Anda di halaman 1dari 30

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Priapisme didefinisikan sebagai proses tumescence/ereksi penis komplit

ataupun parsial yang berlasnung selama lebih dari 4 jam tanpa ransangan seksual. Pada

sebagian besar kasus, hanya korpora kavernosa yang terkena dampaknya tanpa adanya

keterlibatan korpus spongiosum dan glans. Kebanyakan kasus priapisme idiopathic,

dengan 21% kasus berhubungan dengan alkohol atau penyalahgunaan obat obata, 12%

kasus berhubungan dengan trauma perineal dan 11% berhubungan penyakit sickle cell.

Penyebab iatrogenik priapisme sangat umum terjadi di tahun 1980 an dikarenakan

tersedia bebasnya obat suntik intrakavernosa seperti fentolamin, prostaglandin, dan

papaverin.1

Priapisme diklasifikan menjadi 3 tipe: priapisme ischemic (veno-oclusive atau

low-flow), stuttering priapisme, dan priapisme nonischemic (arterial, high-flow).2

Priapisme ischemic dikarakteristikan dengan ereksi persisten dengan kekakuan pada

korpora kavernosa dan sedikit atau tidak adanya aliran arteri kavernosa. Priapisme

ischemic adalah keadaan darurat yang membutuhkan penanganan cepat untuk

mencegah disfungsi erektil. Priapisme stuttering dikarakteristikan dengan pola

berulang, paling sering ditemukan pada laki-laki yang memiliki penyakit sickle-cell.

Priapisme noniskemik adalah ereksi presisten yang disebabkan oleh tidak teraturnya

aliran arteri kavernosa, dikarakteristikan dengan tumescent korpora tanpa kekakuan


dan sakit. Mekanisme patogenesis dari priapism noniskemik adalah terbentuknya

fistula arteriolar-sinusoidal karena gangguan dari anatomi arteri kavernosa.1-2

Kasus terbanyak pada priapism adalah priapism iskemik, dihitung lebih dari

95% dari semua kasus priapism. Episode priapism sering menimbulkan dengan

stimulasi seksual sebelumnya dengan atau tanpa memakai obat. Penyakit sickle-cell

adalah salah satu faktor resiko untuk terjadinya priapism, dengan prevalensi dari 29-

42%, sering ditemukan pada anak dan dewasa. Prevalensi dari literature menunjukkan

2-6% dengan kasus terbanyak adalah iskemik karena Penyakit sickle-cell.3 Neonatus

bisa mengalami priapisme, walaupun hal ini cukup jarang terjadi, sehingga hal ini dapat

menjadi dasar penegakan diagnosis dan manajemen dari priapisme.2

1.2 Identifikasi Masalah

Bagaimana karakteristik kasus priapisme di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

pada periode 2008 hingga 2018?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik kasus priapisme di

RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung berdasarkan data sosiodemografik, etiologi,

klasifikasi priapisme, manajemen, Erection Hardness Score (EHS) pre operatif dan 6

bulan post operatif.


1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Ilmiah

Penelitian ini akan menyediakan data dasar mengenai karakteristik kasus

priapisme yang meliputi data sosiodemografik, etiologi, klasifikasi priapisme,

manajemen, Erection Hardness Score (EHS) pre operatif dan 6 bulan post operatif yang

kemudian dapat dimanfaatkan untuk pengembangan penelitian penelitian lebih lanjut.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat membantu klinisi dalam menentukan diagnosis dan terapi

berdasarkan data epidemiologi terkini.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi penis dan fisiologis ereksi

Batang penis terdiri dari 3 kolom penis, 2 korpora kavernosa dan corpus

spongiosum serta lapisan fasia yang melingkupi kolom saraf, limpatik dan

pembuluh darah yang ditutupi oleh kulit. Terdapat dua ligamen suspensoriyang

terdiri dari serat-serat yang menopang dasar penis.

Gambar 1. Anatomi penis

Kopora kavernosa mengandung jaringan ereksi dan masing-masing dikelilingi

oleh jaringan tunika albugenea kopora kavernosa dipisahkan oleh midline

septum. Jaringan ereksi dalam korpora berisi arteri dan saraf, serat otot dan

sinus vena yang dilapisi oleh sel endotel datar. Permukan potongan corpora
kevernosa berbentuk seperti spons. Terdapat lapisan tipis, jaringan aeolar yang

memisahkan jaringan ini dari tunika albugenea. Aliran darah dari kavernosa

berasal dari darah dalam penis (cavenosa arteries) yang mengalir ditengah

antara kavernosa seperti yang terlihat pada gambar 1.2.

Gambar 1.2 Perdarahan penis

Pasokan darah ke struktur dalam penis berasal dari kelanjutan arteri pudenda

interna, setelah itu mengeluarkan cabang perineum. Tiga cabang aliran arteri

pudenda internal ke penis, sebagai berikut:

1. Arteri bulb (bulbourethral artery) melewati fasia penis yang dalam

(Buck) untuk masuk dan memasok umbi penis dan uretra penis

(seperti spons)
2. Arteri dorsal berjalan sepanjang dorsum penis antara saraf dorsalis

dan vena dorsalis profunda dan mengeluarkan cabang sirkumfleks

yang menyertai vena sirkumfleksa; cabang-cabang terminal berada

di penis kelenjar

3. Arteri dalam penis (cavernosal) biasanya merupakan arteri tunggal

yang muncul di setiap sisi dan memasuki corpus cavernosum di crus

dan menjalankan panjang poros penis, mengeluarkan arteri helicine,

yang merupakan komponen integral dari proses ereksi.

Vena superfisial terkandung dalam dartos fascia pada permukaan

dorsolateral penis dan menyatu di pangkal untuk membentuk vena dorsal

superfisial tunggal, yang biasanya mengalir ke vena saphenous besar melalui

vena pudendal eksternal superfisial. Sistem perantara berisi dorsal dalam dan

vena sirkumfleksa, terletak di dalam dan di bawah fasia penis besar (Buck).

Vena utusan mulai dalam jaringan ereksi corpora cavernosa dan perjalanan

melalui tunica albuginea dan mengalir ke dalam sirkumfleks atau vena dorsal

yang dalam. Vena sirkumfleksa muncul dari spongiosum, ventrum penis, dan

seringkali, vena utusan mengalir ke dalamnya. Vena sirkumfleksa mengalir ke

lateral di sekitar cavernosa, lewat di bawah arteri dorsal dan saraf dan mengalir

ke vena dorsalis profunda.

Vena dorsal yang dalam terletak di alur garis tengah antara 2 korpora

cavernosa dan terbentuk dari 5-8 vena yang muncul dari penis kelenjar,

membentuk pleksus retrocoronal. Ini menerima darah dari utusan dan


sirkumfleksa dan melewati di bawah simfisis pubis pada tingkat ligamentum

suspensori, meninggalkan batang penis di crus dan mengalir ke pleksus prostat.

Drainase vena dalam adalah melalui vena crural dan cavernosal. Vena crural

muncul di garis tengah, di ruang antara crura. Vena kavernosal adalah

konsolidasi dari vena utusan, yang bergabung untuk membentuk saluran vena

besar yang mengalir ke vena pudenda interna. Tiga atau 4 vena kavernosal kecil

mengalir ke lateral antara corpus spongiosum dan lekukan penis selama 2-3 cm

sebelum mengalirkan ke vena pudenda interna.

de Groat WC, Steers WD. Neuroanatomy and neurophysiology of penile erection.


Tanagho E, Lue TF, McClure RD, eds. Contemporary Management of Impotence and
Infertility. Baltimore, Md: Williams & Wilkins; 1988. 3-27.

Jaringan ereksi penis, khususnya otot-otot halus kavernosa dan halus

otot-otot arteriolar dan dinding arteri, memainkan peran kunci dalam proses

ereksi, otot-otot halus ini berkontraksi secara tonik, sehingga hanya

memungkinkan sejumlah kecil arteri mengalir untuk keperluan nutrisi. Tekanan

oksigen parsial darah (PO2) di sekitarnya berkisar 35mmHg. Penis yang lembek

berada dalam keadaan kontraksi sedang, sebagaimana dibuktikan dari

penyusutan pada cuaca dingin dan setelah injeksi fenilefrin.

Stimulasi seksual memicu pelepasan neurotransmiter dari terminal saraf

kavernosa. Hal ini menghasilkan relaksasi otot-otot halus ini dan kejadian-

kejadian berikut:
1. Dilatasi arteriol dan arteri oleh peningkatan aliran darah pada fase

diastolik dan sistolik.

2. Perangkap darah yang masuk oleh sinusoid yang meluas.

3. Kompresi subtunis pleksus venular antara tunica albuginea dan

sinusoid perifer, mengurangi aliran vena

4. Peregangan tunika ke kapasitasnya, yang menyumbat pembuluh

darah utusan antara lingkaran dalam dan lapisan longitudinal luar dan

selanjutnya mengurangi aliran keluar vena ke minimum.

5. Peningkatan PO2 (menjadi sekitar 90 mmHg) dan tekanan

intracavernous (sekitar 100 mm Hg), yang mengangkat penis dari

posisi tergantung ke keadaan ereksi (penisfase ereksi penuh)

Peningkatan tekanan lebih lanjut (hingga beberapa ratus milimeter

air raksa) dengan ontraksi otot ischiocavernosus (fase ereksi kaku) Sudut

penis yang ereksi ditentukan oleh ukuran dan keterikatannya dengan rami

puboischial (crura) dan permukaan anterior tulang kemaluan (ligamen

suspensori dan funiform).

Pada pria dengan penis panjang yang berat atau ligamen suspensori longgar,

sudut biasanya tidak akan lebih besar dari 90 derajat, bahkan dengan kekakuan

penuh. Tiga fase detumescence telah dilaporkan dalam penelitian pada hewan.

Yang pertama mencakup peningkatan tekanan intracorporeal transien, yang

mengindikasikan awal dari otot polos kontraksi terhadap sistem vena tertutup.

Fase kedua menunjukkan penurunan tekanan lambat, menyarankan pembukaan

kembali lambat dari saluran vena dengan dimulainya kembali tingkat basal aliran
arteri. Fase ketiga menunjukkan penurunan tekanan yang cepat dengan aliran

balik vena yang pulih sepenuhnya kapasitas.

Ereksi dengan demikian melibatkan relaksasi sinusoidal, dilatasi arteri, dan kompresi

vena pentingnya relaksasi otot polos telah dibuktikan dalam penelitian pada hewan

dan manusia.

2.2 Definisi

Priapismus adalah ereksi penis persisten selama lebih dari 4 jam yang tidak

terkait dengan orgasme atau stimulasi seksual.5 Hal ini dikaitkan secara signifikan

dengan psikologis, sosial ekonomi, fisik, termasuk rasa sakit dan fungsi ereksi yang

berpotensi tidak dapat dipulihkan.6 Dalam sebagian besar kasus, yang terkena

hanya korpus kavernosa, tidak melibatkan korpus spongiosum dan glans.7

2.3 Etiologi

Penyebab terbanyak adalah idiopatik, penyebab lainnya adalah konsumsi

alkohol dan penggunaan obat sebanyak 21%, trauma perineal sebanyak 12%, dan

sickle cell disease sebanyak 11%. Sejak tahun 1980, penggunaan injeksi mandiri
intrakavernosa untuk membantu ereksi, seperti prostaglandin, papaverin, dan

fentolamin menjadi penyebab terbanyak priapismus.7

2.4 Klasifikasi

Priapismus terdiri dari :5,6,7,8

a. Priapismus Iskemik (Aliran Rendah/Oklusi Vena)

Priapismus iskemik adalah ereksi persisten yang nyeri dan ditandai dengan

rigiditas korpus kavernosa dan dengan sedikit atau hilangnya aliran darah arteri.

Penyebab priapismus iskemik adalah penyakit sel sabit, hemoglobinopati,

keganasan, pengobatan (fenotiazin, antihipertensi, dan antikoagulan)

Pada priapismus iskemik terjadi ketidakseimbangan dalam mekanisme

vasoregulasi. Adanya kongesti vena akibat dari terperangkapnya mixed venous

blood di penis. Iskemik jaringan dan peningkayan tekanan pada corporal bodies

menyebabkan rasa sakit dan kekakuan.

Priapismus iskemik adalah kondisi darurat yang membutuhkan penanganan

segera untuk mencegah disfungsi ereksi. Penelitian menunjukan bahwa

priapismus iskemik yang berlangsung lebih dari 24 jam menghasilkan tingkat

disfungsi ereksi sebesar 90%.

Resolusi priapismus iskemik ditandai dengan kembalinya penis ke kondisi

lembek dan hilangnya nyeri. Dalam beberapa kasus, edema penis, ekimosis,

dan ereksi parsial dianggap sebagai priapismus yang belum resolusi.

b. Priapismus Non Iskemik (Aliran Tinggi/Arterial)


Priapismus arterial adalah ereksi persisten akibat gangguan aliran darah

arteri kavernosa. Priapismus ini biasa disebabkan oleh trauma tumpul yang

menyebabkan fistula arterial lakunar. Pasien mengeluhkan ereksi yang tidak

sepenuhnya rigid dan tanpa nyeri. Kondisi ini tidak emergensi, mengingat darah

masih kaya akan oksigen sehingga tidak terjadi kerusakan sel.

c. Priapismus Stuttering (Rekuren/Intermiten)

Priapismus intermiten atau rekuren, adalah episode berulang pemanjangan

ereksi yang nyeri. Setiap episode serangan diselingi dengan kondisi detumesen.

Durasi ereksi pada priapismus intermiten lebih pendek dibandingkan tipe

iskemik, yaitu di bawah 3 jam. Frekuensi dan durasi episode serangan

priapismus akan terus meningkat dan terkadang disertai episode priapismus

iskemik. Jenis priapismus ini paling jarang, namun jika diabaikan akan berisiko

menjadi priapismus iskemik.

2.5 Diagnosis

a. Anamnesis

Anamnesis bertujuan untuk membedakan jenis priapismus. Pertanyaannya

meliputi durasi ereksi, derajat nyeri, episode priapismus sebelumnya, obat-

obatan yang dikonsumsi, fungsi ereksi beserta obat erektrogenik yang

digunakan, riwayat SCD dan kelainan hematologi lain, dan trauma pada pelvis,

perineum, atau penis.6

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk membedakan jenis priapismus. Pada priapismus

iskemik, palpasi penis didapatkan korpora kavernosa tegang penuh

disertai nyeri, sedangkan korpus spongiosum dan glans penis lunak. Pada

priapismus noniskemik, korpus kavernosum tegang, namun tidak keras ataupun

nyeri. Pemeriksaan abdomen, pelvis, dan perineum untuk mencari tanda-tanda

trauma, infeksi, atau keganasan yang dapat menyebabkan priapismus.6

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang pertama adalah aspirasi darah dari korpus

kavernosa. Darah kavernosa pada priapismus iskemik bersifat hipoksik dan

hiperkarbis, sehingga berwarna gelap. Sedangkan darah kavernosa pada

priapismus non-iskemik berwarna merah cerah karena kaya akan oksigen.6

Darah hasil aspirasi selanjutnya diperiksa analisis gas darah (AGD), pH

darah kavernosa pada priapismus iskemik di bawah 7,25, pO2 60 mmHg.2,8

Pada priapismus intermiten dan priapismus akibat SCD, hasil pemeriksaan

AGD sangat bervariasi, sehingga kadang membingungkan; dan diperlukan

pemeriksaan ultrasonografi.6

Pemeriksaan radiologi terpilih adalah ultrasonografi (USG) korpus

kavernosa, pada priapismus iskemik tidak ditemukan adanya aliran darah.

Colour Doppler USG (CDU) dapat berguna untuk mencari fistula arteri dan

pseudoaneurisma yang sering terdapat pada kasus trauma.6

Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan dengan anamnesis dan temuan

klinis, seperti pemeriksaan spesifik darah untuk SCD atau kelainan hemoglobin
lainnya. Pemeriksaan toksikologi urin dan plasma jika dicurigai penggunaan

obat psikoaktif.6

Tabel 2.1 Pemeriksaan Penunjang

2.6 Penatalaksanaan

1. Priapismus Iskemik

Tujuan tatalaksana adalah untuk merestorasi flaccid penis, mengatasi nyeri,

dan menyelamatkan fungsi ereksi dengan mencegah kerusakan korpus

kavernosa. Penatalaksanaan lini pertama priapismus iskemik adalah dengan

aspirasi korpora dan irigasi korpus kavernosa dengan atau tanpa injeksi agen

simpatomimetik intrakavernosa. Penatalaksanaan lini kedua adalah shunting

distal dan proksimal. Jika sudah terjadi fibrosis korpora, biasanya pada durasi

48-72 jam, dilakukan penatalaksanaan lini ketiga berupa pemasangan protese

penis.6
Penatalaksanaan lini pertama berupa aspirasi dan irigasi korpus kavernosa

dilakukan dengan beberapa tahap: anestesi lokal penis, insersi wide bore

butterfly (16-18 G), aspirasi kavernosal sampai didapat darah arteri warna

merah terang, irigasi dengan 0,90% w/v saline solution 6

Aspirasi ataupun injeksi intrakavernosa dapat dilakukan tanpa anestesi.

Anestesi dapat mengurangi rasa nyeri, dilakukan dengan beberapa cara (blok

nervus dorsalis, blok sirkumferensial, blok subkutan batang penis, atau sedasi

oral), dilakukan pada glans atau sisi lateral batang penis proksimal. Aspirasi

dilakukan hingga didapatkan darah merah segar yang kaya akan

oksigen. Tatalaksana aspirasi dan irigasi memerlukan jarum besar yang

berisiko menambah nyeri, hematom, fistula vaskular, dan infeksi.6

Resolusi priapismus iskemik terbaik didapat setelah injeksi

simpatomimetik agen dengan atau tanpa irigasi (43-81%) dari setelah aspirasi

dibandingkan dengan aspirasi dengan atau tanpa irigasi saja (24-36%). Resiko

disfungsi ereksi pasca-priapismus lebih rendah setelah pengguanaan agen

simpatomimetik.6

Phenylephrine adalah agen simpatomimetik yang memiliki efek samping

sistemik kardiovaskular yang lebih rendah dibanding agen simpatomimetik

lainnya. Namun, jika phenylephrine tidak tersedia, agonis α-adrenergik lain

dapat digunakan seperti ephedrine, epinephrine, norepinephrine, or

metaraminol.6
Phenylephrine harus diencerkan dalam larutan garam normal untuk

menghasilkan konsentrasi 100-500 μg / ml. Kemudian, suntikan 1 ml aliquot

harus dilakukan secara intracavernosal setiap 3-5 menit selama 1 jam.6

Semua pasien harus dipantau untuk komplikasi sistemik yang dapat terjadi

terkait dengan pemberian simpatomimetik. Pasien dengan riwayat hipertensi,

pennyakit arteri koroner, atau penyakit penyerta jantung lainnya harus dipantau

tekanan daran dan EKG selama dan setelah injeksi intracavernosus agen

simpatomimetik. Pasien harus dipantau efek sistemik yang bisa terjadi, seperti

hipertensi, sakit kepala, bradikardia, takikardia, dan aritmia.6

Penatalaksanaan lini kedua adalah shunting distal dan proksimal. Pada

durasi priapismus lebih dari 24 jam, injeksi intrakavernosa jarang berhasil.

Shunting surgikal harus dilakukan dengan tujuan membuat hubungan atau

fistula antara glans dan korpus kavernosa, sehingga darah yang miskin oksigen

keluar dari korpus kavernosa. Beberapa metode shunting antara lain perkutan

distal (korpoglanular), open distal, open proksimal (korpospongiosal),

anastomosis vena superfisial atau dalam. Shunting berguna pada priapismus

dengan onset di bawah 48 jam, setelah itu kurang bermanfaat karena fibrosis

korpora tetap akan terjadi.6


Tabel 2.2 Tipe Shunting Surgikal

Penatalaksanaan lini ketiga berupa pemasangan protese penis. Protese

penis dilakukan jika sudah terjadi fibrosis korpora, biasanya pada durasi 48-72

jam. Beberapa ahli menganjurkan protese penis pada pasien priapismus yang

mengalami recurrent refractory episodes atau mereka yang telah menjalani

shunting surgikal di masa lalu.6

2. Priapismus Non Iskemik

Penatalaksanaan lini pertama pada priapismus non iskemik adalah

konservatif. Sebanyak 2/3 kasus priapismus non iskemik terjadi resolusi secara
spontan. Aspirasi kavernosa memiliki peran diagnostik, tidak

direkomendasikan untuk tatalaksana.6

Penanganan pertama kompresi es pada perineum sering berhasil.

Pengobatan selanjutnya yang dapat menjadi pilihan adalah angioembolisasi,

dikombinasi dengan arteriografi penis atau ligasi arteri. Kedua intervensi

tersebut harus dibahas secara menyeluruh dan hati-hati termasuk resiko

terjadinya komplikasi seperti disfungsi ereksi, gangren penis, gluteal iskemia,

cavernositis purulen dan perineum abses.6

Selain hal diatas, Mwamukonda dan rekannya mempelajari kemungkinan

peran blokade androgem sebagai alternatif terapi. Dalam studi ini, tujuh pria

menjalani injeksi leuprolide 7,5 mg secara intramuskular setiap bulan, serta

tambahan terapi bicalutamide dan ketoconazole. Durasi terapi berikisar antara

2 hingga 6 bulan dan dihentikan setelah resolusi gejala. Pasien di follow up

selama 2 tahun, dihasilkan sebagian besar pasien mengalami penurunan libido

dan kelelahan selama pemberian terapi. Enam orang dilaporkan mengalai

resolusi lengkap.6

3. Priapismus Intermitten

Penatalaksanaan priapismus intermiten mengikuti pedoman

penatalaksanaan priapismus iskemik sampai episode akut teratasi. Mengikuti

pedoman saat ini, para pasien dengan priapismus intermitten dirujuk ke

spesialis hematologi untuk mengeliminasi adanya kelainan darah, dan diajarkan

terapi injeksi mandiri untuk digunakan di rumah. Mereka diajarkan bagaimana

cara teknik menyuntikan obat dengan dosis rendah (biasanya phenylephrine


tidak lebih dari 100 μg) untuk mengobati episode akut. Jika setelah 2 atau 3

suntikan episode akut belum teratasi, mereka dianjurkan ke IGD untuk

evaluasi.6

Penatalaksanaan priapismus intermiten bertujuan mencegah episode

serangan, biasanya dapat dicapai hanya dengan terapi farmakologi. Tujuan

terapi adalah untuk menurunkan kadar testosteron, yang dapat dicapai dengan:

- Hormonal Agents

- Digoxin

- Gabapentin

- Baclofen

- Ketoconazole

- Terbutaline

- PDE 5 inhibitor

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Subjek Penelitian


Subyek penelitian ini adalah pasien dengan priapismus yang berobat di

Departemen Urologi Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung pada bulan

Januari 2007 sampai dengan Desember 2017.

3.1.1 Populasi dan Sampel Penelitian

Target populasi pada penilitian ini adalah semua pasien dengan priapismus

yang mendapat tatalaksana di Departemen Urologi Rumah Sakit Umum Pusat Hasan

Sadikin Bandung. Sampel yang diteliti adalah bagian dari populasi yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi.

3.2 Kriteria Pemilihan Sampel

3.2.1 Kriteria Inklusi

Pasien-pasien dengan priapismus yang berobat di Departemen Urologi Rumah

Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung pada bulan Januari 2007 sampai dengan

Desember 2017.

3.2.2 Kriteria Eksklusi

3.2.3 Cara Pengambilan Sampel


Sampel diambil dengan menggunakan teknik total sampling. Data diambil dari

melalui rekam medis pasien, dikumpulkan dan dicatat, kemudian disajikan dalam

bentuk tabulasi.

3.3 Rancangan Penelitian

3.3.1 Jenis Penelitian

Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif potong lintang.

Pemilihan desain ini atas dasar masalah penelitian yaitu untuk mengetahui karakteristik

pasien-pasien priapismus yang berobat di Departemen Urologi Rumah Sakit Umum

Pusat Hasan Sadikin Bandung pada bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2017,

sehingga peneliti melakukan studi deskriptif dan dalam penelitian in penulis tidak

melakukan eksperimental dalam sudut pandang intervensi, melainkan hanya

melakukan observasi dengan melakukan penelaahan terhadap rekam medis.

3.3.2 Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti pada studi ini adalah

 Priapismus

Data yang akan dipakai merupakan data sekunder yang didapatkan dari hasil

pencatatan rekam medis pasien.

3.4 Prosedur Penelitian


3.4.1 Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang

didapat melalui penelaahan rekam medis pasien dengan priapismus yang mendapat

pengobatan di Departemen Urologi Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin

Bandung.

3.4.2 Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan cara pengelompokan data secara statistik yang

diharapkan dapat menggambarkan karakteristik pasien-pasien priapismus di Rumah

Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung pada Januari 2007 sampai dengan

Desember 2017. Karakteristik yang dinilai meliputi usia pasien, jenis kelamin, riwayat

merokok, riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya, riwayat batu saluran kemih

sebelumnya, jenis pemberian instilasi kemoterapi intravesika, follow up, dan hasil

pemeriksaan histopatologi serta terapi pembedahan. Data dipresentasikan dalam tabel

dan grafik.

BAB IV

HASIL DAN DISKUSI

4.1. Hasil Penelitian

Lima belas pasien masuk ke unit gawat darurat Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan

diagnosis priapisme. Usia pasien berjarak dari 16 tahun sampai 58 tahun. Terdapat 14 pasien
(93.3%) lebih tua dari 18 tahun. Jenis priapisme yang ditemukan adalah low flow (iskemik) dan

high flow (non-iskemik). Terdapat 14 pasien (93.3%) dengan priapisme low flow dan 1 pasien

(7.1%) dengan priapisme high flow. Penyebab dari priapisme yang ditemukan pada subjek

penelitian adalah chronic myeloid leukemia pada 13 pasien (86.6%), idiopatik pada 1 pasien

(6.7%), dan intoksikasi alkohol pada 1 pasien (6.7%).

Jenis Priapisme
High flow
7%

High flow
Low flow

Low flow
93%

Gambar 4. 1. Jenis priapisme pada penelitian


Penyebab Priapisme

7%
7%

Chronic Myeloid Leukemia


Idiopatik
Intoksikasi alkohol

86%

Gambar 4. 2. Penyebab priapisme pada penelitian

Kasus-kasus priapisme tersebut pertama ditangani dengan pemberian surgical shunt

pada bagian distal dengan shunt corporoglanular (Winter) pada 14 pasien (93.3%). Satu pasien

(6.7%) dengan priapisme iskemik ditangani secara konservatif. Terdapat 11 pasien (73.3%)

dengan priapisme iskemik yang menerima penanganan tambahan. Satu pasien (6.7%) oleh

karena leukopheresis, 2 pasien (13.4%) oleh karena stuttering priapism, dan 1 pasien (6.7%)

dengan priapisme non-iskemik. Durasi ereksi bervariasi antara 24 – 120 jam (median durasi 72

jam) dengan satu pasien tidak memiliki riwayat priapisme rekuren dalam 24 bulan terakhir.
Tabel 4. 1. Penanganan yang diberikan pada priapisme dan tingkat keberhasilan

Durasi
Usia Tipe EHS sebelum EHS sesudah
priapisme Intervensi
(tahun) priapisme tindakan tindakan
(jam)

20 96 Winter Shunt Low 4 2

24 72 Winter Shunt Low 4 2

53 48 Winter Shunt Low 4 2

16 72 Winter Shunt Low 4 2

37 48 Conservative High 4 2

56 96 Winter Shunt Low 4 2

22 120 Winter Shunt Low 4 2

58 48 Winter Shunt Low 4 2

37 72 Winter Shunt Low 4 2

31 72 Winter Shunt Low 4 2

39 48 Winter Shunt Low 4 2

24 96 Winter Shunt Low 4 2

27 24 Winter Shunt Low 4 2

49 48 Winter Shunt Low 4 2

51 96 Winter Shunt Low 4 2


4.2. Diskusi

Priapisme merupakan kondisi darurat pada bedah urologi, di mana tatalaksana secepat

mungkin merupakan faktor penentu utama dalam pencegahan terjadinya disfungsi ereksi.

Priapisme merupakan penyakit yang langka, dengan tingkat insidensi 1.5 kasus per 100,000

orang per tahun. Sekitar 20% dari seluruh priapisme terjadi oleh karena riwayat medis kelainan

hematologis pada pria. Priapisme yang disebabkan oleh metastasis ke penis tergolong langka.

Pada suatu penelitian, terdapat 7 dari 9 pasien dengan priapisme memiliki riwayat penyakit

sebelumnya; 3 pasien memiliki riwayat chronic myeloid leukemia, 2 pasien memiliki riwayat

tumor ganas, 1 pasien memiliki riwayat infeksi sebelumnya, dan 1 pasien memiliki

skizofrenia.8

Diagnosis priapisme ditetapkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Ereksi yang

dimulai tanpa atau dengan stimulasi seksual sebelumnya yang bertahan lebih dari 4 jam

(umumnya disertai rasa nyeri) merupakan kriteria diagnosis untuk priapisme. Klasifikasi

priapisme terbagi menjadi dua, yaitu priapisme non-iskemik dan priapisme iskemik. Pada

priapisme iskemik, umumnya ditemukan riwayat trauma tumpul atau tajam pada bagian

perineum atau genital yang mungkin telah terjadi beberapa minggu sebelum munculnya gejala.

Rasa tidak nyaman namun tidak nyeri pada penis ditemukan pada pasien-pasien dengan

priapisme non-iskemik. Kasus priapisme non-iskemik bukan merupakan kondisi gawat darurat

sedangkan priapisme iskemik merupakan kondisi gawat darurat. Pemeriksaan penunjang

lainnya untuk priapisme adalah penggunaan ultrasonografi Doppler untuk memeriksa aliran

darah pada arteri kavernosum dan korpus kavernosum. Pemeriksaan Doppler dapat digunakan

untuk membedakan antara priapisme iskemik dan non-iskemik. Analisis gas darah dari penis

juga dapat dilakukan untuk membedakan kedua jenis priapisme tersebut. Tekanan parsial

oksigen yang rendah dan asidosis pada analisis gas darah merupakan kriteria diagnosis untuk
priapisme iskemik sedangkan tekanan parsial oksigen serta pH yang normal pada analisis gas

darah merupakan kriteria diagnosis untuk priapisme non-iskemik.9

Sickle-cell disease (SCD) merupakan salah satu faktor risiko yang penting dalam

terjadinya priapisme. Prevalensi priapisme pada pria dengan SCD adalah 35 – 40%, di mana

tingkat kejadian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang sehat pada usia yang

sama. Usia terjadinya priapisme pada kasus-kasus tersebut adalah 15 – 20 tahun, biasanya

terjadi pada waktu malam hari. Beberapa seri laporan kasus menemukan prevalensi 1 – 5%

untuk priapisme pada pasien dengan seluruh jenis leukemia. Chronic myeloid leukemia (CML)

merupakan salah satu jenis leukemia yang paling sering ditemukan pada pasien-pasien dengan

priapisme, yaitu mencakup 50% dari seluruh pasien-pasien dengan leukemia. Puncak kejadian

untuk pasien-pasien dengan leukemia untuk mengalami priapisme terjadi pada usia 5 – 10

tahun dan 20 – 50 tahun.3 Hasil penelitian kami sesuai dengan penelitian-penelitian

sebelumnya. Pada penelitian kami, pasien priapisme memiliki jarak usia 16 – 58 tahun dengan

etiologi yang paling sering ditemukan berupa riwayat CML. Rekomendasi dari American

Urological Association (AUA) adalah penanganan kondisi sistemik yang telah ada sebelumnya

perlu digabungkan dengan tatalaksana priapisme.9 Tatalaksana intra-kavernosa diperlukan dan

diberikan bersamaan oleh karena priapisme iskemik merupakan salah satu jenis sindrom

kompartemen di penis. Terapi sistemik yang umumnya digunakan untuk pasien-pasien CML

adalah terapi sitoreduktif, seperti hidroksikarbamid dan tyrosine kinase inhibitor (TKI) dosis

tinggi yang disertai atau tanpa leukaferesis untuk mengurangi kekentalan darah

(hiperviskositas).10

Priapisme iskemik merupakan kondisi urologi gawat darurat, di mana penundaan

tatalaksana mengakibatkan peningkatan risiko untuk hasil yang buruk, seperti terjadinya

disfungsi ereksi. Penelitian oleh Zheng dkk. menemukan bahwa fungsi seksual jangka panjang
yang dinilai dengan Index of Erectile Function Questionnaire (IIEF-5) mungkin dapat

mengalami gangguan apabila durasi priapisme melebihi 72 jam.11 Penundaan pada tatalaksana

dapat mengakibatkan kerusakan penis dan akhirnya menyebabkan fibrosis kavernosum yang

dapat menjadi penyebab disfungsi ereksi.10 Pada penelitian kami, durasi ereksi bervariasi

antara 24 – 120 jam (durasi median 72 jam) dengan penurunan EHS dari 4 poin sebelum

tindakan menjadi 2 poin setelah 6 bulan pasca-tindakan. Hasil pasca-tindakan tersebut

merupakan salah satu keberhasilan oleh karena detumescence dari penis yang ditangani secepat

mungkin.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, periode pemantauan untuk

fungsi seksual tidak dilakukan. Kedua, ukuran sampel yang mungkin terlalu kecil untuk

dijadikan sampel representatif terhadap priapisme di Jawa Barat. Ketiga, terdapat kemungkinan

terjadinya recall bias pada pasien-pasien yang menerima penanganan di Rumah Sakit Hasan

Sadikin mengenai penundaan waktu dalam tatalaksana priapisme.


BAB V

KESIMPULAN

Sebagian besar dari kasus-kasus priapisme di Rumah Sakit Hasan Sadikin merupakan

priapisme iskemik. Penyebab yang paling sering ditemukan pada priapisme iskemik di

penelitian ini adalah CML. yang menandakan keberhasilan penanganan baik dengan shunt

maupun secara konservatif. Durasi ereksi berjarak 24 – 120 jam dengan median durasi ereksi

72 jam. Satu pasien memiliki riwayat priapisme rekuren pada 24 bulan terakhir. Hampir semua

pasien ditangani dengan corporoglanular shunt (Winter shunt) dan semua pasien memiliki

penurunan skor EHS pasca-tindakan setelah 6 bulan kemudian yang menandakan keberhasilan

tatalaksana.
DAFTAR PUSTAKA

1. Song PH, Moon KH. Priapism: Current Updates in Clinical Management. Korean

Journal of Urology. 2013;54(12):816-23.

2. Broderick GA, Kadioglu A, Bivalacqua TJ, Ghanem H, Nehra A, Shamloul R.

Priapism: Pathogenesis, Epidemiology, and Management. The Journal of Sexual

Medicine.7(1):476-500.

3. Wein AJ, Kavoussi LR, Partin AW, Peters CA. Campbell-Walsh Urology. 11 ed:

Elsevier Health Sciences; 2015.

4. A S Muhammad, N P Agwu, A Abdulwahab-Ahmed, et al. Pattern and

Management of Priapism in a Tertiary Hospital of North- Western Nigeria. East &

Central African Journal of Surgery 2017; Vol. 22 (1): 66-71.

5. Helen R. Levey, Robert L. Segal and Trinity J. Bivalacqua. Management of

priapism: an update for clinicians. SAGE Journal Ther Adv Urol 2014, Vol. 6(6):

230–244.

6. Muneer A. Comparison of EAU and UK guideline on priapism. Journal of Clinical

Urology 2018, Vol. 11(2) 127– 131.

7. Chung-Chin Chen, Chii-Jye Wang, Chi-Wen Chen, et al. Management of Low-

Flow Priapism Using The Winter Procedure : A Case Report. J Med Sci

2003;19:88–92.

8. Zheng D-C, Yao H-J, Zhang K, Xu M-X, Chen Q, Chen Y-B, dkk. Unsatisfactory

outcomes of prolonged ischemic priapism without early surgical shunts: our clinical
experience and a review of the literature. Asian Journal of Andrology.

2013;15(1):75-8.

9. Muneer A, Alnajjar HM, Ralph D. Recent advances in the management of priapism.

F1000Research. 2018;7:37.

10. Dupervil B, Grosse S, Burnett A, Parker C. Emergency Department Visits and

Inpatient Admissions Associated with Priapism among Males with Sickle Cell

Disease in the United States, 2006–2010. PLoS ONE. 2016;11(4):e0153257.

Anda mungkin juga menyukai