Anda di halaman 1dari 22

KEBIJAKAN GIZI DAN PANGAN TAHUN

2000 SAMPAI DENGAN SEKARANG

Dosen Pengampu : Prof. Dr. dr. Nur Indrawaty Lipoeto,


M.Sc., PhD., SpGK

Oleh : dr.Falenshia Wahyuni

NIM : 2213101035

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS FORT DE KOCK

BUKITTINGGI

2023

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah, SWT karena telah
selesainya penyusunan Makalah Kebijakan Gizi dari tahun 2000 sampai saat
ini. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak


kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini kami ucapkan terima kasih. Semiga dokumen ini bermanfaat bagi
kita semua..

ii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1

A...Latar Belakang...............................................................................................1
B...Rumusan Masalah......................................................................................... 3
C...Tujuan Penulisan Makalah............................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................. 4

A...Kebijakan Pangan dan Gizi............................................................................. 4


B...Peraturan Pemerintah tentang Gizi dan Pangan pada Tahun 2000 sampai
dengan Sekarang..............................................................................................5
C...Permasalahan dan Tantangan Kebijakan Pangan dan Gizi di Indonesia.........6
D...Upaya yang Telah Dilakukan dalam Peningkatan Kebijakan Perbaikan
Pangan dan Gizi di Indonesia.......................................................................... 9

BAB III Penutup1............................................................................................................ 7

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia, karena
keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan SDM yang
berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat,
kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini
sangat ditentukan olrh status gizi yang baik, makanan yang diberikan sehari-hari
harus mengandung semua zat gizi sesuai kebutuhan, sehingga menunjang
pertumbuhan yang optimal dan dapat mencegah penyakit defisiensi, mencegah
keracunan dan juga mencegah timbulnya penyakit yang dapat mengganggu
kelangsungan hidup anak (Soekirman, 2006).
Saat ini di dalam era globalisasi dimana terjadi perubahan gaya hidup dan pola
makan. Masalah gizi merupakan masalah yang ada di tiap-tiap negara, baik negara
miskin, negara berkembang dan negara maju. Negara miskin cenderung dengan
masalah gizi kurang, hubungan dengan penyakit infeksi dan negara maju
cenderung dengan masalah gizi lebih (Anisa et al., 2019).
Indonesia menghadapi permasalahan gizi ganda, yakni masalah gizi kurang
dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang umumnya disebabkan oleh
kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan
(sanitasi), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan
kesehatan, dan adanya daerah miskin gizi (iodium). Sebaliknya masalah gizi lebih
disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu yang disertai
dengan minimnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang, dan kesehatan.
Dengan demikian, sebaiknya masyarakat meningkatkan perhatian terhadap
kesehatan guna mencegah terjadinya gizi salah (malnutrisi) dan risiko untuk
menjadi kurang gizi (Anisa et al., 2019).
Indonesia mencatat beberapa perkembangan penting dalam meningkatkan
ketahanan pangan dan gizi. Akses terhadap pangan meningkat dan prevalensi gizi

1
kurang (undernutrition) terus menurun selama beberapa tahun terakhir. Namun,
status gizi masyarakat Indonesia masih rendah menurut standar internasional dan
perbedaan gizi antardaerah masih tetap besar. Pada saat yang bersamaan,
Indonesia juga menyaksikan makin tingginya prevalensi kelebihan berat badan
(overweight) dan obesitas, serta defisiensi mikronutrien (micronutrient deficiency)
di masyarakat. Indonesia menghadapi tiga beban malnutrisi, yaitu gizi kurang yang
berdampingan dengan kelebihan gizi (overnutrition) dan defisiensi mikronutrien
(Arif et al., 2020).
Persoalan gizi dalam pembangunan manusia masih dianggap sebagai masalah
utama dalam tatanan masyarakat dunia. Masalah gizi disebabkan oleh faktor
penyebab langsung yaitu asupan gizi dan penyakit infeksi, dan tidak langsung
yaitu sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, konsumsi
tablet tambah darah, tingkat kemiskinan, imunisasi yang tidak lengkap, penyakit
diare, infeksi saluran pernapasan akut. Selain itu, ketidakstabilan politik dan
pertumbuhan ekonomi yang lambat turut berkontribusi dalam peningkatan masalah
kurang gizi. Kerangka UNICEF juga menegaskan bahwa kebijakan merupakan
salah satu akar masalah terjadinya masalah gizi (Boli et al., 2018).
Meskipun gizi merupakan bagian dari kajian sektor kesehatan, namun
intervensi gizi spesifik hanya akan memberikan sedikit kontribusi pada perbaikan
gizi melalui penanganan penyebab langsung masalah gizi. Perbaikan gizi yang
berkelanjutan dan signifikan memerlukan pendekatan multisektoral dan juga
intervensi gizi sensitif yang menangani penyebab tidak langsung dari masalah gizi.
Lingkungan yang mendukung juga diperlukan untuk mendukung pelaksanaan
intervensi gizi spesifik dan sensitif. Percepatan perbaikan gizi memiliki pengaruh
dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Global Nutrition
Report 2017 mengidentifikasi lima bidang utama yang terdapat dalam Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2015-2030 dimana gizi turut memberikan
kontribusi dan manfaatnya (Development Initiatives, 2017): (i) produksi pangan
berkelanjutan, (ii) sistem infrastruktur yang kuat, (iii) sistem kesehatan, (iv)
pemerataan dan inklusi, serta (v) perdamaian dan stabilitas (BPP, 2019).

2
Untuk mengatasi permasalahan gizi buruk di Indonesia, diperlukan upaya
peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas dimulai dengan cara
penanganan pertumbuhan anak sebagai bagian dari keluarga dengan asupan gizi
dan perawatan yang baik. Di tingkat masyarakat faktor-faktor seperti lingkungan
yang higienis, ketahanan pangan keluarga, pola asuh anak dan pelayanan
kesehatan primer sangat menentukan dalam membentuk anak yang tahan gizi
buruk. Selain itu dibutuhkan ketegasan kebijakan, strategi, regulasi, dan koordinasi
lintas sektor dari pemerintah dan semua stakeholders untuk menjamin
terlaksananya poin-poin penting seperti pemberdayaan masyarakat, pemberantasan
kemiskinan, ketahanan pangan, dan pendidikan yang secara tidak langsung akan
mengubah budaya buruk dan paradigm di tataran bawah dalam hal perawatan gii
terhadap keluarga termasuk anak (Anisa et al., 2019).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kebijakan pangan dan gizi
2. Apa saja peraturan pemerintah tentang gizi dan pangan pada tahun 2000
sampai dengan sekarang?
3. Bagaimana permasalahan kebijakan gizi di Indonesia?
4. Bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah dalam peningkatan kebijakan
perbaikan pangan dan gizi di Indonesia

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Mengetahui yang dimaksud dengan kebijakan pangan dan gizi
2. Mengetahui peraturan pemerintah tentang gizi dan pangan pada tahun 2000
sampai dengan sekarang
3. Mengetahui permasalahan kebijakan gizi di Indonesia
4. Mengetahui upaya yang dilakukan pemerintah dalam peningkatan kebijakan
perbaikan pangan dan gizi di Indonesia

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebijakan Pangan dan Gizi


Kebijakan gizi adalah pernyataan oleh badan yang berwenang atau pemerintah
tentang niatnya untuk bertindak dalam rangka mempertahankan atau mengubah
pasokan makanan, status gizi, atau beberapa indikator lain dalam masyarakat. Hal
ini berbeda dari kebijakan pangan, karena kebijakan pangan tidak secara eksplisit
memasukkan masalah kesehatan masyarakat. Sedangkan kebijakan pangan dan
gizi merupakan istilah umum yang menggabungkan masalah kesehatan msayarakat
dan tindakan lintas sektoral dengan kebijakan pangan. Kebijakan pangan dan gizi
harus didiskusikan bersama karena pengaruh kebijakan gizi sangat bergantung
pada konsumsi pangan. Politik gizi merupakan kegiatan oleh individu atau
kelompok yang melibatkan tata kelola suatu kota, negara bagian, atau negara yang
melibatkan gizi. Kebijakan gizi dan politik saling terkait erat di sebagian besar
situasi, terutama ketika lembaga pemerintah terlibat. Oleh karena itu, politik dan
peran lembaga pemerintah juga harus diperhatikan (Dwyer, 2016).
Kebijakan pangan dan gizi mencakup upaya kolektif pemerintah dan
pemangku kepentingan lainnya untuk mempengaruhi lingkungan pengambilan
keputusan produsen pangan, konsumen pangan, dan agen pemasaran pangan
dalam rangka meningatkan status gizi penduduk (WHO, 2008). Kebijakan terkait
gizi dapat diterapkan di tingkat keluarga, lokal, regional, dan nasional dan
berbagai sector seperti sekolah, termpat kerja, media masa, dan lain sebagainya
(Willet, 2013).
Tinjauan kebijakan gizi menurut WHO mengidentifikasi bahwa lebih dari
90% Negara disetiap wilayah memiliki kebijakan dan program yang mencakup
masalah seperti kekurangan gizi, obesitas dan penyakit tidak menular terkait diet
(NCD), gizi bayi dan anak kecil, dan vitamin serta mineral. Kebijakan gizi tidak
cukup dalam menanggapi tantangan yang dihadapi negara dan kawasan saat ini,
khususnya beban ganda malnutrisi (Kurang gizi, dan obesitas serta penyakit terkait

4
diet). Hal ini disebabkan oleh kurangnya sumber daya manusia untuk
melaksanakan program gizi (Gurinovic, 2016).
FFA dan juga ICN2 yang mengacu pada “Berbagai tantangan malnutrisi untuk
pembangunan inklusif dan berkelanjutan” menyerukan decade Aksi Gizi 2016-
2025. FFA berkomitmen kepada pemerintah dalam peran dan tanggung jawab
mereka untuk mengatasi kekurangan gizi, stunting, wasting, kekurangan berat
badan, dan kelebihan berat badan pada anak di bawah usia 5 tahun, anemia pada
wanita dan anak-anak dintara defisiensi mikronutrien lainnya (FAO dan WHO,
2014).

B. Peraturan Pemerintah Tentang Gizi dan Pangan pada Tahun 2000 sampai
dengan Sekarang
1) Perpres Nomor 83 tahun 2017 mengenai kebijakan strategis pangan dan gizi
2) Permenkes Nomor 51 tahun 2016 mengenai standar produk suplementasi gizi
3) PP Nomor 17 tahun 2015 mengenai ketahanan pangan dan gizi
4) Permenkes Nomor 23 tahun 2014 mengenai Upaya perbaikan gizi
5) Permenkes Nomor 41 tahun 2014 mengenai pedoman gizi seimbang
6) Permenkes Nomor 30 tahun 2013 mengenai Pencantuman Informasi
Kandungan gula, garam, dan lemak.
7) Permenkes Nomor 75 tahun 2013 mengenai angka kecukupan gizi yang
dianjurkan bagi bangsa Indonesia
8) Permenkes Nomor 028 tahun 2012 mengenai standar bubuk tabur gizi
9) Permenkes Nomor 033 tahun 2012 mengenai bahan tambahan pangan
10) Permenkes Nomor 034 mengenai batas maksimun melamin dalam pangan
11) UU Nomor 18 tahun 2012 mengenai pangan
12) Permenkes 1031/MENKES/PER/V/2011 mengenai batas maksimum cemaran
radioaktif dalam pangan
13) Permenkes 701/MENKES/PER/VIII/2009 mengenai pangan radiasi
14) Kepmenkes 374/MENKES/SK/III/2007 mengenai standar profesi gizi
15) PP Nomor 28 tahun 2004 mengenai keamanan, mutu, dan gizi pangan

5
16) Permenkes Nomor 28 tahun 2019 mengenai angka kecukupan gizi yang
dianjurkan untuk masyarakat Indonesia. (PERGIZI, 2023).

C. Permasalahan dan Tantangan Kebijakan Pangan dan Gizi di Indonesia


Menurut WHO (2008), tiap negara diminta untuk secara kritis memeriksa dan
mengevaluasi rencana dan kebijakan yang ada untuk menidentifikasi hambatan
dalam pelaksanaannya yang efektif. Secara umum, semua negara dalam
presentasinya menunjukan kekosongan atau hambatan kebijakan pangan dan gizi
sebagai berikut:
1) Kemampuan teknis yang terbatas
2) Kurangnya komitmen dan koordinasi antarsektor
3) Prioritas pemerintah bersaing mengakibatkan rendahnya prioritas gizi
4) Becana alam dan buatan manusia
5) Perubahan iklim
6) Kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang pangan dan gizi di
masyarakat dan pembuat kebijakan
7) Penyediaan anggaran yang tidak memadai untuk rencana dan kebijakan
gizi dan kurangnya tenaga di bidang gizi
8) Ketidakstabilan politik
9) Birokrasi di sektor pemerintahan
10) Globalisasi dan perdagangan bebas
11) Komoditas pangan yang mahal seperti buah dan sayuran
12) Kurangnya jangkauan kegiatan pembangunan pada kelompok inti
kemiskinan
13) Tidak adanya kerangka waktu yang ketat untuk proses pelaksanaan ,
pemantauan, dan evaluasi
14) Kendala keuangan untuk program pemerintah tertentu.

6
Potret masalah atau hambatan kebijakan pangan dan gizi di Indonesia
1. Koordinasi lintas sektoral dalam upaya peningkatan status gizi masyarakat
masih belum terwujud, baik di tingkat pusat maupun daerah
2. Jumlah dan kapasitas ahli gizi masih sangat terbatas
3. Upaya peningkatan pengetahuan publik melalui kampanye tidak selalu
menghasilkan perubahan prilaku
4. Program pemerintah dalam menangani gizi belum menyasar kesehatan
remaja putri sebagai calon ibu di masa depan.
5. Desentralisasi mejadi tantangan bagi pemerintah daerah untuk
mengembangkan inovasi dalam upaya peningkatan gizi di Indonesia

Rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan di Indonesia antara lain:


1. Memperkuat koordinasi inter dan antar sektoral, baik ditingkat pusat maupun
daerah
2. Memperkuat kapasitas tenaga kesehatan dan tenaga gizi
3. Penempatan tenaga ahli gizi secara merata diseluruh puskesmas di Indonesia
4. Memasukkan remaja putri sebagai salah satu sasaran program perbaikan gizi
5. Mengubah istilah stunting ke dalam bahasa Indonesia untuk memudahkan
edukasi masyarakat (Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2016).

Elemen kunci untuk mengmbangkan kebijakan pangan dan gizi antara lain:
a. Menjamin kualitas dan keamanan pangan yang optimal
b. Upaya kolektif /multi-sektoral untuk ketahanan pangan dan gizi yang
berkelanjutan
c. Mencapai dan mempertahankan kesejahteraan gizi dan pola hidup sehat
masyarakat populasi
Langkah-langkah yang terlibat dalam pengembangan kebijakan pangan dan
gizi, antara lain:
1) Memahami perlunya suatu kebijakan
2) Meninjau status pangan dan gizi penduduk saat ini

7
3) Meninjau kebijakan yang ada dan mengidentifikasi kekosongan
4) Menyusun kebijakan pangan dan gizi yang tepat dalam menggunakan:
a. Instrumen kebijakan langsung
b. Instrumen kebijakan tidak langsung
5) Mengembangkan rencana aksi untuk implementasi
6) Mengembangkan mekanisme pemantauan dan evaluasi yang efektif dan kuat
7) Menetapkan system surveilans gizi untuk memfasilitasi program penilaian dan
tindak lanjut (WHO, 2008).
Permasalahan kebijakan pangan dan gizi menurut Dewan Ketahanan Pangan
(2015) adalah:
1) Sistem Pertanian Pangan, Sistem pertanian yang dilakukan oleh petani saat ini
belum memberikan keuntungan yang memadai. Hal ini disebabkan sebagian
besar petani berusaha tidak mencapai tingkat efisien, sehingga biaya produksi
menjadi relatif tinggi. Kondisi ini diperparah oleh tidak adanya kepastian
harga jual.
2) Perubahan Iklim Ekstrim, Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik
atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa
dampak luasterhadap berbagai sektor kehidupan manusia.
3) Volatilitas Harga Pangan, Upaya pemerintah untuk mengatasi volatilitas harga
pangan saat ini dilakukan dengan memberikan subsidi pangan dalam bentuk
Raskin.
4) Dinamika Penduduk, Jumlah penduduk yang besar membutuhkan pangan,
ruang dan energi yang lebih besar, sehingga dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan terhadap daya dukung dan daya tampung yang tersedia.
5) Perubahan Pola Konsumsi Pangan, pola konsumsi pangan juga akan berubah
dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh perubahan pendapatan, perubahan
kesadaran masyarakat akan gizi dan kesehatan serta perubahan gaya hidup.
6) Kompetisi Pemanfaatan Komoditas Pangan Untuk Pangan, Pakan, Biofuel.
Indonesia perlu memprioritaskan pengembangan sektor pertanian untuk
pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Sedangkanuntuk kebutuhan energi

8
alternatif diarahkan ke pengembangan tanaman bukan pangan atau bahan
pangan yang tidak strategis/pokok. Agar tanaman sumber bioenergi tidak
“menggusur” lahan pangan, maka diperlukan kebijakan yang melindungi
penggunaan lahan pangan untuk tidak digunakan oleh tanaman sebagai bahan
baku sumber energi alternatif (bioenergi).
Tantangan kebijakan pangan gizi menurut Dewan Ketahanan Pangan (2015),
antara lain:
1) Pencapaian Swasembada Pangan Berkelanjutan
2) Penurunan Produktivitas Lahan
3) Menurunnya tenaga kerja di sektor pertanian
4) Stabilisasi pasokan dan harga pangan strategis
5) Penanganan kerawanan pangan transien/darurat
6) Penanggulangan kemiskinan
7) Perbaikan gizi masyarakat
8) Peningkatan keamanan pangan segar dan pangan olahan
9) Promosi pola pangan B2SA dan diversifikasi konsumsi berbasis pangan
lokal

D. Upaya yang Telah Dilakukan dalam Peningkatan Kebijakan Perbaikan


Pangan dan Gizi di Indonesia
1. Kebijakan Pangan dan Gizi tahun 2006-2010
Survei tingkat masyarakat pertama berdasarkan penelitian kesehatan
dasar yang sedang dilakukan saat ini memasukkan gizi sebagai salah satu
komponen utama dan telah menghasilkan informasi kesehatan dan gizi dasar
ditingkat kabupaten/ kota pada akhir tahun 2008. Komponen informasi
tersebut terdiri dari kesiapsiagaan terhadap bencana alam, promosi pendidikan
gizi, dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan penyakit infeksi (WHO,
2008).

9
Menurut Tasnim (2016), kebijakan pangan dan gizi Indonesia 2006-
2010 menetapkan lima bidang aksi kebijakan pangan dan gizi di Indonesia
dalam upaya perbaikan gizi, berupa peningkatan aksesibilitas makanan,
peningkatan mutu dan keamanan pangan, peningkatan status gizi, peningkatan
pola hidup sehat, dan penguatan kelembagaan.
a. Aksi 1: Meningkatkan aksesibilitas untuk makanan
Aksi ini bertujuan untuk meningkatkan stok dan varietas pangan di
tingkat lokal, regional, dan nasional. Hal ini menuntut pengembangan dan
penyediaan dalam beberapa aspek. Pertama, perlindungan lahan pertanian,
dilakukan karena bertambahnya jumlah penduduk dan industri yang
menyebabkan telah berkurangnya jumlah lahan pertanian. Hal ini
membutuhkan regulasi yang dapat menjamin keabadian lahan pertanian.
Kedua, peningkatan produksi pangan juga membutuhkan pengembangan
teknologi, infrastruktur dan pemasaran baru. Hal ini membutuhkan kerja
kolaboratif antara Departemen Pertanian, Lembaga perdagangan, industri
dan penelitian.
Selain itu, ketersediaan pangan lintas daerah juga membutuhkan
infrastruktur distribusi dan kelembagaan ekonomi di tingkat desa. Selain
itu, promosi menjaga pola konsumsi lokal dilakukan untuk memastikan
masyarakat terpencil tetap dapat menyediakan pangan sendiri dari sumber
lokal. Pemerintah juga mensubsidi sembako untuk keluarga miskin.
Program ini dilaksanakan sejak tahun 1998 untuk meningkatkan asupan
pangan pada keluarga miskin. Namun implementasinya tidak efektif
(Hasani, Sumarto, & Suryahadi. 2008). Dengan demikian, peningkatan
dalam program ini dilakukan dalam kebijakan ini.
Selain itu, implementasi ini membutuhkan peningkatan kapasitas
manusia dalam pengelolaan stok pangan baik di pemerintah maupun di
masyarakat. Oleh karena itu, pelatihan bagi staf pemerintah dan tokoh
masyarakat diberikan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
mereka dalam manajemen produksi pangan.

10
b. Aksi 2: Meningkatkan kualitas dan keamanan pangan
Tindakan ini didasari oleh isu tentang bahan tambahan makanan
berbahaya yang diproduksi oleh usaha makanan kecil. Hal ini telah
meningkatkan kejadian penyakit bawaan makanan, termasuk diare
(Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2007). Oleh
karena itu, aksi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran produsen dan
konsumen, pemantauan, perlindungan dan pengembangan audit pangan
alternatif yang aman. Berbagai strategi dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut. Pertama, sosialisasi standar dan peraturan pangan bagi produsen
dan konsumen dilakukan. Kedua, pemantauan industri makanan dan
produksinya di pasar ditingkatkan. Hal ini membutuhkan penambahan staf
untuk pemantauan dan laboratorium. Selanjutnya, pengembangan regulasi
perlindungan konsumen dilakukan untuk memastikan produksi pangan di
pasar aman. Pengembangan teknologi baru untuk mencari alternatif bahan
tambahan pangan yang aman dan murah dilakukan melalui peningkatan
penelitian tentang mutu pangan.
c. Aksi 3: Meningkatkan status gizi masyarakat
Permasalahan yang direpresentasikan dalam aksi ini adalah:
defisiensi zat gizi mikro, gizi lebih dan penyakit infeksi di Indonesia.
Dengan demikian, tindakan ini berfokus pada penanggulangan kekurangan
zat gizi mikro, gizi lebih dan penyakit infeksi. Beberapa strategi dilakukan
untuk memenuhi tujuan tersebut. Strategi pertama adalah revitalisasi di
pusat- pusat kesehatan masyarakat. Puskesmas memiliki tanggung jawab
untuk memberikan penyuluhan kesehatan, surveilans, pemantauan tumbuh
kembang anak, imunisasi, distribusi zat gizi mikro dan pengobatan gizi
buruk. Penyuluhan kesehatan diusulkan untuk meningkatkan konsumsi
vitamin A dan tablet, pemberian ASI pada anak di bawah dua tahun dan
menanam sayuran dan buah- buahan di pekarangan belakang. Pesan
kesehatan juga mencakup tindakan pencegahan untuk obesitas dan
penyakit menular. Selain itu, jaminan kesehatan diberikan secara cuma-

11
cuma untuk keluarga miskin. Subsidi uang untuk keluarga miskin juga
dilakukan untuk mendirikan usaha kecil yang dapat meningkatkan
pendapatan keluarga miskin. Selain itu, penyempurnaan kurikulum
sekolah di tingkat dasar dan menengah dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan gizi pada usia sekolah.
d. Aksi 4: Meningkatkan Pola Hidup Sehat
Masalah yang direpresentasikan dalam aksi ini adalah kurangnya
aktivitas fisik, merokok dan tingginya konsumsi fast food yang tidak sehat.
Dengan demikian, strateginya meliputi promosi kesehatan, advokasi dan
regulasi pembangunan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan
aktivitas fisik, berhenti merokok dan makan makanan sehat. Peningkatan
metode promosi kesehatan dilakukan untuk meningkatkan efektivitas
pesan kesehatan. Menyusun regulasi larangan merokok juga menjadi
agenda dalam kebijakan ini.
Namun, tindakan tersebut tidak termasuk strategi yang ditujukan
untuk pembatasan iklan makanan dan minuman yang tidak sehat. Iklan ini
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan konsumsi
makanan dan minuman yang tidak sehat (Dalmeny 2003). Oleh karena itu,
pembatasan frekuensi dan waktu penayangannya diperlukan untuk
menghambat perubahan perilaku menuju gaya hidup yang tidak sehat.
e. Aksi 5: Penguatan kelembagaan
Masalah yang diwakili oleh tindakan ini adalah disintegrasi program
pangan dan gizi. Oleh karena itu, aksi ini bertujuan untuk meningkatkan
kerja sama antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Program yang
dilakukan dalam kemitraan meliputi deteksi dini masalah pangan dan gizi,
peningkatan kapasitas administratif dan profesional. Hal ini memerlukan
pengembangan dan perbaikan kurikulum sekolah ahli gizi Program
lainnya adalah peningkatan kualitas dan kuantitas penelitian tentang
pangan dan gizi. Ini membutuhkan kerja sama antara Departemen
Pertanian, Kesehatan, lembaga penelitian dan universitas. Selain itu,

12
penurunan laju pertumbuhan penduduk juga dilakukan karena Indonesia
memiliki pertumbuhan penduduk yang pesat.
Implementasi kebijakan ini telah didelegasikan kepada departemen-
departemen di pemerintahan Indonesia, dewan legislatif, LIPI, dan
organisasi wanita. Departemen dalam pemerintahan meliputi Departemen
Kesehatan, Pendidikan, Pertanian, Industri Perdagangan, Umum, Logistik,
Pertahanan Nasional, Sosial Kesejahteraan, Dalam Negeri, Kependudukan
dan Keluarga Berencana, Pengawasan Pangan dan Obat- obatan, dan
Pemerintah Daerah. Tingkat kementerian juga terlibat, seperti
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Olahraga.
2. Kebijakan Strategis Pembangunan Pangan dan Gizi tahun 2015-2019
Kebijakan pangan dan gizi dilaksanakan untuk menggerakkan sektor-
sektor strategis produksi dan ekonomi domestik dalam mewujudkan
kedaulatan pangan yang pada akhirnya bermuara pada kesejahteraan
masyarakat. Kedaulatan pangan nasional tidak hanya dicirikan oleh
kecukupan produksi dari dalam negeri, namun juga cermin keberhasilan
diversifikasi konsumsi yang mengoptimalkan pangan lokal, penguatan
kemampuan masyarakat miskin dalam membeli pangan dan keberlanjutan
usahatani oleh petani generasi selanjutnya. Untuk mencapai cita-cita tersebut,
ditetapkan Kebijakan Strategis Pembangunan Pangan dan Gizi 2015 – 2019
yang meliputi:
a. Pengelolaan Ketersediaan Pangan
1). Produksi Domestik
sektor pertanian masih memberikan peran strategis dalam
pembangunan ekonomi nasional.Peran strategis tersebut digambarkan
dalam kontribusi nyata sektorpertanian sebagai penyedia bahan pangan
dan bahan baku industri kecil dan menengah, penyumbang nyata PDB,
penghasil devisa negara, penyerap tenaga kerja, sumber utama
pendapatan rumah tangga perdesaan, penyedia bahan pakan dan
bioenergi, serta berperan dalam upaya penurunan emisi gas rumah

13
kaca. Strategi untuk meningkatkan daya saing produk pangan
diarahkan pada perbaikan faktor-faktor pendukung utama produksi
yaitu : Infrastruktur, Biaya Logistik, Sumber Daya Manusia dan
UMKM.
2). Cadangan Pangan Pemerintah dan Masyarakat Desa
Penguatan cadangan pangan sebagai antisipasi terhadap dampak
anomali iklim yang semakin sulit diprediksi, seperti: terjadinya
pergeseran masa tanam, masa pemanenan yang tidak merata
sepanjang tahun, dan meningkatnya bencana yang tidak terduga
(banjir, longsor, kekeringan, gempa) sehingga memerlukan sistem
cadangan pangan yang kuat.
3). Perdagangan (Ekspor dan Impor) Pangan
Kedaulatan pangan yang berlandaskan pada kekuatan produksi
dalam negeri adalah upaya bersama untuk memenuhi kebutuhan
pangan secara mandiri sekaligus menghilangkan ketergantungan
terhadap impor. Peningkatan produksi harus disertai efisiensi dalam
proses agar menghasilkan produk yang berkualitas tinggi sehingga
memiliki daya saing di pasar global. Kualitas produk pangan tidak
hanya berorientasi pada keinginan konsumen, namun juga
memperhatikan pemenuhan kecukupan pangan dan gizi seluruh
masyarakat.
4). Produksi dan Olahan Pangan Berbasis sumber Daya Lokal
Prospek industri pengolahan pangan di Indonesia terbuka luas
karena tersedianya sumber daya alam yang melimpah. Pengembangan
industri olahan pangan sebaiknya memanfaatkan bahan baku dalam
negeri dan menghasilkan produk-produk yang memiliki nilai tambah
tinggi terutama produk siap saji, praktis dan memperhatikan masalah
mutu.

14
b. Pengelolaan Keterjangkauan Pangan

1) Efisiensi Pemasaran Pangan

2) Sistem Logistik Pangan

3) Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan

4) Kerawanan Pangan Darurat

5) Bantuan Pangan Bagi Keluarga Miskin

a) Penyediaan dan Penyaluran Pangan Bersubsidi

b) Penanggulangan Kemiskinan di Pertanian dan Pedesaan


c. Pemanfaatan Pangan
1). Pengembangan Pola konsumsi B2SA dan Percepatan Diversifikasi
Pangan dan Gizi Berbasis Pangan Lokal.
Peningkatan peran industri, masyarakat dan pemerintah daerah
dalam ketersediaan pangan beragam, bergizi, dan aman berbasis
sumber daya lokal menjadi salah satu strategi untuk memperluas
diversifikasi pangan dan gizi.
2). Perbaikan Gizi Masyarakat
Untuk mengatasi masalah gizi, diperlukan kerja sama seluruh
stakeholders melalui gerakan bersama yang dilakukan secara
bersungguh-sungguh secara holistik. Pendekatan komprehensif
diperlukan untuk meningkatkan status gizi masyarakat terutama
dengan pencegahan dan peningkatan, yang didukung pengobatan serta
pemulihan kesehatan. Perbaikan status gizi masyarakat, dilaksanakan
antara lain dengan membangun pelayanan publik Therapeutic Feeding
Centre yang dikelola secara bersama oleh lintas kementerian/lembaga
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam menangani
gizi buruk, sekaligus sebagai tempat belajar mengolah bahan pangan
yang tepat. Strategi penanganan masalah gizi dijabarkan melalui:
a. Pemberdayaan masyarakat untuk hidup sehat melalui

15
sosialisasi/gerakan gizi seimbang (PUGS/B2SA).
b. Peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
yang berkualitas dan pemantauan tumbuh kembang anak yang
berkualitas.
c. Penguatan sistem surveilance, monitoring dan informasi
kesehatan.
d. Penyediaan biaya kesehatan dan perbaikan gizi masyarakat.
e. Pengembangan dan penyediaan pangan yang diperkaya dengan
zat gizi mikro melalui biofortifikasi dan fortifikasi pangan
terintegrasidengan pengembangan pangan lokal.

3). Pengembangan Keamanan Pangan Segar dan Pangan Olahan


Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT) dilaksanakan dengan
mengembangkan 3 jejaring yang diidentifikasi berdasarkan prinsip
analisis risiko yaitu Jejaring Intelijen Pangan (Food Intelligence), dan
Jejaring Pengawasan Pangan (Food Safety Control) dan Jejaring
Promosi Keamanan Pangan (Food Safety Promotion).
4). Penguatan kelembagaan dan infrastruktur pangan

a. Regenerasi petani dan penguatan organisasi petani-nelayan

b. Pengembangan kemitraan ketahanan pangan

c. Kesetaraan gender dalam pencapaian ketahanan pangan dan gizi


5). Penguatan koordinasi ketahanan pangan
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dunia usaha (sektor swata)
dan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama dalam
mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat sejahtera.

a. Kebijakan pendukng dari kementrian/lembaga

b. Optimalisasi koordinasi lintas sektor dan pusat-daerah

c. Optimalisasi fungsi dewan ketahanan pangan.

16
BAB III
PENUTUP

1. Kebijakan pangan dan gizi merupakan istilah umum yang menggabungkan


masalah kesehatan msayarakat dan tindakan lintas sektoral dengan kebijakan
pangan.
2. Permasalahan kebijakan pangan dan gizi disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
koordinasi lintas sektoral dalam upaya peningkatan status gizi masyarakat masih
belum terwujud, baik di tingkat pusat maupun daerah; jumlah dan kapasitas ahli
gizi masih sangat terbatas; upaya peningkatan pengetahuan publik melalui
kampanye tidak selalu menghasilkan perubahan prilaku; program pemerintah
dalam menangani gizi belum menyasar kesehatan remaja putri sebagai calon ibu
di masa depan; dan desentralisasi mejadi tantangan bagi pemerintah daerah untuk
mengembangkan inovasi dalam upaya peningkatan gizi di Indonesia.
3. Secara garis besar upaya yang telah dilakukan dalam kebijakan pangan dan gizi
di Inonesia, yaitu peningkatan aksesibilitas makanan, peningkatan mutu dan
keamanan pangan, peningkatan status gizi, peningkatan pola hidup sehat, dan
penguatan kelembagaan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Anisa, A. F., Darozat, A., Aliyudin, A., Maharani, A., Fauzan, A. I., Fahmi, B. A. &
Hamim, E. A. (2019). Permasalahan Gizi Masyarakat Dan Upaya
Perbaikannya. Agroteknologi.
Arif, S., Isdijoso, W., Fatah, A. R., & Tamyis, A. R. (2020). Tinjauan Strategis
Ketahanan Pangan dan Gizi di Indonesia. Jakarta: SMERU Research Instituate.
Boli, E. B., Baliwati, Y. F., & Sukandar, D. (2018). Komitmen Politik dan Peluang
Pengembangan Kebijakan Gizi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara
Timur Political Commitment and Opportunity to Advance Nutrition Policy in
East Nusa Tenggara Province. J MKMI, 14(4), 351-9.
BPP. (2019). Pembangunan gizi di Indonesia. Direktorat Kesehatan Dan Gizi
Masyarakat.
Dewan Ketahanan Pangan. (2015). Kebijakan strategis Pangan dan Gizi. Jakarta
Dwyer, J. T. (2016). Nutrition Policy. National Institutes of Health. Bethesda. MD,
USA. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-100596-5.03326-6.
Gurinovic, M. 2016. Nutrition Epidemiology and Public Health Nutrition. Centre of
ResearchExcellence in nutrition and Metabolism. Institute for Medical
Research. University of Belgrade. Belgrade: Serbia.
PERGIZI Pangan Indonesia. 2023. Peraturan Pemerintah Tentang Gizi dan Pangan.
Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia. https://pergizi.org/peraturan-
pemerintah-tentang-gizi-dan-pangan/.
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. (2016). Final Report “Study on
Nutritional Policy: Central and Regional Potrait”.
Soekirman. (2006). Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Tasnim. 2016. Policy Analisis of Indonesian Food and Nutrition Policy 2006-2010.
Exploring inter-regional and international Coorperation in Indonesia. Central
Java. [Proceding International Conference].
Willet, W., 2013. Nutritional Epidemiology, third ed, vol. 40. Oxford University
Press. New York: USA.
World Health Organization. 2008. Food and nutrition Policy and Plans of Action.
World Health Organization. Regional Office of South-East Asia. Hyderabad:
India.

18
World Health Organization. 2014. Europian Food and Nutrition Action Plan 2015-
2020. World Health Organization. Regional Office for Europe. Copenhagen:
Denmark.

19

Anda mungkin juga menyukai