Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

EKOLOGI PANGAN DAN GIZI

DOSEN PENGAMPU:
Nur Asiah, SKM. M.Kes

Disusun Oleh Kelompok 2:


Nayala Khairunisa (2205015015)
Najwa Salsabila (2205015016)
Zahra Nayla Putri (2205015033)
Amalia Altifani (2205015078)
Agustian (2305019017)
Dimas Renaldy (2300005137)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2022/2023

KATA PENGANTAR
Alhamdullillah, Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT

karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya lah kami dapat menyelesaikan

makalah tugas Ekologi Pangan dan Gizi dengan baik dan tepat waktu.

Shalawat dan salam kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad

SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan hingga ke zaman yang

terang benderang seperti ini. Adapun maksud dan tujuan dari makalah ini

adalah untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan dosen pada mata

kuliah Ekologi Pangan dan Gizi.

Dalam penulisan tugas ini masih jauh dari kategori sempurna, oleh karena itu

dengan hati dan tangan terbuka saya mengharapkan saran dan kritik yang

membangun demi kesempurnaan tugas yang akan datang. Dalam proses

penyusunan tugas ini kami menjumpai berbagai hambatan, namun berkat

dukungan materil maupun nonmateriil dari berbagai pihak, akhirnya kami

dapat menyelesaikan tugas ini dengan cukup baik, maka pada kesempatan ini

kami menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada

semua pihak terkait yang telah membantu terselesaikannya tugas ini.

Jakarta, 13 Maret 2024

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
1.1. Latar Belakang....................................................................................
1.2. Rumusan Masalah...............................................................................
1.3. Tujuan Penulisan.................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................
2.1. Konsep Dasar Ekonomi dan Gizi.......................................................
2.2. Konsep Dasar Permintaan, Penawaran dan Harga.........................
2.3. Teori Food Demand Analysis.............................................................
2.4. Hukum Engel Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi).................................
2.4.1. Pengertian Hukum Engel...................................................................
2.4.2. Pengertian Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)......................................
2.4.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kadarzi..................................
2.4.4. Hubungan Antara Income Keluarga Dengan Kadarzi....................
BAB III PENUTUP.......................................................................................
KESIMPULAN..............................................................................................
SARAN...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Status gizi di masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor utama yang
memengaruhi status gizi adalah kondisi sosial ekonomi. Ketika kondisi sosial ekonomi baik,
diharapkan status gizi juga menjadi lebih baik. Kesehatan gizi anak balita seringkali terkait
erat dengan kondisi sosial ekonomi keluarga, seperti tingkat pendidikan dan pekerjaan orang
tua, jumlah anak dalam keluarga, pengetahuan dan cara pengasuhan ibu, serta keadaan
ekonomi keluarga secara keseluruhan (Supariasa, 2002).
Masalah gizi kurang merupakan salah satu permasalahan gizi di Indonesia yang disebabkan
oleh beberapa faktor, seperti kurangnya asupan makanan yang bergizi, faktor lingkungan,
tingkat pendidikan, kondisi sosial ekonomi, dan adanya faktor infeksi. Tingkat prevalensi gizi
kurang masih tinggi, seperti yang dilaporkan pada tahun 2013 dengan angka mencapai 19,6%
secara nasional. Hal ini menunjukkan bahwa target pemerintah untuk menurunkan prevalensi
gizi kurang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) di bidang
kesehatan tahun 2010-2014 belum tercapai, dimana salah satu tujuan pembangunan adalah
menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi maksimal 15% (Riskesdas, 2013).
Status gizi balita menjadi salah satu penunjuk kondisi gizi masyarakat dan bahkan telah
dijadikan salah satu petunjuk untuk mengukur kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal
ini disebabkan oleh tingkat kerentanan yang tinggi pada bayi dan balita terhadap berbagai
penyakit. Pada masa balita, terjadi proses pertumbuhan dan perkembangan yang cepat,
sehingga asupan gizi yang baik dan seimbang sangat diperlukan untuk mendukung aktivitas
yang tinggi pada fase ini. Jika kebutuhan gizi balita tidak terpenuhi, maka pertumbuhan dan
perkembangan optimal tidak akan tercapai, yang dapat mengakibatkan masalah kekurangan
gizi dan berpotensi menurunkan tingkat kesehatan (Depkes RI, 2002).
Kasus gizi kurang perlu diperhatikan secara khusus karena dapat menghambat perkembangan
fisik dan mental anak. Kondisi gizi kurang ini terkait dengan peningkatan risiko penyakit dan
kematian, serta menghambat pertumbuhan serta perkembangan motorik dan mental. Balita
yang mengalami kekurangan gizi memiliki risiko terhadap penurunan kemampuan
intelektual, produktivitas, dan peningkatan risiko terkena penyakit degeneratif di masa depan.
Hal ini disebabkan oleh rentannya anak balita yang mengalami kekurangan gizi terhadap
penyakit infeksi, begitu pula sebaliknya, anak yang mengalami infeksi lebih rentan terhadap
kekurangan gizi (BPPK, 2010).
Status gizi yang dipengaruhi oleh asupan zat gizi secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah karakteristik keluarga. Karakteristik keluarga,
khususnya ibu, memiliki hubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebagai
figur yang dekat dengan anak dalam lingkungan pengasuhan, ibu berperan penting dalam
proses tumbuh kembang anak melalui pemberian zat gizi dari makanan. Karakteristik ibu
seperti usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan jumlah anak yang telah lahir (paritas)
juga memengaruhi kondisi gizi anak (Depkes, 2000).
Usia yang dianggap ideal bagi seorang ibu untuk hamil adalah antara 20 hingga 35 tahun. Hal
ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pada usia di bawah 20 tahun, kondisi fisik ibu masih
dalam masa pertumbuhan, sehingga asupan makanan lebih banyak digunakan untuk
memenuhi kebutuhan tubuh ibu sendiri. Selain itu, secara fisik, organ reproduksi pada ibu
yang berusia di bawah 20 tahun juga belum sempurna terbentuk. Umumnya, rahim masih
kecil dan tulang panggul belum mencapai ukuran yang cukup besar, yang dapat
mengakibatkan gangguan atau hambatan dalam pertumbuhan janin. Di sisi lain, pada usia di
atas 35 tahun, kondisi kesehatan ibu sudah mulai menurun dan lebih rentan terhadap berbagai
penyakit. Hal ini dapat berdampak pada peredaran darah ke plasenta yang dapat mengganggu
pertumbuhan janin. Selain itu, pada usia tersebut, keadaan emosional ibu juga dapat menjadi
lebih tidak stabil secara psikologis (Unicef, 2002).
Pendidikan ibu memiliki peran utama dalam mendukung kestabilan ekonomi keluarga, juga
berperan dalam menyusun menu makanan keluarga, serta dalam pengasuhan dan perawatan
anak. Keluarga yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi cenderung lebih mudah
menerima informasi terkait kesehatan, khususnya dalam bidang gizi, sehingga dapat
meningkatkan pengetahuannya dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari
(Depkes RI, 2005).
Pengetahuan tentang gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tingkat pendidikan yang
telah ditempuh, lingkungan sosial, dan seberapa sering kontak dengan media massa.
Kurangnya pengetahuan tentang gizi atau ketidakmauan untuk mengaplikasikan informasi
gizi dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi penyebab dari masalah gangguan gizi
(Suharjo, 2003).
Saat ini, semakin banyak wanita yang terlibat dalam kegiatan ekonomi sebagai tenaga kerja
aktif, dan hal ini terjadi di berbagai sektor pekerjaan seperti pertanian, industri, jasa, dan
sebagainya. Salah satu dampak negatif yang menjadi perhatian akibat keterlibatan ibu-ibu
dalam kegiatan di luar rumah adalah potensi keterlantaran anak, terutama anak balita.
Padahal, kesehatan masa depan anak sangat dipengaruhi oleh pengasuhan dan status gizi
sejak usia dini. Masa dari bayi hingga usia 5 tahun dianggap sebagai periode penting karena
pada saat itu anak belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan masih bergantung
pada pengasuhnya (Karyadi, 2006).

1.2. Rumusan Masalah


a. Bagaimana kaitan permasalahan ekonomi dan gizi pada kehidupan sehari-hari?
b. Bagaimana konsep dasar permintaan, penawaran dan harga?
c. Apa itu teori food demand analysis?
d. Bagaimana hukum engel kadarzi?

1.3. Tujuan Penulisan


a. Mengetahui hubungan antara ekonomi dan gizi
b. Mengetahui konsep dasar permintaan, penawaran dan harga.
c. Mengetahui apa itu food demand analysis
d. Mengetahui bagaimana hukum engel kadarzi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep Dasar Ekonomi dan Gizi
Istilah ekonomi berasal dari Bahasa Yunani “Oikonomia” yang berarti “oikos” atau
rumah tangga/keluarga dan “nomos” atau aturan/hukum, yang secara harfiah bermakna
cara-cara mengatur kebutuhan rumah tangga.
Ilmu ekonomi mencakup kegiatan-kegiatan produksi, distribusi dan perdagangan, serta
konsumsi barang dan jasa.
Menurut Marshall, ekonomi adalah ilmu yang mempelajari mengenai pemuasan
kebutuhan manusia/individu yang bersifat tidak terbatas melalui pemanfaatan
sumberdaya yang terbatas.
Sumberdaya sebagai alat pemenuh kebutuhan manusia kadangkala bersifat terbatas,
cepat habis, lama diolah, lama tersedia, ataupun mudah rusak, sehingga menimbulkan
kondisi kelangkaan. Semakin langka suatu sumberdaya, produk atau jasa maka
semakin mahal harganya.
Ilmu Ekonomi adalah ilmu mempelajari perilaku individu dan masyarakat dalam
menentukan pilihan untuk menggunakan sumberdaya yang langka dengan
seminimal mungkin biaya (uang) yang dikeluarkan dalam memenuhi kebutuhan
dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Aspek penting yang perlu diperhatikan dalam mempelajari ilmu ekonomi pangan
1.Aktivitas Produksi
2.Aktivitas distribusi
3.Aktivitas Konsumsi
4. Aktivitas menabung dan investasi
5.Aspek ketersediaan
6.Aspek kelangkaan dan persaiangan
7.Aspek pilihan dan selera
8.Aspek kebijakan terkait pangan dan gizi.

PANGAN adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah,
yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnnya yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman.
Pangan lokal adalah pangan yang diproduksi bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan
budaya lokal.
Komoditas pangan harus mengandung zat gizi yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan
manusia.
Makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau unsur-unsur/ikatan kimia
yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh, yang berguna bila dimasukkan ke dalam tubuh.

2.2. Konsep Dasar Permintaan, Penawaran dan Harga


Permintaan, Penawaran, dan Harga Permintaan adalah tentang seberapa banyak suatu barang
ekonomi akan dibeli pada berbagai tingkat harga dalam periode tertentu di pasar. Penawaran
merujuk pada jumlah barang ekonomi yang tersedia untuk dijual pada harga dan waktu tertentu.
Teori permintaan dan penawaran umumnya menganggap bahwa pasar beroperasi dalam kondisi
persaingan sempurna, di mana terdapat banyak pembeli dan penjual, dan tidak ada yang dapat
secara signifikan memengaruhi harga barang dan jasa.

Model permintaan dan penawaran menjelaskan bagaimana harga beragamsebagai hasil dari
keseimbangan antara ketersediaan produk pada tiap harga(penawaran) dengan kebijakan distribusi
dan keinginan dari mereka dengankekuatan pembelian pada tiap harga (permintaan) (Adriani dan
Wirjatmadi,2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat permintaan dan penawaranadalah
sebagai berikut (anonym, 2001):

a.Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat permintaan (demand)

1. Perilaku konsumen/selera konsumen

2. Ketersediaan dan harga barang sejenis pengganti dan pelengkap

3. Pendapatan/penghasilan konsumen

4. Perkiraan harga di masa depan

5. Banyaknya/instensitas kebutuhan konsumen

2.3. Teori Food Demand Analysis

2.4 Hukum Engel Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)


2.4.1 Pengertian Hukum Engel
Hukum Engel merupakan prinsip ekonomi yang dirumuskan oleh ahli statistik Ernst Engel
pada tahun 1857. Hukum ini menyatakan bahwa ketika pendapatan keluarga naik, persentase
pengeluaran untuk makanan akan menurun, meskipun jumlah total pengeluaran untuk
makanan tetap meningkat. Sementara itu, pengeluaran untuk perumahan dan sandang akan
tetap proporsional, sedangkan pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, dan rekreasi
cenderung meningkat.
Meskipun hukum Engel diperkenalkan sekitar 160 tahun yang lalu, hukum tersebut masih
memiliki relevansi pada zaman sekarang, terutama dalam konteks mengatasi kemiskinan.
Sebagai contoh, standar dan angka kemiskinan sering kali ditentukan oleh proporsi
pengeluaran rumah tangga untuk makanan.
Ide yang didukung oleh Hukum Engel menyatakan bahwa rumah tangga dengan pendapatan
rendah akan mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan makanan,
berbeda dengan rumah tangga dengan pendapatan menengah atau tinggi. Keluarga yang
kurang mampu secara ekonomi biasanya menghabiskan sebagian besar anggaran mereka
untuk makanan, sementara keluarga yang lebih mampu cenderung mengalokasikan lebih
banyak uang untuk barang-barang seperti hiburan dan barang mewah. Namun, penting untuk
dicatat bahwa Hukum Engel tidak menyiratkan bahwa pengeluaran untuk makanan tidak
berubah seiring dengan peningkatan pendapatan; sebaliknya, hukum ini menunjukkan bahwa
konsumen menaikkan pengeluaran mereka untuk produk makanan dalam proporsi yang lebih
kecil dibandingkan dengan peningkatan pendapatan mereka.

2.4.2 Pengertian Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)


Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) merupakan bagian dari upaya Kesehatan Keluarga dan Gizi
(KKG) yang termasuk dalam Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Dalam keluarga yang
memahami pentingnya gizi, minimal satu anggota keluarga secara sadar bersedia melakukan
perubahan menuju pola makan yang sehat dan benar, bisa menjadi ayah, ibu, anak, atau
anggota keluarga lainnya yang terlibat dalam keluarga tersebut (Depkes RI, 2007).
Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi masalah gizi diantaranya adalah dengan
mencanangkan program keluarga sadar gizi (KADARZI). Ada 5 indikator KADARZI yang
berlaku saat ini adalah
a) Menimbang berat badan secara teratur;
b) Memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan (ASI Eksklusif);
c) Makan beraneka ragam;
d)Menggunakan garam beryodium; dan
e) Minum suplemen gizi (TTD, kapsul vitamin A dosistinggi) sesuai anjuran.
Dalam konteks ini, keluarga merupakan unit masyarakat yang paling fundamental, terdiri dari
ayah, ibu, dan anak-anak. Di sinilah nilai-nilai, norma-norma, kepedulian, dan kasih sayang
mulai terbentuk sejak dini. Keluarga merupakan sumberdaya yang dimiliki dan dimanfaatkan
untuk memenuhi berbagai kebutuhan, termasuk kebutuhan fisik dasar seperti makanan dan
minuman. Keputusan mengenai makanan, gizi, dan kesehatan juga dibuat di tingkat keluarga.
Masalah seperti gizi kurang, gizi buruk, anemia, dan sejenisnya sering kali terkait erat dengan
perilaku keluarga dan juga dipengaruhi oleh kondisi kemiskinan. Pentingnya pemahaman
tentang Kadarzi oleh semua anggota keluarga sangat ditekankan, karena hal ini bertujuan
untuk menciptakan keluarga yang sehat dan pada akhirnya, memperkuat bangsa dan negara
dalam hal kesehatan (Syahartini, 2006).
Diharapkan setiap keluarga sadar gizi memiliki minimal satu anggota keluarga yang dengan
kesadaran penuh bersedia untuk mengubah perilaku menuju pola makan yang sehat dan
benar. Hal ini bisa dilakukan oleh ayah, ibu, anak, atau siapa pun yang tergabung dalam
keluarga tersebut (Depkes RI, 2007).

2.4.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kadarzi

a. Umur ibu
Usia memiliki dampak pada perkembangan kemampuan seseorang, karena kemampuan
tersebut sering kali dikembangkan melalui pengalaman sehari-hari, terlepas dari faktor
pendidikan formal yang diterimanya (Sedioetama, 2008).
Orang tua khususnya ibu yang masih relatif muda, cenderung lebih memprioritaskan
kepentingan pribadi mereka. Sebagian besar ibu yang masih muda memiliki pengetahuan
yang terbatas tentang gizi dan pengalaman yang terbatas dalam mengasuh anak (Budiyanto,
2015).
Dapat disimpulkan bahwa kemampuan dalam memilih makanan pada ibu rumah tangga yang
masih muda kemungkinan akan berbeda dengan ibu rumah tangga yang lebih tua, dan pola
pembelian makanan cenderung lebih dipengaruhi oleh usia mereka. Usia ibu memengaruhi
pola konsumsi makanan di rumah serta pengeluaran untuk makanan tersebut (Hardinsyah &
Martianto, 2014).
Perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh usia mereka seiring dengan pertumbuhan fisik dan
mental, yang menyebabkan perilaku tersebut menjadi lebih matang seiring bertambahnya usia
(Gunarsa, 2000).

b. Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan yang diperoleh secara formal seringkali mencerminkan kemampuan
seseorang dalam memahami berbagai aspek pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang gizi
(Hardinsyah & Martianto, 2014).
Orang tua dengan latar belakang pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pemahaman
yang lebih baik tentang cara memilih dan mengolah makanan yang sehat dan bergizi,
terutama dalam konteks memberikan asupan makanan yang tepat bagi keluarga, khususnya
anak-anak mereka (Soetjiningsih, 2004).
Menurut Madihah (2002), menyatakan bahwa makanan merupakan hasil dari keputusan yang
diambil oleh ibu yang mengendalikannya. Oleh karena itu, tingkat pendidikan ibu memiliki
peran yang penting dalam menetapkan pola makan keluarga, termasuk dalam perencanaan
belanja, pemilihan bahan makanan, serta dalam proses pengolahan dan penyajian makanan
untuk anggota keluarga.
Ningsih (2014), menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal orang tua, terutama ibu, sering
kali berkaitan dengan peningkatan pola konsumsi makanan di keluarga. Semakin tinggi
pendidikan ibu, maka akan terjadi perbaikan dalam kebiasaan makan, serta peningkatan
perhatian terhadap kesehatan dan makanan bergizi di keluarga tersebut.
Menurut Gabriel (2015), ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi biasanya
memilih makanan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik daripada ibu yang memiliki
tingkat pendidikan yang rendah.

c. Pekerjaan Ibu
Menurut Sediaoetama (2008), pekerjaan adalah sumber mata pencaharian yang menjadi fokus
utama kehidupan seseorang, merupakan aktivitas untuk memperoleh penghasilan. Waktu
kerja yang umumnya berlangsung selama 6-8 jam sehari (dengan sisa waktu 16-18 jam)
digunakan untuk kegiatan keluarga, interaksi sosial, istirahat, tidur, dan lain sebagainya.
Peningkatan posisi perempuan dan kesempatan yang sama dalam hal pendidikan, pelatihan,
dan karier akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan sosial
ekonomi keluarganya.
Walaupun demikian, tanggung jawab utama atas perawatan dan perlindungan anak, mulai
dari bayi hingga dewasa, terletak pada keluarga, khususnya ibu (Soetjiningsih, 2004).
Menurut Gabriel (2015), ibu yang tidak bekerja di luar rumah akan memiliki lebih banyak
waktu untuk mengasuh dan merawat anak-anaknya. Sebaliknya, ibu yang bekerja mungkin
tidak dapat memberikan perhatian yang sama kepada anak-anaknya, terutama anak balita,
karena keterbatasan waktu yang tersedia untuk merawat mereka (Sediaoetama, 2008).
Orang yang memiliki jadwal kerja yang padat kemungkinan besar akan kesulitan hadir dalam
kegiatan penimbangan balita di posyandu. Hal ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan
oleh Gabriel (2015), yang menyatakan bahwa pekerjaan ibu merupakan salah satu faktor
penghambat dalam pemanfaatan penimbangan balita di posyandu. Umumnya, orang tua tidak
memiliki waktu senggang yang cukup, sehingga semakin sibuknya jadwal kerja, semakin
sulit bagi mereka untuk menghadiri posyandu.
Menurut Hardinsyah dan Martianto (2014), peran wanita dalam upaya meningkatkan status
gizi bayi dan anak di keluarga, khususnya melalui usaha perbaikan gizi, sangatlah penting
karena wanita berperan sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan bagi anggota
keluarga. Keterlibatan ibu dalam aktivitas ekonomi atau pekerjaan sering dibatasi oleh
keterbatasan waktu yang mereka miliki untuk mengelola pangan bagi keluarga.

d. Pendapatan (Income) Keluarga


Pengaruh pendapatan terhadap peningkatan kesehatan dan faktor-faktor lain yang
berhubungan dengan status gizi adalah sangat nyata, yaitu bahwa peningkatan pendapatan
akan meningkatkan daya beli (Farida, 2015). Studi yang dilakukan oleh Munadhiroh (2013)
di Desa Subah juga menemukan hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dan
kesadaran gizi keluarga.
Menurut prinsip ekonomi yang dikenal sebagai hukum Engel, yang menyatakan bahwa
individu dengan pendapatan rendah cenderung menghabiskan lebih banyak uang untuk
makanan sumber karbohidrat. Namun, ketika pendapatan mereka meningkat, pola pembelian
makanan akan berubah, dengan lebih sedikit pembelian makanan sumber karbohidrat dan
lebih banyak pembelian makanan sumber hewani dan sayuran (Soekirman, 2010).
Menurut Madihah (2012), ketika pendapatan keluarga meningkat, kecukupan gizi dalam
keluarga cenderung meningkat juga. Namun, tingkat pendapatan yang tinggi tidak menjamin
bahwa keluarga akan mendapatkan gizi yang memadai, karena kemampuan untuk membeli
makanan tidak selalu berkorelasi dengan kemampuan untuk memilih makanan yang sehat.
Suhardjo (2013) juga mengungkapkan bahwa dalam keluarga dengan pendapatan rendah,
jumlah uang yang dihabiskan untuk makanan cenderung rendah. Ketika pendapatan
meningkat, jumlah uang yang dihabiskan untuk makanan dan bahan makanan juga
meningkat, tetapi ada batas di mana kenaikan pendapatan tidak selalu menghasilkan
peningkatan signifikan dalam pengeluaran untuk makanan.
Menurut Gabriel (2015), penurunan daya beli dapat mengakibatkan penurunan kualitas dan
jumlah makanan yang dapat diakses, serta mengurangi aksesibilitas layanan kesehatan
terutama bagi individu dengan status ekonomi yang lebih rendah. Dampaknya adalah
terhadap kesehatan anak yang lebih rentan terhadap masalah gizi dan kesehatan. Besarnya
pendapatan yang diterima oleh setiap keluarga bergantung pada pekerjaan yang mereka
lakukan sehari-hari. Pendapatan ini kemudian mempengaruhi aktivitas keluarga dalam
memenuhi kebutuhan mereka, yang pada gilirannya menentukan tingkat kesejahteraan
keluarga termasuk dalam aspek perilaku gizi yang seimbang (Yuliana, 2008).

e. Keluarga Besar
Menurut Suhardjo (2013), keluarga yang memiliki banyak anggota cenderung mengalami
kesulitan dalam membagi makanan yang terbatas, sehingga pola konsumsi makanan dapat
menjadi tidak sesuai dengan kebutuhan setiap anggota keluarga secara proporsional.
Penelitian yang dilakukan oleh Sutrisno (2011) menemukan adanya korelasi yang signifikan
antara ukuran keluarga yang besar dengan perilaku kesadaran gizi dalam keluarga.
Keluarga yang memiliki banyak anak dengan jarak kelahiran yang rapat seringkali
menghadapi sejumlah masalah. Jika pendapatan keluarga terbatas sementara jumlah anak
banyak, maka pemerataan dan kecukupan makanan dalam keluarga mungkin sulit dijamin.
Keluarga semacam ini dapat dikategorikan sebagai keluarga yang rawan, karena kebutuhan
gizinya seringkali tidak terpenuhi dengan baik. Temuan dari penelitian Madihah (2012)
menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara ukuran keluarga yang besar dengan
kesadaran gizi dalam keluarga.
Semakin banyak anggota dalam keluarga besar, maka kebutuhan pangan keluarga tersebut
akan meningkat. Selain itu, ukuran keluarga juga akan mempengaruhi jumlah dan jenis
makanan yang tersedia di dalam keluarga. Dalam konteks ekonomi yang sama, keluarga yang
memiliki jumlah anggota yang lebih sedikit akan lebih mudah memenuhi kebutuhan pangan
mereka. Keluarga besar yang tidak dapat membagi makanan secara merata akan
mengakibatkan anak-anak dalam keluarga tersebut mengalami kekurangan gizi, terutama
pada keluarga dengan jumlah anggota yang banyak, sekitar 7-8 orang (Suhardjo, 2013).

f. Pengetahuan Gizi Ibu


Secara umum, di negara-negara berkembang, peran ibu sangat signifikan dalam memilih dan
menyiapkan makanan untuk konsumsi keluarganya. Oleh karena itu, pengetahuan gizi ibu
akan berpengaruh pada jenis dan kualitas gizi makanan yang dikonsumsi oleh anggota
keluarganya (Hardinsyah, 2014). Menurut Munadhiroh (2013), pengetahuan gizi merujuk
pada pemahaman tentang zat-zat makanan. Tingkat pengetahuan ini memengaruhi perilaku
konsumsi makanan, yang dapat diperbaiki melalui pendidikan gizi untuk memperbaiki pola
makan dirinya sendiri dan keluarganya (Suhardjo, 2013).
Pengetahuan ibu memiliki dampak yang signifikan terhadap sikap positif dalam perencanaan
dan persiapan makanan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu, semakin positif pula sikap
ibu terhadap gizi makanan. Kekurangan pengetahuan tentang gizi atau kesulitan dalam
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari merupakan penyebab utama gangguan gizi
(Suhardjo, 2013). Temuan dari penelitian Munadhiroh (2013) menunjukkan adanya korelasi
yang signifikan antara pengetahuan gizi dan perilaku keluarga dalam memahami pentingnya
gizi.
Pengetahuan yang dimiliki oleh ibu memiliki nilai yang besar untuk kesejahteraan balita,
terutama jika ibu dapat mengimplementasikan pengetahuan gizi yang dimilikinya (Farida,
2015). Masalah gizi bukan hanya menjadi gejala kemiskinan yang erat kaitannya dengan
keamanan pangan di tingkat rumah tangga, tetapi juga melibatkan aspek pengetahuan dan
perilaku yang dapat mempengaruhi pola hidup sehat. Pengetahuan memiliki peran yang
sangat penting dalam menentukan tindakan seseorang, yang pada akhirnya akan berdampak
pada status kesehatan anggota keluarganya (Depkes RI, 2007).
Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah tidak selalu kurang mampu dalam
menyusun makanan yang memenuhi standar gizi dibandingkan dengan individu yang
memiliki pendidikan lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena, meskipun memiliki pendidikan
yang rendah, jika seseorang rajin memperoleh informasi tentang gizi dan mengikuti
perkembangan pengetahuan tersebut, maka kemampuan pengetahuannya tentang gizi dapat
meningkat. Tindakan yang didasarkan pada pengetahuan memiliki keberlangsungan yang
lebih baik dibandingkan dengan perilaku yang tidak didasarkan pada pengetahuan
(Notoatmodjo, 2010).

g. Sikap Ibu
Sikap ibu terhadap kesehatan merupakan faktor yang memengaruhi perilaku gizi di tingkat
keluarga. Sikap terhadap kesehatan adalah pandangan atau evaluasi seseorang terhadap isu-
isu yang berkaitan dengan gizi sebagai upaya untuk menjaga kesehatannya (Sedioetama,
2008). Menurut Depkes RI (2007), umumnya keluarga memiliki pemahaman dasar tentang
gizi. Namun, sikap mereka terhadap peningkatan gizi keluarga masih kurang positif. Ini
disebabkan oleh sebagian ibu yang menganggap bahwa pola makan mereka sudah memadai
karena tidak merasakan dampak negatifnya. Selain itu, sebagian keluarga juga mengetahui
adanya jenis makanan yang lebih baik secara kualitas, namun mereka tidak memiliki
keinginan atau keterampilan untuk memasaknya.
Sikap merupakan kecenderungan untuk melakukan tindakan terhadap suatu objek, dengan
cara yang menunjukkan adanya rasa suka atau tidak suka terhadap objek tersebut. Sikap
belum berarti melakukan tindakan secara langsung, tetapi dari sikap tersebut dapat
diperkirakan perilaku yang akan dilakukan. Konsep ini sejalan dengan pandangan Pranadji
(2012) yang menyatakan bahwa sikap memiliki nilai penting bagi seseorang karena dapat
mempengaruhi perilaku secara langsung. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, cenderung
akan semakin meningkat kesadaran gizi dan sikap gizi yang lebih positif, yang pada akhirnya
dapat meningkatkan status gizi keluarga.

2.4.4 Hubungan Antara Income Keluarga dengan Kadarzi


Salah satu faktor yang mempengaruhi praktik Kadarzi adalah Pendapatan/Income Keluarga.
Secara umum, kenaikan pendapatan sering kali diikuti dengan peningkatan dalam jumlah dan
variasi makanan yang dikonsumsi. Namun, peningkatan kualitas makanan tidak selalu terjadi
saat tanaman komersial ditanam. Tanaman komersial seringkali menggantikan produksi
pangan untuk konsumsi rumah tangga, dan pendapatan yang diperoleh dari tanaman tersebut
atau upaya peningkatan pendapatan lainnya tidak selalu digunakan untuk membeli makanan
atau bahan makanan yang memiliki kualitas gizi tinggi (Djola, 2013).
Tingkat pendapatan memengaruhi keputusan dalam membeli jenis makanan yang akan dibeli
dengan tambahan uang. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula bagian dari
pendapatan yang digunakan untuk membeli buah, sayur, dan berbagai jenis bahan makanan
lainnya. Dengan demikian, pendapatan menjadi faktor kunci yang memengaruhi baik
kuantitas maupun kualitas makanan yang dibeli. Terdapat hubungan yang bermanfaat antara
pendapatan dan gizi, di mana peningkatan pendapatan dapat memberikan dampak positif
terhadap kesehatan dan kondisi keluarga yang berkaitan dengan status gizi yang seimbang,
hal ini hampir dapat ditemukan secara universal (Soehardjo, 2008).
Kenaikan pendapatan di dalam sebuah rumah tangga memberikan kesempatan kepada
keluarga untuk meningkatkan kualitas dan variasi makanan yang mereka beli. Hal ini sejalan
dengan pandangan yang disampaikan oleh Soekirman (2010), yang menyatakan bahwa
rumah tangga dengan status ekonomi rendah atau miskin sering mengalami masalah gizi
kurang.
Pendapatan keluarga yang mencukupi dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan
anak-anak karena orang tua dapat memenuhi semua kebutuhan mereka. Namun, pendapatan
yang rendah menjadi hambatan lain yang menyebabkan seseorang tidak mampu membeli
makanan dalam jumlah yang diperlukan. Tingkat pendapatan yang tinggi atau rendah sangat
memengaruhi kemampuan keluarga dalam membeli makanan, yang pada akhirnya
berdampak pada status kesehatan individu (Efendi, 2007).
Para ahli ekonomi menyatakan bahwa meningkatnya tingkat ekonomi dapat berkontribusi
pada peningkatan status gizi. Namun, para ahli gizi mungkin akan menerima hal ini dengan
syarat bahwa faktor ekonomi saja tidaklah menjadi satu-satunya penentu dari status gizi.
Kondisi gizi sebenarnya merupakan permasalahan yang kompleks karena dipengaruhi oleh
berbagai faktor selain ekonomi. Oleh karena itu, perbaikan gizi bisa dianggap sebagai suatu
upaya atau tujuan yang ingin dicapai.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ekonomi gizi sangat dibutuhkan untuk memperkirakan latar belakang dan menyediakan alat
bagi konsumen individu, produsen makanan, operator layanan makanan, sistem layanan
kesehatan, serta profesional gizi dan kesehatan. Dampak sosial dari perubahan pola makan
juga harus dinilai berdasarkan biaya dan penghematan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Ekonomi Pangan dan Gizi merupakan ilmu yang mempelajari upaya manusia dalam
masyarakat utk memenuhi pangan & gizi dgn sumberdaya yg terbatas serta mempelajari
peranan pangan & gizi dlm pembangunan ekonomi.

Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai