Anda di halaman 1dari 7

Kisruh BPJS

Masih ingatkah beberapa waktu lalu dengan kisruh


kesehatan yang diakbatkan oleh BPJS? Lantas siapakah
sebenarnya yang salah? Seperti yang kita ketahui semua pihak
tidak ingin disalahkan, termasuk dalam hal ini pemerintah.

Meskipun dalam kenyataannya pemerintahlah yang


kurang antisipatif dengan hal ini, bagaimana tidak BPJS
menunggak hampir diseluruh Rumah Sakit dengan jumlah
uang yang tidak sedikit. Bahkan berdasarkan informasi yang
beredar beberapa Rumah Sakit dikabarkan terancam bangkrut.

Pemerintah harusnya sadar bahwa sebuah Rumah Sakit


memerlukan biaya operasional yang tidak sedikit, apabila
BPJS membebankan pembiayaanya terlebih dahulu kepada
Rumah Sakit, lambat laun keuangan Rumah Sakit akan
terganggu.

Akibat kisruh tersebut akhirnya masyarakat yang harus


menjadi korban. Sedangkan pelayanan kesehatan merupakan
hal yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan.

Pemerintah selaku penanggung jawab harus mengevaluasi


program ini, sebab apabila tidak pelayanan kesehatan di negeri
ini akan semakin memburuk.
Krisis Garam
Ada yang aneh ketika Indonesia sampai kekurangan garam
sehingga harus mengimpor garam dari Australia. Jika negara padang
pasir seperti Mesir, Arab, atau daerah sabana seperti di benua Afrika
kekurangan garam hal itu sangat wajar mengingat negri mereka jauh dari
laut.

Sementara itu, Indonesia yang kaya akan air laut kok bisa
kehabisan garam? Analisa mengatakan bahwa faktor cuaca telah
membuat produksi garam menurun.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pengolahan sumber daya alam di


Indonesia, dalam kasus ini adalah air laut, sangat tidak optimal.

Pengelolaan dalam hal ini bukan hanya pada cara memproduksi


garam semata namun juga regulasi pemasaran serta kisaran harga yang
bisa menunjang taraf hidup petani garam. Sampai sejauh ini garam
Indonesia sebagian besar diproduksi dengan cara tradisional oleh para
petani garam.

Produksi tersebut sangat mengandalkan matahari agar bisa


menghasilkan garam dalam jumlah besar. Saat cuaca tidak menentu dan
sering turun hujan, maka produksi garam akan menurun dan bila musim
hujan turun dalam jangka waktu yang lama maka stok garam akan habis
lalu terjadi krisis garam dimana harga garam bisa naik lebih dari 3 kali
lipat.

Sebelum krisis ini terjadi, pemerintah tak banyak memberikan


perhatiaannya untuk para petani garam. Produksi garam masih dilakukan
secara tradisional dan hidup petani garam kurang sejahtera.

Garam yang menjadi salah satu kebutuhan pokok selama ini


disepelekan, harganya tidak mengalami kenaikan secara berkala dan
produksinya masih tetap seperti itu kualitasnya. Jika pemerintah sejak
awal membidik potensi produksi garam Indonesia dan mengupayakan
pengolahan garam dengan cara modern, barangkali garam Indonesia bisa
bersaing dengan garam dunia sehingga kesejahteraan petani garam ikut
meningkat.

Di luar negri, harga sebutir garam kristal bening bisa mencapai


seribu rupiah, rasanya sama hanya saja bentuknya berbeda. Yang
menarik dari fenomena kelangkaan garam adalah munculnya garam
oplosan, yakni garam yang dicampur dengan beling atau pecahan kaca
untuk menambah berat bersihnya. Tentu yang menjadi korban adalah
konsumen.

Tentunya pecahan kaca tersebut akan berbahaya jika tertelah


karena bisa saja melukai lambung dan organ pencernaan lainya. Selain
itu ada juga fenomena garam yang dioplos dengan tawas dan hal itu tak
kalah mengerikan dengan garam plus kaca.

Sekali lagi, hal ini adalah fakta mengerikan jika pemerintah


menyepelekan garam. Lebih jauh dari hal ini, persoalan tersebut
merupakan cermin bahwa potensi alam Indonesia tak tergarap dengan
optimal.

Bagaimanapun juga, garam merupakan kebutuhan pokok yang


digunakan semua orang setiap hari. Hampir semua produk makanan
membutuhkan garam. Revolusi garam di Indonesia hanya terjadi sekali
saja selama ini, yakni ketika pemerintah mencanangkan program garam
beryodium.

Di pasaran, harga garam beryodium sedikit lebih mahal dari garam


biasa. Sebelum ada program tersebut, masyarakat hidup dengan
menggunakan garam biasa dan semuanya baik-baik saja.

Namun setelah muncul wacana baru tentang garam beryodium,


masyarakat dengan senang hati beralih menggunakan garam beryodium
untuk kebutuhan pengolahan makanan dan masakan sehari-hari.
Masyarakat juga tak keberatan dengan harga baru garam tersebut.

Pada momen kali ini sebetulnya merupakan momen yang menarik untuk
sekali lagi merevolusi garam Indonesia.

Revolusi ini tak hanya dalam ranah cara mengelola dan


memproduksi, namun juga menentukan standar dan wajah baru garam
Indonesia untuk kebutuhan rumah tangga.

Hal ini harus dilakukan untuk melindungi masyarakat dari garam


palsu yang beredar di pasaran. Artinya, garam sudah harus dikelola
dengan lebih baik dengan keterlibatan pemerintah dan pihak swasta.

Dengan demikian, garam akan menjadi prospek produksi yang


menjanjikan mengingat negara ini kaya akan bahan baku garam
berkualitas. Lantas apakah para petani garam nantinya akan kehilangan
mata pencaharian jika pemerintah atau bahkan pihak swasta turut serta
dalam produksi garam Indonesia?

Semestinya tidak jika hal ini direncanakan dengan matang dan


diatur sedemikian rupa. Justru hal ini akan menjadi peluang.

Krisis garam bisa dijadikan cermin bagi pemerintah dan seluruh


lapisan masyarakat untuk lebih mengoptimalkan lagi pengelolaan alam
Indonesia yang kaya raya agar kedepannya hal semacam ini tak terulang
lagi.

Jika tidak, mungkin suatu hari tak hanya garam yang langka,
namun juga gula, atau bahkan krisis air bersih. Tentu akan terasa konyol
jika sampai hal seperi itu bisa terjadi mengingat Indonesia memiliki
hampir segalanya untuk dapat diolah secara optimal.
Kenapa pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal dari
negara lain?
Seharusnya revolusi mental yang dikumandangkan oleh Presiden
Jokowi bukan hanya sekedar slogan, melainkan amanah sekaligus beban
bersama yang harus dibenahi bersama-sama.

Bagaimanapun juga, pendidikan tak bisa dilepaskan dari sektor


lain, oleh karenanya untuk memajukan pendidikan pemerintah tak bisa
mengandalkan dinas terkait semata, harus ada dukungan dari sektor lain,
terutama dalam hal ekonomi.

Ada beberapa faktor yang membuat pendidikan di Indonesia tetap


terpuruk, pertama adalah soal kesejahteraan para pengajar, kedua adalah
fasilitas, ketiga adalah stigma dan kecenderungan masyarakat dalam
menyikapi pendidikan, dan yang terakhir adalah mental korup dan
gampang menyerah yang menjangkiti sebagian besar pegawai
pemerintah dan masyarakat.

Meski pemerintah telah mengalokasikan dana 20% dari APBN dan


APBD, namun pada praktinya hal tersebut tak sepenuhnya terwujud.
Tidak semua daerah mengalokasikan APBD sebesar 20% untuk
pendidikan dan sementara itu, dana dari APBN banyak diselewengkan
untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.

Bahkan, pihak sekolah itu sendiri tak luput dari dosa


menyelewengkan dana dalam pengertian dana tersebut tak sepenuhnya
disalurkan untuk kepentingan siswa. Apa buktinya? Gampang saja, uang
siapa yang dipergunakan untuk membeli kebutuhan kantor seperti
misalnya kopi, teh, gula, susu, makanan, dan hal remeh temeh lainnya?
Berapa banyak jumlah sekolah yang memiliki kamar mandi/toilet yang
layak?

Lalu dari pihak dinas pendidikan daerah setempat yang sering


mengadakan rapat di tempat-tempat mahal atau dengan menggunakan
konsumsi mahal, uang siapakah itu? Perlukan rapat di tempat-tempat
semacam restoran dan cafe? Hal ini dianggap wajar karena dinas lainnya
melakukan hal serupa. Betapa tidak, bahkan DPR saja memberikan
contoh buruk dalam mengelola keuangan negara, seolah mereka semua
tidak bisa bekerja jika tidak dengan menggunakan fasilitas mewah.

Bayangkan dengan pemerintah masa lalu, guru-guru masa lalu,


prajurit masa lalu yang berkarya dengan keringat, darah, dan air mata
untuk kemerdekaan Indonesia. Jangankan fasilitas mewah, rapat dengan
hidangan seadanya saja sudah untung.

Negara barangkali belum sepenuhnya berhasil dalam memajukan


pendidikan. Lantas, bagaimana dengan masyarakat sendiri? Banyak
masyarakat yang menempatkan dan menggantungkan pendidikan anak
hanya di sekolah saja. Sementara itu, mendidik anak seharusnya
dilakukan terus menerus baik di sekolah atau di rumah seiring dengan
pertumbuhannya.

Apakah jika anak sudah tamat sekolah maka tidak perlu lagi
pendidikan? Pada praktinya, pendidikan seolah berhenti ketika anak
sudah tamat sekolah. Seharusnya tidak demikian, orang tua harus selalu
punya cara dan punya sesuatu untuk diajarkan kepada anak-anaknya,
demikianpula sebaliknya sehingga setiap orang tak pernah berhenti
belajar.

Jika hal ini terjadi, tanpa subsidi dari pemerintahpun pendidikan


akan berjalan dengan baik karena masyarakat hidup dengan kultur dan
kesadaran untuk butuh belajar. Pada kenyataannya tidak sepenuhnya
demikian, masyarakat Indonesia sudah terlalu lelah untuk memikirkan
nasib mereka sehingga tak sempat berfikir dalam tentang pendidikan.

Pendidikan dianggap selesai dengan bersekolah dan kuliah (dalam


hal ini, pendidikan bergantung pada peran pemerintah dalam
menyediakan fasilitas dan SDM).
Padahal, makna kata mendidik itu lain dengan mengajar. Mendidik lebih
luas dari mengajari anak mata pelajaran sekolah.

Mendidik seorang anak tak hanya agar si anak pintar, naik kelas, dan
lulus, tapi juga harus menjadi manusia yang bermoral baik, bermartabat,
berkembang, serta mampu menciptakan kebaruan dalam hidup
bermasyarakat dan berbudaya.

Oleh sebab itulah pendidikan tak cukup dilakukan di sekolah dan oleh
karenanya seorang pendidik (guru, orang tua, teladan) tak boleh lelah
untuk mendorong anak tetap bersemangat berusaha melampaui
keterbatasannya.

Anda mungkin juga menyukai