Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat
yang diberikannya, sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan. Dalam menyusun referat ini, penulis banyak
menghadapi kesulitan-kesulitan baik dari proses penelitian sumber data maupun penyusunan.
Ada beberapa kekurangan dalam penulisan refrat ini, namun karena beberapa bantuan dari
beberapa sumber, maka penulis dapat menghadapi berbagai kesulitan yang ada sehingga
referat ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Demikian kata pengantar ini saya buat sedemikian rupa. Mohon maaf apabila ada
kesalahan kata dan Terima Kasih.

Jakarta, 24 Mei 2019

Larissa Iranny

1
BAB I

PENDAHULUAN

Di masyarakat ada beberapa gangguan seksual yang dialami kaum pria salah
satunya adalah disfungsi ereksi (DE). Ini merupakan suatu kondisi dimana laki-laki tidak
mampu mendapatkan dan mempertahankan ereksi untuk aktivitas seksual memuaskan. Bagi
pria disemua usia, kegagalan ereksi dapat mencegah mereka mengambil inisiatif dalam
memulai hubungan seksual, mereka bisa jadi mencemaskan buruknya kemampuan atau juga
penolakan. Keadaan disfungsi ereksi pada umumnya disebabkan oleh kekurangan keinginan
kelamin yang normal, lebih daripada kekurangan hormon. Faktor – faktor emosi, termasuk
kecemasan dan dan kesusahan menyebabkan perasaan bersalah dan kelemahan yang dalam
hal ini mungkin mengganggu hidup kelamin laki – laki yang normal. Syarat utama supaya
tidak DE harus sehat mental dan fisik1
Disfungsi ereksi adalah suatu keadaan pada pria yang sering atau selalu tidak dapat
mempertahankan ereksi untuk melakukan hubungan seksual yang memuaskan dan apabila
seorang pria tidak dapat mencapai ereksi yang cukup untuk melakukan hubungan seksual,
pria itu juga tergolong mengalami disfungsi ereksi. Jadi,seorang pria disebut mengalami
disfungsi ereksi kalau sering atau selalu tidak mampu mencapai atau mempertahankan ereksi
penis untuk melakukan hubungan seksual yang memuaskan. Disfungsi ereksi merupakan
salah satu disfungsi seksual pria yang banyak dijumpai,selain ejakulasi dini. Disfungsi
seksual yang lain lebih jarang dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor fisik dan
faktor psikis.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Definisi

Disfungsi ereksi (DE) adalah ketidakmampuan persisten untuk mencapai dan


memelihara ereksi yang cukup untuk memungkinkan kinerja seksual yang memuaskan. DE
mempengaruhi kesehatan fisik dan psikososial dan memiliki dampak yang signifikan
terhadap kualitas hidup dari penderita.2
Sekitar 25% lelaki di Indonesia memiliki kekerasan ereksi tidak optimal. Fakta ini tak
berbeda jauh dengan tingkat asia pasifik, dimana satu dari empat lelaki mengalami hal
serupa, padahal kepuasan pasangan terhadap kekerasan ereksi terkait erat dengan keuasan
seksual pasutri, yang kelak dapat mempengaruhi kepuasan individual ataupun pasangan.
Epidemiologi
Tingkat keparahan dan prevalensi disfungsi ereksi meningkat dengan adanya
peningkatan usia.3 Kejadian disfungsi ereksi lebih rendah pada pria yang memiliki usia lebih
muda dari 40 tahun, tetapi meningkat dengan bertambahnya usia. 4 The Massachusetts Male
Aging Study, telah melakukan survei cross-sectional dengan sampel random sebanyak 1290
pria di wilayah Boston selama periode 1987-1989. Studi tersebut melaporkan bahwa dari
semua kejadian disfungsi ereksi, sebanyak 52% terjadi pada pria berusia 40-70 tahun, yang
mana 12,4%-nya terjadi pada usia 40-49 tahun, dan 46,4%-nya pada pria berusia 60-69 tahun.
Hasil studi Health Professional Follow-up terbaru, pada lebih dari 31.000 pria sehat
profesional berusia 53-90 tahun, prevalensi terjadinya disfungsi ereksi sebesar 33%. Hal yang
menarik, meskipun kejadian kasus disfungsi ereksi ini tinggi, pasien sering mengalami
kegagalan dalam terapinya.4
Etiologi
Secara garis besar faktor penyebab disfungsi ereksi dibagi menjadi penyebab
psikogenik dan organik, yang termasuk penyebab organik adalah :
1. Penyakit kronik (aterosklerosis, diabetes dan penyakit jantung)
2. Obat-obatan (antihipertensi terutama diuretik thiazid dan penghambat beta),
antiaritmia(digoksin),, antidepresan dan antipsikotik (terutama neuroleptik),
antiandrogen, antihistamin II( simetidin), alkohol atau heroin.
3. Pembedahan/operasi misal operasi daerah pelvis dan prostatektomi radikal
4. Radioterapi pelvis

3
Sedangkan faktor psikogenik meliputi depresi, stres, kepenatan, kehilangan, kemarahan dan
gangguan hubungan personal pada pria muda, faktor psikogenik ini menjadi penyebab
tersering dari disfungsi ereksi intermiten. Stres dapat menyebabkan disfungsi ereksi pada pria
dewasa awal dan stres yang datang pada setiap individu berbeda satu dengan yang lainnya.
Apabila komponen psikis terganggu karena stres, maka perjalanan stimulus erotis (rangsang
erotis) tidak dapat diterima dengan sempurna oleh otak kemudian rangsang yang kurang
sempurna tersebut akan diteruskan oleh hypothalamus otak yang merupakan pusat reseptor
rangsang dari hypotalamus dialirkan melalui medulla spinalis tepatnya pada Onuf’s Nucleus
yang merupakan pusat rangsang erotis dan rangsang tersebut dilairkan ke penis, terjadi
vasodilatasi yang kurang optimal sehingga mengalami disfungsi ereksi.5
Mekanisme Fisiologi
Mekanisme fisiologis ereksi pada penis diawali dengan adanya stimulasi seksual yang
akan melibatkan pelepasan suatu senyawa oksida nitrat (nitric oxide = NO), dari bagian penis
yang disebut corpus cavernosum. Nitric oxide akan mengaktifkan enzim guanylate cyclase
yang menyebabkan peningkatan senyawa cyclic guanosine monophosphate (cGMP),
selanjutnya menyebabkan pelebaran pembuluh darah disekitar corpus cavernosum, sehingga
darah mengalir ke penis dan menyebabkan pembesaran penis (ereksi). Senyawa cGMP
diuraikan atau didegradasi oleh enzim yang bernama fosfodiesterase-5 (PDE5) yang
menyebab-kan penis kembali pada ukuran semula (relaksasi penis).5 Ereksi penis normal
membutuhkan fungsi penuh beberapa sistem fisiologis seperti vaskular, nervous (saraf), dan
hormonal serta secara psikologis menerima rangsangan seksual.
Saat ereksi aliran darah arteri dan vena berjalan seimbang dari corpora, dalam
keadaan ereksi aliran arteri meningkat dan mengisi sinusoid dalam corpora yang
menyebabkan penis mengalami pembengkakan dan pemanjangan. Aliran arteri ditingkatkan
oleh asetilkolin yang merupakan mediator vasodilatasi. Pada umumnya asetilkolin bekerja
dengan dua jalur yang berbeda untuk menimbulkan ereksi. Dengan adanya rangsangan
seksual dari jaringan genital, asetilkolin melalui jalur utama meningkatkan produksi NO oleh
sel endotel dan nonadrenergic-noncholinergic neuron. Nitric oxide meningkatkan aktivitas
guanylate cyclase, yang meningkatkan senyawa cGMP. Senyawa cGMP menurunkan
konsentrasi kalsium intraseluler dalam sel otot halus arteri penis dan sinus cavernosum.
Akibatnya terjadi relaksasi otot halus yang meningkatkan aliran darah arteri corpora.
Sedangkan pada jalur alternatif, asetilkolin menstimulasi otot halus pada reseptor membran
sel untuk meningkatkan aktivitas adenil cyclase. Adenil cyclase menyebabkan peningkatan

4
senyawa senyawa cyclic adenosine triphosphat (cAMP). Seperti halnya cGMP, cAMP
menurunkan konsentrasi kalsium intraselular untuk menghasilkan relaksasi otot halus dalam
sel pembuluh darah dan sinus carvernosum.
Dalam keadaan sadar, pasien mengalami ereksi setelah terjadi stimulasi sensorik
seksual melalui sistem saraf pusat. Otak akan memproses informasi dan dorongan saraf
dilakukan ke sumsum tulang belakang untuk saraf kolinergik perifer yang mengatur suplai
pembuluh darah ke corpora sehingga terjadi ereksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa ereksi
dimulai oleh aksi saraf, dikelola oleh darah arteri untuk pengisian corpora, dan ditopang oleh
oklusi aliran vena dari corpora.
Hormon testosteron merangsang libido atau rangsangan seksual pada pria. Dalam
kondisi fisiologis normal, pasien dengan tingkat testosteron serum yang normal tidak
mungkin memiliki disfungsi ereksi. Sedangkan dalam keadaan libido menurun atau karena
kurangnya produksi hormon testosteron dapat menyebabkan ereksi tidak dapat terjadi.
Dorongan seksual dikatakan normal apabila dalam kondisi fisiologis yang normal serum
testosteron berada dalam rentang konsentrasi serum (300-1100 ng/dL)6
Patofisiologi
Disfungsi ereksi (DE) dapat mengakibatkan kelainan pada salah satu dari empat
sistem yang diperlukan untuk ereksi penis normal atau dari kombinasi kelainan. pembuluh
darah, saraf, atau hormonal etiologi disfungsi ereksi (DE) disebut sebagai disfungsi ereksi
(DE) organik. Kelainan dari empat sistem (pasien penerimaan psikologis terhadap
rangsangan seksual) disebut sebagai disfungsi ereksi (DE) psikogenik 7
Disfungsi ereksi dapat terjadi karena tiga mekanisme dasar yaitu, adanya kegagalan
menginisiasi (psikogenik, endokrinologik, atau neurogenik), kegagalan untuk mengisi
(arteriogenik), atau kegagalan dalam menyimpan volume darah yang adekuat di dalam
jaringan lankunar (disfungsi venooklusif). Faktor psikogenik umumnya sering terjadi
bersamaan dengan faktor etiologi lain.7
Penyebab disfungsi ereksi (DE) organik termasuk penyakit yang membahayakan
aliran pembuluh darah ke corpora cavernosum (penyakit vaskular perifer, arterisclorosis,
hipertensi esensial) mengganggu nere konduksi ke otak (cedera tulang belakang, stroke) dan
berkaitan dengan hipogonadisme (prostat atau kanker testis, hipotalamus atau gangguan
hipofisis). Penyebab disfungsi ereksi (DE) psikogenik meliputi malaise, depresi reaktif atau
kecemasan kinerja, sedasi, penyakit alzhemier, hipotiroidisme, dan gangguan mental.7
Manifestasi Klinis

5
Pasien yang mengalami DE, dilaporkan tidak dapat mengalami ereksi sehingga akan
mengalami gangguan seksual. Hal ini berdampak pada psikologi penderita disfungsi ereksi
dimana pasien cenderung merasa malu, mengucilkan diri, depresi, bahkan timbul rasa ingin
bunuh diri8
Secara umum manifestasi klinis dari disfungsi ereksi :
a. Umum (General)
- Perubahan emosi
- Depresi
- Kecemasan
- Kesulitan dalam perkawinan dan menghindari keintiman seksual
- Timbul ketidakpatuhan pasien, akibat pengobatan penyakit yang mengakibatkan
disfungsi ereksi.
b. Gejala
Impotensi atau ketidakmampuan untuk melakukan hubungan seksual.7

Diagnosa
Sejarah pengobatan harus diperoleh untuk mengidentifikasi komplikasi penyakit yang
merupakan faktor risiko untuk disfungsi ereksi organik atau psikogenik. Jika penyakit yang
mendasari tidak optimal mendapat pengobatan, ini harus ditangani sebelum pengobatan
khusus untuk disfungsi ereksi dimulai. Jika pasien merokok, minum akohol berlebihan, atau
menggunakan narkoba, harus dihentikan sebelum pengobatan khusus untuk disfungsi ereksi
dimulai.6
Pemeriksaan fisik pasien harus mencakup pemeriksaan untuk hipogonadisme (yaitu,
tanda-tanda ginekomastia, testis kecil, dan rambut tubuh). Penis juga harus dievaluasi untuk
penyakit terkait dengan kelengkungan penis (misalnya, penyakit Peyronie), yang juga
dikaitkan dengan disfungsi ereksi. Femoral dan tungkai bawah pula harus dinilai untuk
memberikan indikasi vaskular memasok ke alat kelamin. Nada sfingter anal dan refleks
genital lainnya harus diperiksa untuk memberikan indikasi integritas saraf memasok ke
penis.6
Tes laboratorium harus diperoleh untuk mengidentifikasi keberadaan penyakit yang
bisa menyebabkan disfungsi ereksi. Ini termasuk glukosa darah, profil lipid, dan tingkat
tiroksin. Kadar testosteron serum harus diperiksa pada pasien dengan usia lebih dari 50 tahun
dan pada pasien muda yang mengeluhkan penurunan dorongan seksual. Kadar testosteron
serum mengikuti pola sirkadian sekresi, dengan tingkat tertinggi terjadi pada pagi hari. Untuk

6
menafsirkan kadar testosteron serum dengan benar, sampel serum harus diperoleh di pagi
hari. Setidaknya pemeriksaan kadar testosteron dilakukan dua kali untuk mengkonfirmasi
terjadi hipogonadisme.6
Terapi non-farmakologi
1. Modifikasi Gaya Hidup
Pasien yang mengalami disfungsi ereksi harus menjalani gaya hidup sehat secara
berkesinambungan. Hidup sehat yang disarankan untuk menunjang terapi disfungsi ereksi
antara lain mengatur diet makanan (mengurangi makanan berkolesterol), rajin berolahraga
untuk menjaga kebugaran fisik, menjaga berat badan badan ideal, mengurangi intensitas
merokok dan minum minuman beralkohol, mengendalikan pikiran agar tidak mengalami
stres, dan tidak menggunakan obat-obatan terlarang.8
2. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan pendekatan pengobatan yang tepat untuk pasien dengan
disfungsi psikogenik atau campuran. Psikoterapi dilakukan untuk mengatasi penyebab
disfungsi dan diharapkan pasangan dapat berpartisipasi dengan menghadiri sesi
psikoterapi. Dalam mengobati disfungsi organik, psikoterapi tidak dapat bekerja secara
efektif kecuali dikombinasikan dengan terapi lain. Keuntungan dari psikoterapi adalah
non-invasi dan mitrapartisipasi, sementara kerugian meliputi peningkatan biaya dan
komitmen waktu.8
3. Vaccum Erection Devices (VEDs)
Perangkat VEDs ini dapat meningkatkan kemampuan ereksi dengan menggunakan
suatu vakum di sekitar penis.8 Adapun 3 komponen utama VEDs ini antara lain sebuah
pompa yang menghasilkan tekanan vakum negatif, sebuah silinder yang salah satunya
ujungnya ditutup, dan tabung yang menghubungkan pompa dan silinder. Pasien
memasukkan bagian penis sampai menyentuh bagian bawah perut ke bagian ujung silinder
yang terbuka menciptakan ruang vakum. Kemudian pasien mengaktifkan pompa untuk
menghasilkan tekanan vakum, yang menarik darah ke dalam arteriol corpora cavernosa.
Untuk memperpanjang ereksi, pasien dapat menggunakan band konstriksi yang dipasang
di dasar penis untuk menjaga aliran darah arteriol darah dan mengurangi aliran darah vena
dari penis.
VEDs adalah salah satu pengobatan yang paling efektif untuk disfungsi ereksi. Alat
ini memiliki tingkat keberhasilan > 90% dalam memperoleh ereksi yang cukup untuk
koitus dan dianggap sebagai lini pertama terapi. Onset kerja VEDs ini cukup lambat

7
sekitar 30 menit sehingga membutuhkan kesabaran dari kedua pasien dan pasangan
seksual. Kekakuan noninvasif dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknik pompa
ganda di mana vakum digunakan selama beberapa menit, dihentikan sebentar, kemudian
digunakan kembali selama beberapa menit. Tingkat keberhasilan yang lebih tinggi juga
dapat dicapai dengan menggabungkan VEDs dengan terapi lain.7
Terapi VEDs terkadang digunakan sebagai terapi lini kedua pada pasien yang tidak
merespon pengobatan oral atau pengobatan injeksi untuk disfungsi ereksi. Kombinasi
VEDs dengan alprostadil intrakavernosa atau intraurethra memberikan tingkat
keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan hanya menggunakan VEDs. Nyeri pada saat
ejakulasi atau ketidakmampuan untuk ejakulasi adalah salah satu efek samping yang
dialami pasien menggunakan VEDs. Terapi VEDs ini dikontraindikasikan pada orang
dengan penyakit sickle cell dan digunakan secara hati-hati pada pasien yang sedang
menggunakan antikoagulan oral atau yang memiliki gangguan perdarahan. 7 VEDs
ditunjukkan pada gambar 2.2 sedangkan aplikasi penggunaan VEDs dan Penil prosthesis
ditunjukkan pada gambar 2.3.

Gambar 1. Perangkat VED 7

8
Gambar 2 Aplikasi Penggunaan VED dan Penil prosthesis8
4. Penil Prostesis
Penil prostesis dapat berupa alat batangan yang semi kaku atau karet yang lembut
yang dimasukkan melalui pembedahan ke dalam corpus cavernosum untuk
memungkinkan terjadinya ereksi. Penil prostesis batangan yang semi kaku dapat menjadi
kaku sepanjang waktu namun dapat kembali ke posisi membungkuk bila diinginkan oleh
pasien. Prostesis inflitable tetap lembut sampai pompa dalam cairan skrotum bergerak
dari reservoir ke dalam silinder penis. Detumescence dicapai ketika cairan ini kemudian
ditransfer kembali ke reservoir dengan mengaktifkan sebuah tombol pelepas. Karena
prostesis adalah pengobatan yang paling invasif yang tersedia, terapi ini hanya digunakan
pada pasien yang tidak menanggapi obat-obatan atau penanganan secara eksternal atau
pasien yang memiliki efek samping yang cukup berat menggunakan terapi lain. Tingkat
kepuasan pasien dapat setinggi 80% sampai 90%, sedangkan tingkat kepuasan partner
seks sedikit lebih rendah. Risiko utama dari penyisipan prostesis adalah terjadinya
infeksi dan kemungkinan kegagalan prostesis yang dipasang. Rata-rata tingkat terjadinya
infeksi yang tinggi disebabkan oleh adanya penyakit diabetes yang tidak terkontrol,
paraplegics, dan pasien menjalani reimplantasi atau rekonstruksi penis.8
Terapi farmakologi
1. Penghambat fosfodiesterase (Inhibitor fosfodiesterase)

9
Sildenafil bekerja secara kompetitif menghambat enzim PDE, sehingga perombakan
cGMP yang terbentuk dengan terlepasnya NO akibat stimulasi seksual akan terhambat.
Dengan demikian akan terjadi relaksasi otot polos korpora kavernosa yang cukup lama untuk
suatu ereksi yang memuaskan. Dengan dosis yang dianjurkan, sildenafil tidak akan berfungsi
bila tidak ada rangsangan seksual. Sildenafil bekerja selektif terhadap PDE5 dibandingkan
terhadap PDE yang lain. Dengan demikian, efek utamanya adalah terhadap korpus
kavernosus di penis, namun karena PDE5 juga terdapat pada pembuluh darah maka pengaruh
sildenafil terhadap pembuluh darah juga tidak bisa diabaikan.
Sildenafil, tadanafil, dan vardenafil dikontraindikasikan pada terapi dengan nitrat,
kelainan aktivitas seksual, infark miokardia atau stroke, hipotensif, neuropati optik iskemi
non arteritik arterior. Efek samping sildenafil, tadanafil, dan vardenafil meliputi dispepsia,
sakit kepala, kemerahan pada wajah, pusing, mialgia, gangguan penglihatan, kongesti hidung,
tekanan intraokular, dan reaksi hipersensitif. Sildenafil, tadanafil, dan vardenafil sebaiknya
digunakan hati-hati pada penyakit kardiovaskuler, deformasi anatomi pada penis (misalnya
angulasi, fibrosis kavenosal, penyakit peyronie).9
Sildenafil, tadanafil, dan vardenafil adalah penghambat fosfodiesterase yang
direkomendasikan untuk digunakan pada pengobatan disfungsi ereksi. Obat-obat ini tidak
boleh diberikan bersamaan dengan obat-obat lain untuk pengobatan disfungsi ereksi. Pasien
sebaiknya dievaluasi dengan tepat sebelum diberikan sildenafil, tadanafil, dan vardenafil.
Karena pemberiannya oral, maka potensial terjadinya interaksi obat.7
Sildenafil dan valdenafil memiliki profil farmakokinetik yang sama. Kedua obat ini
memiliki onset kerja yang pendek yaitu 1 jam. Absorbsi obat ini akan dihambat sekitar 2 jam
dengan adanya asupan makanan yang mengandung lemak. Sedangkan tadalafil memiliki
onset kerja yang lebih panjang dengan durasi kerja 36 jam dan absorbsinya tidak dipengaruhi
oleh asupan makanan. Ketiga obat ini dimetabolisme dihati oleh sitokrom P450 isoenzim
CYP3A4. Sebagian besar metabolitnya diekskresikan melalui feses dan beberapa melalui
urin.7
Dosis awal Sildenafil adalah 50 mg (manula 25 mg) dan diminum kira-kira 1 jam
sebelum aktivitas seksual, dosis dilanjutkan sesuai menurut responnya terhadap 25-100 mg
sebagai dosis tunggal sesuai kebutuhan, maksimal 1 dosis dalam 24 jam (dosis tunggal
maksimum 100 mg). Sediaan yang beredar: Viagra (pfizer Indonesia) tablet salut selaput 25
mg, 50 mg, 100 mg (K).

10
Dosis awal Tadalafil 10 mg, paling tidak diminum 30 menit sebelum aktivitas seksual,
dosis berikutnya disesuaikan dengan respon, biasa sampai 20 mg sebagai dosis tunggal,
maksimal 1 dosis dalam 24 jam. Sediaan yang beredar yaitu Cialis (Tempo Scan Pacific)
tablet salut selaput 10 mg, 20 mg.
Sedangkan dosis awal Vardenafil 10 mg (lansia 5 mg) dan rata-rata diminum 25-60
menit sebelum aktivitas seksual, dosis berikutnya disesuaikan dengan respon maksimal
sampai 20 mg sebagai dosis tunggal, maksimal 1 dosis dalam 24 jam. Dapat diberikan
sebelum atau sesudah makan. Tidak diindikasikan untuk individu dibawah 18 tahun. Sediaan
yang beredar: Levitra (Bayer Farma Indonesia) Tablet salut selaput 5 mg, 10 mg, 20 mg (K)9.
Lebih dari 25 fosfodiesterase isoenzim yang berbeda telah diidentifikasi, namun
stimulasi efek fisiologis dan penghambatan dari beberapa isoenzim ini tetap harus dijelaskan.
Berdasarkan penelitian, isoenzim fosfodiesterase tipe 6 (PDE-6) terdapat dalam sel batang
dan kerucut mata. Penghambatan terhadap isoenzim ini dikaitkan dengan penyebab
terjadinya gangguan pengelihatan dan cyanopsia. Sildenafil merupakan inhibitor isoenzim
fosfodiesterase tipe 6 yang paling poten, kemudian diikuti oleh vardenafil yang merupakan
inhibitor isoenzim fosfodiesterase tipe 6 yang bersifat intermediet, dan tadalafil.7
Disamping isoenzim fosfodiesterase tipe 6, terdapat juga isoenzim fosfodiesterase tipe
11 (PDE-11). Isoenzim ini terdapat pada otot lurik dan penghambatan terhadap isoenzim
dikaitkan dengan mialgia dan nyeri otot. Tadalafil merupakan inhibitor isoenzim yang
menghasilkan aktivatas penghambatan terbesar terhadap isoenzim fosfodiesterase tipe 11
(PDE-11).7
2. Testoterone replacement regimens
Regimen pengganti testosteron didapatkan secara eksogen dan digunakan untuk
mengembalikan kadar serum testosteron dalam kisaran normal (300 sampai 1100 ng/dL).
Dengan dilakukannya penggantian regimen testosteron maka gejala hipogonadisme dapat
diatasi, gelaja tersebut meliputi malaise, kehilangan kekuatan otot, mood depresi, dan libido
menurun. Testosteron secara langsung dapat merangsang reseptor androgen pada sistem saraf
pusat dan dianggap bertanggung jawab dalam menjaga dorongan seksual yang normal.7
Regimen pengganti testosteron diindikasikan pada pasien dengan gejala
hipogonadisme primer maupun sekunder, yang dapat diketahui dari adanya penurunan libido
dan konsentrasi serum testosteron yang rendah. Kadar serum hormon luteinizing yang
simultan dapat digunakan untuk membedakan pasien dengan hipogonadisme primer dan
sekunder. Pasien dengan peningkatan kadar hormon luteinizing merupakan hipogonadisme

11
primer, sedangkan pasien dengan penurunan kadar hormon luteinizing merupakan
hipogonadisme sekunder. Penggantian regimen testosteron tidak boleh diberikan pada pria
dengan kadar testosteron serum yang normal.7
Regimen pengganti testosteron dapat mengembalikan kekuatan otot dan dorongan
seksual serta memperbaiki suasana hati pasien dengan hipogonadisme. Kemajuan umumnya
diamati dalam beberapa hari atau minggu sejak awal dilakukannya penggantian testosteron.
Administrasi testosteron akan memperbaiki kadar serum testosteron sehingga berada dalam
kisaran normal. Tidak ada manfaat tambahan yang ditunjukkan oleh dosis besar testosteron,
yang meningkatkan kadar serum testosteron dari batas paling rendah menuju batas atas
kisaran normal, atau menuju kisaran di atas normal. Regimen pengganti testosteron tidak
dapat secara langsung memperbaiki atau mengobati disfungsi ereksi, melainkan penggantian
ini dapat meningkatkan libido, sehingga memperbaiki disfungsi ereksi sekunder.7
Regimen pengganti testosteron secara injeksi lebih dipilih dalam pengobatan pada
pasien dengan gejala hipogonadisme primer atau sekunder karena lebih efektif, murah, dan
tidak terkait dengan masalah bioavailabilitas atau efek samping hepatotoksik dari androgen
oral. Meskipun nyaman bagi pasien, testosteron gel dan patch jauh lebih mahal daripada
bentuk lain dari penggantian androgen, karena itu sediaan tersebut harus disediakan untuk
pasien-pasien yang menolak injeksi testosterone.7

Patch Testoderm asli bermerek diformulasikan untuk aplikasi pada skrotum. Kulit
skrotum lebih tipis dan memiliki suplai vaskuler yang lebih kaya daripada kulit lengan atau
paha. Oleh karena itu penggunaan patch Testoderm menghasilkan penyerapan hormon yang
sangat baik. Namun, patch bisa jatuh ketika skrotum menjadi basah atau lembab, ketika
pasien sedang beraktivitas, atau jika skrotum terlalu berbulu.7

3. Alprostadil
Alprostadil, juga dikenal sebagai prostaglandin E1, dapat merangsang adenyl
siklase, sehingga peningkatan produksi cAMP, messenger sekunder yang menyebabkan
relaksasi otot polos pembuluh darah arteri dan jaringan sinusoidal dalam corpora tersebut.
Hal ini mengakibatkan peningkatan aliran darah.7 Berdasarkan rute pemberian, alprostadil
dibagi menjadi:
A. Alprostadil Intrakavernosa
Keseluruhan efikasi dari alprostadil intrakavernosa adalah 70% sampai 90%. Tiga
karakteristik dari alprostadil intrakavernosa antara lain:

12
- Efektivitas dari alprostadil yaitu pada rentang dosis dari 2,5 sampai 20 mcg.
Durasi rata-rata dari ereksi secara langsung terkait dengan dosis alprostadil yang
diberikan dan berkisar dari 12 sampai 44 menit.
- Persentase yang lebih tinggi dari pasien dengan disfungsi ereksi psikogenik dan
neurogenik merespon alprostadil dengan dosis yang lebih rendah dibandingkan
dengan pasien disfungsi ereksi vaskulogenik.
- Toleransi tampaknya tidak berkembang dengan terus menggunakan
alprostadil intrakavernosa di rumah.
Meskipun 70% sampai 75% dari pasien merespon alprostadil intrakavernosa,
proporsi tinggi dari pasien memilih untuk menghentikan penggunaannya dari waktu ke
waktu. Dari hasil studi dan pengamatan, 30% sampai 50% pasien menghentikan terapi
secara sukarela, biasanya selama 6 sampai 12 bulan pertama. Alasan umum untuk
penghentian karena kurangnya efektivitas yang dirasakan, ketidaknyamanan saat
pemberian, ketidakwajaran, ereksi yang tidak spontan, fobia jarum, kehilangan minat, dan
biaya terapi. Sekitar sepertiga dari pasien tidak merespon dosis biasa dari
alprostadil intrakavernosa. Pada pasien tersebut, alprostadil intrakavernosa telah berhasil
digunakan bersama dengan VED. Atau, kombinasi sinergis injeksi intrakavernosa dari
agen vasoaktif yang bertindak dengan mekanisme yang berbeda telah digunakan. Terapi
kombinasi intrakavernosa biasanya menghasilkan ereksi yang lebih lama dibandingkan
ereksi yang dihasilkan dari salah satu agen dalam campuran atau kombinasi. Selain karena
dosis yang rendah dari setiap agen dalam kombinasi, efek samping sistemik dan lokal
lebih sedikit berkembang dibandingkan dengan dosis tinggi monoterapi. Misalnya, ketika
digunakan dalam regimen kombinasi dosis rendah, papaverin kurang cenderung untuk
menginduksi hipotensi dan disfungsi hati, dan fentolamin kurang cenderung menginduksi
takikardia dan hipotensi. Namun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terapi
kombinasi intrakavernosa tidak tersedia secara komersial dan diperparah dengan tanpa
persiapan.7
Dosis lazim alprostadil intrakavernosa adalah 10 sampai 20 mcg, dengan dosis
maksimum yang dianjurkan adalah 60 mcg. Dosis lebih besar dari 60 mcg tidak
menghasilkan perbaikan lebih besar dalam ereksi penis tetapi dapat menyebabkna ereksi
berkepanjangan yang berlangsung lebih dari 1 jam atau sistemik hipotensi. Dosis harus
diberikan 5 sampai 10 menit sebelum melakukan hubungan seksual. Di bawah
pengawasan seorang dokter, pasien harus dimulai dengan dosis 1,25 mcg, yang dapat

13
ditingkatkan dengan penambahan sebesar 1,25 sampai 2,50 mcg pada interval 30 menit
sampai dosis terendah yang menghasilkan ereksi selama 1 jam dan tidak menghasilkan
efek samping. Dalam praktek klinis, proses ini jarang dilakukan karena memerlukan
waktu. Untuk menghindari efek yang merugikan, pasien harus menerima tidak lebih dari 1
suntikan per hari dan tidak lebih dari 3 suntikan per minggu. Injeksi intrakavernosa harus
dilakukan dengan menggunakan jarum 0,5 inci, 27 atau 30 ukuran jarum. Sebuah jarum
suntik atau jarum suntik tuberkulin prefilled dengan pengencer seperti yang disediakan
oleh produsen harus digunakan untuk memastikan pengukuran tepat dosis. Pasien dengan
fobia jarum, dapat menggunakan auto injectors tersedia secara komersial (misalnya,
PenInject) untuk memfasilitasi pemberian alprostadil intra-kavernosa. Suntikan
intrakavernosa mengharuskan pasien menggunakan teknik aseptik yang baik (untuk
menghindari infeksi), memiliki keterampilan manual yang baik dan kemampuan visual,
dan merasa nyaman dengan teknik injeksi. Setelah injeksi, penis harus dipijat untuk
membantu mendistribusikan obat ke dalam korpus kavernosum. Daerah injeksi harus
digilir dengan dosis masing-masing. Pada akhir prosedur, pada daerah injeksi harus
ditekan selama 5 menit untuk mengurangi kemungkinan pembentukan hematoma. Setelah
dosis optimal alprostadil intrakavernosa tercapai, pasien harus kembali untuk tindak lanjut
medis rutin setiap 3 sampai 6 bulan.7
B. Intraurethral Alprostadil
Beberapa studi menunjukkan produk ini memiliki efektivitas keseluruhan 43%
sampai 60% dibandingkan dengan 70% sampai 90% untuk alprostadil intrakavernosa.
Efektivitas menurun dan metode administrasi nyaman yang dihasilkan produk ini
mempertimbangkan pilihan pengobatan thirdline untuk pasien dengan disfungsi
ereksi. Namun, beberapa pasien merespon alprostadil intraurethra meskipun mereka
tidak merespon alprostadil intrakavernosa. Alprostadil intraurethra yang
dikombinasikan dengan adjustable penil constriction band untuk meningkatkan
respon pengobatan.7
Dosis biasa alprostadil intrauretra adalah 125-1000 mcg. Dosis harus diberikan 5
sampai 10 menit sebelum hubungan seksual. Tidak lebih dari dua dosis per hari yang
direkomendasikan. Sebelum administrasi, pasien harus disarankan untuk
mengosongkan kandung kemih. Mirip dengan perawatan injeksi intrakavernosa,
penyisipan alprostadil intraurethra membutuhkan keterampilan manual dan visual
yang baik untuk meminimalkan risiko cedera uretra. Alprostadil intraurethra

14
disediakan dalam aplikator intrauretra prefilled. Dengan satu tangan pasien memegang
glans penis, dan dengan tangan lain pasien memasukkan aplikator intraurethra 0,5 inci
ke dalam uretra. Pelet obat ini kemudian didorong ke dalam uretra. Penis harus dipijat
untuk meningkatkan kelarutan obat dalam cairan uretra dan penyerapan obat.
4. Unapproved agents
A. Trazodone
Mekanisme trazodone dalam menyebabkan ereksi belum jelas, namun mungkin
disebabkan karena efek perifernya pada α-adrenergik reseptor antagonis. Akibatnya,
efek kolinergik muncul lebih dominan dan menyebabkan vasodilatasi arteriol perifer
dan relaksasi jaringan kavernosus sehingga meningkatkan aliran darah ke corpora.
Injeksi trazodone intrakavernosa dalam studi eksperimental menunjukkan fakta yang
mendukung mekanisme tersebut. Studi awal menunjukkan bahwa trazodone 50-200 mg
per oral sehari mungkin efektif dalam terapi disfungsi ereksi fungsi, uji coba ini tidak
terkontrol, nonrandomized, dan menggunakan sampel kecil. Studi lain yang terkontrol
baik menunjukkan bahwa trazodone 50 dan 150 mg per oral sehari tidak lebih efektif
dibandingkan plasebo pada sebagian besar pasien dengan disfungsi ereksi. Efek
samping dari trazodone, bila digunakan untuk disfungsi ereksi fungsi yaitu oversedasi
dan blockade pada α-adrenergik.7
B. Yohimbin
Yohimbin dikenal juga sebagai yohimbe, secara luas digunakan sebagai
aphrodisiac (perangsang keinginan seksual). Mekanismenya yaitu efek α2-adrenergik
antagonis yang meningkatkan katekolamin dan menyebabkan peningkatan mood.
Namun, beberapa peneliti percaya bahwa yohimbin memiliki efek proerektogenik
perifer. Yohimbin dapat mengurangi efek α-adrenergik perifer, sehingga efek
kolinergik dominan. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya respon vasodilatasi. Dosis
oral biasanya adalah 5,4 mg tiga kali sehari. Sebuah uji klinis terkontrol telah
menunjukkan dosis tinggi yohimbin (100 mg sehari) tidak lebih efektif daripada
plasebo. Berdasarkan meta-analisis dari suatu penelitian telah menyimpulkan hal yang
sama, American Urological Association juga telah memberikan peringatan terhadap
penggunaan yohimbin. Selain itu, yohimbin juga memiliki banyak efek samping
sistemik, termasuk kecemasan, insomnia, takikardia, dan hipertensi.7
C. Papaverine

15
Papaverine bekerja dengan menghambat phosphodiesterase kavernosus sehingga
menyebabkan penurunan katabolisme metabolik dari cAMP dalam jaringan kavernosus.
Akibatnya, meningkatnya cAMP dan terjadi relaksasi otot. Sinusoid kavernosus terisi
dengan darah dan menyebabkan terjadinya ereksi penis. Papaverine tidak disetujui
FDA untuk terapi disfungsi ereksi. Papaverine intrakavernosus tunggal tidak umum
digunakan untuk manajemen disfungsi ereksi karena diperlukan dosis yang besar dan
menyebabkan efek samping yaitu priapisme, fibrosis kopral, hipotensi, dan
hepatotoksik. Papaverine lebih sering digunakan dalam dosis yang lebih rendah dan
dikombinasikan dengan phentolamine atau alprostadil. Kombinasi dianggap lebih aman
karena terkait dengan minimalnya potensi efek samping serius dari dosis tinggi.
Sebagian dari tiap dosis papaverine diserap secara sistemik dan waktu paruh plasmanya
1 jam. Dosis papaverine adalah 7,5-60 mg bila digunakan sebagai terapi tunggal untuk
injeksi intrakavernosa. Ketika digunakan dalam kombinasi, dosis menurun menjadi 0,5-
20 mg. Jika diterapi dengan papaverine, pasien dengan riwayat penyakit hati atau
penyalahgunaan alkohol harus melakukan tes fungsi hati dan dilakukan secara rutin
pada awal terapi dan setiap 6-12 bulan selama terapi berlangsung.7
D. Phentolamine
Phentolamine adalah agen pemblok α-adrenergik yang kompetitif dan nonselektif
sehingga menurunkan efek adrenergik perifer dan meningkatkan efek kolinergik. Hal
ini menyebabkan peningkatan pengisian kavernosus dan merupakan proerektogenik.
Phentolamine paling sering diberikan dalam injeksi intracaernosal. Monoterapi
sebaiknya dihindari, dosis besar dibutuhkan, dan efek samping hipotensi umum terjadi.
Phentolamine paling sering digunakan dalam kombinasi dengan agen vasoaktif lain
untuk injeksi intrakavernosa. Kombinasinya yaitu 30 mg papaverine dan 0,5-1 mg
phentolamine dan dosis dari kombinasi tersebut antara 0,1-1 mL. Kombinasi tersebut
memperantarai efek lokal phentolamine dan meminimalkan efek samping hipotensi
sistemik. Hipotensi adalah efek samping yang paling umum dari phentolamine
intracavernosal. Hal ini lebih umum dan lebih parah pada penggunaan dosis tinggi atau
pada pasien dengan teknik injeksi yang salah (menyuntikkankedalam suatu vena, bukan
cavernosa). Ereksi berkepanjangan juga telah dilaporkan pada pasien yang
menggunakan kombinasi intrakavernosa dengan dosis yang berlebihan.7
Tabel 2.3. Regimen Dosis untuk Disfungsi Ereksi
No Route of Generic name Dosage Form Common Dosing
Administration (Brand Name) Regimen

16
1 Oral Yohimbine (Aphrodyne, 5.4-mg tablet or 5.4 mg three times
Yocon, Yohimex) capsule a day

Sildenafil (Viagra) 25-mg, 50-mg, 25–100 mg 1 hour


100-mg tablets before intercourse
Apomorphine (Uprima)a Sublingual tablets

Methyltestosterone 10-mg, 25-mg 10–40 mg daily


(Oreton, Android) tablets and
capsules
Fluoxymesterone 2-mg, 5-mg, 10- 5–20 mg daily
(Halotestin) mg tablets

Trazodone (Desyrel)b 50-mg, 100-mg, 50–150 mg daily


150-mg, 300-mg
tablet

Phentolamine (Spontane, Oral or buccal


Vasomax)a tablets
Vardenafil (Levitra) 2.5-mg, 5-mg, 10- 5–10 mg 1 hour
mg, 20-mg tablets before intercourse
Tadalafil (Cialis) 5-mg, 10-mg, 20- 5–20 mg prior to
mg tablets intercourse
2 Topical Testosterone patch 4 mg/patch, 6 4–6 mg/day; apply
(Testoderm) mg/patch to scrotum
Testosterone patch 4 mg/patch, 6 4–6 mg/day; apply
(Testoderm TTS) mg/patch to arm, buttock,
back
Testosterone patch 2.5 mg/patch 2.5–5 mg/day;
(Androderm) apply to arm,
back, abdomen,
thigh
Testosterone gel 5 g/pkt, 10 g/pkt 5–10 g/day; apply
(AndroGel 1%) to shoulders, upper
arms, abdomen

3 Intramuscular Testosterone cypionate 100 mg/mL, 200 200–400 mg every


(Depo-Testosterone) mg/mL 2 to 4 weeks

Testosterone enanthate 100 mg/mL, 200 200–400 mg every


(Delatestryl) mg/mL 2 to 4 weeks
Testosterone propionate 100 mg/Ml 25–50 mg two to
three times a week
4 Intraurethral Alprostadil (MUSE) 125-mcg, 250- 125–1000 mcg 5
mcg, 500-mcg, to 10 minutes
1000-mcg pellets before
Intercourse
5 Intracavernosal Alprostadil (Caverject) 5 mcg, 10 mcg, 2.5–60 mcg 5 to
20 mcg injection 10 minutes before
Intercourse
Alprostadil (Edex) 5 mcg, 20 mcg, 2.5–60 mcg 5 to
20 mcg, 40 mcg 10 minutes before
injection Intercourse

17
Papaverineb 30 mg/mL Variable, usually
injection used in
combination
Phentolamineb 2.5 mg/mL Variable, usually
injection used in
combination

18
BAB III

KESIMPULAN

Disfungsi ereksi merupakan ketidakmampuan persisten untuk mencapai dan


memelihara ereksi yang cukup untuk memungkinkan kinerja seksual yang memuaskan.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi terjadinya disfungsi ereksi pada laki-laki, yaitu
psikologik (depresi, stress, gangguan hubungan personal) dan organik (penyakit kronis, obat-
obatan, pembedahan, trauma, radioterapi pelvis). Disfungsi ereksi dapat terjadi karena tiga
mekanisme dasar yaitu, adanya kegagalan menginisiasi (psikogenik, endokrinologik, atau
neurogenik), kegagalan untuk mengisi (arteriogenik), atau kegagalan dalam menyimpan
volume darah yang adekuat di dalam jaringan lankunar (disfungsi venooklusif). .Terapi non
farmakologi dapat dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, psikoterapi, VED dan Penil
Prostesis, sedangkan untuk terapi farmakologi dapat digunakan golongan penghambat
fosfodiesterase (Inhibitor fosfodiesterase), Testoterone replacement regimens, Alprostadil,
Unapproved agents serta Penile Prostheses (Operasi Implantasi).

19
Daftar Pustaka

1. Anderson, Clifford R. Petunjuk Modern Kepada Kesehatan, Bandung : Indonesia


Publishing House; 2004
2. Hatzimouratidis, K., 2010, Guidelines on Male Sexual Dysfunction: Erectile
Dysfunction and Premature Ejaculation. Dalam Lue TF, Giuliano F, Montorsi F, et al.
Summary of the recommendations on sexual dysfunctions in men. J Sex Med
2004;1:6–23.
3. Tsertsvadze A., Yazdi, F., Fink, H.A., MacDonald, R., Wilt, T.J., Soares-Weiser, K.,
Bella, A.J., Deforge, D., Garritty, C., Ansari, M., Sampson, M., Daniel, R., dan Moher,
D. Diagnosis and Treatment of Erectile Dysfunction.Canada: AHRQ Publication;2009
4. Dipiro, J. T., Talbert, R.L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G.., and Posey, L. M.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 8th Ed. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc;2011
5. Susanto,L.T.M., Sildenafil dalam Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi, Jurnal, Bagian
Histologi Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti;2010
6. DiPiro, Joseph T., Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells,
dan L. Michael Posey. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, Sixth
Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc : USA;2005
7. Dipiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th Edition. New York: The
MacGraw-Hill Company Inc;2008
8. Wincze, J.P and Carey, M.P.Sexual Disfunction A Guide for Assessment and
Treatment. New York : The Guilford Press;2001
9. Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer T. L., Dipiro, C. V., 2009,
Pharmacotherapy Handbook, 7th ed, The McGraw-Hill Companies, Inc. P. 263-271.

20

Anda mungkin juga menyukai