0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
34 tayangan10 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang disfungsi ereksi pada pria. Secara ringkas, disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual. Penyebabnya multifaktor dan umumnya terkait dengan faktor organik, psikologis, dan penurunan testosteron seiring bertambahnya usia. Prevalensi disfungsi ereksi meningkat dengan bertambahnya usia namun penye
Dokumen tersebut membahas tentang disfungsi ereksi pada pria. Secara ringkas, disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual. Penyebabnya multifaktor dan umumnya terkait dengan faktor organik, psikologis, dan penurunan testosteron seiring bertambahnya usia. Prevalensi disfungsi ereksi meningkat dengan bertambahnya usia namun penye
Dokumen tersebut membahas tentang disfungsi ereksi pada pria. Secara ringkas, disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual. Penyebabnya multifaktor dan umumnya terkait dengan faktor organik, psikologis, dan penurunan testosteron seiring bertambahnya usia. Prevalensi disfungsi ereksi meningkat dengan bertambahnya usia namun penye
Disfungsi ereksi atau impotensi adalah ketidakmampuan yang persisten
dalam mencapai atau mempertahankan fungsi ereksi untuk aktivitas seksual yang memuaskan. Batasan tersebut menunjukkan bahwa proses fungsi seksual laki-laki mempunyai dua komponen yaitu mencapai keadaan ereksi dan mempertahankannya. Hal ini sangat penting bagi laki-laki sebab disfungsi ereksi dapat menimbulkan depresi bagi penderita yang berujung terganggunya hubungan suami istri serta menyebabkan masalah dalam kehidupan rumah tangga. Secara garis besar, penyebab disfungsi ereksi terdiri dari faktor organik, psikis, dan andropause (Wibowo dan Gofir, 2008). Disfungsi ereksi merupakan masalah yang signifikan dan umum di bidang medis, merupakan kondisi medis yang tidak berhubungan dengan proses penuaan walaupun prevalensinya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia (Susanto, 2012). Umumnya laki-laki berumur lebih dari 40 tahun mengalami penurunan kadar testosteron secara bertahap. Saat mencapai usia 40 tahun, laki-laki akan mengalami penurunan kadar testosteron dalam darah sekitar 1,2 % per tahun. Bahkan di usia 70, penurunan kadar testosteron dapat mencapai 70% (Wibowo dan Gofir, 2008). Pria dengan diabetes, penyakit jantung iskemik dan penyakit vaskular perifer lebih banyak menderita disfungsi ereksi. Hasil survei Massachusets Male Aging Study (MMAS), yang dilakukan pada pria usia 40 sampai 70 tahun mendapatkan 52% responden menderita DE derajat tertentu, yaitu disfungsi ereksi total diderita sebesar 9,6%, sedang 25,2% dan minimal sebesar 17,2%. Walaupun di Indonesia tidak terdapat survei yang cukup besar, namun dari gambaran penderita disfungsi ereksi yang datang ke klinik impotensi diperkirakan hasilnya tidak jauh berbeda (Susanto, 2012).
II TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi Disfungsi Ereksi didefinisikan sebagai ketidakmampuan secara persisten untuk mempertahankan atau mencapai ereksi penis yang cukup untuk aktivitas seksual yang memuaskan. Batasan tersebut menunjukkan bahwa proses fungsi seksual laki-laki mempunyai dua komponen yaitu mencapai keadaan ereksi dan mempertahankannya (Wespes et al, 2013) 2. Etiologi Etiologi dari disfungsi ereksi ini multifaktorial. Secara garis besar, penyebab disfungsi ereksi terdiri dari faktor organik, psikogenik. Umumnya laki-laki berumur lebih dari 40 tahun mengalami penurunan kadar testosteron secara bertahap. Saat mencapai usia 40 tahun, laki-laki akan mengalami penurunan kadar testosteron dalam darah sekitar 1,2 % per tahun. Bahkan di usia 70, penurunan kadar testosteron dapat mencapai 70% (Conaglen, 2011; Nunes dan Webb, 2012). Organik Penyakit vascular Diabetes mellitus Obat-obatan: Antidepresan Psikotropik Antihipertensi Merokok Alkohol Gangguan neurologis Hipogonadism Psikogenik Performance anxiety Generalized anxiety Major depression
3. Epidemiologi Penelitian National Institutes of Health 2002 menunjukkan kurang lebih 15 juta sampai 30 juta laki-laki di Amerika mengalami disfungsi ereksi. Insidensi terjadinya gangguan bervariasi dan meningkat seiring dengan usia. Pada usia 40 tahun, terdapat kurang lebih 5% laki-laki mengalami keadaan disfungsi ereksi, pada usia 65 tahun, terdapat kurang lebih 15-25% (Handriadi Winaga, 2006). Prevalensi disfungsi ereksi di Indonesia belum diketahui secara tepat, diperkirakan 16 % laki-laki usia 20 75 tahun di Indonesia mengalami disfungsi ereksi (Wibowo dan Gofir, 2008). 4. Faktor Risiko a. Kurangnya latihan fisik b. Obesitas c. Merokok penyakit kardiovaskular d. Hiperkolesterolemia e. Sindrom metabolik (Conaglen, 2011) 5. Anatomi Penis Penis terdiri dari tiga badan jaringan ereksi yang berjalan secara paralel, korpus spongiosum, meliputi uretra dan berakhir di glans penis. Dan terdapat dua korpora cavernosa yang berfungsi sebagai kapasitor darah untuk secara penuh menyediakan struktur organ ereksi. Korpora cavernosa merupakan struktur vaskular khusus yang morfologisnya disesuaikan dengan fungsi mereka menjadi membesar selama aktivitas seksual. Padanya terdapat otot polos trabecular yang berjumlah sekitar 40- 50% dari luas penampang jaringan. Ada tiga arteri utama pada penis yang berperan saat ereksi, yaitu arteri kavernosus, dorsal, dan bulbourethral. Ketiganya muncul dari cabang arteri pudenda dan beranastomosis yang luas. Arteri yang utama mensuplai adalah arteri kavernosus, arteri tersebut akan berdilatasi saat ereksi. Dan arteri dorsalis yang akan menyebabkan glans penis membesar. Penis diinervasi oleh sistern otonom (simpatik dan parasimpatik) dan somatik (sensorik dan motorik). Neuron pada spinal cord dan ganglia di perifer, saraf simpatik dan parasimpatik muncul sebagai nervus cavernosa (Nunes dan Webb, 2012).
Gambar 1. Anatomi penis saat normal dan ereksi 6. Patofisiologi Ereksi Ereksi merupakan hasil dari suatu interaksi yang kompleks dari faktor psikologik, neuroendokrin dan mekanisme vaskular yang bekerja pada jaringan ereksi penis. Organ erektil penis terdiri dari sepasang korpora kavernosa dan korpus spongiosum yang ditengahnya berjalan urethra dan ujungnya melebar membentuk glans penis. Korpus spongiosum ini terletak di bawah kedua korpora kavernosa. Ketiga organ erektil ini masing-masing diliputi oleh tunika albuginea, suatu lapisan jaringan kolagen yang padat, dan secara keseluruhan ketiga silinder erektil ini di luar tunika albuginea diliputi oleh suatu selaput kolagen yang kurang padat yang disebut fasia Buck. Di bagian anterior kedua korpora kavernosa terletak berdampingan dan menempel satu sama lain di bagian medialnya sepanjang 3/4 panjang korpora tersebut. Pada bagian posterior yaitu pada radix krura korpora kavernosa terpisah dan menempel pada permukaan bawah kedua ramus iskiopubis. Korpora kavernosa ini menonjol dari arkus pubis dan membentuk pars pendularis penis. Permukaan medial dari kedua korpora kavernosa menjadi satu membentuk suatu septum inkomplit yang dapat dilalui darah. Radix penis bulbospongiosum diliputi oleh otot bulbokavernosus sedangkan korpora kavernosa diliputi oleh otot ischiokavernosus (Susanto, 2012). Jaringan erektil yang diliputi oleh tunika albuginea tersebut terdiri dari ruang-ruang kavernus yang dapat berdistensi. Struktur ini dapat digambarkan sebagai trabekulasi otot polos yang di dalamnya terdapat suatu sistim ruangan yang saling berhubungan yang diliputi oleh lapisan endotel vaskular dan disebut sebagai sinusoid atau rongga lakunar. Pada keadaan lemas, di dalam korpora kavernosa terlihat sinusoid kecil, arteri dan arteriol yang berkonstriksi serta venula yang yang terbuka ke dalam vena emisaria. Pada keadaan ereksi, rongga sinusoid dalam keadaan distensi, arteri dan arteriol berdilatasi dan venula mengecil serta terjepit di antara dinding-dinding sinusoid dan tunika albuginea. Tunika albuginea ini pada keadaan ereksi menjadi lebih tipis. Glans penis tidak ditutupi oleh tunika albuginea sedangkan rongga sinusoid dalam korpus spongiosum lebih besar dan mengandung lebih sedikit otot polos dibandingkan korpus kavernosus (Susanto, 2012). Penis dipersarafi oleh sistem persarafan otonom (parasimpatik dan simpatik) serta persarafan somatik (sensoris dan motoris). Serabut saraf parasimpatik yang menuju ke penis berasal dari neuron pada kolumna intermediolateral segmen kolumna vertebralis S2-S4. Saraf simpatik berasal dari kolumna vertebralis segmen T4L2 dan turun melalui pleksus preaortik ke pleksus hipogastrik, dan bergabung dengan cabang saraf parasimpatik membentuk nervus kavernosus, selanjutnya memasuki penis pada pangkalnya dan mempersarafi otot-otot polos trabekel. Saraf sensoris pada penis yang berasal dari reseptor sensoris pada kulit dan glans penis bersatu membentuk nervus dorsalis penis yang bergabung dengan saraf perineal lain membentuk nervus pudendus. Kedua sistem persarafan ini (sentral/psikogenik dan periferal/ refleksogenik) secara tersendiri maupun secara bersama-sama dapat menimbulkan ereksi (Susanto, 2012). Sumber pendarahan ke penis berasal dari arteri pudenda interna yang kemudian menjadi arteri penis komunis dan kemudian bercabang tiga menjadi arteri kavernosa (arteri penis profundus), arteri dorsalis penis dan arteri bulbouretralis. Arteri kavernosa memasuki korpora kavernosa dan membagi diri menjadi arteriol-arteriol helisin yang bentuknya seperti spiral bila penis dalam keadaan lemas. Dalam keadaan tersebut arteriol helisin pada korpora berkontraksi dan menahan aliran darah arteri ke dalam rongga lakunar. Sebaliknya dalam keadaan ereksi, arteriol helisin tersebut berelaksasi sehingga aliran darah arteri bertambah cepat dan mengisi rongga-rongga lakunar. Keadaan relaksasi atau kontraksi dari otot-otot polos trabekel dan arteriol menentukan penis dalam keadaan ereksi atau lemas (Susanto, 2012). Selama ini dikenal adrenalin dan asetilkolin sebagai neurotransmiter pada sistem adrenergik dan kolinergik, tetapi pada korpora kavernosa ditemukan adanya neurotransmiter yang bukan adrenergik dan bukan pula kolinergik (non adrenergik non kolinergik = NANC) yang ternyata adalah nitric oxide/NO. NO ini merupakan mediator neural untuk relaksasi otot polos korpora kavernosa. NO menimbulkan relaksasi karena NO mengaktifkan enzim guanilat siklase yang akan mengkonversikan guanosine triphosphate (GTP) menjadi cyclic guanosine monophosphate (cGMP). cGMP merangsang kalsium keluar dari otot polos korpora kavernosa, sehingga terjadi relaksasi. NO dilepaskan bila ada rangsangan seksual. cGMP dirombak oleh enzim phosphodiesterase (PDE) yang akan mengakhiri/ menurunkan kadar cGMP sehingga ereksi akan berakhir. PDE adalah enzim diesterase yang merombak cyclic adenosine monophosphate (cAMP) maupun cGMP menjadi AMP atau GMP. Ada beberapa isoform dari enzim ini, PDE 1 sampai PDE7. Masing-masing PDE ini berada pada organ yang berbeda. PDE5 banyak terdapat di korpora kavernosa (Susanto, 2012).
Gambar 2. Mekanisme ereksi
Gambar 3. Mekanisme ereksi 7. Diagnosis Disfungsi ereksi didiagnosis berdasarkan hasil dari beberapa pemeriksaan yang berawal dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan psikososial. Disfungsi ereksi merupakan salah satu gejala dari gangguan seksual selain ejakulasi dini, masalah hubungan psikoseksual, dan kehilangan libido. Diagnosis untuk disfungsi ereksi ini dilakukan dengan menggunakan instrument berdasarkan grading untuk menilai keparahannya dan mengetahui rencana terapinya. Beberapa contoh instrument yang digunakan adalah International Index of Erectile Function (IIEF), dirubah menjadi versi 5 item dari IIEF (IIEF-5) dan Erectile Dysfunction Index of Treatment Satisfication (EDITS). IIEF merupakan 15 poin kuesioner yang terbagi menjadi: erectile function (skor total antara 1-30), orgasmic function (skor total antara 0-10), sexual desire (total skor antara 2-10), intercourse satisfaction (total skor antara 0-15), dan overall satisfaction (total skor antara 2-10) (Tsertsvadze et al, 2009). Rekomendasi berdasarkan hasil biokimia dapat berupa skrining hormonal untuk mengetahui hipogonadisme atau beberapa penyakit lain yang tidak diketahui seperti hiperprolaktinemia, diabetes mellitus dan dislipidemia. Pemeriksaan lainnya berupa tes urin, darah, profil lipid, atau prostate-specific antigen (PSA). Selain itu ada pula beberapa pemeriksaan yang lebih khusus seperti duplex ultrasonography, penile tumescene studies, RigiScan, test injections, stimulasi audio-visual dan pengukuran penile brachial index (Tsertsvadze et al, 2009). 8. Klasifikasi disfungsi ereksi berdasarkan penyebab a. Organik Penyakit kardiovaskular Hipertensi Gangguan lipid Disfungsi endotel b. Neurologi Cedera spinal Penyakit Parkinson Multiple sclerosis c. Iatrogenik Bedah pelvis Prostatectomy Antipsikotik Antidepressant Beta-blocker Diuretic Antitestosteron d. Cedera penis/ anatomi yang abnormal Penyakit peyronies Priapisme e. Tumor Kanker prostat Ca colorectal f. Kondisi lain Chronic renal atau hepatic failure Gejala saluran kemih bagian bawah Hyperplasia prostat g. Penggunaan yang lama Alkohol Rokok h. Gangguan endokrin Diabetes Andropause Hipogonadisme Hiperprolaktinemia Hipotiroidisme i. Psikogenik Depresi Disporia Kecemasan Mayoritas pasien yang mengalami disfungsi ereksi adalah disebabkan karena penyebab organic seperti penyakit kardiovaskular dan memiliki suplai darah ke penis yang kurang. Beberapa pasien disebabkan karena kombinasi antara psikologi dan faktor organik (Tsertsvadze et al, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Conaglen, John V. 2011. Erectile Dysfunction. Waikato Clinical School, Faculty of Medical and Health Science University of Auckland. Nunes, Kenia P, R. Clinton Webb. 2012. Mechanism in Erectile Function and Dysfunction: an Overview. Georgia Health Sciences University: USA Susanto, Lie T Merijanti. 2012. Sildenafil dalam Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti: Jakarta Tsertsvadze, Alexander, M.D., M.Sc, Fatemeh Yazdi, M.Sc. Howard A. Fink, M.D., Ph.D. et al. 2009. Diagnosis and Treatment of Erectile Dysfunction. Department of Health and Human Services. Universtity of Ottawa Evidence-based Practice Center, Ottawa, Canada. Wespes, E, I. Eardley, F. Giuliano, et al. 2013. Guidelines on Male Sexual Dysfunction: Erectile Disfunction and premature ejaculation. European Association of Urology. Wibowo, Samekto, Abdul Gofir. 2008. Manajemen Disfungsi Ereksi. Ilmu penyakit saraf Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta
Pembedahan Skoliosis Lengkap Buku Panduan bagi Para Pasien: Melihat Secara Mendalam dan Tak Memihak ke dalam Apa yang Diharapkan Sebelum dan Selama Pembedahan Skoliosis