Dosen Pengampu :
Dr. Faridah, SST., M. Kes
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu gizi merupakan tantangan yang rumit dan mendesak di Indonesia, terutama karena
negara ini mengalami beragam permasalahan gizi, dengan stunting menjadi sorotan utama.
Prevalensi stunting yang tinggi, mencapai 36,4% pada periode 2005-2017, menandakan
tingkat seriusnya masalah ini di Indonesia. Selain itu, data dari World Health Organization
(WHO) menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga dengan prevalensi
tertinggi stunting di wilayah Asia Tenggara. Dampak stunting tidak hanya terbatas pada
kesehatan fisik balita, tetapi juga memengaruhi aspek kognitif dan perkembangan manusia
secara keseluruhan.
Anak-anak yang mengalami stunting memiliki kemampuan kognitif yang lebih rendah
dan lebih rentan terhadap penyakit, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi produktivitas
dan pendapatan rumah tangga di masa depan. Oleh karena itu, penanganan stunting telah
menjadi prioritas utama dalam agenda pembangunan Indonesia, seperti yang tercantum
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Target
penurunan prevalensi stunting hingga 14,00% pada tahun 2024 telah ditetapkan, dan
pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
2021 untuk mempercepat upaya penanggulangan stunting.
Upaya penurunan stunting melalui intervensi gizi spesifik dan sensitif menjadi fokus
utama, dengan penekanan pada peran penting 1.000 Hari Pertama Kehidupan dalam
optimalisasi tumbuh kembang anak. Diperlukan strategi dan respons yang tepat untuk
mengatasi dan menurunkan prevalensi stunting guna mencapai tujuan pembangunan yang
berkelanjutan di Indonesia.
1
1.3 Tujuan
1. Mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi terjadinya stunting.
2. Mengetahui gejala-gejala terjadinya stunting.
3. Menjelaskan kebijakan pemerintah untuk menanggulangi stunting.
4. Mengedukasi masyarakat tentang bahaya stunting
1.4 Manfaat
1. Menurunkan penyakit Stunting di Indonesia
2. Meningkatkan Kesehatan dan Tumbuh Kembang Anak
3. meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi dan kesehatan.
4. memberikan pemahaman yang mendalam mengenai berbagai kebijakan pemerintah
dalam upaya mengatasi masalah Stunting di Indonesia
2
BAB II
PEMBAHASAN
Usia ibu saat hamil yang tidak beresiko berkisar antara 20-35 tahun. Sedangkan usia ibu saat
hamil yang beresiko < 20 tahun dan > 35 tahun. Usia reproduksi perempuan adalah 20- 35 tahun.
Kehamilan dengan umur kehamilan 20-35 tahun merupakan masa aman karena kematangan organ
reproduksi dan mental untuk menjalani kehamilan serta persalinan sudah siap Pada usia < 20 tahun,
organ-organ reproduksi belum berfungsi sempurna dan > 35 tahun terjadi penurunan reproduktif
(Cunningham,2006). Usia diatas 35 tahun saat hamil memiliki resiko melahirkan anak stunting 2,74
kali dibanding ibu yang melahirkan pada usia 25-35 tahun (Y. Jiang et al, 2014). Status gizi ibu saat
hamil mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin janin yang dikandung. Ibu hamil Ibu
yang mengalami kekurangan energi kronis (KEK) atau anemia selama kehamilan akan melahirkan
bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) (WHO, 2014). BBLR lahir rendah banyak
dihubungkan dengan tinggi badan yang kurang atau stunting (Kemenkes RI, 2016). Oleh karena itu
diperlukannya upaya pencegahan dengan menetapkan dan/atau memperkuat kebijakan untuk
meningkatkan intervensi gizi ibu dan kesehatan mulai dari masa remaja (WHO, 2014). Ibu hamil
merupakan salah satu kelompok rawan gizi perlu mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan
berkualitas agar ibu tersebut dapat menjalani kehamilannya dengan sehat (Kemenkes RI, 2012).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sartono (2013) yang juga
menunjukan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kekurangan energi kronis pada
kehamilan (KEK) dengan kejadian stunting.
Riwayat pemberian ASI Eksklusif sebagian besar balita di desa Panduman telah mendapatkan
ASI eksklusif, hanya sebesar 19,6 % yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, namun dari balita
dengan riwayat ASI tidak eksklusif tersebut sebagian besar jatuh dalam kondisi stunting. ASI
merupakan nutrisi utama yang dibutuhkan oleh bayi karena merupakan sumber protein yang
berkualitas dan mengandung zat-zat yang berguna untuk imunitas tubuh Roesli (2007). Kurangnya
pemberian ASI dan pemberian MP ASI dini dapat meningkatkan resiko terjadinya stunting pada
masa awal kehidupan Gulkey (2007).
Asupan Protein sangat penting pada masa pertumbuhan, kekurang asupan protein akan
menyebabkan terjadinya masalah gagal tumbuh (anak pendek/stunting) dengan berbagai dampak
3
jangka panjang. Protein penting untuk fungsi normal dari semua sel dan proses metabolisme.
Penelitian di Kenya dan Nigeria pada anak usia 2-5 tahun menunjukkan asupan protein yang tidak
adekuat berhubungan dengan kejadian stunting (Stephenson. K. et al. 2010). anak yang hidup
dengan asupan protein yang tidak memadai terjadi kelainan antropometri dan terjadi banyak efek
klinis (Assis, et al. 2004)
Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang kurang dapat
mempermudah seseorang terkena penyakit infeksi yang akibatnya dapat menurunkan nafsu makan,
adanya gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan atau peningkatan kebutuhan zat gizi oleh
adanya penyakit sehingga kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi. Tando (2012) status kesehatan berupa
frekuensi dan durasi sakit pada balita memberikan resiko kemungkinan terjadinya stunting pada
anak. Terdapat hubungan timbal balik antara status gizi dan kejadian infeksi Balita yang mengalami
status gizi buruk dapat meningkatkan terjadinya infeksi, sedangkan infeksi juga dapat
mempengaruhi status gizi. Anak yang malnutrisi daya tahan tubuhnya rendah, sehingga akan mudah
sakit dan akan menjadi semakin kurang gizi.
Imunisasi memiliki tujuan untuk mengurangi resiko morbiditas (kesakitan) dan mortalitas
(komatian) anak akibat penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (Liliana, 2006).
Program pemerintah untuk imunisasi yaitu pemberian imunisasi dasar lengkap, berdasarkan hasil
penelitian didapatkan mayoritas (97,2%) telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap, dan hanya 8
% yang tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Semua balita yang tidak mendapatkan
imunisasi dasar lengkap mengalami stunting. Milman et al (2005) mengemukakan bahwa status
imunisasi menjadi underlying factor dalam kejadian stunting pada anak usia <5 tahun.
Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena
dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama
tentang tata cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya,
pendidikannya, dan sebagainya (Soetjiningsih, 2006). Pendidikan ibu merupakan modal utama
dalam penyusunan makan keluarga, pengasuhan dan perawatan anak (Suhardjo, 2003). ibu
berpendidikan akan cenderung lebih baik menggunakan strategi demi kelangsungan hidup anaknya,
Maka dari itu pendidikan pada ibu (seorang wanita) akan menjadi langkah berguna dalam
pengurangan prevalensi mal nutrisi. Ibu yang memiliki pendidikan baik diperkirakan memiliki
pengetahuan gizi yang baik. Ibu yang memiliki pengetahuan gizi yang baik diperkirakan akan tahu
bagaimana mengolah makanan, mengatur menu makanan, serta menjaga mutu dan kebersihan
makanan dengan baik (Astari,2005). Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin tinggi
juga pengetahuan ibu tentang asupan makanan bagi balitanya dan semakin mudah ibu dalam
mengolah informasi berkenaan dengan status gizi balitanya (Atmarita, 2004).
Peran ayah dalam dalam mengasuh dan membesarkan anak begitu penting, sehingga tumbuh
kembang anaknya optimal, untuk itu kematangan usia orang tua balita berperan dalam menjaga
kesehatan anaknya termasuk pemenuhan makanan bergizi bagi balitanya. Pekerjaan ayah,
merupakan faktor utama penentu kualitas dan kuantitas kebutuhan pangan, pekerjaan berhubungan
dengan pendapatan dalam keluarga yang mampu mencukupi kebutuhan semua keluarga dan
berhubungan dengan status ekonomi keluarga. Di desa panduman didapatkan bahwa rata-rata
pekerjaan ayah adalah sebagai buruh bangunan. Pekerjaan ayah memiliki hubungan bermakna
dengan kejadian stunting berkaitan dengan pendapatan yang diterima (sosial ekonomi) terdapat
kecenderungan yang sama dengan hasil penelitian ini, prevalensi stunting lebih tinggi pada keluarga
dengan status ekonomi rendah. Keadaan ekonomi sosial yang baik dalam keluarga juga akan
mempengaruhi kecukupan energi dan protein yang baik pada anak, hal ini terkait dengan
kemampuan daya beli.
4
2.3 Gejala-Gejala Munculnya Stunting
Stunting terjadi saat bayi mencapai usia 2 tahun dengan tanda-tanda tinggi badan di
bawah rata-rata, dan salah satu cara untuk mengatasi stunting adalah dengan meningkatkan
pemahaman tentang gizi seimbang, terutama pada ibu yang kurang memahami tentang
stunting, yang dapat mempengaruhi status gizi anak-anak. Masalah ini dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak, termasuk perkembangan kognitif akibat
kekurangan gizi kronis, terutama dalam seribu hari pertama kehidupan. Di Perumahan
Bhumi Jati Permai Benjeng Gresik, beberapa ibu tidak memiliki pengetahuan tentang
stunting, yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap kebutuhan gizi anak-anak
mereka.
Gejala dan tanda-tanda yang bisa menunjukkan anak mengalami stunting adalah:
Tinggi badan anak lebih pendek daripada tinggi badan anak seusianya.
Berat badan tidak meningkat secara konsisten.
Tahap perkembangan yang terlambat dibandingkan anak seusianya.
Tidak aktif bermain.
Sering lemas.
Mudah terserang penyakit, terutama infeksi.
5
Panduan Isi piringku membagi piring menjadi 3 bagian dan mengisinya dengan
makanan bergizi seimbang, yaitu 50% diisi dengan buah dan sayur, 50% nya lagi dibagi
menjadi 2 yaitu 1 bagian untuk lauk pauk kaya protein, baik protein hewani maupun nabati
dan 1 bagian lainnya untuk karbohidrat (Kemenkes, 2014). Edukasi Gizi "Isi Piringku" penting
bagi remaja untuk menerapkan pola makan sehat danmencukupi kebutuhan nutrisi harian dan
mencegah terjadinya stunting, berbagai metode dan alat telah dikembangkan dalam
menyampaikan pesan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan, diantaranya adalah gambar cetak merupakan alat bantu yang dinilai tepat jika
digunakan dalam penyuluhan gizi untuk dapat lebih mudah diterima siswa karena mengaitkan
langsung dengan indera pengelihatan. Menurut (Notoatmodjo (2012) panca indera paling
banyak menyalurkan pengetahuan ke otak adalah mata (kurang lebih 75% sampai 87%)
sedangkan 13% sampai 25% pengetahuan manusia diperoleh atau disalurkan melalui indera
lainnya.
Pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan paket kebijakan dan regulasi terkait
intervensi stunting. Di samping itu, kementerian/lembaga (K/L) juga sebenarnya telah
memiliki program, baik terkait intervensi gizi spesifik maupun intervensi gisi sensitif, yang
potensial untuk menurunkan stunting. Intervensi Program Gizi Spesifik dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) melalui Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)
(Saputri, 2019).
Adapun beberapa program gizi spesifik yang telah dilakukan oleh pemerintah dapat
diidentifikasi sebagai berikut :
1. Program terkait intervensi dengan sasaran ibu hamil.
2. Program yang menyasar Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 bulan, termasuk diantaranya
mendorong IMD/Inisiasi Menyusui Dini melalui pemberian ASI jolong/colostrum dan
memastikan edukasi kepada ibu untuk terus memberikan ASI Ekslusif kepada anak
balitanya.
3. Program Intervensi yang ditujukan dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23
bulan, dengan mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi
oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing, menyediakan suplementasi zinc,
melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan, memberikan perlindungan terhadap
malaria, memberikan imunisasi lengkap, dan melakukan pencegahan dan pengobatan
diare.
6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anak yang mengalami stunting maupun status gizi kurang, secara langsung akan
berpengaruh pada perkembangan motorik anak yang menyebabkan terganggunya proses
tumbuh kembang dan terlambatnya perkembangan motorik. Zat gizi memegang peranan
penting dalam dua tahun pertama kehidupan. Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak
memerlukan zat gizi yang adekuat. Dengan keadaan tersebut bahwasannya pada batita
stunting usia 1-3 tahun memerlukan perhatian khusus dalam pengendlian gizi guna untuk
memperhatikan perkembangan motoriknya, karena dalam perkembangan motorik batita
usia 1-3 tahun dengan stunting dipengaruhi zat gizi yang memegang peranan penting
dalam dua tahun pertama kehidupan.
3.2 Saran
Perlu adanya sosialisasi lebih lanjut mengenai manfaat pemberian PMT-AS berbahan
ikan tamban sebagai upaya dalam meningkatkan asupan protein dan Fe terhadap anak
sekolah dasar yang mengalami stunting. Peran orang tua yang memiliki anak stunting
hendaknya lebih terbuka dan menerima wawasan tentang pentingnya pendidikan gizi ibu
dan pemberian PMT-AS berbahan ikan tamban terhadap asupan protein dan fe.
7
DAFTAR PUSTAKA
8
LAMPIRAN
9
Gambar 2.2 Fyler Stunting
10