Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu aspek penting yang ikut menentukan kualitas hidup manusia ialah
kehidupan seksual. Karena itu aktivitas seksual menjadi salah satu bagian dalam
penilaian kualitas hidup manusia. Kehidupan seksual yang menyenangkan
memberikan pengaruh positif bagi kualitas hidup. Sebaliknya, kalau kehidupan
seksual tidak menyenangkan, maka kualitas hidup terganggu.

Dalam perkawinan, fungsi seksual mempunyai beberapa peran, yaitu sebagai


sarana untuk reproduksi (memperoleh keturunan), sebagai saranan untuk
memperoleh kesenangan atau rekreasi, serta merupakan ekspresi rasa cinta dan
sebagai saranan komunikasi yang penting bagi pasangan suami-istri. Fungsi
seksual merupakan bagian yang turut menentukan warna, kelekatan dan
kekompakan pasangan suami-istri.

Suatu penelitian di Amerika. Pada wanita, dilaporkan 33% mengalami


penurunan hasrat seksual, 19% kesulitan dalam lubrikasi, dan 24% tidak dapat
mencapai orgasme. Statistik pada pria juga bermakna. Kesulitan yang umum
dilaporkan pada pria meliputi ejakulasi dini (29%), kecemasan terhadap
kemampuan seksual (17%), dan rendahnya hasrat seksual (16%). Selain itu 10%
dari pria yang disurvei melaporkan kesulitan ereksi bermakna, angka prevalensi
menurut usia-lebih dari 20% pria berusia di atas 50 tahun melaporkan masalah
ereksi.

Disfungsi ereksi atau kesulitan ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap


atau terus menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang
berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan.

Selain disfungsi ereksi, makalah ini juga membahas tentang anatomi penis,
fisiologi ereksi, diabetes, dan metformin.

B. Rumusan Masalah

1
1. Bagaimana konsep medis penyakit disfungsi ereksi/impotensi?
2. Bagaimana konsep dasar keperawatan penyakit disfungsi
ereksi/impotensi?

C. Tujuan
1. Memahami konsep medis penyakit disfungsi ereksi/impotensi.
2. Memahami konsep dasar keperawatan penyakit disfungsi
ereksi/impotensi.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Anatomi penis
Sistem reproduksi pria terdiri atas testis, saluran kelamin, kelenjar
tambahan, dan penis. Penis seperti kepala cendawan tetapi bagian ujungnya agak
meruncing ke depan. Penis adalah organ seks utama yang letaknya di antara
kedua pangkal paha. Penis mulai dari arcus pubis menonjol ke depan berbentuk
bulat panjang (lihat gambar 1).

Panjang penis orang Indonesia dalam keadaan flaksid dengan mengukur dari
pangkal dan ditarik sampai ujung adalah sekitar 9 sampai 12 cm. Sebagian ada
yang lebih pendek dan sebagian lagi ada yang lebih panjang. Pada saat ereksi
yang penuh, penis akan memanjang dan membesar sehingga menjadi sekitar 10
cm sampai 14 cm. Pada orang barat (caucasian) atau orang Timur Tengah lebih
panjang dan lebih besar yakni sekitar 12,2 cm sampai 15,4 cm.

Bagian utama daripada penis adalah bagian erektil atau bagian yang dapat
mengecil atau flaksid dan bisa membesar sampai keras. Bila dilihat dari
penampang horizontal, penis terdiri dari 3 rongga yakni 2 batang korpus
kavernosa di kiri dan kanan atas, sedangkan di tengah bawah disebut korpus
spongiosa. Kedua korpus kavernosa ini diliputi oleh jaringan ikat yang disebut
tunica albuginea, satu lapisan jaringan kolagen yang padat dan di luarnya ada
jaringan yang kurang padat yang disebut fascia buck.

Korpus kavernosa terdiri dari gelembung-gelembung yang disebut sinusoid.


Dinding dalam atau endothel sangat berperan untuk bereaksi kimiawi untuk
menghasilkan ereksi. Ini diperdarahi oleh arteriol yang disebut arteria helicina.
Seluruh sinusoid diliputi otot polos yang disebut trabekel.

Selanjutnya sinusoid berhubungan dengan venula (sistem pembuluh balik)


yang mengumpulkan darah menjadi suatu pleksus vena lalu akhirnya

3
mengalirkan darah kembali melalui vena dorsalis profunda dan kembali ke
tubuh.

Penis dipersyarafi oleh 2 jenis syaraf yakni syaraf otonom (para simpatis
dan simpatis) dan syaraf somatik (motoris dan sensoris). Syaraf-syaraf simpatis
dan parasimpatis berasal dari hipotalamus menuju ke penis melalui medulla
spinalis (sumsum tulang belakang). Khusus syaraf otonom parasimpatis ke luar
dari medulla spinalis (sumsum tulang belakang) pada kolumna vertebralis di S2-
4. Sebaliknya syaraf simpatis ke luar dari kolumna vertebralis melalui segmen
Th 11 sampai L2 dan akhirnya parasimpatis dan simpatis menyatu menjadi
nervus kavernosa. Syaraf ini memasuki penis pada pangkalnya dan
mempersyarafi otot - otot polos.

Syaraf somatis terutama yang bersifat sensoris yakni yang membawa impuls
(rangsang) dari penis misalnya bila mendapatkan stimulasi yaitu rabaan pada
badan penis dan kepala penis (glans), membentuk nervus dorsalis penis yang
menyatu dengan syaraf- syaraf lain yang membentuk nervus pudendus.

Syaraf ini juga berlanjut ke kolumna vertebralis (sumsum tulang belakang)


melalui kolumna vertebralis S2-4. Stimulasi dari penis atau dari otak secara
sendiri atau bersama-sama melalui syaraf-syaraf di atas akan menghasilkan
ereksi penis.

Pendarahan untuk penis berasal dari arteri pudenda interna lalu menjadi
arteri penis kommunis yang bercabang 3 yakni 2 cabang ke masing-masing
yakni ke korpus kavernosa kiri dan kanan yang kemudian menjadi arteria
kavernosa atau arteria penis profundus yang ketiga ialah arteria bulbourethralis
untuk korpus spongiosum. Arteria memasuki korpus kavernosa lalu bercabang-
cabang menjadi arteriol-arteriol helicina yang bentuknya berkelok-kelok pada
saat penis lembek atau tidak ereksi. Pada keadaan ereksi, arteriol-arteriol
helicina mengalami relaksasi atau pelebaran pembuluh darah sehingga aliran

4
darah bertambah besar dan cepat kemudian berkumpul di dalam rongga-rongga
lakunar atau sinusoid. Rongga sinusoid membesar sehingga terjadilah ereksi.

Sebaliknya darah yang mengalir dari sinusoid ke luar melalui satu pleksus
yang terletak di bawah tunica albugenia. Bila sinusoid dan trabekel tadi
mengembang karena berkumpulnya darah di seluruh korpus kavernosa, maka
vena-vena di sekitarnya menjadi tertekan. Vena-vena di bawah tunica albuginea
ini bergabung membentuk vena dorsalis profunda lalu ke luar dari korpora
kavernosa pada rongga penis ke sistem vena yang besar dan akhirnya kembali ke
jantung.
Gambar 1. Anatomi Penis

5
2. Fisiologi ereksi
Ereksi adalah keadaan menjadi kaku dan tegak; seperti jaringan erektil
ketika terisi darah.( Dorland, 2002). Pada waktu ereksi, volume penis bertambah
karena terkumpulnya darah dalam korpus kavernosum dan korpus spongiosum.
Pada orang yang berdiri, penis yang ereksi akan membentuk sudut antara 0 0 dan
45 0dari bidang horizontal. Pada keadaan demikian batang penis terasa kaku dan
tekanan intrakavernosum mendekati tekanan rata rata pembuluh darah nadi.
Pada keadaan demikian, volume darah dalam penis meningkat lebih dari delapan
kali dibandingkan saat lemas.

Oleh beberapa peneliti, proses ereksi dan detumesens diringkaskan


menjadi beberapa fase, yaitu:
1. Fase 0, yaitu fase flaksid. Pada keadaan lemas, yang dominan adalah
pengaruh sistem saraf simpatik. Otot polos arteriola ujung dan otot polos
kavernosum berkontraksi. Arus darah ke korpus kavernosum minimal dan
hanya untuk keperluan nutrisi saja. Kegiatan listrik otot polos kaverne
dapat dicatat, menunjukkan bahwa otot polos tersebut berkontraksi. Arus
darah vena terjadi secara bebas dari vena subtunika ke vena emisaria.
2. Fase 1, merupakan fase pengisian laten. Setelah terjadi perangsangan seks,
sistem saraf parasimpatik mendominan, dan terjadi peningkatan aliran
darah melalui arteria pudendus interna dan arteria kavernosa tanpa ada
perubahan tekanan arteria sistemik. Tahanan perifer menurun oleh
berdilatasinya arteri helisin dan arteri kavernosa. Penis memanjang, tetapi
tekanan intrakavernosa tidak berubah.
3. Fase 2, fase tumesens ( mengembang). Pada orang dewasa muda yang
normal, peningkatan yang sangat cepat arus masuk (influks) dari fase
flasid dapat mencapai 25 60 kali. Tekanan intrakavernosa meningkat
sangat cepat. Karena relaksasi otot polos trabekula, daya tampung kaverne
meningkat sangat nyata menyebabkan pengembangan dan ereksi penis.
Pada akhir fase ini, arus arteria berkurang.

6
4. Fase 3 merupakan fase ereksi penuh. Trabekula yang melemas akan
mengembang dan bersamaan dengan meningkatnya jumlah darah akan
menyebabkan tertekannya pleksus venula subtunika ke arah tunika
albuginea sehingga menimbulkan venoklusi. Akibatnya tekanan
intrakaverne meningkat sampai sekitar 10 20 mmHg di bawah tekanan
sistol.
5. Fase 4, atau fase ereksi kaku (rigid erection) atau fase otot skelet. Tekanan
intakaverne meningkat melebih tekanan sistol sebagai akibat kontrasi
volunter ataupun karena refleks otot iskiokavernosus dan otot
bulbokavernosus menyebabkan ereksi yang kaku. Hal demikian
menyebabkan ereksi yang kaku. Pada fase ini tidak ada aliran darah
melalui arteria kavernosus.
6. Fase 5, atau fase transisi. Terjadi peningkatan kegiatan sistem saraf
simpatik, yang mengakibatkan meningkatnya tonus otot polos pembuluh
helisin dan kontraksi otot polos trabekula. Arus darah arteri kembali
menurun dan mekanisme venoklusi masih tetap diaktifkan.
7. Fase 6 yang merupakan fase awal detumesens. Terjadi sedikit penurunan
tekanan intrakaverne yang menunjukkan pembukaan kembali saluran arus
vena dan penurunan arus darah arteri.
8. Fase 7 atau fase detumesens cepat. Tekanan intrakaverne menurun dengan
cepat, mekanisme venoklusi diinaktifkan, arus darah arteri menurun
kembali seperti sebelum perangsangan, dan penis kembali ke keadaan
flaksid.

Pembuluh darah, otot polos intrinsik penis, dan otot rangka di sekitar penis
dikendalikan oleh saraf yang berasal dari tiga sistem saraf perifer yang berbeda,
yaitu sistem saraf simpatik torakolumbal, sistem saraf parasimpatik lumbosakral,
dan sistem saraf somatik lumbosakral. Lihat gambar 4.3
Secara molekular, mekanisme relaksasi otot polos dapat dilihat pada
gambar 4.2 dibawah.

7
Gambar 3. Mekanisme kerja parasimpatik dan simpatik dalam fase ereksi

8
4.3 Disfungsi Ereksi (DE)
4.3.1 Definisi, etiologi, dan faktor risiko disfungsi ereksi
Disfungsi ereksi atau kesulitan ereksi adalah ketidakmampuan yang
menetap atau terus menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis
yang berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan.

Fazio dan Brock (sebagaimana dikutip oleh Wibowo, 2007)


mengklasifikasikan penyebab disfungsi ereksi sebagai berikut:
Faktor penyebab dan contohnya :
1. Ketuaan
2. Gangguan psikologis, misalnya depresi, ansietas
3. Gangguan neurologis, misalnya: penyakit serebral, trauma spinal,
penyakit medulla spinalis neuropati, trauma nervus pudendosus

9
4. Penyakit hormonal (libido menurun), misalnya: hipogonadism,
hiperprolaktinemia, hiper atau hipotiroidisme, sindrom Cushing,
penyakit addison.
5. Penyakit vaskuler, misalnya: aterosklerosis, penyakit jantung iskemik,
penyakit vaskuler perifer, inkompetensi vena, penyakit kavernosus.
6. Obat obatan, misalnya: antihipertensi, antidepresan, esterogen,
antiandrogen, digoksin.
7. Kebiasaan, contohnya: pemakai marijuana, alkohol, narkotik,
merokok.
8. Penyakit penyakit lain, contohnya: diabetes melitus, gagal ginjal,
hiperlipidemi, hipertensi, penyakit paru obstruksi kronis.

Faktor risiko disfungsi ereksi adalah sindrom metabolisme, gejala saluran


kemih bagian bawah akibat BPH (Benign Prostat Hiperplasia), penyakit
kardiovaskular, merokok, kondisi sistem saraf pusat, trauma spinalis, depresi,
stress, gangguan endokrin, dan diabetes. Untuk lebih jelas lihat gambar 4 di
bawah.

Gambar 4. Faktor risiko disfungsi ereksi

10
4.3.2 Kalsifikasi disfungsi ereksi
Menurut Wibowo (2007), pembagian disfungsi ereksi dikelompokkan
menjadi lima kategori penyebab yaitu:
a. Psikogenik
Disfungsi ereksi yang disebabkan faktor psikogenik biasanya episodik,
terjadi secara mendadak yang didahului oleh periode stress berat,
cemas, depresi. Disfungsi ereksi dengan penyebab psikologis dapat
dikenali dengan mencermati tanda klinisnya yaitu: usia muda dengan
awitan mendadak, awitan berkaitan dengan kejadian emosi spesifik,
disfungsi pada keadaan tertentu sementara dalam keadaan lain normal,
ereksi malam hari tetap ada, riwayat terdahulu adanya disfungsi ereksi
yang dapat membaik secara spontan, terdapat stress dalam

11
kehidupannya, status mental terkait kelainan depresi, psikosis, atau
cemas.
b. Organik
Disfungsi ereksi yang disebabkan organik dibagi menjadi dua yaitu:
neurogenik dan vaskuler. Disfungsi ereksi akibat neurogenik ditandai
dengan gambaran klinis seperti riwayat cedera atau operasi sumsum
tulang atau panggul, mengidap penyakit kronis (DM, alkoholisme),
pemeriksaan neurologik abnormal daerah genital/ perineum. Disfungsi
ereksi akibat vaskuler dapat dibagi dua yaitu kelainan pada arteri dan
vena. Kelainan pada arteri memiliki tampilan klinis seperti minat
terhadap seks tetap ada, pada semua kondisi terjadi penurunan fungsi
seks, secara bertahap terjadi disfungsi ereksi sesuai bertambahnya
umur. Kelainan pada memiliki tampilan klinis seperti tidak mampu
mempertahankan ereksi yang sudah terjadi, riwayat priapism, dan
kelainan lokal penis.
c. Hormonal
Disfungsi ereksi yang disebabkan karena hormonal mempunyai
gambaran klinis yaitu hilangnya minat pada aktifitas seksual, testis
atrofi dan mengecil, dan kadar testosteron rendah prolaktin naik.
d. Farmakologis
Hampir semua obat hipertensi dapat menyebabkan disfungsi ereksi
yang bekerja di sentral, misalnya metildopa, klonidin, dan reserpin.
Pengaruh utama kemungkinan melalui depresi sistem saraf pusat.
e. Traumatik paska operasi
Patologi penis atau proses penyakit pada panggul dapat merusak jalur
serabut saraf otonom untuk ereksi penis, reseksi abdominal perineal,
sistektomi radikal, prostatektomi radikal, uretroplasti membranesea,
dll.

Klasifikasi disfungsi ereksi berdasarkan ISIR


(International Society of Impotence Research).

12
4.3.3 Patofisiologi disfungsi ereksi
Disfungsi ereksi dapat disebabkan oleh diabetes melitus. Hal ini
dikarenakan diabetes melitus dapat menyebabkan terjadinya :
1. hipotestosteron yang akan menurunkan libido lalu menyebabkan
terjadinya disfungsi ereksi.
2. pengaktifan poliol pathway dan menurunkan NADPH. Aktifasi
jalur ini menyebabkan terjadinya akumulasi AGE ( Advance
Glycation End Product) yang akan menyebabkan gangguan
relaksasi otot polos dan perubahan fibroelastik, dimana kedua hal
ini akan menurunkan compliance dari kavernosa sehingga terjadi
disfungsi ereksi. Selain itu, Aktifasi jalur ini juga menyebabkan

13
terjadinya akumulasi sorbitol dan fruktosa melalui enzim aldosa
reduktase sehingga terjadi edema neural lalu gangguan pompa Na-
K ATPase lalu gangguan tranduksi sinyal serta neurotransmitter
sehingga terjadi neuropati diabetik sehingga terjadi disfungsi
ereksi. Jalur ini juga menurunkan kofaktor NO sintase ( L-arginin
NO membutuhkan NO sintase) sehingga terjadi penurunan NO,
akibatnya terjadi disfungsi ereksi.

4.3.4 Diagnosa disfungsi ereksi


Anamnese merupakan hal yang penting untuk diagnosa disfungsi ereksi.
Evaluasi apakah pasien memang menderita disfungsi ereksi atau disfungsi seksual
yang lain. Tanyakan riwayat merokok, sakit jantung, stroke. Tanyakan riwayat
penggunaan obat obatan. Berdasarkan indeks dari IIEF ( International Index of
erectile Function- 5), jika indeks 21 maka dikatakan pasien disfungsi ereksi
(lihat lampiran). Selain itu, perhatikan klasifikasi disfungsi ereksi yang telah
dijabarkan di atas.
Pemeriksaan fisik, dapat ditemukan tidak adanya respon terhadap
sentuhan, testis kecil, pembesaran payudara, hilangnya rambut wajah, adanya
pulsasi arteri di kaki, dan penis abnormal.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah complete blood
count, profil lemak ( tinggi LDL arterosklerosis), glukosa darah jika DM,
HbA1C untuk kontrol kadar gula darah, urinalisis jika curiga DM dan kerusakan
ginjal, serum kreatinin jika kerusakan ginjal akibat DM, enzim hati dan fungsi
hati, kadar testosteron, kadar hormon lain seperti LH, prolaktin, kortisol, dan PSA
( Prostat Spesific Antigen).
Pemeriksaan lain yang mungkin dapat dilakukan adalah NTP (Nocturnal
Penile Tumescence), kaversonografi/ kavernosonometri, USG doppler, injeksi
intrakavernosa dengan obat- obatan vasoaktif, Rigiscan, Visual Sex Stimulation,
dan pemeriksaan psikososial.

4.3.5 Pengobatan disfungsi ereksi


Dalam terapi disfungsi ereksi, yang menjadi sasaran terapi (bagian yang
akan diterapi) adalah ereksi penis. Berdasarkan sasaran yang diterapi, maka tujuan

14
terapi adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas ereksi penis yang nyaman saat
berhubungan seksual. Kualitas yang dimaksud adalah kemampuan untuk
mendapatkan dan menjaga ereksi. Sedangkan kuantitas yang dimaksud adalah
seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjaga ereksi (waktu untuk tiap-
tiap orang berbeda untuk mencapai kepuasan orgasme,tidak ada waktu normal
dalam ereksi).
Sebelum memilih terapi yang tepat, perlu diketahui penyebab atau faktor
resiko pada pasien yang berperan dalam menyebabkan munculnya disfungsi
ereksi. hal ini terkait dengan beberapa penyebab disfungsi ereksi yang terkait.
Dengan demikian, jika diketahui penyebab disfungsi ereksi yang benar maka
dapat diberikan terapi yang tepat pula. Terapi untuk disfungsi ereksi dapat
dibedakan menjadi dua yaitu terapi tanpa obat (nonfarmakologis-pola hidup sehat
dan menggunakan alat ereksi seperti vakum ereksi) dan terapi menggunakan obat
(farmakologis).

Yang pertama kali harus dilakukan oleh pasien disfungsi ereksi harus
memperbaiki pola hidup menjadi sehat. Beberapa cara dalam menerapkan pola
hidup sehat antara lain olah raga, menu makanan sehat(asam amino arginin,
bioflavonoid, seng, vitamin C dan E dan makanan berserat), kurangi dan hindari
rokok atau alkohol, menjaga kadar kolesterol dalam tubuh, mengurangi berat
badan hingga normal), dan mengurangi stres. Jika dengan menerapkan pola hidup
sehat, pasien sudah mengalami peningkatan kepuasan ereksi maka pasien
disfungsi ereksi tidak perlu menggunakan obat atau vakum ereksi.

Obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan disfungsi ereksi antara lain


golongan phosphodiesterase inhibitor5 (sildenafil, vardenafil, dan tadalafil),
alprostadil (disuntikkan di penis-intracevernosal dan dimasukkan dalam ureter-
intrauretral), papaverine, trazodone, dan dengan testosteron replacing hormone
(penambahan homon estrogen). Obat yang digunakan sebagai obat pilihan untuk
pengobatan disfungsi ereksi adalah sildenafil. Lihat gambar 5 dan 6.

15
Gambar 5. Farmakokinetik dari PDE- 5 inhibitors

Gambar 6. Algoritma penggunaan PDE- 5 inhibitors oral

16
Pengobatan disfungsi ereksi nonfarmakologis adalah Vacum Constriction
Device (VCD) dapat mencapai 250 mmHg dimana menggunkan cincin untuk
mempertahankan kondisi ereksi setelah vakum dengan waktu maksimal 25 30
menit. Kelebihan VCD adalah mudah dilakukan dan tingkat kepuasan tinggi. Efek
samping VCD adalah sering kebas, hematom, peteki, skrotum terhisap.
Vascular resconstructive Surgery (VRS), dilakukan pada pasien DE
berusia muda dengan riwayat trauma pelvis dan perianal. VRS meningkatkan
suplai darah di penis. Cara kerja VRS dengan bypass arteri yang tersumbat dengan
menggunakan arteri dari otot abdomen (inferior epigastric artery). Tingkat
keberhasilan jangka panjang 50 60 %. Komplikasi nyeri penis, berkurangnya
sensasi, dan glans hiperemis.

17
Penile prosthesis , mengganti struktur erection chamber dengan batang
silinder semi rigid, rigid, ataupun hidrolik. Merupakan terapi ketiga pada pasien
DE. Penile prosthesis membutuhkan anestesi dan biayanya yang mahal.
Komplikasi Penile prosthesis adalah perdarahan tidak terkontrol paska operasi,
infeksi terutama pada pasien DM dan yang mengalami trauma spinalis.
Psikoterapi jika pasien mengalami masalah psikologis dan pada pasien
yang gagal setelah dilakukan terapi oral dan injeksi. Pendekatan yang dilakukan
adalah Cognitive Behavioral Intervention. Selain itu dilakukan koreksi kognitif
maladaptif, eksplorasi masa lampau, dan terapi pasangan.

4.3.6 Prognosis disfungsi ereksi


Disfungsi ereksi temporer sering terjadi dan biasanya bukan masalah yang
serius. Akan tetapi, jika disfungsi ereksi menjadi persisten, efek psikologis
menjadi signifikan. Disfungsi ereksi dapat menyebabkan gangguan hubungan
antara suami istri dan dapat menyebabkan terjadinya depresi.
Disfungsi ereksi yang persisten dapat merupakan suatu gejala dari kondisi
medis yang serius seperti diabetes, penyakit jantung, hipertensi, gangguan tidur,
atau masalah sirkulasi.

4.4 Diabetes melitus


4.4.1 Definisi, etiologi diabetes melitus
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa di dalam
darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin
secara cukup.
Menurut Mansjoer dkk.(1999), etiologi penyakit diabetes adalah sebagai
berikut:
a. diabetes melitus tipe 1 (IDDM)
b. diabetes melitus tipe 2 (NIDDM)

18
c. tipe lain : defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, akibat obat atau zat kimia,
infeksi, diabetes gestasional.

Diabetes Mellitus tipe 1 Diabetes Mellitus tipe 2


Penderita menghasilkan sedikit insulin atau Pankreas tetap menghasilkan
sama sekali tidak menghasilkan insulin insulin, kadang kadarnya lebih
tinggi dari normal. Tetapi tubuh
membentuk kekebalan terhadap
efeknya, sehingga terjadi
kekurangan insulin relatif
Umumnya terjadi sebelum usia 30 tahun, Bisa terjadi pada anak-anak dan
yaitu anak-anak dan remaja. dewasa, tetapi biasanya terjadi
setelah usia 30 tahun
Para ilmuwan percaya bahwa faktor Faktor resiko untuk diabetes tipe 2
lingkungan (berupa infeksi virus atau adalah obesitas dimana sekitar 80-
faktor gizi pada masa kanak-kanak atau 90% penderita mengalami obesitas.
dewasa awal) menyebabkan sistem
kekebalan menghancurkan sel penghasil
insulin di pankreas. Untuk terjadinya hal
ini diperlukan kecenderungan genetik.
90% sel penghasil insulin (sel beta) Diabetes Mellitus tipe 2 juga
mengalami kerusakan permanen. Terjadi cenderung diturunkan secara genetik
kekurangan insulin yang berat dan dalam keluarga
penderita harus mendapatkan suntikan
insulin secara teratur

4.4.2 Patofisiologi diabetes melitus


Pada diabetes tipe 1, terdapat ketidak mampuan untuk menghasilkan
insulin karena sel sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati.
Di samping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak disimpan di hati

19
meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia post
prandial. Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya terjadi
glukosuria. Ketika glukosa yang berlebihan ini di keluarkan melalui urin, ekskresi
ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan pula (diuresis
osmotik). Akibat kehilangan cairang yang berlebihan, pasien akan mengalami
poliuria dan polidipsi. Defisiensi insulin juga menggangu metabolisme protein
dan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan. Pasien mengalami polifagi
akibat menurunnya simpanan kalori, gejala lainnya meliputi kelelahan dan
kelemahan.
Pada diabetes tipe 2, terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya
insulin akan terikat dengan reseptor khusus di permukaan sel dan sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, pada pasien diabetes tipe 2 ini terjadi
penurunan reaksi intra sel ini. Dengan demikian, insulin menjadi tidak efektif
untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi
resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat
peningkatan jumlah insulin yang disekresikan pada penderita toleransi glukosa
terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar
glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat.
Namun, untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan insulin, maka kadar glukosa
akan meningkat dan terjadi diabetes tipe 2.

4.4.3 Diagnosa diabetes melitus


Anamnesa, evaluasi faktor risiko diabetes yaitu usia > 45 tahun, berat
badan berlebih (IMT > 23 kg/m2), hipertensi ( 140 mmHg), riwayat DM pada
keluarga, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, makrosomia, dan
kolesterol HDL 35 mg/dl atau trigliserida 250 g/dl.
Pemeriksaan fisik, adanya keluhan khas seperi poliuri, polidipsi, polifagi,
dan penurunan berat badan. Selain itu, keluhan tidak khas seperti lemas,
kesemutan, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva pada wanita.

20
Pemeriksaan laboratorium, pertama dilakukan screening. Menurut
rekomendasi ADA 2007, pasien harus dilakukan screening apabila memiliki faktor
risiko, bila faktor risiko tinggi dan dijumpai hasil screening negatif maka lakukan
screening ulang tiap tahun, dan bila umur > 45 tahun, lakukan screening ulang
tiap 3 tahun sekali.
spesimen Bukan DM Belum pasti DM
DM
KGD sewaktu Plasma vena <110 110 - 199 200
Darah kapiler < 90 90 - 199 200
KGD puasa Plasma vena <110 110 125 126
Darah kapiler < 90 90 - 109 110

Tes diagnostik, kriteria diagnosa DM menurut ADA, 2007 adalah keluhan


klinis dengan adanya KGD sewaktu 200 mg/dl atau KGD puasa 126 mg/dl
atau OGTT 2 jam postprandial 200 mg/dl. Indeks penentuan derajat kerusakan
sel pankreas adalah HbA1C dimana menggambarkan kontrol nilai glukosa pada
4 8 minggu sebelumnya.
Interpretasi HbA1C
Normal : 3,5 5,5 %
Kontrol glukosa baik : 3,5 6 %
Kontrol glukosa sedang :78%
Kontrol glukosa buruk : 8 %.

4.4.4 Pengobatan diabetes melitus


. Pengobatan diabetes dapat dibagi menjadi 2 yaitu farmakologis dan non
farmakologi. Pengobatan farmakologi adalah dengan insulin dan obat
hipohlikemik oral.
Insulin adalah suatu hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel- dari pulau
Langerhans dan merupakan kelompok sel yang terdiri dari 1% masa pankreas
(Rimbawan dan Siagian, 2004). Dosis insulin dinyatakan dalam unit (U). Sediaan
homogen human insulin mengandung 25-30 UI/mg. Insulin diberikan secara
subkutan dengan tujuan mempertahankan kadar gula darah dalam batas normal

21
sepanjang hari yaitu 80-160 mg% setelah makan. Untuk pasien usia di atas 60
tahun batas ini lebih tinggi yaitu puasa kurang dari 150 mg% dan kurang dari 200
mg% setelah makan. Insulin dapat segera diberikan dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun
dengan cepat, adanya ketonuria.

Insulin dikelompokkan berdasarkan mula dan lama kerjanya yaitu: insulin kerja
singkat (short-acting), insulin kerja sedang (intermediate-acting), insulin kerja
sedang dengan mula kerja singkat, insulin kerja lama (long-acting). Efek samping
insulin yang paling sering terjadi adalah hipoglikemia (Anonim, 2000).
2) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
OHO terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM tipe 2,
Diantaranya:
(a) Golongan sulfonilurea
OHO golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan untuk penderita diabetes
dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami
ketoasidosis sebelumnya (Anonim, 2005). Sulfonilurea bekerja dengan cara
menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi
insulin, dan meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa.Untuk menghindari resiko hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai

22
keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
(b) Short-acting insulin secretagogues
Short-Acting Insulin Secretagogues terdiri dari nateglinide dan repaglinide bekerja
seperti sulfonilurea dengan menstimulasi sekresi insulin dari sel -pankreas. Efek
samping akibat penggunaan short-acting insulin secretagogues adalah efek
hipoglikemi dan peningkatan berat badan. Namun resiko hipoglikemi yang
muncul lebih rendah daripada akibat penggunaan sulfonilurea (gliburid dan
glipizid).
(c) Golongan biguanid
Biguanid meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga absorbsi glukosa di
jaringan perifer meningkat dan menghambat glukoneogenesis dalam hati dan
meningkatan penyerapan glukosa di jaringan perifer. Metformin tidak
meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya
pada pasien dengan
obesitas.Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia, misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung.
(d) Thiazolidindione
Thiazolidindione bekerja dengan mengikat pada peroxisome proliferator activator
receptor- (PPAR-), yang terutama ada pada sel lemak dan sel vaskular.
Thiazolidindione secara tidak langsung meningkatkan sensitivitas insulin pada
otot, liver, dan jaringan lemak. Thiazolidindione adalah obat golongan baru yang
mempunyai efek meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga bisa mengatasi
masalah resistensi insulin dan berbagai masalah akibat resistensi insulin tanpa
menyebabkan hipoglikemi.
(e) Golongan -glukosidase-inhibitors
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim -glukosidase di
dalam saluran cerna. Sehingga reaksi penguraian di-/polisakarida menjadi
monosakarida dihambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan
absorpsinya ke dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga

23
memuncaknya kadar glukosa darah dihindarkan. Obat ini bekerja di lumen usus,
tidak menyebabkan hipoglikemia dan tidak berpengaruh pada kadar insulin.
Pengobatan non farmakologi pada pasien diabetes adalah dengan edukasi,
nutri dan olahraga. Edukasi, keberhasilan pengelolaan diabetes membutuhkan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan harus
mendampingi pasien menuju perubahan perilaku untuk itu diperlukan edukasi
yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan motivasi. Edukasi tersebut
meliputi pennyakit DM, makna perlunya pengendalian dan pemantauan DM,
intervensi farmakologi dan non farmakologi, hipoglikemia, dll.

Nutrisi, anjuran makanan untuk pasien DM sama dengan anjuran makanan


sehat pada umumnya yaitu menu seimbang dan sesuai dengan kalori masing
masing agar dapat mencapai dan mempertahankan berat badan normal.

24
Perencanaan asupan makanan pada lansia adalah makanan harus
mengandung zat gizi dari makanan yang beranekaragam terdiri dari karbohidrat,
protein, dan lemak. Perlu diperhatikan porsi makanan, jangan terlalu kenyang dan
kurangi konsumsi garam. Bagi pasien yang proses penuaannya sudah lanjut,
makan makanan yang mudah dicerna, bila kesulitan mengunyah karena gigi
rusak/ gigi palsu kurang baik maka makan makanan lunak/ lembek, konsumsi
makanan yang berserat tinggi setiap hari ( sayuran, buah buahan, roti, sereal),
serta dianjurkan untuk mengolah makanan dengan cara direbus, dikukus, atau
dipanggang, kurangi makanan yang digoreng.
Pantau status nutrisi dengan berat badan ideal = 0,9 x ( TB(cm) 100),
untuk wanita dengan TB< 150 cm dan pria < 160 cm maka berat badan ideal =
TB(cm) 100. Jika < 10 % dari berat badan ideal maka pasien termasuk gizi
kurang. Jika > 10 % dari berat badan ideal maka pasien termasuk gizi berlebih.
Olaharaga, dianjurkan untuk berolahraga 3-4 x/ seminggu selama 30
menit. Olahraga yang disarankan adalah jalan jogging, bersepeda santai, dan
berenang. Adapun mamfaat olahraga adalah membakar kalori sehingga berat
badan turun, menurunkan resiko kardiovaskular, meningkatkan sensitivitas
insulin, dan menghilangkan kecemasan, stress, ketegangan

4.5 Metformin

25
Metformin adalah obat hipoglikemik orak golongan biguanid dengan
cara kerja meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga absorbsi glukosa di
jaringan perifer meningkat dan menghambat glukoneogenesis dalam hati dan
meningkatan penyerapan glukosa di jaringan perifer. Farmakokinetik dari
metformin masih banyak yang belum lengkap, metformin mempunyai t = 1,5
3 jam dan tidak terikat pada protein plasma, tidak dimetabolisme dan dieksresikan
melalui ginjal sebagai senyawa aktif. Efek samping yang sering terjadi adalah
nausea, muntah, kadang-kadang diare dan dapat menyebabkan asidosis laktat.
Pemakaian pada lansia harus berhati hati karena dapat menyebabkan anoreksia
dan penurunan berat badan. Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti
insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas.
Metformin juga dapat menurunkan kadar trigliserida hingga 16%, LDL kolesterol
hingga 8% dan total kolesterol hingga 5%, dan juga dapat meningkatkan HDL
kolesterol hingga 2%. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia, misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
syok, gagal jantung. Kombinasi sulfonilurea dan metformin merupakan kombinasi
yang rasional karena cara kerja berbeda yang saling aditif

BAB V

ULASAN

Ada beberapa hal masih belum jelas dalam hal, pada kasus ini,
bagaimana kompetensi dokter umum? Apakah ada indikasi rujuk? Setelah
mendapat penjelasan dari pakar diketahui bahwa kompetensi dokter umum adalah
3 A yaitu yaitu dapat mendiagnosa, memberikan penatalaksanaan dan merujuk.
Pada penyakit diabetes melitus, kompetensi dokter umum adalah area kompetensi
4.

26
Bagaimana mekanisme terjadinya mimpi basah (nocturnal erection)?
Ereksi dapat terjadi tanpa adanya stimulasi ketika tidur dalam REM sleep, dimana
pada REM sleep saraf kolinergik di lateral pontin tegmentum diaktivasi ketika
saraf adrenergik di lokus cereleus dan saraf serotonin di otak tengah dalam
keadaan silent. Oleh karena teraktivasinya saraf kolinergik (parasimpatis) maka
dapat terjadi mimpi basah.

Ada beberapa hal masih belum jelas dalam hal apakah masturbasi
termasuk disfungsi ereksi ? Setelah mendapat penjelasan dari pakar diketahui
bahwa masturbasi termasuk disfungsi ereksi?

Apa solusi pada pasien yang tinggal sendiri agar pengobatan teratur?
Gunakan obat yang simpel dan tidak multidrug, selain itu gunakan t1/2 yang
pendek.

Apa penyebab disfungsi ereksi yang paling sering? Penyebab disfungsi


ereksi yang paling sering adalah gangguan vaskular, gangguan neurologik, dan
akibat pemakaian obat obatan (farmakologis).

BAB VI
KESIMPULAN

Tn. P mengalami disfungsi ereksi yang disebabkan oleh diabetes melitus yang
tidak dikontrol dengan baik.

27
DAFTAR PUSTAKA

28
Anonim. Anatomi Penis dan Fisiologi Ereksi Penis. Available from:
http://www.konseling.net/artikel_seks/anatomi_penis.htm.[Accessed 21
September 2010].

Anonim. Prognosis Disfungsi Ereksi. Available from:


http://www.healthcentral.com/erectile-dysfunction/risks-000015_5-145.html.
[Accessed 21 September 2010].

Anurogo, Dito. Referensi Lengkap Disfungsi Ereksi (Bagian II). Available from:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?
pil=3&jd=Referensi+Lengkap+Disfungsi+Ereksi+
(Bagian+II)&dn=20080223174715. [Accessed 21 September 2010].

Bella, Anthony J. dan Tom F. Lue. Male Sexual Dysfunction. Emil A. Tanagho
dan Jack W. Aninch. Smiths General Urology. United Stated of America : Lange.
589-608.
Clapauch, Ruth, Daniel Jorje De Castro Barga,dkk. Risk of late-onset
hypogonadism (andropause) in Brazilian men over 50 years of age with
osteoporosis: usefulness of screening questionnaires. Available from:
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0004-
27302008000900006. [Accessed 21 September 2010].

Dorland,W.A.Newman.Erection.Lia Astika Sari,A.Md dan Sonta


F.Manalu,A.Md.Kamus Kedokteran Dorland edisi 29.Jakarta:EGC.758.

Fanani, M. Stress dan Disfungsi Seksual. Available from:


http://psks.lppm.uns.ac.id/2010/02/25/makalah-3/. [Accessed 21 September
2010].

Fazio, Luke dan Gerald Brock. Erectile dysfunction: management update.


Available from: JAMC 27 AVR. 2004; 170 (9).

29
Hamid, Khairul. Konsep Dasar Penyakit Diabetes. Available from:
http://www.slideshare.net/khairulhamidhamd/konsep-dasar-penyakit-diabetes-
mellitus. [Accessed 21 September 2010].

Mac Vary, Kevin T. Erectile Dysfunction. Available from: n engl j med 357;24
www.nejm.org 2472 december 13, 2007. [Accessed 22 Oktober 2010].

Meneilly, Graydon. Pathophysiology of Diabetes in the Elderly. Available from:


http://www.clinicalgeriatrics.com/articles/Pathophysiology-Diabetes-Elderly.
[Accessed 22 Oktober 2010].

Powers, Alvin C. Diabetes Melitus.. Dennis L. Kasper, Anthony S. Fauci, dkk.


Harrisons Principles of Internal Medicine. United Stated of America : Mc Graw
Hill.
2171.

Rachmawati, Dinar Pramilih. Pola Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral (OHO)


pada Pasien Geriatri Diabetes Melitus Tipe 2 di Instalasi Rawat Jalan RSUD DR
Moerwadi Surakarta Periode Januari Juli 2008. Fakultas Farmasi, Universitas
Muhammadyah. Surakarta.

Setiadji, V. Sutarmo.Hemodinamika Ereksi, Neuroanatomi dan Neurofisiologi


Ereksi. Neurofisiologi Ereksi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.13-15.16.

Siwi, Yuli Ratika. Penggunaan Sildenafil pada Pasien Disfungsi Ereksi


(Impotensi). Available from:
http://yosefw.files.wordpress.com/2007/12/silde1.pdf. [Accessed 21 September
2010].

30
Watts, Gerald F., Kew Kim Chew, Bronwyn GA Stuckey. The erectileendothelial
dysfunction nexus: new opportunities for cardiovascular risk prevention.
Available from: www.nature.com/clinicalpractice/cardio. [Accessed 21 September
2010].

LAMPIRAN
IIEF ( International Index of erectile Function- 5)

31
32

Anda mungkin juga menyukai