OLEH KELOMPOK II
KELAS C
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR
Prevalensi stunting di Indonesia memiliki angka cukup stagnan dari tahun 2007
hingga 2020. WHO menetapkan batasan masalah gizi tidak lebih dari 20%, sehingga dengan
demikian Indonesia termasuk dalam negara yang memiliki masalah kesehatan masyarakat.
Penurunan Perpres no. 42/2013 telah menetapkan Gerakan Nasional Seribu Hari Pertama
Kehidupan dalam upaya meningkatkan status gizi balita yang diikuti oleh pengembangan
program termasuk anggarannya. Stunting memiliki risiko panjang yakni PTM pada usia
dewasa, walaupun masih dapat dikoreksi pada usia dini. Upaya penurunan masalah gizi harus
ditangani secara lintas sektoral di semua lini. Ibu dan calon pengantin harus dibekali dengan
pengetahuan cukup tentang gizi dan kehamilan, ASI Eksklusif pada ibu bersalin yang sehat.
Selanjutnya MPASI harus dipahami oleh para ibu dan tenaga kesehatan secara optimal.
Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui kebijakan dan permasalahan percepatan
penurunan stunting di Indonesia. Sebagai penutup, kami ucapkan kepada semuah pihak yang
telah membantu tersusunnya policy paper ini. Semoga policy paper ini dapat memberikan
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL...................................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Tujuan............................................................................................................................2
C. Sistematika Penulisan...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
A. Kesimpulan..................................................................................................................19
B. Rekomendasi................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................21
LAMPIRAN............................................................................................................................22
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil Prediksi Angka Stunting Tahun 2020 Tingkat Nasional dan Provinsi
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh multi-faktorial dan
bersifat antar generasi. Di Indonesia masyarakat sering menganggap tumbuh pendek sebagai
faktor keturunan. Persepsi yang salah di masyarakat membuat masalah ini tidak mudah
diturunkan dan membutuhkan upaya besar dari pemerintah dan berbagai sektor terkait. Hasil
studi membuktikan bahwa pengaruh faktor keturunan hanya berkontribusi sebesar 15%,
sementara unsur terbesar adalah terkait masalah asupan zat gizi, hormon pertumbuhan dan
Periode 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan simpul kritis sebagai
awal terjadinya pertumbuhan Stunting, yang sebaliknya berdampak jangka panjang hingga
berulang dalam siklus kehidupan. Kurang gizi sebagai penyebab langsung, khususnya pada
balita berdampak jangka pendek meningkatnya morbiditas. Bila masalah ini bersifat kronis,
maka akan mempengaruhi fungsi kognitif yakni tingkat kecerdasan yang rendah dan
berdampak pada kualitas sumberdaya manusia. Pada kondisi berulang (dalam siklus
kehidupan) maka anak yang mengalami kurang gizi diawal kehidupan (periode 1000 HPK)
Saat ini, Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi stunting yang
Balita/Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki
tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit
dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya
vi
kemiskinan dan memperlebar ketimpangan. Situasi ini jika tidak diatasi dapat memengaruhi
dan ketimpangan
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 angka prevalensi stunting di yaitu
36,8%, tahun 2010 yaitu 35,6% dan pada tahun 2013 prevalensinya meningkat menjadi
37,2%, terdiri dari 18% sangat pendek dan 19,2% pendek. Data Riskedas 2018
menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia sebesar 30,8%. Pada tahun 2019
prevalensi stunting sebesar 27,7% dan pada tahun 2020 turun menjadi 26,92%. Penurunan
angka stunting diprediksi sebesar 0,75% dibandingkan dengan tahun 2019. (Kemenkes,
2020)
salah satu prioritas dalam program pembangunan nasional. Arah kebijakan dan strategi
perihal peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta
dengan penekanan pada penguatan pelayanan kesehatan dasar (primary health care).
B. Tujuan
C. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan policy paper ini yaitu diawali dengan Bab I Pendahuluan terdiri
dari latar belakang, Tujuan dan Sistematika Penulisan. Selanjutnya Bab II Pembahasan dan
vii
BAB II
PEMBAHASAN
sehingga tinggi badan anak tidak sesuai dengan usianya, sebagai akibat dari masalah gizi
kronis yaitu kekurangan asupan gizi dalam waktu yang lama . Stunting merupakan masalah
gizi kronis yang disebabkan oleh multi-faktorial dan bersifat antar generasi. Di Indonesia
masyarakat sering menganggap tumbuh pendek sebagai faktor keturunan. Persepsi yang salah
di masyarakat membuat masalah ini tidak mudah diturunkan dan membutuhkan upaya besar
dari pemerintah dan berbagai sektor terkait. Hasil studi membuktikan bahwa pengaruh faktor
keturunan hanya berkontribusi sebesar 15%, sementara unsur terbesar adalah terkait masalah
asupan zat gizi, hormon pertumbuhan dan terjadinya penyakit infeksi berulang. Variabel lain
dalam pertumbuhan stunting yang belum banyak disebut adalah pengaruh paparan asap rokok
maupun polusi asap juga berpengaruh terhadap pertumbuhan stunting. (Khairani, 2020)
Periode 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan simpul kritis sebagai
awal terjadinya pertumbuhan Stunting, yang sebaliknya berdampak jangka panjang hingga
berulang dalam siklus kehidupan. Kurang gizi sebagai penyebab langsung, khususnya pada
balita berdampak jangka pendek meningkatnya morbiditas. Bila masalah ini bersifat kronis,
maka akan mempengaruhi fungsi kognitif yakni tingkat kecerdasan yang rendah dan
berdampak pada kualitas sumberdaya manusia. Pada kondisi berulang (dalam siklus
kehidupan) maka anak yang mengalami kurang gizi diawal kehidupan (periode 1000 HPK)
viii
Upaya percepatan perbaikan gizi merupakan upaya Global, tidak saja untuk
Indonesia, melainkan semua negara yang memiliki masalah gizi stunting. Adapun target yang
telah ditetapkan dalam upaya penurunan prevalensi stunting antara lain: menurunnya
prevalensi stunting, wasting dan dan mencegah terjadinya overweight pada balita,
menurunkan prevalensi anemia pada wanita usia subur, menurunkan prevalensi bayi berat
lahir rendah (BBLR), meningkatkan cakupan ASI eksklusif. Sebagai negara anggota PBB
dengan prevalensi stunting yang tinggi turut berupaya dan berkomitmen dalam upaya
percepatan perbaikan gizi ‘scaling up nutrition (SUN)’ masyarakat. Upaya tersebut tidak
terlepas dari rencana jangka panjang, menengah dan jangka pendek dengan mengacu kepada
lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan dengan
kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya. Selanjutnya, Undang-
Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan, arah perbaikan
gizi adalah meningkatnya mutu gizi perorangan dan masyarakat melalui, perbaikan pola
konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang; perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas
fisik, dan kesehatan; peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan
kemajuan ilmu dan teknologi; dan peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi. Sejalan
dengan kedua undang-undang tersebut, terbit Undang- Undang tentang Pangan nomor 18
tahun 2012 yang menetapkan kebijakan di bidang pangan untuk perbaikan status gizi
masyarakat. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi
ix
Pembangunan Pangan dan Gizi yaitu meningkatkan ketahanan pangan dan status kesehatan
dan gizi masyarakat. Selanjutnya, Inpres No. 3/2010 menegaskan tentang penyusunan
Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2011-2015 dan Rencana Aksi Daerah
kepentingan secara terencana dan terkoordinir untuk percepatan perbaikan gizi dalam 1000
hari pertama kehidupan (1000 HPK). Dengan demikian, instrumen pendukung kebijakan
dalam percepatan perbaikan gizi sudah cukup lengkap, dan membutuhkan upaya
implementasi yang terorganisir dan dapat diterapkan disetiap tingkatan oleh setiap elemen
yang terlibat. Dengan terbitnya Perpres ini, dibutuhkan upaya yang lebih konkrit, fokus pada
1000 HPK dan integrasi kegiatan secara lintas program (upaya spesifik) maupun lintas
Indonesia merupakan salah satu negara dengan double burden atau masalah gizi
ganda, yang ditandai dengan tingginya prevalensi stunting dan anemia pada ibu hamil.
Berdasarkan data stunting JME, UNICEF World Bank tahun 2020, prevalensi stunting
indonesia berada pada posisi ke 115 dari 151 negara di dunia. Sebagai dampak dari pandemi
COVID-19, tanpa adanya tindakan yang cukup dan tepat waktu, jumlah anak kekurangan gizi
akut (wasting) diprediksi akan meningkat sebesar 15% (7 juta anak) di seluruh dunia pada
x
2. TUJUAN PERCEPATAN PENURUNAN STUNTING
Pencegahan stunting menyasar berbagai penyebab langsung dan tidak langsung yang
memerlukan kerjasama dan koordinasi lintas sektor di seluruh tingkatan pemerintah, swasta
dan dunia usaha serta masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan dokumen acuan yang dapat
digunakan untuk memastikan koordinasi tersebut terlaksana secara konvergen untuk seluruh
acuan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam mendukung komitmen para pimpinan
kerangka kebijakan dan institusi yang ada. Tujuan tersebut akan dicapai melalui lima tujuan
semua tingkatan;
dan
xi
3. PERMASALAHAN STUNTING DI NDONESIA
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 angka prevalensi stunting di yaitu
36,8%, tahun 2010 yaitu 35,6% dan pada tahun 2013 prevalensinya meningkat menjadi
37,2%, terdiri dari 18% sangat pendek dan 19,2% pendek. Data Riskedas 2018
menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia sebesar 30,8%. Pada tahun 2019
prevalensi stunting sebesar 27,7% dan pada tahun 2020 turun menjadi 26,92%. Penurunan
angka stunting diprediksi sebesar 0,75% dibandingkan dengan tahun 2019. Berdasarkan
batasan WHO Indonesia berada pada kategori masalah stunting yang tinggi. (Badan
penyebab langsun dan tidak langsung. Ternyata faktor intake makanan, diare pada balita,
serta imunisasi lengkap sebagai penyebab langsung dipengaruhi oleh penyebab tidak
langsung seperti keluarga tidak memiliki sanitasi layak, kondisi rawan pangan pada
xii
yang menjadi penyebab stunting memerlukan kerja sama dan upaya dari lintas
(Khairani, 2020)
perkembangan pada anak yang disebabkan oleh gizi buruk, infeksi yang berulang, dan
simulasi psikososial yang tidak memadai. Apabila seorang anak memiliki tinggi badan lebih
dari -2 standar deviasi median pertumbuhan anak yang telah ditetapkan oleh WHO, maka ia
yang tepat. Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2020,
prevelensi stunting di Indonesia mencapai 26,92%. Artinya, sekitar satu dari empat anak
balita (lebih dari delapan juta anak) di Indonesia mengalami stunting. Angka tersebut masih
sangat tinggi jika dibandingkan dengan ambang batas yang ditetapkan WHO yaitu 20%.
xiii
Beberapa indikator penting faktor resiko terjadinya stunting di Indonesia yaitu :
menargetkan Program Penurunan Stunting menjadi 14% pada tahun 2024 mendatang.
Memenuhi target tersebut merupakan sebuah tantangan besar bagi pemerintah dan rakyat
Indonesia di tengah pandemi ini. Terlebih lagi, aktivitas di Pos Pelayanan Terpadu
(Posyandu) kurang maksimal saat ini. Padahal, Posyandu adalah tonggak utama pemantau
Selain itu, kondisi ekonomi di Indonesia selama pandemi berlangsung sedang tidak
baik-baik saja. Di tengah angka kemiskinan dan pengangguran yang kian meningkat, tak
dapat dipungkiri bahwa peningkatan terhadap prevelensi stunting di Indonesia mungkin saja
terjadi. Faktor ekonomi keluarga berkaitan erat dengan terjadinya stunting pada anak. Hal ini
karena kondisi ekonomi seseorang memengaruhi asupan gizi dan nutrisi yang didapatkannya.
Pola asuh orang tua juga berperan penting dalam mencegah stunting. Oleh karena itu,
perlu digencarkan penyuluhan kepada masyarakat mengenai bahaya stunting dan cara
pencegahannya. Sehingga kelak ketika sudah menjadi orang tua diharapkan masyarakat dapat
berperan dalam mencegah stunting sejak dini. Sehingga, prevelensi stunting di Indonesia
Berdasarkan hasil prediksi statistik, angka nasional stunting tahun 2020 sebesar
26,92% untuk tingkat provinsi mengalami penurunan kecuali Bangka Belitung, NTB dan
xiv
No Provinsi Tahun 2019 Tahun 2020
1 Aceh 34,18 33,01
2 Sumatera Utara 30,11 28,70
3 Sumatera Barat 27,46 26,71
4 Riau 23,95 22,43
5 Jambi 21,03 19,59
6 Sumatera Selatan 28,98 28,68
7 Bengkulu 26,86 25,43
8 Lampung 26,25 24,40
9 Bangka Belitung 19,93 20,94
10 kepulauan Riau 16,81 13,72
11 DKI Jakarta 19,95 19,24
12 Jawa Barat 26,21 25,55
13 Jawa Tengah 27,67 26,90
14 DIY 21,03 19,88
15 Jawa Timur 26,85 25,64
16 Banten 24,10 21,84
17 Bali 14,41 13,68
18 Nusa Tenggara Barat 37,85 38,15
19 Nusa Tenggara Timur 43,82 42,99
20 Kalimantan barat 31,45 30,90
21 Kalimantan Tengah 32,30 30,48
22 Kalimantan Selatan 31,74 30,93
23 Kalimantan Timur 28,08 27,49
24 Kalimantan Utara 26,24 25,76
25 Sulawesi Selatan 21,18 19,73
26 Sulawesi Tengah 31,25 29,66
27 Sulawesi Utara 30,59 29,28
28 Sulawesi Tenggara 31,44 29,76
29 Gorontalo 34,89 32,72
30 Sulawesi Barat 40,37 40,44
31 Maluku Utara 30,38 27,94
32 Maluku Utara 29,07 27,23
33 Papua 24,58 23,42
34 Papua Barat 29,36 28,05
Indonesia 27,67 26,92
Tabel 1. Hasil Prediksi Angka Stunting Tahun 2020 Tingkat Nasional dan Provinsi
xv
4. KENDALA DALAM PENYELENGGARAAN PERCEPATAN PENCEGAHAN
STUNTING
Penyelenggaraan intervensi gizi spesifik dan sensitif mulai dari pusat, daerah hingga
tingkat desa belum konvergen, baik dari proses perencanaan dan penganggaran,
Potensi sumber daya dan sumber dana belum diidentifikasi dan dimobilisasi secara
kabupaten/kota.
terbatas.
lemah.
Dalam rangka mempercepat penurunan angka stunting, pada tahun 2018 lalu
(Stunting). Strategi nasional ini merupakan panduan untuk mendorong terjadinya kerja sama
xvi
anak kerdil (stunting). Bukti komitmen pemerintah terhadap penanganan stunting di
indonesia juga tercermin dengan penetapan stunting sebagai salah satu prioritas dalam
program pembangunan nasional. Arah kebijakan dan strategi Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menyebutkan perihal peningkatan akses dan mutu
pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta dengan penekanan pada penguatan
pelayanan kesehatan dasar (primary health care), salah satunya melalui percepatan perbaikan
gizi masyarakat dalam bentuk percepatan penurunan angka stunting. Pemerintah menargetan
Pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan paket kebijakan dan regulasi terkait
memiliki program, baik terkait intervensi gizi spesifik maupun intervensi gisi sensitif, yang
potensial untuk menurunkan stunting. Intervensi Program Gizi Spesifik dilakukan oleh
xvii
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) melalui Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Adapun beberapa program gizi spesifik yang telah dilakukan oleh pemerintah dapat
1. Program terkait intervensi dengan sasaran ibu hamil, yang dilakukan melalui
Jenis kegiatan yang telah dan dapat dilakukan oleh pemeritah baik di tingkat nasional
maupun di tingkat lokal meliputi pemberian suplementasi besi folat minimal 90 tablet,
tambahan pada ibu hamil, melakukan upaya untuk penanggulangan cacingan pada ibu
hamil, dan memberikan kelambu serta pengobatan bagi ibu hamil yang positif
malaria.
2. Program yang menyasar Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 bulan, termasuk
jolong/colostrum dan memastikan edukasi kepada ibu untuk terus memberikan ASI
persalinan oleh tenaga kesehatan, Inisiasi Menyusi Dini (IMD), promosi menyusui
ASI ekslusif (konseling individu dan kelompok), imunisasi dasar, pantau tumbuh
kembang secara rutin setiap bulan, dan penanganan bayi sakit secara tepat.
xviii
3. Program Intervensi yang ditujukan dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23
bulan, dengan mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi
diare.
Selain itu, beberapa program lainnya adalah Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
Posyandu. Program terkait meliputi pembinaan Posyandu dan penyuluhan serta penyediaan
makanan pendukung gizi untuk balita kurang gizi pada usia 6-59 bulan berbasis pangan lokal
Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik sebesar Rp. 200.000.000 per tahun per puskemas di
daerahnya masing-masing.
Sedangkan terkait dengan intervensi gizi sensitif, yang telah dilakukan oleh
pemerintah melalui K/L terkait beberapa diantaranya adalah kegiatan sebagai berikut:
1. Menyediakan dan memastikan akses pada air bersih melalui program PAMSIMAS
2. Menyediakan dan memastikan akses pada sanitasi melalui kegiatan Sanitasi Total
xix
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal)
10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta gizi pada remaja
11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin, misalnya melalui
dilakukan oleh pemerintah dalam menurunkan prevalensi stunting yang tentunya disertai
dengan alokasi anggaran yang tidak sedikit. Untuk Sumber pembiayaan dalam upaya
pencegahan stunting mengikuti skema pembiayaan pemerintah yang sudah ada, baik berasal
dari dana desa (APBDesa), dana kabupaten/kota (APBD kabupaten/kota), Dana Alokasi
xx
Gambar. 4 Skema Sumber Pembiayaan Untuk Konvergensi Pencegahan Stunting
21
Penjelasan Gambar 4
Belanja Pemerintah (Pusat) merupakan bagian dari APBN yang digunakan oleh
kebijakan moneter dan fiskal nasional, serta kebijakan terkait agama yang disalurkan
melalui dana vertikal untuk membiayai instansi vertikal pusat di daerah. Sedangkan untuk
Dana Dekonsentrasi adalah dana pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada
Gubernur untuk mendukung pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi yang berasal dari APBN,
tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Kegiatan
penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari Pemerintah Provinsi kepada
kabupaten, atau kota dan/atau desa, serta dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada desa
Dana Transfer dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dan Desa merupakan
bagian dari APBN dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa
otonomi khusus dan dana keistimewaan Yogyakarta, dana perimbangan, dana desa, alokasi
22
Dana transfer lainnya adalah dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam
Dana Perimbangan terbagi menjadi: (a) Dana Alokasi Umum (DAU) yang bersumber
dari APBN dan ditujukan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah guna
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah; (b) Dana Alokasi Khusus (DAK) yang
bersumber dari APBN dan dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional; dan (c) Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari
APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai
Dana Insentif Daerah (DID) adalah dana yang dialokasikan dari APBN untuk
memberikan penghargaan kepada provinsi, kabupaten, dan kota yang mempunyai kinerja
baik dalam kesehatan fiskal dan pengelolaan keuangan daerah, pelayanan dasar publik di
Alokasi Dana Desa (ADD) bersumber dari APBD, sedangkan Dana Desa (DD)
bersumber dari APBN. Baik Alokasi Dana Desa maupun Dana Desa tercatat sebagai
KEBUDAYAAN, 2019).
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk mencegah masalah stunting dibutuhkan upaya yang bersifat holistik dan saling
terintegrasi. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 harus disikapi dengan koordinasi
yang kuat di tingkat pusat dan aturan main dan teknis yang jelas di tingkat provinsi,
kabupaten/kota, hingga pelaksana ujung tombak. Diseminasi informasi dan advocacy perlu
dilakukan oleh unit teknis kepada stake holders lintas sektor dan pemangku kepentingan lain
pada tingkatan yang sama. Untuk jajaran struktural kebawahnya perlu dilakukan knowledge
transfer dan edukasi agar mampu menjelaskan dan melakukan pemberdayaan dalam
Selanjutnya, perlu penguatan sistem agar 1000 HPK dapat menjadi bagian dari
budaya dan kehidupan sosial di masyarakat (misal: ibu merasa malu bila tidak memberikan
ASI secara eksklusif kepada bayinya). Selanjutnya, informasi mengenai ASI eksklusif,
untung-ruginya menyusui bayi sendiri hingga menjadi donor ASI dapat dikembangkan
melalui kelas ibu hamil. Dengan demikian, motivasi ibu untuk menyusui bayinya muncul
Hal yang harus diperbaiki agar program/kegiatan yang dilakukan bisa lebih efektif
menurunkan stunting adalah dengan melakukan pendataan secara terpadu (data balita
stunting by name by address) sehingga program/kegiatan yang dilakukan bisa tepat sasaran
dan efektif dalam menanggulangi dan menurunkan stunting. Hal tersebut karena selama ini
pendataan belum dilakukan secara terpadu, sehingga balita stunting tidak teridentifikasi
24
secara jelas dan pasti, hanya berupa data gambaran umum saja, tidak berdasarkan by name by
Kemudian selain itu, perlu dilakukan pemantauan atas program-program yang sudah
diharapkan. Misalnya, pemberian makanan tambahan untuk balita dan/atau keluarga miskin,
makanan tambahan yang diberikan hendaknya benar-benar dipantau apakah dimakan atau
tidak oleh objek sasaran. Hal ini pada akhirnya menyebabkan program yang dijalankan tidak
mencapai target sasaran, sehingga upaya untuk penanggulangan dan penurunan stunting
menjadi kurang
B. Rekomendasi
1. Ada kerjasama dan sinergi lintas sektor terkait upaya penanggulangan stunting yang
2. Membuat tim khusus penanganan stunting dari pusat hingga ke daerah. Di provinsi
sudah ada, tapi belum ada payung hukumnya, hanya berupa inovasi masing-masing
daerah, sebaiknya ada instruksi dari pusat (dari presiden atau mendagri) yang bisa
pencegahan stunting
3. Sebaiknya ada PMT khusus untuk anak stunting, karena anak stunting membutuhkan
gizi/nutrisi khusus yang tidak sama dengan anak-anak lainnya yang tidak stunting.
25
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2021). Survei Status Gizi 2007 - 2020.
Kementerian Kesehatan RI, September, 15–17.
Khairani. (2020). Situasi Stunting di Indonesia. Jendela Data Dan Informasi Kesehatan,
208(5), 1–34. https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/
buletin/buletin-Situasi-Stunting-di-Indonesia_opt.pdf
KOORDINATOR, KEMENTRIAN BIDANG PEMBANGUNAN MANUSIA DAN
KEBUDAYAAN, S. W. P. R. I. (2019). STRATEGI NASIONAL PERCEPATAN
PENCEGAHAN ANAK KERDIL (STUNTING). In SEKRETARIAT WAKIL
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (2nd ed.).
https://www.its.ac.id/news/2021/10/16/angka-stunting-balita-di-indonesia-masih-tinggi/
diakses pada tanggal 06 Juli 2022
https://kemenkopmk.go.id diakses 06 Juli 2022
https://kemkes.go.id diakses 06 Juli 2022
26
LAMPIRAN
27
28