Anda di halaman 1dari 4

TINJAUAN TEORI DAN KASUS

Anak pendek (Stuting) dapat diketahui bila tinggi badan anak diukur kemudian
dibandingkan dengan standar dan hasilnya lebih kecil dari normal. Bayi pendek adalah bayi
dengan status gizi berdasarkan tinggi tinggi badan menurut umur dibandingkan dengan
WHO-MGRS (Multicentre Growth Survey) 2005 z-score kurang dari -2SD dan tergolong
sangat pendek jika z-score kurang dari -3SD Masalah pendek bayi menggambarkan masalah
gizi kronis yang dipengaruhi oleh kondisi ibu/calon ibu, masa janin dan usia bayi/anak,
termasuk penyakit yang dialami pada masa kanak-kanak.
Menurut beberapa penelitian, stunting pada anak merupakan proses kumulatif yang
terjadi selama kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang hidup. Pada anak-anak, ada
proses yang lambat dan kesempatan untuk tumbuh selama dua tahun pertama kehidupan.
Banyak faktor yang menyebabkan kolik pada anak. Faktor penyebab perlambatan tersebut
dapat disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak langsung. Penyebab langsung stunting
antara lain asupan makanan dan adanya penyakit menular, sedangkan penyebab tidak
langsung antara lain pola asuh, pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan, budaya, faktor
ekonomi dan banyak faktor lainnya.
Berbicara tentang tumbuh kembang bayi stunting, selain pendek juga dapat
mengalami gangguan perkembangan kognitif, motorik dan bahasa. Peran bidan dalam
memberikan asuhan kebidanan anak stunting dapat mendeteksi penurunan pertumbuhan dan
perkembangan bayi dengan memberikan pendidikan kesehatan, termasuk mendorong bayi
untuk makan makanan sehat dan pemantauan oleh petugas kesehatan. Sehingga diperlukan
kerjasama dengan tim lain, seperti ahli gizi, untuk memenuhi kebutuhan fisik, sosial dan
keluarga.
Kasus stunting pada anak balita masih menjadi masalah kesehatan yang perlu
diwaspadai di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Menteri Kesehatan pada tanggal 12
November 2019, bertepatan dengan Hari Kesehatan Nasional ke-55 (Kompas.com, 12
November 2019). Data prevalensi anak balita stunting yang dikumpulkan World Health
Organization (WHO) yang dirilis tahun 2018 menyebutkan Indonesia termasuk ke dalam
negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di South-East Asian Region setelah Timor Leste
(50,5%) dan India (38,4%) yaitu sebesar 36,4% (Pusat Data dan Informasi Kemenkes, 2018).
Angka prevalensi stunting di Indonesia masih di atas 20%, artinya belum mencapai target
WHO yang di bawah 20%. Bertepatan dengan Hari Anak Universal yang jatuh pada tanggal
20 November 2019, stunting 13 Vol.XI, No.22/II/Puslit/November/2019 perlu dilihat sebagai
persoalan yang penting untuk diatasi karena berkaitan dengan kesejahteraan anak. Hal ini pun
sejalan dengan komitmen Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi
Konvensi PBB 1989 tentang Hak Anak. Konvensi Hak Anak mengandung empat prinsip
penting, yaitu non-diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan
perkembangan anak, dan penghargaan terhadap pendapat anak. Bisa dikatakan, mengatasi
stunting berarti upaya menjalankan prinsip-prinsip dalam Konvensi Hak Anak. Mengatasi
stunting juga merupakan bagian dari upaya pemerintah memberikan perlindungan kepada
anak. Saat ini Indonesia telah memiliki UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. UndangUndang ini menjamin anak atas hak-
haknya untuk hidup dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Tulisan ini mengulas persoalan stunting pada anak di Indonesia dan strategi
penanggulangannya, supaya angka prevalensi stunting terus menurun sesuai dengan target
WHO, yaitu di bawah 20%.
Contoh Kasus:
Jawa Tengah merupakan penyumbang kasus stunting cukup besar di Indonesia. Data
Riskesdas menunjukkan prevalensi stunting Jawa Tengah sebesar 37,8% pada 2013 dan
mengalami penurunan pada 2018 menjadi 32,3%.3 Kementerian Dalam Negeri pada 2019,
menetapkan enam belas kabupaten/kota di Jawa Tengah sebagai lokus prioritas penanganan
stunting salah satunya Kabupaten Demak.
Bukan tanpa alasan, penurunan Prevalensi stunting di ini relatif kecil. Hal ini
tercermin dari Riskesdas tahun 2013 dimana prevalensi stunting di Kabupaten Demak sebesar
30%, sedangkan tahun 2018 masih di atas ambang batas, yaitu sebesar 26,1%. Merespon
stunting sebagai salah satu masalah kesehatan masyarakat, pemerintah telah banyak
menyelenggarakan usaha pencegahan salah satunya melalui Strategi Nasional Percepatan
Pencegahan Stunting. Dalam usahanya, pemerintah menyeleng garakan intervensi gizi
spesifik dengan sasaran prioritas adalah: ibu hamil; ibu menyusui dan anak baduta; anak
balita; remaja dan wanita usia subur (WUS). Penyelenggaraan intervensi ini menggandeng
usaha kesehatan komunitas di masyarakat. Sejak tahun 2011 pemerintah menerbitkan
Rencana Aksi Nasional (RAN) dimana arah utama pencegahan stunting bersifat multisektor.
Meski demikian, tonggak kendali pencegahan stunting paling besar berada di tangan
Kementrian Kesehatan.
Awal tahun 2020, dunia dihadapkan pada situasi kesehatan yang tidak terduga.
Munculnya wabah covid-19 di tengah masyarakat memberikan dampak yang besar bagi
semua sektor, termasuk kesehatan. Karakteristik penularan virus yang relatif mudah, yaitu
melalui droplet menyebabkan adanya usaha pembatasan kegiatan di masyarakat. Sebagai
usaha bersama, Gubernur Jawa Tengah melalui surat edaran Nomor 440/0006405 mengatur
tentang kegiatan masyarakat di tempat umum. Dalam surat edaran tersebut menyatakan
bahwa kegiatan yang melibatkan masyarakat secara berkelompok untuk sementara tidak
boleh diselenggarakan. Dengan demikian, usaha usaha kesehatan komunitas, seperti
posyandu, kelas ibu balita, kelas ibu hamil, sulit untuk dilaksanakan.
Dalam Rancangan Aksi Daerah Pangan dan Giri (RAD-PG), Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah menargetkan prevalensi stunting sebesar 20% pada tahun 2023.11 Oleh karena
itu penurunan prevalensi stunting merupakan hal penting dan perlu segera dilakukan.
Terlebih lagi, akhir pandemi tidak dapat diprediksi sehingga target penurunan stunting pada
2023 kemungkinan besar sulit dicapai. Berdasarkan alasan tersebut, peneliti bertujuan
melakukan evaluasi pelaksanaan program pencegahan stunting di era pandemi covid-19 di
Kabupaten Demak sebagai lokus intervensi pencegahan stunting di Jawa Tengah.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Komponen Input
1. Sumber daya dana

Sebagian besar program untuk mencegah stunting masyarakat didanai oleh desa.
Secara keseluruhan, informan menyatakan bahwa selama masa pandemi Covid-19,
dana desa masih diberikan sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Berdasarkan hal
tersebut, untuk mencegah stunting di masyarakat Sebagian besar hibah untuk program
di Menurut sumber lain, selain dana desa, program stunting juga dibiayai oleh
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Kabupaten Demak dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) yang beroperasi melalui Kementerian Kesehatan.
Sumber mengatakan menggunakan dana desa untuk mengerdilkan anak-anak berkisar
antara 0 juta hingga 60 juta per tahun. Secara rinci, setiap anak yang bercirikan gizi
buruk dan stunting akan dialokasikan anggaran sebesar Rp8.000 per hari selama
empat bulan berturut-turut. Paket Desa yang diberikan kepada setiap anak mencakup
PMT 4-5 jenis makanan dan suplemen F-100.
Panduan yang dikembangkan oleh Sekretariat Promosi Pencegahan Stunting
mengacu pada pemetaan program, kegiatan, dan sumber pendanaan untuk
memfasilitasi percepatan konvergensi pencegahan stunting di kabupaten/kota. Dalam
panduan ini, sumber pendanaan program dan kegiatan stunting diasumsikan berasal
dari berbagai sumber, antara lain APBN, APBD provinsi, APBD kabupaten/kota,
dana desa, dan sumber pendapatan lain yang sah sebagaimana diatur dalam kebijakan
menjelaskan bahwa sebagian besar dana berasal dari dana desa.
2. Sumber Daya Manusia

Dalam studi ini, semua informan menunjukkan bahwa kekurangan staf yang
melakukan kegiatan stunting di puskesmas merupakan tantangan selama pandemi.
Seluruh SDM yang ada akan didedikasikan untuk kegiatan vaksinasi Covid-19.
Pelapor menjelaskan, petugas yang ada saat ini menggunakan sistem rolling harian
untuk menjaga pelaksanaan program stunting, dikatakan tidak ada penambahan SDM.
Kebutuhan pra-pandemi untuk tenaga magang dan tenaga kesehatan yang
dipekerjakan tidak dipenuhi oleh PPKM.
Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia dianalisis sebagai bagian dari Studi Bidang
Kesehatan Bappenas 2019: Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan. Survei
menemukan masih kurangnya sumber daya manusia di Pelayanan Kesehatan dan
Medis (UKM) termasuk gizi dalam pelaksanaan kegiatan kesehatan masyarakat. Salah
satu alasan yang mendasarinya adalah terbitnya Surat Keputusan Bersama Menteri
Negara Nomor 02/SPB/M.PAN RB/8/2011 tentang Penguatan Bentuk Negara dan
Birokrasi, Menteri Dalam Negeri Nomor 800-632 tahun 2011 dan Menteri Keuangan
Nomor 141/PMK.01/2011 tentang Moratorium Rekrutmen Pegawai Negeri Sipil
kecuali Dokter, Bidan dan Perawat.
3. Prosedur Pelaksanaan

Informan mengatakan tidak ada kendala terkait prosedur pelaksanaan yang


digunakan oleh petugas pelayanan program stunting. Sumber menyebutkan, Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah telah memberikan materi baku tentang cara
pelaksanaan promosi kesehatan bagi balita. Sumber mengatakan bantuan itu adalah
bagian dari kampanye pendidikan untuk ibu dengan anak di bawah usia lima tahun.
Materi dapat dimodifikasi oleh bidan desa dan ahli gizi Puskesmas sesuai dengan
kondisi setempat. Sebagian besar informan menunjukkan bahwa bahan baku tersebut
dicetak dan direproduksi oleh petugas Puskesmas kemudian dibagikan kepada bidan
di setiap desa.
4. Obat, Suplemen, PMT dan Alat Kesehatan

Berdasarkan hasil kajian, Dinas Kesehatan mampu memenuhi sebagian besar


ketersediaan obat-obatan dan vitamin yang mendukung program stunting. Menurut
informan, kebutuhan tablet obat cacing, vitamin A dan zinc tidak menjadi kendala di
masa pandemi Covid-19. Informan menyatakan bahwa tantangan tersebut adalah
sosialisasi kepada masyarakat. Biasanya pemberian obat cacing dan vitamin A
dilakukan di setiap desa bersamaan dengan posyandu. Namun selama PPKM,
operasional posyandu dilakukan di tingkat RT dengan menggunakan protokol
kesehatan yang ketat. Oleh karena itu, sedikit yang enggan datang untuk mendapatkan
obat yang diberikan oleh kader secara door to door.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kebutuhan obat dan vitamin sudah
terpenuhi dengan baik oleh Puskesmas di Kabupaten Demak. Sesuai peraturan, dosis
vitamin A diberikan dua kali setahun (Februari dan Agustus) oleh petugas. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Sedgh menemukan bahwa stunting di bawah usia lima
tahun dapat diatasi dengan vitamin A dosis tinggi. Studi tersebut menemukan bahwa
anak-anak stunting di bawah usia lima tahun yang menerima vitamin A secara teratur
mengalami peningkatan tinggi badan yang signifikan.

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2218/3/BAB%20II.pdf
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/888/2/BAB%20II.pdf
http://ejurnal.stikesrespati-tsm.ac.id/index.php/bidkes/article/view/297/269
https://kesmas.ulm.ac.id/id/wp-content/uploads/2019/02/BUKU-REFERENSI-STUDY-GUIDE-
STUNTING_2018.pdf
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jmki/article/download/42792/22073

Anda mungkin juga menyukai