Anda di halaman 1dari 147

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tulisan ini mengkaji tentang strategi pedagang panglong antar etnis Jawa,

Tionghoa, dan Tamil yang berada di Kota Lubuk Pakam, Kabupaten Deli

Serdang. Penulis melihat bahwa pedagang panglong dalam berdagang dan dalam

melayani pembeli masih melihat rasa kesukuan atau suku bangsa dan dalam

pemberian harga pun beberapa masih melihat rasa kesukuan. Di Lubuk Pakam,

banyak yang bermata pencaharian sebagai pedagang, salah satunya adalah

pedagang panglong.

Pedagang panglong yang penulis maksudkan adalah, pedagang yang

menjual bahan-bahan bangunan untuk membangun rumah, membangun proyek

pembangunan, proyek pembangunan jalan, dsb. Pedagang panglong yang

berjualan di Lubuk Pakam di antara ketiga kategori antar suku bangsa ini, adalah

pedagang panglong yang mempunyai usaha yang cukup lumayan besar, bukan

toko, melainkan Usaha Dagang yang menjual segala perlengkapan untuk

membangun rumah.

Banyaknya pedagang panglong yang berjualan di Lubuk Pakam, maka

akan meningkatkan persaingan antar pedagang yang begitu ketat. Para pedagang

harus memikirkan strategi dan konsep beserta ide-ide baru setiap harinya untuk

menarik pelanggan dan untuk mempertahankan pelanggannya masing-masing.

Berdagang adalah salah satu usaha yang menjadi andalan dan jalan keluar untuk

1
menghasilkan uang. Dengan berdagang, maka akan menciptakan dan memperoleh

keuntungan disamping dari pekerja kantoran dan menjadi pegawai.

Jumlah penduduk di Indonesia menurut data BPS pada tahun 2018

mencapai 265 juta penduduk, dapat dimaklumi bahwa untuk memasuki dan

memperoleh pekerjaan menjadi pegawai negeri dan menjadi pegawai swasta

menjadi terbatas dan untuk kemungkinan diterima memiliki peluang yang sangat

kecil. Salah satu untuk mengatasinya adalah dengan berusaha atau dengan

berdagang, beberapa masyarakat ada yang tidak berkeinginan untuk menjadi

pegawai dan untuk bekerja di kantoran, darijauh-jauh hari sudah memikirkan

untuk membuka usaha atau dengan berwirausaha.

Dikalangan mahasiswa ada yang menganggap bahwa bekerja di kantoran

menjadi pegawai merupakan selingan, dan tak jarang pula bagi mahasiswa yang

bekerja dikantoran berfikir untuk mengumpulkan modal untuk membuka dan

menciptakan suatu usaha. Sebagian masyarakat, ingin berdagang dan berusaha

untuk sekadar kebutuhan hidup tanpa perlu mengembangkannya, sebagian juga

bagi mahasiswa ada yang sekaligus berfikir dari jauh hari jika diterima di kantor

X maka akan mengumpulkan modal untuk berdagang dan berwirausaha, ada

sebagian juga masyarakat yang sudah bekerja di kantoran mengenyampingkannya

dan ia juga berwirausaha.

Dengan berdagang atau berusaha akan memperoleh banyak manfaat. Salah

satu manfaat yang diperoleh adalah tidak hanya memperoleh pendapatan atau

keuntungan untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk memberikan peluang bagi

2
para pencari kerja yang membutuhkan pekerjaan dengan menjadikan mereka

sebagai karyawannya.

Dengan berdagang bukan hanya berbicara tentang seseorang yang

memulai awal berdagang, berbicara tentang keuntungan atau pendapatan untuk

dirinya, atau berbicara tentang membuka kesempatan kerja bagi orang yang ingin

menjadi karyawannya, tetapi berdagang juga berbicara tentang bagaimana setiap

orang mampu berperan dan bermanfaat sesuai dengan jati dirinya.

Rasio wirausaha di Indonesia mengalami kenaikan yang sebelumnya

hanya 1,67% kini menjadi 3,1%. Menteri Koperasi dan UKM Puspayoga

mengatakan, Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) adalah gerakan yang

tumbuh dari bawah sehingga memiliki fondasi yang kuat untuk berkembang.Hal

itu yang antara lain, membuat rasio wirausaha Indonesia yang pada 2013/2014

lalu masih 1,67% kini, berdasarkan data BPS sudah naik menjadi 3,1%,”

(Puspayoga dalam acara Gerakan Kewirausahaan Nasional 2017 di Graha Widya

Wisuda IPB, Bogor, Sabtu, 11 Maret 2017).

Seorang pedagang sudah pasti mempunyai tujuan untuk mengembangkan

usaha yang didirikannya.Mereka pasti mempunyai cara-cara dan langkah-langkah

serta strategi-strategi yang khusus yang mereka miliki agar usaha mereka dapat

berkembang dan dapat menambah laba serta dapat mengembangkan usaha

mereka.Langkah-langkah yang mempunyai strategi khusus inilah yang disebut

dengan perilaku pedagang atau perilaku seorang pengusaha.

Perilaku pedagang merupakan penerapan dari sikap yang dimiliki seorang

pedagang dalam melakukan suatu yang berguna bagi usaha yang didirikannya.

3
Perilaku pedagang yang dimiliki terbentuk karena adanya interaksi antara orang

tersebut dengan lingkungannya, sebelum memulai atau mendirikan sebuah usaha

atau dagangnya, seorang pedagang harus mendapatkan suatu ide untuk

menciptakan suatu usaha yang cocok dengan lingkungannya. Perilaku yang

muncul juga dikarenakan interaksi dari seorang pedagang akan tercipta suatu

strategi yang digunakan agar usaha yang diciptakan dapat maju dan berkembang.

Dengan menciptakan ide dan strategi dengan baik dan sangat baik, maka usaha

tadi dapat memulai persaingan dengan baik dan dapat mencapai tujuan yang

diharapkan.

Bersikap kerja keras, dan optimis harus dimiliki oleh seorang pedagang

agar dagang tersebut bisa berkembang dan maju. Perilaku seorang pedagang yang

muncul, sebagai implementasi terhadap sikap yang dimiliki untuk memikirkan

sebuah usaha dan mengembangkannya, maka dapat dikatakan bahwa perilaku

yang dimiliki oleh seorang pedagang akan menjadi kunci kesuksesan usaha yang

didirikannya. Perilaku pedagang yang dimiliki oleh seseorang itu berbeda-beda,

hal ini dikarenakan seseorang itu memiliki perilaku dan karakter yang berbeda-

beda.Salah satu perbedaan perilaku tersebut dilihat dari karakteristik sisi segi etnis

atau dilihat dari suku bangsa.

Dikota Lubuk Pakam, tempat penelitian penulis ada hal yang menarik

yakni adanya strategi dan persaingan yang terjadi antar pedagang Panglong antar

etnis Tionghoa, Jawa, dan Tamil. Ke-3 etnis ini bersaing dengan cara dan strategi

masing-masing agar pembeli dan pelanggan datang ke salah satu panglong

tersebut. Etnis Tionghoa, Jawa dan Tamil memiliki ciri, pandangan hidup,

4
karakter serta filosofi yang berbeda-beda. Sehingga keanekaragaman suku bangsa

pun sangat terlihat dalam menjalankan usaha dagang mereka masing-masing.

Panglong menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perusahaan

penebangan kayu yang diusahakan oleh orang-orang Tionghoa, kilang kayu,

tempat penggergajian kayu. Sementara menurut penulis, panglong bukanlah

perusahaan penebangan kayu yang hanya diusahakan oleh orang Tionghoa saja,

tetapi panglong adalah usaha bahan-bangunan atau bahan material untuk menjual

segala kebutuhan untuk membangun rumah, merehap rumah, dan untuk

membangun proyek dijalan tentunya membutuhkan perlengkapan bangunan di

toko bahan-bangunan seperti panglong.

Panglong bukan usaha yang dilakukan oleh etnis Tionghoa saja, tetapi

usaha yang dilakukan oleh etnis Jawa dan etnis Tamil. Panglong yang penulis

maksudkan berada di kota Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang. Terdapat

beberapa usaha bahan-bangunan yang lengkap yang dijalankan oleh etnis Jawa,

Tionghoa, dan Tamil. Panglong juga bukan hanya usaha untuk penggergajian

kayu, penebangan kayu, dsb. Panglong yang penulis maksudkan disini, adalah

panglong yang menjual segala jenis bahan-bangunan mulai dari semen, pasir,

batubata, batu koral, batu kerikil, seng, kayu, dan lain-lain untuk membangun

perlengkapan rumah hingga berdiri atau hingga jadi. Dikota Lubuk Pakam,

sebutan panglong atau penjual bahan-bangunan adalah pedagang yang menjual

segala jenis dan macam barang-barang untuk membangun rumah atau bangunan.

5
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Galuh Adisti yang terkait dengan

etnis atau suku bangsa dalam bukunya yang berjudul “Sikap Locus Of Control

Pedagang Usaha Kecil dan Menengah Etnis Cina dan Jawa” menyatakan bahwa:

“Pedagang dari Etnis Tionghoa cenderung lebih suka bekerja keras,


berani berspekulasi, penuh inisiatif, dan materialistik.Pedagang
etnis Tionghoa lebih sukses, hal ini karena perilaku bisnis mereka
telah terbentuk atas kebiasaan berabad-abad.Kenyataan ini
menyebabkan masyarakat etnis Tionghoa menciptakan manajemen
yang khas dimanapun mereka tinggal.Mereka memiliki sifat yang
unik dan khas, yaitu dapat merubah diri bila harus merubah diri
dimanapun mereka tinggal.Etnis Tionghoa dalam berdagang lebih
bervariatif dan lebih berani dalam mengambil resiko.”
“Sementara, etnis Jawa dalam berdagang untuk tidak terlalu tamak
yang terpenting mereka mendapatkan dari hasil penjualan. Pedagang
etnis Jawa lebih memiliki sifat sosial yang tinggi, artinya masyarakat
etnis Jawa lebih menyukai berhubungan sosial yang baik dengan
orang lain.”1
Karena pada dasarnya, masyarakat etnis Jawa dididik dan diberi pendidikan

bukan untuk berdiri sendiri, namun berdiri sebagai makhluk sosial yang

membutuhkan orang lain. Masyarakat etnis Jawa tidak terlalu keras dalam

mengembangkan usaha yang mereka miliki, mereka lebih bersifat pasif, artinya

mereka lebih memilih merelakan dan lebih memilih apa yang mereka terima.

Menurut Florence (2012), dari segi ekonomi mayoritas orang-orang Tamil

bermata pencaharian sebagai pedagang. Orang Tamil umumnya berjualan

makanan seperti martabak, burger, mie goreng, sate, nasigoreng, mie balap, bubur

1
Galuh Adisti. Sikap Locus Of Control Pedagang Usaha Kecil dan Menengah Etnis Cina dan
Jawa (Semarang:Perpustakaan UNIKA 2007)

6
candil dan lain-lain.Tidak jarang juga orang-orang Tamil bermata pencaharian

dari hasil Salon, Laundry dan ada juga yang hanya sebagai tukang parkir.2

Falsafah hidup orang Tamil berbunyi “Yathum Ure, Yawerum Kellir“ yang

artinya bahwa mereka harus menjaga budaya dan tingkah laku dalam

bermasyarakat dimanapun mereka berada. Solidaritas kelompok diantara orang

Tamil masih kuat yakni berupa sistem tolong menolong atau yang disebut dengan

“Uthewi Sheitel”. Menurut Hariz Enggar (2007) yang berjudul ‘Perbedaan

Kecerdasan Adversity antara Etnis Tionghoa dan Etnis Jawa’ menyatakan bahwa

wirausaha etnis Tionghoa memiliki sifat ulet dalam usahanya, dan lebih

kompetitif.

Penelitian yang penulis lakukan dan yang penulis amati selama berada

dilapangan berbeda dengan penelitian Florence dan Hariz Enggar dimana penulis

melihat bahwa etnis Tamil nyatanya memiliki kesuksesan di kota Lubuk Pakam

dan mempunyai rumah serta usaha bahan bangunan atau usaha dagang panglong

yang lumayan besar dan maju. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Florence

(2008) yang menyatakan bahwa pada umumnya suku Tamil berjualan makanan,

seperti martabak, mie goreng, sate, dsb, tetapi penulis lihat dan amati bahwa etnis

Tamil yang berada di kota Lubuk Pakam memiliki mata pencaharian berprofesi

2
Susi Mariani Harahap dan Rika Eliana. Perbedaan Motivasi Berprestasi pada Tamil dan India
Punjabi di Kota Medan.Medan, Vol 1 No 2, diakses dari https://jurnal.usu.ac.id

7
sebagai pedagang panglong yang lumayan besar dari yang penulis amati selama

penulis berada dilapangan.3

Sementara, etnis Tionghoa mempunyai usaha yang besar dan sangat

mengusahakan sebuah prestasi serta mempunyai tingkat aspirasi yang lebih tinggi

dibandingkan dengan etnis Jawa. Latar belakang etnis Tionghoa dan etnis Jawa

memang berbeda, perbedaan tersebut terletak pada kepercayaan individu yang

secara aktual akan membentuk sekumpulan aturan-aturan. Perbedaan inilah yang

akan mepengaruhi dalam berusaha atau berdagang.

Keuletan masyarakat etnis Tionghoa didorong oleh faktor keyakinan yang

ditanamkan oleh leluhurnya.Etnis Tionghoa diajarkan bahwa tiap-tiap individu

harus mengembangkan kecakapan dan ketrampilan semaksimal mungkin sesuai

dengan status sosialnya. Etnis Tionghoa semenjak dulu sudah diberi keyakinan

bahwa mereka adalah pusat pemerintahan dunia, maka dimanapun mereka berada

tingkat kehidupan mereka harus lebih tingggi dari masyarakat pribumi. Maka dari

itu, pedagang etnis Tionghoa lebih bekerja keras, tekun, sabar, serta hemat supaya

tingkat kehidupan mereka lebih menonjol. Selain itu, etnis Tionghoa dikenal

memiliki keuletan yang tinggi dalam berusaha. Mereka juga memiliki usaha yang

besar dan sangat mengusahakan prestasi serta memiliki aspirasi yang tinggi

dibandingkan etnis Pribumi. EtnisTionghoa cenderung lebih suka bekerja keras,

penuh inisiatif, dan materialistik sehingga hal ini cenderung membuat mereka

bersikap optimis dalam berdagang.

3
Susi Mariani Harahap dan Rika Eliana. Perbedaan Motivasi Berprestasi pada Tamil dan India
Punjabi di Kota Medan.Medan, Vol 1 No 2, diakses dari https://jurnal.usu.ac.id, 15 Januari 2019
hlm 5

8
Sementara masyarakat etnis Jawa lebih terlalu santai dalam melakukan

pekerjaan. Mental etnis Jawa dalam melakukan suatu usaha cepat merasa puas,

sikap terlalu pesimis dalam mengambil resiko, serta mengambil keuntungan

jangka pendek. Mental yang ada pada diri etnis Jawa menyebabkan etnis Jawa

lebih meletakkan pentingnya hubungan dengan orang lain sehinggamenyebabkan

etnisJawa lebih bergantung pada koneksi daripada percaya terhadap diri mereka

sendiri. Masyarakat etnis Jawa lebih cenderung apa adanya dan lebih santai dalam

menjalankan usahanya. Masyarakat etnis Jawa memiliki konsep budi pekerti alon

alon asal kelakon yang maknanya dalam bekerja hendaknya pelan-pelan saja yang

terpenting terlaksana. Dalam melakukan usaha tidak perlu terlalu ngaya atau

terlalu berambisi, tidak perlu terlalu terburu-buru dalam berusaha atau bekerja,

dan pada akhirnya ini yang membawa masyarakat etnis Jawa lebih mudah

menerima.

Dipanglong dikota Lubuk Pakam, sangat terlihat persaingan secara

etnisitas. Di mana masyarakat yang memerlukan bahan bangunan dan yang

membeli bahan bangunan lebih cenderung memilih membeli dipanglong etnis

Jawa daripada etnis Tamil dan etnis Tionghoa. Pembeli cenderung berprinsip

“lebih baik memberi makan orang kita daripada orang luar”. Maka tak heran,

persaingan antar ketiga panglong ini sangat terlihat jelas. Dari segi harga

misalnya, sangat terlihat jelas berbeda walaupun perbedaan itu hanya berkisar

ribuan. Masyarakat sangat masih melihat rasa kesukuan. Jika etnis Jawa menjual

dengan harga sedikit berbeda dari panglong lain, sedikit lebih mahal maksudnya,

9
maka masyarakat berprinsip lagi “jika mahal dibangsa kita sendiri, tidak apa-apa,

yang penting kita membeli dipanglong bangsa sendiri”.

Dinamika persaingan antar ketiga panglong ini sangat terlihat jelas dari

masyarakat yang saling memengaruhi satu sama lain. Jika ada temannya yang

hendak membangun rumah, maka teman yang satu lagi pasti akan memberi tahu

lebih baik berbelanja dipanglong etnis Jawa saja, daripada etnis Tionghoa atau

etnis Tamil. Dari pengaruh teman yang memberi tahu tadi kepada teman yang

lain, maka terjadilah pergerakan untuk berbelanja kepanglong etnis Jawa daripada

kepanglong etnis Tionghoa dan etnis Tamil. Dinamika terjadi karena adanya

pengaruh atau gesekan dari orang-orang yang berada disekitar, jika orang sekitar

memengaruhi, maka akan timbullah pergerakan untuk melaksanakan dari yang

dibilang oleh teman sekitarnya tersebut.

Dinamika atau pergerakan yang membuat penulis tertarik melakukan

penelitian tentang strategi pedagang panglong anatar etnis Tionghoa, Jawa, dan

Tamil yang penulis lihat yakni, masih adanya sifat dasar saling pengaruh dan

mempengaruhi. Padahal kalau penulis lihat, apa manfaat dari sang konsumen yang

awalnya sudah berbelanja ke panglong etnis Jawa dan memberi tahu kepada

tetangganya untuk berbelanja ke panglong etnis Jawa. Dengan adanya ajakan

tersebut, beberapa masyarakat menganggap bahwa merasa ada maksud dibalik

adanya ajakan untuk berbelanja ke etnis Jawa. Apa maksud dan tujuan kenapa

tetangga saya mengajak saya. Pasti ada sesuatu dibalik ajakan tadi, dan timbullah

perspektif negatif.

10
Mungkin ia mendapatkan hadiah dari etnis Jawa atau ia relasi etnis Jawa

atau hal yang lain. Lalu, tetangga nya berbelanja ke panglong etnis Tionghoa, lalu

pak Agus menyatakan :

“Saya disuruh tetangga saya untuk berbelanja ke suku Jawa,


tetapi saya tidak mau. Saya mengiyakan didepan beliau, tetapi
nyatanya saya tidak berbelanja ke sana, melainkan berbelanja ke
sini (Tionghoa).”

Nah, dengan adanya pertanyaan seperti di atas, maka ada yang memperoleh

hal negatif dan ada juga yang memperoleh hal yang positif. Ada yang

mendapatkan keuntungan, dan ada juga yang mendapatkan kerugian dari

pernyataan tersebut.

Dan yang menarik, para pedagang mempunyai strategi untuk

mempertahankan si konsumen agar tidak berbelanja ke panglong yang lain. Dan

strateginya adalah, ada yang memberikan sebuah hadiah, berupa baju, parsel

(bingkisan), sirup dan minuman, ada juga berupa uang fee atau sebagai ucapan

terimakasih telah berbelanja kepanglong dan ucapan terimakasih untuk

menunjukkan agar berbelanja ke panglong kepunyaan mereka. Strategi setiap

pedagang panglong masih diberlakukan dan masih diterapkan, agar pembeli dan

pelanggan merasa senang dan merasa dihargai telah berbelanja kepanglong milik

mereka. Strategi antar ke tiga pedagang panglong ini memiliki sedikit persamaan,

dan ada juga perbedaannya. Persamaan muncul pada saat memberikan hadiah

disaat ia sudah berbelanja banyak, dan sudah membawa orang untuk berbelanja

dan datang kepanglong milik mereka. Perbedaan diletakkan pada tata cara

pelayanannya, kualitas pelayanannya, tata cara bersikap nya, sifat dan kejujuran,

tata cara dalam kualitas dan kuantitas produk, dari segi harga, dan sebagainya.

11
Adapun terdapat beberapa faktor eksternal yaitu kurs nilai tukar, inflasi

dan daya beli disini penulis mengabaikan faktor eksternal. Penulis hanya

menyatakan faktor internal dari pengusaha panglong ini yaitu budaya. Begitu juga

dengan pelanggan yang terdapat faktor internal yaitu budaya.

1.2. Tinjauan Pustaka

1.2.1. Definisi Strategi

Strategi perusahaan akan menentukan keberhasilan dan hidup matinya

perusahaan tersebut. Strategi menempatkan parameter-parameter sebuah

organisasi dalam pengertian menentukan tempat bisnis dan cara bisnis untuk

bersaing. Strategi menunjukkan arahan umum yang hendak ditempuh oleh suatu

organisasi (perusahaan) untuk mencapai tujuannya. Strategi ini merupakan

rencana besar dan rencana penting.Setiap organisasi yang dikelola secara baik

memiliki strategi, walaupun dinyatakan secara eksplisit.

Menurut Uswatun Zambroni, strategi adalah penetapan sasaran dan tujuan

jangka panjang sebuah perusahaan, dan arah tindakan serta alokasi sumber daya

yang dierlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan itu. 4 M.Ridwan : Strategi

adalah kebijakan dan keputusan kunci yang digunakan oleh manajemen yang

memiliki dampak besar pada kinerja keuangan. Kebijakan dan keputusan ini

biasanya melibatkan komitmen sumber daya yang penting dan tidak dapat diganti

dengan mudah.

4
Manajement Strategi.
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/RS1_2016_1_1329_Bab2.pdf (diakses 15 januari
2019)

12
Strategi merupakan suatu proses pengevaluasian kekuatan dan kelemahan

perusahaan dibandingkan dengan peluang dan ancaman yang ada dalam

lingkungan yang dihadapi dan memutuskan strategi pasar produk yang

menyesuaikan kemampuan perusahaan dengan peluang lingkungan.

Strategi yang ada diketiga panglong antar-etnis ini dilihat dalam memberi

pelayanan dan dilihat dari harga barang. Jika panglong etnis Jawa menjual dengan

harga yang mahal, maka kualitas belum tentu diragukan, karena sebagai calon

pembeli dan akan menjadi pelanggan tetap, etnis Jawa memberi strategi yakni

dengan memberitahu kualitas barang grade A misalnya sampai grade C. Lain

halnya dengan etnis Tionghoa, yang mana etnis Tionghoa cenderung berani

memberi harga yang murah dari panglong etnis Jawa dan Tamil, tetapi kualitas

barang masih diragukan. Karena, etnis Tionghoa lebih berani mengambil resiko,

dan lebih pandai dalam bermanis mulut, merayu calon pembeli sehingga transaksi

tadipun cenderung berhasil.

Sementara strategi etnis Tamil dalam berdagang dengan harga yang mahal,

dan tidak bisa ditawar terlalu jauh. Cenderung cuek dan memberi harga yang

awalnya mahal, ketika ditawar ia hanya memberi pengurangan sedikit saja yang

tidak terlalu jauh dengan harga pedagang panglong etnis lainnya, maksudnya

dipanglong etnis Tionghoa misalnya dengan harga Rp.50.000, ketika dipanglong

etnis Tamil dengan harga Rp.51.000 dinaikkan harganya dulu dari pasaran, ketika

diturunkan harganya tidak jauh beda dari harga pasaran lainnya yang belum

ditawar.

13
1.2.2 Definisi Panglong

Kata Panglong berasal dari bahasa Tionghoa pan, artinya papan, dan long,

ruangan pembuatan papan, yaitu penggergajian kayu. Mengingat sifat kegiatan

pengusahaannya, kata yang lazim digunakan orang Tionghoa untuk mengatakan

kegiatan-kegiatan tersebut adalah sin bok chong untuk penebangan kayu bahan

balok, dan cai chong untuk penebangan kayu bakar di hutan bakau.

Sementara menurut KBBI, panglong adalah perusahaan penebangan kayu

yang diusahakan oleh orang-orang Tionghoa, kilang kayu, tempat penggergajian

kayu. Sementara panglong bukan hanya orang Tionghoa saja yang berjualan.

Panglong adalah tempat usaha yang menyediakan segala jenis-jenis bahan

bangunan, mulai dari pasir, batubata, semen, batu koral (mangga), batu kerikil,

besi, kayu, papan, asbes, paku, pintu, jendela, pipa, talang, besi pengikat (cincin),

seng baik seng genteng, seng asbes, seng fiber, talang, lat asbes, triplex, dan

barang kecil lainnya.

Toko Panglong (bahan bangunan) menjual segala perlengkapan untuk

membangun rumah, merehap rumah, dan memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil

pada bagian-bagian rumah seperti seng nya saja yang bocor, atau cat nya saja

yang sudah pudar warnanya dan ingin diganti, dan sebagainya.Dari definisi KBBI

sudah jelas berbeda, bahwa menurut penulis toko bahan bangunan (panglong)

bukan perusahaan penebangan kayu saja, tapi penjualan yang menjual segala

bahan bangunan untuk membangun suatu bangunan, baik bangunan rumah,

sekolah, dan sebagainya.

14
Toko Panglong buka dari jam 08.00 WIB sampai jam 17.00 WIB. Orang

yang berbelanja ke toko Panglong adalah orang dari kalangan mana saja, baik

yang muda maupun yang tua. Orang yang datang kepanglong bukan untuk

membeli barang bangunan saja, ada juga yang hendak berkunjung

(bersilaturahmi), ada juga yang hendak memulangkan barang, dan ada juga yang

hendak meminta uang nya karena merasa lama diantar barang pesanannya dan ia

merasa tertipu atau dibohongi.

Orang yang berdagang di Panglong rata-rata hampir semua laki-laki.

Seperti penetelitiandi ketiga panglong yang terletak di kota Lubuk Pakam,

pemiliknya adalah laki-laki semua. Usaha bahan bangunan ini takkan bisa mati

seperti usaha lainnya, karena pembangunan di era modern saat ini sangat

berkembang pesat.

Adapun pergantian hanya dibagian tertentu misalnya, dulu orang memakai

ring seng atau tempat pengganjalan seng dengan menggunakan kayu, namun

dengan berkembangnya dan kemajuan zaman dan teknologi serta pola fikir dan

ide manusia, maka kayu untuk seng tadi diganti dengan baja ringan atau

aluminium besi pengganti kayu. Tujuannya diganti adalah, untuk menghemat

kayu dan agar tidak terjadinya penebangan pohon lagi secara liar. Sehingga,

membuat hutan tetap terjaga dan tidak adalagi oknum-oknum tertentu yang

memanfaatkan kesempatan untuk menebang kayu.

Karena adanya pengalihan dan pergantian dari kayu ke besi aluminium,

membuat panglong tidak merasa rugi, mereka tetap berjualan kayu dan berjualan

baja ringan (besi aluminium). Jadi, pembeli yang hendak membeli kayu, mereka

15
menyediakan, tetapi mereka yang hendak membeli baja ringan (besi aluminium),

mereka juga menyediakan.

Fasilitas-fasilitas dalam penjualan bahan-bangunan mereka juga berusaha

untuk mengikuti dengan perkembangan zaman modern saat ini. Walaupun kota

Lubuk Pakam jauh dari kota Medan atau pusat Grosir besar di Medan, tetapi para

pedagang panglong tidak pendek akal. Mereka bisa memberi tahu kepada

pembeli, jika hendak memesan barang yang ada dikota Medan atau di Grosir

besar di Medan, maka di beritahu jauh-jauh hari. Agar pembeli tidak merasa

dirugikan, karena ketika tukang sedang bekerja dan tiba-tiba jam kerja tukang

berhenti karena kekurangan barang, maka pemilik rumah akan merasa dirugikan.

Agar panglong dapat maju dan dapat berkembang dengan terus

berjalannya waktu, maka sang pemilik akan berusaha untuk melengkapi

kelengkapan barang sesuai dengan jangkauan dan kesanggupan sang pemilik, agar

konsumen dan pelanggan tidak merasa kecewa jika berkeinginan untuk membeli

suatu barang dan suatu hiasan untuk membangun rumahnya. Karena terkadang

permintaan konsumen memiliki perbedaan dengan konsumen yang lain.

1.2.3. Definisi Pedagang dan Bisnis

Menurut Pemkot Yogyakarta (2009) Pedagang adalah orang atau badan

yang melakukan aktivitas jual beli barang atau jasa dipasar. Dalam konteks usaha

mikro, pedagang Mikro adalah suatu bentuk kegiatan ekonomi yang berskala kecil

yang banyak dilakukan oleh sebagian masyarakat lapisan bawah dengan sektor

informal atau perekonomian subsisten, dengan ciri-ciri tidak memperoleh

16
pendidikan formal yang tinggi, keterampilan rendah, pelanggannya banyak

berasal dari kelas bawah, sebagian pekerja adalah keluarga dan dikerjakan secara

padat karya serta penjualan eceran, dengan modal pinjaman dari bank formal

kurang dari Rp. 25.000.000 guna modal usahanya (Deperindag, dan Abdullah et,

et. al: 1996).

Di dalam aktivitas perdagangan, pedagang adalah orang atau instusi yang

memperjualbelikan produk atau barang, kepada konsumen baik secara langsung

maupun tidaklangsung. Dalam ekonomi, pedagang dibedakan menurut jalur

distribusi yang dilakukan dapat dibedakan menjadi: pedagang distributor

(tunggal), pedagang partai besar, dan pedagang eceran.

Sedangkan 10 menurut pendangan antropologi ekonomi menurut Drs.

Damsar, MA membedakan pedagang berdasarkan penggunaan dan pengelolaan

pendapatan yang dihasilkan dari perdagangan dan hubungannya dengan ekonomi

keluarga.

Berdasarkan penggunaan dan pengelolaan pendapatan yang diperoleh dari

hasil perdagangan, pedagang dapat dikelompokan menjadi :

a. Pedagang Profesonal yaitu pedagang yang menggunakan aktivitas

perdagangan merupakan pendapatan/sumber dana satu-satunya bagi ekonomi

keluarga.

b. Pedagang Semi-profesonal yaitu pedagang yang mengakui aktivitas

perdagangan untuk memperoleh uang tetapi pendapatan dari hasil perdagangan

merupakan sumber tambahan bagi ekonomi keluarga.

17
c. Pedagang Subsitensi yaitu pedagang yang menjual produk atau barang

dari hasil aktivitas atas subsitensi untuk memenuhi ekonomi keluarga. Pada

daerah pertanian, pedagang ini adalah seorang petani yang menjual produk

pertanian ke pasar desa atau kecamatan.

d. Pedagang Semu adalah orang yang melakukan kegiatan perdagangan

karena hobi atau untuk mendapatkan suasana baru atau untuk mengisi waktu

luang. Pedagang jenis ini tidak di harapkan kegiatan perdagangan sebagi sarana

untuk memperoleh pendapatan, malahan mungkin saja sebaliknya ia akan

memperoleh kerugian dalam berdagang.

Sedangkan Bisnis ialah, Steinford (1979) “Business is all those activities

involved in providing the goods and services needed or desired by people”.

Artinya bisnis ialah suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa yang

dibutuhkan oleh masyarakat. Apabila kebutuhan masyarakat meningkat, maka

lembaga bisnis pun akan meningkat pula perkembangannya untuk memenuhi

kebutuhan tersebut, sambil memperoleh laba.

Griffin dan ebert (1996) “Business is an organization that provides goos

or services in order to earn provit.” Dalam pengertian ini bisnis sebagai aktifitas

yang menyediakan barang atau jasa yang diperlukan atau diinginkan oleh

konsumen. Dapat dilakukan oleh organisasi perusahaan yang memilki badan

hukum, perusahaan yang memiliki badan usaha, maupun perorangan yang tidak

memilki badan hukum maupun badan usaha seperti pedagang kaki lima, warung

yang tidak memiliki Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dan Surat Izin Tempat

Usaha (SIUP) serta usaha informal lainnya.

18
Pedagang panglong adalah termasuk kedalam pedagang profesional, yaitu

pedagang yang menggunakan aktivitas perdagangan merupakan sumber

pendapatan/sumber dana satu-satunya bagi ekonomi keluarga. Oleh karena itu,

pedagang panglong di Lubuk Pakam sangat menjaga usaha dagangnya agar tidak

jatuh dan bangkrut, karena pedagang panglong atau usaha bahan bangunan adalah

satu-satunya mata pencaharian dan sumber kehidupan bagi mereka.

Pedagang panglong tentunya dan sudah pasti memiliki SIUP (Surat Izin

Tempat Usaha). Jika pedagang panglong belum memiliki surat SIUP, pasti akan

terkena hukum oleh pihak yang berwajib karena tidak memenuhi salah satu unsur

untuk berdagang atau berusaha.

1.2.4. Suku Bangsa / Etnis

Sukubangsa adalah golongan sosial yang khusus, yang askriptif, yang

sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Sukubangsa sebagai

golongan sosial yang askriptif serta mempunyai corak yang mendasar dan umum

berkenaan dengan asal muasal (Barth, 1969 :12-38), yang digunakan untuk acuan

jatidiri atau kesukubangsaan mempunyai muatan keyakinan dan kehormatan.

Keyakinan dan kehormatan yang ada dalam muatan konsep sukubangsa ini

dimantapkan melalui tradisi-tradisi yang ada dalam pranata-pranata sosialnya, dan

dipertajam atau diperkuat melalui dan dalam hubungan antar sukubangsa yang

terwujud, dimana perbedaan antara kami dan mereka menjadi lebih dipertegas

(Suparlan, 1995).

19
Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang berwujud

sebagai komunitas desa, atau kota, atau sebagai kelompok adat yang lain, bisa

menampilkan suatu corak yang khas. Hal itu terlihat oleh orang luar yang bukan

warga masyarakat bersangkutan. Seorang warga dari suatu kebudayaan yang telah

hidup dari hari ke hari di dalam lingkungan kebudayaannya biasanya tidak

melihat corak khas itu. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat

melihat corak khasnya, terutama mengenai unsur-unsur yang berbeda menyolok

dengan kebudayaan sendiri.

Corak khas suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu

menghasilkan suatu unsur kecil, berupa unsur kebudayaan fisik dengan bentuk

khusus. Atau karena di antara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial yang

khusus, atau dapat juga karena warganya menganut suatu tema budaya yang

khusus.Sebaliknya, corak khas tadi juga dapat disebabkan karenaadanya kompleks

unsur-unsur yang lebih besar. Berdasarkan atas corak khususnya tadi, suatu

kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan lain.Istilah etnografi untuk suatu

kebudayaan khas adalah ‘suku bangsa’.Konsep yang tercakup dalam istilah ‘suku

bangsa’ adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh suatu kesadaran dan

identitas.

Suku bangsa sering juga disebut etnik, menurut Koentjaraningrat, suku

bangsa berarti sekelompok manusia yang memiliki kesatuan budaya dan terikat

oleh kesadaran dan identitas tersebut. Kesadaran dan identitas biasanya dikuatkan

oleh kesatuan bahasa. Jadi, sukubangsa merupakan gabungan sosial

20
yang dibedakan dari golongan-golongan sosial karena mempunyai ciri-ciri paling

mendasar dan umum berkaitan dengan asal usul dan tempat asal serta kebudayaan.

Ciri-ciri suku bangsa adalah memiliki kesamaan kebudayaan, bahasa, adat

istiadat, dan kesamaan nenek moyang. Ciri-ciri mendasar yang membedakan suku

bangsa satu dengan lainnya, antara lain bahasa daerah, adat istiadat, sistem

kekerabatan, kesenian daerah, dan tempat asal.

Etnis Jawa termasuk kedalam suku bangsa, begitu juga dengan etnis

Tionghoa, dan etnis Tamil. Perbedaan dan karakteristik terlihat jelas dari

kebudayaan, bahasa, serta adat-istiadatnya. Contohnya, etnis Jawa dalam

berdagang masih menyukai sifat sosial yang tinggi, yakni masyarakat etnis Jawa

lebih menyukai berhubungan sosial yang baik dengan orang lain. Etnis Tionghoa,

juga memiliki karakteristik kebudayaan sendiri, yakni lebih bekerja keras,

materialistik, dan penuh inisiatif. Sangat terlihat jelas perbedaan kebudayaan

sehingga membentuk suatu aturan-aturan yang berbeda pula. Etnis Tamil yang

masih menerapkan kebudayaannya dan masih menjalankan kebudayaannya, walau

didalam berdagang ia belum bisa dalam melakukan pelayanan yang baik, tetapi

didalam kebudayaannya seperti upacara pernikahan, acara-acara besar ia masih

menjalankan dan menerapkan sampai sekarang. Tetapi, didalam dunia

perdagangan, ia belum memiliki sifat dan karakteristik yang khas dan menonjol di

masyarakat sekitar Lubuk Pakam, sama halnya dengan suku Jawa yang memang

belum memiliki sifat dan karakteristik untuk berdagang.

21
1.2.5. Hubungan Antar-Sukubangsa

Hubungan antar sukubangsa terwujud melalui hubungan-hubungan yang

dilakukan oleh para pelaku yang menjadi warga dari sukubangsa-sukubangsa

yang berbeda. Sukubangsa-sukubangsa tersebut biasanya adalah sukubangsa-

sukubangsa yang saling bertetangga atau yang secara bersama-sama membentuk

terwujudnya sebuah masyarakat yang lebih luas daripada masing-masing

masyarakat sukubangsanya.

Dalam hubungan antar-sukubangsa masing-masing suku bangsa tersebut

menciptakan dan memantapkan batas-batas sosial budaya atau batas-batas suku

bangsa. Artinya, berdasarkan atas batas-batas suku bangsa tersebut mereka

membedakan diri mereka sebagai saya dari dia yang berbeda, dan menggolongkan

sejumlah orang yang tergolong bukan sukubangsa yang sama. Batas-batas sosial

ini berguna dalam menunjukkan perbedaan antara mereka yang tergolong dalam

satu sukubangsa yang sama dengan mereka yang tergolong dalam satu suku

bangsa lain, yaitu yang berbeda sukubangsanya.

Dalam hubungan diantara warga yang berbeda sukubangsanya, yang

terjalin sebagai hubungan yang saling menguntungkan, sebenarnya mereka ini

telah membuat jembatan penghubung di atas batas-batas sukubangsa tersebut.

Jembatan ini berupa hubungan pribadi yang terwujud sebagai persahabatan

ataupun perkawinan atau terwujud sebagai hubungan sosial, hubungan kerja atau

ekonomi dan hubungan politik. Jembatan penghubung ini, yang terwujud sebagai

situasi dimana interaksi itu berlangsung, atau biasa disebut sebagai arena-arena

interaksi, sebenarnya telah menapikan perbedaan-perbedaan sukubangsa yang

22
berlaku. Walaupun telah mereka ciptakan jembatan yang menghubungkan

perbedaan-perbedaan diantara dua sukubangsa yang berbeda atau lebih, tetapi

tidak berarti bahwa perbedaan sukubangsa tersebut lalu hilang dengan sendirinya.

Dalam teorinya mengenai ungkapan kesukubangsaan di Indonesia,

Profesor Burner (‘The Expression of Ethnicity inIndonesia’, dalam Abner Cohen

(Ed), Urban Ethnicity) (1974) mengatakan bahwa secara sukubangsa corak

wilayah perkotaan di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu

wilayah perkotaan yang secara kebudayaan didominasi oleh satu sukubangsa,

dengan contohnya kota Bandung dan kota Medan.

Dalam hubungan antar sukubangsa, masing-masing sukubangsa

menciptakan dan memantapkan batas-batas sosial.Batas-batas sosial antara satu

sukubangsa dengan sukubangsa lainnya, yang menjadi batas-batas sukubangsa

yang membedakan satu sukubangsa dengan sukubangsa lainnya, diciptakan

dengan mengacu pada masing-masing kebudayaan sukubangsa. Batas-batas

sukubangsa ini berguna dalam menunjukkan perbedaan antara mereka yang

tergolong dalam satu sukubangsa yang sama dengan mereka yang tergolong

dalam satu sukubangsa yang lain.

Hubungan antar sukubangsa antar etnis Tionghoa, Jawa dan Tamil sangat

terlihat batas-batas sosialnya. Terlihat jelas dari kebudayaan masing-masing etnis.

Hubungan antar ketiga etnis ini, cukup baik. Konflik tidak terlihat begitu besar.

Tetapi, batas-batas sosial terlihat, perbedaan kebudayaan pun terlihat karena

ketiga etnis ini sangat berdekatan jaraknya. Terlihat menunjukkan bahwa saya dan

23
dia berbeda. Saya dan dia berbeda sukubangsanya dan jelas berbeda pula

kebudayaannya.

1.2.6. Konflik

Konflik merupakan hal yang sering kita jumpai dalam kehidupan

seharihari. Istilah konflik sendiri secara etimologis berasal dari bahasa Latin con

yang berarti bersama dan figure yang berarti benturan atau tabrakan. Adanya

benturan atau tabrakan dari setiap keinginan atau kebutuhan, pendapat, dan

keinginan yang melibatkan dua pihak bahkan lebih. Konflik dapat didefenisikan

sebagai sebuah tindakan saling menghancurkan untuk memenangkan sesuatu

tujuan tertentu. Tujuan tertentu tersebut bisa berupa seumber-sumber daya dan

rezeki, kehormatan jatidiri atau kelompok, atau semuanya itu.Dalam keadaan

konflik salah satu tujuan mereka adalah ingin menghancurkan pihak lawan.

Menurut Degenova (2008) konflik adalah sesuatu yang normal terjadi pada

setiap hubungan, dimana dua orang tidak pernah selalu setuju pada suatu

keputusan yang dibuat.

Lewin (dalam Lindzey & Hall, 1985) menjelaskan bahwa konflik adalah

keadaan dimana dorongan-dorongan di dalam diri seseorang berlawanan arah dan

hampir sama kekuatannya. Menurut Richard E. Crable (1981) “conflict is a

disagreement or a lack of harmony”. Kalimat tersebut dapat diartikan dengan

konflik merupakan ketidaksepahaman atau ketidakcocokan.

Berdasarkan beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik

merupakan suatu keadaan yang terjadi karena seseorang berada di bawah tekanan

24
untuk merespon stimulus-stimulus yang muncul akibat adanya dua motif yang

saling bertentangan dimana antara motif yang satu akan menimbulkan frustasi

pada motif yang lain.

Konflik dari ketiga etnis ini tidak terlihat begitu jelas dan begitu besar.

Karena hubungan antar suku bangsa ini masih berjalan dengan baik, walaupun

terlihat batas-batas sosialnya. Masih berjalan dengan baik, dan tidak begitu

besar konflik yang terjadi. Masih batas yang wajar, seperti menjelek-jelekkan

panglong antar satu sama lain saja. Menjelek-jelekkan atau bersifat menghujat

hanya sebatas antara orang yang sudah pernah berbelanja, dengan orang yang

akan hendak berbelanja atau dengan orang yang berada di sekitar nya baik itu

dirumah nya maupun di tempat dimana ia berada (masih batas wilayah Lubuk

Pakam).

1.2.7. Antropologi Ekonomi

Antropologi Ekonomi lahir pada abad ke 20, berkat dilakukannya

berbagai penelitian etnografi yang memfokuskan pada aspek ekonomi

masyarakat.

Sebaliknya, para ahli ekonomi, khususnya yang tertarik terhadap sejarah

perkembangan ekonomi masyarakat, menaruh perhatian pula terhadap

penelitian etnografi yang memfokuskan perhatian terhadap aspek ekonomi.

Perhatian ahli antropologi ekonomi tidak hanya sampai disitu. Mereka

kemudian berusaha mengembangkan pendekatan penelitian dengan

25
menggunakan teori, konsep, dan hukum ekonomi untuk menjelaskan gejala

kegiatan ekonomi dalam masyarakat primitif.

Pendekatan formalis cenderung melihat gejala ekonomi dari tinjauan

formal, yaitu dari pengertian yang relatif bagi disiplin ilmu ekonomi yang

mendefinisikan ekonomi sebagai suatu tindakan memilih antara tujuan-tujuan

yang tidak terbatas dengan sarana yang terbatas.Secara konvensional, ilmu

ekonomi kemudian mengasumsikan bahwa tindakan manusia bersifat rasional

dalam melakukan aktivitas ekonomi tersebut.Gejala ekonomi dalam ilmu

ekonomi tidak dilihat dari segi substantifnya, yaitu dari segi proses pemberian

makna sumber daya ekonomi.

Alice Dewey (1961) studi Dewey tentang pasar di Jawa mengungkapkan

bahwa pasar dalam masyarakat agraris di Jawa merupakan komunitas

pedagangyang mempunyai karakteristik kompetitif. Dalam pasar seperti itu,

dikenal teori harga yang terbentuk dari pertarungan antara kekuatan permintaan

dan penawaran. Berdasarkan hasil penelitian Cook (1983:778) melihat bahwa

harga merupakan variabel yang penting yang menentukan tingkat produksi.

Pendekatan subtantif, Cook (1983:835) telah merumuskan beberapa ciri

yang penting dari pendekatan substantif dan formalis. Pendekatan subtantif

menempatkan perekonomian sebagai rangkaian dari aturan-aturan dan

organisasi sosial, dimana setiap individu dilahirkan dan diatur dalam suatu

sistem organisasi tersebut. Pendekatan subtantif mengabaikan gejala perubahan

ekonomi dalam masyarakat. Peranan individu terhadap kemajuan ekonomi tidak

mendapatkan perhatian khusus. Kedua, subtantif ini berpendapat bahwa

26
antropologi ekonomi lebih baik ditempatkan di kerangka studi sistem ekonomi

komparatif, yang cakupannya meliputi deskripsi dan analisis sistem ekonomi.

Ketiga, aliran ini bersifat historis, relativistik dan substantif (riel) dalam

orientasinya.Keempat, bersifat formalis menganalisis ekonomi sebagai bidang

studi, tetapi perhatian penganut aliran subtantif juga mencakup diluar ekonomi

dalam arti harafiah, karena mencakup aspek-aspek sosio-kultural yang terkait

pada perilaku ekonomi.

Menurut Cook (1983), hal ini terjadi karena umumnya para penganut

subtantif mengabaikan keberadaan gejala ekonomi yang lepas dari aspek sosio-

kultural seperti yang diperhatikan para ahli ekonomi. Mereka lebih memberikan

perhatian terhadap hubungan antara aktivitas ekonomi dengan organisasi sosial

serta aspek budaya masyarakat.

Szanton memakai konsep personalized exchange dalam studinya

mengenai perdagangan skala kecil pada masyarakat nelayan di kota Estancia,

Filipina. Pada perdagangan pasar tersebut ia mendeteksi adanya gejala suki,

hubungan langganan, antara penjual dan pembeli yang ditandai oleh keteraturan

kontak dan kredit ambil sekarang bayar sekarang. “Hubungan Suki berdasarkan

pada idealitas saling percaya dan membawa norma-norma yang jelas dan

harapan-harapan mengenai interaksi”. Pembeli mengharapkan harga yang baik,

kualitas yang baik, layanan dan bantuan pribadi dan kredit jika memungkinkan

dan sebagai balasannya, seorang penjual mengharapkan langganan Suki

menjadi outlet yang reguler untuk barang-barang dan menginginkan kondisi

pelayanannya terhadap reguleritas ini menurut Szanton (1978).

27
Hubungan langganan adalah hubungan yang pada intinya ekonomi,

namun didasarkan pada hubungan sosial yang bersifat pribadi dan dijaga oleh

nilai-nilai sosial, seperti nilai malu dan harga diri. Gejala suki atau langganan,

sama seperti pada masyarakat Indonesia, adalah basis yang amat penting bagi

terselenggaranyaaktivitas perdagangan. Gejala langganan ini pula yang

membuat anggapan Dalton mengenai hubungan impersonal dan penuh konflik

didalam pasar sekali lagi harus runtuh. Langganan dapat berarti kondisi, bahwa

seseorang bisa melakukan jual-beli dengan pedagang tetap. Langganan juga

dapat berarti “ia langganan saya”, atau “saya sudah berlangganan ditoko itu”.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, tentang

Persaingan Pedagang Panglong dikota Lubuk Pakam, maka dapat dirincikan

rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.Bagaimana persaingan yang terjadi pada pedagang panglong antar etnis di

Lubuk Pakam, dalam hal ini antara etnis Tionghoa, Jawa dan Tamil?

2.Apa saja strategi yang dilakukan pedagang panglong antar etnis Jawa, Tionghoa

dan Tamil dalam mempertahankan pelanggannya?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini untuk mengetahui apa saja

strategi-startegi dan daya tarik pedagang antar etnis Jawa, Tionghoa dan etnis

Tamil di Lubuk Pakam. Serta bagaimana keadaan persiangan yang terjadi antar

ke-3 etnis yang mana masing-masing bermata pencaharian sebagai pedagang

28
panglong. Etnis Jawa lebih menduduki peringkat daripada etnis Tionghoa,

padahal etnis Tionghoa dari leluhurnya sudah berdagang, dan jarang sekali

jatuh/gagal dalam membangun usaha dagangnya, dan juga menjelaskan hubungan

antar pedagang satu sama lain, ada atau tidak ada terjadi konflik seperti konflik

yang besar yang terjadi atau hanya konflik kecil.

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Strategi antar pedagang panglong, yang berbeda etnisnya, maka kebudayaan dan

nilainya juga berbeda

2. Memaparkan dan menjelaskan setiap pedagang panglong

3. Hubungan antar pedagang dan pembeli, serta memaparkan cara mempertahankan

pelanggan agar tidak pergi ke panglong yang lain

4. Pandangan konsumen terhadap pedagang panglong

5. Strategi dalam pemasaran dan strategi dalam pelayanan

Manfaat dalam penelitian ini adalah :

1. Sebagai informasi untuk memperkaya wacana antar pedagang dalam

mempertahankan pelanggannya

2. Mengetahui pedagang panglong dalam memasarkan produk

3. Mengetahui dan menambah wawasan dalam memberikan kualitas barang

4. Mengetahui sifat dan karakteristik setiap etnis

5. Mempelajari cara setiap etnis dalam memberikan pelayanan sesuai dengan

kebudayaan atau tidak menggunakan kebudayaan.

1.5. Metode Penelitian

29
1.5.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dikotaLubuk Pakam, kecamatan Lubuk Pakam,

kabupaten Deli Serdang. Lokasi tersebut sengaja dipilih karena dikotaLubuk

Pakam ini, penulis melihat dengan jelas persaingan antar pedagang panglong

terjadi dimana lokasi antar pedagang panglong tidak jauh satu sama lain. Ketiga

panglong yang berbeda antar etnis ini, penulis melihat bahwa setiap pedagang

dalam memasarkan produk nya memiliki perbedaan, dalam melayani pembeli, dan

dalam memaparkan kualitas barang.

1.5.2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini salah satunya menggunakan pendekatan kualitatif dan juga

menggunakan pendekatan deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksud untuk

memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala lainnya.

Kemudian melakukan observasi terlibat dimana peneliti ber-partisipasi didalam

masyarakat sekaligus mengamati agar mendapatkan sudut pandang dari si

informan. Mendeskripsikan hasil-hasil wawancara mendalam dan studi kasus.

1.5.3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer meliputi data yang terkait dengan para pedagang panglong.

Informan dan peneliti berusaha mendekatkan diri, agar informasi tersebut dapat di

capai dengan sebaik mungkin dan seakurat mungkin.Tidak bersifat subyektif

melainkan bersifat obyektif.

30
Data sekunder lebih difokuskan pada buku-buku yang berkaitan dengan

persaingan pedagang panglong antar etnis. Adapun sumber data penelitian ini

mengacu pada hasil penelitian lapangan (emperik) dan hasil penelusuran pustaka

(literatur). Penelitian lapangan lebih difokuskan pada strategi-strategi panglong

antar etnis dalam mempertahankan pelanggan, dan cara dalam memasarkan

barang, dan melihat bagaimana keadaan persaingan antar panglong satu sama lain.

Sedangkan penelitian kepustakaan lebih membahas sifat sifat antar etnis serta

kebudayaan antar etnis yang tetap dijalankan dalam kegiatan atau aktifitas sehari-

hari, serta kualitas dalam melayani pembeli.

1.5.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian ini teknik pengumpulan data menggunakan

teknik observasi partisipatif. Observasi partisipatif merupakan pengamatan yang

dilakukan melibatkan peneliti dalam kegiatan yang diamati. Dalam teknik

observasi partisipatif, peneliti mengamati secara langsung dan dapat merasakan

apa yang ada dalam masyarakat tersebut. Peneliti ikut serta mengamati persaingan

panglong antar etnis ini.

Dalam mengumpulkan data peneliti juga menggunakan teknik wawancara.

Wawancara merupakan percakapan antara dua individu dengan maksud tertentu.

Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam, ini dilakukan untuk

mendapatkan persepsi, opini, dan prediksi dari seseorang individu serta fakta

dalam konteks permasalahan tertentu. Selain itu, wawancara mendalam ini juga

31
untuk memunculkan reaksi perorangan terhadap suatu hal dalam mencari-cari

pemecahan masalah tertentu.

Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah pedagang panglongantar

etnis yakni etnis Tionghoa, Jawa dan Tamil.Peneliti juga memilih informan yakni

bukan pedagang saja melainkan juga pembeli yang mengunjungi ketiga panglong

antar etnis ini. Pemilihan informan ini dipilih secara acak sesuai dengan

kebutuhan data. Peneliti juga harus bersikap ramah dan membaur terhadap

masyarakat setempat agar bisa mengembangkan rapport terhadap masyarakat dan

mendapatkan data-data yang sesuai dengan fakta dilapangan.

Dalam hal ini yang informan yang dipilih adalah :

1. Pedagang Panglong etnis Jawa yang bernama Bapak Fahrin, usia 68 tahun.

2. Pedagang Panglong etnis Tionghoa yang bernama Bapak Aheng, usia 49 tahun.

3. Pedagang Panglong etnis Tamil yang bernama Bapak Ragu (Topoy), usia 50

tahun.

4. Pembeli yang bernama bapak Rian, 25 tahun.

5. Pembeli yang bernama bapak Rian, usia 28 tahun.

6. Pembeli yang bernama bapak Rian, usia 24 tahun.

7. Pembeli yang bernama bapak Buchori, usia 66 tahun.

8. Pembeli yang bernama bapak Sila, usia 65 tahun.

9. Pembeli yang bernama bapak Eka, usia 32 tahun.

10. Pembeli yang bernama bapak Agus, usia 36 tahun.

11. Pembeli yang bernama bapak Rizki, usia 29 tahun.

12. Pembeli yang bernama bapakSembiring, usia 55 tahun.

32
1.6. Pengalaman Penelitian

Dalam melakukan penelitian mengenaistrategi pedagang panglong antar

etnis Tionghoa, Jawa, dan Tamil di Kota Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang,

penulis baru mendapatkan surat izin ke lapangan pada bulan Maret tanggal 9

2018. Namun, sebenarnya lokasi penelitian ini adalah tempat tinggal penulis.

Sejak memikirkan untuk mengajukan judul skripsi, dan untuk menulis skripsi,

penulis merasa sangat ingin sekali mengangkat topik yang bertemakan strategi

pedagang panglong antar ketiga etnis ini.

Karena, strategi berjualan antar ketiga etnis memiliki cara dan keunikan

tersendiri. Penulis melihat banyak sekali hal yang menarik dalam berjualan, dalam

mempertahankan pembeli, dalam memberi pelayanan, cara memasarkan produk,

dan sebagainya. Beberapa pedagang panglong ada yang bermanis mulut, tetapi

ketika barang di antar tidak sesuai dengan pesan manis yang ia sampaikan ke

pembeli pada saat transaksi tadi, sehingga terjadi percekcokan atau perdebatan

mulut ketika barang yang diantar tidak sesuai dengan kualitas pada saat transaksi

di toko.

Setelah mengajukan judul penulis mendapatkan dukungan dari dosen

pembimbing akademik, dosen pembimbing skripsi dan juga ketua departemen

Antropologi Sosial. Sehingga penulis bisa mengkaji permasalah ini secara

mendalam.

Penelitian saya dimulai pada tanggal 23 April 2018. Saya terlebih dulu

mewawancarai bapak Fahrin (etnis Jawa) pedagang panglong yang ber etnis Jawa.

33
Wawancara saya mulai pada tanggal 23 April 2018. Saya mulai wawancara pada

siang hari, jam 14.00 WIB. Sebelum saya mewawancarai bapak Fahrin, saya

terlebih dulu meminta izin kepada beliau untuk melakukan wawancara. Karena

wawancara yang saya lakukan adalah dengan menggunakan pedoman wawancara

(interview guide). Saya bertanya kepada Bapak Fahrin, kenapa bisa terfikirkan

untuk membuka usaha bahan bangunan? Kenapa tidak usaha yang lain? Bapak

Fahrin (68 tahun) menjawab :

“Usaha Bahan Bangunan barangnya tidak Restant, kalau usaha


yang lain banyak busuk, rusak, pergantaian model, dsb. Contohnya
kalau jualan kain/pakaian, kan tiap taun model nya ganti (kalah
mode), jualan sembako nanti ada yang busuk, karena pakai expired
dalam kemasan, kalau jualan keramik, nanti pergantian model,
tiap hari ganti model, kalau stock kita habis, kita beli ke pabrik
tempat asal kita beli, malah stock nya sudah tidak ada, susah
dicari. Jadi lebih baik buka usaha bahan bangunan, karena harga
barang naik terus, dan barang tidak ada yang restant.”

Selanjutnya saya melanjutkan wawancara saya pada tanggal 25 April,

pedagang panglong etnis Tamil/India. Namanya adalah Pak Topoy. Saya

sebelumnya, berpura-pura berbelanja disitu. Saya berpura-pura membeli cat.

Padahal saya tidak butuh cat, tapi yasudah demi kelancaran skripsi saya, saya

mencoba untuk membeli dulu. Saya beli cat, lalu saya meminta tolong kepada pak

Topoy (Ragu) untuk mau saya wawancarai sedikit pertanyaan dan sebentar saja,

lalu ia awalnya menolak.

Saya lalu meminta tolong dengan memohon-mohon, agar ia mau saya

wawancarai, untuk skripsi saya saja pak, saya bilang. Tapi ia menolak, lalu saya

memohon lagi sambil menyodorkan kertas berisi interview guide, yakni kertas

yang berisi daftar pertanyaan wawancara, lalu saya bilang saya ingin

34
menyelesaikan skripsi saya pak, yang bertemakan strategi pedagang panglong

dalam memikat pembeli, saya bilang begitu. Lalu beliau membacanya, kemudian

ia mengiyakan.

Saya bertanya sebentar saja, karena saya takut melihat ekspresi beliau.

Saya langsung keinti saja, kenapa bapak buka toko bahan bangunan ini? Kenapa

tidak yang lain saja?

Bapak Ragu (50 tahun) menjawab :

“Saya dulu memang dari masih muda, sudah mengerjakan ini. Ya


awalnya saya jual pasir dan batu bata pakai kereta lembu. Lama-
lama banyak pesanan, pesanan meningkat, lalu saya pelan-pelan
menambah jenis barang, kemudian saya menambah lagi, lagi,
lagi,dan lagi hingga bisa sampai saat ini.”
Dengan pengalaman wawancara ini, sebenarnya tidaklah begitu mudah.

Banyak yang menolak, yang tertawa, dsb. Banyak yang mengganggap apa sih itu,

dan tak jarang yang berkata “Dapat uang rokok kan, atau istilahnya dapat uang

kan?!”

Selanjutnya saya memewawancarai Bapak Aheng, pada tanggal 30 April

2018 pedagang panglong etnis Tionghoa. Saya mewawancarai pedagang panglong

etnis Tionghoa ini tidak begitu mudah ya. Saya harus pura-pura membeli barang

dulu, setelah itu saya meminta tolong agar ia mau saya wawancarai untuk

penyelesaian mata kuliah saya yakni skripsi saya. Beliau awalnya tidak mau, dan

malah main-main atau bahasanya seloro dengan saya, meminta uang sebagai

imbalan wawancara. Namun saya katakan, untuk apa, toke besar tidak mungkin

kekurangan uang, malah lebih-lebih lagi di saku celana. Dia tertawa, lalu ia mau

saya wawancarai.

35
Saya berpura-pura membeli, lalu saya meminta izin untuk pak Aheng

bersedia diwawancara, setelah itu saya perkenalkan saya dari kampus USU

jurusan Antrropologi Sosial, FISIP USU. Saya semester 7, dan mudah-mudahan

tahun ini selesai pak. Saya bilang kepada beliau seperti itu. Kemudian beliau

melihat interview guide (kertas panduan wawancara) saya. Lalu saya kasih kepada

beliau untuk membaca terlebih dahulu, dia membalikkan kertas interview guide

saya, saya bilang “Bukan pak, itu enggak, yang bagian depan saja.” Oh ya ya

jawabnya.

Kemudian saya bertanya kepadanya, kenapa bapak membuka usaha bahan

bangunan? Kenapa tidak yang lain? Lalu pak Aheng (49 tahun) menjawab :

“Saya hanya meneruskan usaha dari Ayah saya saja, kalau mau
tanya lebih detail ke Ayah saya saja di sana, dia tidak tinggal
disini bersama kami. Usaha ini saya hanya meneruskan saja.”

Lalu, saya melanjutkan wawancara pada tanggal 1 Mei 2018, sebelum

berpuasa marilah kita percepat kelengkapan data wawancara kita, haha. Saya

mengamati dulu, pembeli yang datang kepanglong etnis Jawa atau pemilik

panglong etnis Jawa bernama Bapak Fahrin. Saya amati terlebih dulu, etnis yang

datang.

Saya lihat semua etnis kesitu, seperti etnis Batak, Jawa, Mandailing, dll.

Saya masuk ke halaman panglong, lalu saya meminta izin lagi kepada pemilik

panglong untuk melakukan wawancara di panglongnya tapi bukan dengan beliau

lagi, melainkan dengan pelanggan atau pembeli beliau, kemudian beliau

mengizinkan.

36
Saya melihat etnis Jawa yang berbelanja, kemudian saya memperkenalkan

diri, lalu saya meminta izin untuk melakukan wawancara (intereview guide), saya

memperkenalkan diri bahwa saya sedang menyelesaikan skripsi saya, saya kuliah

di USU, FISIP, Antroplogi Sosial. Saya memberi kertas yang berisi data

pewawancara, agar informan saya bisa membaca terlebih dahulu, lalu saya mulai

wawancara saya. Informan saya ini bernama Rian, lalu saya bertanya kenapa

bapak memilih berbelanja kepanglong ini? Kenapa tidak kepanglong yang

didepan(Tionghoa)? Bapak Rian (28 tahun) menjawab :

“Karena satu agama, karena bangsa kita. Jadi buat apa ketempat
yang lain kalau masih ada bangsa kita sendiri.”

Kemudian saya melanjutkan wawancara lagi dengan informan selanjutnya

yang bernama Pak Rian. Saya sebelumnya memperkenalkan diri, memberitahu

dari kampus USU, fakultas FISIP, sedang menyusun skripsi, semester 7. Mohon

bantuan bapak, agar kiranya mau diwawancarai, lalu saya memberi kertas yang

berisi daftar wawancara kepada bapak Rian. Kemudian beliau membaca, dan

mengizinkan saya untuk melakukan wawancara kepada beliau.

Saya bertanya kenapa bapak lebih memilih berbelanja ke panglong Jawa?

Padahal didepan ada panglong Tionghoa? Bapak Rian (25 tahun) menjawab :

“Karena saya melihat plang/pamflet didepan panglong, lalu saya


masuk, rupanya yang jual orang Jawa. Yasudah, saya
memutuskan untuk berbelanja ke sini saja.”

Lalu, saya lanjutkan lagi wawancara dengan pembeli yang lain yang

bernama pak Rian lagi, sebelum saya melakukan wawancara seperti biasa saya

memperkenalkan diri saya terlebih dulu. Saya dari kampus USU jurusan

Antropologi Sosial sedang melanjutkan dan menyelesaikan studi skripsi saya,

37
saya semester 7. Saya meminta tolong dan bermohon kepada bapak, agar kiranya

bapak mau diwawancarai. Terlebih dulu saya memperlihatkan kepada beliau

kertas yang berisi wawancara yang nantinya saya akan melakukan wawancara

kepada beliau. Lalu beliau setuju untuk diwawancarai. Kemudian saya bertanya

kenapa bapak berbelanja kesini? Kenapa tidak didepan saja berbelanjanya?

Apakah ada hal yang menarik? Bapak Rian (24 tahun) menjawab :

“Orang Jawa umumnya bersifat ramah-tamah, baik dan bagus


dalam melayani dan pelayannya juga baik. Makanya saya
berbelanja kesini.”

Selanjutnya, saya mewawancarai bapak Sembiring, saya memperkenalkan

diri bahwa saya mahasiswi USU, saya sedang menyelesaikan tugas skripsi saya,

mohon bantuan bapak agar mau saya wawancarai. Kemudian saya memberikan

interview guide (pedoman wawancara) kepada bapak Sembiring. Beliau

mengizinkan, saya bertanya bapak langganan di panglong etnis Jawa? Atau baru

pertama kali membeli? Kemudian bapak Sembiring (usia 55 tahun) menjawab :

“Saya langganan disini. Karena pelayanannya menyenangkan.”

Keesokan harinya tanggal 2 Mei 2018 saya datang kepanglong etnis

Tionghoa, saya meminta izin kepada pak Aheng untuk melakukan wawancara

lagi, tetapi bukan wawancara dengan beliau melainkan dengan pembeli yang

berbelanja kepanglongnya. Diapun mengizinkan, jika pembeli tersebut mau, jika

tidak ya saya tidak bisa memaksa atau menyuruh dia agar mau ya. Baiklah,

kemudian saya memperkenalkan diri kepada pembeli, bahwa saya dari fakultas

FISIP USU, saya sedang menyelesaikan skripsi saya, saya semester 7. Setelah

38
saya memperkenalkan diri, saya meminta tolong, bermohon kepada bapak Agus

agar mau saya wawancarai.

Sebelum saya memulai wawancara, saya memberi kertas berisi pedoman

wawancara atau isi wawancara kepada bapak Agus agar dibaca terlebih dahulu

dan memahami apa isi dari pertanyaan-pertanyaan nantinya. Kemudian saya

bertanya kenapa bapak memilih belanja di panglong ini (Tionghoa)? Bapak Agus

menjawab :

“ Harganya agak murah atau miring sedikit ya. Ya walaupun


sedikit, lumayan bisa nambah uang minyak kereta.”

Kemudian saya melanjutkan wawancara dengan Pak Rizki, saya

sebelumnya memperkenalkan diri, bahwa saya mahasiswi USU yang sedang

menyusun dan menyelesaikan tugas skripsi saya, saya semester 7, mohon bantuan

dari bapak kiranya agar bisa dan mengizinkan saya untuk mewawancarai bapak.

Sebelum melakukan wawancara, saya menunjukkan isi daftar wawancara yang

ada diselembar kertas, agar beliau bisa membaca dulu daftar isi wawancaranya.

Setelah itu saya mulai wawancara dan bertanya, kenapa bapak tertarik berbelanja

ke panglong disini? Bapak Rizki menjawab :

“Ya, saya baru pertama kali sih datang berbelanja. Jadi ya saya
berbelanja aja, belanja nya juga tidak banyak-banyak. Dan sudah
terlanjur masuk disini, jadi saya belanja aja.”

Keesokan harinya pada tanggal 3 Mei 2018 saya kembali lagi kepanglong

Tamil untuk meminta izin elakukan wawancara dipanglong nya, tetapi bukan

mewawancarai pedagang panglong lagi, tetapi saya mewawancarai pembeli

beliau. Beliau awalnya tidak mengizinkan, dan berkata “diluar saja, jangan

didalam”. Akhirnya wawancara saya lakukan diluar halaman, berdiri.

39
Lalu, saya melanjutkan lagi wawancara dengan Bapak Eka, sebelum saya

mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berisi data-data tentang skripsi saya,

saya sebelumnya memperkenalkan diri, bahwa saya kuliah di USU sedang

menyelesaikan dan menyusun skripsi saya, saya semester 7, mohon bantuan dan

izin bapak agar saya bisa mewawancarai bapak untuk data kelengkapan skripsi

saya. Beliau awalnya tidak mau, dan tidak mengizinkan, tetapi saya bermohon dan

minta tolong untuk dibantu, sekadar saja, lalu ia mau, saya bertanya dan

wawancara singkat itu pun masih membuahkan hasil. Saya bertanya kenapa bapak

berbelanja ke panglong India? Bapak Eka menjawab :

“Itu adalah hak saya. Mau saya kepanglong yang mana, ya saya
tetap berbelanja, kan saya tidak merugikan siapapun. Jadi
terserah hati dan sesuka hati saya, saya mau berbelanja
kepanglong mana saja.”

Kemudian saya melanjutkan wawancara lagi dengan Bapak Buchori,

sebelum melakukan wawancara saya terlebih dulu memperkenalkan diri bahwa

saya mahasiswi USU yang sedang melakukan penelitian yang berhubungan

dengan skripsi saya, saya semester 7 mohon bantuan dan izin bapak agar

mengizinkan saya untuk melakukan wawancara. Sebelum melakukan wawancara,

saya terlebih dulu memberi tahu isi wawancara yang akan saya wawancara

nantinya. Kemudian beliau bersedia untuk saya wawancarai. Kemudian

wawancara dimulai, saya bertanya kenapa bapak tertarik berbelanja kepanglong

India? Kemudian beapak Buchori menjawab :

“Tidak ada, saya baru pertama kali berbelanja. Asal masuk ke


panglong saja.”

40
Dalam pengalaman peneliti, ada suka dan ada pula dukanya. Tidak sedikit para

informan saya yang menolak untuk saya wawancarai, dan saya foto untuk

menunjukkan dan memperkuat data kelapangan bahwasannya saya benar-benar

melakukan wawancara. Saat saya sedang melakukan wawancara di panglong etnis

Jawa, ada juga orang Tamil yang berbelanja ke panglong etnis Jawa membeli batu

bata. Ketika saya hendak mewawancarai, dia menolak lalu langsung pergi terburu-

buru. Takut untuk saya bertanya dan melakukan wawancara, takut juga untuk saya

foto dan saya rekam, takut beliau dimasukkan ke internet. Padahal sudah saya

jelaskan bahwa tidak akan tersebar di internet dan ini untuk tugas kuliah saya,

yakni dalam penyelesaian skripsi saya. Tapi dia malah pergi terburu-buru dan

meninggalkan saya begitu saja.

Tetapi ada juga informan yang benar-benar baik dan ramah, ada yang

memang mengerti untuk tugas kuliah akhir, ada juga yang kurang mengerti,

bahkan ada juga yang meminta uang rokok atau uang imbalan karena sudah

diwawancarai, lalu saya mengiyakan dan memberi uang imbalan Rp.20.000, dan

ia sudah senang. Sekianlah pengalaman saya dalam melakukan penelitian untuk

menyelesaikan tugas akhir kuliah saya yakni menyelesaikan skripsi saya yang

mudah-mudahan kedepannya dapat belajar dari kesalahan saya sendiri.

1.7. Studi Dokumentasi

Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian

adalah pedoman wawancara dan pedoman observasi dan didukung dengan buku-

buku catatan dan hasil rekaman pada saat melakukan sesi wawancara untuk

memperkuat dan mempertajam argumen sang informan.

41
42
BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Sejarah Singkat Kecamatan Lubuk Pakam

Kecamatan Lubuk pakam sejak dahulu telah menjadi pusat pemerintah

baik pemerintah Hindia Belanda dengan kedudukan CONTROLER, juga

pemerintah Kerajaan Negeri sedang yang berkedudukan di Perbaungan, yang

menempatkan Wakil Sultannya di Lubuk Pakam yang bergelar Tengku Raja

Muda atau Tengku Bendahara. Pada Zaman pemerintah Jepang, Lubuk Pakam

menjadi tempat kedudukan HOKOBUNCSTTCYO dan pada pemerintah RI

Lubuk pakam merupakan tempat kedudukan Wedana Kewadanaan Serdang Hilir

antara lain di bawah pimpinan :

1. Wedana Ja’far Siddik

2.Wedana Ombak nasution

3. Wedana Tarif Siregar

43
4.Wedana Keras Surbakti

5. Wedana Datuk Anwaruddin dan

6.Wedana Bactiar Yunus (Wedana yang terakhir)

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1984 Pasal 1 ayat 2

dijelaskan seiring Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Deli Serdang dari kota Medan

ke Kota Lubuk pakam, maka Kecamatan Lubuk Pakam di kembangkan menjadi 4

(empat) Wilayah Kecamatan tujuannya dalam rangka terciptanya daya guna hasil

penyelenggaraan pemerintah serta pembinaan wilayah, maka Kecamatan Lubuk

Pakam dikembangkan menjadi lokasi kedudukan Pemerintahan TK.II Deli

Serdang akan berhenti, karena mengikuti perkembangan masyarakat dan negara.

Perkembangan dimaksud menimbulkan tugas-tugas baru bagi perangkat

pemerintahan yang ada di daerah.

Kota Lubuk Pakam sebagai Ibu Kota Kabupaten Deli Serdang dan Pusat

Pemerintahan Pemda TK.II Deli Serdang cukup strategis dan mempunyai prospek

pengembangan wilayah yang cukup dominan dengan beberapa Kota Satelitnya

seperti Tanjung Morawa, Perbaungan, Galang dan lain lain. Sedangkan

berdasarkan PP No. 7/1984 Pasal 1 dijelaskan bahwa Pusat Pemerintahan

Kecamatan Lubuk Pakam ini adalah berkedudukan di kelurahan Lubuk Pakam

Pekan.

Kelurahan Lubuk Pakam I-II dulunya merupakan sebuah kampung yang

sangat padat penduduknya yang kemudian di pecah menjadi tiga desa dan salah

satunya desa berada di Kecamatan Lubuk Pakam. Desa-desa tersebut yakni Desa

Pekan. Desa Pakam I-II dan Desa Pakam III. Pada tahun 1980 pemerintah Kota

44
menyuruh kepala kampung untuk merubah nama dari kampung menjadi desa dan

sejak tahun 1981 keluar lagi peraturan dari pemerintah untuk merubahkan nama

dari desa menjadi Kelurahan, oleh karena itu penduduk yang berada di kampung

makin padat, maka 3 desa yakni Desa Pekan, Desa Pakam I-II dan Desa Pakam III

digabungkan menjadi satu dan terbentuklah satu Kelurahan yaitu Kelurahan

Lubuk Pakam I-II.

Masyarakat yang mempunyai pendidikan yang layak yang bertempat

tinggal di Kelurahan Lubuk Pakam I-II diangkat oleh pemerintah untuk

dipekerjakan sabagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditempatkan di Kelurahan

Lubuk Pakam I-II yang terdiri dari 5 orang yaitu sebagai Lurah. Sekretaris, Kasi

Pemerintahan, Kasi Pelayanan Umum, Kasi Kesejahteraan Sosial. Menurut data

Kelurahan Lubuk Pakam I-II, orang yang pertama kali mendiami Lubuk Pakam I-

II adalah orang yang berkelompok etnik Minangkabau dan Batak. Lubuk Pakam I-

II dikepalai oleh seorang kepala kampung yang dulunya bernama Mashud yang

berkelompok Etnik Melayu. Pada tahun 1980-an, pedagang mulai berdatangan

dari Galang, Perbaungan, Tanjung Morawa dan dari Kota Lubuk Pakam sendiri

tetapi berbeda Kelurahan yang tujuan utamanya adalah berdagang, tetapi menetap

di Lubuk Pakam I-II. Pada saat itu, penduduk di Kelurahan Lubak Pakam I-II

terdiri dari berbagai kelompok etnik, diantaranya Minangkabau. Melayu, Batak

dan lain-lain. Semakin banyak penduduk yang ada, Kelurahan ini semakin banyak

kemajuan karena terlihat dari kegiatan gotong royong membersihkan jalan

disepanjang Kelurahan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Banyak

pembangunan-pembangunan yang terjadi di Kelurahan tersebut. Oleh karena itu,

45
Kelurahan Lubuk Pakam I-II dibagi manjadi 11 (sebelas) lingkungan yang

masing-masingnya di pimpin oleh kepala lingkungan.

Kelurahan Lubuk Pakam I-II memiliki penduduk sekitar 9525 jiwa yang

terdiri dari 2050 KK. Kelurahan ini bentuknya segi empat yang tidak beraturan.

Pada tahun 2010 lalu Kelurahan ini sudah dibagi menjadi 11 (sebelas) lingkungan.

Cara pembagiannya pun berdasarkan panjang dan lebarnya Kelurahan tersebut.

Lingkungan 1 (satu) merupakan lingkungan yang paling atas dan memang berada

di jalan utama masuk Kelurahan tersebut, lingkungan 2 (dua) sampai 8 (delapan)

berada dibagian tengah dari Kelurahan, dan lingkungan 9 (sembilan) sampai 11

(sebelas) berada di bawah Kelurahan yang berdasarkan letaknya.

46
2.2. Peta Kecamatan Lubuk Pakam

Lokasi yang penulis teliti berada di kecamatan Lubuk Pakam I-II. Lokasi

tersebut sengaja penulis pilih untuk melakukan penelitian dikarenakan penulis

melihat bahwa persaingan pedagang panglong antar etnis terletak di Lubuk Pakam

I-II. Di Lubuk Pakam I-II tersebut hanya ada 3 pedagang panglong yang

berdagang dan berusaha, yakni etnis Tionghoa, etnis Tamil, dan etnis Jawa.

47
2.3. Letak dan Keadaan Geografis Lubuk Pakam

NO KARAKTERISTIK PENJELASAN
1 Letak Wilayah
3⁰53’ - 3⁰86’ Lintang Utara
98⁰85’ - 98⁰89’ Bujur T mur
2 Luas Wilayah 31,19Km2
3 Letak di atas permukaan laut 0 s/d 8 meter dari permukaan laut
4 Batas-batas Wilayah
a. Utara Berbatasan dengan Kecamatan
Beringin
b. Selatan Berbatasan dengan Kecamatan
Pagar Merbau
c. Timur Berbatasan dengan Kecamatan
Pagar Merbau
d. Barat Berbatasan dengan Kecamatan
Tanjung Morawa
5 Jumlah Desa/Kelurahan 6/7
6 Jumlah Dusun/Lingkungan 56/52
7 Sungai-sungai yang Melintasi -
8 Rata-rata Hari Hujan 10,9 hari
9 Rata-rata Curah Hujan 71,75 mm
10 Jarak Ibukota Kecamatan 0 KM
Sumber: KSK Kecamatan Lubuk Pakam, 2016.

Letak dan keadaan geografis Lubuk Pakam dapat dilihat pada tabel 2.3

terdapat beberapa penjelasan letak, keadaan, serta tabel berisi data curah hujan

yang berada di dalam tabel 2.3.

48
2.4. Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan

Lubuk Pakam

Laju
Jumlah Penduduk (Jiwa) Pertumbuhan
Penduduk/Tahun
Desa/Kelurahan (%)
2010- 2015-
2010 2015 2016 2016 2016

NO (1) (2) (3) (4) (5) (6)


1 Paluh Kemiri 2.664 3.014 3.079 2,22 2,16
2 Petapahan 2.085 2.361 2.413 2,24 2,20
3 Tanjung Garbus I 3.264 3.723 3.804 2,35 2,18
4 Pagar Merbau III 4.002 4.531 4.629 2,24 2,16
5 Cemara 7.059 7.963 8.135 2,18 2,16
6 Pasar Melintang 6.420 7.282 7.448 2,28 2,28
7 Pagar Jati 6.181 7.015 7.166 2,27 2,15
8 Syahmad 3.382 3.862 3.947 2,37 2,20
9 Lubuk Pakam III 4.180 4.800 4.911 2,48 2,31
10 Lubuk Pakam I/II 6.637 7.582 7.759 2,40 2,33
11 Lubuk Pakam
Pekan 7.899 8.982 9.188 2,32 2,29
12 Bakaran Batu 9.540 10.778 11.009 2,20 2,14
13 Sekip 17.534 20.088 20.545 2,44 2,27
Lubuk Pakam 91.981 91.981 94.033 29,99 28,83
Sumber : Proyeksi Penduduk Indonesia, 2016.

Dari data yang berada di tabel 2.4 yakni jumlah penduduk dan laju

pertumbuhan penduduk dikecamatan Lubuk Pakam, yakni lokasi yang penulis

teliti di Lubuk Pakam I-II yang penduduknya terdiri dari 7.759 pada tahun 2016

yang mengalami laju pertumbuhan sebanyak 2,4%.

49
2.5. Jumlah Penduduk Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Lubuk

Pakam

Tahun
No Desa / Kelurahan
2014 2015 2016

1 Paluh Kemiri 2.961 3.014 3.079

2 Petapahan 2.306 2.361 2.413

3 Tanjung Garbus I 3.637 3.723 3.804

4 Pagar Merbau III 4.427 4.531 4.629

5 Cemara 7.773 7.963 8.135

6 Pasar Melintang 7.133 7.282 7.448

7 Pagar Jati 6.857 7.015 7.166

8 Syahmad 3.774 3.862 3.947

9 Lubuk Pakam III 4.684 4.800 4.911

10 Lubuk Pakam I/II 7.381 7.582 7.759

11 Lubuk Pakam Pekan 8.762 8.982 9.188

12 Bakaran Batu 10.580 10.778 11.009

13 Sekip 19.618 20.088 20.545

Lubuk Pakam 89.873 91.981 94.033

Sumber : Kantor Desa Kelurahan Kecamatan Lubuk Pakam, 2016.

Dari data yang berada ditabel 2.5 yakni jumlah penduduk menurut

desa/kelurahan di kecamatan Lubuk Pakam, tempat lokasi penelitian penulis yakni

Lubuk Pakam I-II yang terdiri dari 7.759 penduduk pada tahun 2016.

50
2.6. Jumlah Bangunan Rumah Tempat Tinggal Menurut Desa/Kelurahan

di Kecamatan Lubuk Pakam

No Desa/Kelurahan Permanen Semi Kayu/ Jumlah


Permanen Darurat
1 Paluh Kemiri 565 12 4 581

2 Petapahan 609 16 6 631

3 Tanjung Garbus I 879 23 9 962

4 Pagar Merbau III 987 76 7 1.070

5 Cemara 1.576 200 10 1.786

6 Pasar Melintang 1.453 89 6 1.548

7 Pagar Jati 1.433 87 5 1.525

8 Syahmad 887 87 9 983

9 Lubuk Pakam III 1.234 124 12 1.370

10 Lubuk Pakam I/II 1.565 231 13 1.809

11 Lubuk Pakam Pekan 1.249 234 10 1.493

12 Bakaran Batu 2.077 453 18 2.548

13 Sekip 3.421 564 23 4.008

Lubuk Pakam 17.935 2.196 132 20.263

Sumber : Kantor Desa Kelurahan Kecamatan Lubuk Pakam, 2016.

Berdasarkan tabel 2.6 jumlah bangunan rumah tempat tinggal menurut

desa/kelurahan di Kecamatan Lubuk Pakam, tempat lokasi penulis yakni Lubuk

Pakam I-II yang keseluruhan bangunan mulai dari permanen 1.565, semi

permanen 231, kayu/darurat 13, maka total keseluruhan yakni 1.809.

51
2.7. Mata Pencaharian Penduduk

No Desa/Kelurahan PNS/TNI/ Pertanian Perdaga- Angkutan


Polri ngan
1 Paluh Kemiri 31 2398 44 10

2 Petapahan 46 510 60 20

3 Tanjung Garbus I 90 108 55 11

4 Pagar Merbau III 257 107 52 25

5 Cemara 169 412 271 21

6 Pasar Melintang 189 825 45 30

7 Pagar Jati 192 1.465 96 40

8 Syahmad 62 33 73 42

9 Lubuk Pakam III 220 104 298 56

10 Lubuk Pakam I/II 200 35 159 59

11 Lubuk Pakam Pekan 136 25 716 53

12 Bakaran Batu 125 432 186 43

13 Sekip 224 1.920 390 45

Lubuk Pakam 1.941 6.215 2.445 455

Sumber : Kantor Desa Kelurahan Kecamatan Lubuk Pakam, 2016.

Dari tabel 2.7 yang berisikan data mata pencaharian penduduk, penulis

melakukan penelitian di lokasi Lubuk Pakam I-II yang bermata pencaharian

sebagai PNS/TNI/Polri sebanyak 200 orang, Pertanian 35 orang, Perdagangan 159

orang, Angkutan 59 orang.

52
Lanjutan Tabel 2.7.1

No Desa/Kelurahan Industri Jasa Lainnya Jumlah


Rumah Masyarak
Tangga at

1 Paluh Kemiri 4 29 453 810

2 Petapahan 7 11 100 754

3 Tanjung Garbus I 11 78 234 587

4 Pagar Merbau III 15 98 109 663

5 Cemara 10 100 453 1.436

6 Pasar Melintang 19 76 343 1.527

7 Pagar Jati 11 57 123 1.984

8 Syahmad 87 89 534 920

9 Lubuk Pakam III 90 97 567 1.432

10 Lubuk Pakam I/II 97 123 1.287 1.960

11 Lubuk Pakam Pekan 88 234 453 1.705

12 Bakaran Batu 96 124 446 1.452

13 Sekip 98 165 753 3.595

Lubuk Pakam 633 1.281 5.855 18.825

Sumber : Kantor Desa Kelurahan Kecamatan Lubuk Pakam, 2016.

Kelanjutan dari tabel 2.7.1 yakni mata pencaharian penduduk di Lubuk

Pakam I-II tempat lokasi penulis melakukan penelitian, yang bermata pencaharian

sebagai industri rumah tangga sebanyak 97 orang, jasa masyarakat sebanyak 123

orang, lainnya sebanyak 1.287 orang, dan total keseluruhan sebanyak 1.960 orang.

53
2.8. Data dan Tabel Agama di Desa/Kelurahan di Kecamatan Lubuk

Pakam

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Selain terdiri di berbagai

kelompok etnik, penduduk Kelurahan Lubuk Pakam I-II juga semuanya sudah

memiliki agama atau kepercayaan yang sudah diakui keberadaannya di Indonesia

oleh pemerintah. Agama-agama itu adalah Islam, Kristen Katolik, Kristen

Protestan, Hindu dan Budha. Penduduk yang Memeluk agama Islam berjumlah

5.026 orang. Kristen Protestan berjumlah 3.533, Katolik berjumlah 145 orang,

Budha berjumlah 629 orang dan Hindu berjumlah 156 orang. Jumlah tersebut

sama dengan jumlah penduduk yang ada di Kelurahan Lubuk Pakam I-II, artinya

seluruh penduduk sudah memiliki/memeluk agama. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat melalui tabel di bawah ini :

Data dan Tabel Agama di Desa/Kelurahan di Kecamatan Lubuk Pakam

NO AGAMA JUMLAH %
1 Islam 5062 53,14
2 Kristen Protestan 3533 37,09
3 Kristen Katolik 145 1,52
4 Budha 629 6,60
5 Hindu 156 1,63
TOTAL 9.525 100
Sumber: Kelurahan Lubuk Pakam, 2016.

Dalam hal perbedaan keyakinan ini, dan mayoritas masih dipegang oleh agama

Islam dan umat muslim, tetapi masih memiliki toleransi yang baik. Dan masih

menghargai sesamanya. Tidak menimbulkan konflik yang begitu besar karena

perbedaan pendapat dan keyakinan, hanya konflik gunjingan saja. Itu pun hanya

diceritakan kepada orang lain, bukan dengan orang yang bermasalah.

54
2.9. Data dan Tabel Kelompok Etnik di Kecamatan Lubuk Pakam

Penduduk Berdasarkan Kelompok Etnik Masyarakat Kelurahan Lubuk

Pakam I-II terdiri dari beberapa kelompok etnik seperti Jawa, Minangkabau,

Melayu, Aceh, Batak, India dan Tionghoa.Didalam tabel lain-lain termasuk

etnisTionghoa, etnisTamil. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Data dan Tabel Kelompok Etnik di Kecamatan Lubuk Pakam

NO KELOMPOK JUMLAH PERSENTASE


ETNIK (%)
1 Minangkabau 2.097 22,01
2 Melayu 1.197 12,56
3 Jawa 739 7,75
4 Aceh 330 3,46
5 Banten 337 3,35
6 Mandailing 736 7,72
7 Karo 811 8,51
8 BatakToba 852 8,94
9 Simalungun 743 7,94
10 Lain-lain 1.683 17,66
TOTAL 9.525 100
Sumber : Kantor Kelurahan, 2016.

Setiap etnis atau suku bangsa memiliki hubungan dan karakteristik serta

bahasa sendiri. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari, etnis yang penulis teliti

seperti etnis Tionghoa, Jawa dan Tamil masih menggunakan bahasa Indonesia

sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Hubungan yang terjalin antar satu suku

bangsa dengan suku bangsa yang lain, masih baik dan masih mengobrol seperti

biasanya. Hubungan di antara pedagang panglong dan masyarakat masih baik.

Tidak dipungkiri, relasi mereka masih sangat kuat. Dalam memilih

berbelanja dimana, masih melihat rasa kesukubangsaan. Hubungan relasi masih

kuat, misalnya etnis Tionghoa akan berbelanja ke etnis nya, dan etnis Jawa akan

55
ke etnis nya, dan etnis Tamil akan ke etnis nya. Penulis lihat disini, bahwa sesama

suku bangsa dan berbeda suku bangsa masih memiliki toleransi terhadap

perbedaan kebudayaan. Misalnya, dalam perayaan hari-hari besar, masih

bertoleransi. Seperti pedagang yang memiliki karyawan yang berbeda keyakinan

atau berbeda agamanya, maka ia akan memberikan sikap toleransi kepada

karyawannya. Tetapi, dalam memilih perdagangan atau didalam sektor ekonomi,

relasi masih sangat kuat. Ini terlihat dari rasa kesukubangsaan, dan ada beberapa

juga faktor harga murah, kenyamanan, dsb.

56
BAB III

PERSAINGAN ANTAR PEDAGANG PANGLONG PADA ETNIS

TIONGHOA, JAWA, DAN ETNIS TAMIL

3.1. Persaingan Dagang

Persaingan atau kompetisi adalah sebuah proses perjuangan untuk

memperoleh sesuatu yang berharga dan terbatas jumlahnya yang dilakukan oleh

dua orang atau lebih, atau antar dua kelompok atau lebih.Persaingan merupakan

suatu konsep yang sering digunakan dalam ilmu ekonomi untuk mengetahui

bagaimana pembentukan harga pasar dan keputusan penetapan harga oleh suatu

perusahaan atau penjual. Pasar merupakan satu kelompok penjual dan pembeli

yang mempertukarkan barang yang dapat disubstitusikan, dan hal ini akan

menimbulkan persaingan yang terjadi.

Pengertian mengenai persaingan seperti yang diungkapkan oleh Kotler dan

Porter menyatakan bahwa persaingan dalam konteks pemasaran adalah keadaan

dimana perusahaan pada pasar produk atau jasa tertentu akan memperlihatkan

keunggulannya masing-masing, dengan atau tanpa terikat peraturan tertentu dalam

rangka meraih pelanggannya (Kotler, 2002). Sedangkan menurut Porter,

persaingan akan terjadi pada beberapa kelompok pesaing yang tidak hanya pada

produk atau jasa sejenis, dapat pada produk atau jasa substitusi maupun

persaingan pada hulu dan hilir (Porter, 1996).

Dalam kehidupan sosial, persaingan biasanya terjadi dalam bisnis diantara

pebisnis, atau di pasar di antara para penjual barang yang sama, atau dalam

57
kehidupan politik untuk memperebutkan jabatan-jabatan publik dan adminstrasi

atau dalam kehidupan sosial untuk menunjukkan yang lebih kaya, lebih bergengsi,

lebih cantik, dsb.

Seperti persaingan didalam kehidupan sosial yang terjadi antara pebisnis

panglong yang satu dengan pebisnis panglong yang lainnya. Persaingan-

persaingan ini bersifat terbuka, karena dimana para pesaing tidak secara langsung

berhubungan dengan satu dengan yang lainnya, karena para pebisnis atau para

pedagang ini akan dinilai oleh para pembelinya. Pembeli yang akan menilai

sendiri mana panglong yang lebih baik ia kunjungi untuk datang membeli atau

pembeli datang ke panglong itu hanya untuk bertanya harga barang saja.

Membandingkan harga barang yang mana yang lebih murah, di panglong suku

Jawa, atau Tamil, atau suku Tionghoa.

Persaingan ini menimbulkan suatu acuan yang harus mereka gunakan,

seperti etika, yang mencakup etika bisnis, etika berjualan, etika berdagang.

Dengan adanya acuan yang muncul dan mau tidak mau harus mereka pergunakan

dan nantinya akan timbul dan muncul sendiri mana pelayanan yang memang

menggunakan etika yang baik, dan mana yang menggunakan etika yang kurang

baik dengan pelanggannya.

Persaingan tersebut diatas terjadi tanpa para pesaing berhubungan

langsung dengan satu sama lainnya untuk bertanding. Yang mereka lakukan

adalah dengan menunjukkan hasil kerja mereka masing-masing, yang dinilai oleh

pembeli atau konsumen yang akan membeli ditoko panglong mereka masing-

58
masing. Yang mana masing-masing adalah yang lebih baik dibandingkan dari

lawan yang menjadi saingannya.

Bila salah satu dari pihak pesaing itu melanggar aturan main atau

peraturan dengan cara melukai pedagang atau pebisnis yang menjadi lawannya

atau membakar usaha dagangnya, atau berbagai cara lain yang dilakukan untuk

menghancurkan reputasi bisnis milik pesaingnya, maka yang terjadi bukanlah

persaingan malah sebuah konflik.

Persaingan terjadi dikarenakan timbulnya rasa ingin selalu menang dari

sang lawan, ingin selalu berada di peringkat nomer satu, tidak mau kalah, dan

sangat menjunjung harga tinggi individu. Jika terjadi kekalahan di antara salah

satu lawan, maka sang pemenang akan sangat bangga dan senang karena dapat

menjatuhkan lawan.

Dan jika sang lawan pun memiliki sifat yang bersifat balas dendam, maka

terjadilah konflik. Baik itu konflik yang kecil, sedang, maupun yang besar. Bisa

sampai dengan berujung dengan pembunuhan. Tetapi, persaingan antar pedagang

panglong ini tidak terlihat begitu menonjol, dan tidak terlihat begitu berbahaya

atau sangat berbahaya. Karena persaingan ini hanya bersifat konflik kecil yakni

menjelek-jelekkan pedagang yang satu dengan pedagang yang lain. Agar dimata

individu atau dimata pembeli atau dimata orang sekitar, bahwa pedagang satu lah

yang baik, yang bagus, yang lebih mempunyai etika dan kualitas pelayanan

yangbaik daripada panglong yang lain.

59
Lokasi Perdagangan Panglong di Kota Lubuk Pakam

Panglong

JL. ST HASANUDDIN
JL.CIK DITIRO
Tamil

JL. PASAR 3
KOTA LUBUK PAKAM

Pajak
Delimas Pajak

JL. ST HASANUDDIN
Plaza
JL.CIK DITIRO

JL. SERDANG

Panglong Cina

JALAN KH.AHMAD DAHLAN JALAN KH.AHMAD DAHLAN

Panglong Jawa

3.1.1. Situasi Proses Jual-Beli

Situasi atau keadaan jual-beli yang terjadi diantara ketiga pedagang

panglong antar suku beragamsituasi atau beragam keadaan dimana seseorang

harus melakukan dan melaksanakan sesuatu atau tujuan. Misalnya dalam perilaku

konsumen, para pembeli yang sudah memasuki panglong suku Tamil, mau tidak

mau, dan dalam situasi atau kondisi yang mendesak, maka ia akan berbelanja

dengan harga yang mahal. Alasan nya karena ia menganggap sudah sampai di

panglong ini, sudah terlanjur bertanya, dan sudah di sediakan barang atau

ditunjukkan barangnya, sudah di keluarkan pesanan barang yang sesuai dengan

60
apa yang kita cari apa yang kita inginkan, maka dalam kondisi dan keadaan

tertentu, pembeli harus membayar dengan harga berapapun.

Jika ia merasa terlalu mahal, dan jauh dari harga pasaran, maka pembeli

akan melakukan pembelian di panglong lain. Bisa jadi, panglong lain lebih murah

dan bisa jadi lebih mahal. Ada yang beranggapan bahwa, ketika sudah memasuki

panglong ya sudah berbelanja saja, seperti yang di kemukakan oleh bapak Eka

bahwa :

“Hak saya mau berbelanja kemana. Saya mau berbelanja ke


panglong yang mana, ya hak saya.”

Jadi dapat disimpulkan bahwa, pak Eka mendasari dan menjalankan

dengan menggunakan hak dia sebagai pembeli. Mau berbelanja dimana, dan

kemana. Tetapi, berbeda dengan pak Buchori yang sudah terlanjur untuk

berbelanja, seperti yang dikemukakan olehbapak Buchori :

“Sudah terlanjur masuk ke panglong. Ya mau tidak mau harus


berbelanja.”

Nah, dalam situasi dan kondisi atau keadaan seperti ini, maka harga yang

diberikan pun otomatis tidak akan ditawar. Karena, sudah terlanjur masuk dan

terlanjur sudah mengunjungi dan bertanya barang dengan merk yang kita cari.

Situasi proses jual-beli ini, menurut saya pedagang bisa membedakan mana yang

hanya membeli sementara dan membeli seterusnya. Maksud dan arti dalam

membeli sementara yakni, hanya membeli kebutuhan untuk sementara. Dalam

contohnya yakni, anak sekolah ia berbelanja pasti untuk sementara, untuk

pekerjaan tangan disekolahnya atau disuruh oleh gurunya. Kesempatan pedagang

61
panglong antar suku ini, baik suku Tionghoa, Jawa, dan Tamil dalam memberikan

harga, bisa mahal dan bisa juga murah.

Sebaliknya pedagang juga bisa membedakan bahwa membeli yang

seterusnya yakni usia dewasa atau orang dewasa. Kelihatan dari pertanyaannya,

pelanggan membutuhkan apa, pelanggan ingin berbelanja barang apa, makanya

pedagang bisa memberikan harga yang sesuai dengan harga pasar atau dengan

harga dibawah modal. Karena, pedagang punya strategi dalam mengatasi hal

tersebut agar jadi berbelanja kepanglongnya. Dan kalaupun tidak jadi berbelanja

kepanglongya, maka itu adalah hak pembeli kata Pak Aheng. Seperti pernyataan

pak Aheng bahwa :

“Kalau tidak jadi membeli disini, yaudah itu hak dia.”

3.1.2. Jenis Barang yang dijual di Panglong

Jenis barang yang dijual di panglong di kota Lubuk Pakam adalah barang

yang kasar atau yang besar hingga barang yang kecil. Barang yang besar seperti

batukoral, batubata, batukerikil, semen, pasir, kayu, besi, papan. Sementara untuk

barang yang kecil seperti, paku, besi pengikat (cincin), seng, lobang angin,

rabung, paku seng, kawat, kosen untuk jendela dan untuk pintu, wc, pintu kamar

mandi, pintu, jendela, cat, kuas, pipa, talang, lat asbes, asbes, dsb.

Jenis-jenis dan tipe-tipe barang yang dijual di ketiga panglong antar etnis

Tionghoa, Jawa, dan Tamil ini jenisnya sama. Yang membuat perbedaan adalah

harganya. Ada yang menjual dengan harga murah, dan ada yang menjual dengan

harga sesuai dengan pasar. Berikut ada beberapa penulis lampirkan foto, untuk

mengetahui barang-barang yang bersifat kasar atau besar dan beberapa harganya.

62
Foto 2. Batubata

Harga Batubata di kota Lubuk Pakam saat ini adalah Rp.480. Dengan

harga Rp.480, itupun terkadang pembeli masih membandingkan harganya dengan

panglong lain. Ada beberapa pelanggan yang mencari karena harga yang murah,

tetapi ia belum tau kualitas dari batubata ini.

Foto 3. Pasir

Pasir, harga pasir ini beda-beda setiap pedagang panglong yang jual.

Mereka menjual dengan melihat tipe mobil, karena berbeda tipe mobil maka isi

63
dari muatan dan ukuran dari bak mobil jelas sudah berbeda. Ada yang pembeli

yang belum mengerti mengenai tipe mobil dan ukuran isi dari bak mobil, ada juga

sebagian pembeli yang mengerti dan sudah tahu ukuran dan isi dari muatan bak

mobil. Harga pasir per-kubik dijual Rp.100.000. ada pedagang yang mengisi

muatan dengan rata bak saja, ada juga beberapa pedagang yang mengisi muatan

dengan tinggi di belakang bak mobilnya.

Foto 4. Batu Koral

Batu Koral atau batu besar ini dijual dengan harga per-kubik Rp.250.000.

Batu koral ini sangat berguna untuk membangun rumah di awal untuk pondasi.

Foto 5. Batu Kerikil/Batu Guli

64
Batu Kerikil ini dijual dengan harga per-kubik sama dengan batu koral

yakni Rp.250.000.

Foto 6. Semen

Semen dijual dengan harga Rp.49.000 per sak nya ukurannya 40kg. Di

panglong kota Lubuk Pakam konsumen masih banyak menggunakan merk semen

Andalas.

3.2. Panglong Etnis Jawa

Panglong etnis Jawa menjual bahan-bangunan dengan lengkap untuk

membangun rumah. Panglong suku Jawa memiliki 10 orang pegawai/pekerja

terdiri dari 4 supir, 4 kenek (yang menemani supir), 1 kepala pengatur atau orang

kepercayaan atau tangan kanan, 1 penjaga dipanglong baik yang menjaga siang

dan malam untuk mengawasi panglong. Panglong etnis Jawa memiliki 3 mobil

pengangkut barang. Jika supir tidak datang maka ada yang menggantikan supir ke

satu tetapi jika supir yang satu datang, maka yang berada didalam mobil untuk

65
mengantar barang bangunan bisa jadi 3 orang, yakni 2 orang supir dan 1 orang

kenek (yang menemani supir). Walaupun profesinya sebagai supir, tetapi dia tetap

ikut bongkar-muat barang, bukan kenek (yang menemani supir) saja yang ikut

membongkar-muat.

Semua bekerja untuk membongkar-muat. Mereka digaji perhari, bukan

per-borongan atau per-trip atau yang disebut dengan per-muatan. Gaji supir lebih

besar daripada gaji kenek (yang menemani supir) karena, resiko lebih besar

dimiliki oleh supir daripada kenek. Gaji supir Rp. 80.000 itupun kotor tidak

bersih, maksudnya gaji segitu tidak dengan uang makan, ketika ia meminta uang

untuk makan atau untuk keperluan dan kebutuhan lainnya, maka akan dipotong

dari yang ia minta kepada toke (pemilik toko panglong). Sama dengan kenek

(yang menemani supir) gajinya lebih murah yakni Rp.65.000 itu juga tidak bersih,

jika ia meminta uang untuk makan dan keperluan lainnya, maka akan dipotong

dari gajinya.

Panglong etnis Jawa terletak pas dengan depan-depanan panglong suku

Tionghoa. Panglong suku Jawa berdiri dari tahun 2000. Panglong etnis Jawa

memiliki 2 panglong. Yang satu berada di kota yang satu berada di desa Sekip.

Modal awal yang digunakan oleh panglong etnis Jawa dalam membangun

panglong dan membuka usaha dagang panglongnya lebih kurang berkisar

Rp.200.000.000. Pendapatan yang diperoleh perbulan tidak tetap, bisa Rp.

15.000.000 bisa kurang dari Rp. 15.000.000 itupun tidak bersih pendapatannya,

itu belum untuk kebutuhan sehari-hari yakni makan, dan juga belum membayar

66
gaji anggota, belum juga membayar listrik, belum membayar kebutuhan yang

lain-lain.

Panglong etnis Jawa pernah mengalami kerugian yang besar, yakni

dibohongi dan ditipu oleh pemborong, juga pernah dibohongi dalam pekerjaan

proyek-proyek, seperti proyek pembangunan parit, proyek dari pemerintah yang

pembayarannya digantung dan tidak keluar bertahun-tahun. Oleh sebab itu

kerugian bisa mencapai ratusan juta rupiah. Belum lagi, pemborong yang awalnya

lancar membayar tetapi lama-lama ia lari dan membawa uang nya kabur dan tidak

membayar sisa utang yang berada dipanglong.

Hambatan yang diperoleh oleh etnis Jawa yakni, daya beli yang semakin

berkurang. Karena ekonomi melemah, dan lagipula banyak yang sudah membuka

panglong. Memang, lokasi panglong antar panglong yang lain jauh, dan tidak

sama berada dikota, tetapi para pelangan membeli sekarang melihat harga yang

murah, dan selalu bertanya-tanya ke panglong lain. Jika panglong yang jauh lebih

murah, maka ia akan pergi kepanglong yang jauh daripada yang dekat.Panglong

etnis Jawa hanya bisa memberikan pelayanan yang terbaik, yakni ramah-tamah

dan tutur kata yang sopan santun untuk meyakini pembeli.

3.3. Panglong Etnis Tionghoa

Panglong etnis Tionghoa menjual alat-alat dan perlengkapan bahan

bangunan yang lengkap, mulai dari perlengkapan bangunan yang besar hingga

yang kecil. Panglong etnis Tionghoa terletak dikota pas depan-depanan dengan

panglong etnis Jawa.

67
Panglong etnisTionghoa memiliki 10 orang pekerja, yang mana terdiri dari

5 supir dan 5 kenek (yang menemani supir). Mereka di gaji perhari bukan

permuatan atau per trip. Gaji supir lebih besar daripada gaji kenek (yang

menemani supir) karena, resiko lebih besar dimiliki oleh supir daripada kenek.

Gaji supir Rp.85.000 itupun kotor tidak bersih, maksudnya gaji segitu tidak

dengan uang makan, ketika ia meminta uang untuk makan atau untuk keperluan

dan kebutuhan lainnya, maka akan dipotong dari yang ia minta kepada toke

(pemilik toko panglong). Sama dengan kenek (yang menemani supir) gajinya

lebih murah yakni Rp.70.000 itu juga tidak bersih, jika ia meminta uang untuk

makan dan keperluan lainnya, maka akan dipotong dari gajinya. Jika para pekerja

membuat kehilangan barang, atau ketika mengantar barang, barangnya kurang

maka akan dipotong dari gaji mereka. Karena mereka sudah diberikan bon untuk

mengantar barang, dan mereka sudah diberitahu lebih dulu untuk mengecek

barang sebelum pergi mengantar barang.

Panglong etnis Tionghoa tidak memiliki penjaga malam, dikarenakan etnis

Tionghoa membuat pagar dan temboknya tinggi, dan yang menjadi tangan kanan

atau kepercayaannya adalah anaknya sendiri. Anaknya yang mengatur buangan

atau barang antaran yang hendak diantar kemana, anaknya yang mengira atau

menghitung keluar-masuk barang, anaknya yang mengontrol barang. Panglong

etnis Tionghoa membuka usaha nya pada tahun 1998. Pendapatan pedagang

panglong etnis Tionghoa minus perbulan sehingga harus menutupi dengan uang

tabungannya. Karena jumlah daya beli pembeli yang berkurang, karena

68
melemahnya ekonomi dan banyaknya sekarang toko-toko yang buka yang

menjual usaha bahan bangunan.

Pendapatan perbulan tidak tetap, hal ini dikarenakan adanya penurunan

terus dari pembeli setiap harinya, sehingga panglong etnis Tionghoa terkadang

menawarkan dan bertanya, berikut pertanyaannya :

“Ibu tidak ambil kayu lagi? Kok jarang ambil kayu?”

Pedagang panglong etnis Tionghoa pernah mengalami kerugian yang

begitu besar, dan kasusnya sama yakni dibohongi dan ditipui oleh pemborong.

Duitnya dibawa lari, sementara mereka melapor ke polisi hukumannnya hanya

perdata, dan harus mengurus kesana-kemari sehingga tidak tuntas dan tidak beres

dan akan membutuhkan waktu yang lama.

Kerugian yang dicapai bisa mencapai ratusan juta rupiah, karena

contohnya pemborong berbelanja untuk pembangunan proyek atau pembangunan

jalan, baik dari anggaran APBD, dari anggaran pemerintah, dan lain-lain.

Anggaran tersebut tidak turun, sehingga harus menunggu beberapa waktu, dan

memakan waktu yang cukup lama bahkan hingga tahunan.

Sehingga, membuat pedagang bahan bangunan menderita kerugian yang

begitu besar. Panglong etnis Tionghoa walaupun menderita kerugian yang begitu

besar, tetapi ia tetap bisa mempertahankan usaha dagangnya. Karena ia masih

mempergunakan sifat hemat dan melihat masa depan bagaimana akhirnya. Maka

mereka sangat teliti dalam menghitung dan dalam berspekulasi.

69
3.4. Panglong Etnis Tamil

Panglong etnis Tamil ini menjual segala jenis perlengkapan bahan-

bangunan dengan lengkap, mulai dari perlengkapan bangunan yang kasar(besar)

hingga menjual alat bahan-bangunan yang kecil.

Panglong etnis Tamil ini buka pada tahun 2001. Panglong etnis Tamil ini

memiliki 8 orang pekerja. 4 orang supir dan 4 orang kenek (yang menemani

supir). Sama dengan Panglong suku Tionghoa dan Jawa, gaji supir lebih besar

daripada gaji kenek (yang menemani supir) karena, resiko lebih besar dimiliki

oleh supir daripada kenek. Gaji supir Rp.75.000 (tujuh puluh lima ribu rupiah)

itupun kotor tidak bersih, maksudnya gaji segitu tidak dengan uang makan, ketika

ia meminta uang untuk makan atau untuk keperluan dan kebutuhan lainnya, maka

akan dipotong dari yang ia minta kepada toke (pemilik toko panglong). Sama

dengan kenek (yang menemani supir) gajinya lebih murah yakni Rp.65.000 (enam

puluh lima ribu rupiah) itu juga tidak bersih, jika ia meminta uang untuk makan

dan keperluan lainnya, maka akan dipotong dari gajinya.

Panglong etnis Tamil ini terletak dikota Lubuk Pakam tidak jauh dari

panglong etnis Tionghoa dan Jawa. Jaraknya hanya kira-kira 100m, lebih kurang

3-5 menit sampai. Jadi secara tidak langsung panglong ini arahnya searah atau

berderet, tidak berjauh-jauhan.

Makanya persaingan dan strategi yang dilakukan sangat ketat, dan

bermacam-macam untuk mempertahankan pembeli. Panglong suku Tamil ini,

memiliki pendapatan perbulan berkisar Rp.10.000.000–Rp.15.000.000.

Pendapatan tidak tetap, karena pedagang umumnya penghasilan yang dihasilkan

70
perbulan tidak menentu, apalagi kondisi saat ini melakukan persaingan dan

panglong ada dimana-dimana.Kerugian yang begitu besar juga dialami oleh

panglong etnis Tamil, yakni ratusan juta rupiah. Penyebabnya, karena terkadang

pembeli yang membangun rumah, awalnya pembayaran lancar, tapi lama-

kelamaan kasbon, hingga terjadilah hutang. Ditagih, lama-lama bilangnya

beberapa minggu dibayar, tapi tidak kunjung datang. Sehingga malas untuk

menagih kembali, dan terjadilah uang yang mati atau tak kunjung kembali tapi

barang sudah diantar. Oleh sebab itu, terjadilah kerugian yang begitu besar, di

awal baik dalam pembayaran, lama-lama ia kasbon atau hutang sehingga ditagih

terus menerus mengulur waktu.

3.5. Persaingan Dagang antar etnis Tionghoa-Jawa

Dalam dunia bisnis/dagang, etnis Tionghoa menguasai dunia bisnis (Ann

Wan Seng, 2013). Berpuluh-puluh, beratus dan bahkan beribu-ribu pengusaha

tangguh dari etnis Tionghoa mewarnai pesaingan bisnis. Kultur sosial adalah

salah satu aspek yang penting dalam kewirausahaan. Kultur sosial adalah

pembahasan yang menarik yang dapat memberikan pengaruh besar dalam

mendorong tumbuh dan berkembangnya wirausaha-wirausaha baru.

Kultur sosial sangat penting dalam kewirausahaan, menurut konsep

kebudayaan E.B. Taylor (1871) yaitu satu keseluruhan kompleks yang

mengandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, kesusilaan, hukum, adat

istiadat, kebiasaan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh oleh

manusia sebagai anggota masyarakat.

71
Etnis Tionghoa memiliki elemen-elemen budaya yang berbeda dengan

budaya pada etnis Jawa. Masing-masing etnis memegang warisan budaya dan

perilaku sosial yang unik yang diwariskan dari generasi ke generasi yang pada

akhirnya menimbulkan perasaan identitas kelompok, seperangkat nilai,

kepentingan politik, ekonomi, dan pola-pola perilaku yang tidak sama diantara

kedua kelompok etnis ini.Keberhasilan etnis Tionghoa dalam berwirausaha tak

lepas dari etos kerjanya yang tinggi, keberanian mereka dalam berwirausaha

sudah tidak diragukan lagi, etos kerja yang tinggi, kemauan untuk berspekulasi,

dan berinventasi mendukung kemampuan etnis Tionghoa dalam berwirausaha.

Etnis Tionghoa juga tidak mau menyerah dalam mencoba sesuatu, bila

mereka gagal dan jatuh, mereka akan terus mencoba, tetapi jarang sekali sih

mereka gagal dan jatuh. Karena mereka sudah belajar dalam mempelajari dan

dalam memulai sebuah usaha.

Penelitian yang dilakukan Riyanti (2003) menemukan bahwa semakin

lama seseorang menjalankan suatu usaha (entrepreneurial age), semakin banyak

pengalaman yang ia peroleh, sehingga semakin mampu dia mengelola usaha

dengan berhasil. Etnis Tionghoa yang sudah sejak dini dan turun temurun

“bergulat” dengan dunia wirausaha akan mempunyai pengalaman yang lebih

dalam mengelola usahanya, hal ini yang meningkatkan presentase kesuksesan

wirausahawan dari etnis Tionghoa.

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan itu bersifat universal yang

diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia

dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan

72
belajar. Kegiatan bisnis sangat membantu usaha-usaha untuk memenuhi

kebutuhan manusia (masyarakat) oleh lembaga bisnis (perusahaan). Bisnis

merupakan segala aspek/semua aspek kegiatan untuk menyalurkan barang-barang

melalui saluran produktif dari membeli bahan mentah sampai menjual barang jadi.

Pedagang yang khusus melakukan pembelian dan penjualan, merupakan

jalur penghubung antara produsen dengan konsumen dan membantu produsen

mengatasi masalah-masalah pada saat mencari konsumen, serta pada saat pembeli

mencari produsen. Oleh karena itu menurut Basu Swastha (1998) pada pokoknya

kegiatan bisnis meliputi perdagangan (melalui pedagang).

Bisnis hari ini seolah membenarkan bahwa etnis Tionghoa lah yang paling

berjaya dan yang paling sukses di era zaman Global saat ini. Maka tak heran,

dalam dunia bisnis dan dalam dunia dagang, dan dalam dunia wirausaha etnis

Tionghoa lah yang paling tinggi posisinya, baik di Ibu kota maupun di

Kecamatan. Seperti di Lubuk Pakam ini, saat ini etnis Tionghoa lah yang paling

banyak menguasai pasar perdagangan, baik itu berdagang sembako,

berdagang/membuka usaha shoroom, dan juga salah satunya berdagang

panglong(bahan bangunan).

Di Lubuk Pakam, keadaan persaingan memang terlihat biasa saja. Tetapi

jika di amati, terlihat begitu jelas dari buangan atau mobil keluar masuk. Dari

banyaknya para pekerja, dari banyaknya pembeli yang datang, dsb.

Etnis Tionghoa menganggap persaingan ini ‘biasa saja’ ketika penulis

wawancarai. Tetapi ketika penulis amati, mereka tidak begitu biasa saja, berbeda

dengan apa yang beliau katakan kepada penulis. Mereka mengamati mengapa

73
panglong etnis Jawa yang lebih banyak pembelinya daripada panglong etnis

Tionghoa atau etnis ia sendiri. Padahal dari zaman nenek moyang, atau dari

zaman dahulu etnis Tionghoa lah yang paling terkenal dalam

berdagang/berwirausaha. Ketika penulis berdiri selama beberapa hari, beberapa

minggu didepan panglong etnis Tionghoa sambil mengamati, sambil melihat,

etnis Tionghoa terkadang melihat-lihat dipanglong etnis Jawa. Mengintip-ngintip,

banyak atau tidak buangan/mobil keluar masuk, banyak atau tidak pembeli yang

datang berkunjung kepanglong etnis Jawa. Dan lagi dia melihat dari dekat, dan

terkadang anggota disuruh pura-pura membeli kepanglong etnis Jawa, untuk

mengetahui harga barang.

Etnis Tionghoa ketika penulis wawancarai mengenai bagaimana

tanggapan bapak dalam menanggapi persaingan, berikut pernyataan dari bapak

Aheng (49 tahun) menyatakan :

“Biasa aja. Ya kalau mau beli ya beli. Datang-beli-jual-kasih.’”

Pernyataan yang dikemukakan tidak sesuai dengan apa yang beliau

sampaikan kepada penulis. Mereka menganggap persaingan atau kompetisi ini

harus dipegang sama mereka atau kemenangan harus ada pada mereka. Bahkan

ketika etnis mereka (Tionghoa) berbelanja kepanglong etnis lain, mereka secara

tidak langsung menegur. Kenapa ke sana berbelanja? Sementara disini banyak

sesama Tionghoa yang berjualan. Nah, sejak dari situlah maka orang yang ber

etnis Tionghoa tidak pernah lagi berbelanja kepanglong etnis lain. Padahal,

kebanyakan yang berbelanja kepanglong etnis Tionghoa adalah orang dari

berbagai etnis, bukan etnis nya (Tionghoa) saja. Sementara etnis dia (Tionghoa)

74
dilarang berbelanja kepanglong etnis lain. Kesatuan dan kekuatan serta dalam

berhubungan relasi mereka sangat kuat dalam hal apapun. Mereka sangat

mendukung etnis mereka dalam berbagai hal dan dalam berbagai cara.

Bisnis sudah menjadi darah daging orang-orang Tionghoa (Fung Yu

Lan,1960). Bisnis memberikan daya tarik tersendiri dalam kehidupan mereka

sehingga hampir sebagahian besar (kalaupun tak semua) orang-orang Tionghoa

melakukan kegiatan bisnis untuk menunjang kehidupannya. Dengan bisnis,

mereka berada pada posisi menengah dan puncak dalam kehidupan yang layak

diseluruh dunia.

Dalam kehidupan sehari-hari, jutaan orang-orang Tionghoa diseluruh

dunia melakukan bisnis. Mereka berhasil meraup keuntungan dan memperbesar

nilai usahanya yang semakin lama semakin berkembang maju. Kegiatan bisnis

buat mereka sesuatu yang paling menarik dalam kehidupan. Budaya bisnis ini

mereka turunkan dari satu generasi ke generasi lainnya secara turun-menurun.

Maka, tidaklah mengherankan kalau orang-orang Tionghoa tidak terlalu

pusing memikirkan lapangan pekerjaan buat anak-anak mereka, karena anak-anak

mereka etnis Tionghoa telah diberikan bekal dari sejak kecil. Bisnis etnis

Tionghoa tidak berkisar jauh dari bisnis keluarga. Orang Tionghoa biasanya

menularkan virus bisnis mereka yang pertama adalah kepada keluarga.

Mereka mengamati betul-betul apa kekurangan mereka, sehingga kenapa

lebih banyak berbelanja kepanglong lain. Mereka terus akan mengembangkan

segala cara dan mengembangkan ide untuk mempertahankan pelanggan dan untuk

menarik calon pembeli baru. Perdagangan merupakan suatu kegiatan ekonomi

75
yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencari

keuntungan, yang termasuk dalam golongan pedagang adalah orang-orang yang

dalam pekerjaan sehari-harinya adalah membeli barang yang kemudian untuk

dijual kembali. Dalam prinsip ekonomi, perdagangan adalah untuk mencari laba

atau keuntungan sebesar-besarnya atau sebanyak-banyaknya dan prinsip ini

menjadi simbol kekayaaan sebagai adanya status sosial kelas menengah pedagang.

Dunia orang Tionghoa adalah dalam bidang perdagangan, karena adanya

kepercayaan hanya dengan berdagang, maka mereka dapat kaya dan

meningkatkan taraf hidupnya. Dunia perdagangan tidak ada batasnya, oleh karena

itu setiap orang bebas bergerak di dalamnya selagi memiliki keinginan dan

dengan berdagang dapat membangun kepercayaan dan keyakinan.

Dunia dagang adalah dunia yang menjanjikan kesenangan dan

kebahagiaan, karena dapat memperkuat ikatan keluarga dan membentuk

hubungan sosial yang kuat. Budaya bisnis atau dagang mereka turunkan dari satu

generasi ke generasi berikutnya secara turun temurun.

Dengan menjalankan usaha secara turun-temurun tradisi Tionghoa ini

dalam mengembangkan dan menjalankan usaha dari Bapaknya atau dari

Kakeknya bahkan Buyutnya, maka sekarang bisnis panglong Tionghoa ini

diteruskan oleh anaknya.

76
3.5.1. Etos Kerja Dan Perilaku Dagang Etnis Tionghoa

Etos kerja menurut Cherrington (dalam Nugroho, 1994) adalah cara

pandang seseorang terhadap pekerjaan atau dapat diartikan sebagai nilai kerja

yang positif. Bila pandangan dan sikap terhadap kerja tersebut bersifat positif,

maka etos kerjanya juga akan bersifat positif, orang akan bekerja keras dan

berusaha mencapai hasil yang terbaik dalam pekerjaannya. Etos kerja bisa dilihat

melalui tiga indikator (Cherrington dalam Nugroho, 1994), yaitu kerja sebagai

kewajiban moral, disiplin, kerja tinggi, dan kebanggan akan hasil karya.

Anoraga (2001) menyatakan bahwa etos kerja adalah pandangan dan sikap

suatu bangsa atau suatu umat terhadap kerja. Bila pandangan dan sikap tersebut

melihat kerja sebagai sesuatu yang luhur bagi eksistensi manusia, maka etos

kerjanya akan mendalam, orang tersebut akan bekerja dengan keras dan dengan

bersungguh-sungguh untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Begitu pula dengan

sebaliknya, jika sama sekali tidak adanya pandangan dan sikap terhadap kerja,

maka etos kerja itu kurang mendalam, dan orang itu tidak bersungguh-sungguh

dalam bekerja.

Sinamo (2005) juga mengungkapkan bahwa etos kerja adalah nilai-nilai

dan doktrin kerja tertentu yang mewujud nyata pada perilaku kerja yang khas.Etos

kerja adalah suatu sikap, semangat kerja dan pandangan kerja yang total, ciri atau

sifat yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok bangsa.

Menurut Anoraga (2001:52) ada beberapa faktor yang mempengaruhi etos

kerja salah satunya yakni kebudayaan atau budaya yang mana kebudayaan etnis

Tionghoa telah diketahui bahwa bersifat kerja keras, disiplin yang tinggi.

77
Terbukti bahwa etnis Tionghoa yang berdagang panglong memiliki

disiplin yang sangat tinggi. Apalagi dalam memerintah anak buahnya, dalam

memberi tanggung jawab kepada tangan kanan atau istilahnya orang kepercayaan

dalam menghitung barang keluar-masuk, jika ada barang yang kurang atau yang

rusak, atau yang hilang maka orang kepercayaan ini lah yang akan disuruh untuk

bertanggung jawab dan mengganti segala kekurangan dan kerusakan barang

tersebut. dengan cara memotong gaji karyawan atau dipecat.

Pedagang Tionghoa menurut Hana (Daryono, 2007:306) memiliki

kecenderungan etika utilitarianisme yang tinggi. Menurut Luthans etika

utilitarianisme ideal adalah suatu bentuk etika yang menekankan pada

konsekuensi atau suatu bentuk tindakan yang dapat dinilai dengan

mempertimbangkan aspek yang lebih luas, seperti nilai internal manusia serta

hubungan teman serta pengetahuannya.

Keuletan etnis Tionghoa dalam berdagang sudah sangat dikenal oleh

masyarakat pada umumnya. Dari contohnya, yakni dengan mengembangkan

usaha turun-temurun dari ayahnya, lalu ke anaknya, lalu ke cucunya begitu

seterusnya. Mereka mampu menjaga dan menjalankan usaha dari ayahnya.

Mereka mampu mengambil resiko, mengambil kerugian tapi dengan

memperhitungkan dulu di masa depan bagaimana..Nilai-nilai budaya serta prinsip

dan moto kehidupan yang banyak mendukung terbentuknya suatu etos kerja yang

tinggi untuk mendukung perilaku kewirausahaan yang banyak dimiliki oleh etnis

Tionghoa. Prinsip dasar etnis Tionghoa yakni, agresif, jangan melepaskan

peluang, berani mengambil risiko, tahan banting, dan jangan pernah menyerah

78
kepada nasib. Etnis Tionghoa memang sangat ulet dan teliti dalam menjalankan

suatu usaha. Apalagi dalam memberi harga serta pengurangan harga, kalau bisa

pun jangan kurang dari harga awal yang sudah ia tawarkan kepada pembeli

(konsumen). Karena bagi nya, keuntungan harus ada, dan ia mengingat kerja keras

untuk membangun serta mengembangkan usaha dagang panglongnya ini. Seperti

yang dinyatakan oleh bapak Aheng (49 tahun) :

“Ya hematlah, pandai-pandai dalam memajukan usaha.”

Dalam berdagang harus bisa bersikap dengan serius dan memiliki

komitmen untuk mencapai keberhasilan. Dalam falsafah bisnis etnis Tionghoa

“pedagang yang jatuh akan merasa sakit, tetapi rasa sakit itulah yang membuatnya

bangkit kembali.”

3.5.2. Etos Kerja Perilaku Dan Sikap Etnis Jawa

Perilaku (behavior) adalah operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang

atau suatu kelompok dalam atau terhadap sesuatu (situasi dan kondisi) lingkungan

(alam, masyarakat, teknologi, atau organisasi). Perilaku adalah salah satu fungsi

dari terjadinya suatu interaksi antar seorang individu dengan lingkunngannya.

Oleh karena itu, perilaku seorang inidividu denngan yang lainnya akan berbeda

sesuai dengan lingkungannya masing-masing. Hal ini berarti seorang individu

dengan lingkungan keduanya secara langsung akan menentukan perilaku orang

yang bersangkutan (spocjournak.com.htm/2014).

Perilaku wirausaha merupakan perilaku yang tercipta dari lingkungannya,

dan terbentuk melalui lingkungan dimana ia tinggal. Maka dari itu, seorang

79
wirausaha yang akan membuka usaha di kota nya terlebih dulu melihat dan

mendapatkan ide untuk menciptakan suatu usaha di lingkungannya. Usaha apa

yang cocok dilingkungannya, dan usaha apa yang dibutuhkan dan diperlukan

dilingkungannya.

Penelitian dari Supraktiknya (2005:62) bahwa nilai-nilai tradisional Jawa

sejalan dengan ciri-ciri utama kolektivisme, yaitu : (1) menekankan sifat rendah

hati, penuh pengendalian diri, tidak suka menonjolkan diri, serta mengutamakan

pandangan, kebutuhan, dan tujuan kelompok, (2) menekankan status, peran, dan

hubungan baik, mengutamakan sikap mendahulukan kepentingan orang lain serta

kemampuan menyesuaikan diri dan menjaga harmoni dengan lingkungan sosial.

Etnis Jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan, serta

menjaga etika baik secara isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak

berbicara, hal ini dikarenakan etnis Jawa sangat menjunjung tinggi nilai

kesopanan dan tingkah laku (Endraswara, 2012:67). Etnis Jawa sangat

menjunjung etika, baik secara sikap maupun berbicara. Tapi sangat disayangkan

bahwa etnis Jawa lebih bersifat terima nasib, contoh yang nyatanya ketika saya

wawancarai pedagang panglong etnis Jawa bapak Fahrin mengemukakan :

“Kalau rezeki takkan kemana ia pergi. Kalau pembeli banyak


datang, ya Alhamdulillah berarti rezeki kita lagi baik. Tapi kalau
pembeli belum ada yang datang atau sedikit yang datang, ya
berarti rezeki kita belum baik belum terbuka.”

Nah, dengan sikap menerima apa adanya inilah, yang membuat etnis Jawa

kurang untuk giat berusaha dan bekerja keras. Malah ia bersifat santai saja, seperti

tidak memiliki pesaing, tidak terlalu memikirkan bagaimana usaha nya di masa

depan dan apa yang akan terjadi kedepannya, ya jalani aja. Itulah yang kurang

80
dari sikap dan sifat etnis Jawa dalam berusaha. Makanya etnis Jawa dalam

berwirausaha kurang. Karena sifat nerimo nya yang masih dipergunakan sampai

saat ini.

Etnis Jawa masih menggunakan prinsip dan sifat nasib. Yang mana

artinya, bahwa semua itu bergantung kepada nasib. Kalau nasib lagi baik, maka

penjualan akan banyak. Tetapi, kalau nasib belum baik, maka penjualan belum

banyak. Jika, mengalami suatu kejadian atau kerugian bila ditipu atau dibohongi

oleh pelanggan dipanglong, maka ia berkata bahwa itu nasib kita lagi buruk.

Seperti yang dikemukakan oleh bapak Fahrin :

“Kerugian begitu besar dan banyak, itu tergantung nasib kita.


Karena kita kenapa bisa dibohongi dan tipui. Berarti itukan nasib
kita. Jadi ya terima aja.”

Sikap dan sifat etnis Jawa yang lainnya, yakni keramah-tamahan serta

halusnya dalam berbicara. Itulah kelebihan, sehingga pembeli dan pelanggan yang

datang kepanglong akan merasa senang dalam bahasa dan tutur kata etnis Jawa.

Yang melayani masih lemah-lembut dan ramah-tamah.

3.5.3. Etos Kerja Perilaku dan Sikap Etnis Tamil

Perilaku atau sikap yang diperanguhi oleh faktor kebudayaan dan faktor

lingkungan sosial dimana mereka berada. Apabila individu memandang positif

terhadap kemampuan dirinya maka individu tersebut akan berusaha mencapai apa

yang di inginkannya, begitu juga sebaliknya apabila individu memandang negatif

terhadap kemampuan dirinya maka seseorang tersebut akan merasa bahwa dirinya

81
tidak mampu untuk mencapai suatu prestasi sehingga dalam dirinya kurang

memiliki motivasi untuk meraih sesuatu (Fernald & Fernald, 1999).

Falsafah hidup etnis Tamil berbunyi “Yathum Ure, Yawerum Kelir” yang

artinya bahwa mereka harus menjaga tingkah laku dan budaya dalam

bermasyarakat dimanapun mereka berada. Solidaritas etnis Tamil masih kuat,

yakni berupa sistem tolong-menolong atau yang disebut dengan “Uthewi Sheitel”.

Solidaritas mereka diwujudkan pada saat melakukan perkawinan, rangkaian

upacara kematian, dan acara-acara hari besar lainnya. Pak Ragu (50 tahun)

mengatakan bahwa :

“Masih menjalankan kebudayaan dalam hal-hal saat perayaan hari-hari


besar dan upacara perkawinan, dan kuil kami terletak dikota tidak jauh
dari tempat tinggal kami.”

Sistem tolong-menolong ini memiliki prinsip yang timbal balik, orang

yang pernah ditolong harus membantu mereka ketika membutuhkan dan demikian

pula sebaliknya (Florence, 2012). Memang prinsip ini sejalan dengan etnis Tamil

yang berada di kota Lubuk Pakam, jika ia hendak dan mau menolong orang, maka

mereka akan terus mengingat jasa mereka kepada siapa yang dulu mereka pernah

tolong. Dan sewaktu-waktu mereka akan meminta imbalan atau meminta

pertolongan kembali sebagai timbal-balik tadi.

Etnis Tamil memiliki sifat yang sangat perhitungan, apa-apa harus

diperhitungkan jika itu uang atau kepunyaan milik mereka. Tetapi, jika itu

kepunyaan atau milik orang lain, maka mereka akan menghabiskan atau

mengeluarkan dengan sesuka hati mereka atau seenak mereka saja tanpa ada

sedikitpun perhitungan. Maka dari itu, di Lubuk Pakam terkenal sekali kalau ada

82
ular dan etnis Tamil, maka yang harus dimatikan adalah etnis Tamil nya. Karena,

etnis Tamil ini sangat bersifat menggigit atau bersifat ingin mengambil

keuntungan dari orang lain, tanpa rugi sedikitpun.

Seperti kata lain, bahwa biussan atau sifat nya yang kurang transparan,

kurang jujur, membuat etnis Tamil dipandang sebelah mata oleh orang-orang di

kota Lubuk Pakam.Ia tidak mau uangnya keluar, walaupun uang itu bukan hak

dia. Tapi jangan sampai uang yang berada di saku kantungnya keluar sedikitpun.

Karena ia tidak mau rugi atau tidak mau merasa dirugikan dalam hal apapun. Ia

hanya mau merasakan keuntungan saja, tidak mau dan tidak akan pernah

merasakan kerugian dan jangan sampai merasa rugi.Sifat yang dimiliki oleh

etnisTamil ini, sama seperti etnisTionghoa yakni bersifat individualis. Mereka

ingin menang sendiri, dan mementingkan diri sendiri.

3.6. Persaingan Dagang antar etnis Jawa-Tamil

Persaingan juga merupakan kenyataan hidup dalam dunia bisnis, sifat,

bentuk, dan intensitas persaingan yang terjadi dan cara yang ditempuh oleh para

pengambil keputusan untuk menghadapi para tingkat yang dominan

mempengaruhi tingkat keuntungan suatu perusahaan.

Pedagang adalah orang yang menjalankan usaha berjualan, usaha

kerajinan, atau usaha pertukangan kecil. Pedagang juga bisa di artikan orang yang

dengan modal relatif bervariasi yang berusaha di bidang produksi dan penjualan

barang atau jasa-jasa untuk memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat.

83
Persaingan dagang yang dilakukan oleh etnis Jawa-Tamil bersifat biasa

saja. Ketika saya wawancarai Bapak Fahrin pemilik panglong etnis Jawa. Berikut

pernyataan bapak Fahrin (68 tahun ) mengenai persaingan pedagang panglong :

“Biasa saja. Kita tidak pernah merasa bersaing dengan


panglong lain. Ya kita usaha, jual dengan baik, jujur, dan
sebisa mungkin melayani pembeli dengan ramah-tamah agar
pembeli senang, kitapun ikut senang.”

Persaingan atau kompetisi yang dipandang oleh etnis Jawa masih

beranggapan biasa saja. Itu kekurangan dari etnis Jawa, kurang pandai dalam

menjaga pelanggan dan kurang dalam memikirkan konsep baru untuk menarik

calon pembeli baru. Memang, mereka hanya menggunakan pelayanan yang baik

untuk menarik pembeli baru, tetapi hal yang lain belum terfikirkan oleh mereka.

Karena prinsip mereka :

“Rezeki sudah di atur di tangan Tuhan, kalau pembeli emang


datang kepanglong ini, ya itu rezeki kita, kalau pembeli tidak
datang kepanglong kita, ya itu belum rezeki kita.”

Memang, etnis Jawa dalam hal-hal sebelumnya jarang berbisnis atau

berdagang. Mereka lebih suka menjadi pegawai negeri daripada berdagang. Maka

anaknya pun kalau bisa menjadi pegawai negeri atau menjadi pekerja dikantoran,

karena dalam dunia bisnis atau berdagang, etnis Jawa kurang dan anaknya jarang

untuk disuruh meneruskan usaha ini. Maka dari itu, beda dengan etnis Tionghoa

yangbetul-betul melihat jauh kedepan, mempersiapkan untuk anaknya bisnis atau

usaha dagang tadi. Karena bagi etnis Tionghoa, dagang itu merupakan bisnis yang

meraup pendapatan dan keuntungan, dan dapat menjadikan kedudukan status

sosial yang tinggi.

84
Falsafah hidup itu diringkas menjadi 3 hal yang saling terkait: rela,

nerima, dan sabar (Fifo dan Sinambela dalam Wijaya, 2008). Oleh karena itu,

bila kita lihat dari falsafah hidup etnis Jawa maka sangat kurang cocok untuk

menjadi wirausahawan. Tetapi, lain halnya dengan pak Fahrin yang berhasil

membuka dan memajukan usaha dagang panglong miliknya.

Yang awalnya ia hanya buka dari tangkahan pasir, hingga merambat

sukses menjadi pedagang panglong di kota Lubuk Pakam. Dengan masih

membawa falsafah hidup rela, nerima, dan sabar, maka pak Fahrin menganggap

persaingan yang terjadi antar dagang panglongnya dengan dagang panglong

saingannya Tamil atau suku Tionghoa lawannya bersifat biasa saja, dan tidak

terlalu memikirkan.

3.7. Persaingan Dagang Antar Etnis Tamil-Tionghoa

Menurut Kasmir (kewirausahaan, 2006) pesaing adalah perusahaan yang

menghasilkan atau menjual barang yang sama atau jasa yang sama atau mirip

dengan produk yang kita tawarkan.

Pedagang merupakan pelaku ekonomi yang paling berpengaruh dalam

sektor perdagangan. Kesejahteraan seorang pedagang dapat diukur dari

penghasilannya, oleh karena itu faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan

pedagang harus diperhatikan supaya pendapatan pedagang stabil dan

kesejahteraannya meningkat sehingga kegiatan jual-beli di pasar tetap berjalan

lancar, jumlah pedagang yang ada akan tetap bertahan dan semakin bertambah.

85
Semua orang bisa berdagang dan membuka usaha perdagangan jika

seseorang tersebut memang memiliki jiwa dan sifat yang keras, pantang

menyerah, tahan banting, dan tetap mau berusaha walaupun bisa jadi kedepannya

jatuh dan gagal.

Seperti contohnya etnis Tamil ini, mereka umumnya dan dari sejarahnya

hanya sebagai buruh kasar atau pekerja kasar tetapi di kota Lubuk Pakam, etnis

Tamil sukses membuka usaha bahan bangunan. Ia menjalankan bisnis toko bahan

bangunan sejak tahun 2000. Dari awal berjualan menggunakan kereta lembu

hinga bisa sesukses sekarang. Itulah dari contoh, bahwa seseorang dari etnis mana

saja asal ada kemauan dan pantang menyerah serta bekerja keras maka akan bisa

sukses membuka usaha.

Dengan pengertian diatas bahwa persaingan terjadi karena adanya

penjualan atas barang atau jasa atau roduk yang sama. Sama seperti halnya dalam

berdagang panglong atau bahan bangunan yang mana etnis Jawa, Tionghoa, dan

Tamil menjual semua jenis barang yang sama.

Persaingan dagang menurut etnis Tamil, yakni persaingan yang

memberikan harga yang murah, dan ada beberapa informan mengatakan etnis

Tamil juga mau memberikan jenis barang tidak sesuai dengan kesepakatan dan

transaksi yang terjadi pada saat pembelian. Seperti contohnya, persaingan yang

terjadi antar pedagang etnis Tamil-Tionghoa, memang yang terjadi hanya besifat

menjelek-jelekkan dari belakang.

Ketika etnis Tamil membeli barang kepanglong etnis Tionghoa, maka

harga yang dibuat oleh etnis Tionghoa ini sama dengan yang etnis Tionghoa jual

86
ke pembeli. Dan begitu sebaliknya, barang yang ketika etnis Tionghoa beli ke

etnis Tamil maka barang tersebut bisa lebih mahal harganya dari yang etnis

Tionghoa jual kepada pembeli atau kepada pelanggannya.

Dan hal ini, menimbulkan persaingan, karena keduanya merasa di rugikan

satu sama lain, terjadilah sifat untuk balas dendam, karena ketika pembeli

mencoba untuk membeli ke panglong yang lain, maka ia akan mencoba berbelanja

kepanglong etnis Tionghoa lalu pembeli yang berbelanja tadi ke etnis Tionghoa

ini, mencoba lagi membeli kepanglong etnisTamil. Jika dilihat dari perbedaan

harga, maka sang pembeli ini akan bercerita ke orang lain. Walaupun orang lain

itu bukan pembeli yang akan membeli barang yang sama dengannya. Tetapi,

karena mendengar cerita tersebut dari sang pembeli awal ini yang sudah

berbelanja ini, maka dia secara tidak langsung sudah mempengaruhi orang lain

untuk tidak berbelanja kepanglong etnis Tamil.

3.8. Isu-isu persaingan

3.8.1. Isu Pengusaha

Isu-isu persaingan yang terjadi antar pengusaha dengan pengusaha yang

lain yakni, memburukkan atau menjelek-jelekkan pengusaha yang satu dengan

pengusaha yang lain. Seperti contohnya, pengusaha etmis Tionghoa

memburukkan pengusaha etnis Jawa, dan pengusaha etnis Jawa memburukkan

pengusaha etnis India, dan begitu sebaliknya. Mereka saling memburukkan satu

sama lain kepada calon pembeli dan kepada pelanggannya agar sang pengusaha

dapat mempertahankan sang calon pembeli dan sang pelanggan. Sebenarnya, cara

87
ini ada yang berpendapat benar dan ada yang berpendapat salah. Etnis Jawa

mengganggap bahwa kejujuran sangat penting, sehingga ia terkadang mau

menceritakan tentang kekurangan panglong yang lain dengan sang calon pembeli.

Begitu juga dengan etnis India yang mau menceritakan tentang keburukan

panglong yang lain. Menurut saya, ada baiknya juga mengetahui apa kekurangan

dari setiap pedagang berjualan dan menjalankan usaha dagangnya, seperti yang di

katakan bapak Rian bahwa :

“Saya mengetahui kebohongan etnis Tamil, saya pernah


berbelanja ke sana, lalu saya dibohongi kemudian saya
pindah, lalu saya mendapat pengetahuan dari etnis Jawa.”

Menurut pengusaha etnis Tamil juga seperti itu, bahwa etnis Jawa dan

etnis Tionghoa memiliki kekurangan, seperti banyak mengambil keuntungan dan

sebagainya. Terkadang, pengusaha tidak menyadari kekurangannya sendiri, ia

lebih membesarkan kekurangan orang lain dan ia tidak memperbaiki dirinya

sendiri. Etnis Tamil berprinsip untuk memberikkan harga yang murah, etnis

Tionghoa berprinsip yang sama dengan etnis Tamil, dan etnis Jawa hanya

berprinsip memberi pelayanan yang baik dan ramah kepada pelanggan dan calon

pembeli. Pengusaha etnis Tionghoa berpendapat bahwa :

“Beri harga yang murah, dan kita melayani yang baik.”

Sementara pengusaha etnis Jawa berpendapat bahwa :

“Memberikan pelayanan yang baik dan ramah-tamah kepada pembeli.”

Lalu, pengusaha etnis Tamil berpendapat bahwa :

“Kita kasih harga yang murah kepada pembeli.”

88
Isu-isu yang terjadi antar pengusaha ini menurut pengamatan dan

penelitian yang sudah saya lakukan hanya bersifat memburuk-burukkan saja,

menjelek-jelekkan saja belum berkembang atau merambah ketingkat yang lebih

tinggi atau lebih parah sampai terjadi konflik. Menjellekkan seperti, etnis Jawa

mengatakan bahwa:

“Belanja ke sesama lah, etnis Tionghoa kan penuh tipu-daya,


apalagi etnis India.”
Sementara etnis Tionghoa :

“Belanja kesini aja, harga nya saya beri murah daripada


etnis Jawa dan India.”
Sementara etnis Tamil :

“Saya kasih harga murah lah, boleh lihat daripada harga


sebelah.”

Banyak isu-isu yang terjadi sampai sekarang, apalagi dikota panglongnya

hanya mereka bertiga, yakni panglong etnis Tionghoa, Jawa, dan India. Jadi,

mereka melakukan persaingan ya menurut dan kriteria mereka masing-masing,

masih menggunakan beberapa kebudayaan, dan berbagai cara agar mereka bisa

bertahan dan mempertahankan pembeli dan pelanggan.

3.8.2. Antar Pekerja

Menurut pengamatan dan penelitian yang saya lakukan, saya melihat dan

mengamati bahwa pekerja etnis Tionghoa, Jawa, dan India memiliki perbedaan.

Menurut pengamatan saya, etnis Jawa para pekerjanya mau memberikan

pernyataan-pernyataan yang buruk kepada para pembeli dan pelanggan. Mereka

mau membeberkan rahasia pengusaha etnis Jawa kepada pelanggan. Mereka

memberi tahu harga yang dijual berapa, bagaimana cara memberikan bonus, dan

89
sebagainya. Para pekerja mau membeberkan kepada para pelanggan, apalagi jika

para pekerja sudah mendapatkan bonus atau uang dari sang pelanggan, maka

mereka akan menceritakan semuanya dengan pelanggan.

Sebaliknya, pekerja etnis Tionghoa tidak mau membeberkan kelemahan

dan aib dari sang pengusaha etnis Tionghoa. Mereka menjaga baik-baik usaha

toke nya. Ketika ditanya berapa harga yang dijual oleh toke nya, maka sang

pekerja hanya menjawab dan mengatakan bahwa ia hanya bekerja disitu, dan ia

tidak mengetahui harga barang yang dijual. Meskipun ia mendapatkan bonus atau

uang kepada para pelanggan, tetap ia tidak akan membeberkan harga tersebut

kepada sang pelanggan. Ia akan tetap menjaga usaha toke nya, dan akan tetap

berbakti kepada tokenya. Memang, etnis Tionghoa jika mendapatkan bawahan

atau anggota yang jujur dan bisa dipercayai, maka ia akan memberikan pinjaman

dan bonus kepada anggota nya yang cukup lumayan. Seperti, pada hari besar (hari

raya) maka, sang toke akan memberikan thr yang banyak, dan toke pun mau

memberikan pinjaman yang cukup lumayan kepada anggotanya, sehingga

anggotanya begitu sangat berbakti.

Sementara isu-isu antar pekerja yakni, pekerja etnis Tamil yang sama juga

dimiliki oleh pekerja dengan etnis Jawa yang mau membeberkan dan

menceritakan kepada sang pelanggan tentang kekurangannya, bagaimana cara ia

melayani dan cara berjualan, berapa harga barang yang dijualnya, dan sebagainya.

Para pekerja juga mau bercerita sesama pekerja jika mereka bertemu, bagaimana

sifat dan karakteristik toke nya, berapa gaji nya, dan banyak hal. Sehingga

terkadang tak jarang jika pekerja merasa terus kekurangan dengan toke nya, ada

90
yang bersifat tidak ikhlas bekerja karena terpaksa bila menganggur tidak akan bisa

makan, dan sebagainya.

3.8.3. Antar Pembeli

Isu-isu yang terjadi antar pembeli, yakni pembeli yang awalnya berbelanja

ke panglong etnis Tionghoa, pindah ke etnis Jawa. Seperti pernyataan bapak

Buchori :

“Saya pernah berbelanja ke panglong etnis Tionghoa, tapi


tidak cocok, saya juga pernah berbelanja ke panglong etnis
Tamil tapi tidak sesuai dengan yang saya minta, saya pindah
ke etnis Jawa, dan orangnya baik ramah-tamah.”
Ada juga pernyataan dari bapak Rian bahwa :

“Saya pindah dari panglong etnis Tamil, karena saya merasa


dibohongi dan saya pindah ke panglong etnis Tionghoa, lalu
saya juga merasa janji tidak ditepati, kemudian saya ke etnis
Jawa ternyata baik, ya saya disini.”

Banyak pembeli yang menyatakan dan menceritakan tentang kekurangan

pedagang yang satu dengan pedagang yang lain. Banyak menceritakan tentang

kekurangan yang satu dengan yang lain karena perasaan kecewa dan merasa

dirugikan. Ada beberapa pembeli yang mengaku dan menyatakan bahwa ia hanya

berbelanja kepanglong Tionghoa saja, seperti pernyataan bapak Agus bahwa :

“Saya hanya berbelanja ke panglong etnis Tionghoa saja,


karena murah.”

Para pembeli juga mau menceritakan tentang kekurangan panglong yang

satu dengan panglong yang lainnya kepada tetangganya dan kepada teman-

temannya. Bahwa panglong etnis Tionghoa dalam melayani masih kurang, etnis

Tamil juga dalam melayani masih kurang, dan sebagainya. Pembeli juga mau

91
menceritakan alasan mengapa ia pindah, dan menceritakan berapa harga barang

yang dijual di panglong etnis Tionghoa, Jawa, dan India.

Dengan begitu, calon pembeli datang ke salah satu panglong yang

diceritakan oleh temannya, dan ia berbelanja kesalah satu panglong tersebut dan

bercerita bahwa ia berbelanja ke panglong diberitahu oleh tetangganya, temannya,

dan sebagainya. Dengan adanya pernyataan seperti itu, terkadang calon pembeli

juga tak jarang meminta diskon karena sudah berbelanja kepanglong ini, dan

pedagang panglong pun terkadang memberikan diskon.

92
MATRIK TABEL

No Garis Besar Panglong Suku Jawa Suku Tionghoa Suku Tamil

1 Tahun Berdiri 2000 1998 2001


2 Jumlah Pekerja 10 orang pekerja 10 orang pekerja 8 orang pekerja
3 Daya Tarik Pedagang  Kejujuran  Pelayanan yang baik  Memberi harga yang murah
 Keramahtamahan  Kualitas yang baik  Mengantar barang sesuai
 Penjelasan kualitas barang  Menjaga pelanggan agar pesanan
 Kesederhanaan bertahan  Pelayanan yang baik
 Memberi bonus  Memberikan sifat yang baik Menjual sesuai permintaan
 Memberi bonus  Memberi bonus

4 Sifat/Karakteristik  Sederhana  Individualis  Individualis


 Jujur  Melayani dengan cepat  Menjaga dan menjalani
 Sopan-santun  Menjaga dan menjalani kebudayaan
 Baik kebudayaan  Hemat
 Bersifat sosialisasi  Hemat  Santai
 Bekerja keras

93
5 Pendapat Konsumen  Diberikan pelayanan yang baik
 Diberi harga yang murah  Diberi harga yang murah
saat membeli  Diberikan hadiah  Disuruh tetangga berbelanja
 Diberikan minuman  Diberikan uang fee  Barang diantar cepat
 Dilayani dengan ramah, dan  Panglongnya besar  Pernah dibohongi, karena
sopan  Kurang cepat mengantar pemesanan tidak sesuai
 Diberi utang pesanan barang
 Bersifat kesederhanaan
 Harga mahal

6 Gaji Pekerja Supir Rp. 80.000 Supir Rp. 85.000 Supir Rp. 75.000
Kenek Rp. 65.000 Kenek Rp. 70.000 Kenek Rp. 65.000

94
BAB IV

STRATEGI PEDAGANG PANGLONG ANTAR ETNIS TIONGHOA,

JAWA, Dan TAMIL

4.1. Definisi Strategi

Strategi menurut Marrus (2002:31) didefenisikan sebagai suatu

proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan

jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya

bagaimana agar tujuan tersebut sapat dicapai.

Strategi menurut Siagian (2004) serangkaian keputusan dan tindakan

mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh

seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi

tersebut. Menurut Pearce II dan Robinson (2008:2) strategi adalah rencana

berskala besar, dengan orientasi masa depan, guna berinteraksi dengan

kondisi persaingan untuk mencapai tujuan.

Strategi menurut Stephanie K. Marrus merupakan suatu proses

penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka

panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana

agar tujuan tersebut dapat dicapai. Strategi adalah suatu cara, suatu upaya,

suatu usaha, suatu tindakan yang harus dicapai yang harus difikirkan yang

harus dilaksanakan yang harus dikonsep dengan sebaik mungkin,

semaksimal mungkin, agar mencapai tujuan dan hasil yang

diinginkan.Strategi harus disusun dengan secara sebaik-baiknya dan harus

memperhatikan tujuan dan sasaran yang akan dicapai di waktu yang akan

datang, dan suatu perusahaan harus melihat lingkungannya dimana ia

95
melalakukan usaha, setalah itu perusahaan mempersiapkan konsep yang

akan dilakukan. Dengan melihat hal-hal atau cara-cara apa yang hendak kita

buat, maka tujuan tersebut dapat dicapai dengan sebaik-baiknya.

Strategi adalah suatu alat untuk mencapai tujuan atau keunggulan

bersaing dengan cara melihat dari faktor eksternal dan faktor internal suatu

perusahaan. Strategi disusun dengan cara sebaik-baiknya dan dengan ide

serta konsep yang sebenar-benarnya, agar perusahaan dapat berhasil

mencapai tujuan dan keinginanannya. Strategi dapat disusun dan dapat

dikonsep dengan sebaik-baiknya, maka diperlukan informasi tentang suatu

kelemahan, dan suatu peluang serta ancaman yang berkaitan dengan kondisi

suatu perusahaan.

Panglong etnis Jawa, Tionghoa, dan Tamil yang mana panglong dan

jarak mereka sangat berdekatan. Tidak jauh, dan menempuh waktu hingga

berjam-jam. Dengan adanya persaingan secara ketat, maka diperlukanlah

strategi antar panglong agar pelanggan tetap bertahan dipanglong mereka,

dan calon pembeli jadi membeli di panglong mereka.

Masing-masing panglong mempunyai strategi masing-masing untuk

mempertahankan pembeli dan pelanggan tetap. Karena dengan menyusun

dan merancang serta membuat strategi lah, maka pelanggan bisa tetap

bertahan disalah satu panglong.

Untuk menyusun konsep strategi apa yang harus dibuat dan

dilaksanakan, maka masing-masing pedagang panglong antar etnis ini, harus

mengetahui kelemahan-kelemahan antar pedagang panglong yang satu

dengan pedagang panglong lainnya. Menyusun konsep strategi ini, tidaklah

96
begitu mudah, harus mengumpulkan dulu ide-ide apa yang dibuat untuk

menjatuhkan sang lawan, serta harus mengetahui kelemahan dari sang

lawan atau dari sang pesaing.

Cara yang diketahui untuk mengalahkan danmenjatuhkan sang

lawan adalah dengan dari “mouth to mouth” yang artinya dari mulut ke

mulut. Dari mulut ke mulut itulah, maka sang pedagang dapat mengetahui

titik kelemahannya.

Dari cerita sang pembeli yang dulu berbelanja kepanglong etnis

Jawa misalnya, pindah berbelanja ke etnis Tionghoa, maka etnis Tionghoa

tadi akan mengetahui apa kelemahan dari sang pedagang panglong etnis

Jawa. Pembeli pasti akan bercerita, dari mana awal ia berbelanja, dan

kenapa ia pindah berbelanja ke etnis Tionghoa. Dari cerita sang pembeli

tadi, maka etnis Tionghoa dapat menyusun strategi atau langkah-langkah

untuk menjatuhkan sang lawan.

Sebaliknya, jika pembeli yang awalnya berbelanja dari etnis Tamil,

jika ia pindah berbelanja kepanglong etnis Jawa, maka pembeli tadi akan

bercerita dari mana awalnya ia berbelanja, dan memberitahu alasannya

kenapa ia pindah ke panglong etnis Tamil.

Strategi juga bisa disalah gunakan, misalnya dengan cara mencoba

tidak menjelaskan kualitas barang, dengan harga yang murah, dan

menjanjikan produk yang kualitasnya bagus, dan nyatanya yang datang

bukan produk yang ditawarkan dan dijanjikan pada awal pembelian, tetapi

yang sampai ditempat barangnya berbeda dari produk yang awalnya sudah

dijanjikan dan disepakati ketika saat bertransaksi.

97
4.2. Strategi Etnis Jawa

Strategi etnis Jawa dalam mempertahankan pembeli, yakni dengan

cara memberikan diskon, memberikan potongan harga, memberikan bonus,

dan memberikan hadiah-hadiah ketika hari besar, seperti bagi umat Islam

hari raya, dan bagi umat Kristiani di hari natal.

Diskon diberikan tidak begitu banyak, karena harga barang yang

dijual sesuai dengan harga pasar. Jika dijual dibawah harga pasar maka akan

menyebabkan kerugian. Kerugian bisa menyebabkan kebangkrutan, karena

harga yang diberikan tidak mendapatkan keuntungan, sementara karyawan

harus digaji, dan membeli barang kembali kan harus pakai modal, kalau

tidak mendapatkan keuntungan, bagaimana bisa membeli barang kembali.

Memberikan bonus ketika orang yang berbelanja untuk membangun

rumah, belanja dengan banyak. Dari awal membangun rumah, hingga

rumahnya siap dan jadi untuk ditempati. Tetapi, kalau belanja nya hanya

setengah-setengah dan berpindah-pindah maka ia tidak mendapatkan bonus,

hanya mendapatkan potongan harga beberapa saja.

Bonus yang diberikan bisa saja cat untuk tembok rumah sebesar

25kg sebanyak 2 kaleng, atau bisa juga diberikan px (untuk melangsir atau

mengangkut barang sedikit-sedikit), bisa juga bonus yang diberikan berupa

alat peralatan untuk tukang, seperti martil, meteran, dan bodam (martil yang

beratnya mulai 15kg), ember untuk ngecor, gergaji, dan sebagainya.

Hadiah yang diberikan ketika hari-hari besar kalau dia umat muslim

yang berbelanja dari langganan lama, maka akan diberi parsel, sirup, dan

uang. Kalau orang non muslim yang berbelanja seperti umat kristiani, maka

98
diberikan uang amplop atau baju. Strategi panglong etnis Jawa juga

memberikan tukang atau kepala tukang hadiah jika membawa orang

berbelanja kepanglong, tapi orangnya jika berbelanja satu rumah.

Yang diberikan adalah berupa uang rokok atau uang tip untuk

pengucapan terimakasih. Karena telah membawa orang datang untuk

berbelanja kepanglong etnis Jawa. Strategi etnis Jawa juga dalam

mempertahankan pembeli dengan tutur kata yang baik, sopan dan santun

serta ramah tamah. Panglong etnis Jawa juga memberikan pelayanan dan

memberikan penjelasan yang baik ketika pembeli yang baru saja datang

kepanglongnya. Misalnya, seperti seseorang yang hendak membangun

rumah, tetapi ia belum tahu kualitas barang, maka etnis Jawa akan

menjelaskan kualitas barang.

Walaupun kualitas barang tersebut sama produknya dan sama

merknya, maka tak memungkinkan untuk adanya tipuan. Seperti contohnya

besi, besi kita bisa berkata bahwa besi itu ukurannya 9ml, tetapi bisa saja

yang dikasi bukan besi 9ml. Dengan melayani dan memberi tahu kepada

konsumen, maka konsumen akan merasa senang dan terbantu, ketika dia

pun tidak jadi membeli dipanglong etnis Jawa, maka tidak apa-apa yang

penting kita sudah membantu dan memberikan pengetahuan kepada

konsumen yang nantinya hendak akan membangun rumah.

Begitu juga dengan barang lainnya, seperti harga semen, jika

dipanglong setnis Tionghoa lebih murah Rp. 500, maka panglong etnis Jawa

tetap tidak akan kurang dari harga pasaran. Karena panglong etnis Jawa

telah menggunakan strategi untuk mempertahankan pembeli. Walaupun

99
lebih murah harganya dipanglong etnis Tionghoa didepan, tetapi strategi

panglong etnis Jawa sudah diketahui masyarakat bahwa etnis Jawa mau

menjelaskan barang-barang dengan kualitas yang asli (premium) dan

kualitas non-premium. Dengan adanya penjelasan seperti itu, maka

konsumen merasa senang dan merasa ada penjelasan bahwa ia tidak akan

ditipu dan tidak akan dibohongi. Seperti yang dinyatakan bapak Fahrin (68

tahun) bahwa :

“Kita harus menjelaskan produk apa yang kita jual,


kualitas dan juga detailnya, dari produk dan kualitas
sudah jelas harga berbeda.”

Contoh lainnya, jika seseorang pembeli yang hendak berbelanja ke

etnisJawa maka akan menjelaskan detail ukuran bak mobil. Jika dipanglong

etnis Jawa menjelaskan bahwa tipe mobil pengangkut barangnya ukurannya

berapa, panjangnya berapa, lebar baknya berapa, dan muatannya sebanyak

apa. Seperti pernyataan bapak Rian (25 tahun) bahwa :

“Panglong etnis Jawa memberi layanan yang baik, dan


mau menjelaskan barang yang satu dengan yang
lainnya.”

Nah, dengan penjelasan tersebut, konsumen akan senang, karena ia

merasa bahwa ia tidak ingin dirugikan. Ia tidak bertanya-tanya lagi, berapa

isinya, berapa ukurannya dan kenapa lebih murah di panglong depan (etnis

Tionghoa) daripada dipanglong bapak (etnis Jawa). Bapak Fahrin (68 tahun)

juga menjelaskan :

“Bahwa berbelanja disini harus transparant (jujur), apa


yang diinginkan pembeli harus kita turuti, karena
pembeli sudah lelah dan capek mencari uang, masa kita
bohongi atau kualitas tidak sesuai pada saat transaksi.
Jangan gara-gara uang sedikit, kita tidak enak an,

100
karena kamu merasa kecewa dan saya pun kecewa
karena memberi harga dan kualitas yang tidak sesuai.”
Nah, dengan pernyataan tersebut maka pembeli akan merasa senang. Bapak

Rian (28 tahun) mengemukakan :

“Makanya saya lebih suka berbelanja dipanglong ini,


menjelaskan, ramah-tamah dan sopan-santun dalam
memberi pelayanan, mau menjelaskan dan lebih baik
berbelanja dipanglong bangsa sendiri, daripada
dipanglong lain.”
“Dengan berbelanja dipanglong bangsa sendiri, maka
secara tidak langsung kita akan membantu dan
memberikan sedekah, karena otomatis panglong
seagama kita akan memberikan pertolongan dan
bantuan berupa sumbangan ke orang yang
membutuhkan.”
“Panglong ini juga mau memberikan hutang, lalu ramah
dan sederhana lagi.”

Strategi lain dari pedagang panglong etnis Jawa adalah bisa

memberikan kasbon atau hutang dalam jangka waktu, tetapi dengan harga

yang berbeda jika dengan orang yang membeli barangnya lunas. Misalnya

jika seseorang beli harga semen dengan Rp.50.000 maka ketika hutang atau

kasbon akan dinaikkan Rp. 500 menjadi Rp.50.500. Karena banyak yang

janji akan membayar tanggal 10, tapi nyatanya tanggal nya di mundur

menjadi tanggal 20.

4.2.1. Memberikan Diskon

Diskon menurut Kotler (2002) diskon adalah pengurangan langsung

dari harga barang pada pembelian selama suatu periode yang waktunya

dinyatakan. Diskon adalah pengurangan harga atau pemotongan harga yang

diberikan kepada pelanggan jika pelanggan tersebut berbelanja dari awal

101
membangun rumah, hingga akhir membangun rumah atau siap dalam

membangun rumah tersebut.

Diskon atau pemotongan harga bagi panglong etnis Jawa melihat

dari orangnya bukan dari etnis nya. Jika yang berbelanja adalah orang yang

dilihat dari tampilannya adalah orang yang kurang mampu, atau ia bercerita

membangun rumah uangnya terbatas maka panglong etnis Jawa akan

memberikan pemotongan harga. Tidak melihat kesuku bangsaan, jika ia

lihat sesama etnis nya (Jawa), maka ketika ia lihat masih mampu hanya

diberikan pemotongan harga dari totalan keseluruhan, itupun hanya sedikit

saja. Berikut pernyataan Pak Fahrin (68 tahun) :

“Saya memberikan pemotongan harga, jika saya melihat


orang itu kurang mampu maka saya akan memberikan
diskon (pemotongan harga).”

Panglong etnis Jawa memberikan potongan dengan melihat orang

yang kurang mampu bukan dengan sesama etnisnya. Tetapi, jika ada sesama

etnis nya yang ia lihat kurang mampu, maka ia akan memberikan potongan

harga juga.

4.2.2. Memberikan Bonus

Bonus atau hadiah merupakan ketidakwajiban, tetapi suatu inisiatif

lain untuk memberikan hadiah dan untuk membuat kesenangan dan

kebahagian bagi pelanggan yang benar-benar berbelanja ke panglongnya.

Bonus dapat berupa barang dan bisa juga uang. Tetapi, bonus yang

diberikan oleh pedagang panglong etnis Jawa yakni, berupa hadiah baju,

kaos, minuman seperti sirup, parcel bagi umat muslim dihari besar, uang

102
amplop bagi umat Kristiani. Seperti pernyataan bapak Fahrin (68 tahun)

bahwa :

“Kami hanya memberikan bonus berupa kaos, baju,


parcel, itupun kami lihat kalau ia banyak belanja
dikami. Kami juga memberikan cat atau px (angkong)
terkadang juga alat tukang, tetapi inisiatif kami
memberikan bonus kepada siapa yang benar-benar
banyak berbelanja di panglong kami.”

Dari kesimpulan diatas bahwa, memberikan bonus atau hadiah

kepada pelanggan masih melihat seberapa banyak ia berbelanja ke

panglongnya. Masih melihat-lihat untuk memberikan bonus kepada

pelanggan.

4.2.3. Tetap Memberi Harga Sesuai Pasaran

Bagi Panglong etnis Jawa memberikan harga sesuai pasaran adalah

hal yang terbaik untuk menarik perhatian pelanggan. Karena, dengan

memberikan harga sesuai pasaran akan mengambil keuntungan yang

beberapa dan tidak banyak. Jadi, ketika pembeli yang baru ingin berbelanja

ke panglong etnis Jawa, jika ia bertanya kepanglong lain, harganya tidak

jauh perbedaannya daripada harga yang telah di beri oleh panglong etnis

Jawa. Berikut pernyataan bapak Fahrin (68 tahun) bahwa :

“Banyak yang bilang panglong saya harganya murah,


dan tak jarang juga yang bilang panglong saya
harganya mahal, padahal ada harga ada kualitas dan
kami memberikan harga tidak mungkin dibawah harga
pasar. Kalau kepepet (mendesak) karena sunyi, maka
kami akan memberikan harga dibawah pasar.”

103
Belum bisa diprediksikan panglong suku Jawa benar-benar memberi

harga yang bagaimana, masih melihat situasi dan kondisi karena masih

melihat suasana dan keadaan pasar bagaimana untuk saat ini.

4.2.4. Kualitas Pelayanan

Memberikan Pelayanan dengan baik, maka pelanggan akan tetap

berbelanja ke panglongetnis Jawa. Karena pelayanan yang baik, akan

membuat rasa kenyamanan dan rasa kepercayaan bagi pelanggan dan bagi

penjual. Dengan adanya pelayanan yang baik, dan dengan adanya keramah

tamahan serta kesopanan yang baik, maka akan memajukan usaha panglong

dan dapat menambah pembeli dan pelanggan yang baru.

Dengan kualitas pelayanan yang baik, dan dengan mutu serta

kualitas barang yang baik, maka akan membuat pelanggan tetap berbelanja

ke panglong etnis Jawa. Seperti yang dinyatakan oleh bapak Fahrin (68

tahun) bahwa :

“Melayani pembeli dengan baik adalah sebuah


kewajiban, karena merekalah yang memberi saya
makan.”

Dengan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa, pedagang etnis

Jawa sangat memperhatikan sebuah pelayanan. Bagi nya, kualitas pelayanan

yang paling utama dari hal yang lain. Karena bagi nya pembeli yang

mengantar makan untuk dirinya dan keluarganya.

104
4.3. Strategi Panglong Etnis Tionghoa

Strategi panglong etnisTionghoa dalam mempertahankan pembeli

adalah dengan cara tutup kerugian dengan salah satu keuntungan untuk

pemutaran. Seerti contoh misalnya, saya membeli harga barang di etnis

Jawa bisa lebih mahal Rp.1.000-20.000 dari etnis Tionghoa.

Misalnya pak Buchori berbelanja kepanglong etnis Tionghoa, ia

membeli besi tipe 10ml seharga Rp.48.000 tetapi dipanglong etnis Jawa bisa

lebih mahal Rp.50.000, jadi pak Buchori (66 tahun) memilih berbelanja ke

etnis Tionghoa dan menyatakan bahwa :

“Ya, kenapa di sana lebih mahal, bagus saya beli disini.


Dengan selisih yang begitu banyak perbatang, lebih
bagus untuk uang minyak kereta saya.”

Maka dari itu Pak Buchori terus berbelanja ke suku Tionghoa, ketika

bangunan kekurangan besi beberapa batang lagi, pak Buchori mencoba

berbelanja lagi besoknya ke etnis Jawa, dengan begitu berbelanja masih

harganya jauh berbeda, dan dia mencoba bertanya kenapa begitu mahal? Di

depan harganya lebih murah dan selisih Rp.2.000, lalu etnis Jawa

menjelaskan besi tipe 10ml ada dua macam, yakni yang pas sesuai dengan

ukuran dan yang tidak pas.

Dengan penjelasan yang begitu panjang, dan dengan diberitahu

sebegitu jelas, barulah ia mengetahui bahwa etnis Tionghoa telah melanggar

janji dan tidak sesuai pada saat transaksi pembelian. Etnis Tionghoa

memang sangat pandai dalam bermain peran, ia menaikkan harga barang

yang satu dan menurunkan atau menjual barang dibawah modal dengan

105
harga yang jauh lebih murah, tetapi menutupi kerugian dengan keuntungan

barang lain, dan tidak menepati janji sesuai dengan kualitas dan tipe barang.

Strategi etnis Tionghoa sebenarnya dalam mempertahankan

pelanggan yang lain adalah dengan memberikan uang tip kepada tukang

atau kepala tukang yang sudah membawa datang berbelanja ke panglong

etnis Tionghoa. Jika kepala tukang sudah mendapatkan uang tip, maka

kepala tukang akan senang dan terus mengarahkan orang-orang yang

hendak membangun rumah ke etnis Tionghoa, tidak mengarahkan lagi ke

etnis Jawa.

Karena baginya, uang tip lebih besar di panglong etnis Tionghoa

daripada di etnis Jawa, tetapi ia tidak mengetahui dan menyadarkan dirinya

sendiri bahwa kualitas barang sudah di bohongi tanpa memikirkan kerja

keras yang punya rumah dalam mencari uang untuk membangun rumah.

Strategi etnisTionghoa yang kedua yakni, dengan mendatangi rumah

orang yang sedang membangun rumah atau merehap rumah, ia mendatangi

rumah tersebut tetapi bukan toke (pemilik panglong) yang mendatangi,

tetapi kepala penjaga atau tangan kanan nya. Ia mendatangi rumah dengan

tujuan dan maksud untuk menawarkan barang.

Barang-barang apa yang dijual dipanglongnya, dan berapa harganya,

bagaimana kualitasnya, dan sebagainya. Lalu, suruhan dari etnis Tionghoa

ini memberitahu berbelanjalah kepanglong etnis Tionghoa atau ditempat

kami, karena harganya dijamin murah.Belanja aja kesini, kalau kekurangan

bahan, tinggal telfon saja, apa yang kurang kami akan antar dengan harga

yang dijamin murah. Agar tukang tidak gantung dalam bekerja, kalau tidak

106
ada uang, bisa dirumah bayarnya dan memberi uangnya, atau besok saja kan

bisa dibayar.

Dengan seperti itu, sang pekerja etnis Tionghoa ini sudah berhasil

membujuk rayu para pembeli yang sedang membangun rumah, dengan

bujuk rayu pekerja etnisTionghoa yang sudah menawarkan jasa tadi, maka

luluh pembeli dan beli di panglong etnis Tionghoa.

Maka dari mouth to mouth atau dari mulut ke mulut inilah yang

membuat semakin berkembang lagi usaha etnisTionghoa ini. Jika ada

tetangga yang hendak merehap rumah, maka yang sudah berbelanja ke etnis

Tionghoa ini akan merekomendasikan untuk berbelanja ke etnis

Tionghoa.Karena tinggal telfon saja, dan bayar disini maka akan

mempermudah kita dalam bertransaksi dan dalam membeli jika langsung

barangnya habis, langsung telfon dan langsung datang.

Strategi lain suku Tionghoa dalam berdagang yakni, dengan

memberikan pelayanan yang seadanya saja. Tidak banyak berbicara dan

menjelaskan tentang suatu barang, kalau menjelaskan hanya sekadar saja.

Dengan adanya konsep dan pemikiran seperti itu, maka banyak

bangsa Indonesia yang kurang suka, tetapi harga menjamin. Harga murah,

tapi kualitas beda, bagaimana menurut Anda? Pelayanan tidak begitu

mencolok seperti etnis Jawa yang menjelaskan bahwa barang itu tipe begini,

dan kualitasnya begini, ia diam saja dan menjual apa yang diminta mereka

(pembeli). Tanpa ada rasa untuk berbagi ilmu atau berbagi rasa dalam

melakukan penjelasan.

107
Strategi etnis Tionghoa lain yakni, ia tetap mempertahankan

pelanggan ia yang sudah lama berbelanja. Ia akan memberikan hadiah

kepada pelanggan yang sering berbelanja dipanglong etnis Tionghoa. Ia

memberikan hadiah berupa uang tip, lalu memberikan hadiah berupa parsel

bagi umat muslim, memberikan uang amplop bagi yang Kristiani.

Etnis Tionghoa dalam mempertahankan pembeli memang sangat

baik, tetapi dalam melayani dan memberikan serta memberi penjelasan

tentang kualitas dan merk barang serta produk barang kurang baik. Apa

yang pembeli minta, maka ia bilang iya tetapi yang datang ketempat bukan

barang yang sesuai pada saat transaksi. Padahal, banyak yang mengatakan

bahwa etnis Tionghoa lebih memilih rugi daripada kehilangan pelanggan,

tetapi kerugian tersebut hanya bekisar beratus saja, tidak mau kebanyakan.

Karena masih menggunakan prinsip hemat tadi.

Untuk perputaran modal, ia juga rela untuk menjual harga barang

dibawah modal. Karena kebutuhan yang mendesak dan ada keperluan yang

mendesak pula.Maka tak heran, mereka juga terkadang menjual dengan rugi

untuk menutupi kebutuhan yang mendesak tadi.Dan dengan pelanggan, ia

akan memberikan fasilitas yang baik agar tidak lari. Tetapi, tidak jarang

juga mereka membuat kecewa seperti janji yang katanya barang akan

diantar pagi, dan dengan segera tetapi mereka malah mengantar besok pagi.

Sementara tukang atau pekerja untuk membangun rumah sudah berada

dirumah.

108
Karena keterlambatan dalam pengantaran tadi, maka membuat

pelanggan merasa marah karena tidak sesuai dengan janji yang ia beri.

Seperti yang dinyatakan bapak Rian (28 tahun) bahwa :

“Saya pernah berbelanja ke etnis Tionghoa, memang


harganya jauh lebih murah, tetapi tidak tepat janji dan
tidak tepat waktu. Saya langganan di Tionghoa, karena
saya kecewa jadi saya tidak berbelanja ke panglong
Tionghoa lagi.”

Lalu pembeli ini pun pindah berbelanja kepanglong lain, dan

menceritakan kejadian tersebut kepada teman atau sanak saudara terdekat

jika ada yang membangun rumah berbelanja kepanglong etnis Jawa atau ke

etnis Tamil jangan kesini lagi.

Dengan tidaknya mau mengulangi kesalahan yang sama, maka etnis

Tionghoa meningkatkan kembali strategi agar tidak mengulangi kesalahan

dalam berdagang, maka ia belajar lagi untuk menciptakan strategi yang

baru.

4.3.1. Pemberian Harga

Dalam pemberian harga, etnis Tionghoa masih melihat dari

kesukubangsaan. Pedagang panglong etnis Tionghoa menentukan harga

bagi satu etnis nya. Ia bisa memberi harga yang murah tetapi dengan

menggunakan bahasa Hokkien, yakni bahasa kebangsaannya. Dalam

kesehariannya, ia masih menggunakan bahasa Hokkien, tetapi jika yang

membeli sesama Tionghoa dan kepada keluarganya jika berada di panglong

untuk membantu Pak Aheng dalam berjualan. Berikut pernyataan bapak

Aheng (49 tahun) bahwa :

109
“Saya memberikan harga sesuai pasaran lah. Kalau
dibawah ya rugi saya.”

Tetapi, nyatanya Pak Aheng akan memberikan harga yang murah di

salah satu barang, dan akan menaikkan harga barang di jenis barang yang

berbeda. Misalnya, ia memurahkan di barang semen, tetapi ia memahalkan

dibarang yang jenis nya lain, untuk menutupi kerugian di barang yang

dimurahkan harganya tadi.

4.3.2. Memberi Hadiah

Dengan memberikan hadiah bagi pelanggan yang tetap setia

berbelanja ke panglong etnis Tionghoa, maka pelanggan akan merasa

senang dan bahagia karena ia diberikan hadiah. Seperti yang dinyatakan

bapak Aheng (49 tahun) bahwa :

“Saya memberikan hadiah ke pelanggan saya seperti


parcel, uang.”

Dan bagi kepala tukang yang sudah mendatangkan pembeli baru,

untuk membangun rumah, maka kepala tukang akan diberi uang tip sebagai

ucapan dan tanda terimakasih karena telah mendatangkan pembeli yang

baru.

4.3.3. Mendatangi Bangunan

Etnis Tionghoa akan mendatangi bangunan rumah yang sedang

dikerjakan, dan ia akan menawarkan produk-produk dan jenis-jenis barang

yang dijual dipanglongnya apa-apa saja. Berikut pernyataan bapak Aheng

(49 tahun) :

110
“Bagi pelanggan yang berbelanja ke saya kan saya tau
dan ingat, ketika ia belum berbelanja lagi, biasanya saya
menawarkan produk dan bertanya kenapa belum mesan
barang.”

Ia akan menjelaskan untuk memesan barang via telfon saja, dan

pembeli akan merasa mudah bertransaksi via telfon dan tidak perlu untuk

datang ke panglong. Karena akan memakan waktu, dan belum lagi transport

ke panglong, pasti akan membeli bensin untuk kendaraan transportasinya.

4.4. Strategi Panglong Etnis Tamil

Strategi yang diberikan oleh panglong etnis Tamil tidak jauh berbeda

dengan kedua suku yakni etnis Tionghoa dan etnis Jawa. Ia juga

menjelaskan bahwa harga yang diberikan kepada pembeli dan pelanggan

tidak jauh dari harga pasaran. Kalau dijual harga dibawah modal, maka ia

akan mengalami kerugian.

Tetapi, jika kondisi memungkingkan untuk menjual dibawah modal,

maka hal itu akan di lakukan. Terkadang, pembeli yang datang hanya

beberapa dan tak jarang mereka menjual harga dibawah modal untuk

meningkat kan kembali pembeli yang datang.

Karena, dengan dilabelkan panglong murah, maka dengan strategi

tersebut dapat berhasil untuk menambah dan meningkatkan jumlah pembeli

yang datang. Tetapi, dengan menjual dengan harga yang mahal, dan

mengambil keuntungan yang begitu besar, maka tidak memungkinkan untuk

banyak pembeli yang datang.

Dengan strategi menjual harga dibawah modal, dan dengan

mengambil keuntungan yang sedikit tidak terlalu banyak, maka akan

111
memunculkan pembeli yang datang. Nah, dengan pembeli yang datang

banyak, maka dengan begitu strategi yang baru lagi, yakni dengan

menaikkan harga barang dengan pelan-pelan, dengan begitu, pembeli

merasa mengalami kenaikan terus-menerus setiap berbelanja. Nah, dengan

begitu pembeli mencoba berbelanja dipanglong yang lain.

Ketika berbelanja kepanglong yang lain, maka berlakulah lagi

prinsip mouth to mouth yakni dari mulut ke mulut. Nah, dengan perbedaan

harga tadi, maka orang akan bercerita dan memberi tahu bahwa dipanglong

etnisTamil, harga barang sekian dan memiliki perbedaan yang sekian dari

panglong etnisJawa.

Nah dengan begitu, maka pembeli yang tadi berbelanja kepanglong

etnis Tamil akan berpindah ke etnis Jawa. Dan memberi tahu serta

menceritakan bahwa dipanglong etnis Tamil harganya lebih mahal dari

etnisJawa. Dan kualitas barang serta pelayanan tidak diberikan dengan

seramah panglong etnisJawa.

Strategi yang berikutnya yang diberikan panglong etnisTamil yakni,

strategi dalam memberikan komisi atau uang fee kepada kepala tukang yang

sudah membawa pembeli berbelanja kepanglong etnisTamil, tapi berbelanja

nya satu rumah. Maka ia akan diberi uang fee atau uang tip.

Selanjutnya, akan memberikan kaus kepada kepala tukang

memberikan alat dan perlengkapan tukang, serta memberi uang amplop

kepada pembeli yang sudah lama berbelanja dan berlangganan di panglong

etnis Tamil. Berikut pernyataan bapak Ragu (50 tahun) :

112
“Memberikan hadiah ya kecil-kecil aja, sebagai ucapan
terimakasih karena sudah berbelanja kesini, sejenis
kaus, parcel, dsb.”

Strategi yang diberikan oleh etnis Tamil tidak jauh berbeda dengan

etnis lainnya, yaknietnisTionghoa dan etnis Jawa dalam memberikan

hadiah, dalam memberikan bonus, dalam memberikan uang tip, dan

sebagainya.

4.4.1. Memberi Hadiah

Dengan memberikan hadiah, maka pelanggan akan senang dan

pelanggan akan tetap berbelanja ke panglong etnis Tamil. Karena,

pelanggan dan pembeli yang dikasih hadiah, akan diingat terus dan akan

terus berbelanja tetap ke etnis Tamil. Berikut pernyataan bapak Ragu (50

tahun) :

“Diberikan hadiah ucapan terimakasih aja karena sudah


datang berbelanja banyak kesini, biasanya berupa
uang.”

Hadiah berupa uang tip, bagi yang sudah tetap berbelanja. Dan

hadiah berupa pemotongan harga di awal, ketika sedang bertransaksi dan di

akhir transaksi setelah melakukan pentotalan, tidak akan bisa dipotong lagi

harganya.

4.4.2. Memberi Harga Yang Murah

Dengan memberikan harga yang murah, maka akan mendatangkan

pelanggan dan pembeli ke panglong etnis Tamil. Karena sebagian orang

113
yang hendak berbelanja, tergiur dengan harga yang murah, dengan harga

yang murah maka pembeli akan datang untuk berbelanja.

Seperti yang dikemukakan oleh bapak Eka (32 tahun):

“Dipanglongetnis Tamil murah, maka saya berbelanja


disini.”

Dengan memberikan harga yang murah maka berhasil membuat

bapak Eka tertarik untuk berbelanja ke panglong etnis Tamil dan tetap

berbelanja ke panglong tersebut.

4.4.3. Memberikan Komisi

Dengan memberikan komisi kepada kepala tukang atau orang yang

telah menunjukkan untuk berbelanja ke panglong etnis Tamil, maka kepala

tukang dan orang tersebut akan merasa senang dan bahagia. Karena ia telah

berhasil membujuk dan mengajak orang untuk datang ke panglong etnis

Tamil, dan ia pun senang karena mendapatkan uang dari sang pedagang

panglong.

4.5. Pandangan dan Persepsi Konsumen Pada Pedagang Tionghoa,

Jawa, dan Tamil

Menurut Boyd, Walker dan Larreche dalam Fadila dan Lestari

(2013:45), persepsi adalah segala proses pemilihan, pengorganisasian, dan

penginterprestasian masukan infromasi, sensasi yang diterima melalui

penglihatan, perasaan, pendengaran, penciuman dan sentuhan untuk

menghasilkan makna.

114
Menurut Kotler (2013:179) persepsi adalah dimana kita mengatur,

memilih, dan menerjemahkan masukan informasi untuk menciptakan

gambaran dunia yang berarti. Persepsi adalah pengalaman tentang obyek

yang bagaimana kita melihat, memilih dan mengatur sebuah informasi dan

segala sesuatu yang terjadi dalam lingkungan kita melalui panca indera kita.

Pandangan dan Persepsi konsumen tentang ke tiga etnis dalam

berdagang dan menjual dagangannya berbeda-beda. Mereka melihat ke tiga

etnisdalam berdagang dan berjualan berbeda-beda. Seperti contohnya, bapak

Rian (28 tahun) mengatakan bahwa :

“Saya lebih suka berbelanja ke etnis Jawa karena, satu


agama dan satu etnis. Serta punya kepercayaan yang
sama dengan etnis Jawa. Saya juga melihat etnis Jawa
dalam kesederhanaan, dan keramah-tamahan, serta
kejujuran.”

Bapak Rian memilih berbelanja ke etnis Jawa karena keramah-

tamahan, serta se agama, dan kejujuran serta kesederhanan. Ia melihat

bahwa berbelanja ke panglong etnisJawa dijelaskan kualitas baik dan bagus

serta kualitas yang kurang bagus. Ada juga bapak Buchori (66 tahun)

mengatakan bahwa :

“Saya pernah berbelanja ke etnis Tionghoa tapi tidak


sesuai dengan apa yang saya harapkan dan dengan yang
saya inginkan. Lalu, saya berniat pindah ke etnis Jawa
dan baik, se agama, dikasih kasbon, lalu dikasih minum,
maka saya kesini berbelanjanya dan tidak pernah ke
etnis Tionghoa lagi, karena ketidak sesuaian.”

Ada lagi bapak Rian (24 tahun) yang mengatakan bahwa :

115
“Saya pernah berbelanja ke Panglong etnis Tionghoa,
tetapi saya dibohongi, tidak tepat janji. Bilang barang
diantar pagi, nyatanya sore datangnya. Karena
dibohongi, maka saya pindah ke panglong etnis Jawa,
baik, sederhana dan dikasih kasbon lagi.”
Ada lagi pak Rizki (29 tahun) mengatakan bahwa :

“Saya pernah berbelanja ke etnis Jawa, dan saya juga


pernah berbelanja ke etnis Tionghoa. Tetapi tidak tetap
berbelanjanya selalu berpindah-pindah.”

Masing-masing persepsi dan pandangan konsumen berbeda-beda.

Ada yang memang betah hanya ke satu panglong saja berbelanja, ada yang

berpindah-pindah, dan ada yang kesemua panglong ke semua etnisia

berbelanja untuk membagi rezeki. Seperti yang disampaikan oleh bapak Eka

(32 tahun) menyatakan bahwa :

“Saya berbelanja kepanglong etnismana saja, baik


Tionghoa, Jawa dan Tamil. Saya kesemua panglong
untuk membagi rezeki, jangan hanya satu panglong saja
yang mendapatkan rezeki, tetapi panglong yang lain
tidak. Ya harus bagi-bagi rezeki lah.”

Lain halnya dengan bapak Agus (36 tahun) yang menyatakan bahwa :

“Saya berbelanja ke panglong etnisTionghoa karena


murah, panglongnya besar. Dan harganya lebih murah
di etnisTionghoa. Sama bangsa sendiri kok dimahalin, ya
bagus saya di etnisTionghoa saja.”

Lain hal dan prinsip konsumen yang saya wawancarai bapak Rian (25

tahun) menyatakan bahwa :

“Jika saya ditipui dan dibohongi oleh etnis Jawa, saya


akan tetap ke etnis Jawa karena dengan saya dibohongi
dan ditipui berarti itu belum rezeki saya. Dan saya tetap
berbelanja kesini dan tidak mau pindah.”

Sebagian dari informan yang saya wawancarai menyatakan pendapat

yang berbeda. Mereka menyatakan bahwa dibangsa sendiri lebih baik, tetapi

ada yang menyatakan kenapa dibangsa sendiri kalau lebih mahal bagus

116
berbelanja di etnis Tionghoa saja. Uang yang selisih tadi, lebih baik untuk

uang minyak saya dan uang rokok saya daripada sama mereka. Seperti yang

dinyatakan oleh bapak Sila (65 tahun) bahwa :

“Saya dulu di etnis India, etnis Tionghoa juga pernah,


cuman ya kurang serasi kurang cocok aja lalu pindah ke
etnis Jawa.”

Ada juga yang beranggapan bahwa, mahal dibangsa sendiri tidak

apa-apa, karena ini bangsa kita yang berjualan, dan kita memberi makan ke

mereka, daripada memberi makan ke etnisTionghoa lebih baik memberi

makan ke etnisJawa, ke bangsa kita.

Lain halnya lagi yang ber anggapan bahwa, lebih baik di bangsa kita

lah biar maju bangsa kita, daripada kita memajukan etnisTionghoa. Banyak

pendapat dan pandangan informan dalam berbelanja ke panglong

etnisTionghoa, Jawa, dan Tamil. Banyak juga yang berbeda pendapat,

banyak yang sependapat, banyak yang bertentangan.

Walaupun pelayanan serta keramah-tamahan tidak didapat dari

etnisTamil, maka informan tetap berbelanja ke situ karena murah. Ada juga

yang berpendapat bahwa di etnis Tamil tidak jujur dalam berdagang, ada

juga yang berpendapat bahwa di etnisJawa harganya jauh lebih mahal.

Kita tidak bisa memaksakan seseorang untuk berbelanja ke panglong

yang mana, harus ke sesama bangsa, atau harus seagama. Walau ustadz pun

penulis selaku peneliti melihat berbelanja ke etnisTionghoa, padahal

informan ada yang mengatakan bahwa lebih baik dibangsa sendiri, daripada

dibangsa lain. Seperti itulah, tetapi kita tidak bisa memaksakan kehendak

117
kita dan menerapkan kemauan kita untuk tetap berbelanja ke satu panglong

saja.

Ada juga persepsi dan pandangan dari sang informan yang bernama bapak

Agus (36 tahun) mengatakan bahwa :

“Lebih baik berbelanja ke suku Tionghoa, saya lihat


panglongnya besar, barangnya lengkap, dan ada yang
menyuruh saya berbelanja ke suku Tionghoa saja. Yasudah
saya tetap berbelanja ke sini dan saya tidak pindah-pindah
lagi.”

Pandangan dan persepsi konsumen kepada ketiga suku dalam

berdagang tidak bisa kita paksakan, tidak bisa kita perintah untuk kesini

saja. Ada juga yang mengkaitkan unsur agama dalam berbelanja, ada juga

yang mengkaitkan karena satu suku, ada juga yang mengkaitkan karena

faktor harga yang murah, ada juga yang mengkaitkan dengan pelayanan

yang cepat dan sebagainya.

4.6. Strategi Pelayanan

4.6.1. Strategi Pelayanan Etnis Tionghoa

Pelanggan adalah Raja. Begitulah yang sudah didengar dimana-

mana, baik itu dikota Lubuk Pakam dan dimana-dimana sudah mengetahui

bahwa pelanggan adalah raja maka dari itu etnisTionghoa dalam

memberikan pelayanan kepada pelanggannya adalah sesuatu yang ditunggu-

tunggu dan sesutau yang tidak boleh diremehkan dalam melayani pembeli.

Kualitas pelayanan harus diberikan sebaik-baiknya, dengan begitu

jasa yang diberikan dan apa yang mereka harapkan sesuai dengan kenyataan

118
dan dapat diterima dengan baik oleh pelanggan dan konsumen yang hendak

berbelanja.

Tidak sedikit konsumen yang datang mengunjungi panglong

etnisTionghoa. Banyak pembeli yang datang, dan banyak juga barang yang

terlambat diantar atau istilahnya deadline. Maka dari itu, tak sedikit juga

pelanggan marah-marah karena sudah dibayar barangnya tetapi barang yang

sudah dibayar tadi tidak sampai juga ketempat.

Maka tak heran, kalau toke (pemilik panglong) yang berjualan di

panglong etnisTionghoa ini akan terkena marah-marah oleh pelanggan yang

sudah membayar barang pesanan tadi. Tak sedikit juga, orang yang meminta

uangnya dikembalikan agar berbelanja ke panglong yang lain.

Dengan begitu, etnisTionghoa yang sudah memiliki prinsip dan sifat

tidak gampang menyerah, maka ia tidak menyerah dan sabar dalam

menghadapi konsumen atau pelanggan yang marah-marah, membentak, dan

meminta uang nya kembali karena barang tak kunjung datang.

Kualitas pelayanan harus terus ditingkatkan, agar pembeli yang

marah-marah tadi bisa meredam emosi nya dan tidak marah-marah kembali.

Dan pembeli yang sudah meminta uangnya kembali, agar tidak jadi

meminta uangnya kembali. Berikut pernyataan bapak Aheng (49 tahun) :

“Banyak pembeli yang marah-marah dan tak sedikit juga


yang memaki saya, dan ada juga yang meminta uangnya
agar cepat-cepat dikembalikan dan tidak mau lagi
berbelanja kepanglong saya.”

Dengan sabar saya menjelaskan bahwa banyak buangan dan mobil

masih belum pulang dari barang antaran yang tadi, dan sebagainya sudah

saya jelaskan. Bapak Aheng (49 tahun) :

119
“Sebelum saya membuat dan menulis bon faktur, saya
harus memberitahu dulu sabar atau tidak menunggu, jika
tidak sabar maka saya (arahkan) untuk berbelanja
kepanglong lain saja.”

Dengan begitu ada pembeli dan konsumen yang menerima dan ada

juga yang tidak menerima sehingga pergi kepanglong lain dengan alasan

buru-buru dan tukang menganggur atau barang sudah habis dirumahnya.

Bapak Aheng (49 tahun) :

“Jika pembeli tidak jadi berbelanja kepanglong saya, itu


adalah hak mereka. Saya hanya bisa memberikan
pelayanan yang terbaik, mau dimana mereka berbelanja itu
adalah pilihan dan hak mereka. Saya tidak bisa
memaksakan untuk berbelanja kepanglong saya saja. Itu
namanya pemaksaan.”

4.6.2. Strategi Pelayanan etnis Jawa

Pelayanan (costumer service) secara umum adalah setiap kegiatan

yang diperuntukkan atau ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada

pelanggan, melalui pelayanan ini keinginan dan kebutuhan pelanggan dapat

terpenuhi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelayanan adalah sebagai

usaha dalam melayani kebutuhan orang lain, sedangkan melayani adalah

membantu menyiapkan (membantu apa yang diperlukan seseorang). Jadi

pelayanan adalah memberikan kepuasan, memberikan keramah-tamahan,

melalui ucapan dan perkataan yang baik, ramah-tamah, perlakuan yang baik

sehingga konsumen merasa puas dengan pelayanan yang kita berikan,

konsumen merasa senang dengan keramah-tamahan yang kita berikan, dan

konsumen merasa terpenuhi dengan perlakuan dan perkataan kita.

120
Kualitas dalam pelayanan sangat dibutuhkan dan sangat penting

dalam menjual barang yang hendak kita akan jual kepada konsumen, agar

tidak membuat konsumen merasa dirugikan. Atau berfikir terjadinya

kerugian sebelah pihak saja.

Pelayanan yang diberikan etnis Jawa kepada konsumen berupa keramah

tamahan dan penjelasan yang begitu sabar dan begitu baik. Bapak Fahrin

(68 tahun) :

“Saya ingin orang yang berbelanja kepanglong saya


merasa senang, merasa puas, karena sudah berbelanja
kesaya. Jangan sampai pelanggan merasa kecewa dengan
pelayanan kita.”

Dengan strategi penuh keramah-tamahan, penuh penjelasan,

pelayanan yang diberikan baik, perlakuan baik, mau menjelaskan merk ini,

merk itu, kualitas yang baik ya ini. Maka konsumen akan merasa senang dan

terbantu pengetahuan yang sebelumnya ia minim pengetahuan untuk

berbelanja dan membangun rumah. Bapak Fahrin (68 tahun) :

“Ada harga ada kualitas. Kita menjelaskan kualitas apa


yang bagus, kualitas apa yang kedua, ketiga begitu
seterusnya. Jangan sampai tertipu dengan harga yang
murah, dan kualitas yang bohong. Karena pembeli sudah
mencari uang mati-matian, lalu kita bohongi, kita tipui,
buat apa. Sama saja ketidakberkahan mengalir kekita.”

Tidak jarang juga pelanggan marah-marah ke saya, merasa saya

bohongi, dan merasa saya tipui. Saya sabar dan berusaha menjelaskan,

bahwa kualiitas itu yang terbaik, makanya harga lebih mahal dari yang lain.

Barangnya mirip, tapi kualitas dan grade kita panglong yang mengetahui.

Tidak sedikit juga yang marah-marah dan bilang, panglong ini

menipu, barang sudah dibayar belum sampai. Katanya jam 10.00 WIB

121
diantar, nyatanya belum sampai juga. Dengan begitu, dia meminta uangnya

kembali. Saya berusaha sabar dan tetap menjelaskan bahwa ada kendala,

tetapi ia bersi keras dan tetap meminta uangnya kembali lalu saya kasih

uangnya. Bapak Fahrin (68 tahun) :

“Kita sudah berusaha sebaik mungkin dalam memberikan


pelayanan dan dalam memberikan penjelasan barang, kita
service (beri pelayanan) dengan memberinya minum,
memberi utang, mengantar barang dengan cepat jika lagi
ngecor rumah.”

Tidak jarang juga pembeli yang kembali lagi berbelanja kepanglong

saya, karena merasa nyaman. Dan tak jarang juga pembeli bilang panglong

kami harganya mahal dan lebih mahal dari panglong lain, tetapi pelayanan

dan kenyamanan tidak bisa dibeli. Bapak Fahrin (68 tahun) :

“Kenyamanan dan kejujuran adalah prinsip kami. Karena


kenyamanan tidak bisa dibeli dengan uang. Kejujuran pun
susah untuk didapatkan di zaman sekarang.”

Bersikap baiklah sesama manusia, karena kita pasti akan

mendapatkan kebaikan dari orang lain. Jangan pernah mencari kesempatan

didalam kesempatan, karena kita yang akan rugi dan tidak dipercayai oleh

konsumen lain. Pembeli pun tidak akan ada yang mau datang jika kita

bohongi mereka. Bapak Fahrin (68 tahun) :

“Kalau pembeli yang datang kepanglong saya sudah


kemana-mana, lalu bertanya kepanglong mana-mana daftar
harga barangnya, maka saya meminta catatan harga
barangnya, saya usahakan sama harganya dengan catatan
yang dibawanya, kalau ada yang lebih mahal, maka saya
akan usahakan untuk mengurangi harganya dari harga
catatan yang dibawaknya agar jadi.”

122
4.6.3. Strategi Pelayanan Panglong Etnis Tamil

Menurut Kotler dalam Laksana (2001) pelayanan adalah setiap

tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak

lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan

kepemilikan apapun.

Dalam melakukan pelayanan, etnisTamil mengganggap bahwa

pembeli harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Karena pembeli adalah

orang yang mengantarkan uang dan yang mengasih kita makan.

Kualitas pelayanan harus dijaga dan dilaksanakan dengan sebaik

mungkin, dan dengan berjalannya kualitas pelayanan dengan apa yang

diharapkan oleh konsumen, maka konsumen akan merasa senang dan

pelayanan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan.

Bapak Ragu (50 tahun) :

“Pelayanan kepada pembeli harus dibuat sebaik-baiknya,


karena pembeli adalah orang yang datang kepanglong saya
untuk berbelanja. Untuk mengantar uangnya ke saya. Jadi
saya harus memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
pembeli yang datang.”

Strategi yang dibuat oleh etnisTamil yakni dengan membuat muatan

yang segunung, atau dibelakang dipenuhkan seperti gunung, se akan-akan

muatan tersebut penuh dibelakang, banyak muatan, tetapi dengan harga

yang murah.

Maka dari itu, pembeli banyak yang datang ke toko mereka. Karena

pembeli melihat muatan mereka yang begitu banyak, dan dengan harga yang

murah. Strategi panglong etnis Tamil yakni dengan mengikut sertakan

dirinya dalam memberi tahu penjelasan. Bukan dengan menyuruh

123
anggotanya untuk melayani pembeli, tetapi ia ikut serta dalam melayani

pembeli.Pelayanan yang diberi cukup simple saja, yakni dengan menjual

lalu menerima uang. Tidak dengan menjelaskan dengan secara rincian.

Berikut pernyataan bapak Ragu (50 tahun) :

“Kita memberi harga yang sudah relatif murah menurut


saya. Ya sama dengan harga di pasaran, tetapi kalau
pembeli tidak jadi membeli dengan saya, ya mau
bagaimana lagi. Saya sudah memberikan harga yang
menurut saya sudah sama dengan pasaran sekarang. Jika
ia ingin lebih murah, saya tidak bisa memberinya.”

4.7. Strategi Pemasaran

4.7.1. Strategi Pemasaran Etnis Tionghoa

1. Memberikan barang dengan kualitas yang baik.

Dengan memberikan barang dengan kualitas yang baik, maka

memungkinkan pelanggan datang kembali ke panglong suku Tionghoa

untuk berbelanja kembali. Dan dengan mengupayakan memberikan barang

dengan kualitas yang baik, maka strategi dalam pemasaran dapat berhasil

dan sesuai yang diinginkan.

2. Memberikan pelayanan sebaik-baiknya.

Dengan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya, maka

pelanggan akan merasakan penghargaan dalam berbelanja kepanglong suku

Tionghoa. Dengan adanya rasa dihargai tadi, maka pelanggan akan

berbelanja, dan strategi pemasaran pun dapat berhasil.

3. Melayani dengan sebaik-baiknya.

Dengan adanya pelayanan dan sebaiknya-baiknya, maka akan menghasilkan

pemasaran yang dicapai. Dan tujuan yang dicapai akan berhasil. Dalam

124
melakukan teknik pemasaran, harus melayani dengan sebaik-baiknya. Agar

tujuan dalam pemasaran dapat berhasil.

4. Memberikan dan mengusahakan mengantar barang dengan tepat

waktu.

Dengan mengantar barang tepat waktu, maka akan melancarkan

strategi pemasaran dan akan mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan cara

tersebut, maka pembeli akan kembali lagi ke panglong suku Tionghoa. Dan

strategi dalam melakukan pemasaran akan berhasil.

5. Memberikan sifat dan perlakuan dalam melayani dengan baik.

Dengan memberikan perlakuan yang baik dan sifat yang baik, maka

akan menjadikan pembeli kembali lagi ke panglong suku Tionghoa. Dan

pembeli tidak akan pergi kepanglong lain. Strategi dalam pemasaran

tersebut berhasil dan mencapai tujuan yang diinginkan.

6. Menjaga pelanggan agar tetap bertahan

Dengan menjaga pelanggan untuk tetap berbelanja ke panglong suku

Tionghoa, maka ia menjaga pelanggan dengan memberi pelayanan yang

baik. Agar pelanggan tidak pergi ke panglong lain, dan dapat menjalankan

strategi pemasaran dengan sesuai tujuan yang hendak dicapai.

7. Memberikan Hadiah

Memberikan hadiah dan pemotongan harga bagi pelanggan yang

terus berbelanja ke panglongnya, dan bagi kepala tukang yang sudah

membawa pembeli berbelanja kepanglongnya akan diberi uang terimakasih.

125
4.7.2. Strategi Pemasaran Etnis Jawa

1. Memberikan pelayanan keramah-tamahan

Dengan memberikan pelayanan keramah-tamahan maka akan

berhasil dalam strategi pemasaran. Yakni dengan memberikan keramahan,

maka pembeli akan kembali datang ke suku Jawa. Dan strategi pemasaran

akan sukses dan berhasil.

2. Memberikan kesopanan

Dengan memberikan kesopanan, akan berhasil dalam mencapai

strategi pemasaran. Dan akan membuat pembeli yang berbelanja ke suku

Jawa tidak akan lari dan pergi dari suku Jawa, dan akan terus berbelanja ke

panglong suku Jawa.

3. Menjelaskan kualitas barang dan produk

Dengan menjelaskan kualitas barang serta produk, maka akan

membuat pembeli akan merasa senang karena pengetahuan dan ilmu

bertambah. Dengan adanya penjelasan tersebut, maka pembeli tidak akan

lari kepanglong lain, dan akan tetap berbelanja ke suku Jawa serta strategi

pemasaran akan berhasil dan mencapai tujuan.

4. Jujur dalam berdagang

Dengan kejujuran, maka pemasaran akan berhasil dan mencapai

tujuan yang diinginkan. Pembeli tidak akan pergi kepanglong lain, dan tetap

akan berbelanja ke suku Jawa. Serta pemasaran pun akan berhasil dan

mencapai tujuan yang diinginkan. Serta pemasaran pun dapat berhasil.

5. Menghargai pembeli yang membeli barang

126
Dengan menghargai pembeli yang membeli barang, maka pembeli

merasa senang dihargai. Dan pembeli tidak akan pergi dan lari dari

panglong suku Jawa.

6. Memberikan kesederhanaan

Dengan pelayanan dan keadaan yang sederhana, akan membuat

pembeli merasa nyaman dan tidak akan lari dari panglong lain. Tetap akan

berbelanja ke suku Jawa, dan kenyamanan serta kesederhanaan didapat

sehingga tidak akan memungkinkan untuk pindah ke panglong lain. Dan

pencapaian dalam pemasaran pun tercapai.

7. Memberikan hadiah bagi pelanggan

Memberikan hadiah kepada pelanggan yang sudah lama berbelanja

dan terus berbelanja ke panglongnya akan diberikan bonus berupa

pengurahan harga, diskon, hadiah berupa baju, parsel ketika hari besar bagi

umat muslim, dan uang amplop bagi umat kristiani.

4.7.3. Strategi Pemasaran Etnis Tamil

1. Memberikan harga yang murah

Dengan memberikan harga yang murah, maka pembeli akan merasa

sennag karena menemukan panglong yang harganya murah. Dengan itu,

pembeli tidak akan lari dan pergi kepanglong lain, dan bertahan di panglong

suku Tamil. Dengan itu tujuan strategi pemasaran akan berhasil.

2. Mengantar barang sesuai pesanan

Dengan mengantar sesuai pesanan, dan dengan sesuai perjanjian di

awal pembelian yang sudah ditentukan dan sudah dibayar di toko panglong,

127
maka barang sesuai pesanan tadi sudah membuat pembeli merasa ada

kejujuran, karena sesuai dengan perjanjian di awal. Dengan begitu, strategi

pemasaran berhasil dan tidak akan membuat pembeli lari kepanglong lain

dan tetap akan berbelanja ke suku Tamil.

3. Memberi pelayanan yang baik

Dengan memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan, maka

akan membuat pelanggan merasa senang dihargai dengan memberikan

pelayanan yang baik. Dan dengan begitu, maka akan membuat pembeli

tidak akan lari ke panglong lain, dan tetap bertahan berbelanja kepanglong

suku Tamil. Dengan begitu, strategi dalam pemasaran akan suskes dan

berhasil mencapai tujuan yang diinginkan.

4. Menjaga pelanggan

Suku Tamil akan menjaga pelanggan agar tidak lari ke panglong

lain. Dan tetap akan berbelanja ke panglongnya, dengan memberikan harga

yang murah, maka akan membuat pelanggan tidak akan lari dan tetap

berbelanja ke panglong Tamil. Dengan begitu, strategi dalam pemasaran

berhasil dan mencapai tujuan yang diinginkan.

5. Menjual barang sesuai produk permintaan

Dengan menjual barang sesuai dengan permintaan pelanggan yang

membeli, maka akan membuat pelanggan senang dan merasa bahwa ia

belanja di panglong Tamil dihargai. Karena barang yang ia minta, dan

jenisnya sama dengan awal sesuai dengan pembayaran. Dengan begitu

strategi pemasaran akan berhasil dan pembeli tidak akan lari ke panglong

lain, dan akan berbelanja terus ke panglong Tamil.

128
4.8. Harga

Harga adalah suatu nilai untuk mendapatkan suatu produk kepada

konsumen manfaat dari memiliki atau menggunakan pada suatu waktu

tertentu. Agar dapat sukses dan dapat berjalan dengan sesuai yang

diinginkan dan diharapkan, maka setiap pedagang harus menetapkan dan

memberikan harga dengan tepat dan dengan sesuai pasaran.

Jangan memberikan harga dengan dibawah pasar, atau dibawah

modal, dan jangan pula memberikan harga dengan mengambil kesempatan.

Yakni, dengan mengambil keuntungan dengan tinggi, atau dengan banyak,

sehingga membuat pelanggan atau konsumen akan pergi dan lari dan tidak

akan berbelanja ke toko kita lagi. Strategi penentuan harga sangat signifikan

dalam pemberian value kepada konsumen dan mempengaruhi image

produk, serta keputusan konsumen untuk membeli, Lupiyoadi (2011:61).

Keputusan dalam memberikan harga harus secara konsisten, dengan

strategi dalam pemasaran. Karena harga adalah faktor utama dalam

mempengaruhi konsumen dalam membeli barang atau produk. Jika, kita

membuat hatrga tersebut mahal, dan jauh dari pemasaran pasar di kota

Lubuk Pakam, maka tidak akan ada yang mau dan tidak akan ada yang

datang kepanglong kita jika harga tersebut jauh dari pasaran.

Dengan memberikan harga yang murah, tapi kualitas yang lebih

murah lagi, itu sama saja dengan membohongi konsumen. Dengan

memberikan harga yang mahal, tetapi membohongi produk, memberikan

produk yang murah dan tidak sesuai dengan harga yang diberi dalam

129
maksud harganya mahal tetapi produk yang diberi tidak sesuai, sama saja

dengan membohongi konsumen.

Dengan membohongi konsumen, maka konsumen tidak akan mau

datang lagi, atau datang kembali ke panglong kita. Maka ia akan pindah

panglong, tetap mencari harga yang murah dan mencari kualitas serta

produk yang bagus. Tetapi, dalam hal pasaran, bagaimana bisa memberikan

harga yang murah tetapi kualitas yang bagus, sama saja dengan

membohongi diri sendiri.

Pembeli pun, awalnya memang tidak akan tau, jika ia dibohongi

dengan harga yang murah dan dijanjikan kualitas serta produk yang bagus

dan baik, tetapi pembeli akan tau dari mouth to mouth untuk mengetahui

kualitas produk. Dan dengan melakukan pengecekan dengan berbelanja

pindah-pindah. Dari satu panglong ke panglong yang lain untuk mengecek

harga dan mengecek kualitas suatu barang atau produk barang tersebut.

Bagi konsumen yang tidak mengerti dengan ke aslian barang, ada

yang bersifat mirror atau kemiripan barang, sehingga susah untuk

membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Maka akan tahu dan

jelas kelihatan dari internet atau media sosial, bisa juga dari panglong yang

satu tempat ia tidak berbelanja lagi, dan mengetahui dari lain-lain.

Harga menentukan konsumen untuk jadi membeli atau tidak. Tetapi,

ada juga konsumen yang tidak berpatok pada harga yang murah. Bapak

Agus (36 tahun) :

“Lebih memilih harga yang murah, kalau di etnis Tionghoa lebih


murah ya saya tetap ke etnis Tionghoa saja berbelanjanya.”

130
Ada beberapa konsumen yang berpatok pada kenyamanan dan

kualitas dalam pelayanan. Seperti contohnya, kenyamanan tidak bisa

didapatkan dimanapun, jika seorang pedagang menjual barangnya dengan

harga yang murah, tetapi kenyamanan tidak kita temukan, maka sama saja.

Bapak Rian (28 tahun) :

“Nyaman yang diutamakan, kalau harga masih bisa dikondisikan.”

Dengan menjual harga yang mahal, tapi kita nyaman dan

kenyamanan ada pada saat kita ingin bertransaksi dan melakukan

pembelian, maka kita akan membelinya. Sebab kenyamanan dan keramah-

tamahan tidak mudah didapat. Dengan nyaman,maka semua sudah terjawab

dari kejujuran, dan dari kualitas barang.

4.9. Definisi Pelanggan

Pelanggan menurut Greenberg (2010) pelanggan adalah seorang

individu ataupun kelompok yang membeli produk fisik ataupun jasa dengan

mempertimbangkan berbagai macam faktor, seperti harga, kualitas, tempat,

pelayanan dsb berdasarkan keputusan mereka sendiri.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pelanggan adalah seseorang atau

sekelompok orang yang sudah mempunyai kepercayaan, keyakinan, dan

kenyamanan untuk berlangganan di sebuah toko ataupun perusahaan.

Hubungan langganan atau pelanggan dengan penjual tercipta karena adanya

rasa kepercayaan. Baik itu kepercayaan si penjual dan juga kepercayaan si

pelanggan. Hubungan langganan adalah hubungan yang terjadi dan tercipta

dengan adanya kesepakatan antar kedua belah pihak, yakni antar penjual

131
dan antar pelanggan. Dengan terciptanya hubungan langganan, maka akan

membuat pelanggan akan tetap berbelanja ke satu pedagang panglong saja,

tidak mau berpindah ke pedagang panglong yang lain. Menurut Dalton :

“Langganan berarti kondisi, bahwa seseorang bisa


melakukan jual beli dengan pedagang tetap.”

Nah, dengan adanya langganan maka membuat pedagang pasti akan

melayani langganannya dengan baik, agar hubungan langganan dapat

berjalan dengan baik. Dan tetap berbelanja ke pedagang panglong yang satu

saja, dan tidak berbelanja ke pedagang panglong yang lain. Maka akan

menimbulkan persepsi bahwa “aku sudah berlangganan di panglong etnis

Jawa”, atau pelanggan yang lain mengatakan bahwa “aku sudah lama

belanja dan langganan di panglong etnis Tionghoa.” Pada konteks hubungan

langganan tetap ini timbul dan muncul karena adanya hubungan yang baik,

dan didasari dengan kepercayaan dan keyakinan yang baik dengan pedagang

dan dengan pelanggan. Dan timbulnya hubungan langganan ini, lama

kelamaan akan memunculkan sifat kejujuran yang sebenarnya, kejujuran si

pelanggan.

Dalam artian, pelanggan yang sudah tetap berbelanja dan pelanggan

yang sudah menjalin hubungan kepercayaan dan kebaikan antar pedagang

dan pelanggan di panglong etnisJawa maka lambat laun akan kasbon atau

akan berutang ke panglong etnis Jawa. Seperti pernyataan pak Buchori (66

tahun) :

“Saya berbelanja ke Suku Jawa karena sudah langganan


disana, dan dikasih kasbon. Dulunya ke etnis Tionghoa,
tidak sesuai jadi saya pindah ke etnis Jawa.”

132
Nah, dengan berjalannya waktu, pelanggan ini akan bayar dengan

tepat waktu sesuai dengan perjanjian dan keputusan kedua belah pihak.

Barang diantar sampai tempat, tidak ada yang kurang sedikitpun, dan

pembayaran nanti akan dilunaskan dan tanggal pelunasannya pun tepat

waktu sesuai dengan kesepakatan antar kedua belah pihak, yakni antar

pelanggan dan penjual.

Hubungan langganan ini akan berjalan terus dengan baik seiring

berjalannya waktu, dan lambat laun pelanggan yang bernama pak Buchori

ini, akan membawakan pembeli baru yang ingin berbelanja dan akan

berlangganan di panglong suku Jawa. Tetapi, tidak mudah untuk

memberikan kepercayaan kepada pelanggan baru jika ingin mengebon atau

mengutang di panglong suku Jawa, karena pastinya panglong suku Jawa

akan melihat bagaimana sifat dan kejujuran pelanggan baru nantinya.

Karena hubungan langganan adalah hubungan yang terjadi dengan unsur

kepercayaan dan keyakinan antar kedua belah pihak, dan itu terjadi dengan

kesengajaan, tanpa terikatan, dan tanpa ikatan. Karena, jika terjadilah utang

atau pengebonan, maka tidak ada barang jaminan apapun yang ditinggalkan,

oleh sebab itu hubungan langganan ini tercipta bukan dengan unsur paksaan

atau unsur keterikatan.

Tidak sedikit konflik pelanggan dan penjual yang terjadi, karena

tidak adanya kejujuran dan ketepatan waktu. Seperti di panglong suku

Tionghoa yang mengalami kerugian, yang dibuat oleh pelanggannnya

sendiri. Pak Aheng (pemilik panglong suku Tionghoa) memberikan

kepercayaan kepada pelanggannya yang dulu sebagai pemborong dan

133
mengerjakan proyek pembangunan, awalnya hubungan langganan ini baik

dan tercipta dengan adanya rasa kepercayaan. Tetapi, lambat laun

kepercayaan itu memudar dan hilang karena tidak adanya kejujuran dan

ketepatan waktu untuk membayar utang di panglong nya. Janjinya, hari ini

jika ditagih maka terus akan mengulur waktu dan terjadilah konflik.

Sehingga si pelanggan ini pergi dan lari membawa uangnya kabur,

dan tidak membayar utang di panglong etnis Tionghoa. Nah, dengan

pengalaman seperti itu, bapak Aheng tidak lagi dengan mudah memberikan

kepercayaan kepada pelanggan baru, dan tidak dengan begitu mudah lagi

untuk memberikan bon atau utang, karena telah mengalami kejadian dan

kerugian yang begitu banyak. Seperti pernyataan pak Aheng (49 tahun)

bahwa :

“Jangan tanya kerugian yang disebabkan oleh pemborong


karena jumlahnya tidak sedikit.”

134
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan ini, penulis

menyimpulkan bahwa strategi panglong antar etnis Tionghoa, Jawa, dan

Tamil memiliki karakteristik dan perbedaan sendiri. Perbedaan terletak di

dalam pelayanan, harga yang berbeda beberapa, strategi yang diterapkan

dan dilakukan, juga dalam sikap dan kebudayaan yang masih dipergunakan

hingga saat ini.

Beberapa pedagang panglong ada yang melayani dengan setulus

hati, ada yang melayani hanya seadanya saja sekadar untuk menjual, dsb.

Dalam pemberian penjelasan dan kualitas barang juga dijelaskan oleh etnis

Jawa, dan etnis Tamil dan etnis Tionghoa memberikan kemurahan dari segi

harga.

Ada kekurangan yang dimiliki oleh setiap pedagang panglong antar

etnis, kekurangan dalam menjaga kepercayaan pelanggan, kekurangan

dalam menjelaskan kualitas barang kepada pelanggan, kekurangan dalam

transparan atau dalam kejujuran pedagang, dsb. Masih banyaknya

kekurangan yang ditampakkan oleh setiap pedagang dalam melayani dan

dalam mempertahankan pelanggan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa, pedagang panglong masih terbawa

dan menggunakan kebudayaan dari leluhurnya. Baik dari sifatnya, etos

kerjanya, perilakunya, dsb. Seperti pedagang etnis Jawa yang masih

menggunakan sifat menerima apa adanya, bersosial yang tinggi, dan kurang

135
dalam berwirausaha itu terbukti dari kurangnya dalam menjaga usaha nya,

dan kurangnya dalam memikirkan ide-ide yang baru untuk mencapai tujuan.

Sementara etnis Tionghoa masih menggunakan sifat yang pekerja keras,

hemat, terlihat dari perilaku nya sehari-hari dalam berjualan dan dalam

berdagang masih memperhitungkan semua uang keluar dan uang masuk,

dan etnis Tamil yang masih individualis, tidak memperdulikan orang yang

berada disekitarnya, tetapi kebudayaan dalam acara tertentu masih

dipertahankan.

Masih banyak kekurangan dan juga kelebihan yang dilakukan oleh

pedagang panglong antar etnis ini. Ada pembeli yang merasa kecewa dan

ada juga pembeli yang merasa puas, karena diberikan kualitas pelayanan

yang baik, kenyamanan, murah harganya, dsb.

Penulis melihat bahwa, strategi yang dijalankan oleh tiap-tiap

pedagang panglong masih sama, dan masih dalam batas yang wajar. Konflik

tidak ada terjadi, perselisihan pun jarang terjadi, relasi yang kuat masih ada

dan terlihat di etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa memiliki hubungan yang kuat

dengan sesama etnis nya, masih mempunyai jiwa dan kebudayaan yang

tinggi dengan sesama etnisnya. Sementara etnis Jawa sesama etnisnya

bersifat biasa-biasa saja, tidak mempunya relasi, begitu juga dengan etnis

Tamil yang biasa-biasa saja dengan sesama etnisnya.

Penulis juga melihat bahwa, pedagang panglong berusaha

mempertahankan pelanggannya dengan menggunakan metode kasbon

(diberi hutang), agar pelanggan dapat bertahan di salah satu panglong dan

tidak pindah ke panglong yang lain. Dan akhir kesimpulan, bahwa setiap

136
pembeli dan pelanggan panglong tetap berbelanja ke salah satu panglong

dan tidak mau berbelanja ke panglong lain lebih banyak karena faktor

kenyamanan dan keramah-tamahan serta kesopanan.

5.2. Saran

Penulis dapat memberikan saran kepada pedagang panglong antar

etnis ini, tetaplah mempertahankan pelanggan. Dan tetaplah memikirkan

konsep dan ide yang baik untuk mempertahankan usaha bahan bangunan.

Tetaplah menerapkan sifat dan sikap yang baik, serta mempertahankan

nilai-nilai kebudayaan sesuai etnis kalian dengan baik. Karena etnis

Tionghoa, etnis Tamil dan etnis Jawa memiliki nilai-nilai kebudayaan yang

baik, dan masih menerapkan perilaku yang baik.

Penulis berharap agar tidak ada lagi antar satu pedagang dan dengan

pedagang yang lain, terjadi konflik atau menjelek-jelekkan satu sama lain.

Bersikaplah jujur dan transparan dalam melayani calon pembeli dan dalam

mempertahankan pelanggan. Hargailah sesama suku bangsa, janganlah

memberikan pelayanan dan harga yang berbeda jika yang berbelanja bukan

sebangsa kita. Tetaplah menjalankan hubungan yang baik, baik itu

hubungan dengan sesama pedagang antar panglong, dan hubungan sesama

pedagang dan pembeli. Dan tetaplah mempertahankan toleransi kepada

setiap umat beragama, seperti yang sudah dilakukan oleh panglong etnis

Tionghoa yang masih menjalankan toleransi kepada pegawainya.

137
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
Anoraga, Pandji. Pengantar Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, 2001
Adisti, Galuh. Sikap Locus Of Control Pedagang Usaha Kecildan
Menengah Etnis Tionghoa dan Jawa, 2007
Ann Wan Seng, Rahasia Bisnis Orang Cina, Jakarta: Naura Books (PT
Mizan Publika), 2013
Basu Swastha. Azas-azas Marketing, Liberty,Yogyakarta, 1998
Benedicta Prihatin Dwi, Riyanti. Kewirausahaan Dari Sudut Pandang
Psikologi Kepribadian, Grasindo, Jakarta, 2003
Crable E. Richard. Conflict Theory, Teplok Press, Jakarta, 1981
Cook, R. J. & K. F. Baker, The Nature and Practice of Biological Control
Of Plant Pathogens, American Phyytopathol, 1983
Cherrington, David J, Organizational Behaviour:The Management of
Individual and Organizastion Performance, Second Edition, Allyn
& Bacon, Boston, 1994
Daryono, Etos Dagang Orang Jawa Pengalaman Raja Mangkunegara IV ,
Yogyakarta, 2007
DeGenova. Intimate Realitionship, Marriage, and Families, New York:
McGraw-Hill, 2008
EB Taylor, Primitive Culture, London, 1871
Enggar, Hariz. Perbedaan Kecerdasan Adversity antara Etnis Tionghoa dan
Etnis Jawa, 2007
Endraswara, Suwardi, Filsafat Sastra: Hakikat, Metodologi dan Teori,
Yogyakarta, 2012
Fadila, Dewi & Ridho, Sari Lestari Zainal, Perilaku Konsumen, Palembang:
Penerbit Citrabooks Indonesia, 2013
Fedyani, Saifuddin Ahmad. Antropologi Kontemporer, KDT, Jakarta, 2005
Fathoni, Abdurrahmat. Antropologi Sosial Budaya. Rineka Cipta Jakarta,
2006
Fung Yu Lan, A Short History Of Chinese Philosophy, The Macmillan
Company, New York, 1960

Greenbarg, Paul, CRM at the spedd of light: Social CRM Strategies, Tool,
and Techniques for Engaging Your Costumer, (4th edition), New
York: Mcgraw-Hill Inc, 2010

138
Hall, Calvin & Garner Lindzey. Introduction to Theories of Personality,
Canada, John Wiley & John, 1985

Kasmir. Kewirausahaan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1980

Kotler, P. Manajemen Pemasaran, Edisi Milenium: PT. Prehalindo, Jakarta,


2002

Kotler, Philip, Keller, Kevin L, Manajemen Pemasaran, Jilid Kedua,


Jakarta: Erlangga, 2013

Kotler, Philip, & Gary Amstrong, Prinsip-prinsip Pemasaran, Edisi ke VII


jilid 8, Jakarta: Erlangga. 2001

Lupiyoadi, Rambat dan Hamdani, A, Manajemen Pemasaran Jasa, Edisi


Kedua, Salemba Empat, Jakarta, 2011

Marrus, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Jakarta, 2002

Pearce, John A & Robinson, Richard B, Manajemen Strategis: Formulasi,


Implementasi, dan Pengendalian, Jakarta, Salemba Empat, 2008

Plotnik, r. Introduction to Psychology, Belmont: Thomson Learning, 2005

Porter, Michael E. What Is Strategy?, 1996

Siagian, Sondang P. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Salemba


Empat, 2004

Sinamo, Jansen. Delapan Etos Kerja Professional: Navigator Anda Menuju


Sukses, Grafika Mardi Yuana, Bogor, 2005

Sinambela, Lijan Poltak, Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan, dan


Implementasi, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008

Supraktiknya, A, Komunikasi Antarpribadi Tinjauan Psikologis,


Yogyakarta, 2005

Suparlan, Parsudi. Sukubangsa dan Hubungan antar-suku bangsa, Pustaka


Inspirasi Tahun, Jakarta, 2005

Sairin Sjafri, Pujo Semedi dan Bambang Hudayana. Pengantar Antropologi


Ekonomi, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2002

William J. Szanton, Fundamental Of Marketing, New York: Mccgraw Hill


Book Company Inc, 1978

139
Sumber Jurnal

Askarial Herdi Salioso dan Willy Herdianto Surya. Kultur Sosial Etnik
Tionghoa Dalam Persaingan Bisnis Studi Kasus Etnik China
(Tionghoa) di Kawasan Bisnis Setia Budi Pekanbaru.Pekanbaru.Vol
2 No 1. 2016

Anoraga. Kontrak Psikologis Dan Etos Kerja Pada Karyawan Kontrak.

Anugrahani Binita Yuania. Pemaknaan Etnis Tionghoa Dalam


Mengaktualisasikan Nilai Leluhur Pada Bisnis Perdagangan, (Studi
FenomenologiJaringan Komunikasi Pedagang Tionghoa di
Kabupaten Kediri). Kediri. 2014

Amalia Fitri dan Kuncoro Bayu Prasetyo. Etos Budaya Kerja Pedagang
Etnis Tionghoa di Pasar Semawis Semarang. Semarang. 2015

Burner. The Expression of Ethnicity inIndonesia’, dalam Abner Cohen (Ed),


Urban Ethnicity. 1974
Dewey. Rational Versus Gender Role Explanations for Work-Family
Conflict, Vol 76, No 4,560-568, 1961
Frederik Barth. Ethnic Group and Boundaries. 1969
Florence. Perbedaan Motivasi Berprestasi Pada India Tamil dan India
Punjabi di Kota Medan. Vol 1 No 2 Desember 2012

Harahap Susi Mariani dan Rika Eliana. Perbedaan Motivasi Berprestasi


pada Tamil dan India Punjabi di Kota Medan. Medan, Vol 1 No 2.
2012.

Handaru Agung Wahyu, dkk. Karakteristik Entrepreneur Melaui Multiple


Diskriminan Analisis (Studi Pada Etnis Tionghoa, Jawa, dan
Minang di Bekasi Utara). Bekasi Utara. Vol 6 No 1. 2015

Hariz Enggar. Perbedaan Kecerdasan Adversity antara Etnis Tionghoa dan


Etnis Jawa. 2007

Juditha Cristhiani. Streotip dan Prasangka dalam Konflik Etnis Tionghoa


dan Bugis Makassar. Vol 12 no 1. 2015

Lusiana Andriani. Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa dan Pribumi di


Kota Medan. Vol 10 No 1. 2012

140
Masudi. Akar-akar Teori Konflik:Dialektika Konflik; Core Perubahan
Sosial dalamPandangan Karl Marx dan George Simmel. Vol3 No 1.
2015.

Najwan, Jhoni. Konflik Antar Budaya dan Antar Etnis di Indonesia Serta
Alternatif Penyelesaiannya. Jambi.

Setiawan Deka. Interaksi Sosial Antar Etnis di Pasar Gang Baru


PeTionghoan Semarang Dalam Perspektif Multikultural.

Setyawan, Surya. Konteks Budaya Etnis Tionghoa Dalam Manajemen


Sumber Daya Manusia. Bandung.

Sumber Internet

“Rasio Wirausaha Indonesia Naik Jadi 3,1%” Diakses dari


https://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/2017/03/11/rasio-wirausaha-
indonesia-naik-jadi-31-395913

Manajement Strategi. Diakses dari:


http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/RS1_2016_1_1329_Bab2.
pdf (diakses 15 januari 2019)

141
142
143
LAMPIRAN FOTO

144
145
146
147

Anda mungkin juga menyukai