Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH PANCASILA

“PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA”

Oleh :

KELOMPOK 2

Himmi Naila M (155080301111066) Mochammad Yusuf E (175080307111004)

Jasmine Larasati (155080307111012) Syahrani Nurul M (175080307111008)

Diyana Dyhan Amani (175080301111018) Rafli Dewantoro (175080307111018)

Nana Yuliana (175080301111022) Muhammad H P A (175080307111012)

Avi Nastiti Aeidah (175080301111026) I Gusti R I P (175080307111016)

Silly Siswani (175080301111030) Abdullah Qodim F (175080307111020)

Nehemia J.H Siahaan (175080301111032) Afifa Zahira (175080307111028)

Zahrotul Firdaus (175080301111034) Afid Afandi (175080307111032)

Kelas T02

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah dan

rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Pancasila sebagai

Dasar Negara”. Atas bimbingan Bapak Prof. Dr. Ir. H. Eddy Suprayitno, MS. kami

dapat menyelesaikan makalah dengan hasil yang maksimal sesuai yang diharapkan.

Makalah ini disusun dengan tujuan pertama memahami dan mendalami

tentang Pancasila sebagai Dasar Negara. Kedua memenuhi tugas diskusi dan

pembuatan makalah secara kelompok. Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai

wahana pembelajaran mata kuliah Pancasila agar dapat dipelajari oleh seluruh

mahasiswa/mahasiswi khususnya progam studi Teknologi Hasil Perikanan

Universitas Brawijaya Malang.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari

sempurna, karena itulah kritik dan saran yang membangun dari dosen dan teman-

teman sangat kami harapkan.


DAFTAR ISI
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan falsafah Pancasila, manusia Indonesia adalah makhluk ciptaan

Tuhan yang mempunyai naluri, akhlak, daya piker, dan sadar akan keberadaannya

yang serba terhubung dengan sesamanya, lingkungannya, alam semesta, dan

penciptanya. Kesadaran ini menumbuhkan cipta, karsa, dan karya untuk

mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidupnya dari generasi ke generasi

(Sumarsono dkk 2007).

Pancasila merupakan dasar Negara bagi Negara kita. Sebagai dasar

Negara, Pancasila lahir berdasarkan nilai-nilai budaya yang terkandung sejak zaman

nenek moyang kita dahulu. Nilai-nilai tersebut lahir dan melekat secara tidak sengaja

pada nenek moyang kita.Pancasila itu terdiri dari Panca dan Sila. Nama Panca

diusulkan oleh Ir. Soekarno sedangkan nama Sila diusulkan oleh salah seorang ahli

bahasa. Pancasila dirasakan sudah sempurna dan mencakup segala aspek pada

Bangsa Indonesia.

Sejak reformasi bergulir hingga saat ini,Pancasila telah mulai dilupakan

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Sesungguhnya tidak

ada yang salah dengan Pancasila. Apabila terdapat kekeliruan, hal itu dikarenakan

adanya pihak yang membuat pemaknaan tunggal atas Pancasila yang kemudian

dipaksakan sebagai alat politik untuk mempertahankan status quo kekuasaan.

Meskipun demikian, terdapat keyakinan, bahwa persatuan dan kesatuan nasiona

lbaik yang bernuansa struktural maupun kultural (solidaritas sosial) tetap dapat

dipertahankan di negeri ini. Sebab Indonesia didirikan atas dasar rasa penderitaan
yang sama (sense of common suffering) akibat penjajahan asing ratusan tahun,

bukan atas dasar falsafah non-primordialisme.

Kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia di era globlalisasi,

mengharuskan kita untuk melestarikan nilai-nilai Pancasila, agar generasi penerus

bangsa tetap dapat menghayati dan mengamalkannya dan agar intisari nilai-nilai

yang luhur itu tetap terjaga dan menjadi pedoman bangsa Indonesia sepanjang

masa. Bangsa yang baik adalah bangsa yang mampu mempertahankan budayanya

sehingga mampu dibedakan dengan bangsa lain. Mempertahankan budaya bangsa

di tengah gempuran budaya asing merupakan hal yang tidak mudah. Pada salah

satu sarasehan nasional yang diselenggarakan Kemendiknas pada 14 Januari 2010

dideklarasikan tentang “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” sebagai gerakan

nasional. Deklarasi ini secara jujur diakui disebabkan oleh kondisi bangsa ini yang

semakin menunjukkan perilaku tidak terpuji dan tidak menghargai budaya bangsa.

Perilaku tidak terpuji tersebut antara lain memudarnya sikap kebhinekaan dan

kegotongroyongan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Di samping itu perilaku

anarkhisme dan ketidakjujuran marak di kalangan peserta didik. Seperti tawuran,

menyontek dan plagiarisme. Di sisi lain banyak terjadi penyalahgunaan wewenang

oleh para pejabat negara sehingga korupsi semakin merajalela di hamper semua

instansi pemerintah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan Pancasila dan Kebudayaan ?

2. Bagaimana nilai-nilai Pancasila sebagai budaya bangsa Indonesia?

3. Mengapa Pancasila berakar dari kebudayaan ?


1.3 Tujuan Penulis

1. Untuk mengetahui pengertian Pancasila dan kebudayaan

2. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila yang

sebagai budaya bangsa Indonesia

3. Untuk mengetahui keterkaitan Pancasila dengan kebudayaan bangsa

Indonesia

1.4 Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan

cara melakukan tinjauan-tinjauan pada beberapa sumber dan memilih sumber

yang dianggap paling tepat dan menjadikannya sebagai acuan utama dari

pembuatan makalah ini.


BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pancasila

Pancasila secara etimologis berasal dari kata “Panca” artinya lima dan “Syila”

artinya batu sendi, alas atau dasar, sehingga jika digabungkan berarti berbatu sendi

lima atau berdasar yang lima, atau dari kata “Panca” yang berarti lima dan “Syiila”

yang berarti peraturan tingkah laku yang baik, atau yang penting, sehingga jika

digabungkan berarti lima peraturan tingkah laku yang baik, atau yang penting.2

Pancasila secara terminologis menurut Asmoro Achmadi ialah lima sila/

aturan yang menjadi ideologi bangsa dan negara, pedoman bermasyarakat, dan

pandangan hidup/kepribadian bangsa/negara Indonesia, yang berarti bahwa

Pancasila merupakan jiwa seluruh rakyat Indonesia yang memberikan kekuatan

hidup kepada bangsa Indonesia, dan memberikan bimbingan dalam kesejahteraan

hidup baik lahir maupun batin.3

Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang berisi aturan atau ajaran-

ajaran mengenai sikap dan perilaku terpuji, yang merupakan moralitas yang telah

disepakati bersama dalam menjalankan hidup, yang menjadi acuan dalam hidup

berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Pancasila telah ada dalam segala aspek kehidupan rakyat Indonesia

terkecuali bagi mereka yang tidak Pancasilais. Pancasila lahir pada 1 Juni 1945 dan

ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945. bunyi

dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah:

a. Ketuhan Yang Maha Esa

b. Kemanusiaan yang adil dan beradab


c. Persatuan Indonesia

d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan

e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2.2 Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan sangat erat dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan

Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam

masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri

Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,

kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Ilmu yang memperlajari tentang masyarakat dan kebudayaannya adalah

antropologi. masyarakat dipelajari dalam ilmu antropologi. Ilmu ini tidak hanya

mencakup perubahan secara tingkah laku saja, namun sejarah dan konflik yang

terjadi juga dapat dianalisis melalui ilmu antropologi.

2.3 Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila

A. Nilai-Nilai Mendasar Sila Pertama yaitu Ketuhunan Yang Maha Esa

Bangsa Indonesia telah sejak dulu menaruh sikap percaya kepada hal-hal

supra natural. Sejak jaman batu hingga perunggu masyarakat prasejarah Indonesia

telah memiliki sistem kepercayaan, yang pada umumnya bercorak animisme.

Pengaruh kepercayaan tradisional dan agama-agama lokal seperti Hindu, Buddha,

Islam, Kristen telah dengan sendirinya membentuk konsep Ketuhanan yang unik.

Gagasan Ketuhanan yang diusung oleh Sukarno juga dapat dipastikan

merupakan kristalisasi penghayatan dan pintalan wawasannya mengenai Ketuhanan

dalam konteks pluralitas sistem kepercayaan pada masa itu. Pengalaman


perjumpaan dan dialog Sukarno dengan masyarakat nusantara di daerah kolonial

pada masa pergerakan perjuangan kemerdekaan memperdalam imannya aka

Tuhan dan memperluas wawasannya tentang Tuhan serta membentuk mindset-nya

perihal sesama yang berbeda agama. Pengalaman hidupnya yang sarat dengan

pesan kemerdekaan itu tergurat dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945.

Daya pikat gagasan Ketuhanan Sukarno terletak dalam spirit kebebasan dan

toleransi yang diusungnya. Visi Ketuhanan Sukarno selain kontekstual dan inklusif,

juga mendahului kesadaran religiusitas para tokoh perjuangan pada masanya.

Dengan Ketuhanannya itu, Sukarno merangkul semua lapisan dan golongan,

mempersatuka perbedaan tanpa hendak menyeragamkannya. Itulah sebuah

kedewasaan dan kematangan seorang Sukarno dalam praksis hidup beragama.

Barangkali itulah yang kita namakan toleransi aktif. Sebab gagasan Ketuhanan yang

dikumandangkannya selain melampaui koridor-koridor dan dogma-dogma agama-

agama, juga berdaya kohesif, inklusif, dan integratif.

Seruan dan ajakan Sukarno dalam ber-Tuhan di atas menunjukkan bahwa

prinsip kelima (yang kemudian menjadi prinsip pertama) bagi Negara Indonesia

merdeka bukan pertama-tama menyangkut agama-agama tertentu. Prinsip

Ketuhanan yang ditawarkannya itu lebih merupakan “ruh” atau spiritualitas

kehidupan setiap insan beragama dalam menghayati dan mewujudkan imannya

dalam konteks pluralitas agama dan kepercayaan di Indonesia. Oleh karena itu,

Sukarno menghendaki agar insan beragama dapat menghayati imannya secara

berkebudayaan, berbudi pekerti luhur, dan saling menghormati satu sama lain. Inti

perkaranya di sini adalah Ketuhanan harus menjiwai kehidupan bangsa Indonesia

sehingga setiap manusia di Indonesia mampu menghormati hak masing-masing

pihak dan bertumbuh imannya dalam semangat yang toleran. Selain berdaya
kohesif, inklusif, dan toleran prinsip Ketuhanan ini menjadi sumber inspirasi bagi

kebebasan beragama. Keyakinan akan Ketuhanan yang Maha Esa merupakan

keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan selain sebagai pencipta kehidupan, juga

pemberi kebebasan bagi manusia. Keyakinan demikian bisa jadi berakar dalam

pengalaman iman akan Tuhan atau harapan akan Tuhan sebagai pembebas

manusia dari segala kondisi hidup yang dehumanistik

Berkaitan dengan uraian di atas dan berlandaskan nilai-nilai mendasar yang

menjadi daya dorong kehidupan ber-Tuhan dan beragama di Indonesia, praksis

kehidupan ber-Tuhan dan beragama di Indonesia mestilah mencerminkan keyakinan

bahwa Tuhan sebagai Pencipta adalah sumber kebebasan manusia dalam

menentukan pilihan hidupnya. Keyakinan demikian menuntut segenap insan

beragama di Indonesia untuk mampu dan mau menghargai kebebasan masing-

masing pihak dalam beragama dan berpartisipasi aktif dalam mengakomodasi

kebebasan beragama serta menjunjung sikap toleransi dalam kebebasan beribadah.

Kekuatan sila ini terletak pada pengakuan bahwa Tuhan adalah sumber kebebasan

manusia.

B. Nilai-Nilai Mendasar Sila Kedua yaitu Kemanusia yang Adil dan

Beradab

‘Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab’ merupakan rangkaian frase

‘kemanusiaan’, yang terdiri dari akar kata ‘manusia’ dan afiks ke- /-an. Meskipun

demikian, isi sila atau substansinya adalah utuh dan tidak tercerai berai dari sila-sila

lainnya. Artinya, gambaran ideal manusia di Indonesia berdasarkan nilai-nilai

mendasar sila kedua ini adalah memuliakan Tuhan dengan bersikap dan bertindak

adil dan beradab kepada sesama, mendukung dan menjaga keutuhan bangsa,
berpartisipasi aktif untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang menjunjung

kesetaraan hak-hak, dan bersolidaritas terhadap sesama dalam realitas kehidupan

sosial. Nilai-nilai mendasar itu menjadi spirit bahwa iman kepada Tuhan haruslah

berdimensi kemanusiaan. Dalam konteks itu, hubungan yang baik dengan sesama

dalam komunitas dilandasi oleh iman kepada Tuhan yang berprikemanusiaan, bukan

iman yang sektarian.

Nilai-nilai mendasar sila kedua ini berakar dalam pidato Sukarno pada

tanggal 1 Juni 1945. Semula, sila kedua ini berbunyi “Internasionalisme, atau

Perikemanusiaan. Dalam proses perumusan selanjutnya, sila kedua diubah

redaksionalnya menjadi Kemanusiaan yang adil dan beradab. Perubahan pada

rumusan sila kedua ini bukan tanpa maksud dan juga bukan dimaksudkan untuk

mereduksi kandungan nilai-nilai mendasar yang tersirat dan tersurat di dalamnya.

Perubahan dimaksudkan untuk mempertegas nilai-nilai kemanusiaan dan

menekankan pentingnya manusia sebagai manusia menghormati sesamanya

sebagai sesama ciptaan Tuhan. Dalam spirit itu, manusia di manapun juga

dipandang setara, memiliki kebebasan, dan hendaknya hidup bersaudara satu

dengan yang lainnya. Itulah ciri khas manusia sebagai makhluk sosial, makhluk yang

dianugerahi akal budi dan kehendak bebas oleh Tuhan. Berdasarkan gagasan itu

spirit yang terkandung dalam sila kedua adalah supaya setiap insan menjunjung

kesetaraan, kebebasan, dan persaudaraan universal. Spirit itu menjadi daya

interaktif antarmanusia di Indonesia dan antarbangsa Indonesia dengan bangsa-

bangsa lain.
C. Nilai-Nilai Mendasar Sila Ketiga yaitu Persatuan Indonesia

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, acap kali diinterpretasikan atau dimaknai

dengan nasionalisme dan cinta tanah air. Pada mulanya, Sukarno menyebutnya

sebagai “kebangsaan”. Tentu yang dimaksudkan adalah kebangsaan Indonesia.

Mengenai kebangsaan, Sukarno memang mengikuti dan mengamini pandangan

Ernest Renan dan Otto Bauer. Tapi ia pun mengakui bahwa pandangan kedua

teoretikus itu belumlah lengkap.

Ernest Renan menginspirasikan Sukarno bahwa bangsa adalah satu jiwa

(“une nation est un ame”). Artinya, bangsa adalah jiwa. Satu bangsa adalah satu

jiwa.44 Maksudnya, kata Sukarno, “satu bangsa adalah satu solidaritas yang besar”

(“une nation est un grand solidarite”). Jadi, yang membuat bagsa itu bersatu (satu

jiwa) menurut Renan adalah solidaritas antarsesama anggotanya, yang juga

kemudian oleh Ernest Renan disebut “kehendak untuk hidup bersama”.45

Sementara dari Otto Bauer, gagasan yang menginspirasikan Sukarno adalah

“persamaan watak”. Berangkat dari konsep bangsa dari kedua teoretikus itu,

Sukarno kemudian merumuskan konsep bangsa yang menurutnya tepat untuk

bangsa Indonesia yang majemuk. Ia pun menegaskan pentingnya Geopolitik. Jadi,

selain menggamit pandangan Ernest Renan dan Otto Bauer tentang bangsa,

Sukarno kemudian melengkapinya dengan teori geopolitiknya. Uraian berikut adalah

kupasan dari rangkaian gagasan Renan, Bauer, dan Sukarno.

D. Nilai-Nilai Mendasar Sila Keempat yaitu Kerakyaatan yang di Pimpin

oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan

Salah satu fakta Indonesia yang disadari Sukarno adalah pluralitas dalam

suku, agama, golongan, dan daerah. Kesadaran itu mewarnai pergaulannya selama
masa pergerakan perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Kesadaran dan

pengalaman yang sama juga mewarnai interaksi dan dialog politiknya yang

mengedepankan demokrasi.

Sukarno menyadari kebhinnekaan adalah kekuatan atau modal sosial untuk

membangun sebuah Negara yang kuat. Selain itu, tata kelola sebuah Negara juga

menentukan bagi kuatnya sebuah negara. Dalam konteks itu, Sukarno menegaskan

demikian: “saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia

ialah permusyawaratan, perwakilan”. Pernyataan Sukarno ini menunjukkan

kehendaknnya agar negara Indonesia yang bhinneka dikelola dengan syarat-syarat

yang menjurus pada demokrasi atau kedaulatan rakyat.

Menurut Sukarno, demokrasi atau kedaulatan rakyat untuk Indonesia tidak

perlu identik dengan yang berlaku di negara-negara lain.55 Demokrasi di Indonesia

hendak dimaksudkan untuk mewujudkan satu masyarakat keadilan sosial.

Demokrasi ini jelas bukan parlementaire democratic,56 juga bukan fasisme, tapi

demokrasi yang mengedepankan permusyawaratan, perwakilan. Dalam kerangka

itu, Sukarno menegaskan bahwa demokrasi adalah satu idelogi politik, satu alam

pikiran, alam pikiran politik yang terbuat oleh suatu cara produksi di dalam suatu

periode. Oleh karena itu, demokrasi di Indonesia hendaklah yang relevan dengan

keadaan-keadaan Indonesia, konteks sosio-kultural, ideologi politik, alam pikiran

politik Indonesia yang terbuat oleh suatu cara produksi di dalam sesuatu periode.

Oleh karena itu, seruan sila keempat adalah pentingnya menata kehidupan

bernegara dalam iklim yang demokratis. Artinya, tata kelola hidup Bersama

dirumuskan dalam semangat musyawarah untuk mufakat. Praksis pendidikan di

Indonesia penting membiasakan para peserta didik menerapkan nilai-nilai demokrasi

melalui diskusi kelompok yang memungkinkan untuk belajar bersikap terbuka pada
perbedaan pandangan, mau saling mendengarkan, dan menerima keputusan

bersama yang demokratis. Sementara dalam konteks politik praktis, seruan ini

diarahkan pada mekanisme pengambilan keputusan oleh para elit politik agar

memenangkan kepentingan mayoritas rakyat Indonesia di atas kepentingan partai

dan golongan. Tujuannya adalah untuk menciptakan tata kelola kehidupan bersama

yang demokratis. Ketika ada kemauan untuk duduk bersama dalam spirit kesetaraan

peran dan kesediaan untuk saling memahami dan mendengarkan perbedaan

pandangan, deskripsi mengenai manusia yang bijaksana sungguh tergurat dalam

konteks dan praksis kehidupan berdemokrasi. Agenda utama di sini adalah

bagaimana mewujudkan praksis demokrasi yang diwarnai oleh keinginan untuk

memenangkan kepentingan bangsa dan Negara. Dalam konteks itu,

permusyawaratan dan perwakilan adalah nilai mendasar dalam praksis

berdemokrasi di Indonesia.

E. Nilai-Nilai Mendasar Sila Kelima yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh

Rakyat Indonesia

Keadilan adalah suatu kondisi sosial yang tercipta manakala adanya

kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan dalam komunitas. Setiap pribadi dalam

komunitas membutuhkan keadilan. Tuntutan akan keadilan berakar dalam

pertimbangan etis bahwa hidup setiap pribadi dalam komunitasnya harus

manusiawi, layak, dan bermartabat. Menurut Ulpianus, pakar hukum Romawi kuno,

adil atau tidaknya perilaku seseorang terhadap sesamanya dalam komunitasnya

ditentukan oleh kemampuannya untuk menghargai hak-hak sesamanya. Istilah yang

dia kemukakan untuk itu adalah “tribuere jus suum cuique” (memberi masing-masing

haknya).
Deskripsi diatas menunjukkan bahwa tindakan adalah adil manakala

tujuannya adalah untuk menghormati hak-hak seseorang. Dalam pengertian itu,

keadilan sosial menjadi seruan universal bahwa setiap pribadi dalam komunitasnya

berhak atas situasi kehidupan yang sejahtera dan makmur. Tapi, situasi demikian

menjadi nyata manakala seseorang memiliki kebebasannya dan menghormati

kebebasan pihak lain. Tanpa kebebasanya, tidak mungkinlah seseorang menuntut

keadilan baginya sebab keadilan adalah milik mereka yang mempunyai kebebasan

alias tidak dijajah. Itulah barangkali mengapa Plato memahami keadilan sebagai

kebijakan utama sebab menjadi dasar untuk setiap pribadi memelihara dan memiliki

kebebasannya dalam komunitas.

Dalam konteks Indonesia selama alam penjajahan, keadilan adalah kata dan

istilah yang mahal untuk dituntut dan ditemukan dalam praksis sosial sebab takaran

untuk itu dipegagng oleh pihak penjajah. Alam imperialisme menaruh keadilan pada

pihak penjajah, bukan pada pihak kaum terjajah. Kondisi ini menjadi lonceng

pengingat bagi Sukarno ketika menggemakan dasar-dasar penting untuk mendirikan

Negara Indonesia yang kala itu menuju alam kemerdekaan.

Belajar dari sejarah dunia tentang kenyataan sosial di negara-negara Eropa

pada masa itu yang diwarnai oleh pertentangan kelas dan berdasarkan pengalaman

perjuangannya serta kenyataan sosial di Indonesia kala itu, Sukarno pun sampai

pada keyakinannya bahwa Indonesia harus dikelola dengan sistem yang tidak perlu

identik dengan negara-negara Barat. Sukarno menggambarkan keadilan sosial

identik dengan sosialisme Indonesia atau berdasarkan Pancasila.


2.4 Kondisi Masyarakat Indonesia saat ini dalam Menerapkan Nilai-Nilai

Pancasila

Kondisi bangsa Indonesia saat ini dapat dikaji dan identifikasi dengan melihat

prilaku dan kepribadian masyarakat Indonesia tercermin pada tingkah laku

masyarakat Indonesia sehari-hari. Perilaku masyarakat Indonesia saat ini yang tidak

sesuai dengan nilainilai Pancasila yaitu:

A. Penyimpangan sila pertama

Saat ini kita menjumpai generasi muda yang tidak bertaqwa kepada Tuhan

YME. Misalnya: meninggalkan ibadah, melanggar peraturan agama, menganggap

dirinya sebagai Tuhan atau Rasul, dan lain sebagainya.

B. Penyimpangan sila kedua

Sekarang ini kita temui diantara pemuda Indonesia yang tidak

memanusiakan manusia lain sebagai mana mestinya. Misalnya: kasus pembunuhan,

perampokan,pemerkosaan, dan lain sebagainya.

C. Penyimpangan sila ketiga

Memudarnya rasa persatuan dan kesatuan yang terjadi pada masyarakat

Indonesia saat ini. Misalnya: tawuran antar pelajar, bentrok antar warga seperti

perang sampit, bentrok antar suku seperti kisah perang sampit, dan lain sebagainya.

D. Penyimpangan sila keempat

Demokrasi selayaknya dilaksanakan dengan sehat. Fenomena yang terjadi

saat ini masih adanya money politic di kalangan masyarakat yang biasa dijumpai

pada saat pemilihan kepala desa, pemilihan bupati atau walikota.


E. Penyimpangan sila kelima

Selanjutnya mengenai keadilan, banyak fakta-fakta mengenai ketidakadilan

yang di lakukan oleh generasi muda bangsa Indonesia saat ini. Tidak perlu jauh-

jauh, saat ini dapat kita lihat pada kelompok belajar kita saja sebagai faktanya.

Dalam kelompok belajar PPKN misalnya, tugas PPKN membuat makalah secara

kelompok ketidak adilan selalu kita rasakan. Hal tersebut karena sebenarnya yang

mengerjakan tugas kelompok dari 8 anggota kelompok, hanya 3 orang saja dan

yang lainnya tinggal nitip nama. Padahal ia menginginkan mendapatkan nilai yang

sama. Sungguh ini adalah contoh kecil yang berada pada kehidupan para pelajar

sehari-hari.

2.5 Keterkaitan Pancasila dengan Kebudayaan Bangsa Indonesia

Kita telah mengetahui bahwa kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan

yang berdasarkan pancasila. Itu berarti Pancasila berkaitan erat dengan

kebudayaan Indonesia. Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai nilai atau simbol.

Kita gambarkan sebagai sebagai suatu perusahaan. Dalam sebuah perusahaan

yang sibuk, kegiatan yang nampaknya bersifat praktis dan sehari-hari saja,

misalnya, ada aspek kebudayaannya, ada nilai dan simbolnya. Nilai terletak pada

kerja kerasnya, sedangkan simbol modernitas ialah sistem organisasi, makin

modern sistem semakin abstrak yang impersonal, berbeda dengan manajemen

perorangan atau keluarga. Begitu juga Indonesia sebagai bangsa dan negara.

Kebudayaan itulah yang memberi ciri khas keindonesiaan. Hasil perkembangan

kebudayaan Pancasila yang paling spektakuler adalah Bahasa Indonesia. Karena

melalui bahasa Indonesia, koneksi sosial antar etnis dan kebudayaan dapat terjalin

dengan sangat baik.


Pluralisme mengatur hubungan luar antar kebudayaan. Prinsip yang

mengatur substansi Demokrasi Kebudayaan yang berdasar Pancasila ialah

teosentrisme (tauhid, serba-Tuhan dalam etika, ilmu, dan estetika). Orang Protestan

akan lebih suka theonomy (theos, Tuhan; nomos, hukum). Istilah teonomi berasal

dari Paul Tillich (1886-1965),hubungan dinamis antara yang absolut dengan yang

relatif, antara agama dengan kebudayaan. Menurut konsep ini Pancasila adalah

sebuah teonomi, karena bedasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa --yang absolut.

Keempat sila yang lain adalah kebudayaan, yang relatif. Keperluan manusia diakui

sepenuhnya, asal keperluan itu tidak bertentangan dengan pertimbangan

keagamaan.

Demokrasi Kebudayaan dalam Pancasila dapat dimengerti dari sila "Persatuan

Indonesia" yang berarti sebuah (1) pluralisme, dan (2) teosentrisme dari semangat

sila yang pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa". Demokrasi Kebudayaan itu harus

mampu memberikan masa depan yang lebih baik.

Karena di dalam Pancasila terkandung nilai kebudayaan, di mana nilai tersebut

adalah nilai tertinggi dalam hal Persatuan bangsa yang tercantum di dalam sila

ketiga. Dan dengan menjunjung nilai teosentris pada sila pertama, kepentingan lain

berdasarkan setiap sila tidak bertentangan dengan pertimbangan keagamaan.

Misalkan: Pembunuhan genosida demi mempertahankan keutuhan suatu budaya

etnis tidak etis dengan ketentuan agama. Jadi sekiranya, dari tindak dari tindak

perkembangan budaya itu sendiri harus sesuai dengan nilai Pancasila. Karena

Pancasila mencerminkan kebudayaan kita, bangsa Indonesia.


2.4.1 Masyarakat Indonesia

Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnik atau disebut ethnic

nation (Suryadinata, 2000 dalam Wirutomo, 2012), yaitu sebuah masyarakat negara

yang terdiri atas masyarakat-masyarakat sukubangsa yang dipersatukan dan diatur

oleh sistem nasional dari masyarakat negara tersebut (Suparlan, 2008). Penekanan

keanekaragaman dalam masyarakat majemuk terletak pada sukubangsa dan

kebudayaan sukubangsa. Setiap suku bangsa mempunyai wilayahtempat hidup

yang diakui sebagai hak ulayatnya dan merupakan tempat sumber daya yang dapat

dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka.Oleh karena itu, bangsa Indonesia

harus mampu mengelola dan mempersatukan keragaman etnik ini, serta

mengeliminasi kemungkinan terjadinya konflik.

Menurut Suparlan (2000:5), suku bangsa merupakan sebuah kategori atau

golongan social askriptif. Sukubangsa didefinisikan sebagai suatu pengorganisasian

sosial yang askriptif, di mana pengakuan terhadap warga sukubangsa dilakukan

berdasarkan kelahiran dan keturunan. Sifat askriptif ini, mengakibatkan jatidiri

sukubangsa atau kesukubangsaan tidak dapat dibuang atau diganti dengan jatidiri

lainnya. Jatidiri sukubangsa atau asal yang askriptif ini tetap melekat pada

seseorang sejak kelahirannya.

Setiap interaksi antarindividu dalam hubungan sosial, akan memperlihatkan

jatidiri yang muncul karena adanya atribut-atribut yang digunakan dalam

mengekspresikan jatidiri. Dalam hubungan anta rsuku bangsa, tribut dari jatidiri

suatu sukubangsa menjadi kebudayaannya. Kebudayaan sukubangsa juga bersifat

askriptif, karena diperoleh seseorang melalui proses pembelajaran yang ‘dipaksa’.

Dengan kata lain, pembelajaran kebudayaan sukubangsa merupakan suatu

keyakinan oleh masyarakatnya. Keyakinan menjadi nilai-nilai budaya sebagai inti


dari kebudayaan sukubangsa yang primordial bagi seorang anak. Nilai-nilai utama

yang pertama dipelajari dan diyakini dalam kehidupannya.

Secara teoritik, untuk mewujudkan harmoni antaretnik dalam interaksi sosial,

dibutuhkan adanya faktor sosial yang berfungsi positif untuk mengeliminasi

perbedaan etnis yang ada, agar tidak meruncing dan menjadi gesekan sosial yang

bersifat manifes. Salah satu bentuk eliminasi tersebut, antara lain yaitu pola

hubungan yang bersifat “simbiosis mutualisme” antar-etnis yang berbeda, dalam

kegiatan produksi. Artinya, meskipun tidak terjadi asimilasi kultural, namun akan

tetap terjalin hubungan sosial yang erat dan saling membutuhkan, apabila terbangun

pola hubungan patront-client yang adil dalam hubungan produksi.

Adanya komunikasi dan hubungan sosial yang intensif, akan menyebabkan

karakter masingmasing etnis semakin mudah dipahami. Pemahaman ini dapat

menumbuhkan adanya kesadaran terhadap perbedaan antar-etnis, sehingga tidak

perlu saling menyubordinasi. Selain itu, dukungan dan sense of belonging yang

tinggi dari tokoh masyarakat dan agama, serta lembaga sosial dapat menjaga dan

mencegah kemungkinan terjadinya konflik horizontal yang terbuka.

Menurut Wirutomo (2012:3), masyarakat yang memiliki beragam etnik

memiliki dua ciri, yaitu: pertama, hot etnicity yang cenderung menonjolkan identitas

etniknya, memiliki kecenderungan untuk selalu ingin merdeka; dan kedua, cold

etnicity yang sifatnya kurang fanatik, kurang emosional dan hanya digunakan untuk

mencari keuntungan sesaat. Indonesia memiliki kedua ciri ini. Situasinya sangat

tergantung bagaimana negara mengelola integrasi masyarakatnya, sehingga

diperlukan satu identitas bersama yang bersifat nasional yang dapat

merangkum semua kepentingan. Dalam kaitan ini, Pancasila merupakan strategi

integrasi yang relevan, karena memberikan kebebasan kepada semua etnik untuk
tetap hidup, sekaligus mengembangkan sistem budaya dan kesetiakawanan

sosialnya, serta saling menghargai secara setara, yang dikukuhkan dalam prinsip

Bhineka Tunggal Ika.

2.4.2 Menempatkan Pancasila sebagai Arah Perubahan Sosial

Pancasila merupakan identitas bangsa Indonesia sebagai sistem nilai yang

dapat membedakannya dengan bangsa-bangsa yang lain. Sebagai Identitas,

Pancasila merupakan suatu perangkat konsep dan nilai-nilai yang mengatur

hubungan antara manusia dan Tuhan, antar-sesama manusia, serta antara manusia

dan alam semesta, yang terwujud dalam nilaiketuhanan, kemanusiaan, persatuan,

kerakyatan, dan keadilan sosial. Hubungan ini, bersifat dinamis dan terbuka

terutama pada upaya pembentukan karakter bangsa. Pembangunan karakter

bangsa ini membutuhkan kerja keras yang persisten dan konsisten agar dapat

mengatasi semua persoalan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Sinergi segenap komponen bangsa dalam melanjutkan

pembangunan karakter bangsa diperlukan untuk mewujudkan bangsa yang

berkarakter, maju, berdaya saing, dan mewujudkan bangsa Indonesia yang bangga

terhadap identitas nasional yang dimiliki, seperti nilai budaya dan bahasa.

Revitalisasi dan reaktualisasi Pancasila sebagai aras perubahan sosial dan

pranata sosial kemasyarakatan merupakan upaya yang perlu dilakukan melalui

upaya mendefinisikan Pancasila secara sosiologis untuk mempertinggi derajat

kemanusiaan bangsa. Hal ini dapat dilakukan, antara lain melalui: (1) aktualisasi

nilai-nilai dan penguatan ketahanan Pancasila dalam menghadapi derasnya arus

budaya global; (2) peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi

pesan moral yang terkandung pada setiap sila Pancasila sebagai kekayaan dan

nilai-nilai luhur; serta (3) mendorong kerjasama yang sinergis antarpemangku


kepentingan dalam mengimplementasikan Pancasila sebagai visi bersama

mewujudkan Indonesia baru. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi yang

diharapkan adalah sebuah ‘masyarakat multicultural Indonesia’, yang bercorak

‘masyarakat majemuk’ (plural society). Corak masyarakat Indonesia yang ‘Bhineka

Tunggal Ika’ bukan lagi keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaannya,

melainkan keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Dalam upaya ini, harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi

keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat pada tingkat lokal, atau pada

tingkat nasional serta berbagai corak dinamikanya. Upaya ini dapat dimulai dengan

pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak. Sesuai

dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan

kewajiban pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan berbangsa, bernegara, dan

bermasyarakat.

Hal ini disadari betul oleh para founding father kita, sehingga mereka

merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika.”

Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara

eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan

menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang multikultural dan

beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain itu, secara

implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan moral

dan spiritual kepada bangsa Indonesia. Terutama pada masamasa pasca

kemerdekaan, agar senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para penjajah,

meskipun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.

Melihat Indonesia dari segi geografis, demografis, dan ekonomi, kita akan

menemukan Indonesia tampak seperti sebuah perahu besar yang ”penumpangnya”


begitu padat dan beragam. Indonesia terdiri dari sekitar 13 ribu gugusan pulau besar

dan kecil yang di diami penduduk lebih dari 240 juta jiwa dengan sekitar 200 etnis

yang berbeda, membuat Indonesia menjadi negara keempat terbanyak

penduduknya di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat, memiliki sikap

hidup yang penuh harapan akan kehidupan di masa depan yang cemerlang.

Pendeknya, visi Bersama itu mengarahkan tekad untuk memelihara apa-apa yang

baik dari masa lalu Indonesia, dan mengambil serta menemukan yang baru yang

lebih baik di masa kini dan akan datang.

Sebuah bangsa memang akan selalu mengalami tahapan dalam sejarah

kebangsaannya. Braudel (1969), menyatakan bahwa rentang panjang sejarah

tertentu berperan dalam membentuk karaktermanusia dan secara mendasar akan

memperlihatkan sifat-sifat dasar dan kecenderungan ideologis dan politis dalam

merespon kondisi alam dan social budaya sekelilingnya.

Proses mengimplementasikan Pancasila sebagai visi bersama dengan

rentang yang panjang ini terjadi dalam jaringan sosial. Jaringan (Fukuyama,

2000:327) merupakan hubungan moral kepercayaan, yaitu sekelompok agen

individual yang berbagi norma-norma atau nilai-nilai informal melampaui nilai-nilai

atau norma-norma yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan

demikian, kehidupan bermasyarakat memberikan pengakuan kepada kelompok etnik

dan agama agar dapat memposisikan dirinya ke dalam sebuah kehidupan bersama

yang memiliki kesanggupan untuk memelihara identitas kelompoknya. Di samping

itu, juga mampu berinteraksi dalam ruang bersama yang ditandai oleh kesediaan

untuk menerima kelompok-kelompok lain yang berbeda basis identitasnya untuk

menemukan kebutuhan bersama bagi sebuah integrasi. Menempatkan Pancasila

sebagai visi membangun masa depan Indonesia, dihadapkan pada dua hal yang
sangat fundamental, yaitu grand solidarity, rasa kebersamaan untuk membangun

bangsa, dan grand reality, sebuah realitas agung sebagai sebuah bangsa yang

demikian besar dan kaya. Makna grand reality dalam konteks masa kini berarti

usaha menyejahterakan rakyat, mempertinggi tingkat kecerdasan anak bangsa,

menjaga martabat bangsa, menciptakan rasa aman, dan memberikan hak-hak

rakyat berdasarkan rasa

keadilan.

Oleh karena itu, persoalan Pancasila sebagai aras perubahan sosial

merupakan persoalan kehidupan masyarakat, yang memiliki relasi atau hubungan

tertentu dalam struktur sosial. Hubungan Pancasila dan perubahan social dengan

struktur, masih dapat diperdebatkan, apakah Pancasila bagian dari struktur, entitas

yang terpisah, atau bahkan justru sebagai pembentuk struktur sosial. Seiring

tersubordinasinya Pancasila ke dalam struktur, menyebabkannya dipakai sebagai

alat untuk menunjang struktur social yang telah ditetapkan oleh suatu grand design

politik tertentu. Akibatnya, Pancasila tidak saja kehilangan otonominya, melainkan

juga dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga menjadi sekadar alat legitimasi politik.

Transformasi struktural ataupun transformasi Pancasila sebagai visi perubahan

sosial dapat menjadi tema pokok, yang mengarahkan masyarakat masuk ke dalam

suatu keadaan, sehingga memungkinkan terjadinya

keadilan sosial atau perdamaian manusia.

Kompleksitas Pancasila dan perubahan social dalam struktur sosial yang

multikultural tidak hanya terlihat dari lingkupnya yang membesar menuju pada aras

global, tetapi juga makin banyaknya satuan-satuan kecil yang tumbuh. Oleh karena

itu, di samping perlu menyelidiki hubungan-hubungan dengan aras global, desain

besar perubahan sosial, juga perlu memberikan peluang, mengamati atau mengenali
dan bersikap arif terhadap pertumbuhan satuan-satuan kecil. Menelantarkan

interaksi antarsatuan-satuan kecil berarti membiarkan berlakunya hukum struggle for

live, survival of the fittest, natural selection, dan progress dalam masyarakat.

Perubahan sosial yang berlandaskan Pancasila jelas menolak Darwinisme sosial

yang akan menyebabkan involusi bagi sebagian besar kelompok masyarakat,

mengingat manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu berencana,

sehingga untuk maju tidak harus “membunuh”yang lain. Dalam sebuah komunitas

heterogen dan pluralistik seperti Indonesia diperlukan perekat interaksi sosial yang

dipatuhi bersama, terutama ketergantungannya terhadap pertukaran (reciprocitas).

Sebagaimana pendapat Fukuyama (1995:222), bahwa “kepercayaan memiliki nilai

pragmatis yang sangat penting. Kepercayaan adalah pelumas yang penting bagi

bekerjanya sebuah sistem sosial”. Kepercayaan merupakan variable yang penting

dalam membentuk masyarakat yang fungsional, karena di dalamnya terkandung

harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku kooperatif yang

muncul dari sebuah komunitas yang menganut norma-norma yang sama. Dalam arti

demikian, maka Pancasila merupakan seperangkat nilai yang dapat dipercaya

sebagai perekat komunitas, yang ditentukan secara kultural, sehingga komunitas

baru akan muncul dalam berbagai tingkatan berbeda dalam budaya yang berbeda

pula. Meminjam bahasa Fukuyama, kepercayaan atau trust adalah efek samping

yang penting dari norma-norma Pancasila yang kooperatif yang mewujudkan

perubahan sosial. Jika suatu anggota masyarakat dapat menjaga komitmen,

menghormati norma-norma saling tolong-menolong, dan menghindari prilaku yang

oportunistik, maka berbagai anggota masyarakat lain akan terbentuk dengan cepat,

dan akan mampu mencapai tujuan bersamanya secara lebih efisien.


Secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan

mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinekaan.

Konsekuensinya ialah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan social

yang maju dan kreatif, memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik, tatanan

sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan

bersifat kerakyatan. Secara garis besar, Pancasila ditempatkan sebagai pedoman

nilai dan norma, yang diimplementasika dalam aturan yang mengatur tindakan

anggota masyarakat. Oleh karena itu, perubahan social perlu menyerap prinsip

moral dan nilai Pancasila yang mendukung dan menjamin terwujudnya masyarakat

Indonesia yang bermartabat, adil, makmur, aman, dan sejahtera.

Pancasila ditempatkan sebagai arah perubahan sosial, yaitu karena

pancasila (a) mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang

multikultural, multietnis, dan agama; (b) terbuka dan (c) memberikan ruang terhadap

berkembangnya ideologi sosial politik yang pluralistik. Disamping itu, Pancasila

adalah ideologi terbuka dan tidak ereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan

budaya. Melalui Pancasila seharusnya dapat ditemukan suatu sintesis harmonis

antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi

social politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik. Perubahan sosial diarahkan

pada pengembangan jati diri dan harga diri bangsa, masyarakat yang multikultural,

pelestarian berbagai warisan budaya, dan pengembangan infrastruktur pendukung

pembangunan nasional. Adapun nilai Pancasila yang dapat memberikan arah

perubahan sosial, yaitu:

1. Karakter “Ketuhanan Yang Maha Esa” terwujud dalam sikap

hormat dan bekerja sama antarpemeluk agama dan penganut kepercayaan,

saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan


kepercayaannya itu, dan tidak memaksakan agama dan kepercayaannya kepada

orang lain.

2. Perubahan sosial berlandaskan nilai “Kemanusiaan Yang Adil dan

Beradab” terwujud dalam perilaku hormat-menghormati antarwarga negara sebagai

karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kemanusiaan seseorang tecermin

antara lain dalam pengakuan atas persamaan derajat, hak, dan kewajiban; saling

mencintai; tenggang rasa; tidak semena-mena terhadap orang lain; gemar

melakukan kegiatan kemanusiaan; menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; berani

membela kebenaran dan keadilan; merasakan dirinya sebagai bagian dari seluruh

umat manusia serta mengembangkan sikap hormat-menghormati.

3. Perubahan sosial berlandaskan nilai “Persatuan Indonesia”mewujuddalam

kehidupan berbangsa yang mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa di atas

kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Di samping itu, nilai persatuan

merupakan perekat, yang mendamaikan kelompok masyarakat yang memiliki

berbagai nilai kelompok yang ada di Indonesia, yaitu: budaya lokal (tempatan),

budaya sukubangsa, budaya global, budaya bangsa, serta budaya agama dan

sistem kepercayaan.

4.Perubahan sosial berlandaskan nilai “Kerakyatan yang Dipimpin oleh

Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” termanifestasi dalam

kehidupan bangsa yang demokratis, saling bergotong- royong, serta menjunjung

tinggi hukum dan hak asasi manusia sebagai wujud nyata dari karakter warga

Indonesia yang pokok dalam mendukung pembangunan nasional.

5.Perubahan sosial yang sesuai dengan nilai “Keadilan Sosial Bagi Seluruh

Rakyat Indonesia” terwujud dalam kehidupan berbangsa yang Mengedepankan

keadilan dan kesejahteraan rakyat. Karakter berkeadilan sosial seseorang tecermin


antara lain dalam perbuatan yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan

dan kegotongroyongan; sikap adil; menjaga keharmonisan antara hak dan

kewajiban; hormat terhadap hak-hak orang lain; suka menolong orang lain; menjauhi

sikap pemerasan terhadap orang lain; tidak boros; tidak bergaya hidup mewah; suka

bekerja keras; menghargai karya orang lain.

2.4.3 Pengertian dan Konsep Mem-bangun Karakter Bangsa

Berdasarkan perspektif pendidikan kewarganegaraan dikenal tiga

kompetensi yaitu: pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan

kewarganegaraan (civic skill), dan watak kewarganegaraan / civic disposition

Pengetahuan kewarganegaraan berkenaan dengan apa yang seharusnya

diketahui oleh seorang warganegara mengenai negaranya seperti kehidupan politik,

undang-undang kewarganegaraan, pemerintahan, konstitusi dan seterusnya.

Kecakapan kewarga- negaraan berkenaan dengan kecakapan intelektual,

kecakapan emosional dan kecakapan spiritual. Sedang watak kewarganegaraan

atau karakter kewarganegaraan/ bangsa berkenaan dengan nilai-nilai unik yang

terinternalisasi dan terintegrasi dalam diri seseorang yang melandasi dan

mengarahkan sikap dan tindakannya sehingga termini- festasikan dalam perilaku

seseorang warganegara. Nilai-nilai unik tersebut dari berasal dari nilai budaya,

ajaran agama, atau dasar filsafat yang dimiliki dan disepakati oleh bangsa tersebut.

Pendidikan Karakter membangun peradaban bangsa bahwa karakter adalah kualitas

mental atau moral, kekuatan moral, nam, reputasi; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau

budi pekerti yang membedakan dari orang lain; watak, tabi’at, mempunyai

kepribadian. Seseorang berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan

yang dikehendaki masyaarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam


hidupnya. Dalam kontek karakter bangsa, maka kualitas mental atau moral,

kekuatan moral seseorang warga bangsa mampu berperilaku berbasis nilai dasar

bangsa dalam wujud kegiatan hidup bermasyarakat,berbangsa dan bernegara

dalam segala bidang.

Menjabarkan Pancasila ke dalam implementasinya untuk membangun

karakter bangsa adalah bagian upaya merevitalisasi Pancasila ke dalam bentuk

fungsional dalam membentuk karakter bangsa Indonesia. Dengan kata lain

menjadikan Pancasila sebagai paradigma karakter bangsa. Keberadaan Pancasila

dapat dilihat dari dua sudut, pertama secara hitoris dan secara kultural. Kaelan yang

mengutip pendapat Notonagoro menyatakan bahwa “Secara historis pancasila

adalah merupakan suatu pandangan hidup bangsa yang nilai- nilainya sudah ada

sebelum secara yuridis bangsa Indonesia membentuk negara. Bangsa Indonesia

secara historis ditakdirkan oleh Tuhan YME, berkembang melalui suatu proses dan

menemukan bentuknya sebagai suatu bangsa dengan jati- dirinya sendiri. Secara

kultural dasar-dasar pemikiran tentang Pancasila dan nilai-nilai Pancasila berakar

pada nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai religius yang dimiliki oleh bangsa

Indonesia sendiri sebelum mendirikan negara”.

Nilai-nilai Pancasila sebelum terbentuknya negara dan bangsa Indonesia

pada dasarnya terdapat secara sporadis dan fragmentaris dalam kebudayaan

bangsa yang tersebar di seluruh kepaulauan nusantara baik pada abad kedua puluh

maupun sebelumnya, di mana masyarakat Indonesia telah mendapatkan

kesempatan untuk berkomunikasi dan berakulturasi dengan kebudayaan lain. Nilai-

nilai tersebut merupakan suatu local genius dan sekaligus sebagai suatu local

wisdom bangsa indonesia yang kemudian di sintesiskan secara dialektis kemudian


dituangkan ke dalam sebuah dasar negara yang sering disebut sebagai dasar

falsafah negara (staats philosofiche grondslag),

Mengngingat pembangunan karakter harus bersifat berlanjut terus menerus

(sustainable), maka nilai yang dijadikan paradigma karakter haruslah nilai (values)

yang bersifat berlanjut. Membangunan karakter merupakan pembangunan manusia,,

maka sustainable values merupakan core dari pembangunan adalah Pancasila

sebagai nillai-nila kemanusia yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Hormat menghormati terhadap keyakinan regius orang lain

2. Hormat terhadap martabat manusia sebagai pribadi atau subyek yang

tidak boleh direduksi sebagai obyek.

3. Kesatuan sebagai bangsa yang mengatasi segala sektarianisme

4. Nilai-nilai terkait dengan demokrasi konstitusional

5. Keadilan sosial persamaan (equlity) dan (equity)

2.4.5 Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila pada Pelajar sebagai Upaya

Mencegah Pelajar Anti Pancasila

Internalisasi adalah proses pemasukan nilai pada seseorang yang akan

membentuk pola pikirnya dalam melihat makna realitas pengalaman. Nila-inilai

tersebut bisa jadi dari berbagai aspek baik agama, budaya, norma sosial dll.

Pemaknaan atas nilai inilah yang mewarnai pemaknaan dan penyikapan manusia

terhadap diri, lingkungan dan kenyataan di sekelilingnya. Sedangkan dalam KBBI,

internalisasi adalah penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai sehingga
merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang

diwujudkan dalam sikap dan perilaku.

Internalisasi nilai-nilai Pancasila bisa kita artikan sebagai usaha bersama

komponen bangsa Indonesia untuk menyadarkan, membentuk pola pikir dan

perilaku sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai

konsensus sekaligus sebagai identitas nasional. Menyadarkan masyarakat bahwa

hidup di Indonesia harus mempunyai kesiapan lahir dan batin, mental dan spiritual

untuk menghargai dan menerima perbedaan, menghormati dan menerima

keragaman suku, agama, ras, dan golongan yang masing-masing memiliki

kepentingan yang berbeda, tetapi dalam satu wadah yaitu Indonesia.

Realisasi nilai-nilai Pancasila dasar flsafat bangsa Indonesia, perlu secara

berangsur-angsur dengan jalan pendidikan baik di sekolah maupun dalam

masyarakat dan keluarga sehingga dapat mewujudkan cita-cita bangsa dan negara.

Maka di sini peran seorang pendidik sangat penting dalam menekankan arti nilainilai

Pancasila untuk pelajar. Tujuan membentuk jiwa Pancasila pada pelajar pada

hakikatnya adalah bagaimana kita dapat menanamkan nilai-nila Pancasila tersebut

agar dapat dipahami, dimengerti dan direalisasikan dalam kehidupan kesehariannya.

Karena dengan berlandaskan pada hal-hal tersebut maka pelajar tersebut telah

dapat mengaplikasikan dan menginternalisasi nilai-nilai sakral yang

terdapat di dalam Pancasila itu sendiri.

Menanamkan nilai-nilai Pancasila pada pelajar, dalam prakteknya memang

tidaklah mudah oleh karena itu sebelum mereka diperkenalkan Pancasila hal yang

utama yang harus pelajar tersebut ketahui adalah penjabaran nilai-nilai Pancasila.

Langkah selanjutnya dalam membentuk jiwa Pancasila pada pelajar yaitu dengan
memperkenalkan sejarah Pancasila itu sendiri, sehingga pelajar ini akan tahu

seperti apa itu Pancasila dan perkembangannya saat pertama kali digali oleh pendiri

Indonesia. Selanjutnya adalah memberi pemahaman bahwa Pancasila adalah

ideology negara yang sila-silanya sesuai dengan ajaran agama yang diakui di

Indonesia, khususnya agama Islam. urgensi kenapa Pancasila dijadikan sebagai

dasar negara. Hal tersebut untuk membentengi pelajar agar tidak terpengaruh

paham atau aliran anti Pancasila. Dan yang paling penting adalah sebuah

pendekatan pskologis dan keteladanan dari seorang pendidik dalam menanamkan

nilai-nilai Pancasila pada pelajar.

Internalisai nilai-nilai Pancasila dapat dijelaskan dan dijabarkan sebagai

berikut seperti yang diungkapkan oleh Kaelan, dengan Internalisasi nilai-nilai

Pancasila maka akan diperoleh hal-hal sebagai berikut:

a. Pengetahuan: suatu pengetahuan yang benar tentang Pancasila baik

spek nilai, norma, maupun aspek praksisnya. hal ini harus disesuaikan

dengan tingkat pengetahuan dan kemampuan individu. Bagi kalangan

intelektual pengetahuan itu meliputi aktualisasi pengetahuan biasa (sehari-

hari), pengetahuan ilmiah, dan pengetahuan flsafat tentang Pancasila. Hal ini

sangat penting terutama bagi calon pemimpin bangsa dan calon ilmuwan.

Dalam proses transformasi pengetahuan ini diperlukan waktu yang cukup

lama dan berkesinambungan, sehingga pengetahuan itu benar-benar dapat

tertanam dalam setiap individu. Tanpa pendidikan yang cukup maka dapat

dipastikan bahwa pemahaman tentang ideology bangsa dan dasar flsafat

negara hanya dalam tingkat pragmatis, dan hal ini sangat berbahaya bagi

terhadap ketahan ideologi generasi penerus bangsa.


b. Kesadaran: selalu mengetahui pertumbuhan keadaan yang ada dalam diri

sendiri.

c. Ketaatan: selalu dalam keadaan kesediaan untuk memenuhi wajib lahir

dan bathin, lahir berasal dari luar misalnya pemerintah, adapun bathin

dari diri sendiri.

d. Kemampuan kehendak: cukup kuat sebagai pendorong untuk melakukan

perbuatan.

e. Watak dan hati nurani: agar orang selalu mawas diri, yaitu :

1) Dengan menilai diri sendiri apakah dirinya berbuat baik atau buruk dalam

melaksanakan Pancasila dan memberi sanksi bathin yang bersifat pujian

atau celaan kepada diri sendiri, atau sebelum melakukan perbuatan

membuat pedoman Pancasila. Adapun pedoman tersebut bisa berupa

perintah, larangan, anjuran, atau membiarkan untuk berbuat atau tidak

berbuat yang ditaatinya

sendiri. apabila tidak mentaati akan diberikan sanksi bathin berupa celaan

terhadap diri sendiri.

2) Apabila telah melaksanakan maka akan diperoleh suatu kesiapan pribadi

untuk mengaktualisasikan Pancasila, yang selanjutnya akan merupakan

suatu keyakinan tentang kebenaran;

3) Dengan demikian akan memiliki suatu ketahanan ideology yang berdasarkan

keyakinan atas kebenaran Pancasila, sehingga dirinya akan merupakan

sumber kemampuan, untuk memelihara, mengembangkan, mengamalkan,

mewariskan, merealisasikan Pancasila dalam segala aspek kehidupan.


4) Jika setiap orang Indonesia telah memiliki kondisi yang demikian

keadaannya maka setiap orang Indonesia akan berkepribadian berwatak dan

berhati nurani Pancasila sehingga akan terjelmalah negara dan masyarakat

Pancasila.

2.4.6 Pendidikan Karakter

Kemunculan gagasan program pendidikan karakter di Indonesia, dapat

dimaklumi karena selama ini proses pendidikan belum berhasil membangun

manusia Indonesia yang berkarakter, bahkan banyak yang menyebut, pendidikan

telah gagal karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam

menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah.

Penyebabnya adalah banyak pakar bidang moral dan agama yang sehari-hari

mengajar tentang kebaikan tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang

diajarkan. Sejak kecil, anak-anak diajarkan menghafal tentang bagusnya sikap jujur,

berani, kerja keras, kebersihan dan jahatnya kecurangan. Tetapi nilai-nilai kebaikan

itu diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertasdan dihafal sebagai

bahan yang waji dipelajari saja. Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses

menghafal materi saol ujian saja tetapi justu memerlukan pembiasaan. Pembiasaan

untuk berbuat baik, berlaku jujur, ksatria, malu berbuat curang, malu bersikap malas,

malu membiarkan lingkungan kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi

harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan

yang idea. (Husaini, 2010:25)

Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada


Satuan pendidikan telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama,

Pancasila, budaya dan Tujuan Pendidikan Nasional yaitu: Religius, Jujur,

toleransi,disiplin, kerja keras,kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat

kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta

damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab

(Kemdiknas, 2011:8).

Meskipun demikian satuan pendidikan dapat menentukan prioritas

pengembangannya untuk melanjutkan nilai-nilai prakondisi yang telah

dikembangkan. Pemilihan nilai-nilai tersebut beranjak dari kepentingan dan kondisi

satuan pendidikan masingmasing, yang dilakukan melalui analisis konteks, sehingga

dalam implementasinya dimungkinkan terdapat perbedaan jenis nilai karakter yang

dikembangkan antara satu sekolah dan atau daerah yang satu dengan lainnya.

Implementasi nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan dapat dimulai dari nilai-

nilai yang esensial, sederhana dan mudahadilaksanakan, seperti: bersih, rapi,

nyaman, disiplin, sopan dan santun (Kemdiknas, 2011:8).

Upaya membangun karakter warga negara pada dasarnya adalah proses

pewarisan nilai-nilai, cita-ita dan tujuan nasional yang tertera dalam konstitusi

negara serta pesan para pendiri negara (Sapriya, 2007:24). Pidato pembelaan Bung

Karno di muka Hakim Kolonial pada Tahun 1930 menegaskan sebagai berikut:

Kalau bangsa Indonesia ingin mencapai kekuasaan politik, yakni ingin merdeka,

kalau bangsa kami itu ingin menjadi tuan didalam rumah sendiri, maka ia harus

mendidik diri sendiri, menjalankan perwalian atas diri sendiri, berusaha dengan

kebiasaan dan tenaga sendiri Soekarno, 1930:92 dalam (Sapriya, 2007:24)


Pernyataan ini jelas bahwa salah satu karakter warga negara yang harus

dibangun adalah karakter kemandirian sebagai sebuah bangsa. Sehingga semakin

jelas bahwa karakter bangsa Indonesia yang diharapkan jauh sebelum lahir bangsa

dan beridrinya negara Indonesia

2.4.7 Penanaman Nilai Pendidikan Karakter

Saat ini di semua jenjang pendidikan mulai diterapkan pendidikan karakter yang

merupakan satu kesatuan program kurikulum satuan pendidikan sehingga

secara dokumen diintegrasikan ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) mulai dari visi, misi, tujuan, struktur dan muatan kurikulum, kalender

pendidikan, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) (Kemdiknas,2011:9).

Pelaksanaan pendidikan karakter sesuai dengan panduan pelaksanaan dapat

dilakukan melalui tiga jalur yaitu (1) integrasi melalui mata pelajaran, (2) integrasi

melalui muatan lokal dan (3) integrasi melalui pengembangan diri. Pendidikan

karakter yang terintegrasi di dalam mata pelajaran, muatan lokal dan

pengembangan diri adalah pengenalan nilai-nilai yang diperolehnya kesadaran akan

pentingnya dan bagaiman penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku

peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik di dalam maupun di luar

kelas (Kemdiknas, 2011:40).

Saat ini guru dituntut untuk membuat silabus dan rencana persiapan

pembelajaran (RPP) yang berkarakter, artinya, memuat beberapa nilai pendidikan

karakter dalam indikator dan kegiatan pembelajarannya. Hal yang perlu dicermati

adalah bagaimana agar nilai-nilai yang dicantumkan tersebut benar-benar sesuai

dengan karakteristik mata pelajaran yang diajarkan. Guru selaku eksekutor di

lapangan harus mengetahui karena guru yang membuat sendiri RPP nya sehingga

tahu persis apa yang dibuatnya. Dalam pendidikan karakter yang penting bukan apa
yang ditulis guru dalam RPP tapi apa yang dilakukan dan dicontohkan guru ke

peserta didik. Untuk itu perlu diketahui bagaimana kita selaku pendidik memberikan

pendidikan karakter kepada peserta didik sehingga fungsi dan tujuan Kaya Karsa

dapat tercapai.

Gagasan lama yang sampai saat ini masih relevan atau kembali relevan

dengan kondisi saat ini yaitu gagasan Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan Ki

Hadjar Dewantara yang menyatakan bahwa pengajaran (onderwijs) itu tidak lain dan

tidak bukan adalah salah satu bagian dari pendidikan di mana selain memberikan

ilmu atau pengetahuan juga memberi kecakapan (keterampilan) kepada anak-anak

yang keduaduanya dapat berfaedah baik lahir maupun batin (Dewantara, 1962:67).

Pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada diri seseorang

agar dapat hidup sebagai individu dan masyarakat yang berguna di masa yang akan

datang. Pendidikan adalah upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti

(kekuatan batin dan karakter), pikiran dan tubuh anak yang tidak dapat dipisah-

pisahkan sehingga dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak.

Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara disebut diengan konsep pendidikan

sistem among yang meliputin ing ngarsa sung tuladha (jika di depan memberi

teladanmengandung nilai keteladanan, pembimbingan dan pemanduan), ing madya

mangun karsa (jika ditengahtengah atau sedang bersama-sama menyumbangkan

gagasan, yang bermakna peserta didik didorong untuk mengembangkan karsa atau

gagasannya-mengandung nilai kreativitas dan pengembangan gagasan serta

dinamisasi pendidikan) dan tut wuri handayani (jika dibelakang menjaga agar tujuan

pendidikan tercapai dan peserta didik diberi motivasi serta diberi dukungan. di dalam

Pancasila merupakan jiwa kepribadian, dan pandangan hidup masyarakat di wilayah

nusantara sejak dahulu (Laksono, 2008:2).


Oleh karena itu pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai

yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila yang meliputi:

1. Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik,

berpikiran baik dan berprilaku baik.

2. Membangun bangsa yang berkarakter Pancasila

3. Mengembangkan potensi warga negara agar memiliki sikap percaya diri, bangga

pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia (Kemdiknas, 2011:7).

Selama ini nilai-nilai dan prinsip-prinsip UUD 1945 dan Pancasila telah

diwariskan dan telah menjadi kesepakatan seluruh rakyat seperti Proklamasi

Kemerdekaan, lima sila dalam Pancasila, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang tercermin dalam

pembukaan UUD 1945. Sementara prinsip-prinsip penjelmaan Pancasila yang

tercantum dalam UUD 1945 mengenai negara kesatuan yang berbentuk republik,

menjunjung tinggi hak asasi manusia, sistem Bhineka Tunggal Ika, kesamaan

kedudukan dalam hukum dan pemerintah, sistem ekonomi sebagai usaha bersama

atas dasar kekeluargaan, sistem pembelaan negara berdasarkan hak dan kewajiban

semua warga negara, pemerintahan

presidentil dan pengawasan oleh DPR (Suhady dan Sinaga, 2006:55-59).

Melihat nilai-nilai dan prinsip-prinsip UUD 1945 tersebut, maka pendidikan

karakter yang dikembangkan memang mengarah kepada nilai dan prinsip tersebut

yang intinya untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia,

bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis,

berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan

takwa kepada Tuhan yang Maha Esa.


2.4.7 Globalisasi

Globalisasi merupakan gejala mengglobalnya sosio-cultural antar

bangsa sehingga kultur antar bangsa di dunia seolah-olah melebur menjadi kultur

dunia (global). Akibatnya hubungan antar bangsa semakin dekat. Globalisasi biasa

dikaitkaitkan dengan kemajuan teknologi informasi, spekulasi dalam pasar uang,

meningkatnya arus modal lintas Negara, pemasaran massal, peanasan global, era

perusahaan multinasional hilangnya batas-batas antar Negara dan kian

melemahnya

kekuasaan Negara (Budiono, dalam Suparlan 2012).

Arus globalisasi tidak mungkin dihentikan. Berjalannya globalisasi tidak

terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai penyebabnya.

Dampaknya juga tidak bias dihindarkan. Bagi masyarakat, bangsa dan Negara

Indonesi, globalisasi memiliki dampak positif dan negative. Adapun dampak negative

dan dampak positif globalisasi menurut Suparlan (2012) antara lain:

2.4.7.1 Dampak Positif Globalisasi bagi Indonesia

(1) Semangat kompetitif Untuk mengikuti arus globalisasi suatu Negara

dituntut mampu bersaing di dunia internasional.

(2) Kemudahan dan kenyamanan hidup Globalisasi dengan kemajuan di

bidang informasi, komunikasi dan transportasi telah memberi

kemudahan dan kenyamanan masyarakat.

(3) Sikap toleransi dan solidaritas kemanusiaan Informasi mengenai

keprihatinan dan penderitaan.

(4) Sejumlah manusia di suatu Negara, memotivasi pemerintah di

Negara lain untuk ikut membantu meringankan penderitaan yang

dirasakan sesamanya.
(5) Kesadaran dalam kebersamaan Toleransi dan solidaritas

antar bangsa berkembang menjadi kesadaran dalam kebersamaan

untuk mengatasi berbagai masalah, dimana ancaman dan bencana

bagi keselamatan dunia sebagai satu-satunya planet tempa tinggal

bagi umat manusia.

(6) Menumbuhkan sikap terbuka Sikap terbuka ini untuk mengenal dan

menghormati perbedaan, kelebihan, dalam kehidupan manusia

sebagai

individu maupun bangsa yang hidup di wilayah Negara lain.

(7) Globalisasi memberi tawaran baru Globalisasi memberikan

tawaran baru barupa kesematan untuk mengakses ilmu pengetahuan

seluasluasnya melalui jaringan internet

(8) Terbukanya mobilitas social Kemajuan transportasi mendorong

mobilitas social yang semakin terbuka dimana jarak tidak lagi menjadi

permasalahan.

2.4.7.2 Dampak Negatif Gobalisasi bagi Bangsa Indonesia

(1) Pergeseran nilai Sesuatu yang baru (nilai, teknologi, budaya, dan

lainnya) dari asing secara tidak otomatis dapat diintegrasikan ke

dalam

kondisi individu atau masyarakat yang menerimanya.

(2) Pertentangan nilai Masuknya nilai-nilai baru dan asing yang tidak

sejalan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai luhur dari

pandangan hidup masyarakat.

(3) Perubahan gaya hidup (Life style)

(4) Berkurangnya kedaulatan Negara Pemerintah harus mengakui


dan bekerja di suatu lingkungn dimana sebagian besar penyelesaian

masalah harus dirumuskan dengan memperhatikan dunia global.

2.4.8 Upaya yang dilakukan Masyarakat Indonesia dalam Membudayakan Nilai-

Nilai Pancasila

Sebelum memasuki upaya masyarakat Indonesia dalam membudayakan nilai-

nilai Pancasila maka perlu kita tahu fungsi dari Pancasila. Sri Untari (2012)

menjabarkan fungsi Pancasila antara lain:

(1) Pancasila sebagai identitas dan kepribadian bangsa Pancasila adalah

kepribadian bangsa yang digali dari nilai-nilai yang telah tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat dan budaya bangsa Indonesia.

(2) Pancasila sebagai sistem filsafat Pancasila bersifat obyektif ilmiah

karena uraiannya bersifat logis dan dapat diterima oleh paham

yang lain.

(3) Pancasila sebagai sumber nilai Nilai dasar Pancasila adalah nilai

ketuanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.

(4) Pancasila sebagai sistem etika Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa

yang dimaksud etika Pancasila adalah etika yang mengacu dan bersumber pada

nilai-nilai, norma Pancasila sebagai dasar Negara dan pandangan hidup bangsa (Sri

Untari, 2012).

(5) Pancasila sebagai paradigm keilmuan ekonomi, politik, hukum, dan

pendidikan

(6) Pancasila sebagai ideology terbuka Menurut Winarno dalam Sri

Untari (2012) disebut terbuka sebab ideologi Pancasila bersumber pada kondisi
obyektif, konsep, prinsip, dan nilai-nilai orisinal masyarakat Indonesia sendiri. Secara

etimologis, istilah kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta budhayah yang

merupakan bentuk jamak dari kata budhi yang berarti budi atau akal, dengan

demikian budaya berhubungan dengan budi atau akal (Suko Wiyono, 2013).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) budaya adalah (1) pikiran;

akal budi; (2) adat-istiadat; (3) sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah

berkembang (beradab, maju); (4) sesuatu yang sudah menjadikebiasaan yang sukar

diubah.

Sedangkan menurutKoentjaraningrat dalam Suko Wiyono (2013)

kebudayaan ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia

dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan

melalui belajar. Dalam artian seperti tersebut di atas maka dibedakan wujud

kebudayaan itu sebagai berikut: (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks

gagasan, nilai, norma peraturan dan sebagainya, (2) wujud kebudayaan sebagai

suatu kompleks aktivitas serta tndakan berpola dari manusi alam masyarakat, (3)

wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Berdasarkan

pengertian di atas maka pembudayaan nilai-nilai Pancasila yang merupakan sumber

dari karakter bangsa Indonesia, berarti perwujudan nilai-nilai Pancasila itu dalam: (1)

agasan, nilai, norma, dan peraturan, (2) aktivitas serta tindakan terpola dar manusia,

dan (3) wujud hasil cipta manusia. Pembudayaan nilai-nilai Pancasila tidak sekedar

memahamisaja, namun harus dihayati dan diwujudkan dalam pengalamannya oleh

setiap diri pribadi dan seluruh

lapisan masyarakat sehingga menumbuhkan kesadaran dan kebutuhan,

mempertajam perasaan, meningkatkan daya tahan, daya tangkal dan daya saing
bangsa yang

semuanya tercermin pada sikap tanggap dan perilaku masyarakat.

Pembudayaan nilai-nilai luhur Pancasila perlu diupayakan pada berbagai

kelompok masyarakat baik kelompok profesi seperti tenaga kerja, notaris, guru dan

pengacara, kelompok fungsional seperti wanita, pemuda, dan lain sebagainya.

Sejalan dengan upaya sedemikian rupa, diharapkan terdapat penghayatan dan

pengalaman nilainilai luhur Pancasila di berbagai bidang kehidupan bagi seluruh

masyarakat. Berkaitan dengan upaya pembudayaan karakter bangsa yang

bersumber dari nilai-nilai luhur

Pancasila, maka pendapat Suko Wiyono (2013) berpendapat bahwa

hal yang ingin dicapai dalam pembudayaan adalah sebagai berikut:

1) Masyarakat yang memiliki kesadaran yang tinggi akan hak dan kewajiban sebagai

pribadi, anggota keluarga/masyarakat, dan sebagai warga Negara.

2) Sebagai pribadi ia dapat bersikap dan bertingkah laku sebagai insan hmba

Tuhan, yang mampu menggunakan cipta, rasa, dan karsa secara tepat, sehingga

dapat bersikap adil. Ia adalah seorang yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan

Yang Maha Esa sesua dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

3) Sebagai anggota keluarga dan masyarakat ia mampu mendudukkan dirinya

secara

tepat sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Ia faham dan mampu menempatkan hak

dan kewajiban dalam hidup bersama.

4)Sebagai warga Negara ia diharapkan faham akan hak dan kewajibannya sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, patuh melaksanakan segal

ketentuan perundang-undangan yang didasarkan atas kesadaran.


5)Sebagai warga Negara mampu membawa diri secara tepat dalam behubungan

dengan sesame warga Negara, dan dengan lembaga-lembaga kenegaraan. Sebagai

tenaga pembangunan maka ia memahami prinsip prinsip dasar program dan

peaksanaan pembangunan, baik pembangunan di daerah maupun pembangunan

nasional. Ia faham kegiatan apa yang selayaknya dikerjakan dan diutamakan dalam

menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan bahagia.

2.4.9 Upaya yang dilakukan Masyarakat Indonesia dalam Membudayakan Nilai-

Nilai Pancasila

Sebelum memasuki upaya masyarakat Indonesia dalam membudayakan

nilai-nilai Pancasila maka perlu kita tahu fungsi dari Pancasila. Sri Untari (2012)

menjabarkan fungsi Pancasila antara lain:

(1) Pancasila sebagai identitas dan kepribadian bangsa Pancasila adalah

kepribadian

bangsa yang digali dari nilai-nilai yang telah tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat dan budaya bangsa Indonesia.

(2) Pancasila sebagai sistem filsafat Pancasila bersifat obyektif ilmiah

karena uraiannya bersifat logis dan dapat diterima oleh paham yang lain.

(3) Pancasila sebagai sumber nilai Nilai dasar Pancasila adalah nilai ketuanan, nilai

kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.

(4) Pancasila sebagai sistem etika Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa yang

dimaksud etika Pancasila adalah etika yang mengacu dan bersumber pada nilai-

nilai, norma Pancasila sebagai dasar Negara dan pandangan hidup bangsa (Sri

Untari, 2012).

(5) Pancasila sebagai paradigm keilmuan ekonomi, politik, hukum, dan pendidikan

(6) Pancasila sebagai ideology terbuka Menurut Winarno dalam Sri Untari (2012)
disebut terbuka sebab ideologi Pancasila bersumber pada kondisi obyektif, konsep,

prinsip, dan nilai-nilai orisinal masyarakat Indonesia sendiri.

Secara etimologis, istilah kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta

budhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata budhi yang berarti budi atau akal,

dengan demikian budaya berhubungan dengan budi atau akal (Suko Wiyono, 2013).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) budaya adalah (1) pikiran;akal budi;

(2) adat-istiadat; (3)sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang

(beradab, maju); (4) sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah.

Sedangkan menurut Koentjaraningrat dalam Suko Wiyono (2013)

kebudayaan ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia

dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan

melalui belajar. Dalam artian seperti tersebut di atas maka dibedakan wujud

kebudayaan itu sebagai berikut:

(1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks gagasan, nilai, norma

peraturan dan sebagainya, (2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas

serta tndakan berpola dari manusia dalam masyarakat, (3) wujud kebudayaan

sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Berdasarkan pengertian di atas maka pembudayaan nilai-nilai Pancasila

yang merupakan sumber dari karakter bangsa Indonesia, berarti perwujudan nilai-

nilai Pancasila itu dalam: (1) agasan, nilai, norma, dan peraturan, (2) aktivitas serta

tindakan terpola dar manusia, dan (3) wujud hasil cipta manusia. Pembudayaan

nilai-nilai Pancasila tidak sekedar memahami saja, namun harus dihayati dan

diwujudkan dalam pengalamannya oleh setiap diri pribadi dan seluruh lapisan

masyarakat sehingga menumbuhkan kesadaran dan kebutuhan, mempertajam

perasaan, meningkatkan daya tahan, daya tangkal dan daya saing bangsa yang
semuanya tercermin pada sikap tanggap dan perilaku masyarakat. Pembudayaan

nilai-nilai luhur Pancasila perlu diupayakan pada berbagai kelompok masyarakat

baik kelompok profesi seperti tenaga kerja, notaris, guru dan pengacara, kelompok

fungsional seperti wanita, pemuda, dan lain sebagainya.

Sejalan dengan upaya sedemikian rupa, diharapkan terdapat penghayatan

dan pengalaman nilainilai luhur Pancasila di berbagai bidang kehidupan bagi seluruh

masyarakat. Berkaitan dengan upaya pembudayaan karakter bangsa yang

bersumber dari nilai-nilai luhur Pancasila, maka pendapat Suko Wiyono (2013)

berpendapat bahwa hal yang ingin dicapai dalam pembudayaan adalah sebagai

berikut: 1) Masyarakat yang memiliki kesadaran yang tinggi akan hak dan kewajiban

sebagai pribadi, anggota keluarga/masyarakat, dan sebagai warga Negara. 2)

Sebagai pribadi ia dapat bersikap dan bertingkah laku sebagai insan hmba Tuhan,

yang mampu menggunakan cipta, rasa, dan karsa secara tepat, sehingga dapat

bersikap adil. Ia adalah seorang yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang

Maha Esa sesua dengan agama dan kepercayaan masing-masing. 3) Sebagai

anggota keluarga dan masyarakat ia mampu mendudukkan dirinya secara tepat

sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Ia faham dan mampu menempatkan hak dan

kewajiban dalam hidup bersama. 4) Sebagai warga Negara ia diharapkan faham

akan hak dan kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, patuh melaksanakan segal ketentuan perundang-undangan yang

didasarkan atas kesadaran. Sebagai warga Negara mampu membawa diri secara

tepat dalam behubungan dengan sesame warga Negara, dan dengan lembaga-

lembaga kenegaraan. 5) Sebagai tenaga pembangunan maka ia memahami

prinsipprinsip dasar program dan peaksanaan pembangunan, baik pembangunan di

daerah maupun pembangunan nasional. Ia faham kegiatan apa yang selayaknya


dikerjakan dan diutamakan dalam menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan

bahagia.

2.4.10 Menempatkan Pancasila sebagai Arah Perubahan Sosial

Pancasila merupakan identitas bangsa Indonesia sebagai sistem nilai yang

dapat membedakannya dengan bangsa-bangsa yang lain. Sebagai Identitas,

pancasila merupakan suatu perangkat konsep dan nilai-nilai yang mengatur

hubungan antara manusia dan Tuhan, antar-sesama manusia, serta antara manusia

dan alam semesta, yang terwujud dalam nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,

kerakyatan, dan keadilan sosial. Hubungan ini, bersifat dinamis dan terbuka

terutama pada upaya pembentukan karakter bangsa. Pembangunan karakter

bangsa ini membutuhkan kerja keras yang persisten dan konsisten agar dapat

mengatasi semua persoalan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Sinergi segenap komponen bangsa dalam melanjutkan

pembangunan karakter bangsa diperlukan untuk mewujudkan bangsa yang

berkarakter, maju, berdaya saing, dan mewujudkan bangsa Indonesia yang bangga

terhadap identitas nasional yang dimiliki, seperti nilai budaya dan bahasa.

Revitalisasi dan reaktualisasi Pancasila sebagai aras perubahan sosial dan

pranata sosial kemasyarakatan merupakan upaya yang perlu dilakukan melalui

upaya mendefinisikan Pancasila secara sosiologis untuk mempertinggi derajat

kemanusiaan bangsa. Hal ini dapatdilakukan, antara lain melalui:

(1) aktualisasi nilai-nilai dan penguatan ketahanan Pancasila dalam menghadapi

derasnya arus budaya global;

(2) peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi pesan moral yang

terkandung pada setiap sila Pancasila sebagai kekayaan dan nilai-nilai luhur; serta
(3) mendorong kerjasama yang sinergis antarpemangku kepentingan dalam

mengimplementasikan Pancasila sebagai visi bersama mewujudkan Indonesia baru.

Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi yang diharapkan adalah sebuah

‘masyarakat multicultural Indonesia’, yang bercorak ‘masyarakat majemuk’(plural

society). Corak masyarakat Indonesia yang ‘Bhineka Tunggal Ika’ bukan lagi

keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya, melainkan keanekaragaman

kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Dalam upaya ini, harus

dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan

yang ada setempat pada tingkat lokal, atau pada tingkat nasional serta berbagai

corak dinamikanya. Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan

pembakuannya sebagai acuan bertindak.

Sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap

dalam hak dan kewajiban pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan berbangsa,

bernegara, dan bermasyarakat. Hal ini disadari betul oleh para founding father kita,

sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan semboyan

“Bhineka Tunggal Ika.” Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar biasa.

Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan ini mampu

mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang

multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain

itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam

dorongan moral dan spiritual kepada bangsa Indonesia. Terutama pada masa-masa

pasca kemerdekaan, agar senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para penjajah,

meskipun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.

Melihat Indonesia dari segi geografis, demografis, dan ekonomi, kita akan

menemukan Indonesia tampak seperti sebuah perahu besar yang ”penumpangnya”


begitu padat dan beragam. Indonesia terdiri dari sekitar 13 ribu gugusan pulau besar

dan kecil yang di diami penduduk lebih dari 240 juta jiwa dengan sekitar 200 etnis

yang berbeda, membuat Indonesia menjadi Negara keempat terbanyak

penduduknya di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat, memiliki sikap

hidup yang penuh harapan akan kehidupan di masa depan yang cemerlang.

Pendeknya, visi bersama itu mengarahkan tekad untuk memelihara apa-apa yang

baik dari masa lalu Indonesia, dan mengambil serta menemukan yang baru yang

lebih baik di masa kini dan akan datang. Sebuah bangsa memang akan selalu

mengalami tahapan dalam sejarah kebangsaannya.

Braudel(1969), menyatakan bahwa rentang panjang sejarah tertentu

berperan dalam membentuk karakter manusia dan secara mendasar akan

memperlihatkan sifat-sifat dasar dan kecenderungan ideologis dan politis dalam

merespon kondisi alam dan social budaya sekelilingnya. Proses

mengimplementasikan Pancasila sebagai visi bersama dengan rentang yang

panjang ini terjadi dalam jaringan sosial.

Jaringan (Fukuyama, 2000:327) merupakan hubungan moral kepercayaan,

yaitu sekelompok agen individual yang berbagi norma-norma atau nilai-nilai informal

melampaui nilai-nilai atau norma-norma yang penting dalam kehidupan

bermasyarakat. Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat memberikan

pengakuan kepada kelompok etnik dan agama agar dapat memposisikan dirinya ke

dalam sebuah kehidupan bersama yang memiliki kesanggupan untuk memelihara

identitas kelompoknya. Disamping itu, juga mampu berinteraksi dalam ruang

bersama yang ditandai oleh kesediaan untuk menerima kelompok-kelompok lain

yang berbeda basis identitasnya untuk menemukan kebutuhan bersama bagi

sebuah integrasi. Menempatkan Pancasila sebagai visi membangun masa depan


Indonesia, dihadapkan pada dua hal yang sangat fundamental, yaitu grand

solidarity, rasa kebersamaan untuk membangun bangsa, dan grand reality, sebuah

realitas agung sebagai sebuah bangsa yang demikian besar dan kaya. Makna grand

reality dalam konteks masa kini berarti usaha menyejahterakan rakyat, mempertinggi

tingkat kecerdasan anak bangsa, menjaga martabat bangsa, menciptakan rasa

aman, dan memberikan hak-hak rakyat berdasarkan rasa keadilan. Oleh karena itu,

persoalan Pancasila sebagai aras perubahan sosial merupakan persoalan

kehidupan masyarakat, yang memiliki relasi atau hubungan tertentu dalam struktur

sosial.

Hubungan Pancasila dan perubahan social dengan struktur, masih dapat

diperdebatkan, apakah Pancasila bagian dari struktur, entitas yang terpisah, atau

bahkan justru sebagai pembentuk struktur sosial. Seiring tersubordinasinya

Pancasila ke dalam struktur, menyebabkannya dipakai sebagai alat untuk

menunjang struktur social yang telah ditetapkan oleh suatu grand design politik

tertentu. Akibatnya, Pancasila tidak saja kehilangan otonominya, melainkan juga

dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga menjadi sekadar alat legitimasi politik.

Transformasi struktural ataupun transformasi Pancasila sebagai visi perubahan

sosial dapat menjadi tema pokok, yang mengarahkan masyarakat masuk ke dalam

suatu keadaan, sehingga memungkinkan terjadinya keadilan sosial atau perdamaian

manusia.

Kompleksitas Pancasila dan perubahan social dalam struktur sosial yang

multikultural tidak hanya terlihat dari lingkupnya yang membesar menuju pada aras

global,5 tetapi juga makin banyaknya satuan-satuan kecil yang tumbuh. Oleh karena

itu, di samping perlu menyelidiki hubungan-hubungan dengan aras global, desain

besar perubahan sosial, juga perlu memberikan peluang, mengamati atau mengenali
dan bersikap arif terhadap pertumbuhan satuan-satuan kecil. Menelantarkan

interaksi antarsatuan-satuan kecil berarti membiarkan berlakunya hukum struggle for

live, survival of the fttest, natural selection, dan progress dalam masyarakat.

Perubahan sosial yang berlandaskan Pancasila jelas menolak Darwinisme sosial

yang akan menyebabkan involusi bagi sebagian besar kelompok masyarakat,

mengingat manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu berencana,

sehingga untuk maju tidak harus “membunuh”yang lain.

Dalam sebuah komunitas heterogen dan pluralistik seperti Indonesia

diperlukan perekat interaksi sosial yang dipatuhi bersama, terutama

ketergantungannya terhadap pertukaran (reciprocitas). Sebagaimana pendapat

Fukuyama (1995:222), bahwa “kepercayaan memiliki nilai pragmatis yang sangat

penting. Kepercayaan adalah pelumas yang penting bagi bekerjanya sebuah sistem

sosial”. Kepercayaan merupakan variable yang penting dalam membentuk

masyarakat yang fungsional, karena di dalamnya terkandung harapan-harapan

terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku kooperatif yang muncul dari sebuah

komunitas yang menganut norma-norma yang sama.

Dalam arti demikian, maka Pancasila merupakan seperangkat nilai yang

dapat dipercaya sebagai perekat komunitas, yang ditentukan secara kultural,

sehingga komunitas baru akan muncul dalam berbagai tingkatan berbeda dalam

budaya yang berbeda pula. Meminjam bahasa Fukuyama, kepercayaan atau trust

adalah efek samping yang penting dari norma-norma Pancasila yang kooperatif

yang mewujudkan perubahan sosial. Jika suatu anggota masyarakat dapat menjaga

komitmen, menghormati norma-norma saling tolong-menolong, dan menghindari

prilaku yang oportunistik, maka berbagai anggota masyarakat lain akan terbentuk

dengan cepat, dan akan mampu mencapai tujuan bersamanya secara lebih efisien.
Secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan

mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinekaan.

Konsekuensinya ialah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan social

yang maju dan kreatif, memiliki sikap budayan kosmopolitan dan pluralistik, tatanan

sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan

bersifat kerakyatan. Secara garis besar, Pancasila ditempatkan sebagai pedoman

nilai dan norma, yang diimplementasikan dalam aturan yang mengatur tindakan

anggota masyarakat.

Oleh karena itu, perubahan social perlu menyerap prinsip moral dan nilai

Pancasila yang mendukung dan menjamin terwujudnya masyarakat Indonesia yang

bermartabat, adil, makmur, aman, dan sejahtera.

Pancasila ditempatkan sebagai arah perubahan sosial, yaitu karena Pancasila

(a)mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural,

multietnis, dan agama;

(b) terbuka dan

(c) memberikan ruang terhadap berkembangnya ideologi sosial politik yang

pluralistik. Disamping itu, Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak mereduksi

pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya

dapat ditemukan suatu sintesis

harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta

ideologi social politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik.

Perubahan sosial diarahkan pada pengembangan jati diri dan harga diri bangsa,

masyarakat yang multikultural, pelestarian berbagai warisan budaya, dan

pengembangan infrastruktur pendukung pembangunan nasional. Adapun nilai

Pancasila yang dapat memberikan arah perubahan sosial, yaitu:


1. Karakter “Ketuhanan Yang Maha Esa” terwujud dalam sikap hormat dan bekerja

sama antar pemeluk agama dan penganut kepercayaan, saling menghormati

kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, dan

tidak memaksakan

agama dan kepercayaannya kepada orang lain.

2. Perubahan sosial berlandaskan nilai “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”

terwujud dalam perilaku hormat-menghormati antarwarga negara sebagai

karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kemanusiaan seseorang tecermin

antara lain dalam pengakuan atas persamaan derajat, hak, dan kewajiban; saling

mencintai; tenggang rasa; tidak semenamena terhadap orang lain; gemar

melakukan kegiatan kemanusiaan; menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; berani

membela kebenaran dan keadilan; merasakan dirinya sebagai bagian dari seluruh

umat manusia serta mengembangkan sikap hormat-menghormati.

3. Perubahan sosial berlandaskan nilai “Persatuan Indonesia” mewujud dalam

kehidupan berbangsa yang mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa di atas

kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Di samping itu, nilai persatuan

merupakan perekat, yang mendamaikan kelompok masyarakat yang memiliki

berbagai nilai kelompok yang ada di Indonesia, yaitu:

budaya lokal (tempatan), budaya sukubangsa, budaya global, budaya bangsa, serta

budaya agama dan sistem kepercayaan.

4. Perubahan sosial berlandaskan nilai “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat

Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan.


BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Budaya bangsa Indonesia memang akar dari Pancasila. Karena dari segi

Pancasila terkandung kebudayaan yang menekankan persatuan serta sebaliknya.

Tidak lupa dari segi pengertian, Pancasila merupakan lima buah asas atau prinsip

yang harus di junjung tinggi sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan kebudayaan

merupakan sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Sehingga Pancasila

tercipta berdasarkan kebudayaan. Kaitan di antara keduanya begitu erat sehingga

timbal balik antara Pancasila dan Kebudayaan dapat terjadi dengan signifikan

karena keduanya saling berhubungan. Kebudayaan adalah akar dari Pancasila

dikarenakan di dalam pancasila terkandung nilai kebudayaan. Unsur persatuan

dapat di lihat di dalam pancasila, sedangkan sebagai negara yang memiliki beragam

macam kebudayaan, memang sepantasnya memiliki asas persatuan yang

terkandung di dalam Pancasila. Sehingga sebagai insan berbudaya, harus juga

berdasarkan kepada Pancasila yang adalah ideologi bangsa.

3.2 Saran

Menghormati dan melaksanakan asas Pancasila sangatlah diharuskan


karena sebagai warga negara Indonesia yang mana prinsip dari sila – sila Pancasila
merupakan inti dari kandungan kebudayaan bangsa.

Marilah selalu meningkatkan iman dan taqwa, bersikap adil dalam artian
sesuai porsi masing masing, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bersama,
tidak bertindak semena – mena dan gila jabatan, dan memperkuat jiwa
nasionalisme.
DAFTAR PUSTAKA

Asmaroini, Ambiro Puji. 2017. Menjaga Eksistensi Pancasila dan Penerapannya

Bagi Masyarakat di Era Globalisasi. Ponorogo. Jurnal Pancasila dan

Kewarganegaraan. Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Vol. 1, No. 2 : 50 –

64.

Nurjanah, Siti. 2017. Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila Pada Pelajar (Upaya

Mencegah Aliran Anti Pancasila di Kalangan Pelajar). El-Wasathiya: Jurnal

Studi Agama. STIT Makhdum Ibrahim Tuban. Vol 5, No. 1 : 95 – 106.

Prayitno, Ujianto Singgih. 2014. Pancasila dan Perubahan Sosial: Perspektif Individu

dan Struktur dalam Dinamika Interaksi Sosial. Aspirasi. Vol. 5, No. 2 : 107 –

117.

Rachmah, Huriah. 2013. Nilai-Nilai dalam Pendidikan Karakter Bangsa yang

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. E-Journal WIDYA Non-Eksakta. Vol 1,

No. 1 : 7 – 14.

Rossidah. 2011. Pancasila dan Budaya. Skripsi. STMIK Amikom Yogyakarta. Hlm 1

– 12.

Samho, Bartolomeus dan Rudi Setiawan. 2015. Mengartikulasi Pancasila Menjadi

Spiritualitas Kehidupan Bangsa Indonesia yang Majemuk: Sebuah Kajian

Filosofis. Skripsi. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat,

Universitas Katolik Parahyangan. Hlm 1 – 96.


Zabda, Sutan Syahrir. 2016. Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Falsafah

Negara dan Implementasinya Dalam Pembangunan Karater Bangsa. Jurnal

Pendidikan Ilmu Sosial. FKIP UMS. Vol 26, No. 2 : 106 – 114.

Anda mungkin juga menyukai