Anda di halaman 1dari 28

TUGAS (POLICY PAPER) TEMA “KESEHATAN”

KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERMASALAHAN PERCEPATAN PENURUNAN


STUNTING DI INDONESIA

OLEH KELOMPOK II

YUNITA AULIA PUTRI (S1A120096)


DEVI OCTAVIANI (S1A120109)
ISMA PEBRIANINGSIH (S1A120123)
DANDHI AHMAD SUHARLAN (S1A120108)
TITO ARYAN (S1A120089)
ABDI FACHRULLAH (S1A120097)
LA ODE MUSLIMI (S1A120128)
HERDIN (S1A120117)

KELAS C
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR

Prevalensi stunting di Indonesia memiliki angka cukup stagnan dari tahun 2007

hingga 2020. WHO menetapkan batasan masalah gizi tidak lebih dari 20%, sehingga dengan

demikian Indonesia termasuk dalam negara yang memiliki masalah kesehatan masyarakat.

Penurunan Perpres no. 42/2013 telah menetapkan Gerakan Nasional Seribu Hari Pertama

Kehidupan dalam upaya meningkatkan status gizi balita yang diikuti oleh pengembangan

program termasuk anggarannya. Stunting memiliki risiko panjang yakni PTM pada usia

dewasa, walaupun masih dapat dikoreksi pada usia dini. Upaya penurunan masalah gizi harus

ditangani secara lintas sektoral di semua lini. Ibu dan calon pengantin harus dibekali dengan

pengetahuan cukup tentang gizi dan kehamilan, ASI Eksklusif pada ibu bersalin yang sehat.

Selanjutnya MPASI harus dipahami oleh para ibu dan tenaga kesehatan secara optimal.

Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui kebijakan dan permasalahan percepatan

penurunan stunting di Indonesia. Sebagai penutup, kami ucapkan kepada semuah pihak yang

telah membantu tersusunnya policy paper ini. Semoga policy paper ini dapat memberikan

konstribusi dan manfaat bagi semua pihak.

Kendari, 06 Juli 2022

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii

DAFTAR TABEL...................................................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR................................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................................1

B. Tujuan............................................................................................................................2

C. Sistematika Penulisan...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3

1. TINJAUAN PENANGGULANGAN MASALAH STUNTING DI INDONESIA 3

2. TUJUAN PERCEPATAN PENURUNAN STUNTING............................................6

3. PERMASALAHAN STUNTING DI NDONESIA....................................................7

4. KENDALA DALAM PENYELENGGARAAN PERCEPATAN PENCEGAHAN


STUNTING..........................................................................................................................11

5. ALTERNATIF STRATEGI DAN KEBIJAKAN....................................................11

6. PROGRAM INTERVENSI STUNTING YANG DICANANGKAN


PEMERINTAH...................................................................................................................12

BAB III PENUTUP................................................................................................................19

A. Kesimpulan..................................................................................................................19

B. Rekomendasi................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................21

LAMPIRAN............................................................................................................................22

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil Prediksi Angka Stunting Tahun 2020 Tingkat Nasional dan Provinsi

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram Penyebab Terjadi Masalah Stunting

Gambar 2. Prevalensi Balita Stunting Nasional

Gambar 3. Arah Kebijakan RPJM Bidang Kesehatan Tahun 2020-2024

Gambar. 4 Skema Sumber Pembiayaan Untuk Konvergensi Pencegahan Stunting

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh multi-faktorial dan

bersifat antar generasi. Di Indonesia masyarakat sering menganggap tumbuh pendek sebagai

faktor keturunan. Persepsi yang salah di masyarakat membuat masalah ini tidak mudah

diturunkan dan membutuhkan upaya besar dari pemerintah dan berbagai sektor terkait. Hasil

studi membuktikan bahwa pengaruh faktor keturunan hanya berkontribusi sebesar 15%,

sementara unsur terbesar adalah terkait masalah asupan zat gizi, hormon pertumbuhan dan

terjadinya penyakit infeksi berulang.

Periode 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan simpul kritis sebagai

awal terjadinya pertumbuhan Stunting, yang sebaliknya berdampak jangka panjang hingga

berulang dalam siklus kehidupan. Kurang gizi sebagai penyebab langsung, khususnya pada

balita berdampak jangka pendek meningkatnya morbiditas. Bila masalah ini bersifat kronis,

maka akan mempengaruhi fungsi kognitif yakni tingkat kecerdasan yang rendah dan

berdampak pada kualitas sumberdaya manusia. Pada kondisi berulang (dalam siklus

kehidupan) maka anak yang mengalami kurang gizi diawal kehidupan (periode 1000 HPK)

memiliki risiko penyakit tidak menular pada usia dewasa.

Saat ini, Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi stunting yang

cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan menengah lainnya.

Balita/Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki

tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit

dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya

secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan

vi
kemiskinan dan memperlebar ketimpangan. Situasi ini jika tidak diatasi dapat memengaruhi

kinerja pembangunan Indonesia baik yang menyangkut pertumbuhan ekonomi, kemiskinan

dan ketimpangan

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 angka prevalensi stunting di yaitu

36,8%, tahun 2010 yaitu 35,6% dan pada tahun 2013 prevalensinya meningkat menjadi

37,2%, terdiri dari 18% sangat pendek dan 19,2% pendek. Data Riskedas 2018

menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia sebesar 30,8%. Pada tahun 2019

prevalensi stunting sebesar 27,7% dan pada tahun 2020 turun menjadi 26,92%. Penurunan

angka stunting diprediksi sebesar 0,75% dibandingkan dengan tahun 2019. (Kemenkes,

2020)

Penanganan stunting di indonesia juga tercermin dengan penetapan stunting sebagai

salah satu prioritas dalam program pembangunan nasional. Arah kebijakan dan strategi

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menyebutkan

perihal peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta

dengan penekanan pada penguatan pelayanan kesehatan dasar (primary health care).

B. Tujuan

Penulisan naskah kebijakan ini bertujuan untuk menghasilkan usulan/rekomendasi

rencana kebijakan dan percepatan penurunan masalah stunting di Indonesia.

C. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan policy paper ini yaitu diawali dengan Bab I Pendahuluan terdiri

dari latar belakang, Tujuan dan Sistematika Penulisan. Selanjutnya Bab II Pembahasan dan

Bab III Kesimpulan dan Rekomendasi.

vii
BAB II

PEMBAHASAN

1. TINJAUAN PENANGGULANGAN MASALAH STUNTING DI INDONESIA

Stunting adalah suatu kondisi dimana anak mengalami gangguan pertumbuhan,

sehingga tinggi badan anak tidak sesuai dengan usianya, sebagai akibat dari masalah gizi

kronis yaitu kekurangan asupan gizi dalam waktu yang lama . Stunting merupakan masalah

gizi kronis yang disebabkan oleh multi-faktorial dan bersifat antar generasi. Di Indonesia

masyarakat sering menganggap tumbuh pendek sebagai faktor keturunan. Persepsi yang salah

di masyarakat membuat masalah ini tidak mudah diturunkan dan membutuhkan upaya besar

dari pemerintah dan berbagai sektor terkait. Hasil studi membuktikan bahwa pengaruh faktor

keturunan hanya berkontribusi sebesar 15%, sementara unsur terbesar adalah terkait masalah

asupan zat gizi, hormon pertumbuhan dan terjadinya penyakit infeksi berulang. Variabel lain

dalam pertumbuhan stunting yang belum banyak disebut adalah pengaruh paparan asap rokok

maupun polusi asap juga berpengaruh terhadap pertumbuhan stunting. (Khairani, 2020)

Periode 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan simpul kritis sebagai

awal terjadinya pertumbuhan Stunting, yang sebaliknya berdampak jangka panjang hingga

berulang dalam siklus kehidupan. Kurang gizi sebagai penyebab langsung, khususnya pada

balita berdampak jangka pendek meningkatnya morbiditas. Bila masalah ini bersifat kronis,

maka akan mempengaruhi fungsi kognitif yakni tingkat kecerdasan yang rendah dan

berdampak pada kualitas sumberdaya manusia. Pada kondisi berulang (dalam siklus

kehidupan) maka anak yang mengalami kurang gizi diawal kehidupan (periode 1000 HPK)

memiliki risiko penyakit tidak menular pada usia dewasa.

viii
Upaya percepatan perbaikan gizi merupakan upaya Global, tidak saja untuk

Indonesia, melainkan semua negara yang memiliki masalah gizi stunting. Adapun target yang

telah ditetapkan dalam upaya penurunan prevalensi stunting antara lain: menurunnya

prevalensi stunting, wasting dan dan mencegah terjadinya overweight pada balita,

menurunkan prevalensi anemia pada wanita usia subur, menurunkan prevalensi bayi berat

lahir rendah (BBLR), meningkatkan cakupan ASI eksklusif. Sebagai negara anggota PBB

dengan prevalensi stunting yang tinggi turut berupaya dan berkomitmen dalam upaya

percepatan perbaikan gizi ‘scaling up nutrition (SUN)’ masyarakat. Upaya tersebut tidak

terlepas dari rencana jangka panjang, menengah dan jangka pendek dengan mengacu kepada

undang-undang yang telah ditetapkan oleh Badan Legislatif.

Undang-Undang nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

(2005-2025) menyebutkan, pembangunan pangan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara

lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan dengan

kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya. Selanjutnya, Undang-

Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan, arah perbaikan

gizi adalah meningkatnya mutu gizi perorangan dan masyarakat melalui, perbaikan pola

konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang; perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas

fisik, dan kesehatan; peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan

kemajuan ilmu dan teknologi; dan peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi. Sejalan

dengan kedua undang-undang tersebut, terbit Undang- Undang tentang Pangan nomor 18

tahun 2012 yang menetapkan kebijakan di bidang pangan untuk perbaikan status gizi

masyarakat. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi

setiap 5 (lima) tahun. (Khairani, 2020)

Dari ketiga undang-undang tersebut selanjutnya diterbitkan Perpres N0. 5/ 2010

tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2010-2014) menyebutkan, arah

ix
Pembangunan Pangan dan Gizi yaitu meningkatkan ketahanan pangan dan status kesehatan

dan gizi masyarakat. Selanjutnya, Inpres No. 3/2010 menegaskan tentang penyusunan

Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2011-2015 dan Rencana Aksi Daerah

Pangan dan Gizi (RAD-PG) 2011-2015 di 33 provinsi.

Peraturan Presiden nomor 42/2013 tentang Gerakan Nasional Perbaikan Gizi

diterbitkan untuk mendukung upaya penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku

kepentingan secara terencana dan terkoordinir untuk percepatan perbaikan gizi dalam 1000

hari pertama kehidupan (1000 HPK). Dengan demikian, instrumen pendukung kebijakan

dalam percepatan perbaikan gizi sudah cukup lengkap, dan membutuhkan upaya

implementasi yang terorganisir dan dapat diterapkan disetiap tingkatan oleh setiap elemen

yang terlibat. Dengan terbitnya Perpres ini, dibutuhkan upaya yang lebih konkrit, fokus pada

1000 HPK dan integrasi kegiatan secara lintas program (upaya spesifik) maupun lintas

sektoral (upaya sensitif) oleh semua stakes holders.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan double burden atau masalah gizi

ganda, yang ditandai dengan tingginya prevalensi stunting dan anemia pada ibu hamil.

Berdasarkan data stunting JME, UNICEF World Bank tahun 2020, prevalensi stunting

indonesia berada pada posisi ke 115 dari 151 negara di dunia. Sebagai dampak dari pandemi

COVID-19, tanpa adanya tindakan yang cukup dan tepat waktu, jumlah anak kekurangan gizi

akut (wasting) diprediksi akan meningkat sebesar 15% (7 juta anak) di seluruh dunia pada

setahun pertama pandemi ini.

x
2. TUJUAN PERCEPATAN PENURUNAN STUNTING
Pencegahan stunting menyasar berbagai penyebab langsung dan tidak langsung yang

memerlukan kerjasama dan koordinasi lintas sektor di seluruh tingkatan pemerintah, swasta

dan dunia usaha serta masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan dokumen acuan yang dapat

digunakan untuk memastikan koordinasi tersebut terlaksana secara konvergen untuk seluruh

intervensi. Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting diharapkan dapat menjadi

acuan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam mendukung komitmen para pimpinan

nasional baik di pusat maupun daerah.

Tujuan umum Stranas Stunting adalah mempercepat pencegahan stunting dalam

kerangka kebijakan dan institusi yang ada. Tujuan tersebut akan dicapai melalui lima tujuan

khusus sebagai berikut:

a. Memastikan pencegahan stunting menjadi prioritas pemerintah dan masyarakat di

semua tingkatan;

b. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman serta mendorong perubahan perilaku

untuk mencegah stunting;

c. Memperkuat konvergensi melalui koordinasi serta konsolidasi program dan

kegiatan pusat, daerah, hingga tingkat desa;

d. Meningkatkan akses terhadap makanan bergizi dan mendorong ketahanan pangan;

dan

e. Meningkatkan pemantauan dan evaluasi sebagai dasar untuk memastikan

pemberian layanan yang bermutu, peningkatan akuntabilitas, dan pembelajaran.

xi
3. PERMASALAHAN STUNTING DI NDONESIA

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 angka prevalensi stunting di yaitu

36,8%, tahun 2010 yaitu 35,6% dan pada tahun 2013 prevalensinya meningkat menjadi

37,2%, terdiri dari 18% sangat pendek dan 19,2% pendek. Data Riskedas 2018

menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia sebesar 30,8%. Pada tahun 2019

prevalensi stunting sebesar 27,7% dan pada tahun 2020 turun menjadi 26,92%. Penurunan

angka stunting diprediksi sebesar 0,75% dibandingkan dengan tahun 2019. Berdasarkan

batasan WHO Indonesia berada pada kategori masalah stunting yang tinggi. (Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2021)

Gambar 1. Diagram Penyebab Terjadi Masalah Stunting


Gambar di atas menerangkan beberapa penyebab terjadinya stunting, yang terdiri dari

penyebab langsun dan tidak langsung. Ternyata faktor intake makanan, diare pada balita,

serta imunisasi lengkap sebagai penyebab langsung dipengaruhi oleh penyebab tidak

langsung seperti keluarga tidak memiliki sanitasi layak, kondisi rawan pangan pada

penduduk,dan balita tidak dipantau pertumbuhannnya secara rutin. Permasalahan multidimesi

xii
yang menjadi penyebab stunting memerlukan kerja sama dan upaya dari lintas

Kementrian/Lintas Sektor untuk bersinergi dalam upaya percepatan penurunan stunting.

(Khairani, 2020)

Menurut World Health Organization (WHO), stunting adalah gangguan

perkembangan pada anak yang disebabkan oleh gizi buruk, infeksi yang berulang, dan

simulasi psikososial yang tidak memadai. Apabila seorang anak memiliki tinggi badan lebih

dari -2 standar deviasi median pertumbuhan anak yang telah ditetapkan oleh WHO, maka ia

dikatakan mengalami stunting.

Gambar 2. Prevalensi Balita Stunting Nasional

Masalah stunting di Indonesia adalah ancaman serius yang memerlukan penanganan

yang tepat. Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2020,

prevelensi stunting di Indonesia mencapai 26,92%. Artinya, sekitar satu dari empat anak

balita (lebih dari delapan juta anak) di Indonesia mengalami stunting. Angka tersebut masih

sangat tinggi jika dibandingkan dengan ambang batas yang ditetapkan WHO yaitu 20%.

xiii
Beberapa indikator penting faktor resiko terjadinya stunting di Indonesia yaitu :

1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

2. Panjang Badan Lahir Pendek (PBLP)

3. Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap

Dalam upaya penanganan stunting di Indonesia, pemerintah sendiri sudah

menargetkan Program Penurunan Stunting menjadi 14% pada tahun 2024 mendatang.

Memenuhi target tersebut merupakan sebuah tantangan besar bagi pemerintah dan rakyat

Indonesia di tengah pandemi ini. Terlebih lagi, aktivitas di Pos Pelayanan Terpadu

(Posyandu) kurang maksimal saat ini. Padahal, Posyandu adalah tonggak utama pemantau

tumbuh kembang balita pada lingkup wilayah yang lebih kecil.

Selain itu, kondisi ekonomi di Indonesia selama pandemi berlangsung sedang tidak

baik-baik saja. Di tengah angka kemiskinan dan pengangguran yang kian meningkat, tak

dapat dipungkiri bahwa peningkatan terhadap prevelensi stunting di Indonesia mungkin saja

terjadi. Faktor ekonomi keluarga berkaitan erat dengan terjadinya stunting pada anak. Hal ini

karena kondisi ekonomi seseorang memengaruhi asupan gizi dan nutrisi yang didapatkannya.

Pola asuh orang tua juga berperan penting dalam mencegah stunting. Oleh karena itu,

perlu digencarkan penyuluhan kepada masyarakat mengenai bahaya stunting dan cara

pencegahannya. Sehingga kelak ketika sudah menjadi orang tua diharapkan masyarakat dapat

berperan dalam mencegah stunting sejak dini. Sehingga, prevelensi stunting di Indonesia

tidak berada di angka mengkhawatirkan lagi.

Berdasarkan hasil prediksi statistik, angka nasional stunting tahun 2020 sebesar

26,92% untuk tingkat provinsi mengalami penurunan kecuali Bangka Belitung, NTB dan

Sulawesi Barat yang ditunjukkan pada tabel berikut :

xiv
No Provinsi Tahun 2019 Tahun 2020
1 Aceh 34,18 33,01
2 Sumatera Utara 30,11 28,70
3 Sumatera Barat 27,46 26,71
4 Riau 23,95 22,43
5 Jambi 21,03 19,59
6 Sumatera Selatan 28,98 28,68
7 Bengkulu 26,86 25,43
8 Lampung 26,25 24,40
9 Bangka Belitung 19,93 20,94
10 kepulauan Riau 16,81 13,72
11 DKI Jakarta 19,95 19,24
12 Jawa Barat 26,21 25,55
13 Jawa Tengah 27,67 26,90
14 DIY 21,03 19,88
15 Jawa Timur 26,85 25,64
16 Banten 24,10 21,84
17 Bali 14,41 13,68
18 Nusa Tenggara Barat 37,85 38,15
19 Nusa Tenggara Timur 43,82 42,99
20 Kalimantan barat 31,45 30,90
21 Kalimantan Tengah 32,30 30,48
22 Kalimantan Selatan 31,74 30,93
23 Kalimantan Timur 28,08 27,49
24 Kalimantan Utara 26,24 25,76
25 Sulawesi Selatan 21,18 19,73
26 Sulawesi Tengah 31,25 29,66
27 Sulawesi Utara 30,59 29,28
28 Sulawesi Tenggara 31,44 29,76
29 Gorontalo 34,89 32,72
30 Sulawesi Barat 40,37 40,44
31 Maluku Utara 30,38 27,94
32 Maluku Utara 29,07 27,23
33 Papua 24,58 23,42
34 Papua Barat 29,36 28,05
Indonesia 27,67 26,92

Tabel 1. Hasil Prediksi Angka Stunting Tahun 2020 Tingkat Nasional dan Provinsi

xv
4. KENDALA DALAM PENYELENGGARAAN PERCEPATAN PENCEGAHAN

STUNTING

 Penyelenggaraan intervensi gizi spesifik dan sensitif mulai dari pusat, daerah hingga

tingkat desa belum konvergen, baik dari proses perencanaan dan penganggaran,

pelaksanaan, pemantauan, maupun evaluasi.

 Kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh berbagai sektor belum

memprioritaskan intervensi yang terbukti efektif. Stunting yang telah ditetapkan

sebagai prioritas nasional di dalam RPJMN 2015-2019 belum dijabarkan menjadi

program dan kegiatan prioritas oleh kementerian dan lembaga terkait.

 Potensi sumber daya dan sumber dana belum diidentifikasi dan dimobilisasi secara

optimal sehingga pengalokasian dan pemanfaatannya kurang efektif dan efisien

untuk memastikan pemenuhan kebutuhan pencegahan stunting di tingkat

kabupaten/kota.

 Terdapat keterbatasan kapasitas penyelenggara program, ketersediaan, kualitas, dan

pemanfaatan data untuk mengembangkan kebijakan. Program advokasi, sosialisasi,

kampanye stunting, kegiatan konseling, dan keterlibatan masyarakat masih sangat

terbatas.

 Secara umum, koordinasi program di berbagai tingkat administrasi pemerintahan

lemah.

5. ALTERNATIF STRATEGI DAN KEBIJAKAN

Dalam rangka mempercepat penurunan angka stunting, pada tahun 2018 lalu

pemerintah telah meluncurkan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil

(Stunting). Strategi nasional ini merupakan panduan untuk mendorong terjadinya kerja sama

antara lembaga unuk memastikan konvergensi seluruh program/kegiatan terkait pencegahan

xvi
anak kerdil (stunting). Bukti komitmen pemerintah terhadap penanganan stunting di

indonesia juga tercermin dengan penetapan stunting sebagai salah satu prioritas dalam

program pembangunan nasional. Arah kebijakan dan strategi Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menyebutkan perihal peningkatan akses dan mutu

pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta dengan penekanan pada penguatan

pelayanan kesehatan dasar (primary health care), salah satunya melalui percepatan perbaikan

gizi masyarakat dalam bentuk percepatan penurunan angka stunting. Pemerintah menargetan

angka stunting turun menjadi 14% tahun 2024.

Gambar 3. Arah Kebijakan RPJM Bidang Kesehatan Tahun 2020-2024

6. PROGRAM INTERVENSI STUNTING YANG DICANANGKAN PEMERINTAH

Pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan paket kebijakan dan regulasi terkait

intervensi stunting. Di samping itu, kementerian/lembaga (K/L) juga sebenarnya telah

memiliki program, baik terkait intervensi gizi spesifik maupun intervensi gisi sensitif, yang

potensial untuk menurunkan stunting. Intervensi Program Gizi Spesifik dilakukan oleh

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan

xvii
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) melalui Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).

Adapun beberapa program gizi spesifik yang telah dilakukan oleh pemerintah dapat

diidentifikasi sebagai berikut:

1. Program terkait intervensi dengan sasaran ibu hamil, yang dilakukan melalui

beberapa program/kegiatan berikut:

a) Pemberian makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan

energi dan protein kronis

b) Program untuk mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat

c) Program untuk mengatasi kekurangan iodium

d) Pemberian obat cacing untuk menanggulangi kecacingan pada ibu hamil

e) Program untuk melindungi ibu hamil dari malaria

Jenis kegiatan yang telah dan dapat dilakukan oleh pemeritah baik di tingkat nasional

maupun di tingkat lokal meliputi pemberian suplementasi besi folat minimal 90 tablet,

memberikan dukungan kepada ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan kehamilan

minimal 4 kali, memberikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT), pemberian makanan

tambahan pada ibu hamil, melakukan upaya untuk penanggulangan cacingan pada ibu

hamil, dan memberikan kelambu serta pengobatan bagi ibu hamil yang positif

malaria.

2. Program yang menyasar Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 bulan, termasuk

diantaranya mendorong IMD/Inisiasi Menyusui Dini melalui pemberian ASI

jolong/colostrum dan memastikan edukasi kepada ibu untuk terus memberikan ASI

Ekslusif kepada anak balitanya. Kegiatan terkait termasuk memberikan pertolongan

persalinan oleh tenaga kesehatan, Inisiasi Menyusi Dini (IMD), promosi menyusui

ASI ekslusif (konseling individu dan kelompok), imunisasi dasar, pantau tumbuh

kembang secara rutin setiap bulan, dan penanganan bayi sakit secara tepat.

xviii
3. Program Intervensi yang ditujukan dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23

bulan, dengan mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi

oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing, menyediakan suplementasi zinc,

melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan, memberikan perlindungan terhadap

malaria, memberikan imunisasi lengkap, dan melakukan pencegahan dan pengobatan

diare.

Selain itu, beberapa program lainnya adalah Pemberian Makanan Tambahan (PMT)

Balita Gizi Kurang oleh Kementerian Kesehatan/Kemenkes melalui Puskesmas dan

Posyandu. Program terkait meliputi pembinaan Posyandu dan penyuluhan serta penyediaan

makanan pendukung gizi untuk balita kurang gizi pada usia 6-59 bulan berbasis pangan lokal

(misalnya melalui Hari Makan Anak/HMA).

Anggaran program berasal dari Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) ± Dana

Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik sebesar Rp. 200.000.000 per tahun per puskemas di

daerahnya masing-masing.

Sedangkan terkait dengan intervensi gizi sensitif, yang telah dilakukan oleh

pemerintah melalui K/L terkait beberapa diantaranya adalah kegiatan sebagai berikut:

1. Menyediakan dan memastikan akses pada air bersih melalui program PAMSIMAS

(Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi Berbasis Masyarakat)

2. Menyediakan dan memastikan akses pada sanitasi melalui kegiatan Sanitasi Total

Berbasis Masyarakat (STBM)

3. Melakukan fortifikasi bahan pangan (garam, terigu, dan minyak goreng)

4. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB)

5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

xix
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal)

7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua

8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal

9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat

10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta gizi pada remaja

11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin, misalnya melalui

Program Subsidi Beras Masyarakat Berpenghasilan Rendah (Raskin/Rastra) dan

Program Keluarga Harapan (PKH)

12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi

Berdasarkan program-program tersebut, tampak bahwa telah banyak upaya yang

dilakukan oleh pemerintah dalam menurunkan prevalensi stunting yang tentunya disertai

dengan alokasi anggaran yang tidak sedikit. Untuk Sumber pembiayaan dalam upaya

pencegahan stunting mengikuti skema pembiayaan pemerintah yang sudah ada, baik berasal

dari dana desa (APBDesa), dana kabupaten/kota (APBD kabupaten/kota), Dana Alokasi

Khusus (DAK), dana provinsi (APBD provinsi), dana kementerian/lembaga (APBN),

maupun pendapatan lainnya yang sah.

xx
Gambar. 4 Skema Sumber Pembiayaan Untuk Konvergensi Pencegahan Stunting

21
Penjelasan Gambar 4

 Belanja Pemerintah (Pusat) merupakan bagian dari APBN yang digunakan oleh

Kementerian/ Lembaga untuk membiayai kewenangan 6 urusan (mutlak), kewenangan di

luar 6 urusan, dan anggaran di luar Kementerian/Lembaga. Kewenangan 6 urusan (mutlak)

mencakup politik luar negeri, pertahanan nasional, keamanan nasional, kehakiman,

kebijakan moneter dan fiskal nasional, serta kebijakan terkait agama yang disalurkan

melalui dana vertikal untuk membiayai instansi vertikal pusat di daerah. Sedangkan untuk

kewenangan di luar 6 urusan disalurkan melalui program dan kegiatan pusat

(Kementerian/Lembaga), dana sektoral yang dikerjakan oleh Unit Pelaksana Teknis

(UPT), dana dekonsentrasi, dan dana tugas pembantuan.

 Dana Dekonsentrasi adalah dana pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada

Gubernur untuk mendukung pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi yang berasal dari APBN,

tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Kegiatan

dekonsentrasi yang dibiayai adalah bersifat nonfisik dan mendukung penguatan

pemberdayaan Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat.

 Tugas Pembantuan (TP) dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah adalah

penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari Pemerintah Provinsi kepada

kabupaten, atau kota dan/atau desa, serta dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada desa

untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan

mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.

 Dana Transfer dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dan Desa merupakan

bagian dari APBN dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa

otonomi khusus dan dana keistimewaan Yogyakarta, dana perimbangan, dana desa, alokasi

dana desa, dan dana transfer lainnya.

22
 Dana transfer lainnya adalah dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam

rangka pelaksanaan kebijakan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 Dana Perimbangan terbagi menjadi: (a) Dana Alokasi Umum (DAU) yang bersumber

dari APBN dan ditujukan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah guna

mengurangi ketimpangan kemampuan antardaerah melalui penerapan formula yang

mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah; (b) Dana Alokasi Khusus (DAK) yang

bersumber dari APBN dan dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk

membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan

prioritas nasional; dan (c) Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari

APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai

kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

 Dana Insentif Daerah (DID) adalah dana yang dialokasikan dari APBN untuk

memberikan penghargaan kepada provinsi, kabupaten, dan kota yang mempunyai kinerja

baik dalam kesehatan fiskal dan pengelolaan keuangan daerah, pelayanan dasar publik di

bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, pelayanan pemerintahan umum, serta

dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.

 Alokasi Dana Desa (ADD) bersumber dari APBD, sedangkan Dana Desa (DD)

bersumber dari APBN. Baik Alokasi Dana Desa maupun Dana Desa tercatat sebagai

pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa).

(KOORDINATOR, KEMENTRIAN BIDANG PEMBANGUNAN MANUSIA DAN

KEBUDAYAAN, 2019).

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Untuk mencegah masalah stunting dibutuhkan upaya yang bersifat holistik dan saling

terintegrasi. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 harus disikapi dengan koordinasi

yang kuat di tingkat pusat dan aturan main dan teknis yang jelas di tingkat provinsi,

kabupaten/kota, hingga pelaksana ujung tombak. Diseminasi informasi dan advocacy perlu

dilakukan oleh unit teknis kepada stake holders lintas sektor dan pemangku kepentingan lain

pada tingkatan yang sama. Untuk jajaran struktural kebawahnya perlu dilakukan knowledge

transfer dan edukasi agar mampu menjelaskan dan melakukan pemberdayaan dalam

meningkatkan status gizi masyarakat.

Selanjutnya, perlu penguatan sistem agar 1000 HPK dapat menjadi bagian dari

budaya dan kehidupan sosial di masyarakat (misal: ibu merasa malu bila tidak memberikan

ASI secara eksklusif kepada bayinya). Selanjutnya, informasi mengenai ASI eksklusif,

untung-ruginya menyusui bayi sendiri hingga menjadi donor ASI dapat dikembangkan

melalui kelas ibu hamil. Dengan demikian, motivasi ibu untuk menyusui bayinya muncul

karena kesadaran, bukan karena dipaksa.

Hal yang harus diperbaiki agar program/kegiatan yang dilakukan bisa lebih efektif

menurunkan stunting adalah dengan melakukan pendataan secara terpadu (data balita

stunting by name by address) sehingga program/kegiatan yang dilakukan bisa tepat sasaran

dan efektif dalam menanggulangi dan menurunkan stunting. Hal tersebut karena selama ini

pendataan belum dilakukan secara terpadu, sehingga balita stunting tidak teridentifikasi

24
secara jelas dan pasti, hanya berupa data gambaran umum saja, tidak berdasarkan by name by

address balita stunting.

Kemudian selain itu, perlu dilakukan pemantauan atas program-program yang sudah

diajalankan dalam rangka memastikan pencapaian tujuan program sebagaimana yang

diharapkan. Misalnya, pemberian makanan tambahan untuk balita dan/atau keluarga miskin,

makanan tambahan yang diberikan hendaknya benar-benar dipantau apakah dimakan atau

tidak oleh objek sasaran. Hal ini pada akhirnya menyebabkan program yang dijalankan tidak

mencapai target sasaran, sehingga upaya untuk penanggulangan dan penurunan stunting

menjadi kurang

B. Rekomendasi

1. Ada kerjasama dan sinergi lintas sektor terkait upaya penanggulangan stunting yang

dimulai dari desa

2. Membuat tim khusus penanganan stunting dari pusat hingga ke daerah. Di provinsi

sudah ada, tapi belum ada payung hukumnya, hanya berupa inovasi masing-masing

daerah, sebaiknya ada instruksi dari pusat (dari presiden atau mendagri) yang bisa

mengakomodir seluruh sektor terkait untuk pembentukan tim penanggulangan dan

pencegahan stunting

3. Sebaiknya ada PMT khusus untuk anak stunting, karena anak stunting membutuhkan

gizi/nutrisi khusus yang tidak sama dengan anak-anak lainnya yang tidak stunting.

4. Pemutakhiran Data menjadi landasan penangan stunting.

25
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2021). Survei Status Gizi 2007 - 2020.
Kementerian Kesehatan RI, September, 15–17.
Khairani. (2020). Situasi Stunting di Indonesia. Jendela Data Dan Informasi Kesehatan,
208(5), 1–34. https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/
buletin/buletin-Situasi-Stunting-di-Indonesia_opt.pdf
KOORDINATOR, KEMENTRIAN BIDANG PEMBANGUNAN MANUSIA DAN
KEBUDAYAAN, S. W. P. R. I. (2019). STRATEGI NASIONAL PERCEPATAN
PENCEGAHAN ANAK KERDIL (STUNTING). In SEKRETARIAT WAKIL
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (2nd ed.).
https://www.its.ac.id/news/2021/10/16/angka-stunting-balita-di-indonesia-masih-tinggi/
diakses pada tanggal 06 Juli 2022
https://kemenkopmk.go.id diakses 06 Juli 2022
https://kemkes.go.id diakses 06 Juli 2022

26
LAMPIRAN

KERANGKA HASIL PERCEPATAN PENURUNAN STUNTING

27
28

Anda mungkin juga menyukai