Minggu ini, bukan saja ramai kasus soal Palestina melainkan pemberitaan mengenai makanan
anti “stunting” yang dibagikan pemerintah Kota Depok kepada masyarakatnya. Tak segan,
warga Depok pun mulai mencurahkan keluhan soal makanan yang kurang rasa dan rupa itu ke
sosial media. Hal ini layak fenomena gunung es di tengah air laut yang dingin, apakah mungkin
kasus seperti itu juga dirasakan di berbagai wilayah di Indonesia?
Stunting melansir dari situs Kemenkes memberikan pengertian soal rupa tubuh anak yang
diidentifikasikan pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang atau tinggi badan
menurut usia yang kurang dari -2 standar deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO
yang terjadi dikarenakan kondisi irreversibel akibat asupan nutrisi yang tidak tercukupi
atau dikarenakan infeksi kronis yang terjadi dalam 1000 hari pertama semenjak
kelahiran. Stunting tidak hanya soal anak yang pendek dan kurus melainkan juga kelak
berpengaruh terhadap kehidupan anak karena menyinggung soal kecerdasan.
Selain karena makanan yang kurang bernutrisi, gaya hidup yang kurang baik, faktor
stunting sebenarnya juga dipengaruhi oleh kesiapan suatu negara dalam memelihara
warga negara nya secara langsung. WHO menyebut bahwa stunting dapat
memengaruhi kerugian ekonomi sebesar 2-3% GDP, bayangkan ketika sebuah negara
berkembang dengan bonus demografi yang signifikan semakin dekat justru memiliki
risiko terbesar karena stunting ini, apakah Indonesia sudah memiliki kesiapan akan hal
tersebut?
FAKTA DI LAPANGAN
Seperti hal nya kasus di Depok, pemberian menu stunting ini memang seringkali disorot
tajam masyarakat. Seperti hal nya wilayah DKI Jakarta, dalam tiap pertemuan
posyandu setiap bulan hanya diberikan makanan berupa buah seperti pisang, melon
dan menu cemilan seperti telur rebus, bubur kacang ijo dalam plastik, atau kue bolu
yang hanya berjumlah satu. Terkadang warga juga mendapat menu gorengan yang
penyajiannya kurang sesuai standar. Indikator kesehatan sepertinya masih dikatakan
kurang mumpuni dan belum lagi soal standar aturan gizi yang seharusnya diterima tiap
anak dan ibu hamil, tekstur dan rasa yang sepertinya tidak terlalu diperhatikan. Belum
lagi warga masyarakat yang membagikan kisah pembagian makan pencegahan
stunting di sosial media yang bukan saja berasal dari wilayah penyanggah ibukota,
berbagai provinsi di luar pulau Jawa misalnya, hanya diberikan susu kental manis atau
telur rebus yang tanpa dibarengi pemberian susu atau buah. Jangan berbicara soal
protein yang merupakan makanan vital sesuai standar yang seharusnya diberikan
karena dari segi kuantitas pun sudah bermasalah.
Padahal, banyak balita yang dikategorikan garis merah dan hitam yang mengalami
kekurangan nutrisi secara kronis yang seharusnya dapat dipenuhi baik oleh orang tua
dan pemerintah. Bila menyalahkan orang tua para anak, sebenarnya bisa saja
masyarakat ini menyalahkan kembali pemerintah soal ekonomi dan beralih untuk
menjawab sebab kemiskinan struktural yang berakibat terhadap stunting. Tapi fakta
menyatakan, memang penanganan stunting yang bersifat vital ini justru kurang
divalidasi oleh pemerintah, misal di tahun 2023 ini dengan angka stunting berjumlah
21,3% yang tak seharusnya membuat pemerintah jemawa. Bahkan kabar beredar
menyebutkan bahwa di tahun politik 2024, stunting harus turun. Semrawut penanganan
stunting memang layak menjadi label setelah meledaknya kasus menu pencegahan
stunting di Depok. Dapat dikatakan, pemerintah pusat melalui visi-misi yang
menunjukan “kesiapan” Layaknya kurang diapresiasi oleh tiap pemerintah daerah yang
membahas soal ranah keuangan di tiap klarifikasinya. Seperti hal nya Pemerintah Kota
Depok yang hanya memberikan anggaran senilai 4,9 Miliar yang tak sebanding dengan
jumlah warga terdampak dan mekanisme prosedural yang ditetapkan kementerian
kesehatan soal makanan bergizi yang nikmat. Bahkan, beberapa warga menyindir soal
gambar walikota-wakil walikota Depok yang seharusnya tidak perlu ditunjukan karena
tidak sebanding dengan makanan yang diberikan. Tentu, hal ini berbanding terbalik
dengan ibukota Jakarta yang menaikan anggaran stunting sebesar 7,36 miliar, hal itu
pun masih dinilai belum mumpuni dikatakan “sesuai”. Lantas, apakah persoalan
anggaran ini akan menjadi fokus utama pemerintah pusat?