Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM

ANATOMI FISIOLOGI MANUSIA


“SISTEM REPRODUKSI LAKI-LAKI”

Disusun oleh kelompok 1:

Adisty Revi Herlina (4401419003)


Nida’ul Khasanah (4401419004)
Diah Kusumawati (4401419015)
Navika Cahyaning Elfiardi (4401419019)

Pendidikan Biologi A 2019

PROGAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

SEMARANG

2021
SISTEM REPRODUKSI LAKI-LAKI

A. Tujuan
a. Memahami struktur dan fungsi organ pada sistem reproduksi laki-laki
b. Memahami mekanisme ereksi dan ejakulasi
c. Mengetahui berbagai macam jenis kelainan pada sistem reproduksi laki-laki
B. Landasan Teori
Organ reproduksi laki-laki disebut testis (jamak = testes) yang berfungsi untuk
menghasilkan sperma. Testes ini memiliki sejumlah saluran yang berperan dalam
menyimpan dan mengangkut sperma ke luar. Beberapa buah kelenjar yang berfungsi
untuk mengekresikan cairan-cairan sperma dan beberapa buah struktur penunjang
seperti penis.Struktur sistem reproduksi laki-laki terdiri dari :
a. Penis terdiri dari bagian akar, badan, dan glans penis. Lubang uretra (saluran
tempat keluarnya semen dan air kemih) terdapat di ujung glans penis. Pada pria
yang tidak disunat (sirkumsisi), kulit depan (preputium) membentang mulai dari
korona menutupi glans penis.
b. Skrotum, merupakan kantung berkulit tipis yang mengelilingi dan melindungi
testis. Bertindak sebagai sistem pengontrol suhu untuk testis, karena agar sperma
terbentuk secara normal, testis harus memiliki suhu yang sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan suhu tubuh. Otot kremaster pada dinding skrotum akan
mengendur atau mengencang sehinga testis menggantung lebih jauh dari tubuh
(dan suhunya menjadi lebih dingin) atau lebih dekat ke tubuh (dan suhunya
menjadi lebih hangat).
c. Testis, terletak di dalam skrotum, menghasilkan Follicle Stimulating Hormone
(FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) juga hormon testosterone. Berfungsi
membentuk spermatozoa (di Tubulus seminiferous) dan menghasilkan hormon
testosteron (dilakukan oleh sel interstial /sel leydig).
d. Vas deferens, merupakan saluran yang membawa sperma dari epididimis. Saluran
ini berjalan ke bagian belakang prostat lalu masuk ke dalam uretra dan membentuk
duktus ejakulatorius.
e. Uretra, berfungsi sebagai bagian dari sistem kemih yang mengalirkan air kemih
dari kandung kemih dan bagian dari sistem reproduksi yang mengalirkan semen.
f. Kelenjar Prostat, terletak di bawah kandung kemih di dalam pinggul dan
mengelilingi bagian tengah dari uretra. Mengeluarkan sekret cairan yang
bercampur sekret dari testis, perbesaran prostate akan membendung uretra dan
menyebabkan retensi urin. Fungsi Prostat: Menambah cairan alkalis pada cairan
seminalis yang berguna untuk menlindungi spermatozoa terhadap sifat asam yang
terapat pada uretra dan vagina.
g. Vesikula seminalis, menghasilkan cairan yang merupakan sumber makanan bagi
sperma. Cairan lainnya yang membentuk semen berasal dari vas deferens dan dari
kelenjar lendir di dalam kepala penis. Fungsi Vesika seminalis adalah mensekresi
cairan basa yang mengandung nutrisi yang membentuk sebagian besar cairan
semen.
h. Epididimis, merupakan saluran halus yang panjangnya ± 6 cm terletak sepanjang
atas tepi dan belakang dari testis. Epididimis berfungsi sebagai saluran penhantar
testis, mengatur sperma sebelum di ejakulasi, dan memproduksi semen.
i. Duktus Deferens, merupakan kelanjutan dari epididimis ke kanalis inguinalis,
kemudian duktus ini berjalan masuk ke dalam rongga perut terus ke kandung
kemih, di belakang kandung kemih akhirnya bergabung dengan saluran vesika
seminalis dan selanjutnya membentuk ejakulatorius dan bermuara di prostat
(Kusmiyati, 2020).

Fungsi seksual yang normal merupakan suatu proses biopsikososial yang


berkaitan langsung dengan kualitas hidup. Adanya gangguan pada salah satu
komponen dapat menjadi malapetaka bagi kehidupan seksual. Disfungsi ereksi dapat
dedefinisikan sebagai suatu ketidakmampuan untuk ereksi atau mempertahankan
ereksi yang cukup untuk melakukan hubungan seksual yang memuaskan, yang
menetap atau berulang paling tidak selama tiga bulan berturut-turut. Gangguan
psikogenik khususnya sindroma depresi, ankietas, dan distres relasional berperan
penting dalam hal terjadinya disfungsi ereksi. Disamping itu usia lanjut, rendahnya
kadar testoteron, penyakit fisik, dan beberapa jenis obat perlu diperhitungkan.Setelah
mendapat rangsangan yang cukup melalui berbagai mekanisme maka penis akan
mengalami ereksi melalui berbagai tahapan sehingga dapat dipergu-nakan untuk
penetrasi vagina dalam suatu hubungan seksual yang normal. Salah satu penyebab
disfungsi ereksi dari faktor psikis adalah sindrom depresi. Sindrom depresi adalah
salah satu kum-pulan gejala psikiatrik yang ditandai oleh penurunan efek, psikomotor,
proses pikir dan gejala-gejala somatik yang menonjol antara lain disfungsi ereksi.
Penyebab sin-drom depresi dapat bersifat biopsikoso-sial.Penyebab yang bersumber
dari faktor organik dapat dikelompokkan menjadi fak-tor hormon misalnya kadar
hormon prolak-tin yang meningkat dan kadar hormon tiro-id yang rendah, faktor saraf
misalnya gang-guan pada faktor saraf parasimpatetik dan bagian otak yang
mengontrol sekresi, faktor pembuluh darah arteri misalnya trauma pada pembuluh
darah arteri, dan faktor pembuluh darah vena misalnya kerusakan dinding pembuluh
darah vena. Faktor organik lainnya yaitu obat psikotropik, anti-depresan, anti-
hipertensi, hormon antikolinergik, dan zat-zat psikoaktif lainnya se-perti alkohol,
amfetamin, nikotin dan kanabis.Pengobatan terhadap disfungsi ereksi dapat dilakukan
melalui 3 tahap, yaitu: 1) Pengobatan lini pertama yaitu sex therapy dan obat-obat
erektogenik oral, termasuk di sini adalah yohimbine, apomorfin, Trazo-done, I-
arginine dan Sildenafil sitrat; 2) Pengobatan lini kedua yaitu penggunaan pompa
vakum dan injeksi bahan vasoaktif intraurethral papaverin, pentolamin, prota-glandin
E1, vasoactive intestinal polipep-tide (VIP) dan nitroprusside; dan 3) peng-obatan lini
ketiga yaitu pemasangan pro-tesis pada korpus kavernosum penis, dan vaso
vesektomi(Hatugalung,2009).Mekanisme ereksi terdiri dari beberapa fase:
a. Fase flaksid. Pada keadaan lemas, yang dominan adalah pengaruh sistem saraf
simpatik. Otot polos arteriol ujung dan otot polos kavernosum berkontraksi, arus
darah ke korpus kavernosum minimal dan hanya untuk keperluan nutrisi saja.
b. Fase pengisian laten. Setelah terjadi rangsangan seks, sistem saraf parasimpatik
mendominan, dan terjadi peningkatan aliran darah melalui arteri pudendus interna dan
arteri kavernosa tanpa ada perubahan tekanan arteri sistemik. Tahanan perifer
menurun oleh berdilatasinya arteri helisin dan arteri kavernosa. Penis memanjang,
tetapi tekanan intrakavernosa tidak berubah.
c. Fase tumescens (mengembang). Pada orang dewasa muda yang normal, peningkatan
yang sangat cepat arus masuk (influks) dari fase flaksid dapat mencapai 25-60 kali.
Tekanan intrakavernosa meningkat sangat cepat. Karena relaksasi otot polos
trabekula, daya tampung caverne meningkat sangat nyata menyebabkan
pengembangan dan ereksi penis. Pada akhir fase ini, arus arteria berkurang.
d. Fase ereksi penuh. Trabekula yang melemas akan mengembang dan bersamaan
dengan meningkatnya jumlah darah akan menyebabkan tertekannya pleksus venula
sub tunika ke arah tunika albuginea sehingga menimbulkan venoklusi. Akibatnya
tekanan intrakavernosa meningkat sampai sekitar 10-20 mmHg di bawah tekanan
sistol.
e. Fase ereksi kaku (rigid erection). Tekanan intrakavernosa meningkat melebihi
tekanan sistolik sebagai akibat kontraksi volunter ataupun karena refleks otot
iskiokavernosus dan otot bulbocavernosus menyebabkan ereksi yang kaku. Hal
demikian menyebabkan ereksi yang kaku. Pada fase ini tidak ada aliran darah melalui
arteri kavernosus.
f. Fase transisi. Terjadi peningkatan kegiatan sistem saraf simpatik , yang
mengakibatkan meningkatnya tonus otot polos pembuluh helisin dan kontraksi otot
polos trabekula. Arus darah arteri kembali menurun dan mekanisme venoklusi masih
tetap diaktifkan.
g. Fase awal detumescence. Terjadi sedikit penurunan tekanan intra kavernosa yang
menunjukkan pembukaan kembali saluran arus vena dan penurunan arus darah arteri.
h. Fase detumescence cepat. Tekanan intrakavernosa menurun dengan cepat, mekanisme
venoklusi diinaktifkan, arus darah arteri menurun kembali seperti sebelum
perangsangan, dan penis kembali ke keadaan flaksid.
Pada fase ejakulasi akan terjadi pengeluaran cairan semen yang mengandung
sperma. Cairan semen akan dikeluarkan secara ritmik. Kontraksi ritmik terjadi akibat
penis memiliki bagian otot yang bernama bulbospongiosus. Selama fase ejakulasi, otot
pada kandung kemih akan berkerut sehingga air mani tidak akan masuk ke kandung
kemih. Ejakulasi melibatkan beberapa neurotransmiter baik pada perifer maupun di SSP.
Neurotransmiter utama adalah serotonergik dan dopaminergik, sedangkan asetilkolin,
adrenalin, neuropeptida, oksitosin, GABA dan nitrit oksida berperan secara sekunder
(Wolter danHellstrom, 2006). Kadar dopamin di daerah preoptik hipothalamus secara
progresif meningkat saat terjadi perangsangan seksual dan hubungan seksual. Pada saat
ejakulasi banyak penelitian mengenai peranan serotonin. Serotonin dapat berperan secara
sentral maupun perifir. Di sentral serotonin berperan untuk menghambat ejakulasi (Hull
dkk., 1999; McMahon dkk., 2004).Proses ejakulasi sebagai berikut:
a. Ketika timbul ejakulasi, saraf simpatis menyebabkan konstriksi arteriol, sehingga
aliran darah yang ke kavernosa mengecil
b. Darah dari sinusoid korpus kavernosa mengalir ke vena, penis menjadi lunak
c. Impuls simpatis menyebabkan kontraksi peristaltik di duktus testis, epididimis, dan
duktus deferen menyebabkan sperma mengalir di sepanjang saluran
d. Impuls parasimpatis menyebabkan otot bulbocavernosus berkontraksi secara
berirama, menyebabkan cairan semen keluar

C. Langkah - Langkah
1. Bagaimana mekanisme disfungsi ereksi karena depresi jika dikaitkan dengan
sistem saraf?
2. Buatlah semacam pamflet yang mensosialisasikan pentingnya untuk melakukan
sirkumsisi pada laki - laki (secara kesehatan)!

D. Pembahasan
Soal Nomor 1
Disfungsi ereksi karena depresi jika dikaitkan dengan sistem saraf
Sebagaimana diketahui bahwa fungsi seksual yang normal merupakan suatu
proses biopsikososial. Dengan demikian, disfungsi ereksi hampir selalu memiliki
komponen organik dan psikologi, sehingga gangguan ini membutuhkan evaluasi dan
pengobatan yang multidisiplin. Faktor-faktor seperti usia lanjut, menurunnya kadar
testosteron, penyakit fisik, penggunaan obat-obat tertentu da komorbiditas dengan
sindrom depresi dapat mengkontribusi terjadinya disfungsi ereksi dan sindrom depresi
cukup tinggi. Sejak lama telah diketahui bahwa terdapat hubungan antara depresi dan
perubahan aktivitas seksual. Berkurangnya libido dan kepuasan dalam hubungan
seksual dapat merupakan tanda awal dari sindrom depresi.
Disfungsi ereksi yang disebabkan oleh gangguan psikologis seperti kecemasan,
depresi, konfilk dalam hubungan, stress di tempat kerja, stress di rumah dan
kekhawatiran terhadap performa seksual yang buruk dinamakan sebagai disfungsi
ereksi psikogenik (DE Psikogenik).
Mekanisme disfungsi ereksi karena depresi jika dikaitkan dengan sistem saraf
Perilaku seksual dan ereksi penis dikendalikan oleh hipotalamus, sistem limbik,
dan korteks serebral. Oleh karena itu, pesan stimulasi atau penghambatan dapat
diteruskan ke pusat ereksi tulang belakang untuk memfasilitasi atau menghambat
ereksi. Dua mekanisme yang mungkin untuk menjelaskan penghambatan ereksi pada
disfungsi psikogenik: penghambatan langsung pusat ereksi tulang belakang oleh otak
sebagai berlebihan dari penghambatan suprasakral normal dan aliran simpatis yang
berlebihan atau peningkatan kadar katekolamin perifer, yang dapat meningkatkan otot
polos penis untuk mencegah relaksasi yang diperlukan untuk ereksi.
Ketika seseorang mengalami depresi, maka hal ini akan memberi rangsangan ke
sistem limbik otak. Depresi akan menekan fungsi reproduksi melalui hambatan jalur
Hipotalamus-Hipofisa-Gonad melalui penghambatan dari pelepasan hormon GnRH.
Hal ini kemudian akan mengeluarkan hormon kortisol. Hormon kortisol akan
menyempitkan pembuluh darah pada penis sehingga darah tidak dapat mengalir
dengan baik ke penis. Dimana hal ini akan mengakibatkan penis akan mengalami
kesulitan mencapai ereksi. Kemudian jika depresi akhirnya menjadi depresi kronis,
hal ini akan menyebabkan kadar kortisol menjadi sangat tinggi hingga akhirnya dapat
menurunkan kadar testosteron. Akibat dari penurunan produksi testosteron adalah
terhambatnya aktivitas dari nitric oxide synthesis (NOS). Kemudian menyebabkan
nitric oxide (NO) tidak diproduksi. Sehingga cGMP tidak diproduksi yang kemudian
otot polos tidak relaksasi.
Testosteron sendiri menstimulasi libido atau mendorong seksual pada laki-laki.
Dalam kisaran kadar testosteron serum yang fisiologis, dorongan seksual dalam
kondisi normal (normal 300-1100mg/dL). Hampir sepertiga laki-laki diatas 50 tahun
mengalami hipogonafisme yang ditandai dengan kadar testosteron subfisiologis.
Biasanya pasien mengeuh kehilangan energi, kehilangan kekuatan otot, depresi dan
libido menurun. Bila libido menurun, pasien mungkin susah ereksi.
Impuls aferen dari emosi yang menuju pusat di korteks serebri akan melalui dan
berkomunikasi dengan hipotalamus. Dengan demikian emosi maupun impuls dari
sistem limbik yang berhubungan dengan kehendak seksual dan tingkah laku juga
berhubungan dengan hipotalamus yang akan mengkoordinasi sistem saraf otonom
yang terlibat. Hipotalamus akan bereaksi dengan jalur-jalur otonom yang mengatur
pusat kardiovaskuler dan memproyeksikan impuls ke neuron praganglionik dari saraf
kranial dan corda spinalis. Ekspresinya bisa bersifat simpatik maupun parasimpatik
tergantung bagian mana dari hipotalamus yang bereaksi.
Jalur Otonom
Berasal dari jalur simpatik dari thoraks dan lumbar segmen tulang belakang dan
melewati rami putih untuk rantai ganglia simpatik. Beberapa serat kemudian melalui
saraf splanknikus lumbal ke pleksus mesenterika inferior dan pleksus hipogastrik
superior, dari mana serat berjalan di saraf hipogastrik ke pleksus panggul. Pada
manusia, segmen T10 hingga T12 = merupakan asal dari serabut simpatis, dan rantai
sel ganglia yang menjorok ke penis terletak di ganglia sakralis dan kaudal.
Jalur parasimpatis muncul dari neuron di kolom sel intermediolateral dari segmen
sumsum tulang belakang kedua, ketiga, dan keempat. Serabut preganglionik melewati
saraf panggul ke pleksus panggul, di mana mereka bergabung dengan saraf simpatis
dari pleksus hipogastrik superior. Saraf kavernosa adalah cabang dari pleksus panggul
yang menginervasi penis. Cabang lain dari pleksus panggul menginervasi rektum,
kandung kemih, prostat, dan sfingter. Saraf kavernosa mudah rusak selama eksisi
radikal rektum, kandung kemih, dan prostat. Pemahaman yang jelas tentang
perjalanan saraf ini sangat penting untuk pencegahan DE iatrogenik. Diseksi kadaver
manusia menunjukkan cabang medial dan lateral saraf kavernosa (yang pertama
menyertai uretra dan yang terakhir menembus diafragma urogenital 4 sampai 7 mm
lateral sfingter) dan beberapa komunikasi antara saraf kavernosa dan dorsal.
Stimulasi pleksus panggul dan saraf kavernosa menyebabkan ereksi, sedangkan
stimulasi batang simpatis menyebabkan penurunan. Ini jelas menyiratkan bahwa input
parasimpatis bertanggung jawab untuk tumor dan jalur simpatis torakolumbal
bertanggung jawab untuk penurunan. Dalam percobaan dengan kucing dan tikus,
pengangkatan sumsum tulang belakang di bawah L4 atau L5 dilaporkan
menghilangkan respons refleks ereksi tetapi penempatan dengan betina dalam panas
atau stimulasi listrik di area preoptik medial menghasilkan ereksi yang nyata. 9 , 10.
Paick dan Lee juga melaporkan bahwa ereksi yang diinduksi apomorphine mirip
dengan ereksi psikogenik pada tikus dan dapat diinduksi melalui jalur simpatis
thoracolumbar jika terjadi cedera pada pusat parasimpatis. Pada manusia, banyak
pasien dengan cedera sumsum tulang belakang mempertahankan kemampuan ereksi
psikogenik meskipun ereksi refleksogenik dihapuskan. Ereksi yang muncul ke otak
ini ditemukan lebih sering pada pasien dengan lesi motoneuron bawah di bawah T12.
Tidak ada ereksi psikogenik yang terjadi pada pasien dengan lesi di atas T9; aliran
simpatis eferen dengan demikian disarankan berada pada level T11 dan T12. Juga
dilaporkan, pada pasien dengan ereksi psikogenik, penis memanjang dan bengkak
diamati tetapi kekakuan tidak mencukupi.
Oleh karena itu, mungkin impuls serebral biasanya berjalan melalui jalur simpatis
(menghambat pelepasan norepinefrin), parasimpatis (melepaskan NO dan asetilkolin),
dan somatik (melepaskan asetilkolin) untuk menghasilkan ereksi kaku yang normal.
Pada pasien dengan lesi medula spinalis sakralis, impuls serebral masih dapat berjalan
melalui jalur simpatis untuk menghambat pelepasan norepinefrin, dan NO dan
asetilkolin masih dapat dilepaskan melalui sinaps dengan neuron somatik dan
parasimpatis postganglionik. Karena jumlah sinapsis antara aliran keluar
torakolumbal dan neuron parasimpatis dan somatik postganglionik lebih sedikit
daripada aliran keluar sacral, ereksi yang dihasilkan tidak akan sekuat itu.
Soal Nomor 2
E. Daftar Pustaka

Dean, R.C., dan Ton F.L. Physiology of Penile Erection and Pathophysiology of
Erectile Dysfunction. Diakses melalui https://rqholw7qbym4harzdtqiiilbri-
achv5f5yelsuduq-www-ncbi-nlm-nih-
gov.translate.goog/pmc/articles/PMC1351051/ pada 20 April 2021.
Hatugalung, Andre M. P., Christoffel E, dan Herdy Munayang. 2009. Pengaruh
Sindroma Depresi terhadap Disfungsi Ereksi. Jurnal Biomedik, 1(2), 96-106.
Hull, E.M., Lorrain, D.S., Du, J., Matuszewich,L., Lumley, LA., Putnam, S.K.,
Moses, J. 1999. Hormone – Neutransmitter Interactions in the Control of
Sexual Behavior.Behav Brain Res; 105: 105-116
Kharisma, Yuktiana. 2017 Tinjauan Umum Penyakit Disfungsi Ereksi. Bandung :
Universitas Islam Bandung.
Kusmiyati, dkk. 2020. Pengenalan Struktur Fungsi Organ Reproduksi sebagai Upaya
Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak. Jurnal Pendidikan dan
Pengabdian Masyarakat, 3(3),182-188.
McMahon, C.G., Abdo, C., Incrocci, L., Perelman,M., Rowland, D., Waldinger, M.,
danXin,Z.C. 2004. Disorders of Orgasme and Ejaculation in Men. Journal of
Sexual Medicine; 1: 58 – 65 (abstrak)
Wolters, J.P., Hellstrom,W.J.G. 2006. Current Concept in Ejaculatory Dysfunction.
Rev Urol; 8 (suppl 4): S18- S25

Anda mungkin juga menyukai