Anda di halaman 1dari 2

Dwi Aulia Hanifah_19811033_Tutorial C_Summary Skenario 3

Learning Outcome (LO) : (1) mampu memahami proses seleksi obat di RS, (2) mampu memahami struktur dan
tugas TFT di RS, (3) mampu memahami proses penyusunan formularium di RS, (4) mampu memahami proses
perencanaan obat di RS, (5) Mampu memahami proses pengadaan di RS dan (6) mampu menentukan solusi
permasalahan di scenario.
Summary : Berdarkan Menkes RI, 2016 seleksi adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai ini berdasarkan : (1) formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan
terapi, (2) standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang telah ditetapkan, (3) pola
penyakit, (4) efektifitas dan keamanan, (5) pengobatan berbasis bukti, (6)mutu, (7)harga, (8) ketersediaan di
pasaran. Dalam pengorganisasian Rumah Sakit dibentuk Komite/Tim Farmasi dan Terapi yang merupakan
unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada pimpinan Rumah Sakit mengenai kebijakan penggunaan Obat
di Rumah Sakit yang anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah Sakit,
Apoteker Instalasi Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila diperlukan. K/TFT harus dapat membina
hubungan kerja dengan komite lain di dalam Rumah Sakit yang berhubungan/berkaitan dengan penggunaan Obat.
TFTdiketuai oleh seorang dokter atau seorang Apoteker, apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah
Apoteker, namun apabila diketuai oleh Apoteker, maka sekretarisnya adalah dokter. TFT harus mengadakan rapat
secara teratur, sedikitnya 2 bulan sekali dan untuk Rumah Sakit besar rapat diadakan sekali dalam satu bulan.
Tugas TFT : (1) mengembangkan kebijakan tentang penggunaan Obat di Rumah Sakit, (2) melakukan seleksi dan
evaluasi Obat yang akan masuk dalam formularium Rumah Sakit, (3) mengembangkan standar terapi, (4)
mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan Obat, (5) melakukan intervensi dalam meningkatkan
penggunaan Obat yang rasional, (6) mengkoordinir penatalaksanaan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, (7)
mengkoordinir penatalaksanaan medication error, (8) menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan
Obat di Rumah Sakit (Menkes RI, 2017).
Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada fornas (daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus
tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelaksanaan JKN (Menkes RI, 2017)). Formularium
Rumah Sakit merupakan daftar Obat yang disepakati staf medis, disusun oleh Komite/Tim Farmasi dan Terapi
yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit. Formularium RS harus tersedia untuk semua penulis Resep, pemberi
Obat, dan penyedia Obat di Rumah Sakit. Evaluasi terhadap Formularium Rumah Sakit rutin dilakukan revisi
sesuai kebijakan dan kebutuhan Rumah Sakit. Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit dikembangkan
berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan Obat agar dihasilkan Formularium Rumah Sakit
yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan pengobatan yang rasional. Kriteria pemilihan Obat untuk
masuk Formularium Rumah Sakit : (1) mengutamakan penggunaan Obat generik, (2) memiliki rasio manfaat-
risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan penderita, (3) mutu terjamin, termasuk stabilitas dan
bioavailabilitas, (4) praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan, (5) praktis dalam penggunaan dan penyerahan,
(6) menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien, (7) memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-
cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak lansung, (8) Obat lain yang terbukti paling efektif
secara ilmiah dan aman (evidence based medicines) yang paling dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga yang
terjangkau (Menkes RI, 2016). Evidence based medication (EBM) adalah suatu pendekatan medik yang
didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita. Penerapan EBM
memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah terkini yang dapat dipercaya
(Masic, Miokovic, & Muhamedagic, 2008). Terdapat 4 Indikator penggunaan obat yaitu (1) Indikator peresepan
(Jumlah rata-rata obat per pertemuan, persentase obat yang diresepkan dengan nama generic, persentase,
persentase pertemuan dengan injeksi ditulis, persentase obat yang diresepkan dari esensial dan daftar obat-obatan
atau formularium . (2) Indikator perawatan pasien : (Waktu konsultasi rata-rata, rata-rata waktu pengeluaran,
persentase obat yang benar-benar dikeluarkan, persentase obat-obatan yang berlabel memadai, pengetahuan
pasien tentang dosis yang benar). (3) Indikator fasilitas kesehatan : (Ketersediaan salinan daftar obat esensial atau
Formularium, ketersediaan obat-obatan utama). (3) Indikator penggunaan obat komplementer : (Persentase pasien
yang dirawat tanpa obat-obatan, biaya farmasi rata-rata per pertemuan, persentase biaya farmasi yang dihabiskan
untuk antibiotic, persentase biaya farmasi yang dihabiskan untuk injeksitions, resep sesuai dengan pedoman
pengobatan, persentase pasien puas dengan perawatan mereka diterima, persentase fasilitas perawatan
kesehatan dengan akses keinformasi farmasi yang tidak memihak (Management Science for Health, 2011).
Tahapan proses penyusunan Formularium Rumah Sakit : (1) membuat rekapitulasi usulan Obat dari
masing-masing (SMF) berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan medik, (2) mengelompokkan usulan
Obat berdasarkan kelas terapi, (3) membahas usulan tersebut dalam rapat Komite/Tim Farmasi dan Terapi, (4)
mengembalikan rancangan hasil pembahasan Komite/Tim Farmasi dan Terapi, dikembalikan ke masing-masing
SMF, (5) membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF,(6) menetapkan daftar Obat yang masuk ke dalam
Formularium Rumah Sakit, (7) menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi, (8) melakukan edukasi
mengenai Formularium Rumah Sakit kepada staf dan melakukan monitoring.
Agar tidak terjadi krisis kekosongan obat di rumah sakit maka memerlukan suatu perencanaan obat dengan
baik, dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi terdapat beberapa macam metode perencanaan,
yaitu : (1) metode morbiditas atau epidemiologi (berdasarkan jumlah penyakit yang ada atau yang sering muncul),
(2) metode konsumsi (berdasarkan pada kebutuhan obat pada periode sebelumnya), (3) metode gabungan (metode
epidemiologi dan metode konsumsi), (4) metode service level projection of budget requirement (berdasarkan rata-
rata biaya obat tiap kunjungan pasien yang berbeda). Penentuan skala prioritas dalam proses pengadaan obat
dapat dilakukan analisis ABC untuk koreksi terhadap aspek ekonomis (kategori A 75% - 80% biaya konsumsi, B :
60%-80% biaya konsumsi, C : 5%-10% biaya konsumsi) dan dianalisa dengan metode VEN (Vital, Esensial dan
Non Esensial) untuk koreksi terhadap aspek terapi, yaitu dengan menggolongkan obat kedalam tiga kategori
(Management Science For Health, 2012).
Pengadaan obat dirumah sakit dilakukan secara elektronik atau E-Procurement dengan E-Tendering atau E-
Purchasing. E-Purchasing obat merupakan tata cara pembelian barang sesudah sistem Katalog Elektronik (E-
Catalogue) terbangun. Dalam hal aplikasi E-Purchasing mengalami kendala operasional (offline) maka pembelian
dapat dilaksanakan secara manual sesuai dengan Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 1 Tahun 2013. Dengan telah
terbangunnya sistem Katalog Elektronik (E-Catalogue) obat, maka seluruh Satuan Kerja di bidang kesehatan baik
Pusat maupun Daerah dan FKTP atau FKRTL dalam pengadaan obat baik untuk program Jaminan Kesehatan
Nasional maupun program kesehatan lainnya tidak perlu melakukan proses pelelangan, namun dapat langsung
memanfaatkan sistem Katalog Elektronik (E-Catalogue) obat dengan prosedur E-Purchasing. Katalog Elektronik
(E-Catalogue) adalah sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis, dan harga barang
tertentu dari berbagai Penyedia Barang/Jasa Pemerintah (Kemenkes No 63, 2014).
Tahapan yang dilakukan dalam pengadaan obat melalui EPurchasing adalah sebagai berikut (Kemenkes
No 63, 2014) : (1) Pokja ULP/Pejabat Pengadaan membuat paket pembelian obat dalam aplikasi E-Purchasing
berdasarkan Daftar Pengadaan Obat diberikan oleh PPK dan dikelompokkan berdasarkan penyedia.( 2) Pokja
ULP/Pejabat Pengadaan selanjutnya mengirimkan permintaan pembelian obat kepada penyedia obat/Industri
Farmasi yang termasuk dalam kelompok paket pengadaan sesuai angka 1. (3) Penyedia obat/Industri Farmasi
yang telah menerima permintaan pembelian obat melalui E-Purchasing dari Pokja ULP/Pejabat Pengadaan
memberikan persetujuan atas permintaan pembelian obat dan menunjuk distributor/PBF. Apabila menyetujui,
penyedia obat/Industri Farmasi menyampaikan permintaan pembelian kepada distributor/PBF untuk ditindaklanjuti.
Apabila menolak, penyedia obat/Industri Farmasi harus menyampaikan alasan penolakan. (4) Persetujuan
penyedia obat/Industri Farmasi kemudian diteruskan oleh Pokja ULP/Pejabat Pengadaan kepada PPK untuk
ditindak lanjuti. Dalam hal permintaan pembelian obat mengalami penolakan dari penyedia obat/Industri Farmasi,
maka ULP melakukan metode pengadaan lainnya sesuai PerPr No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan PerPres No 70 Tahun 2012. (5) PPK
selanjutnya melakukan perjanjian/kontrak jual beli terhadap obat yang telah disetujui dengan distributor/PBF yang
ditunjuk oleh penyedia obat/Industri Farmasi. (6) Distributor/PBF kemudian melaksanakan penyediaan obat sesuai
dengan isi perjanjian/kontrak jual beli. (7) PPK selanjutnya mengirim perjanjian pembelian obat serta melengkapi
riwayat pembayaran dengan cara mengunggah (upload) pada aplikasi E-Purchasing. (8) PPK melaporkan item dan
jumlah obat yang ditolak atau tidak dipenuhi oleh penyedia obat/Industri Farmasi kepada Kepala Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) c.q Direktur Pengembangan Sistem Katalog, tembusan
kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan c.q Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan paling lambat 5 (lima) hari kerja.
Permasalahan dan solusi pada skenario 3 adalah untuk mencegah kekosongan yaitu dilakukan perencanaan
yang baik, ditentukan safety stok dari penggunaan obat periode sebelumnya, didapatkan Smin= 2XSS = 12000
(untuk periode selanjutnya dilakukan pemesanan kembali saat obat sejumlah 12000 vial), dan ketika persedian
sudah kosong dicarikan obat dengan efektivitas sama yang memenuhi kriteria seleksi obat).
Daftar Pustaka: 1. Management Science for Health, I. (2011). Investigating medicine use. Managing Drug Supply.
2. Management Science For Health, 2012. MDS-3: Managing Access to Medicines and Health Technologies,
Arlington, VA: Management Science For Health.
3. Masic, I., Miokovic, M., & Muhamedagic, B. (2008). Evidence Based Medicine - New Approaches and
Challenges. Acta Informatica Medica, 16(4), 219.
4. Menkes RI, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
5. Menkes RI, 2017. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/659/2017
Tentang Formularium Nasional.
6. Kemenkes RI No 63, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2014
Tentang Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik (E-Catalogue).

Anda mungkin juga menyukai