 4 % )
2. Jika berupa larutan harus jernih, bebas dari partikel-partikel
padat, kecuali yang berbentuk suspensi.
50,0 ml atau lebih 2,00 ml ( 4 % ) 3,00 ml ( 6 % )
3. Sedapat mungkin lsohidris, yaitu mempunyai pH = 7,4, agar tidak
terasa sakit dan penyerapannya optimal.
4. Sedapat mungkin Isotonik, yaitu mempunyai tekanan osmose sama
dengan tekanan osmose darah / cairan tubuh, agar tidak terasa sakit
dan tidak menimbulkan haemolisa. Jika terpaksa dapat dibuat sedikit
hipertonis, tetapi jangan hipotonis.
5. Harus steril, yaitu bebas dari mikroba hidup, baik yang
patogen maupun yang apatogen, baik dalam bentuk vegetatif
maupun spora.
6. Bebas pirogen, untuk larutan injeksi yang mempunyai volume 10
ml atau lebih sekali penyuntikan.
7. Tidak boleh berwarna kecuali memang zat berkhasiatnya berwarna.
DAFTAR PUSTAKA

BPOM. 2015. Klopidogrel. Available at


http://pionas.pom.go.id/monografi/klopidogrel [Diakses pada tanggal 24
Mei 2017].

Dipiro, J., et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook. 9th Ed. Virginia: McGraw
Hill.
De Freitas GR, Christoph DDH, Bogousslavsky J. 2009. Handbook of Clinical
Neurology : Topographic classification of ischemic stroke. Cambridgeshire:
Cambridge University Press.

Dipiro, J.T., et.al. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach,


Seventh Edition. Mc-Graw Hill.

Gilroy, J., 2000. Basic Neurology 3rd ed. New York : McGraw-Hill.

Hacke W, Kaste M, Bogousslavsky J, Brainin M, Chamorro A, Lees K et al.


2003. Ischemic Stroke Prophylaxis and Treatment - European Stroke
Initiative Recommendations.
Jauch, Edward C. et al. 2016. Ischemic Stroke Treatment & Management.
Available at http://emedicine.medscape.com/article/1916852-treatment.

Junaidi, Iskandar. 2004. Panduan PraktisPencegahandanPengobatan Stroke.


Jakarta: PT. Bhuana.

Kanyal, N. 2015. The Science of Ischemic Stroke: Pathophysiology &


Pharmacological Treatment. Int J Pharm Research & Review. 4(10): 65-
84.
PERDOSSI. 2011. GUIDELINE STROKE 2011. Pekan Baru : Pokdi Stroke
Dokter Spesialis Saraf Indonesia.

Ramadany, Aulya Farra, Listyo Asist Pujarini, Anika Candrasari. 2013.


HUBUNGAN DIABETES MELITUS DENGAN KEJADIAN STROKE
ISKEMIK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2010.
Biomedika, Volume 5 Nomor 2.

Setyopranoto, Ismail. 2011. Stoke: Gejala dan Penataklaksanaan. CDK 185. Vol.
38 (4): 247-250.

Sylvia AP, Lorraine MW. 2006. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses


Penyakit. Jakarta: EGC.

Suryohudoyo.2007. Kapita selekta ilmu kedokteran molekular. Jakarta: CV.


Agung seto

Tatro, D.S. 2009. Drug Interaction Facts. California: Wolters Kluwer Health Inc.

Tugasworo.2010. Patogenesis Artherosclerosis. Semarang : BP UNDIP

Vrselja, Z., et al. 2014. Function of circle of Willis. Journal of Cerebral Blood
and Metabolism. 34: 578-584.

Wiwit, S. 2010. Stroke dan penanganannya. Yogyakarta: Katahari.

WHO. MONICA. Manual Version 1: 1. 1986.

Anda mungkin juga menyukai